PENGARUH PENGELOLAAN SUMBER DAYA SECARA

Universitas Indonesia

PENGARUH PENGELOLAAN SUMBER DAYA SECARA STRATEJIK, POLA PIKIR, BUDAYA SERTA KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP PROSES INOVASI : STUDI KASUS UMKM DI DEPOK DAN JAKARTA

SELATAN

Skripsi

Dede Puad Mansur 1106021216 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI MANAJEMEN DEPOK JUNI 20

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Dede Puad Mansur

NPM

: 1106021216

Tanda Tangan :

Materai Rp.6000,-

Tanggal

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Nama

: Dede Puad Mansur

NPM

Program Studi

: Manajemen

Judul Skripsi : Pengaruh Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik, Pola Pikir, Budaya Serta Kepemimpinan Kewirausahaan Terhadap Proses Inovasi : Studi Kasus UMKM di Depok Dan Jakarta Selatan

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Avanti Fontana, C.F,. C.C., Ph.D ( )

Penguji : Niken Ardiyanti, S.Psi., M.Psi

Penguji : Dra.Siti Basrochah, M.Kom

Ditetapkan di : Depok Tanggal

: 15 Juli 2016

ABSTRAK

Nama : Dede Puad Mansur Program Studi : Manajemen Judul Skripsi : Pengaruh Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik, Pola Pikir,

Budaya Serta Kepemimpinan Kewirausahaan Terhadap Proses Inovasi : Studi Kasus UMKM di Depok Dan Jakarta Selatan

Penelitian ini menggunakan model Strategic Entrepreneruship (SE) Model yang dikembangkan Ireland et al.(2003), yang menggabungkan manajemen stratejik dan kewirausahaan. Dalam perspektif SE, untuk meningkatkan daya saing diperlukan pengelolaan sumber daya secara stratejik yang membuahkan inovasi sebagai salah satu sumber keunggulan kompetitif. Namun sebelumnya, diperlukan pola pikir, budaya, dan kepemimpinan entrepreneurial sebagai prasyarat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola pikir, budaya, dan kepemimpinan entrepreneurial dan pengelolaan sumber daya secara stratejik terhadap inovasi pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Sebanyak 86 pemilik UMKM di Jakarta dan Depok dilibatkan dalam penelitian. Data yang diperoleh kemudian dioleh menggunakan metode Partial Least Square (PLS). Hasilnya diketahui bahwa budaya dan kepemimpinan entrepreneurial memberikan pengaruh paling signifikan terhadap inovasi pada UMKM.

Kata kunci : Budaya Kewirausahaan; Inovasi; Kepemimpinan Kewirausahaan; Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik ; Pola Pikir Kewirausahaan; Strategic Entrepreneurship Model .

ABSTRACT

Name : Dede Puad Mansur Study program : Management Title : The Influence of Managing Resources Strategically,

Entrepreneurial Mindset, Entreprenurial Culture, and Entreprenurial Leadership Towards Innovation Process : The Case of Micro, Small and Medium Enterprises In Depok And South Jakarta.

This study uses Strategic Entrepreneruship (SE) Model from Ireland et al.,(2003), that’s combined strategic management and entrepreneurship on its analysis. On SE

perspective, the ability to manage resources strategically and innovation is needed to build firm competitiveness. But in the other hand, firms need an entrepreneurial mindset, entrepreneurial culture, and entrepreneurial leadership as necessary condition. This study aims to investigate the effect of entrepreneurial mindset, entrepreneurial culture, entrepreneurial leadership and managing resources strategically on Small Medium Enterprise’s Innovation. Responses from 86 SME’s owners who resides in Jakarta and Depok was involved in the study. Data collection was analyzed using Partial Least Square (PLS) method. This study finds that entrepreneurial culture and leadership have the strongest effect on SME’s Innovation.

Keywords : Entpreneurial Culture, Innovation, Entrepreneurial Leadership, Managing Resources Strategically, Entreprenurial

Mindset, Strategic Entrepreneursship Model.

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Model Strategic Entrpreneurship Ireland et al.,(2003)………… .... 11 Gambar 2.4 : Tahap-tahap dalam Managing Rersoures Strategically ………….. 20 Gambar 2.5 : Rantai Nilai Inovasi …………………………………………......... 25 Gambar 3.1 : Model Penelitian …………………………………………….. ....... 28 Gambar 4.1 : Hasil Proses Bootstraping …………………................................... 54

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 : Perkembangan UMKM di Indonesia Tahun 1997-2012 ...................... 2 Grafik 1.2 : Persepsi Kewirausahaan di Indonesia tahun 2013 dan 2014 ................ 3

Daftar Lampiran

Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian……………………………………………….78 Lampiran 2 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Entrepreneurship Culture…………. 83

Lampiran 3 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Entrepreneurship Leadership ……. 85 Lampiran 4 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Enterpreneurship Mindset………….89 Lampiran 5 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Managing Resources Strategically .93 Lampiran 6 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Innovation …………………………...97 Lampiran 7 : Output Outer Model ………………………………...…………...101 Lampiran 8 : Output Inner Model……………………………………………………104

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan daya saing Usaha Kecil dan Menengah di kawasan ASEAN telah mendapat perhatian serius sebagaimana tertuang dalam cetak biru ASEAN Economic Community (AEC) pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 ASEAN di Singapura (2007) sebagai kelanjutan Bali Concord

II tahun 2003. Cetak biru AEC sendiri memuat empat tujuan sebagai pilar utama, salah satunya pertumbuhan ekonomi yang merata yang kemudian diterjemahkan kedalam dalam bentuk inisiatif pengembangan UKM.

Penelitian yang dilakukan ERIA (2014) menunjukkan peran penting Usaha Kecil dan Menengah dalam integrasi ekonomi di ASEAN mengingat 89-99 persen perusahaan yang terdaftar negara-negara ASEAN tergolong usaha kecil dan menengah. Di Indonesia, tidak hanya UKM, usaha mikro juga berperan serta dalam penyediaan lapangan kerja serta turut berkontribusi pada PDB. Data Badan Pusat Statistik tahun 2012 mencatat jumlah UMKM mendominasi 95 persen dari total unit bisnis yang ada. Pada tahun 1997 jumlah UMKM terdaftar lebih dari 39 juta unit. Jumlah ini terus mengingkat hingga pada tahun 2012, telah mencapai lebih dari 56 juta unit. Dari sisi serapan tenaga kerja, hingga tahun 2012, UMKM di Indonesia telah menyerap 107,7 juta tenaga kerja dengan menyediakan 97,2 % lapangan karyawanan. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) juga berperan penting di dalam meningkatkan ekonomi nasional karena sekitar 99 persen tenaga kerja bekerja di UMKM dan kontribusi UMKM pada Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 55 persen (Badan Pusat Statistik, 2012).

