Relasi antara manusia dengan lingkungan hidup dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida kajian intrinsik dan ekokritik

(1)

KARYA MARTIN ALEIDA: KAJIAN INTRINSIK

DAN EKOKRITIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh:

Roswita Rambu Lodang NIM: 121224088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

i

RELASI ANTARA MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL JAMANGILAK TAK PERNAH MENANGIS

KARYA MARTIN ALEIDA: KAJIAN INTRINSIK DAN EKOKRITIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh:

Roswita Rambu Lodang

NIM: 121224088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

 Allah Pencipta alam semesta, Bunda Maria, Yesus Kristus.

 Bapak Dominikus Umbu Rauta dan Mama Imelda Gori yang setia menanam demi mata air bagi anak dan cucu.

 Kelima saudara saya yang melimpahi saya dengan kasih sayang.  Ponakan- ponakan yang sedang bertumbuh dan belajar.

 Keluarga besar Laitarung dan Praikatodu yang terus menanam.  Semua orang yang peduli dan berjuang untuk kelestarian alam.  Semua orang yang membaca dan menulis untuk perubahan baik.


(6)

v

MOTO

Pertolongan Tuhan tidak pernah datang terlambat (Roswita Rambu Lodang)

High quality of life, yes! High standar of living, maybe yes, maybe no! (Arne Naess)

Langit itu kepunyaan Tuhan dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia


(7)

(8)

(9)

viii

ABSTRAK

Lodang, Roswita Rambu. 2017. Relasi Antara Manusia dengan Makhluk Hidup dalam Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis Karya Martin Aleida: Kajian Intrinsik dan Ekokritik. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

Lingkungan yang rusak (pencemaran yang terjadi di air, tanah, udara, hutan, laut dan seterusnya) disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan mementingkan diri sendiri. Manusia keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta. Manusia adalah penyebab krisis lingkungan, dan seharusnya menjadi yang bertanggung jawab menyelamatkannya. Untuk meyelamatkan lingkungan, manusia harus menyadari penempatan dirinya dalam berinteraksi dengan alam dan manusia dalam keseluruhan ekosistem.

Penelitian ini membahas relasi antara manusia dengan lingkungan hidup dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Untuk dapat memahami relasi antara manusia dengan lingkungan hidup, peneliti melakukan analisis menggunakan kajian intrinsik dan ekokritik. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif, untuk mendeskripasikan fakta yang ditemukan dalam novel kemudian dianalisis untuk memahami relasi manusia dengan lingkungan hidup.

Dari hasil analisis dokumen menggunakan metode analisis deskriptif dan kajian intrinsik dan ekokritik, peneliti dapat menyimpulkan bahwa novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida memaparkan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup. Manusia dan lingkungan hidup adalah satu kesatuan. Keegoisan manusia akan berdampak pada krisis lingkungan, dan krisis lingkungan akan berdampak pada keselamatan manusia.


(10)

ix

ABSTRACT

Lodang, Roswita Rambu. 2017. Relationship between Human and Environmental in the Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis

by Martin Aleida: Intrinsic and Ecocritic Studies. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, Sanata Dharma University

The damaged environment (the contamination on water, land, air, forest, etc.) is caused by irresponsible and greed human’s behavior. The man is erroneous in placing themselves on nature context. Human being is the cause of environment crisis and so on become the care-taker of the rescuing. To rescue the environment, human being should realize themselves’ placing in interacting with the nature and the other man in all ecosystems

This research discuses about the relation among human and the living environment in Jamangilak Tak Pernah Menangis novel by Martin Aleida. To be able to comprehend the relation among them, the researcher does the analysis using intrinsic and ecocritic studies. The method used is descriptive analysis, to describe the fact which is found in the novel then it is analyzed to comprehend the relation among them.

The result of analyzing the document uses the descriptive method analysis and intrinsic and ecocriticis studies, the researcher can conclude that Jamangilak Tak Pernah Menangis novel by Martin Aleida presents the relation among human being and the environment. They are unity. Human being selfishness will impact on the environment crisis, and it will impact on the human being’s safety.


(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji, syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Allah Pencipta alam semesta atas kehidupan, karunia dan berkat yang dilimpahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan melunasi syarat untuk memperoleh gelar sarjana berupa skripsi yang berjudul: Relasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup dalam Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida: Kajian Intrinsik dan Ekokritik.

Penulis menyadari bahwa dalam proses menyelesaikan pendidikan, penulis menghadapi masalah dan tantangan, namun, banyak waktu telah dilalui, banyak pelajaran berharga telah dipelajari dan banyak bantuan telah penulis terima untuk menghadapi masalah dan tantangan yang ada. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.

3. Drs. J. Prapta Diharja, S.J., M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan banyak motivasi, perhatian, dan arahan dengan penuh kesabaran demi selesainya skripsi ini.

4. Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah mendidik dan membimbing penulis selama perkuliahan.


(12)

xi

6. Bapak Robertus Marsidiq, selaku sekretaris Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah banyak membantu kelancaran kebutuhan administrasi penulis di Prodi PBSI.

7. Bapak Dominikus Umbu Rauta dan Mama Imelda Gori atas kelimpahan cinta, dukungan doa, materi dan motivasi kepada penulis, sehingga pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dapat penulis selesaikan.

8. Kakak Karolina Rambu Fuji dan keluarga, Kakak Robertus Umbu Tayi dan keluarga, Kakak Martha Diana Rambu Nawu dan Keluarga, Kakak Thobias Umbu Jama dan keluarga, untuk kasih sayang yang berlimpah, dukungan doa dan materi bagi penulis.

9. Adik Melania Rambu Day untuk kasih sayang, perlindungan, doa, dan kebersamaan yang menguatkan.

10.Om Agustinus Umbu Sebu dan Tante Marselina Rambu Nawu, keluarga besar Praikatodu dan Laitarung yang setia mendoakan, memberikan perhatian, kasih sayang dan memotivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

11.Sahabat-sahabat penulis, Eva Tri R., Denok Vivi Angelina, Irene Kayep, Chrisan Wungo, Srisusantri Rambu E., Roy Milla, Rolis Rohi, Fr. Ino Lefan C.Ss.R., Skolastika Wawo, Vania, Istu, Yanta dan Ben yang setia menguatkan, mendukung dan menyayangi penulis.

12.Frater Linus C.Ss.R., Kak Helmi yang membantu penulis menemukan referensi untuk kelancaran skripsi dan Kak Frans No Awe yang dengan baik boleh penulis pinjam buku-bukunya selama berbulan-bulan, memotivasi, dan berbagi ilmu dalam diskusi.

13.Teman-teman di PBSI angkatan 2012, kelas A, B, dan C, teman-teman PBSI angkatan 2013, dan teman-teman di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa natas

Universitas Sanata Dharma untuk kebersamaan dan semua dukungan pada penulis.


(13)

xii

15.Saudara-saudara saya di Keluarga Mahasiswa Katolik Sumba Yogyakarta, Keluarga Besar Gailaru Marada Jogja dan semua saudara-saudara mahasiswa Sumba yang telah boleh menjadi rumah kedua tempat berlindung selama di Jogja.

16.Teman-teman kost Serafim Cantique (Kak Stefy, Tanty, Try, Rini, Tia, Vivi, Tinsi, Citra, Angel, Nana, Iin) dan Gailar Mrican (Iwin, Dairu, Soli dan Dedu) yang mendukung dan mencintai penulis dengan cara yang lucu.

17.Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi dan tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Tuhan Memberkati.


(14)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 10


(15)

xiv

1. Unsur Intrinsik Novel ... 12

a. Tokoh dan Penokohan ... 13

b. Alur ... 18

c. Latar ... 22

d. Tema ... 24

2. Ekokritik ... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 32

B. Sumber Data Penelitian ... 32

C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 33

D. Instrumen Penelitian... 33

E. Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 35

B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis ... 35

1. Tokoh dan Penokohan ... 36

a. Tokoh Sentral ... 42

b. Tokoh Bawahan ... 62

2. Alur ... 63

a. Paparan. ... 63

b. Rangsangan ... 67

c. Gawatan... 71

d. Tikaian... 73

e. Rumitan ... 74

f. Klimaks ... 77

g. Leraian... 79


(16)

xv

3. Latar ... 80

a. Latar Tempat ... 81

b. Latar Waktu ... 85

c. Latar Sosial... 90

4. Tema ... 92

C. Relasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup: Kajian Ekokritik ... 96

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 127

DAFTAR RUJUKAN ... 128


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bumi berada dalam kondisi kritis karena kerusakan yang ditimpakan padanya. Aktivitas manusia tidak memikirkan tanggung jawab mereka untuk tetap melestarikan alam yang telah memberikan kehidupan. Manusia menghirup udaranya, dan hidup serta disegarkan oleh air dari bumi. Pembangunan di mana-mana tidak memperhatikan dampaknya terhadap alam. Terjadi pengalihan fungsi lahan, penjarahan hutan, pencemaran udara, tanah, dan air tanpa memikirkan usia bumi. Limbah pabrik mengalir ke sungai, hutan dijarah untuk membangun pabrik, lahan-lahan beralih fungsi untuk membangun perumahan mewah yang tidak ramah lingkungan. Banyak makhluk hidup menggantungkan kehidupannya pada alam, seperti sungai sebagai lalu lintas perekonomian, mata air sebagai sumber air bersih, hutan sebagai rumah bagi binatang, namun ada pihak lain yang tidak memikirkan panjang umurnya ketergantungan manusia pada alam itu.

