HUBUNGAN PENDIDIKAN PELATIHAN DAN PENGALAMAN MENGAJAR TERHADAP PROFESIONAL GURU SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 6 BANDUNG.

(1)

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3. Paradigma penelitian ... 4

1.4. Analisis Masalah dan Defenisi Operasional ... 7

1.5. Pembatasan Masalah ... 9

1.6. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.7. Metode Penelitian ... 10

1.8. Kerangka Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan ... 12

2.2. Pendidikan Guru ... 14

2.3. Pelatihan Guru ... 17

2.4. Pengalaman Mengajar ... 29

2.5. Profesionalisme Guru ... 31

2.6 Fortofolio ... 36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian ... 41


(2)

3.5. Metode Penelitian ... 43

3.6. Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian ... 43

3.7. Pengujian Hipotesis ... 49

3.8. Rangkuman Hasil Pengujian Instrumen Penelitian ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Sekolah Menengah Negeri 6 Bandung ... 57

4.2. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 58

4.2.1. Analisis Deskriptif Data Variabel ... 58

4.2.2. Uji Persyaratan Analisis ... 67

4.2.3. Pengujian Hipotesis ... 69

4.2.4. Interpretasi Hasil Penelitian ... 90

4.3. Keterbatasan Penelitian ... 92

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 94

5.2. Implikasi ... 97

5.3. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu penentu mutu sumber daya manusia. Mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor antara lain : tenaga kependidikan, prasarana dan sarana, biaya dan lain-lain. Komponen lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan bertanggung jawab. Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang profesional. Tenaga kependidikan yang profesional perlu pengembangan melalui pendidikan, pelatihan maupun melalui pengalaman mengajar.

Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan tenaga kerja terampil, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) merencanakan merubah nisbah (ratio) jumlah SMA dan SMK dari 70 : 30 menjadi 30 : 70 yang diharapkan bisa tercapai dalam tahun 2025. Sejalan dengan program tersebut, melalui strategi kebijakan Depdiknas di samping upaya meningkatkan mutu pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan, maka Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan melakukan upaya terobosan dengan mencanangkan program 1000 SMK Bertaraf Nasional dan 200 SMK Bertaraf Internasional.

Dalam mendukung program-program tersebut, berdasarkan Undang-Undang R.I. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I pasal 1 ayat 1,


(4)

mendefinisikan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Selanjutnya dalam ayat 4 dari pasal yang sama, makna pendidik professional “. . . adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang . . . yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.”

Selanjutnya dalam Bab III dari undang-undang yang sama, dalam pasal 7 dijabarkan prinsip profesionalitas yang mencakup sembilan karakteristik kepribadian seorang guru meliputi :

(a). Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, (b). Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.(c). Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.(d). Mematuhi kode etik profesi.(e). Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.(f) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.(g). Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan.(h). Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya.(i). Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.

Lebih lanjut dalam pasal 8 dipersyaratkan bahwa, “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.” Kemudian dalam pasal 9 dan 10 dijelaskan bahwa, kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program Sarjana (S1) atau program Diploma IV. Sementara kompetensi guru mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi


(5)

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Apabila para guru SMK telah memenuhi berbagai persyaratan tersebut di atas, maka diyakini program-program terobosan yang dikemukakan di atas akan dengan mudah dicapai. Namun kenyataan di lapangan masih dijumpai kendala, antara lain: (a) Masih banyak guru yang kurang kompeten serta penugasan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuan. (b) Kualitas guru masih rendah, kurang kompeten atau tidak memenuhi persyaratan di atas. Hal ini didukung oleh hasil survey Balitbang Depdiknas (2001) yang menyatakan bahwa, guru yang sudah layak mengajar baru 38% dan sisanya 62% belum layak mengajar karena tidak memenuhi persyaratan di atas. Padahal untuk menghasilkan lulusan SMK dengan kompetensi seperti yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 23 Tahun 2006 diperlukan guru-guru dengan kualifikasi seperti yang diaatur oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut di atas, pemerintah menyelenggarakan program-program pendidikan dan latihan (diklat) untuk pendidik dan tenaga kependidikan untuk mencapai kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi guru. Di samping itu timbul pula wacana bahwa, profesionalitas guru dapat pula dicapai melalui pengalaman mengajar yang cukup lama.

Dari uraian ini upaya meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan, teridentifikasi suatu permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan


(6)

yang diperoleh guru melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman mengajar dalam membangun profesionalisme guru.

1.2. Perumusan Masalah

Dengan berasumsi bahwa guru yang telah memenuhi kualifikasi akademik yang baik akan mampu pula berprestasi dalam pelatihan dan dalam pelaksanaan tugas profesi sebagai guru, maka penelitian ini diarahkan dengan perumusan masalah: Hubungan antara Pendidikan, Pelatihan dan Pengalaman Mengajar dengan Profesionalisme Guru Sekolah Menengah Kejuruan.”

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut di atas, dalam penelitian ini terdapat empat variabel operasional yakni, pendidikan guru, pelatihan guru, pengalaman mengajar dan profesionalisme guru. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diungkapkan kontribusi dari tiga variabel pertama (variabel independen) terhadap mencapai predikat guru profesional (variabel dependen). Dengan mengetahui kontribusi dari masing-masing variabel independent itu, akan dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakan hubungan pendidikan dalam pembentukan profesionalisme guru?

b. Bagaimanakan hubungan pelatihan dalam pembentukan profesionalisme guru? c. Bagaimanakan hubungan pengalaman mengajar dalam pembentukan


(7)

d. Bagaimanakah hubungan antara pendidikan, pelatihan dan pengalaman mengajar secara bersama-sama dalam pembentukan profesionalisme guru?

Jawaban atas keempat pertanyaan penelitian tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai manfaat penyelenggaraan diklat pendidik dan tenaga kependidikan dan sebagai indikator efektivitas proses belajar sepanjang hayat di kalang pendidik. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan penelitian ini akan diuraikan lebih lanjut dalam paragraf-paragraf selanjutnya.

1.3. Paradigma Penelitian

Pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam paragraf 1.2. di atas perlu didukung dengan suatu paradigma penelitian (pola pikir) agar lingkup penelitian menjadi lebih jelas. Pengkajian itu didasarkan pada paradigma yang dilukiskan pada Gambar 1.01.

Gambar 1.01: Paradigma Penelitian X1

X2 Y

rX 1Y

Y X

r 2

X3

rX 3Y


(8)

Dalam membahas model pembelajaran (model of teaching), Dunkin dan Biddle (1974:38) menempatkan pendidikan, pengalaman pelatihan dan karakteristik guru merupakan presage variables, yakni variabel-variabel yang mendahului sebelum menjalankan pekerjaan sebagai guru. Herbert (1967), Nuthall dan Snook (1973) menyarankan kegiatan pembelajaran dalam tiga bentuk dasar (Dunkin & Biddle, 1974:38):

The first form [lecturing] is one in which the teacher is in control of the treatment of the subject matter. The teacher is leacturing, performing, demonstrating or exhibiting materials. In the second form (teacher-pupil interaction) both teacher and pupil have some control over the treatment of subject matter. Usually this involves verbal interact- ion. In the third form [seat work] the students are displaced from the direct control of the teacher and are angaged in assigned or unassigned exercises, practical work, or study. In this last form of lesson the teacher’s control is indirect.

Kegiatan pertama berkaitan dengan persiapan mengajar, sementara kegiatan kedua berupa interaksi guru-siswa merupaka karakteristik khusus yang mewarnai kegiatan pembelajaran dalam kelas. Kegiatan ketiga dikenal dengan kegiatan mandiri siswa berupa pemberian tugas di kelas, laboratorium/bengkel atau pekerjaan rumah. Dalam hubungan kegiatan ketiga ini guru tidak melakukan pengendalian secara langsung.

Paradigma penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa profesionalisme (Y) seorang guru merupakan fungsi dari penerapan keahlian yang diperoleh dari pendidikan (X1), pengembangan pengalaman yang diperoleh dari berbagai bentuk pelatihan (X2), dan pengembangan pengalaman mengajar dalam memecahkan masalah-masalah baru dalam bidang pendidikan dan pelatihan termasuk


(9)

penerapan konsep belajar sepanjang hayat (X3). Namun dalam kenyataan tidak semua guru berhasil mencapai tingkat profesional karena kurangnya motivasi bekerja untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Pada umumnya guru beranggapan bahwa, setelah memenuhi persyaratan pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan, maka mengajar merupakan pekerjaan rutin belaka, sehingga lamanya pengalaman mengajar apabila dicatat hanya merupakan catatan yang sama dari hari ke hari. Hal inilah yang menyangsikan bahwa pe- ngalaman mengajar dapat digunakan sebagai indikator profesionalisme guru. Secara teori, ketiga variabel independen tersebut di atas berkontribusi terhadap pencapaian profesionalisme guru, sehingga hubungan antara presage variables dengan profesionalisme guru dapat digambarkan sebagai hubungan korelasional jamak (multiple correlation) dalam arti masing-masing variabel independen memiliki kontribusi dalam pencapaian tingkat profesionalisme guru.