Asesmen oleh Ernst dan Young (2013) dalam Entrepreneurship Barometer 2013 menujukkan secara umum Indonesia memiliki budaya yang konservatif namun tetap mendukung kewirausahaan. Budaya konservatif tercermin dari performa inovasi yang rendah dimana inovasi yang dilakukan cenderung terlalu Asesmen oleh Ernst dan Young (2013) dalam Entrepreneurship Barometer 2013 menujukkan secara umum Indonesia memiliki budaya yang konservatif namun tetap mendukung kewirausahaan. Budaya konservatif tercermin dari performa inovasi yang rendah dimana inovasi yang dilakukan cenderung terlalu

Grafik 1.1: Pertumbuhan UMKM dan Jumlah Tenaga Kerja UMKM

Tahun 1997-2012

80 000 000 Jumlah Tenaga 60 000 000

Kerja UMKM 40 000 000

Jumlah UMKM 20 000 000

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Indonesia juga memiliki potensi kewirausahaan yang tinggi. Survey yang dilakukan Global Entrepreurship Monitor (GEM) pada tahun 2013 dan 2014 memperlihatkan potensi kewirausahaan melalui tiga indikator, yaitu: persepsi mengenai peluang ( perceived opportunities), persepsi mengenai kemampuan ( perceived capabilities ,) dan keberadaan seseorang yang dikenal sebagai figur entrepreneur ( role model). Indonesia memiliki perceived opportunity yang tinggi dimana 47 persen dari penduduk usia kerja (usia 18 sampai dengan 64 tahun)

melihat kesempatan bagus untuk memulai usaha di sekitar mereka. Perceived

capability penduduk usia kerja juga tergolong tinggi dimana 62 persen percaya bahwa mereka memiliki keterampilan, pengetahuan dan pengalaman untuk memulai bisnis baru. Pada survey tahun 2014, meski menunjukkan penurunan perceived opportunity menjadi 45,5 persen dan perceived capabilities 60,2 persen,

Indonesia masih lebih baik dari pada rata-rata negara-negara ASEAN ( Perceived Opportunity 39,7 persen serta Perceived Capabilities 49,1 persen). Sementara itu, indikator Role model ukuran persepsi orang dewasa berusia antara 18 dan 64 tahun yang mengenal seseorang yang memiliki usaha secara personal dalam 2 tahun terakhir. Survey GEM (2013) menujukkan 67 persen penduduk usia produktif mengenal/memiliki relasi dengan orang-orang yang memilki bisnis .

Grafik 1.2: Persepsi kewirausahaan Indonesia dan ASEAN 2014

Sumber : ASEAN Regional Entrepreneurship Report tahun 2014 dan 2015 telah diolah kembali

Terlepas dari potensi kewirausahaan yang dimiliki, perkembangan UMKM di Indonesia masih mengalami beberapa permasalahan. Menurut AI-Qirim (dalam Halim, et al. 2014) kebanyakan UMKM miskin akan sumber daya di bidang keuangan serta keterampilan akan teknologi informasi (IT/IS). Ditambah lagi, dalam perkembangannya, UMKM di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan antara lain produktivitas yang rendah serta akses pendanaan dan pasar yang terbatas, serta share ekspor yang menurun (Hartanto, et al. 2013). Berbagai keterbatasan mengakibatkan UMKM cenderung memiliki daya saing yang rendah dibanding perusahaan besar. Banyak perusahaan mikro, kecil dan menengah yang mengalami kegagalan dalam usia yang prematur.

Hubeis dan Lupioyadi (2004 dalam Halim, et al. 2014) menemukan hampir

80 persen perusahaan baru di Indonesia gagal pada 5 tahun pertama. Temuan Hubeis dan Lupioyadi tidak jauh berbeda dengan temuan Wirasasmita (1998 dalam Suryana, 2002) sebelumnya yang menemukan bahwa tingkat kegagalan UKM dalam 5 tahun pertama berbisnis sekitar 79 persen. Al Qirim (2010) juga menemukan kurang dari 25 persen Usaha Kecil dan Menengah yang mampu 80 persen perusahaan baru di Indonesia gagal pada 5 tahun pertama. Temuan Hubeis dan Lupioyadi tidak jauh berbeda dengan temuan Wirasasmita (1998 dalam Suryana, 2002) sebelumnya yang menemukan bahwa tingkat kegagalan UKM dalam 5 tahun pertama berbisnis sekitar 79 persen. Al Qirim (2010) juga menemukan kurang dari 25 persen Usaha Kecil dan Menengah yang mampu

Fontana (2010) menggarisbawahi dua jalur solusi yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kewirausahaan di Indonesia. Pertama jalur institusional, yaitu dengan menciptakan sinergisitas pemerintah dan jajarannya. Kedua adalah faktor individu yaitu dengan meningkatan pendidikan kewirausahaan sejak dini melalui pendidikan formal dan pendidikan informal di keluarga. Namun di sisi lain, kedua solusi ini belum dapat dilakukan dengan baik, sehingga UMKM masih bergelut dengan kinerja yang rendah.

Penelitian yang dilakukan Wahyuningrum, et al. (2014) terhadap UMKM di Depok memberikan gambaran bagaimana sinergisitas UMKM dengan pemerintah belum maksimal. Dari faktor individu, Wahyuningrum, et al. (2014) menyimpulkan bahwa penyebab utama rendahnya kinerja UMKM adalah rendahnya kemampuan manjerial pemilik serta dari kurangnya etos kerja, motivasi dan pengembangan diri, lambatnya proses pembelajaran, serta sistem rekrutmen yang belum baik, yang berimbas permasalahan lain seperti metode produksi, material, lingkungan kerja serta pengukuran kualitas yang belum jelas. Melalui analisis Importance Performance Analysis (IPA) yang dilakukan terungkap bahwa pengembangan sumber daya memamg diakui sebagai hal yang penting, tetapi memperoleh prioritas yang rendah.

