AKTIVITAS ANALGESIK PERSISTEN SENYAWA 2,5-BIS-(4’-METOKSI-BENZILIDIN)-SIKLOPENTANON PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN METODE FORMALIN TEST SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Program Studi Ilmu Farmasi

  AKTIVITAS ANALGESIK PERSISTEN SENYAWA 2,5-BIS-(4’-METOKSI-BENZILIDIN)-SIKLOPENTANON PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN METODE FORMALIN TEST SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Fransiska Indah Pratiwi NIM: 048114073 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  AKTIVITAS ANALGESIK PERSISTEN SENYAWA 2,5-BIS-(4’-METOKSI-BENZILIDIN)-SIKLOPENTANON PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN METODE FORMALIN TEST SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Fransiska Indah Pratiwi NIM: 048114073 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

“In fa c t, the joy of suc c e ss lie s on the strug g ling proc e ss

we a re e xpe rie nc ing a nd on our a bility to ove rc ome

e ve ry obsta c le we fa c e ”

  )

(Andrie Wong so

  Kupersembahkan karya ini untuk : Bapa di Surga atas penyertaan-Mu Ayah dan alm. Ibuku tercinta Kakakku Thomas Bangkit Kristiawan tersayang Kekasihku Ignatius Madya Surya P.P Sahabat-sahabatku Almamaterku tercinta

  

PRAKATA

  Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga atas kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Aktivitas Analgesik Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada Mencit Jantan Galur Swiss dengan Metode Formalin Test. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada Program Studi Ilmu Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan dan bimbingan yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

  1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

  2. Nunung Yuniarti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa saran, kritik, serta dorongan sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

  3. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat untuk skripsi ini.

  4. Yosef Wijoyo, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat untuk skripsi ini

  5. Prof. Dr. Supardjan Amir Margono, MS., Apt. yang telah memberikan senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon untuk penelitian.

  6. Ayah dan alm. Ibuku atas cinta kasih yang tulus sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

  7. Kakakku “Thomas” yang tak henti-hentinya memberikan semangat untukku sehingga penyusunan skripsi dapat terlaksana dengan baik.

  8. Kekasihku “Ignas” yang selalu mendukungku untuk menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat berjalan dengan baik.

  9. Mas Heru, Mas Parjiman, dan Mas Kayat selaku laboran yang telah membantu dalam penelitian di laboratorium.

  10. Widiya sebagai teman seperjuanganku di laboratorium yang selalu mendukungku dalam menyelesaikan penelitian ini.

  11. Mas Prasojo yang sudah banyak membantu penyelesaian skripsi ini.

  12. Retri sebagai teman dekat yang selalu mendukungku dalam menyelesaikan penelitian.

  13. Teman-teman seperjuangan angkatan 2004 khususnya kelas B kelompok praktikum D.

  14. Agung, Retno, Ochi, Tiwi, Dhee, Cia, Yuma, Bayu, dan Beni terimakasih atas kebersamaannya selama masa KKN.

  15. Tina, Nolen, Kristy, Tyas, Yesse, Ika, Sekar, Retha, Suci, Mbak Rini, dan Jule sebagai teman sekaligus saudara yang sudah memberi semangat untukku.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Walaupun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

  Yogyakarta, Juli 2008 Penulis

ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

  CMC-Na : Carboxy Methyl Cellulose-Natrium COX :

  Cyclooxygenase

  Dorsal horn : cornu posterior medulla spinalis ED

  50 : Effective Dose 50% (dosis senyawa uji yang memberikan

  efek 50% pada hewan uji)

  IC 50 : Inhibitory Consentration 50% (konsentrasi senyawa uji (inhibitor) yang diperlukan untuk menghambat 50% aktivitas enzim)

  Impuls : proses elektrokimia yang menjalar sepanjang saraf i.p : intraperitoneal i.v. : intravena Medula spinalis : bagian sistem saraf pusat yang terkumpul dalam kanalis vertebralis NSAID :

  

Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs

  PGV-0 : Pentagamavunon-0 p.o. : per oral TBA : Thiobarbituric Acid

  : delta δ µ : mu mikromolar µM :

  : kappa ҝ

  

INTISARI

  Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan senyawa analog PGV-0. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada mencit jantan galur Swiss dengan metode Formalin Test.

  Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subjek uji menggunakan mencit jantan galur Swiss, umur 2,5-3 bulan, berat badan 20-30 g. Empat puluh ekor mencit dibagi menjadi 8 kelompok perlakuan. Kelompok I sebagai kontrol negatif (diberi perlakuan CMC-Na 0,5% secara p.o.), kelompok II dan III sebagai kontrol positif (diberi perlakuan indometasin dosis 4 mg/kgBB secara i.p. dan morfin dosis 5 mg/kgBB secara i.p.), dan kelompok IV-VIII diberi perlakuan senyawa uji 2,5-

  

bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan dosis berturut-turut yaitu 17,78;

  26,67; 40; 60; dan 90 mg/kgBB secara p.o. Mencit diinduksi formalin 1% secara intraplantar pada kaki kirinya, selanjutnya diamati total waktu menjilat selama fase I (0-5 menit) dan fase II (10-30 menit). Dari data total waktu menjilat pada fase I dan II kemudian dianalisis secara statistik dengan taraf kepercayaan 95%.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon memiliki aktivitas analgesik. Terdapat hubungan linear antara log dosis dengan daya analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon baik pada fase I maupun pada fase II.

  Kata kunci: 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon, analgesik, Formalin

  Test , pra klinik

  ABSTRACT

  The compound of 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone is a PGV- 0 analog compound. This research was conducted to investigate the persistent analgesic activity of 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound in Switzerland strain male mice by using Formalin Test.

  This research was a pure one way randomized experimental research. The subjects of this research were Switzerland strain male mice whose age were 2.5–3 months and its weights were 20–30 g. Forty mice were devided into 8 treatment groups. Group I acted as negative control group (treated with CMC-Na 0.5% by p.o.), group II and group III acted as positive control (treated with indometasin 4mg/kgBB by i.p. dan morfin 5 mg/kgBB by i.p.), and group IV–VIII were treated with 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound with dosage of 17.78; 26.67; 40; 60 mg/kgBB; and 90 mg/kgBB successively by p.o. The mice were induced by intraplantar formalin 1% into the mice’s left hindpaw. This process was followed by monitoring of total licking time on phase I (0-5 minutes) and II (10-30 minutes). The data from total licking time was analyzes by using statistic with degree of validity 95%.

  The result of the research analysis shows that 2.5-bis-(4’-methoxy- benzyl)-cyclopentanone compound has persistent analgesic activity. There is a linear conection between the dose log and the persistent analgesic capacity (%) of 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound both in the phase I and phase II.

  Keywords: 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone, analgesic, Formalin Test, pre clinic

  

DAFTAR ISI

Halaman

  HALAMAN JUDUL ….……………………………………………............. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………… iii HALAMAN PENGESAHAN ..…………………………………………...... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………. v PRAKATA ………………………………………………………………..... vi HALAMAN PERNYATAAN .....…………......………….....…………....... viii ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN …………………………………... ix

  INTISARI …………………………………………………………………... x ABSTRACT ………………………………………………………………... xi DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xii DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. xvi DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xviii BAB I. PENGANTAR ……………………………………………………...

  1 A. Latar Belakang ……………………………………………………...

  1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………...

  3 C.

  3 Keaslian Penelitian ………………………………………………….

  D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….

  3 E.

  4 Tujuan Penelitian …………………………………………………...

  BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ………………………………………

  5 A. Penelaahan Pustaka …………………………………………………

  5

  1.

  5 Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ……….

  2.

  6 Nyeri …………………………………………………………….

  3. Analgetika ……………………………………………………...

  11 4.

  16 Indometasin ……………………………………………………..

  5. Morfin …………………………………………………………..

  17 6.

  18 Metode Pengujian Analgetik …………………………………… B.

  20 Landasan Teori ……………………………………………………...

  C. Hipotesis …………………………………………………………….

  21 BAB III. METODE PENELITIAN .………………………………………...

  22 A. Jenis dan Rancangan Penelitian …………………………………….

  22 B.

  22 Variabel dan Definisi Operasional .………………………………… C. Bahan Penelitian ....…………………………………………….…...

  23 D. Alat Penelitian ………………………………………………….…...

  23 E.

  24 Subjek Uji ..………………………………………………………… F. Penelitian Pendahuluan ……………………………………………..

  24 G.

  25 Tata Cara Penelitian ………………………………………………...

  BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………..