1.4. Analisis Masalah dan Definisi Operasional

Dengan batasan yang ditetapkan berdasarkan paradigma penelitian di atas, variabel-variabel penelitian tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk definisi-definisi operasional dalam kondisi pembelajaran yang dinamis. Pertama, kesiapan dan kreativitas guru diperkirakan tergantung pada latarbelakang guru berupa tingkat pendidikan yang ditempuh, ragam pelatihan keterampilan yang ditempuh serta mengalaman mengajar, pengalaman bekerja di industri, pengembangan diri dengan penerapan belajar sepanjang hayat. Diperkirakan guru dengan latar belakang pendidikan yang dipersyaratkan dan memiliki pengalaman pelatihan


(10)

keterampilan serta pengalaman industri akan lebih kreatif dan berhasil dalam menjalan fungsinya sebagai guru profesional.

Kedua, ketersediaan fasilitas praktek (produksi) yang sesuai dengan bidang kejuruan sekolah yang bersangkutan yang terpelihara dengan baik akan mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran dan peningkatan keterampilan siswa. Peningkatan keterampilan siswa akan mendukung kelancaran penyelesaian tugas-tugas dengan mutu dan standar waktu yang ditetapkan. Pada pihak guru, fasilitas praktek yang memadai dapat mendorong mengembangkan materi pembelajaran dan pelatihan yang bervariasi sehingga siswa dapat memperoleh wawasan yang luas tentang manfaat fasilitas praktek tersebut.

Ketiga, tingkat mutu produk dan waktu pengerjaan yang makin singkat memungkinkan siswa mengerjakan lebih banyak tugas-tugas baik teori maupun praktek. Fenomena ini tidak terlepas dari peran guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran yang dapat digunakan sebagai indikator profesionalisme guru. Hal ini akan makin nyata jika baik guru maupun siswa secara berkala melakukan karyawisata ke industri-industri untuk memperluas wawasan pekerjaan.

Keempat, profesionalisme guru dapat dicapai jika guru secara berkesinambungan mengembangkan kemampuan melalui belajar mandiri (reliance learning) berdasarkan konsep belajar sepanjang hayat, membuat catatan harian sebagai dasar untuk memperbaiki kinerja pembelajaran baik pada pihak guru maupun siswa.

Berdasarkan analisis makro tersebut di atas, maka definisi-definisi operasional dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:


(11)

a. Pendidikan guru didefinisikan sebagai: “Pengalaman formatif yang mencakup tingkat semua pendidikan formal dan kesesuaiannya dengan mata pelajaran yang dibina oleh guru yang bersangkutan.” Undang-Undang R.I. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengisyaratkan bahwa setiap guru berpendidikan minimal S1 atau D4.

b. Pelatihan guru didefinisikan sebagai “ragam pelatihan yang mendukung penerapan kemampuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sesuai dengan kejuruan dan tugas-tugas sebagai guru, dan bersertifikat” Variabel ini diinventori dari jenis pelatihan yang pernah ditempuh serta kesesuaiannya dengan mata pelajaran yang dibina

c. Pengalaman mengajar didefinisikan sebagai “keseluruhan pengalaman dan upaya pemanfaatan pengalaman untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam pendidikan berdasarkan konsep transfer of learning.” Variabel ini diinventori dari portofolio guru yang bersangkutan.

d. Profesionalisme guru didefinisikan sebagai “penampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, keterampilan kognitif, rasa tanggung-jawab, kepribadian, sosial dan spiritual, serta kesejawatan di antara sesama guru dan kepemilikan sertifikat guru” Variabel-variabel dependen ini diinventori berdasarkan unsur-unsur yang membentuk definisi di atas dan portofolio guru yang bersangkutan 1.5. Pembatasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada SMK Negeri 6 Bandung guna mengungkapkan karakteristik guru yang profesional seperti yang


(12)

dipersyaratkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, pasal 8. Penelitian ini bersifat studi kasus di SMKN 6 Bandung sehingga hasil yang diperoleh tidak berlaku untuk SMK lainnya.

1.6. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Terdapat dua macam penelitian, yakni: (1) Untuk mengungkapkan kontribusi pendidikan, pelatihan, dan pengalaman mengajar sebagai guru dalam mendukung perbentukan profesionalisme guru. (2) Tinggi rendahnya kontribusi variabel-variabel independen dapat digunakan sebagai dasar atau fokus pembinaan karir guru.

b. Manfaat Penelitian

Sekurang-kurangnya terdapat dua manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini, yakni: (1) Sebagai indikator untuk memprediksi karakteristik laju kinerja guru dalam pengembangan diri menuju guru yang profesional. (2) Sebagai dasar perencanaan pembinaan karir guru.

1.7. Metode Penelitian

Berdasarkan uraian pada paragraf 1.3. telah tersirat bahwa metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang bersifat deskriptif analitis sehingga berdasarkan statistik yang diperoleh dapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dikemukakan dalam paragraf 1.2.


(13)

Penjabaran lebih lanjut penerapan metode penelitian akan diuraikan dalam Bab III dari naskah ini.

1.8. Kerangka Penulisan Tesis

Pembahasan masalah penelitian yang dikemukakan dalam tesis ini, diawali dengan mengemukakan latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, paradigma penelitian, analisis masalah dan definisi-definisi operasional, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan kerangka penulisan tesis dalam Bab I. Kemudian dalam Bab II dikemukakan landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Selanjutnya dalam Bab III dikemukakan secara rinci tujuan peneliti- an, asumsi-asumsi, hipotesis penelitian, pengembangan instrumen penelitian dan rancangan pengolahan data.

Kegiatan penelitian dan pengolahan data disajikan dalam Bab IV. Dalam bab ini dijelaskan langkah-langkah persiapan yang bersifat administratif dan teknis. Pelaksanaan penelitian mencakup pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi hasil pengolahan data. Tesis ini ditutup dengan Bab V yang menyajikan pembahasan hasil penelitian, kesimpulan, implikasi hasil penelitian dan saran-saran.


(14)

BAB II

LANDASAN TEORI

Peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sejalan dengan tantangan kehidupan global sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, mengasuh, membimbing dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Perkembangan IPTEK menimbulkan revolusi metodologi proses belajar mengajar yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan tidak terikat pada lokasi dan dapat dilaksanakan secara sentral. Kemajuan teknologi serta berbagai sarana pendidikan jarak jauh telah membuktikan keefektifan yang tinggi selain mempunyai daya pengikat nasional ke arah pembentukan watak dan ketahanan nasional. Implementasi IPTEK di sekolah membutuhkan keterbukaan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan salah satunya ditentukan oleh sikap profesionalisme seorang guru.

2.1. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan

Menurut Soenarto (2005:3) pendidikan menengah kejuruan mempunyai tiga fungsi sebagai berikut:

a. Menyiapkan siswa menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang mampu meningkatkan kualitas hidup, mampu mengembangkan dirinya, dan memiliki keahlian dan keberanian membuka peluang meningkatkan penghasilan


(15)

b. Menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja yang produktif: (1) untuk memenuhi kebutuhan tenaga bagi dunia kerja dan industri; (2) menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan bagi orang lain; (3) mengubah status siswa dari ketergantungan menjadi warga negara yang berpenghasilan sendiri

c. Menyiapkan siswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sehingga: (1) mampu mengikuti, menguasai, dan menyesuaikan diri dengan kemajuan iptek; (2) memiliki kemampuan dasar untuk dapat mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) memiliki keahlian menerapkan iptek dan berproduksi sesuai dengan bidang keahliannya

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun

2006 Bagian C dikemukakan: “Pendidikan kejuruan bertujuan untuk

meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendikan lanjutan sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, serta memiliki kemampuan

mengembangkan diri.”

Fungsi dan tujuan pendidikan menengah kejuruan yang dikenal dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) diungkapkan lebih lugas oleh V, Gasskov (2000:5): “. . . the vocational education and training system should deliver both foundation and specialist skills to private indi- viduals, enabling them to find employment or launch their own business, to work productively and adapt


(16)

to different technologies, tasks and conditions.” Pendidikan dan pelatihan kejuruan hendaknya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan yang me- mudahkan para lulusan mendapatkan pekerjaan atau berwirausaha serta mampu mengadaptasi berbagai bentuk teknologi secara produktif dengan sasaran tercapainya: “The ultimate economic objective of education and training is improved personal and social productivity.” (Gasskov, 2000:5). Dengan demikian untuk menjalankan fungsi pendidikan menengah kejuruan tersebut diperlukan guru-guru yang memiliki kualifikasi seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005, pasal 8, yakni guru yang

“memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani

dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan

nasional.” Pendidikan yang ditempuh oleh seorang guru diharapkan dapat

mengantarkan seorang guru sampai pada tataran guru yang profesional atau dengan kata lain, guru yang profesional harus menempuh pendidikan keguruan minimal lulus tingkat sarjana.