Tabel 1.1 Hasil Importance Performance Analysis UMKM di Depok

No. Prioritas Utama

Prioritas Rendah

1 Sarana dan Prasarana,

Laporan keuangan,

2 Standar Mutu, Standar pelaksanaan produksi, 3 Budaya Organisasi,

Administrasi SDM,

4 Pencatatan Keuangan Harian Pelatihan SDM, 5 Rencana jangka menengah

Visi dan misi usaha yang terdokumentasi, 6 Sistem Pengendalian Mutu.

Struktur organisasi formal. 7 Rencana Jangka Panjang

Sumber : Wahyuningrum, et al. (2014)

Pentingnya kualitas individu juga diungkapkan Samir dan Larso (2011) yang meneliti UKM kuliner di Bandung. Menurut Samir dan Larso, Manajemen Sumber Daya Manusia serta modal psikologis, yang terdiri atas self-efficacy , optimisme, harapan serta daya tahan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja UMKM. Sementara itu Halim et al. (2014) melalui studi eksporasinya juga mengidentifikasi bahwa kapablitas pemilik serta proses staffing berperan signifikan terhadap daya tahan UMKM dalam melewati 5 tahun pertamanya.

Dari sisi institusi, yang berkaitan dengan kerja sama dan pembinaan dari pemerintah, penelitian Wahyuningrum, et al. (2014) juga mengungkapkan bahwa UMKM telah sering mendapat pelatihan-pelatihan dari pemerintah kota. Tetapi banyaknya pelatihan yang diberikan tidak dibarengi dengan pendampingan dan evaluasi yang jelas untuk memastikan aplikasi pelatihan secara efektif. Dalam pelatihan SDM misalnya, terlihat dari analisis IPA bahwa pihak mengetahui bahwa kinerja kualitas dan pengelolaan SDM masih rendah, namun belum menganggap hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang penting untuk diperbaiki karena tidak memberikan dampak langsung dan signifikan. Padahal sebagaimana menurut Totana yang dikutip Ancok (2003 dalam Wahyuningrum, et al. 2014) perusahaan dengan pengelolaan yang berbeda dapat menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Dengan kata lain, kinerja yang lebih baik dapat diperoleh bila pengelolaan dilakukan oleh orang-orang dengan kemampuan yang lebih baik, meskipun dengan sumber daya yang sama.

Analisis Wahyuningrum, et al. (2014) juga menunjukkan rendahnya perhatian terhadap visi dan misi. Padahal belum mantapnya visi dan misi mengakibatkan prospek pengembangan usaha belum jelas, serta menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara fokus sehingga mengalami stagnasi (Ishak 2005 dalam Sudaryanto, et al. 2011). Laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2014 juga mengungkapkan rendahnya minat pengembangan usaha pada entrepreneur di Indonesia dimana hanya 4 persen wirausahawan yang memiliki komitmen jelas untuk terus mengembangkan bisnisnya. Sementara mayoritas dari mereka membangun usaha hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan ( cash generator ).

Meski berhasil mengidentifikasi peluang-peluang bisnis, para wirausahawan cenderung mengeksploitasinya untuk kepentingan jangka pendek dari pada untuk membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Ireland, et al. 2003). Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mampu menemukan peluang-peluang belum mampu memanfaatan peluang tersebut menjadi keunggulan kompetitif dan membangun daya saing. Di sisi lain perusahaan-perusahaan yang telah cukup stabil memiliki kemampuan stratejik yang memadai tetapi kapasitas mereka untuk berinovasi dan mengambil risiko terbatas oleh struktur, sistem serta proses dalam organisasi yang telah baku (Mintzberg 1979 dalam Kyrgidou, 2010), sehingga kurang fleksibel untuk mengejar peluang-peluang bisnis baru.

Berangkat dari keterbatasan tersebut, Ireland, et al. (2003) mengajukan model Strategic Entrepreneurship (selanjutnya disingkat SE) melalui penggabungkan perilaku pencarian peluang ( opportunity-seeking , yang menjadi inti dari entreprenuership ) serta perilaku pencarian kunggulan ( advantage-seeking , yang menjadi inti manajemen stratejik) secara simultan. Model SE terdiri dari dua elemen penting. Pertama, perilaku opportunity-seeking yang diwujudkan dalam kepemimpinan kewirausahaan ( entrepreneurial leadership), budaya kewirausahaan ( entrepreneurial culture), dan pola pikir kewirausahaan ( entrepreneurial mindset) . Sementara elemen kedua merupakan perilaku advantage-seeking yang diwujudkan dalam inovasi dan pengelolaan sumber daya secara stratejik ( managing resources strategically) (Chai dan Li Sa, 2016).

Melalui model SE yang dibangun, Ireland, et al. (2003), yang kemudian disempurnakan Kyrgidou dan Hughes (2010) serta Hitt, et al. (2011) menunjukkan bahwa melalui pengelolaan sumber daya secara stratejik, sumber daya organisasi (budaya dan kepemimpinan) berupa pola pikir kewirausahaan ( entrepreneurial mindset) dan, perusahaan dapat mengelola sumber daya secara stratejik serta mewujudkan kreatifitas melalui inovasi yang pada akhirnya menciptakan keunggulan kompetitif, bahkan mampu memberikan manfaat ( benefit ) bagi individu, organisasi hingga pada sosietas.

Aplikasi SE pada UMKM sangat diperlukan guna membantu pengelolaan sumber daya yang terbatas dengan lebih terarah. Dengan demikian, meski menghadapi berbagai keterbatasan, UMKM dapat terus mengembangkan diri dan Aplikasi SE pada UMKM sangat diperlukan guna membantu pengelolaan sumber daya yang terbatas dengan lebih terarah. Dengan demikian, meski menghadapi berbagai keterbatasan, UMKM dapat terus mengembangkan diri dan

UMKM di Indonesia masih memiliki kekurangan antara lain dalam kemampuan menemukan peluang usaha, budaya kewirausahaan, kepemimpinan kewirausahaan, ketersediaan pasar, tingkat pendidikan, ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi, dan kemampuan berinovasi (Fontana, 2010). Oleh karena itu nantinya, penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk melihat pengaruh antar variabel satu dengan yang lainnya dalam model SE, tetapi juga dalam analisisnya juga membahas kondisi variabel-variabel dalam SE dalam konteks UMKM yang dilibatkan dalam penelitian.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, penelitian ini merumuskan permasalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah Entrepreneurial Mindset (EM) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) ?