  30 A. Uji Pendahuluan ..…………………………………………………...

  30 B.

  33 Uji Analgesik pada Nyeri dengan Metode Formalin Test ….............

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………....

  48 A.

  48 Kesimpulan ….……………………………………………………...

  B. Saran ………………………………………………………………...

  48 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

  49

  LAMPIRAN ………………………………………………………………... BIOGRAFI PENULIS ………………………………………………….......

  52

  67

  DAFTAR TABEL Halaman

  Tabel I. Rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% dalam uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na setelah diinduksi formalin 1% .......................

  30 Tabel II. Rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% dalam uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon setelah diinduksi formalin 1% ………………….....

  32 Tabel III. Hubungan antara perlakuan dengan total waktu menjilat dan daya analgesik (dalam %) pada uji daya analgesik senyawa 2,5 - bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test …………………………………….............………….............

  35 Tabel IV. Rangkuman hasil Uji Tukey data daya analgesik (dalam %) senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon metode fase I ……………………………………..………..

  38 Formalin Test Tabel V. Rangkuman hasil Uji Tukey data daya analgesik (dalam %) senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon metode

  Formalin Test fase II ..………………………………….....……...

  41

  DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur kurkumin ..............................................................................

  2 Gambar 2. Struktur PGV-0 ..................................................................................

  2 Gambar 3. Struktur 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon.....................

  2 Gambar 4. Mekanisme timbulnya nyeri ..............................................................

  8 Gambar 5. Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang belakang ..................................................................................

  9 Gambar 6. Diagram perombakan asam arakidonat …………………………......

  13 Gambar 7. Kerja antagonis dan agonis di reseptor opioid ………………….......

  14 Gambar 8. Sistem kontrol penghambatan yang menunjukkan tempat aksi opioid pada transmisi nyeri ................................................................

  16 Gambar 9. Struktur Indometasin ..........................................................................

  17 Gambar 10. Struktur Morfin ..................................................................................

  18 Gambar 11. Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na dengan penyuntikan formalin 1% pada metode Formalin Test .........

  31 Gambar 12. Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan penyuntikan formalin 1% pada metode Formalin Tes ............................................

  33 Gambar 13. Hubungan antara perlakuan dengan % daya analgesik pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase I ........…………...........………..

  36 Gambar 14. Hubungan antara perlakuan dengan % daya analgesik pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase II ....... …………...........………..

  36 Gambar 15. Kurva hubungan log dosis senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzil- idin)-siklopentanon dengan daya analgesik (dalam %) pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase I .......…………...........………....

  40

  Gambar 16. Kurva hubungan log dosis senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon dengan daya analgesik (dalam %) pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase II ..........………….. ....…………

  43

  DAFTAR LAMPIRAN Halaman

  Lampiran 1. Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na dengan penginjeksian formalin 1% pada metode

  Formalin Test . Pengamatan fase I dilakukan pada menit 0-5 dan fase II pada menit 10-30…………………………………...

  52 Lampiran 2. Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan penginjeksian formalin 1% pada metode Formalin Test. Pengamatan fase I dilakukan pada menit 0-5 dan fase II pada menit 10-30…………………………………………………….

  52 Lampiran 3. Tabel hasil uji analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon ……………………………………...

  53 Lampiran 4. Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari total waktu menjilat (detik) fase I tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………………………...

  54 Lampiran 5. Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari daya analgesik (dalam %) fase I tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………………………...

  56 Lampiran 6. Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari total waktu menjilat (detik) fase II tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon…………………............

  59 Lampiran 7. Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari daya analgesik (dalam %) fase II tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………………………...

  62 Lampiran 8. Gambar senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon ………………………………………………….

  65 Lampiran 9. Gambar kotak pengamatan untuk mengamati respon total waktu menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% pada uji analgesik dengan metode Formalin Test …………...………….