Manusia sebagai makluk hidup selalu berinteraksi dengan lingkungannnya mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi seperti kerusakan tanah, pencemaran lingkungan dan sebagainya (Supardi, 1985:1). Manusia harus menyadari bahwa perlakuan mereka terhadap bumi adalah sebuah penyiksaan terhadap rumah kita bersama yang perlu dijaga


(18)

keselamatannya demi kelangsungan makhluk yang menumpangkan hidup padanya.

Kekerasan yang dilakukan manusia terhadap bumi tidak saja menyakiti bumi tetapi juga menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia, misalnya gangguan pernapasan dari udara yang tercemar, gangguan pencernaan, dan penyakit kulit dari air yang tercemar limbah. Masalah kesehatan yang timbul ini baru diambil tindakan ketika telah terjadi masalah yang cukup serius dan permanen dalam kesehatan manusia (Fransiskus, 2016:18).

Untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan konsep ekonomi, perdagangan, dan produksi jangka pendek, manusia menjarah sumber daya alam yang berakibat pada hilangnya hutan, vegetasi lainnya, dan spesies yang juga mempunyai peran sebagai sumber daya penting bagi kebutuhan manusia dan pengatur masalah lingkungan di masa yang akan datang (Fransiskus, 2016: 24).

Lingkungan hidup adalah suatu hal yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat. Membicarakan lingkungan hidup sama halnya membicarakan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, sungai, sawah, air, tanah, dan lain-lain. Manusia menyatu dengan alam, hidup dari hasil alam, dan bersama makhluk hidup yang lain memiliki relasi dengan alam.

Kekerasan terhadap lingkungan kerap terjadi di Indonesia, tanpa disadari bahwa bumi sedikit demi sedikit mendekati kehancuran. Penebangan


(19)

hutan secara sembarangan, pembakaran lahan dan hutan, serta pembangunan tanpa memperhatikan kebutuhan air lingkungan terjadi di mana-mana. Aktivitas manusia yang tidak terkendali mengakibatkan masalah ekologi yang tragis dan menyebabkan manusia menjadi korban dari degradasi ini (Fransiskus, 2016: 8).

Hubungan antara makhluk hidup sebagai suatu kesatuan dengan lingkungannya dipelajari dalam ilmu yang disebut ekologi. Di dalam hubungan ekologi tersebut tercakup faktor fisik, biologik, sosioekonomi, dan juga politis. Hubungan ini bersifat timbal balik dan membentuk suatu sistem yang disebut ekosistem (Supardi, 1987:1).

Interaksi makhluk hidup dengan lingkungannya menimbulkan ketidakselarasan ekologi. Dalam hal ini manusia sebagai makhluk hidup adalah makhluk yang paling berpengaruh pada tidak seimbangnya ekologi. Usaha-usaha manusia menunjang kehidupannya dengan memanfaatkan sumber alam berakibat apada kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan (Supardi, 1987:1).

Yang harus terjadi dalam interaksi manusia dengan lingkungannya adalah semakin manusia terancam oleh kemerosotan kualitas lingkungan, manusia semakin giat memulihkan keseimbangan lingkungan. Kenyataan yang terjadi adalah, manusia terus melakukan eksploitasi terhadap lingkungan, tanpa memikirkan kualitas dan umur panjangnya bumi yang menyediakan lingkungan bagi makhluk hidup.


(20)

Sumardjo dan Saini dalam buku Apresiasi Kesusastraan (1986:3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan bahasa. Menurut Plato dalam Susanto (2016:4) sastra sebagai tiruan dunia atau alam dan karya sastra sebagai tiruan yang kreatif yang berpuncak pada ide-ide. Sastra adalah suatu produk kreatif yang dekat dan timbul karena adanya desakan-desakan emosional masyarakat dan kemudian turut membangun emosi masyarakat yang bersentuhan dengan sastra itu.

Sayangnya belum banyak karya sastra yang memberikan perhatian pada kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Novita Dewi, dalam penelitian melalui Hibah Desentralisasi DIKTI 2015 melalui Skim Penelitian Fundamental yang telah terlaksana 25 Maret 2015 sampai dengan 32 Oktober 2015, meneliti cerpen-cerpen yang terbit di surat kabar Kompas 2010-2015 yang bertemakan lingkungan hidup sebagai data dan dianalisis dengan metode pembacaan kritis dan Teori Ekokritik. Dari penelitian tersebut, disinyalir bahwa karya sastra, khususnya cerpen-cerpen yang berperspektif lingkungan hidup belum menjadi primadona dalam sastra Indonesia (Diharja, 2016).

Beberapa pengarang memberi perhatian pada keadaan bumi yang kritis melalui karya yang mengangkat isu lingkungan. Salah satu karya sastra yang mengangkat isu lingkungan adalah Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis


(21)

(2004) karya Martin Aleida, dan Novel Partikel (2012) karya Dee Lestari. Kedua novel tersebut menggugat ulah manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologi.