2. Apakah Entrepreneurial Culture (EC) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) ?

3. Apakah Entrepreneurial Leadership (EL) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) ?

4. Apakah Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) berpengaruh positif terhadap Inovasi (INN) ?

5. Apakah Entrepreneurial Culture (EC) berpengaruh positif terhadap Inovasi (INN) ?

6. Apakah Entrepreneurial Leadership (EL) berpengaruh positif terhadap Inovasi (INN) ?

7. Apakah Entrepreneurial Mindset (EM) berpengaruh positif terhadap Entrepreneurial Culture (EC) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh pola pikir kewirausahaan terhadap pengelolaan sumber daya secara stratejik di UMKM;

2. Mengetahui bagaimana pengaruh budaya kewirausahaan terhadap pengelolaan sumber daya secara stratejik di UMKM;

3. Mengetahui pengaruh kepemimpinan kewirausahaan terhadap pengelolaan sumber daya secara stratejik UMKM;

4. Mengetahui pengaruh pengelolaan sumber daya secara stratejik terhadap inovasi di UMKM;

5. Mengetahui pengaruh kepemimpinan kewirausahaan terhadap inovasi UMKM;

6. Mengetahui pengaruh kepemipinan kewirausahaan terhadap inovasi UMKM;

7. Mengetahui pengaruh pola pikir kewirausahaan terhadap budaya kewirausahaan UMKM.

1.4 Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak-pihak sebagai berikut.

a. Peneliti

Sebagai sarana untuk mengintegrasikan pengetahuan serta keahlian yang didapat selama masa perkuliahan dan menggunakannya untuk mengkaji serta memberikan masukan perbaikan pada permasalahan yang nyata.

b. Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahkan titik tolak untuk pengembangan penelitian di bidang Strategic Entrepreneurship (SE) berikutnya mengingat SE masih banyak menyisakan ruang untuk dikaji lebih jauh.

c. Pihak yang diteliti

Hasil temuan penelitian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atau pun masukan mengenai pengembangan kewirausahaan dari perspektif SE, yakni dari Hasil temuan penelitian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atau pun masukan mengenai pengembangan kewirausahaan dari perspektif SE, yakni dari

d. Pemerintah

Bagi pemerintah penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi perancangan program-program pemberdayaan UMKM yang dilakukan.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam melakukan pembahasan, penelitian ini menggunakan sistematika sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan

penulisan, manfaat penelitian serta kerangka dan hipotesis penelitian. BAB II TINJAUAN LITERATUR Bagian ini berisi pembahasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang

menjadi landasan penelitian serta penelitian lain yang relevan. BAB III DESAIN PENELITIAN Bab ini menjelaskan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, serta prosedur

analisis yang digunakan dalam pengolahan data. BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN Memaparkan hasil penelitian yang dilakukan serta analisis pengolahan data dan

pengujian hipotesis penelitian. BAB V PENUTUP Bab terakhir yang memuat bahasan mengenai kesimpulan, keterbatasan serta saran

bagi penelitian berikutnya.

BAB 2 STUDI LITERATUR

2.1 Strategic Entrepreneurship ( SE)

2.1.1 Definisi Model SE

Entrepreneurship didefinisikan sebagai kultur organisasi yang memperkaya wealth melalui inovasi dan eksploitasi peluang (Nasution et al. 2011 dalam Ndubisi dan Iftikhar, 2012), yang diwujudkan melalui pengenalan produk-produk baru ke pasar dan pengambilan risiko dengan menggunakan sumber daya untuk aktifitas dengan outcomes yang tidak menentu (Lumpkin dan Dess, 2001 dalam Ndubisi dan Iftikhar, 2012), serta memenuhi kebutuhan dan permintaan dengan menginisiasi inovasi (Ozer dan Topaloglu, 2007 dalam Dogan, 2015). Kaodan Stevenson (2008 dalam Saifan, 2012) mendefinisikan entrepreneurship sebaga upaya untuk menciptakan nilai melalui pemanfaatan peluang-peluang bisnis.

Strategic management menekankan pengambilan keputusan melalui pengelolaan sumber daya dalam kerangka struktur, sistem serta proses dalam organisasi (Kyrgidou dan Hughes, 2010). Pengambilan keputusan dilakukan melalui serangkaian pertimbangan yang komprehensif yang meliputi formulasi, implementasi hingga evaluasi keputusan (David, 2011), dimana seluruh upaya- upaya diarahkan untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

Konsep Strategic Entrepreneurship (SE) pertama kali diperkenalkan sebagai interseksi antara entrepreneurship dan strategy, yang kemudian oleh Hitt et al., (2001) dikembangkan menjadi integrasi konsep keduanya yang sekaligus menjadikan SE sebagai bidang kajian tersendiri. Beberapa definisi SE telah dikemukakan para peneliti. Menurut Kyrgidou dan Hughes (2010), SE merupakan eksploitasi peluang melalui upaya stratejik terukur yang memfasilitasi perusahaan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dengan potensi tertingginya. Sedangkan menurut Ireland, et al. (2001 dalam Ireland ,et al. 2003) SE melibatkan pengambilan tindakan-tindakan entrepreneurial dengan perspektif stratejik. Hitt, et Konsep Strategic Entrepreneurship (SE) pertama kali diperkenalkan sebagai interseksi antara entrepreneurship dan strategy, yang kemudian oleh Hitt et al., (2001) dikembangkan menjadi integrasi konsep keduanya yang sekaligus menjadikan SE sebagai bidang kajian tersendiri. Beberapa definisi SE telah dikemukakan para peneliti. Menurut Kyrgidou dan Hughes (2010), SE merupakan eksploitasi peluang melalui upaya stratejik terukur yang memfasilitasi perusahaan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dengan potensi tertingginya. Sedangkan menurut Ireland, et al. (2001 dalam Ireland ,et al. 2003) SE melibatkan pengambilan tindakan-tindakan entrepreneurial dengan perspektif stratejik. Hitt, et

Ireland, et al. (2001 dalam Luke, 2011) mengidentifikasi enam domain dimana manajemen stratejik dan entrepreneurship dapat dilakukan secara simultan. Domain tersebut yaitu : innovation (penggalian dan implementasi ide); networks

yang berkaitan dengan pengelolaan akses pada sumber daya ; internationalisation (adaptasi dan pengembangan usaha); organisational learning (transfer dan pengelolaan pengetahuan); growth ; serta top management teams and governance (pemilihan dan efektifitas implementasi strategi). Meski merupakan penggabungan Manajemen Stratejik dan Entrepreneurship , SE memberikan penekanan yang lebih pada sisi stratejik yang dianggap sebagai inti dari entrepreneurship (Luke, et al, 2011).