  66

  menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% pada uji analgesik dengan metode Formalin Test …………………………………

  66

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan, ekspresi

  emosional, dan bersifat subjektif atau berupa kerusakan jaringan (Dipiro dkk, 1998). Hampir setiap orang pernah merasakan nyeri. Nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi serta memudahkan diagnosis, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan sehingga akan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1991). Sekitar 50 juta jiwa orang Amerika mengeluh karena nyeri dan diperkirakan membutuhkan milyaran dollar AS untuk mengobatinya (Dipiro dkk, 2005). Obat yang digunakan untuk meringankan atau menekan rasa nyeri ini dikenal sebagai analgetika.

  Salah satu modifikasi struktur kurkumin (Gambar 1) adalah senyawa PGV-0 (Gambar 2). Selama ini senyawa PGV-0 telah dikenal mempunyai efek antiinflamasi (Nurrochmad, 1997) dengan menghambat enzim siklooksigenase dan antioksidan (Sardjiman, 2000). Kemampuan PGV-0 dalam menghambat enzim siklooksigenase ditetapkan dengan metode Flower dkk (1973) termodifikasi (cit., Sardjiman, 2000) secara in vitro diperoleh IC

  50 sebesar 0,6µM

  (Nurrochmad, 1997) atau 0,91µM (Sardjiman, 2000). Kemampuan PGV-0 sebagai antioksidan dengan menghambat peroksidasi lipid ditetapkan dengan metode tes TBA secara in vitro dan diperoleh IC sebesar 6,4±0,4µM (Sardjiman,

  50

  2000). Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon (Gambar 3) merupakan analog PGV-0. Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon secara in vitro memiliki aktivitas menghambat peroksidasi lipid pada konsentrasi 4 µg/ml sebesar 8,3±0,3 µM (Sardjiman, 2000). Senyawa ini mempunyai gugus metoksi yang berperan sebagai pendorong elektron sehingga menambah kerapatan pada sistem ikatan

  π dan memudahkan senyawa menangkap radikal hidroksi (Nelly, 2000). Kemampuan senyawa untuk menangkap radikal hidroksi (radikal bebas) dikenal dengan mekanisme antioksidan. Antioksidan dapat menghambat oksigenasi asam lemak (siklooksigenase dan lipooksigenase) sehingga dapat dijadikan dasar yang baik untuk terapi nyeri.

  Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan hasil sintesis Susanti (2004) belum pernah diteliti aktivitasnya sebagai analgetika persisten sehingga perlu dilakukan uji aktivitas analgesik persisten dengan metode

  

Formalin Test . Oleh karena itu diharapkan dengan adanya pembuktian efek

farmakologis, senyawa ini dapat berkembang menjadi obat analgetika baru. OCH 3 O O OCH 3 OH OH

Gambar 1. Struktur Kurkumin (Sardjiman, 2000)

OCH 3 O OCH 3 HO OH

Gambar 2. Struktur PGV-0 (Sardjiman, 2000)

O

OCH 3 OCH 3 Gambar 3. Struktur 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon (Sardjiman, 2000)

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. apakah senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki aktivitas atau menimbulkan efek analgesik persisten pada mencit jantan galur

  Swiss? b. apakah terdapat hubungan linear antara dosis dengan daya analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon?

  C.

  

Keaslian Penelitian

  Penelitian yang pernah dilakukan terhadap senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon diantaranya adalah penelitian Sardjiman (2000) tentang aktivitas senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon secara in vitro menghambat peroksidasi lipid. Akan tetapi sejauh penelusuran pustaka penulis, penelitian mengenai aktivitas analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon pada mencit jantan galur Swiss belum pernah dilakukan.

  D.

  

Manfaat Penelitian

  Penelitian mengenai aktivitas analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon pada mencit jantan galur Swiss ini diharapkan memiliki manfaat yaitu:

  a. manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian yaitu mengenai penggunaan senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon sebagai analgetika persisten.

  b. manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran aktivitas farmakologi secara pra klinik untuk mendukung penelitian selanjutnya (toksisitas) sehingga menjadi obat analgetika baru dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon sebagai analgetika.