2.2. Pendidikan Guru

Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dirujuk dalam paragraph 2.1. di atas, guru SMK dipersyaratkan lulus program Strata 1 (S1) atau program diploma IV (DIV). Persyaratan ini sama dengan di Amerika Serikat seperti dikemukakan oleh Dunkin dan Biddle (1974:32): “Most teachers in the United States are certificated to their pro- fessions by virtue of completing a four-year course of teacher education in an accredited college.” Namun dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),


(17)

persyaratan pendidikan guru kini telah meningkat pada tataran magister (S2) seperti yang berlaku di negara- negara Eropa.

Di samping persyaratan akademik, seorang guru harus memiliki kompetensi guru yang meliputi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh dari pendidikan profesi. Bagi guru pendidikan menengah kejuruan, makna dari kepemilikan kompetensi profesional berarti, guru yang bersangkutan harus memiliki sertifikat kompetensi dalam bidang kejuruan yang dibina. Hal ini penting karena lulusan SMK dituntut untuk menempuh ujian kompetensi seperti yang dipersyaratkan dalam Peraturan Mendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standard Kompetensi Lulusan (SKL).

Prinsip profesionalitas sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat 10 (UU No. 14 Tahun 2005) mencakup:

a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme

b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan ahlak mulia

c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas

d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas e. memiliki tanggung-jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja

g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat

h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan

dan

i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru

Arena penerapan keprofesionalan guru adalah di sekolah dan lingkungan sekolah; atau lebih spesifik lagi menurut Dunkin dan Biddle (1974:38) adalah di kelas atau laboratorium/bengkel, yang merupakan tempat terjadinya interaksi


(18)

antara siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Menurut Bellack dkk (1966) proses interaksi dalam pembelajaran dapat diibaratkan dalam suatu permainan (“game”) dengan peraturan baik untuk guru maupun untuk siswa seperti dikemukakan oleh Nuthall dan Snook (1973:52,53):

They (Bellack et al.) characterize the game as one in which the object is to angage in verbal discourse about subject matter. The teacher obeys a set of rules which stipu- late that he must do of the talking and must structure the specific form and content of verbal game at any one time. If he plays in the way expected of a teacher he will spend most of his time asking questions and commenting on pupil responses. From time to time he will spend time structuring the content and providing summaries of previous discourse.

The rules of the pupils are restrictive. The pupil’s primary task is to answer questi- ons, to reply when called on. The pupil mus respond as though the teacher always asks questions which a pupil shoulf be able to answer. He may not respond evaluati- vely, but may, under certain conditions, ask the occational question.

The pupil is expected to pay attention to the progress of a lesson even though hr will be not be expected to respond more than six or seven times in an hour. When he is asked to respond his respond will be repeated, praised, or commented on by the teacher. Most of his time will be taken up listening to other pupils’ responses and the teacher’s comments to those responses.

Cuplikan di atas menggambarkan episode-episode dalam interaksi pembelajaran dalam kelas antara guru dan siswa. Hoetker dan Ahlbrand (1969) melalui studi literature menemukan bahwa, bahasa game itu telah berlangsung lebih dari 60 tahun; dan dalam kenyataan praktek tersebut masih digunakan dalam proses pembelajaran hingga saat ini.

Dari episode-episode interaksi pembelajaran tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (a) Agar interaksi pembelajaran berjalan lancar, guru wajib membuat persiapan pembelajaran yang mencakup materi dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada para siswa. (b) Guru harus menjadi


(19)

pendengar yang baik atas jawaban-jawaban yang diberikan siswa sehingga dapat memberikan penguatan atas pemahaman siswa atas masalah yang ditanyakan (commenting on pupil responses). (c) Pada setiap akhir episode pembelajaran, guru harus menstrukturisasi materi dan membuat rangkuman materi yang disajikan kepada para siswa. (d) Membangun pengertian atas “peraturan permainan” bagaimana sikap para siswa ketika temannya sedang memberikan jawaban atas pertanyaan guru dan mengikuti bagaimana pembelajaran berlangsung.

Proses pembelajaran merupakan momentum guru menerapkan kompetensinya atau menampilkan keprofesionalannya yang menurut J. Weigand dkk (1977:vi) mencakup: (1) assess- ing intellectual levels; (2) implementing motivational techniques; (3) implementing objectives; (4) implementing questioning skills; (5) implementing sequenced instruction; (6) implementing diagnostic evaluation; (7) implementing interpersonal communication.

Berdasarkan uraian dalam paragraf 2.2. ini dapat diperoleh gambaran bagaimana kompleksitas proses pembelajaran yang baik. Terhadap pekerjaan guru, Dunkin dan Biddle (1974:36) menilai: “Teaching is an exciting challenging job, rewarding when performed well, discouraging when performed poorly.” Sementara T.N. Reksoatmodjo (1993:248) melalui penelitiannya merumuskan 13 dalil, tiga di antaranya menyatakan: (1) Mengajar adalah belajar bagi guru; (2) Mengajar adalah pekerjaan hipotetik; apabila dikerjakan dengan benar, banyak inovasi yang disumbangkan oleh guru; dan (3) Mengajar adalah pekerjaan kooperatif antar sesama guru; peningkatan kerjasama antar guru akan


(20)

meningkatkan efektivitas pengajaran. Fenomena ini erat hubungannya dengan prinsip profesionalitas yang menekankan bahwa profesionalisme guru perlu dibentuk sejak seseorang bercita-cita menjadi guru. Diawali dengan dimilikinya bakat, panggilan jiwa dan idealisme serta memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhak mulia.

2.3. Pelatihan Guru 2.3.1 Pengertian

Yang dimaksud dengan pelatihan di sini sama dengan pendidikan dan pelatihan (diklat). Pendidikan dan pelatihan ini biasanya dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bidang pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidikan dan pelatihan yang disingkat diklat atau dikjartih merupakan salah satu fungsi operasional manajemen sumber daya manusia, yang harus dilaksanakan karena merupakan tanggung jawab dalam rangka pengembangan guru, khususnya yang menganut kualitas guru. Dengan pendidikan dan pelatihan berarti memberikan memberikan kesempatan pada guru untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini bukan pendidikan awal akan tetapi pendidikan setelah bekerja atau mengajar di SMK.

Menurut Undang-undang nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional :

”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


(21)

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kompetensi, membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, inovatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis bertanggung jawab.

Menurut Komarudin Sastradipoera (2005:51) :

”Pendidikan (education) sumber daya manusia merupakan proses pengembangan jangka panjang yang mencakup pengajaran dan praktik sistematik yang menekankan pada konsep-konsep teoritis dan abstrak. Sedangkan pelatihan (training) yang kadang-kadang disebut juga ‟latihan‟ adalah salah satu jenis proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode

yang lebih mengutamakan praktik daripada teori”.

Pelatihan adalah salah satu bentuk penyelenggaraan program pengembangan sumber daya manusia (SDM), sedangkan SDM merupakan faktor input penting dalam pembangunan. (Mohamad Ali, 2000:143). Pelatihan adalah pembelajaran yang dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran sekarang meningkat (kinerjanya). Pelatihan menurut konsep Lembaga Administrasi Negara lebih


(22)

menekankan kepada proses peningkatan kemampuan seorang individu dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut Soenarto (2005:8) mendefinisikan pelatihan mengandung 5 komponen yang satu dengan yang lain saling terkait :

(1) Learning (belajar) adalah proses untuk memperoleh, menguasai, dan atau meningkatkan cognitive (pengetahuan), psychomotor (keterampilan), affective (sikap atau attitudes, nilai values, ketertarikan atau interest), dan connotive adalah niat sungguh-sungguh untuk melakukan pekerjaan dengan cermat, tepat dengan kesungguhan (properly)

(2) Performance (kinerja atau perilaku kerja) adalah penampilan dan hasil yang dicapai dari melakukan pekerjaan. Perilaku kerja yang baik adalah bekerja yang efektif, efisien, dan hasil kerja yang berkualitas, baik, disebabkan karena si pekerja memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik untuk melakukan pekerjaan tersebut. Mengubah perilaku kerja berarti membuat atau meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap menjadi lebih baik untuk melakukan pekerjaan. Dengan demikian seorang pimpinan mengambil keputusan untuk mengadakan pelatihan dalam rangka mengubah perilaku kerja (job performance) apabila :

(a) Pekerja tidak mengetahui bagaimana melakukan pekerjaan

(b) Pekerja harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan atau sikap yang berbeda dengan yang yang telah dimiliki


(23)

(c) Pekerja diberi tugas baru yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru untuk mengerjakannya

(3) People (orang) dalam kaitan dengan pekerjaan adalah orang dewasa, pekerja atau pencari kerja. Pekerja mulai dari manajer, supervisor, teknisi, sampai dengan pesuruh

(4) Job atau Pekerjaan. Job adalah kumpulan dari tugas yang harus diselesaikan seseorang, dari sejumlah tugas yang sangat bervariasi ditinjau dari tingkat kesulitan, kesederhanaan (kekomplekan), tingkat hubungan antara satu tugas dengan yang lain. Demikian juga untuk melakukan suatu pekerjaan diperlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sangat bervariasi antara satu perkerjaan dengan yang lain. Untuk dapat berhasil dalam mengerjakan suatu pekerjaan, dengan kata lain bekerja yang efektif, diperlukan motivasi secara internal

(5) Future (masa yang akan datang), mengandung arti bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah bukan yang lalu atau sekarang namun untuk waktu yang akan datang. Hal ini mengandung arti bahwa orang yang mengikuti pelatihan, akan menunjukan perilaku kerja yang baik pada waktu sebelum mengikuti pelatihan

Dengan demikian seorang guru, yang mengikuti pelatihan akan belajar, meningkat wawasan, berubah perilakunya, seorang guru harus dapat mengajar lebih baik daripada sebelum mengikuti pelatihan. Seorang yang telah mengikuti pelatihan akan bekerja lebih baik, lebih produktif, lebih efektif dan efisien.