Model SE terus mengalami perkembangan seiring dengan banyaknya penelitian yang dilakukan. Namun, terlepas dari perkembangan teori SE, model konseptual yang pertama dibentuk oleh Ireland, et al. (2003). Terdapat empat dimensi utama dalam model Ireland, et al. (2003) yaitu (1) Pola pikir, budaya dan

kepemimpinan entrepreneurial ( entrepreneurial mindset culture, and leadership ); (2) strategic management of organizational resources , (3) application of creativity , serta (4) pengembangan inovasi (Hitt, et al. 2011).

Hughes dan Kyrgidou (2010) kemudian menyempurnakan model SE Ireland, et al. (2003) dengan memberikan modifikasi yang dianggapnya mampu menutupi beberapa keterbatasan model, misalnya SE yang didefinisikan sebagai penggabungan yang simultan antara entrepreneurship dan strategic management, model dianggap justru menggambarkan linearitas dimana entrepreneurship dan strategic management dilakukan dalam ‘episode’ berbeda secara berurutan.

Gambar 2.1 : Model Strategic Entrepreneurship

Entrepreneurial Mindset

Competitive Creation

Entrepreneurial Culture and Leadership

Sumber : Ireland, et al. (2003)

Meski model SE mengalami beberapa kali pengembangan Ireland, et al. (2003), Kyrgidou dan Hughes (2010) serta Hitt, et al. (2011), sejatinya komponen SE tidak mengalami perubahan komponen. Hal ini salah satunya dikarenakan pengembangan dalam literatur SE telah bergeser dari model menjadi fokus pada detail konspetual (Luke, at al. 2010), sehingga komponen model SE praktis tidak mengalami perubahan.

2.1.2 Entrepreneurial Mindset Entrepreneurial mindset merupakan cara berpikir tentang bisnis yang fokus untuk menangkap keuntungan (benefit) dalam ketidakpastian (Mc Grath dan Mac Millan, 2000 dalam Ireland, et al .2003). Ireland, et al. (2003) mendefinisikan entrepreneurial mindset sebagai perspektif yang berorientasi pada pertumbuhan (growth-oriented perspective) dimana individu menujukkan fleksibilitas, kreatifitas, inovasi yang berkesinambungan serta pembaharuan. Pola pikir entrepreneurial memastikan individu dan organisasi memantau peluang-peluang yang muncul di lingkungan bisnisnya. Pola pikir ini kemudian dapat terlihat dari sikap yang ditunjukkan orang-orang dalam organisasi. Menurut Ireland, et al. (2003) entreprenuerial mindset terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut.

2.1.2.1 Recognizing Opportunity Entrepreneurship diasosiasikan dengan pengenalan sesuatu yang baru ke

pasar (Davidsson, 2006 dalam Luke, et al. 2011), sehingga organisasi perlu mencari pasar (Davidsson, 2006 dalam Luke, et al. 2011), sehingga organisasi perlu mencari

2.1.2.2 Entrepreneurial Alertness Merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi produk atau jasa apa yang

feasible mengacu pada peluang yang tersedia. Menurut Tang, et al. (2010), entreprenuerial alertness memiliki 3 dimensi yang komplementer : pemindaian dan pencarian informasi baru ( scanning and searching for new information ), connecting previously-disparate information , dimana informasi baru yang didapat dikombinasikan dengan pengetahuan dan informasi yang telah lebih dulu diperoleh. Hasil kombinasi ini dapat memuncukan beberapa pilihan yang mungkin dilakukan. Dimensi ketiga adalah evaluasi dan judgement yang menurut Tang, et al. (2010) merupakan elemen yang paling penting dari entrepreurial alertness . Evaluasi dilakukan terhadap sejumlah kemungkinan yang berhasil diidentifikasi sebelumnya untuk kemudian ditentukan apakah peluang tersebut akan dimanfaatkan atau tidak. Mc Mullen dan Shepherd (2006 dalam Tang, et al. 2010) membagi evaluasi dan judgement ini kedalam 2 tahapan. Tahapan pertama yaitu attention and third-person opportunity , tahap dimana perusahaan mengidentifikasi peluang serta kapabilitas apa yang diperlukan. Tahapan kedua yaitu evaluation and first-person opportunity, merupakan tahap dimana entrepreneur berusaha mencapai kapabilitas tersebut agar mampu dengan sepenuhnya mengeksploitasi peluang.

2.1.2.3 Real Options Logic Perusahaan mengidentifikasi jenis produk/jasa yang dipandang prospektif

disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, baik dari aspek finansial, sosial, hukum, dan sebagainya. Pemilihan peluang yang tepat menurut Ireland, et al. (2003) akan meminimalisir pemborosan sumber daya serta dapat meningkatkan kosentrasi pada peluang yang paling penting.

2.1.2.4 Entreprenuerial Framework Dimensi ini meliputi tindakan-tindakan seperti penetapan tujuan, serta

penentuan waktu yang tepat untuk mengeksploitasi peluang (Ireland, et al. 2003). Pada tahapan ini aspek manajemen stratejik sangat dominan dilakukan agar upaya- upaya pemanfaatan peluang dapat dilakukan secara efektif.

2.1.2.5 Opportunity register Sebagaimana Ireland, et al. (2003) dan Luke, et al. (2010) yang menekankan

pertumbuhan serta keunggulan kompetitif dalam jangka panjang, dokumentasi sangat diperlukan agar peluang dapat dimanfaatkan lintas waktu serta antar bagian organisasi. Dengan cara ini, menurut Ireland, et al. (2003) peluang yang telah teridentifikasi salah satu bagian/divisi dapat dieksploitasi oleh bagian lain dengan lebih baik.

2.1.3 Entrepreneurial Culture Budaya organisasi merupakan sistem dari sebuah nilai bersama yang diyakini (shared value) dan kepercayaan yang membentuk struktur perusahaan dan tindakan anggota-anggotanya untuk menciptakan norma perilaku/ behavioral norms (Dess dan Picken, 1999 dalam Ireland, et al. 2003).

Menurut Ireland, et al. (2003), budaya entrepreneurial perusahaan dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut.