E. Tujuan Penelitian

  a. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk memberikan landasan ilmiah bahwa senyawa

  2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki aktivitas analgesik persisten.

  b. Tujuan khusus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas senyawa 2,5-bis-(4’- metoksi-benzilidin)-siklopentanon sebagai analgetika persisten.

BAB II A. PENELAAHAN PUSTAKA

1. Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon

  Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan analog PGV-0. Senyawa PGV-0 mempunyai efek antiinflamasi (Nurrochmad, 1997) dengan menghambat enzim siklooksigenase dan sebagai antioksidan (Sardjiman, 2000). Kemampuan PGV-0 dalam menghambat enzim siklooksigenase ditetapkan dengan metode Flower dkk (1973) termodifikasi (cit., Sardjiman, 2000) secara in

  

vitro diperoleh IC sebesar 0,6µM (Nurrochmad, 1997) atau 0,91µM (Sardjiman,

  50

  2000). Kemampuan PGV-0 sebagai antioksidan dengan menghambat peroksidasi lipid ditetapkan dengan metode tes TBA secara in vitro dan diperoleh IC sebesar

  50

  6,4±0,4µM (Sardjiman, 2000). Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon secara in vitro memiliki aktivitas menghambat peroksidasi lipid pada konsentrasi 4 µg/ml sebesar 8,3±0,3 µM (Sardjiman, 2000).

  Sintesis senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon oleh Susanti (2004) dilakukan dengan cara mereaksikan 4-metoksi benzaldehida dengan siklopentanon dengan penambahan katalis larutan NaOH 21%. Sintesis ini berlangsung dalam perbandingan mol 4-metoksi benzaldehida : siklopentanon = 2 : 3. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi kondensasi antara turunan benzaldehid dengan siklopentanon mengikuti mekanisme kondensasi Claisen Schmidt (Sardjiman, 2000). Sebelumnya, senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon pernah disintesis oleh Austerwil dkk (1956), Hathaway (1987), dan Sardjiman (2000). Struktur kimia senyawa PGV-0 dan 2,5-bis-(4’-metoksi- benzilidin)-siklopentanon ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3.

2. Nyeri

  Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan, ekspresi emosional, dan bersifat subjektif atau berupa kerusakan jaringan (Dipiro dkk, 1998). Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri adalah kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri (Mutschler, 1991). Menurut Dipiro dkk (2005) proses penghantaran nyeri terdiri atas empat tahap yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri, dan modulasi.

  a.

  Stimulasi Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat adanya rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxius

  • stimuli ) akan menyebabkan lepasnya bradikinin, K , prostaglandin, histamin,

  leukotrien, serotonin, dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang (Dipiro dkk, 2005).

  b.

  Transmisi Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut saraf aferen A

  δ dan C. Serabut saraf aferen tersebut merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi

  dorsal horn P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2005).

  c. Persepsi Nyeri Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan, meditasi, dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri (Dipiro dkk, 2005).

  d. Modulasi Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti

  , dinorfin, dan

  enkhepalin

  β-endorfin) dan reseptor-reseptor (seperti µ, δ, dan ҝ) yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2005).

  Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida.

  Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2003). Proses timbulnya nyeri dapat dilihat pada Gambar 4.

OPIOID OPIOID

  

Gambar 4. Mekanisme timbulnya nyeri (Rang dkk, 2003)

Keterangan : = menginduksi = menghambat

  • 5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin) SP = Substansi P PG = Prostaglandin NGF = Neuron Growth Factor (faktor pertumbuhan neuron)

  BK = Bradikinin

  __

  CGRP = Calcitonin gene-related peptide NA = Nor Adrenalin GABA = asam

  γ-aminobutirat

  Badan sel dari serabut aferen nosiseptik berada di belakang serabut ganglia. Serabut ini memasuki sumsum tulang belakang melalui serabut ganglia dan berakhir di daerah abu-abu pada dorsal horn. Kebanyakan dari serabut aferen nosiseptik berakhir pada permukaan dari tulang belakang. Serabut C dan beberapa serabut A masuk ke dalam badan sel pada lamina I dan II. Sementara serabut A lainnya masuk lebih dalam ke dalam tulang (lamina V). Serabut saraf aferen tak bermielin mengandung beberapa neuropeptida terutama substansi P dan

  

Calcitonin gene-related peptide (CGRP). Zat-zat ini dilepaskan sebagai mediator

  di pusat dan perifer dan berperan penting dalam mekanisme nyeri (Rang dkk, 2003).