(24)

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan teoritis dari seorang saja, tetapi cakupannya lebih luas dan lebh bersifat umum. Sedangkan pelatihan merupakan bagian dari pendidikan dan tujuannya untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan seseorang lebih bersifat khusus dan lebih menekankan kompetensi.

Pendidikan dan pelatihan merupakan dua konsep yang sama, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Tetapi jika dilihat dari tujuan, umumnya kedua konsep tersebut dapat dibedakan. Pendidikan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan untuk melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang, dilakukan dengan melalui pendekatan yang terintegrasi dengan kegiatan lain dan untuk mengubah perilaku kerja. Sedangkan pelatihan lebih ditekankan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan dalam melakukan pekerjaan yang spesifik. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan pelatihan adalah suatu bentuk kegiatan yang merupakan bagian pengembangan seseorang dalam usaha meningkatkan kemampuan profesional personal sekolah terutama guru dengan cara mengubah sikap meningkatkan keterampilan dan pengetahuan.

2.2.2 Tujuan Pelatihan

Setiap aktivitas yang akan dilakukan, dimulai dengan apa tujuan aktivitas, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Dengan ditetapkannya tujuan tersebut, akan diketahui ke arah mana aktivitas akan dilaksanakan. Tujuan


(25)

harus dirumuskan secara jelas sehingga akan mempermudah dalam pencapaiannya.

Menurut Moekijat (1995:15) tujuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dan efektif

2. Untuk mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan rasional

3. Untuk mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kerja sama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan)

Pelatihan dapat didefinisikan sebagai pengembangan secara sistematis pola pengetahuan, sikap, keahlian yang diperlukan oleh seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaannya secara memadai (John Westerman dan Poulin Doghox, 1997 dalam Mulyana, S. 1993:9).

Menurut Goad (1973) pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan (M. Saleh Marzuki, 1992:5). Sedangkan Michael J. Jucius (dalam Moekijat 1991:2) menjelaskan istilah pelatihan menunjukan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Sedangkan Andrew E. Sikula dalam A. Anwar Prabu Mangkunegara (2000:4) mengemukakan bahwa Pelatihan (training) adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir dimana pegawai non-manajerial mempelajari pengetahuan dan


(26)

keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Kemudian Siegel dan Lane dalam Marwansyah dan Mukharam (2000:63) mengemukakan bahwa pelatihan adalah upaya organisasi yang terencana untuk membantu para karyawannya mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terkait dengan suatu pekerjaan agar mereka dapat meningkatkan prestasi kerja.

Pendapat lain dikemukakan oleh Casio (1992) seperti dikutip oleh Agus Dharma (1998:13) mengatakan bahwa pelatihan adalah program terencana yang dirancang untuk meningkatkan unjuk kerja pada tingkat individu, kelompok, dan atau organisasi. Werther dan Davis (1996) dalam Marzuki, S. (1992:24) mengatakan bahwa pelatihan adalah kegiatan-kegiatan yang memberi pelajaran kepada para karyawan tentang bagaimana menjalankan pekerjaan/tugas-tugas mereka saat ini. Kemudian Broad dan Newrstrom (1993) (dalam Moekijat 1993:7) berpendapat bahwa pelatihan adalah pengalaman-pengalaman instruksional (instructional experiences) yang diberikan terutama oleh pimpinan bagi karyawan, yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan baru yang diharapkan dapat segera diterapkan begitu karyawan bekerja kembali (atau beberapa saat sudah kembali). Pendapat senada dikemukakan oleh Henry Simamora (1988:18) mereka mengatakan bahwa pelatihan adalah upaya terencana dan sistematis untuk menyesuaikan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap melalui pengalaman belajar, untuk mewujudkan unjuk kerja yang efektif dalam suatu kegiatan atau rangkaian.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai pendapat di atas, bahwa pelatihan merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terencana


(27)

dan sistematis untuk menambah dan meningkatkan kemampuan individu atau pegawai baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan dan sikap, agar individu atau pegawai tersebut dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.

Memperhatikan berbagai pendapat di atas, ternyata tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat bekerja sesuai dengan yang dipersyaratkan.

Mengenai tujuan pelatihan ini, Moekijat (1993:2) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih efektif. (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).

Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:223) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap karyawan serta meningkatkan kualitas dan produktivitas organisasi secara keseluruhan dengan kata lain tujuan pelatihan adalah meningkatkan kinerja dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing.

Manfaat pelatihan menurut beberapa ahli seperti Robinson dalam M. Saleh Marzuki (1992:28) mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :

(a) Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan individu atau kelompok dengan harapan memperbaiki performance organisasi; (b)


(28)

Keterampilan tertentu diajarkan agar karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan standar yang diinginkan; (c) Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap pimpinan atau karyawan; dan (d) manfaat lain daripada pelatihan adalah memperbaiki standar keselamatan.

Sedangkan manfaat pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:215) berpendapat sebagai berikut : Mengurangi kesalahan produksi; meningkatkan produktivitas; meningkatkan kualitas; meningkatkan fleksibilitas karyawan; respon yang lebih baik terhadap perubahan: meningkatkan komunikasi; kerjasama tim yang lebih baik; dan hubungan karyawan yang lebih harmonis.

Pendapat senada dikemukakan oleh Henry Simamora (1988:346) mengatakan bahwa tujuan-tujuan utama pelatihan pada intinya dapat dikelompokkan ke dalam lima bidang diantaranya memperbaiki kinerja dan manfaat pelatihan diantaranya meningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitas.

Memperhatikan beragam pendapat di atas maka pengertian pelatihan, tujuan dan manfaatnya tiada lain untuk meningkatkan kinerja yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi positif terhadap produktivitas dan kualitas organisasi.

Selanjutnya, di dalam Undang -Undang Guru No. 14 Tahun 2005 menyebutkan tentang hak dan kewajiban guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Hak seorang guru dalam tugas keprofesionalan adalah:

1) Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial

2) Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja


(29)

3) Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual

4) Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi

5) Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan

6) Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan

7) Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas 8) Memiliki kebebasan untuk berserikat dan organisasi profesi,

memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan 9) Memiliki kesempatan untuk berperan mengembangkan dan meningkatkan

kualifikasi akademik dan kompetensi dan/atau memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya (Bab IV Pasal 14, halaman 6)

Pelatihan profesional guru merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja guru dengan cara meningkatkan kompetensi profesionalnya. Tujuan pokok pelatihan profesional guru adalah memecahkan kelemahan kinerja guru baik pada saat ini maupun masa datang ke arah level kinerja yang lebih diinginkan.

Pelatihan profesional guru meliputi : jenis pelatihan, esensi materi pelatihan, tingkat pelatihan yang pernah diikuti, partisipasi peserta dalam pelatihan atau penataran, dampak pelatihan terhadap KBM.


(30)

Bahkan Salah satu komponen penting dalam kebijakan Direktorat PLP Departemen Pendidikan Nasional adalah pelatihan bagi guru, kepala sekolah, pengawas, pengelola proyek dll. Kegiatan pelatihan ini tentu saja dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi sumberdaya manusia tersebut sehingga proses penyelenggaraan pendidikan dapat ditingkatkan. Bagi guru, setelah mereka mengikuti pelatihan diharapkan memiliki paling tidak tiga kompetensi pokok, yaitu penguasaan mata pelajaran yang diajarkan, metodologi pengajaran, dan evaluasi hasil belajarnya, serta peragaan unjuk kerja yang merupakan pengintegrasian dari ketiga kompetensi pokok tersebut.

Yang dimaksud dengan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi adalah pelatihan yang mengacu pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan oleh peserta didik, sehingga isi/materi pelatihan yang akan dilatihkan merupakan gabungan/integrasi bidang-bidang ilmu sumber bahan pelatihan yang secara utuh diperlukan untuk mencapai kompetensi.