Martin Aleida lahir di Sungai Kepayang, Tanjung Balai, Sumatera Utara. Mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di Sekolah Menengah Atas dan diterbitkan di Indonesia Baru (Medan) dan Harian Rakyat (Jakarta), dua harian yang pada awal 1960-an setiap hari memuat cerita pendek. Kumpulan cerita pendeknya yang pertama, Malam Kelabu, Ilyana dan Aku, terbit tahun1998, disusul noveletnya, Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi, yang terbit setahun kemudian. Cerita-cerita yang dikumpulkan dalam Leontin Dewangga (Penerbit Buku KOMPAS, Desember 2003) memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004, yang diberikan berdasarkan “keajekan berkarya serta pencapaian artistik.” (Aleida, 2004:241).

Martin menulis berdasarkan keadaan lingkungan di Sumatera Utara yang sedang menuju kehancuran namun tidak mendapat perhatian dari manusia. Martin menceritakan tokoh Molek dan anaknya Hurlang yang gelisah pada kekuatan industri yang dapat menghantarkan bumi pada kehancuran dan kematian gerakan ekonomi kampung mereka. Limbah sebuah perusahaan rayon di Sumatera mengotori Sungai Asahan yang merupakan sumber mata pencarian penduduk setempat sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Pasir yang menebal pada dasar sungai menyebabkan sungai yang


(22)

menjadi lalu lintas ekonomi tidak layak dilayari kapal. Ikan-ikan mati karena pencemaran limbah. Pemerintah yang mengelola pajak rakyat seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan persoalan, namun tidak demikian, usaha Molek dan anaknya dibalas tindak kekerasan penguasa.

Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Dalam teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Biasanya ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya atau ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan lingkungannya. Teori ekologi dapat digunakan sebagai alat kritik, maka perjumpaannya dengan teori sastra melahirkan ekokritik (Harsono dkk, 2008:34).

Quick dalam Endraswara (2016) mengungkapkan bahwa novel adalah fiksi yang banyak melukiskan lingkungan. Tak ada novel yang tidak terkait dengan lingkungan. Novel absurd pun tetap terkait dengan lingkungan. Oleh sebab itu, ekokritisisme dapat diterapkan untuk memahami novel. Novel banyak menampilkan lingkungan yang pantas dibaca dengan sadar ekologis. Hal ini berarti pengkaji ekokritik novel akan mempelajari hubungan antara sastra dan alam melalui berbagai pendekatan memiliki kesamaan selain keprihatinan bersama dengan lingkungan.


(23)

Penulis memilih menganalisis Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida dengan pendekatan ekokritik pertama, karena sejauh pengetahuan penulis, belum ada yang menganalisis novel ini dengan menggunakan pendekatan ekokritisisme. Kedua, penulis tertarik pada pendekatan ekokritik yang menurut penulis merupakan pendekatan baru dalam dunia sastra Indonesia. Ketiga, novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida ini menarik untuk dikaji upaya-upaya manusia menyelamatkan lingkungannya. Martin Aleida mengisahkan Molek, wanita yang berusaha menyelamatkan Sungai Asahan yang semakin hari semakin dangkal karena luapan pasir dan tercemar oleh limbah sebuah perusahaan rayon di Sumatera.

Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengisahkan penolakan manusia terhadap keadaan alam yang memberinya kehidupan. Molek, tokoh dalam novel ini sadar benar bahwa Sungai Asahan adalah bagian dari semesta yang telah memberinya kehidupan selama bertahun-tahun. Kehidupan itu tidak boleh dihentikan oleh gunungan pasir yang mendangkalkan sungai dan limbah yang membunuh makhluk hidup, merusak tanah, air dan udara. Molek kemudian menuntut pemerintah mengeruk Sungai Asahan. Namun usaha Molek berbuah kekerasan dari pemerintah.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis akan menganalisis relasi antara manusia dan lingkungan hidup dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Analisis ini dilakukan


(24)

untuk mengetahui relasi antara manusia dan lingkungan hidup dalam novel tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana unsur tokoh, alur, latar dan tema novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida?

2. Bagaimana analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka tujuan yang akan dicapai adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur tokoh, alur, latar dan tema novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.

2. Mendeskripsikan analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.

D. Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis

a. Analisis novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi studi kritik sastra


(25)

dalam menerapkan pendekatan ekokritik untuk menganalisis karya sastra.

b. Sebagai referensi dan bahan perbandingan. 2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan ataupun dasar bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

b. Membantu pembaca untuk memahami hubungan penting antara manusia dan lingkungan hidupnya dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.

c. Menyadarkan pembaca akan penting melestarikan lingkungan hidup.