  Mechanorecept Mechanorecept Nociceptor Nociceptor

  Thermorecepto r

Gambar 5. Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang belakang

(Rang dkk, 2003)

  Menurut Greene dan Harris (2000), ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri yaitu: 1. serabut A-

  β : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls (30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap sentuhan ringan;

  2. serabut A- δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecapatan konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya; dan

  3. serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul.

  Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri dalaman (viseral). Nyeri somatik dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah tertusuk dengan jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi, dan kebanyakan menyebar di sekitarnya. Contoh yang paling dikenal dari nyeri dalam adalah sakit kepala yang dalam berbagai bentuknya merupakan bentuk nyeri yang paling sering. Nyeri dalam seringkali diikuti oleh reaksi afektif dan vegetatif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah. Nyeri dalaman (viseral) terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991).

  Berdasarkan waktu terjadinya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut diperantarai oleh serabut saraf A δ dengan adanya rangsang nyeri mayor (trauma fisik, infark miokard, peptic ulcer) dan bereaksi cepat. Nyeri kronik diperantarai oleh serabut saraf C (Laurence dkk, 1997). Nyeri persisten dapat berupa nyeri akut maupun kronis. Nyeri persisten dipengaruhi oleh sensitisasi sentral dan kerusakan jaringan perifer (Coderre dan Katz, 1997).

  Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat kemungkin-kemungkinan berikut: 1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgetika yang bekerja perifer, 2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

  3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika induksi,

  4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan 5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia, neuroleptika, dan antidepresan).

3. Analgetika

  Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (Tjay dan Rahardja, 2002). Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni: a. analgetika perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.

  b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada kanker dan fractura.

  3a. Analgetika perifer

  Obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretik dan antiradang. Oleh karena itu, obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga gangguan demam (infeksi virus atau kuman dan pilek) dan peradangan seperti rematik dan encok. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beranekaragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi (rematik dan encok), perut, nyeri haid (dysmenorroe), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma) (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Cara kerja NSAID sebagian besar berdasarkan hambatan sintesa prostaglandin, dimana kedua siklooksigenase (COX) diblokir. Prostaglandin merupakan mediator yang dihasilkan dari perombakan asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase. Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri secara langsung tetapi meningkatkan efek penyebab nyeri dari agen lain secara kuat seperti bradikinin atau 5-HT (5-hydroxytryptamine). Bradikinin merupakan senyawa penyebab nyeri yang poten, beraksi sebagian dikarenakan lepasnya prostaglandin yang sangat kuat meningkatkan aksi langsung bradikinin pada terminal-terminal saraf (Rang dkk, 2003). NSAID ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), selain itu juga dapat menghambat lipooksigenase (pembentukan leukotrien) (Tjay dan Rahardja, 2002). Diagram perombakan asam arakidonat dapat dilihat pada Gambar 6.

  

Gambar 6. Diagram perombakan asam arakidonat (Kumar dkk, 2005)

Keterangan : = menghasilkan = menghambat

  = enzim yang berperan 3b. Analgetika narkotik

  Analgetika narkotik kini disebut juga opioida, adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di sistem saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein pada membran sel tertentu pada susunan saraf pusat, pada ujung saraf perifer, dan pada sel-sel saluran cerna. Efek utama opioid diperantarai oleh 4 famili reseptor yaitu µ, ϭ

  ҝ, dan δ, setiap reseptor menunjukkan spesifitas yang berbeda untuk obat-obat yang diikatnya (Gambar 7). Pada umumnya, kuatnya ikatan berkorelasi dengan analgesia. Sifat-sifat analgetika opioid terutama diperantarai oleh reseptor µ, tetapi reseptor