Misalnya, untuk pelatihan guru terintegrasi berbasis kompetensi harus dimulai dari pengindentifikasian perangkat kemampuan/kompetensi yang diperlukan oleh guru, kemudian baru dipilih isi/materi/bahan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi yang diperlukan untuk mencapai perangkat kompetensi tersebut yaitu tujuan pelajaran, alat evaluasi, materi pelajaran, teori dan keterampilan keguruan karakteristik peserta didik, metodologi pengajaran, media pendidikan, dan pengelolaan proses belajar mengajar. Jadi, sekali datang mengikuti pelatihan, seseorang guru akan mendapatkan bahan pelatihan


(31)

terintegrasi yang memang diperlukan untuk mencapai perangkat kompetensi yang telah diidentifikasi.

Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri (PPPPTK BMTI) melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan (dikjartih) bagi para pendidik (guru) dan tenaga kependidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya itu maka salah satu bidang yang ada ialah bidang Fasilitasi Peningkatan Kompetensi (Fastingkom) yang bertugas melaksanakan kegiatan diklat yang sudah disusun oleh Bidang Program dan Informasi.

Kegiatan diklat yang dilaksanakan di PPPPTK BMTI meliputi seluruh program yang ada di SMK (Teknik), seperti Tenik Mesin, Teknik Otomotif, Teknik Bangunan, Teknik Elektro, dan Teknik Listrik. Selain diklat kejuruan (vokasi) terdapat pula diklat yang sifatnya normatif dan diklat adaptif. Diklat normatif adalah diklat yang dilakukan untuk peningkatan guru normatif, seperti Bahasa Indonesia, PPKn, Penjas atau Pendidikan Agama. Diklat adaptif ialah diklat yang dilakukan untuk peningkatan guru adaptif, seperti fisika, kimia, Bahasa Inggris, Matematika atau mata pelajaran sains lainnya.

2.4 Pengalaman Mengajar

Ada dua kata dalam istilah ini, yakni kata „pengalaman‟ dan kata „mengajar‟. Kata pengalaman di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

diartikan sebagai sesuatu yang sudah pernah dialami(dilewati, dilalui, dijalani, ditanggung, dan sebagainya). Orang yang banyak melewati banyak peristiwa sejenis, dikatakan sudah berpengalaman. Jadi, seorang guru yang sudah lama


(32)

Sedangkan kata mengajar diartikan sebagai menstransfer ilmu pengetahuan, atau melakukan kegiatan belajar dan mengajar.

Seorang guru yang sudah berpengalaman di dalam mengajar, selain sudah lama pengabdiannya di dalam mengajar, ia juga sudah melaksanakan berbagai metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan karasteristik siswa atau materi pelajarannya. Dengan kata lain, guru yang berpengalaman sudah banyak menjumpai beragam problema dan ia mampu melampauinya dengan beragam solusi pula.

Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami perluasan yaitu sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal. Sebagai konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap


(33)

peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru mengelola keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar melalui interaksinya dengan peserta didik. Sebagai pemimpin, guru menjadi seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif. Sebagai pembelajar, guru secara terus-menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugasnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat. Sebagai anggota masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi bagi masyarakat di sekitarnya baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan khususnya di sekolah. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah. Selanjutnya sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu.


(34)

2.5 Profesionalisme Guru 2.5.1 Pengertian Profesi

Menurut Mc Cully (1969:1330) profesi adalah a vocation an wich professional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the pratice of an art found it.

Dari pengertian tersebut dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat profesional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian langsung dapat diabadikan bagi kemaslatan orang lain.

Selanjutnya Sikun Pribadi (1976:16) menyebutkan bahwa profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.

Dari rumusan mengenai pengertian profesi tersebut di atas, ternyata pekerjaan profesional berbeda dari pekerjaan lainnya karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Berbicara tentang profesionalisme, kita akan berbicara pula tentang hakikat profesi itu sendiri. Yang dimaksud dengan hakikat adalah suatu hal yang paling dalam atau sesuatu hal yang paling dalam atau sesuatu hal yang paling mendasar. Apabila sesuatu tidak memiliki esensi, hal tersebut akan sia-sia dan kemudian akan lenyap dengan sendirinya.


(35)

Kebudayaan (1984:10) adalah tanggapan yang bijaksana serta pelayanan dan pengabdian yang ditandai oleh keahlian, teknik dan prosedur yang mantap serta sikap kepribadian tertentu.

Rumusan di atas memberikan gambaran bahwa seorang pekerja profesional pada hakikatnya akan melakukan pelayanan ataupun pengabdian yang dilandasi dengan kemampuan profesional serta falsafah yang mantap, yang harus dimiliki seseorang pekerja profesional tersebut. Tenaga kependidikan sebagai pekerja profesional dituntut memiliki kemampuan profesional kependidikan serta memiliki kepribadian yang mantap sebagai tenaga kependidikan.

Menurut Oemar hamalik (1986:2) dinyatakan bahwa suatu pernyataan atau suatu janji yang dinyatakan oleh seseorang profesional tidak sama dengan pernyataan yang dikemukakan oleh seseorang yang tidak profesional. Pernyataan profesional mengandung makna terbuka yang sungguh-sungguh keluar dari lubuk hatinya. Pernyataan demikian mengandung norma-norma atau nilai-nilai yang etis. Seseorang yang membuat pernyataan yakin dan sadar benar bahwa pernyataan yang dibuatnya itu adalah baik. Baik dalam arti bermanfaat bagi orang banyak dan bagi diri sendiri.

2.5.2 Profesinalisme Guru

Profesionalisme pada dasarnya dianggap suatu nilai yang murni jika individu mengamalkan tanggungjawab mereka dengan penuh dedikasi, tidak mementingkan diri atau suka memilih pekerjaaan. Profesionalisme seorang guru


(36)

berkait rapat dengan mutu pendidikan di beberapa segi, seperti sikap dan nilai guru dalam pengajaran, akan mempengaruhi minat, sikap dan nilai pelajar.

Profesionalisme merupakan sikap mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri, sebagai seorang yang bertanggung jawab pada profesinya. Menurut H. Mohamad Surya, kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja sebagai berikut;

1) Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal 2) Meningkatkan dan memelihara citra profesi

3) Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya

4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi 5) Memiliki kebanggaan terhadap profesinya

Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, intelektual, rasa tanggung jawab, pribadi, sosial, spiritual, dan kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Guru profesional tidak dapat diukur dengan lamanya masa kerja, karena tidak selalu menjadi jaminan bahwa seorang guru profesional.

Tabrani Rusyan (1990:6) menyatakan bahwa guru yang profesional harus memenuhi persyaratan profesi, yakni:

1) Menuntut adanya keterampilan yang berlandaskan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam


(37)

2) Menekankan pad suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya

3) Menuntut adanya tingkat pendidikan tinggi

4) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan

5) Memungkinkan pengembangan sejalan dengan dinamika kehidupan

Bertolak dari persyaratan yang dituntut oleh suatu jabatan profesi tampaklah secara jelas bahwa untuk suatu jabatan profesional harus melalui jenjang pendidikan yang mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap serta keterampilan yang sesuai dengan bidang profesionalnya. Demikian pula halnya profesionalisme tenaga kependidikan.

Bahkan didalam undang-undang guru dan dosen pasal 7, prinsip profesional mencakup karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas, (4) memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi (5) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesionalan.


(38)

Guru yang profesional juga harus mampu mendisiplinkan diri dalam mengatur waktu untuk kepentingan diri, keluarga, tugas dan kemasyarakatan.

”Persoalan guru senantiasa aktual dan berkembang seiring perubahan-perubahan yang mengitari, perubahan-perubahan sains, teknologi, dan peradaban masyarakatnya. Secara internal berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, jaminan rasa aman, dan semacamnya. Secara eksternal; krisis etika moral anak bangsa dan tantangan masyarakat global yang ditandai tingginya

kompetensi, transparansi, efisiensi, kualitas tinggi dan profesionalisasi” (Sidi,

2001: 38).

Guru sebagai tenaga pendidikan secara substantif memegang peranan tidak hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan. Di dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 ditegaskan pada pasal 39 bahwa:

Tenaga pendidikan selain bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pelayanan dalam satuan pendidikan, juga sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses serta menilai hasil pembelajaran, bimbingan dan pelatihan.

Secara implikatif sikap profesionalisme guru dibutuhkan dalam upaya strategis untuk terlaksana dan tercapainya tujuan Kurikulum Berbasis Kompetensi, dimulai dari implikasi dalam kelas. lebih jauh akan berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah. Suatu sistem yang mencerminkan amanat Undang-Undang untuk memanusiakan manusia, terciptanya pendidikan yang demokratis dan berwawasan kebangsaan.


(39)

Berkembangnya potensi manusia Indoensia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanpa lupa mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotriknya.

Profesionalisme guru merupakan tuntutan kerja seiring dengan perkembangan sains teknologi dan merebaknya globalisme dalam berbagai sektor kehidupan. Suatu pola kerja yang diproyeksikan untuk terciptanya pembelajaran yang kondusif dengan memperhatikan keberagaman sebagai sumber inspirasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan.