2.1.3.1 New ideas and creativity are expected

Ketika menghadapi permasalahan atau tantangan baru, secara umum terdapat kecenderungan untuk mengandalkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu untuk memperoleh solusi (Liao, at al. 2008). Namun, menghadapi lingkungan yang kompleks serta kompetisi yang semakin ketat, diperlukan solusi-solusi yang inovatif melalui ide-ide yang kreatif. Budaya kewirausahaan dalam sebuah organisasi mendukung lahirnya ide-ide kreatif dari semua elemen organisasi. Namun untuk dapat melakukannya diperlukan kondisi internal yang mendukung. Menurut Mc Guire (2003) komunikasi yang terbuka ( open communication ), kerja sama ( cooperation ), serta adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat bagi karyawan ( voice ) merupakan bagian dari budaya kewirausahaan.

2.1.3.2 Risk taking Orang-orang dalam organisasi diperbolehkan untuk mengambil risiko sesuai dengan wewenang dan tugasnya masing-masing. Budaya entrepreneur tercermin dari bagaimana organisasi menyikapi risiko dan bersikap kepada orang-orang yang mengambil risiko serta kegagalan yang dialami (Mc Guire, 2003).

2.1.3.3 Failure is tolerated Dalam budaya kewirausahaan, kegagalan dipandang sebagai kesempatan untuk belajar lebih baik. Dalam survey Ernst dan Young (2013), Indonesia digolongkan memiliki budaya kewirausahaan yang konservatif, namun tetap suportif untuk berwirausaha. Inovasi mendapat prioritas yang rendah, ditandai dengan rendahnya alokasi sumber daya untuk pengembangan dan penciptaan produk/jasa yang baru. Namun, di sisi lain, mayoritas masyarakat Indonesia memandang kegagalan sebagai peluang pembelajaran, sehingga kegagalan dipandang bukan sebagai akhir melainkan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

2.1.3.4 Learning is promoted

Merupakan budaya dimana semua orang dalam organisasi didorong untuk terus belajar dan mengembangkan diri, baik melaui sumber pembelajaran yang berasal dari internal maupun dari organisasi. Dalam skala organisasi, budaya entrepreneurial erat dengan organizational learning. Menurut March, et al. (1988) organisasi pembelajar memeroleh sumber pembelajarannya baik dari pengalaman langsung ( direct experience ) serta pengalaman pihak lain ( experience of others ). Tidak hanya itu, menurut March, et al. (1988) organisasi juga perlu membangun kerangka konseptual atau paradigma bagaimana menerjemahkan pengalaman tersebut untuk kepentingannya.

2.1.3.5 Product, process and administrative innovations are championed. Inovasi bukan hanya mengenai ide, tetapi juga mengenai bagaimana mengenali ide-ide baru yang potensial untuk diterapkan (Burkus, 2013). Sering kali ide-ide baru yang muncul dari karyawan tidak tereksploitasi, baik karena sistem komunikasi yang downward maupun karena organisasi yang terlalu mekanistis. Oleh karena itu, inovasi yang digalakan tidak hanya dalam tataran produk dan 2.1.3.5 Product, process and administrative innovations are championed. Inovasi bukan hanya mengenai ide, tetapi juga mengenai bagaimana mengenali ide-ide baru yang potensial untuk diterapkan (Burkus, 2013). Sering kali ide-ide baru yang muncul dari karyawan tidak tereksploitasi, baik karena sistem komunikasi yang downward maupun karena organisasi yang terlalu mekanistis. Oleh karena itu, inovasi yang digalakan tidak hanya dalam tataran produk dan

2.1.3.6 Continuous change is viewed as a conveyor of opportunities Budaya entrepreneurship dalam organisasi menciptakan pandangan terhadap perubahan secara positif. Perubahan dipandang sebagai sarana

menciptakan peluang-peluang baru yang dapat memberikan keuntungan bagi organisasi. Sebaliknya, budaya non-entrepreneurial memberikan pandangan yang negatif terhadap perubahan sehingga organisasi cenderung antipati dan resisten terhadap perubahan, bahkan jika itu benar-benar mendesak dilakukan.

2.1.4 Entrepreneurial Leadership Meski memiliki berbagai definisi, kepemimpinan secara umum

didefinisikan sebagai sebuah proses aktif seseorang dalam menggunakan pengaruhnya kepada satu orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu (O’Neil,

2008). Dalam konteks entrepreneurial, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengatur sumber daya secara stratejik agar dapat melakukan pencarian peluang ( opportunity-seeking) serta memanfaatkannya menjadi keunggulan ( advantage-seeking behaviors) (Covin dan Slevin, 2002 dalam Ireland, et al. 2003). Pemimpin berperan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan risiko serta menyediakan ruang yang cukup bagi bawahannya untuk mencari peluang serta kemungkinan-kemungkinan baru selain dari pada karyawanan-karyawanan rutin.

Budaya dan kepemimpinan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan organisasi. Schein (2010) menyatakan budaya organisasi berasal dari

1) kepercayaan, nilai, serta asumsi dari pendiri, 2) pengalaman belajar para anggota organisasi serta 3) kepercayaan, nilai-nilai, serta asumsi baru yang dibawa pimpinan serta para anggota baru. Dalam hal ini, Schein (2010) menekankan hubungan yang erat antara karakteristik pendiri/pimpinan yang tercermin dari nilai- nilai, kepercayaan, serta asumsi dengan budaya yang terbentuk.

Ireland, et al. (2003) mengidentifikasi terdapat enam karakeristik dari kepemimpinan kepemimpinan kewirausahaan, yaitu :

2.1.4.1 Nourish an entrepreneurial Capability Human capital adalah sumber perilaku Strategic Entrepreneurship (Ireland, et al. 2003), sehingga keberhasilan aplikasi SE ditopang oleh kapabilitas sumber daya manusia yang melakukannya. Seorang Entreprenurial leader, berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan tidak hanya dirinya saja, tetapi juga karyawan- karyawannya, baik keterampilan dan kemampuan manajerial untuk dapat mengelola sumber daya secara stratejik.

2.1.4.2 Protect innovations threatening the current business

Budaya dan kepemimpinan memiliki keterkaitan yang erat. Budaya kewirausahaan yang mendukung inovasi tidak akan tercipta tanpa intervensi pimpinan yang membentuk budaya tersebut. Inovasi, terutama yang tergolong disruptive innovation sering ancaman baik bagi karyawan secara pribadi maupun pada organiasi. Kondisi ini menurut Liao, et al. (2008) dapat menciptakan kelembaman pengetahuan (knowledge inertia ) dimana organisasi menolak belajar hal baru dan cenderung bergantung sepenuhnya pada pakem-pakem yang sudah

ada. Kepemimpinan kewirausahaan yang efektif membagi informasi dengan anggota organisasi secara terbuka (Ireland, et al. 2003) bahwa inovasi dapat memberikan keuntungan bagi individu dan organisasi secara keseluruhan.