  ҝ pada kornu dorsalis juga menyokong. Enkefalin berinteraksi lebih

  ϭ ,

  selektif dengan reseptor δ di perifer. Reseptor opioid yang lain, seperti reseptor menunjukkan kurang spesifik, misalnya reseptor ϭ juga mengikat obat-obat nonopioid seperti halusinogen fensiklidin. Reseptor ϭ bertanggungjawab terhadap halusinasi dan disforia yang kadang-kadang berhubungan dengan opioid. Semua reseptor opioid berpasangan dengan penghambat protein G dan menghambat

  • adenilil siklase, juga berkaitan dengan saluran ion untuk meningkatkan efluks K
    • (hiperpolarisasi) atau mengurangi influks Ca , jadi merintangi peletupan neural dan pelepasan transmiter (Mycek dkk, 1997).

  Disforia Halusinasi Efek psikomimetik Dilatasi pupil

  Gambar 7. Kerja antagonis dan agonis di reseptor opioid (Mycek dkk, 1997) Berdasarkan interaksinya dengan reseptor opioid, dikenal klasifikasi opioid, yakni (Rang dkk, 2003): 1. agonis murni misalnya obat-obat seperti morfin yang memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor µ dan umumnya memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor

  δ dan ҝ. Contohnya kodein, metadon, dan dekstroproposifen, 2. agonis parsial dan campuran agonis-antagonis seperti nalorfin (secara kompetitif menghambat morfin) dan pentazosin (antagonis pada reseptor µ tetapi agonis parsial pada reseptor

  δ dan ҝ), dan 3. antagonis yaitu zat yang dapat memberikan efek opioid yang sangat kecil misalnya nalokson dan naltrekson.

  Mekanisme kerja opioid dapat dijelaskan sebagai berikut: opioid memicu saraf-saraf di periaqueductal grey (PAG) dan dalam nucleus reticularis

  

paragigantoceilularis (NRPG) menuju medula rostroventral termasuk nucleus

raphe magnus (NRM). Dari NRM, 5-HT (5-Hydroxytryptamine) dan enkephalin

  menuju substansia gelatinosa pada dorsal horn dan meghambat transmisi nyeri. Opioid juga berperan langsung dalam dorsal horn seperti pada terminal perifer saraf aferen rangsang nyeri. Locus curuleus (LC) mengirimkan saraf noradrenergik ke dorsal horn yang juga menghambat transmisi nyeri. Hal ini ditunjukkan dengan Gambar 8.

  Gambar 8. Sistem kontrol penghambatan yang menunjukkan tempat aksi opioid

pada transmisi nyeri (Rang dkk, 2003)

  Keterangan: + = memicu

  • = menghambat

4. Indometasin

  Indometasin merupakan agen antiinflamasi, analgetika, dan antipiretika yang efektif. Indometasin digunakan untuk mengobati nyeri sedang sampai parah dan inflamasi penyakit rematik, gangguan muskuloskeletal akut dan gout (Laurence dkk, 1997).

  Indometasin merupakan derivat indol. Indometasin lebih toksik dari aspirin, tetapi efektivitasnya juga lebih tinggi. Ia juga penghambat sistesis prostaglandin. Metabolisme terjadi di hati dan waktu paronya 2 jam (Wibowo dan Gofir, 2001). Indometasin diabsorpsi cepat dan praktis sempurna (Mutschler, 1991).

  Efek sampingnya berupa gejala umum, terutama pada permulaan dan dosis tinggi sering terjadi gangguan lambung, usus, dan efek-efek sentral, seperti nyeri kepala, perasaan kacau, rasa lelah, dan depresi (Tjay dan Rahardja, 2002). Struktur indometasin ditunjukkan pada Gambar 9. O CH 3 HOOCH C 3 CH 3 N C Cl

O

  Gambar 9. Struktur Indometasin (Anonim, 1979) 5. Morfin

  Morfin merupakan obat analgetika utama yang mengandung opium kasar dan juga merupakan prototip agonis. Obat ini menunjukkan afinitas yang tinggi untuk reseptor µ, afinitas yang bervariasi untuk reseptor

  δ dan reseptor κ, dan afinitas yang rendah untuk reseptor σ (Mycek dkk, 1997).

  Mekanisme kerja: opioid memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada susunan saraf pusat dan saluran cerna.