E. Sistematika Penyajian

Tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab I berupa Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berupa landasan teori yang berisi penelitian terdahulu dan kajian teori. Bab III berupa metodologi penelitian yang berisi jenis penelitian, sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data. Bab IV berupa hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berupa penutup.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan pengetahuan penulis, analisis relasi antara manusia dan lingkungan hidup dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis belum pernah dilakukan. Penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Alfi Yusrina Ramadhani (2013), J. Prapta Diharja (2016), Fatimah (2016) dan Novita Dewi (2013)

Penelitian yang dilakukan oleh Alfi Yusrina Ramadhani (2013) berjudul “Relasi Antara Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Novel Partikel Karya Dewi Lestari: Sebuah Kajian Ekokritisisme”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa novel Partikel mengandung sebuah gagasan utama bahwa pada hakikatnya manusia dan alam adalah satu.

Penelitian yang dilakukan oleh J. Prapta Diharja (2016) berjudul “Analisis Puisi ‘Rumah’ Karya Darmanto JT dengan Pendekatan Semiologi dan Ekologi Sastra”. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa rumah bukan sekadar sebuah bangunan, tetapi sebuah tempat bertemunya laki-laki dan perempuan, di mana perempuan mampu menjadikan dan mengajarkan anak-anaknya menjaga kebersihan halaman agar anak-anak dapat bermain,


(27)

dan memfungsikan tanaman sebagai obat. Penelitian ini menggambarkan bagaimana manusia memberdayakan lingkungannya.

Fatimah (2016) melakukan penelitian dengan judul “Analisis ekokritik pada Tokoh Sean Anderson dalam Film The Journey 2: The Mysterious

Island”. Penelitian ini menggunakan pendekaatan kualitatif dengan

melakukan analisis tekstual. Analisis scene film didasarkan pada klasifikasi etika lingkungan biosentris, ekosentris, dan antroposentris. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa film yang dikaji melegitimasi kedudukan manusia terhadap alam yakni sebagai penguasa yang egois dan selalu ingin memuaskan rasa penasaran dan ketidakpuasan tanpa henti hingga mengakibatkan kiamat kecil berupa bencana alam dan penderitaan bagi kehidupan di muka bumi.

Pada tahun 2013, Novita Dewi menulis sebuah prosiding dengan Judul “Ekokritisisme dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia: Sebuah Usulan”. Karya ilmiah ini memaparkan bagaimana kerusakan bumi saat ini, dan seharusnya manusia bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan pendidikan karakter melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis juga membahas novel Jamangilak Tak Pernah Menangis dalam jurnal ini, namun tidak banyak. Penulis hanya memaparkan novel tersebut sebagai contoh karya sastra yang memuat kritik terhadap lingkungan.


(28)

Dari penelitian terdahulu di atas, peneliti terdahulu memaparkan kepada penikmat karya sastra tentang hubungan manusia dan lingkungannya. Penulis berharap penelitian terdahulu dapat dijadikan referensi untuk kelancaran penelitian ini, karena penelitian terdahulu juga mengkaji karya sastra dengan teori ekokrtik seperti topik yang diangkat peneliti.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu, Fatimah (2016) menjadikan Film The Journey 2: The Mysterious Island sebagai objek penelitiannya, Diharja (2016) menjadikan Puisi Rumah karya Darmanto JT sebagai objek penelitiannya, dan yang menjadi objek penelitian dari Yusrina (2013) adalah novel Partikel karya Dewi Lestari sedangkan objek penelitian penulis adalah novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Novita Dewi (2013) dalam jurnalnya juga membahas Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, namun tidak membahas seluruh isi novel, sedangkan peneliti mengkaji seluruh isi novel.

B. Kajian Teori

Pada bagian ini diuraikan teori yang digunakan penulis sebagai landasan dalam penelitian yaitu kajian unsur-unsur intrinsik novel yang mencakup tokoh, latar, alur dan tema serta teori ekokritik.

1. Unsur Intrinsik Novel

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu


(29)

dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Unsur pembangun sebuah novel-yang kemudian membentuk totalitas itu. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang dimaksud antara lain: plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012:22-25).

Pada penelitian ini, peneliti hanya akan membahas tokoh dan penokohan, alur, latar dan tema karena keempat unsur ini yang mempunyai kaitan dengan pengkajian ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida

Berikut ini adalah unsur-unsur pembangun cerita dalam Sudjiman (1988: 17-20).

a. Tokoh dan penokohan

Menurut Sudjiman (1988:16) yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan; sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165), tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan


(30)

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, dapatlah dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan. Sudjiman (1988:17-20).

1) Tokoh Sentral

Panuti Sudjiman (1988), mengungkapkan bahwa tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antartokoh. Protagonis berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak berhubungan satu dengan yang lain.

Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral. Dalam karya sastra tradisional seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan antara protagonis dan antagonis jelas sekali. Protagonis mewakili yang baik dan yang


(31)

terpuji, karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedang antagonis mewakili pihak jahat atau yang salah. Dalam fungsinya sebagai sumber nilai, cerita rakyat selalu memenangkan protagonis yang menjadi tokoh teladan itu.