2.1.4.3 Make sense of opportunities Anggota organisasi akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya jika mereka juga dilibatkan secara aktif dalam upaya mengeskploitasi peluang baru, misalnya untuk menjangkau konsumen baru yang potensial. Seorang entrepreneurial leaders mampu menyampaikan nilai dari peluang tersebut serta bagaimana peluang tersebut bermanfaat bagi organisasi serta bagi individu (Ireland, et al. 2003).

2.1.4.4 Question the dominant logic Dominant logic menggambarkan bagaimana pemimpin mengkonsepsikan (Prahalad dan Bettis, 1986 dalam Ireland, et al. 2003). Govindarajan (2012) menggunakan istilah institutionalized thinking, yaitu pemikiran yang sudah melembaga dan mendasari seluruh tindakan dan keputusan bisnis yang diambil. Dominant logic berpotensi menimbulkan masalah karena dapat membuat seorang 2.1.4.4 Question the dominant logic Dominant logic menggambarkan bagaimana pemimpin mengkonsepsikan (Prahalad dan Bettis, 1986 dalam Ireland, et al. 2003). Govindarajan (2012) menggunakan istilah institutionalized thinking, yaitu pemikiran yang sudah melembaga dan mendasari seluruh tindakan dan keputusan bisnis yang diambil. Dominant logic berpotensi menimbulkan masalah karena dapat membuat seorang

2.1.4.5 Revisit the “deceptively simple questions ” Untuk memastikan perusahaan berada dalam jalur yang diinginkan, entrepreneurial leader perlu menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan mendasar seperi, tujuan perusahaannya, bagaimana keberhasilan diukur serta potensi pasar yang sedang ia masuki (Ireland, et al. 2003). Pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan untuk menjaga perusahaan berada dalam jalur yang direncanakan.

2.1.4.6 Link entrepreneurship and strategic management

Entrepreneurship leader menyatukan manajemen stratejik dengan entrepreneurship melalui pengelolaan sumber daya yang stratejik. Menurut Ireland, et al. (2003), keksuksesan manajemen stratejik dengan entrepreneurship tercapai saat pemimpin dapat mendukung terciptanya budaya yang menunjang pengelolaan sumber daya secara stratejik dalam organisasinya.

2.2 Managing Resources Strategically Pengelolaan sumber daya menjadi penting saat organisasi dihadapkan pada persaingan dimana masing-masing pihak memperkuat dirinya untuk dapat bertahan atau bahkan mengungguli kompetitornya. Dalam kewirausahaan, kreatifitas masih menjadi inti tetapi fokus juga diberikan pada upaya peningkatan skil dan sumber daya yang tersedia.

Wernerfelt (1984) menggeser paradigma mengenai keunggulan kompetitif organisasi yang semula bertumpu pada sisi produksi menjadi pada sisi sumber daya. Analisis competitive advantage organisasi tidak lagi bertumpu pada seberapa banyak produk yang dihasilkan, tetapi lebih kepada seberapa banyak sumber daya yang dimiliki dan bisa dikendalikan perusahaan. Dalam RBV, terdapat dua asumsi sebagai landasan : (1) resource heterogeneity , bahwa perusahaan yang bersaing memiliki atau mampu mengontrol sejumlah ( bundles ) sumber daya yang berbeda dan (2) resource immobility , bahwa adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki Wernerfelt (1984) menggeser paradigma mengenai keunggulan kompetitif organisasi yang semula bertumpu pada sisi produksi menjadi pada sisi sumber daya. Analisis competitive advantage organisasi tidak lagi bertumpu pada seberapa banyak produk yang dihasilkan, tetapi lebih kepada seberapa banyak sumber daya yang dimiliki dan bisa dikendalikan perusahaan. Dalam RBV, terdapat dua asumsi sebagai landasan : (1) resource heterogeneity , bahwa perusahaan yang bersaing memiliki atau mampu mengontrol sejumlah ( bundles ) sumber daya yang berbeda dan (2) resource immobility , bahwa adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki

Pengelolaan sumber daya secara stratejik menurut Sirmon, et al. (2007 dalam Hitt, et al. 2009) merupakan proses komprehensif yang meliputi penataan sumber daya ( structuring a firm’s resource portfolio), bundling the resources to build capabilities, serta leveraging capabilities.

Gambar 2.4 : Tahap-tahap dalam Managing Rersoures Strategically

Structuring The Resource

Leveraging Capabilities Portfolio

Bundling Resources

Sumber : Ireland, et al. (2003)

2.2.1 Structuring The Resource Portfolio Resource portfolio merupakan kumpulan dari semua sumber daya tangible (finansial) dan intangi ble (social dan human capital) yang dimiliki dan dikontrol oleh perusahaan (Dierickx dan Cool, 1989; Makadok, 2001 dalam Ireland, et al. 2003). Penataan (structuring) portofolio sumber daya melibatkan proses akuisisi (acquiring), akumulasi dan menghilangkan (deleting) sumber daya (Hitt, et al. 2009). Penataan ini memungkinkan perusahaan mengetahui dimana kekurangan dan atau kelebihan sumber daya yang dimiliki yang dalam perspektif RBV juga mencerminkan kunggulan kompetitif perusahaan. Disamping itu, penataan sumber daya tidak hanya tentang menambah atau mengurangi semata. Lebih dari itu, nilai dari sumber daya, baik itu nilai terkininya ( present value) maupun nilainya di masa depan ( future value ) juga harus menjadi pertimbangan karena tanpa pemahaman terhadap nilai dari sumber daya tersebut, perusahaan akan kesulitan membangun keunggulan kompetitif (Ireland, et al. 2003).