2.6 Portofolio Guru

Portofolio guru merupakan suatu kumpulan dari pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang guru, yang didesain untuk menggambarkan talenta yang dimilikinya. Portofolio guru dikonstruksi oleh guru itu sendiri yang menyoroti dan memperlihatkan tentang pengetahuan dan keterampilannya dalam proses belajar mengajar.

Portofolio dapat dijadikan sebagai bahan refleksi. Dalam arti, untuk mengkritisi dan mengevaluasi efektivitas pekerjaan yang dilakukan guru yang bersangkutan, baik dalam hal pengajaran maupun tentang interaksinya dengan siswa atau rekan sejawat.

Apa yang harus tercakup atau terkait dalam portofolio guru sesungguhnya tergantung bagaimana portofolio itu akan digunakan. Sebuah portofolio dapat mencakup beberapa hal berikut ini :


(40)

Deskripsi kelas: waktu, tingkatan dan isi. (class description: time, grade and content)

Ujian tertulis : (National Teacher’s Exam, State licensure tests)

Pernyataan Pribadi (A personal statement) tentang filsafat dan tujuan pengajaran

 Dokumentasi tentang upaya peningkatan kemampuan dalam mengajar, seperti : seminar, loka karya, penataran dan sebagainya

Implementasi tentang rencana, selebaran (handouts) dan catatan-catatan pengajaran

 Catatan nilai pekerjaan siswa, seperti tes, quiz dan class projects

 Video/Audio Tape tentang pengajaran di kelas

 Catatan observasi dari rekan sejawat

 Refleksi tertulis tentang pengajaran

Seringkali terjadi miskonsepsi seolah-olah portofolio guru hanya merupakan kumpulan yang hanya menampung tentang pengajaran dan evaluasi yang dilakukan oleh seorang guru. Padahal secara ideal, portofolio merupakan sebuah dokumen yang diciptakan oleh guru, yang menyatakan, menghubungkan dan menggambarkan kewajiban, tingkat kemahiran dan pertumbuhannya dalam pengajaran. Setiap portofolio hendaknya didokumentasikan dalam sebuah appendiks atau sebuah referensi. Ukuran sebuah portofolio beragam, tetapi pada umumnya dua sampai dengan sepuluh halaman, termasuk apendiks.

Portofolio guru merupakan sebuah alat pendidikan (education tool), yang pada umumnya digunakan dalam dua cara. Pertama, portofolio digunakan sebagai


(41)

tujuan untuk mengevaluasi tentang efektivitas dalam mengajar yang otentik yang dapat diguna kepentingan pemberian lisensi (licensure) atau membuat keputusan tentang ketenagakerjaan (employment decision). Kedua, portofolio guru digunakan untuk kepentingan umpan balik bagi guru yang bersangkutan sehingga dapat meningkatkan pengajaran dan derajat profesionalismenya.

Sebagai suatu bentuk pengukuran yang otentik, portofolio guru memiliki peranan penting dari keseluruhan evaluasi tentang guru. Beberapa universitas di Amerika, seperti : University of Colorado , Marquette University and Murray State University, sekarang telah menggunakan portofolio untuk keputusan personil.

Kendati demikian, penggunaan portofolio guru untuk keputusan tingkat tinggi, seperti untuk program sertifikasi agaknya sulit untuk dilaksanakan, karena alasan faktor subyektivitas, keragaman isi dan konstruksi, serta tidak adanya konsensus tentang apa yang seharusnya diketahui dan dilakukan oleh seorang guru (what a teacher should know and be able to do).

Portofolio digunakan untuk kepentingan pembuatan keputusan tentang personil yang cenderung bersifat fleksibel dan subyektif. Konstruksi portofolio bersifat unik dan disesuaikan dengan individu yang bersangkutan.

Langkah-Langkah untuk mengimplentasikan Program Portofolio :

1. Memulai secara perlahan-lahan (start slowly). Untuk melembagakan pengukuran portofio, baik untuk kepentingan kemahiran maupun pertumbuhan memang tidak bisa dilaksanakan secara tergesa-gesa dan membutuhkan waktu


(42)

untuk pengembangan, implementasi hingga penentuan regulasi tentang program portofio.

2. Memperoleh Penerimaan (gain acceptance). Penerimaan penggunaan portofolio sebagai alat pendidikan oleh pihak administrator (baca: kepala sekolah) dan guru merupakan hal yang amat penting.

3. Pembentukan rasa memiliki. Setiap guru harus dilibatkan dari mulai sampai dengan pengembangan program portofolio. Sehingga terbentuk rasa memiliki tentang aturan dan penggunaan program

4. Mengkomunikasikan implementasi. Guru membutuhkan kejelasan bagaimana portofolio digunakan. Untuk itu, perlu adanya upaya untuk mengkomunikasikan segala sesuatunya yang berkenaan dengan program portofolio secara detail.

5. Selektif. Portofolio berisi item-item yang terseleksi secara hati-hati yang merefleksikan substansi dari kemahiran dan prestasi seorang guru.

6. Realistik. Portofolio hanya merupakan salah bentuk pengukuran otentik yang hendaknya digunakan sebagai salah satu bagian saja dari proses pengukuran untuk menunjang pengukuran-pengukuran lainnya.

2.7 Hipotesis.

Hipotesis penelitian yang akan diuji dirumuskan sebagai berikut :

Hipotesis I : Ho :

ρ

y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan profesionalisme guru. H1:

ρ

y1≠Terdapat hubungan yang signifikan antara


(43)

Hipotesis II: Ho :

ρ

y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelatihan dengan profesionalisme guru.

H1:

ρ

y1≠Terdapat hubungan yang signifikan antara pelatihan dengan profesionalisme guru.

Hipotesis III: Ho :

ρ

y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman mengajar dengan

profesionalisme guru.

H1 :

ρ

y1≠ Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi pengalaman mengajar dengan profesionalisme guru.

Hipotesis IV: Ho :

ρ

y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan, pelatihan, pengalaman mengajar secara bersama-sama dengan profesionalisme guru.

H1:

ρ

y1 ≠Terdapat hubungan hubungan yang signifikan antara pendidikan, pelatihan, pengalaman mengajar secara bersama-sama dengan profesionalisme guru.

. Keterangan :

Ho : Hipotesis Nol. H1 : Hipótesis Alternatif.


(44)

2.8 Hasil Penelitian yang Relevan.

Penelitian yang relevan dan telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan pendidikan, pelatihan, pengalaman mengajar dan profesionalisme guru adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mas Ayu Fadilah (2007) diperoleh hasil bahwa : Guru merupakan pekerjaan profesional, suatu profesi yang menuntut keahlian tertentu yang karena sifatnya membutuhkan persyaratan dasar, keterampilan teknis dan sikap kepribadian, oleh sebab itu guru harus memiliki kualifikasi profesional sehingga mampu mengemban tugas dengan baik dan profesional, oleh karena itu sekolah harus melihat kualitas Guru, kinerja Guru yang tinggi dilandasi dengan adanya kedisiplinan sarana dan fasilitas yang mendukung, penguasaan bidang studi, pemahaman peserta didik penerapan pembelajaran yang mendidik, dan pengembangan kpribadian dan keprofesionalan. Hal inilah yang menyangkut dalam pengembangan profesionalisme Guru. Masalah dalam penelitian ini adalah faktor waktu dan tenaga kedisiplinan Guru, mengikuti pelatihan dan seminar, faktor keahlian, tanggung jawab Guru terhadap peserta didik, sarana dan fasilitas mengajar yang disediakan disekolah, serta kerja sama antar teman sejawat. Hal yang sama pula diperoleh dari penelitian ini yang mengatakan semakin sering guru mengikuti pendidikan maupun pelatihan maka akan menambah kemampuan guru didlam penguasaan bidang studi serta mampu dalam penerapannya.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Mas Ayu Fadilah (2007) diperoleh hasil bahwa : Pelatihan/pendidikan yang perlu disiapkan untuk para guru


(45)

bukanlah pendidikan tentang konsep-konsep mendidik, tetapi yang lebih utama adalah pendidikan ilmu murni. Oleh karenanya kerjasama dengan universitas perlu dikembangkan untuk membuat sebuah link peng-update-an keilmupeng-update-an guru. Selain memberikpeng-update-an pelupeng-update-ang belajar dpeng-update-an berkembpeng-update-ang kepada guru di daerah, pemerintah daerah juga perlu mempelopori forum ilmiah guru. Forum yang akan memberikan kesempatan kepada guru-guru daerah untuk saling bertukar metode mengajar, keilmuan baru dan sekaligus melatih guru untuk menyampaikan idenya secara ilmiah. Dalam forum ilmiah ini, sangat perlu pula mengundang pakar/ilmuan/praktisi untuk menambah keluasan keilmuan para guru. Hal yang sama pula diperoleh dari penelitian ini yang mengatakan semakin sering guru mengikuti pendidikan maupun pelatihan maka akan menambah kemampuan guru didlam penguasaan bidang studi serta mampu dalam penerapannya.