Selain protagonis dan antagonis, wirawan atau wirawati dan antiwirawan atau antiwirawati juga merupakan tokoh sentral. Tokoh ini penting dalam cerita, dan karena pentingnya, cenderung mengeser kedudukan tokoh utama. Wirawan pada umumnya punya keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia. Sebaliknya antiwirawan adalah tokoh yang tidak memiliki nilai-nilai tokoh wirawan dan berlaku sebagai tokoh kegagalan. Menurut Sayuti (2000:74) tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan, paling tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema. Kedua, paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh sentral juga terlibat dalam konflik dan klimaks serta menjadi pemenang dalam cerita.

2) Tokoh Bawahan

Menurut Grimes dalam Sudjiman (1988: 19) yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak


(32)

sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tokoh bawahan yang sebenarnya sulit disebut tokoh karena ia boleh dikatakan tidak memegang peranan di dalam cerita.

Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita

Rekaan (1988:23), tokoh-tokoh itu merupakan rekaan

pengarang, maka hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih luas dibanding pengertian tokoh karena sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166).

a) Teknik Pelukisan Tokoh

Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau pelukisan sifat, watak, tingkah laku dan


(33)

berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yang masing-masing tokoh memiliki sebutan yang berbeda. Abrams menyebutnya teknik uraian (telling) dan ragaan (showing), Kenny menyebutnya teknik diskursiv (discursive), dramatik dan kontekstual. Teknik pelukisan tokoh yang akan dibahas peneliti adalah teknik pelukisan tokoh menurut Kenny dalam Sudjiman (1988:24-27).

1. Teknik Diskursif

Dalam teknik diskursif ini adakalanya pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya, kadang-kadang dengan menyisipkan kilatan (allusion) atau komentar pernyataan setuju atau tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu. Pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Cara yang mekanis sifatnya ini memang sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh.


(34)

2. Teknik Dramatik

Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya.

3. Teknik Kontekstual

Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang dalam mengacu kepada tokoh. Misalnya, pengarang menggambarkan kelakuan tokoh A dengan kata-kata “serigala itu menjilati seluruh tubuh wanita itu dengan pandangannya yang liar” maka dapat diperkirakan bagaimana watak tokoh A itu.

b. Alur

Sudjiman (1988:29) berpendapat bahwa alur adalah urutan peristiwa yang membangun tulang punggung cerita. Masih dalam Sudjiman, Marjorise Boulton mengibaratkan alur sebagai rangka dalam tubuh manusia. Tanpa rangka, tubuh tidak dapat berdiri.


(35)

Berikut struktur umum alur dan pengaluran dalam Sudjiman (1988:30-36).

1. Paparan

Awal 2.Rangsangan

3.Gawatan 4.Tikaian

Tengah 5.Rumitan

6.Klimaks 7.Leraian

Akhir 8.Selesaian

Pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. Cerita diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan peristiwa tertentu lainnya, tanpa terikat pada urutan waktu.

1) Paparan

Peristiwa yang mengawali cerita selalu berisi sejumlah informasi bagi pembaca. Penyampaian informasi kepada pembaca ini disebut paparan atau eksposisi. Paparan merupakan fungsi utama awal suatu cerita. Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan


(36)

pembaca mengikuti kisahan selanjutnya. Lain daripada itu, situasi yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita itu berkembang.

2) Rangsangan

Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan. Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras.

3) Gawatan

Tegangan adalah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi. Adanya tegangan menyebabkan pembaca terpancing keingintahuannya akan kelanjutan cerita serta akan penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh; suatu keprihatinan akan nasib tokoh selanjutnya.

4) Tikaian

Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu.


(37)

5) Rumitan

Rumitan adalah perkembangan dari gejala mula tikaian menuju klimaks cerita. Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya.

6) Klimaks

Klimaks terlihat ketika rumitan mencapai puncak kehebatannya. Menurut Sumardjo dan Saini (1985), klimaks adalah bagian alur yang menunjukkan adanya pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan.

7) Leraian

Leraian adalah bagian struktur alur sesudah klimaks yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian.

8) Selesaian

Selesaian bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan (happy ending), boleh juga mengandung penyelesaian masalah yang menyedihkan; misalnya si tokoh bunuh diri. Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan, tanpa adanya penyelesaian masalah, dalam keadaan yang penuh ketidakpastian, ketidakjelasan, ataupun ketidakpahaman.


(38)

c. Latar

Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1988:44) berpendapat bahwa cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa orang tokoh. Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2012:216) latar atau setting disebut juga sebagai landasan pada pengertian, tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Hudson dalam Sudjiman (1988:44) membedakan latar atas dua macam yaitu latar sosial dan latar fisik/ material, sedangkan Nurgiyantoro membedakan latar dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu, dan sosial.

1) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.


(39)

Menurut Sudjiman, (1988:44) Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam penggambaran latar fisik, tidak semata-mata menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil, misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati pembaca tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.

Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi (2012:218-219), Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual. Latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual

2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.


(40)

3) Latar Sosial

Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.

Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam penggambaran latar fisik, tidak semata-mata menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil, misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati pembaca tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.

Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi (2012:218-219), Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual. Latar tempat secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual.

d. Tema

Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra itu. Adanya tema membuat karya sastra lebih penting dari sekedar bacaan hiburan. (Sudjiman, 1988:50). Menurut


(41)

Hartoko dan Rahmanto (Nurgiyantoro, 2012: 68) tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di alam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yng terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.

2. Ekokritik

Menurut Glotfelty (1996) Ecocriticism is the study of the

relationship between literatur and the physical environment:

Ekokritisisme adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Harsono (2008: 1) berpendapat bahwa istilah ekokritik berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata criticism. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami sebagai kritik sastra berwawasan lingkungan.

Menurut Endraswara (2016), ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan


(42)

cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air dan tanah di muka bumi ini. Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan hidup termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik yang biasanya menjadi perhatian ekologi.

Ekokritik juga merupakan perspektif kajian yang berusaha menganalisis sastra dari sudut pandang lingkungan. Kajian ini berupaya mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya menimbulkan pertanyaan teknis, ilmiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya yang terkait dengan fenomena sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra adalah merepresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan dalam sastra.

Dalam bukunya yang berjudul Ekokritik Sastra, (2016) Endraswara mengungkapkan bahwa ekokritisisme adalah kemampuan untuk mengkritik wacana yang ada, artefak budaya, bentuk dan genre, dan mengeksplorasi alternatif lingkungan sastra. Lingkungan yang mengitari sastra menjadi fokus pengkajian ekokritisisme. Ada materi pokok kajian ekokritisisme sastra, yaitu: (1) penelitian ekokritik dan pedagogi sastra dalam kaitannya dengan lingkungan, (2) bagaimana prinsip-prinsip utama yang seharusnya diajarkan lewat sastra terhadap lingkungan untuk menyelamatkan bumi (Endraswara 2016: 2).


(43)

Ekokritisisme muncul dari abad ke-20 dan di awal dekade pertama abad ke 21. Sejak saat itu di Indonesia mulai mencium aroma ekokritik sastra. Ekokritisisme adalah salah satu dari beberapa perspektif baru teori pemahaman sastra untuk meneliti sebuah atau sepotong sastra dengan kriteria eko-ilmiah memang sudah saaatnya. Perspektif ekokrtik sastra merupakan jalur alternatif studi analisis sastra dan lingkungan dari perspektif interdisipliner. Dalam pandangan ini, semua disiplin datang bersama-sama untuk menganalisis lingkungan dan mencari tahu kemungkinan solusi untuk masalah lingkungan saat ini terkait dengan sastra (Endraswara 2016: 10).

Ekokritik menggunakan teori sastra dan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang multidisiplin begitu pula teori ekologi. Dalam sudut pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Paradigma teori mimetik yang dapat digunakan, misalnya paradigma imitasi dari Plato atau rekreasi yang kemudian dikembangkan oleh M.H. Abrams dengan teori universe-nya (Endraswara 2016: 12).

Paus Paulus VI dalam Ensiklik Laudato Si’ yang diserukan Paus Fransiskus (2016: 8) berbicara tentang masalah ekologi disebabkan akibat tragis dari aktivitas manusia yang tidak terkendali: “Karena eksploitasi


(44)

alam yang sembarangan, manusia mengambil resiko merusak alam dan pada giliranya menjadi korban degradasi ini”.

Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami orang setiap hari. Terkena polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini. Orang jatuh sakit, misalnya karena terus menghirup asap bahan bakar tingkat tinggi yang digunakan untuk memasak atau memanaskan rumah. Adalagi polusi yang mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh transportasi, asap industri, zat yang memberikan kontribusi pada pengasaman tanah dan air (Fransiskus, 2015: 17).

Perlu dipertimbangkan pencemaran yang disebabkan limbah, termasuk limbah berbahaya yang ada di berbagai daerah. Setiap tahun dihasilkan ratusan juta ton limbah, yang sebagian besar tidak bisa diurai oleh proses biologis: limbah domestik dan komersial, limbah pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan industri, limbah yang sangat beracun dan bersifat radioaktif (Fransiskus, 2016: 18).