2.2.2 Bundling Resources Bundling mengacu pada proses pengintegrasian sumber daya untuk membangun kapabilitas (Hitt, et al. 2009). Proses bundling terdiri atas (1) stabilizing , atau penambahan/peningkatan minor terhadap kapabilitas yang sudah 2.2.2 Bundling Resources Bundling mengacu pada proses pengintegrasian sumber daya untuk membangun kapabilitas (Hitt, et al. 2009). Proses bundling terdiri atas (1) stabilizing , atau penambahan/peningkatan minor terhadap kapabilitas yang sudah

Tidak semua sumber daya dapat dijadikan sumber keunggulan kompetitif. Proses bundling menyeleksi sumber daya mana saja yang akan dimanfaatkan lebih jauh. Manajer harus memilih bagian dari sumber daya untuk di bundle untuk membangun kapabilitas yang dibutuhkan untuk berkompetisi secara efektif (Hitt, et al. 2009).

2.2.3 Leveraging Capabilities Leveraging melibatkan proses eksploitasi kapabilitas untuk memperoleh keuntungan dari peluang-peluang pasar tertentu (Hitt, et al. 2011). Proses eksploitasi yang dimaksud Ireland, et al. (2011) meliputi : (1) mobilizing , menyediakan rencana atau visi tentang kapabilitas apa yang dibutuhkan sebagai syarat melakukan konfiguasi kapabilitas, (2) coordinating , yaitu mengintegrasikan kapabilitas, (3) deploying, dimana peluang pasar atau strategi entrepreneurial di eksploitasi menggunakan kapabilitas yang sudah ada. Dalam tahap leveraging, peran skil, pengalaman, dan pengetahuan sangat penting. Kesuksesan leveraging sering kali berasal dari pengalaman, yang merupakan sumber utama dari pengetahuan tacit (Sirmon dan Hitt, 2003 dalam Ireland, et al. 2003).

Ireland et al. (2003) kemudian merinci jenis-jenis resources yang harus di kelola secara stratejik yaitu: (1) financia capital, berkaitan dengan segala bentuk sumber daya moneter yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi , (2) human capital , merupakan keahlian, pengalaman dan pengetahuan individu di dalam perushaan. Dengan lebih komprehensif, human capital didefinisikan sebagai kapabilitas, pengetahuan, keahlian dan pengalaman para karyawan dan manager perusahaan yang relevan dengan tugas-tugasnya dan serta kapasitas untuk menambah pengetahuan, skil dan pengalaman melalui pembelajaran individual (Dess dan Lumpkin, 2001: 26 dalam Ireland, et al. 2003). Human capital menjadi penting dikelola karena banyak pengetahuan dalam organisasi, terutama yang sifatnya tacit sulit untuk didokumentasikan. (3) social capital, merupakan kumpulan hubungan antara individu dan organisasi (external social capital) yang memfasilitasi tindakan (Hitt dan Lee, et al. 2002 dalam Ireland, et al. 2003). Modal sosial yang dimiliki organiasi Ireland et al. (2003) kemudian merinci jenis-jenis resources yang harus di kelola secara stratejik yaitu: (1) financia capital, berkaitan dengan segala bentuk sumber daya moneter yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi , (2) human capital , merupakan keahlian, pengalaman dan pengetahuan individu di dalam perushaan. Dengan lebih komprehensif, human capital didefinisikan sebagai kapabilitas, pengetahuan, keahlian dan pengalaman para karyawan dan manager perusahaan yang relevan dengan tugas-tugasnya dan serta kapasitas untuk menambah pengetahuan, skil dan pengalaman melalui pembelajaran individual (Dess dan Lumpkin, 2001: 26 dalam Ireland, et al. 2003). Human capital menjadi penting dikelola karena banyak pengetahuan dalam organisasi, terutama yang sifatnya tacit sulit untuk didokumentasikan. (3) social capital, merupakan kumpulan hubungan antara individu dan organisasi (external social capital) yang memfasilitasi tindakan (Hitt dan Lee, et al. 2002 dalam Ireland, et al. 2003). Modal sosial yang dimiliki organiasi

2.3 Inovasi

2.3.1 Pengertian Inovasi Inovasi sering dikaitkan dengan produk baru, temuan baru atau invensi, teknologi baru, cara baru, model baru, dan hal-hal lain yang berbau baru. Namun, terlepas dari bagaimana inovasi diasosiasikan, pertanyaan yang paling penting yang harus dijawab adalah apakah hal-hal baru tersebut berhasil menciptakan nilai guna bagi konsumen dan/atau pengguna, yang pada gilirannya juga memberikan nilai tambah bagi produsen (Fontana, 2010)

Beragamnya asosiasi terhadap inovasi juga berdampak terhadap beragamnya definisi mengenai apa itu inovasi. Berikut ini merupakan 12 definisi mengenai inovasi.

Tabel 2.1 : Definisi Inovasi

Item Deskripsi Menciptakan sesuau yang baru Merujuk pada inovasi yang menciptakan pergeseran paradigma dalam ilmu, teknologi, struktur pasar,keterampian, pengetahuan, dan kapabilitas. Menghasilkan hanya ide-ide baru Merujuk pada kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan baru, melihat suatu subyek dengan perspektif baru dan membentuk kombinasi- kombinasi baru dari konsep-konsep lama.

Menghasilkan ide, metode atau alat Merujuk pada tindakan menciptakan produk baru baru atau proses baru. Tindakan ini mencakup invensi dan karyawanan yang diperlukan untuk mengubah ide atau konsep menjadi bentuk akhir

(Lanjutan)

Item Deskripsi Memperbaiki sesuatu yang sudah Merujuk pada perbaikan barang atau jasa untuk ada produksi besar-besaran atau produksi komersial, atau perbaikan sistem. Menyebarkan ide-ide baru Menyebarkan dan menggunakan praktik-praktik baru di dunia.

Mengadopsi sesuatu yang baru yang Merujuk pada pengadopsian sesuatu yang baru atau sudah dicoba secara sukses ditempat yang secara signifikan diperbaiki, yang dilakukan

lain oleh organisasi untuk menciptakan nilai tambah, baik secara langsung untuk organisasi maupun secara tidak langsung untuk konsumen.

Melakukan sesuatu dengan cara Melakukan tugas dengan cara yang berbeda secara

yang baru radikal Mengikuti pasar Merujuk pada inovasi yang berbasiskan kemauan pasar Melakukan perubahan Melakukan

perubahan-perubahan yang memungkinkan adanya perbaikan Menarik orang-orang inovatif Menarik/merekrut

mempertahankan kepemimpinan dan manajemen talenta dan manajemen manusia ( people management ) untuk memandu jalannya inovasi

dan

Melihat sesuatu dari perspektif yang Melihat suatu masaah dari sudut pandang yang