(46)

BAB III

RANCANGAN PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam Bab I, maka tujuan utama yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban atas keempat pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam paragraf 1.2. dari tesis ini, yaitu:

a. Untuk mengungkapkan karakteristik kontribusi ketiga variabel independen terhadap pembentukan profesionalisme guru

b. Untuk mengungkapkan hubungan program-program pendidikan dan pelatihan guru dengan pembentukan profesionalisme guru

c. Untuk mengungkapkan hubungan pengalaman mengajar dengan pembentukan profesionalisme guru

d. Untuk mengungkapkan hubungan antara pendidikan guru, pelatihan guru, dan pengalaman mengajar dengan profesionalisme guru

3.2. Asumsi-Asumsi Penelitian

Asumsi-asumsi penelitian merupakan landasan pemikiran yang menentukan batas-batas dalam keseluruhan proses penelitian ini. Dengan demikian kesimpulan yang diturunkan sebagai hasil penelitian akan berada dalam batas-batas tersebut sejauh asumsi-asumsi itu dapat dipenuhi. Adapun asumsi-asumsi dalam penelitian ini adalah:


(47)

a. Responden adalah para guru yang mengajar di SMK Negeri 6 Kota Bandung dan telah memiliki kualifikasi akademik sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

b. Pada waktu mengajar, responden (para guru) menggunakan segala kemampuan yang diperoleh dari hasil pendidikan guru dan pelatihan guru c. Sebelum mengajar, responden (para guru) menyiapkan Satuan Acara

Pembelajaran (SAP) berdasarkan GBPP yang berlaku

d. Hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen merupakan model linier, aditif dan korelasional

3.3. Hipotesis Penelitian

Dengan berpegang pada pembatasan masalah dan analisis masalah yang akan diteliti dengan variabel-variabel penelitian yang dipilih, maka untuk mengarahkan penelitian dirumuskan dua hipotesis utama:

a. Terdapat hubungan korelasional yang signifikan antara variabel-variabel independen (X1, X2, X3) dengan variabel dependen (Y)

b. Terdapat hubungan korelasional jamak antara variabel-variabel independen (X1, X2, X3) secara bersama-sama dengan variabel dependen (Y)

c. Terdapat hubungan kontributif yang signifikan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen


(48)

3.4. Populasi dan Sampel

Sesuai masalah yang diteliti, maka populasi responden adalah semua guru SMK Negeri 6 Kota Bandung yang berjumlah 36 orang; namun karena jumlahnya mendekati 30 orang, maka keseluruhannya dijadikam responden penelitian ini. Dengan demikian jumlah responden sama dengan populasi guru SMK Negeri 6 Kota Bandung.

3.5. Metode Penelitian

Berdasarkan paradigma penelitian seperti diuraikan dalam paragraf 1.3., maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang bersifat deskriptif analitis.

3.6. Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian

Data dari empat macam variabel penelitian akan dikumpulkan dari para responden dengan mengadakan angket dalam bentuk skala sikap model Likert dan inventori ragam pendidikan, pelatihan dan mengalaman mengajar para responden. a. Uji Normalitas Sebaran Frekuensi Jawaban.

Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, keempat instrumen yang berbentuk skala model Likert tersebut terlebih dahulu diujikan kepada sebagian guru yang dipilih secara acak. Data yang diperoleh dari ujicoba tersebut sebelum digunakan, jawaban atas setiap pertanyaan/pernyataan angket terlebih dahulu diuji normalitas sebarannya. Pertanyaan/pernyataan yang tidak memenuhi syarat normalitas sebaran tidak digunakan atau


(49)

diperbaiki. Uji normalitas tersebut adalah untuk memeriksa ketepatan skala dari setiap pernyataan melalaui analisis sebaran frekuensi (Edward, 1957:149-152).

Langkah-langkah analisis adalah sebagai berikut:

1. Menghitung frekuensi setiap kategori jawaban dari setiap pernyataan. Misalkan untuk pernyataan ke-n diperoleh :

Frekuensi jawaban Sangat Setuju (SS) = fSS,n

Frekuensi jawaban Setuju (S) = fS,n

Frekuensi jawaban Tidak Setuju (TS) = fTS,n

Frekuensi jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) = fSTS,n

2. Menghitung proporsi setiap kategori jawaban; misalkan proporsi dinyatakan dengan px, maka perhitungan ini dapat dinyatakan dengan

rumus (T.N. Reksoatmodjo, 2007:198):

Xn n X n X f f p (3.01)

3. Menghitung proporsi kumulatif pk dan menentukan titik-tengah proporsi kumulatif Md dengan rumus (T.N. Reksoatmodjo, 2007:199):

5 3 4 3 2 3 2 1 2 1 1 X X X X p pk pk p pk pk p pk pk p pk        (3.02)

4. Titik-tengah dari setiap proporsi ditentukan dengan rumus (T.N. Reksoatmodjo, 2007:199):


(50)

2 ; 2 ; 2 ; 2 4 3 4 3 2 3 2 1 2 1 1 X d X X p pk M p pk Md p pk Md pk Md        (3.03)

5. Harga titik-tengah Md itu digunakan untuk menentukan nilai bilangan-baku Z (dengan pertolongan daftar sebaran normal) dan menetapkan nilai skala sikap NS dengan rumus (T.N. Reksoatmodjo, 2007:199):

) ( X,max

X

Hitung Z Z

NS    (3.04)

di mana nilai NS = nilai skala sikap, dibulatkan menjadi bilangan utuh terdekat; (ZX,max)= nilai Z negative terbesar. Apabila sebaran frekuensi normal, akan diperoleh nilai skala sikap yang sesuai dengan nilai skala yang telah ditetapkan sebelumnya. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, berarti sebaran untuk pernyataan yang bersangkutan tidak normal. Contoh analisis sebaran frekuensi (untuk salah satu pernyataan) dimisalkan sebagai berikut:

Tabel 3.01:Contoh Analisis Normalitas Sebaran Frekuensi Untuk Pernyataan Positif

STS TS S SS

NS yang direncanakan

0 1 2 3

Frekuensi, f 7 12 9 2

Proporsi, px 0,233 0,400 0,300 0,067

Proporsi kumulatif, pk 0,233 0,633 0,933 1,000 Titik tengah, Md 0,116 0,433 0,783 0,967

Nilai Z -1,220 -0,170 0,780 1,840

NS (hitung) 0 1,050 2,000 3,060

NS (dibulatkan) 0 1 2 3

220 , 1 max 


(51)

Karena NSHitungNSDirencanakan maka dapat disimpulkan bahwa, jawaban atas pernyataan tersebut memiliki sebaran yang normal. Pernyataan yang tidak memiliki sebaran normal tidak boleh dipakai.

b. Uji Daya Pembeda

Uji daya pembeda ini bertujuan untuk mengetahui, apakah suatu pernyataan dapat membedakan responden yang bersikap positif (setuju, sangat setuju) dan yang bersikap negatif (tidak setuju, sangat tidak setuju). Untuk maksud ini, berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah terbukti mempunyai nilai skala sikap yang memenuhi syarat, disusun daftar responden menurut urutan besarnya skor yang diperoleh (dari yang tertinggi ke terendah). Selanjutnya diambil 27% skor tertinggi dan 27% skor terendah. Kemudian dilakukan Uji-t untuk setiap pernyataan dengan menggunakan rumus (Edward, 1957:153):

) 1 (

) (

)

( 2 2

 

 

 

n n

X X X

X

X X t

L L H

H

L H

(3.05)

dengan derajat kebebasan df 2(n1).Pengujian pada umumnya didasarkan pada tingkat kepercayaan 95%. Pernyataan yang tidak memiliki daya pembeda tidak boleh digunakan.

c. Uji Keterpaduan Pernyataan

Pengujian ini adalah untuk memeriksa keterpaduan setiap pernyataan terhadap keseluruhan perangkat skala sikap. Pengujian dilakukan dengan jalan menghitung indeks korelasi antara skor responden untuk seluruh perangkat. Penghitungan koefisien korelai dan uji-t dilakukan dengan menggunakan


(52)

 

    ) ) ( ) )( ) ( ( / ) )( ( ) ( 2 2 2 2 N Y Y N X X N Y X XY r (3.06)

dan 2

1 2 r N r t 

 (3.07)

d. Rancangan Pengolahan Data

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan “split-half” terhadap sejumlah pernyataan yang terpilih. Perhitungan koefisien korelasi antara setengah perangkat atas (XA) dengan setengah perangkat bawah (XB) menggunakan rumus (3.06). Selanjutnya reliabilitas seluruh perangkat dihitung dengan rumus (Mason & Bramble, 1978:266):

) 1 ( 2 hh hh tt r r t   (3.08)

e. Pengembangan Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel independen (pendidikan guru, pelatihan guru, pengalaman mengajar) dan satu variabel dependen (profesionalisme guru). Data mengenai keempat variabel tersebut akan dikumpulkan dengan pertolongan instrumen penelitian berupa sejumlah pernyataan/pertanyaan. Untuk mengembangkan instrumen penelitian terlebih dulu disusun kisi-kisi instrumen penelitian; selanjutnya berdasarkan kisi-kisi tersebut disusun sejumlah pernyataan skala sikap model Likert seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.02. di bawah ini.


(1)

regresi

Y= 11,738 + 0,544 X1+ 0,247 X2 + 0,176 X3. Berdasarkan uji linearitas dan signifikansi persamaan tersebut telah teruji linear dan signifikan. Kekuatan hubungan ditunjukkan oleh koefisien korelasi multiple sebesar Rx1x2x3y sebesar 0,826 sehingga koefisien determinannya 0,6823. Hal ini menunjukkan 68,23 % variasi yang terjadi pada profesionalisme guru ditentukan secara bersama-sama oleh pendidikan, pelatihan dan pengalaman mengajar. Hal ini sejalan dengan teori pada bab II yang menyatakan guru sebagai jabatan profesional harus melalui jenjang pendidikan yang mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap serta ketrampilan yang sesuai dengan bidang profesionalnya. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka guru diharapkan bisa mengikutinya melalui berbagai pelatihan. Sebagai pembelajar, guru secara terus-menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.

Walaupun diakui bahwa ada hubungan yang positif dari ketiga variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat (profesionalisme guru), namun profesionalisme guru tidak semata-mata dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut, tetapi masih ada lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhinya namun tidak menjadi fokus dalam penelitian ini.

5.2 Implikasi.


(2)

pelatihan dan pengalaman mengajar terhadap profesionalisme guru. Hal ini menegaskan bahwa sebagai komponen utama yang mempengaruhi profesionalisme bagi seorang guru adalah pendidikan, pelatihan dan pengalaman mengajar.

Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam

melaksanakan profesi keguruannya. Profesional adalah suatu bidang pekerjaan yang memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain sebuah profesi rnemerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu. Oleh karena itu guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimal. Dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka guru-guru perlu pengembangan dan peningkatan ketrampilan melalui berbagai pelatihan. Hal ini juga akan mendukung penerapan kemampuan yang diperoleh dari pendidikan formal, karena pendidikan dan pelatihan (Diklat) merupakan salah satu fungís operacional manajemen sumber daya manusia yang harus dilaksanakan karena merupakan tanggung jawab dalam ragka pengembangan guru. Dengan pendidikan dan pelatihan berarti memberikan kesempatan pada guru untuk meningkatkan kualitas kerjanya.


(3)

hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila guru tersebut mempunyai pengalaman yang baik. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah. Selanjutnya sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu. Dengan kata lain, guru yang berpengalaman sudah banyak menjumpai beragam problema dan ia mampu melampauinya dengan beragam solusi pula.

5.3 Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi seperti diuraikan di atas, di bawah ini diajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.3.1 Profesionalisme guru masih rendah mengisyaratkan perlunya diupayakan usaha-usaha guna meningkatkan profesionalisme guru di Sekolah Menengah Kejuruan.

5.3.2 Peningkatan profesionalisme guru dapat dilakukan dengan peningkatan pendidikan, karena melalui pendidikan guru akan bisa menambah kemampuan atau kompetensinya sesuai yang dipersyaratkan undang-undang .


(4)

kemampuan yang diperoleh dari pendidikan formal, karena pendidikan dan pelatihan (Diklat) merupakan salah satu fungsi operasional manajemen sumber daya manusia yang harus dilaksanakan karena merupakan tanggung jawab dalam ragka pengembangan guru.

5.3.4 Peningkatan profesionalisme guru dapat pula dilakukan melalui peningkatan pengalaman mengajar. Karena melalui pengalaman mengajar akan memungkinkan terciptanya kualitas pembelajaran.


(5)

Abdullah, E.A. (1979) Pengaruh Motif Berprestasi dan Kapasitas Kecerdasan terhadap Prestasi Belajar dalam Kelompok Akademik pada SMAN di Sulawesi Selatan. Bandung: Program Pascasarjana IKIP, tidak diterbitkan. Abdulhak. (2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: Andira Akdon & H. Sahlan. (2005). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian untuk

Administrasi dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruci.

Arif, Z. (1982). Motif Berprestasi dan Tingkat Status Sosial Ekonomi sebagai Faktor Determinatif terhadap Minat Belajar Orang Dewasa dalam Program Kejar Paket A. Program Pascasarjana IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (1988). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Atmodiwiro. (2002). Manajemen Pelatihan. Jakarta: Arddadizya Jaya.

Calhoum, C.C and Finch. A.V. (1982) Vocational Education Concepts and Operation. California, Belmount: Wadsworth, Publishing Company.

Date, A.T. (1988). Perencanaan Pelatihan. Jakarta: PT Elek Media Komputindo Darma A. (1988). Perencanaan Pelatihan. Jakarta: Pusdiklat Pegawai Depdikbud. Depdiknas. (2003). UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Sinar Grafika.

________. (2003). Rencana Strategis Pendidikan Menengah Kejuruan Tahun 2005-2009, Jakarta: Depdiknas

________. (2003). Prinsip-prinsip Manajemen Pelatihan. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan.

________. (2006). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. ________. (1999). Kerja Penelitian dan Karya Ilmiah. Malang: Unibraw


(6)

Edward A.E. (1957). Technique of Attitude Scale Construction. New York: Appleton-Century.

Gagne, R.M. (1970) The Conditiona; of Learning. Ne York: Holt, Rinerhart and Winston.

Harold K/Cyril O’D/Heinz W. (1989) Manejemen Jilid 2. Jakarta: Erlangga Hasan, B. 2003. Perencanaan Pengajaran Bidang Studi. Jakarta: Haji Masagung. Hasibuan, M. (1994) Manajemen Sumber Daya Manusia, Dasar dan Kunci

Keberhasilan. Jakarta: Masagung.

Sastradipoera. (1994). Pengantar Manajemen Perusahaan. Jakarta: Grafindo Press. Kuntjaraningrat.(1977). Metode-metode Penelitian masyarakat. Jakarta: Gramedia. Manullang, M. (1984). Manajemen Personalia. Ghalia Indonesia

Marjuki, S. (1992) Strategi dan Model Pelatihan. Malang: Jurusan PLS.

Bukit. (2002). Sejarah dan Peran PPPGT Bandung dalam Pengembangan Pendidikan Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Depdiknas

Marwansyah dan Mukharam. (2000) Manajemen da SDM.Bandung: Politeknik Ali. 2000. Analisis Keuntungan Mengikuti Pelatihan Kejuruan Sebelum Bekerja dan

Implikasi pada Kurikulum Sekolah Menengah. Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Mei 2000 tahun ke-6 No. 023 ISSN 0215-2673 Jakarta.

Moekijat (1993).Evaluasi Pelatihan. Bandung: Mandar Madju Rogers, A. (1994) Teaching Adult. Philipidea: Open University Pers.

Rusyan, T. 1990. Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Yayasan Karya Sarjana Mandiri.

Reksoatmodjo TN (2006). Statistika .Bandung: Refika Aditama.

Sudjana, N & Ibrahim. (2001) Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA PENGALAMAN MENGAJAR DAN MOTIVASI MENGAJAR DENGAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KABUPATEN KARANGANYAR

4 20 81

PENGARUH LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN MENGAJAR TERHADAP KOMPETENSI PROFESIONAL GURU Pengaruh Latar Belakang Pendidikan Dan Pengalaman Mengajar Terhadap Kompetensi Profesional Guru MA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

0 1 17

PENGARUH LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN MENGAJAR TERHADAP KOMPETENSI PROFESIONAL GURU Pengaruh Latar Belakang Pendidikan Dan Pengalaman Mengajar Terhadap Kompetensi Profesional Guru MA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

0 1 15

PENGARUH IKLIM SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI KOTA BANDUNG.

0 7 57

PENGARUH KOMITMEN KERJA TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU PRODUKTIF PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI JURUSAN TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN DI KOTA BANDUNG.

0 1 60

PENGEMBANGAN KINERJA GURU :Studi tentang Pengaruh Pelatihan Guru serta Hubungan Manusiawi terhadap Kinerja Mengajar Guru di Sekolah Menengah Pertama di Bandung.

0 2 96

Pengaruh lama mengajar pada hubungan kecerdasan emosional dengan profesionalitas guru : survei pada guru-guru Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan negeri dan swasta di Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.

0 0 121

Pengaruh lama mengajar pada hubungan kecerdasan emosional dengan profesionalitas guru survei pada guru guru Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan negeri dan swasta di Kecamatan Kroy

0 0 119

KOMPETENSI PROFESIONAL GURU DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI KOTA SURAKARTA.

0 0 22

PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, PENGALAMAN MENGAJAR, DAN SIKAP PROFESIONAL GURU TERHADAP KOMPETENSI GURU EKONOMI SMA SEKOTA TEGAL

0 2 83