Sebuah masalah yang serius adalah kualitas air yang tersedia bagi orang miskin, yang menyebabkan banyak kematian setiap hari. Penyakit yang berhubungan dengan air, banyak ditemukan di antara orang miskin, termasuk yang disebabkan oleh mikro-organisme dan zat kimia. Disentri dan kolera yang terkait dengan layanan higienis dan persediaan air yang


(45)

tidak layak dikonsumsi, adalah penyebab signifikan penderitaan dan kematian bayi. Sumber air bawah tanah di banyak tempat terancam oleh polusi yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan, pertanian dan industri tertentu, terutama di negara-negara di mana tidak ada peraturan atau pengawasan yang memadai. Hal ini tidak hanya disebabkan limbah industri. Banyak detergen dan produk kimia, yang masih lazim digunakan oleh penduduk di banyak tempat di dunia terus mengalir ke sungai, danau dan laut (Fransiskus, 2015: 22).

Menurunnya kualitas air juga menyebabkan kematian kegiatan ekonomi pedagang, nelayan dan petani. Sungai yang dialiri limbah membunuh ikan-ikan dan makhluk air lainnya. Air yang tercemar tidak dapat membantu kelanjutan hidup tanaman, dan limbah industri mengalirkan lumpur yang mendangkalkan sungai, menyebabkan ketidaklancaran lalulintas air yang banyak membantu kegiatan para pedagang.

Etika lingkungan hidup dipahami sebagai refleksi kritis tentang apa yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan isu lingkungan. Termasuk, apa yang harus diputuskan manusia dalam membuat pilihan moral dalam mememuhi kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan hidup. Juga, apa


(46)

yang harus diputuskan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dan politiknya yang berdampak pada lingkungan hidup (Keraf, 2010: 41).

Antroposentrisme adalah etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi (Keraf, 2010: 48).

Biosentrisme menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak (Keraf, 2010: 65).

Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu,


(47)

kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis (Keraf, 2010: 92).

Untuk melakukan analisis hubungan manusia dan lingkungannya menggunakan pendekatan ekokritisisme, peneliti melakukan pemeriksaan bahasa yang digunakan untuk menggambarkan alam, khususnya kutipan-kutipan tokoh Molek yang berkaitan dengan interaksinya dengan alam, dan dengan melibatkan etika lingkungan yaitu biosentris, ekosentris dan antroposentris, peneliti berharap dapat memaparkan hubungan antara manusia dan lingkungannya dalam novel Jamagilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab 3 ini memuat jenis penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller (Moleong 1989:3) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

B. Sumber Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperi dokumen dan lain-lain. Sumber data penelitian yang dipilih oleh penulis untuk meneliti adalah novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan ukuran buku


(49)

panjang 20,5cm dan lebar 13,5cm dan tebal 124 halaman. Data dari penelitian ini berupa kalimat dan paragraf yang diambil dari kutipan novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida yang menggambarkan hubungan manusia dan lingkungannya.

C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan analisis deskriptif: penelitian ini berfokus pada sumber data berupa novel yang berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, khususnya kutipan-kutipan tokoh Molek yang berkaitan dengan interaksinya dengan alam. Studi pustaka pada novel ini dilakukan dengan membaca, mencatat, dan memberikan tanda pada kejadian atau tingkah laku Molek yang berkaitan dengan interaksinya dengan alam menggunakan pedekatan ekokritik.

D. Instrumen Penelitian

Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Peneliti adalah instrumen penelitian ini sendiri. Penulis berhubungan langsung dengan semua proses dalam melakukan penelitian ini.


(50)

E. Teknik Analisis Data

Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2013:53). Dalam penelitian ini, penulis menguraikan novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, dengan mengumpulkan data-data yang sudah diberi tanda, kemudian diuraikan secara tepat melalui kajian struktural yaitu analisis tokoh, latar, alur, dan tema serta analisis ekokritik dalam novel, sehingga rumusan masalah dapat terjawab dalam penelitian ini.


(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Dalam bab ini peneliti menganalisis empat unsur intrinsik yaitu tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Peneliti menganalisis tokoh dan penokohan untuk menemukan tokoh sebagai manusia yang memiliki hubungan dengan lingkungan. Selanjutnya peneliti menganalisis latar yang membentuk hubungan antara manusia dan lingkungan. Latar yang dianalisis adalah latar latar sosial dan fisik. Setelah itu peneliti menganalisis alur dan tema dari novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.

Setelah menganalis unsur intrinsik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, peneliti mendeskripsikan hasil analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida untuk memaparkan hubungan manusia dan lingkungan dalam novel tersebut.

B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis

Sebuah karya sastra merupakan suatu bentuk gambaran yang konkret dari pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan. Dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, terdapat empat unsur yang dapat


(52)

memberikan gambaran konkret. Keempat unsur tersebut adalah tokoh dan penokohan, alur, latar dan tema.

1. Tokoh dan Penokohan

Menurut Sudjiman (1988:16) yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165), tokoh cerita (character) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, dapatlah dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan dalam Sudjiman, (1988:17-20).

Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1988:23), tokoh-tokoh itu merupakan rekaan pengarang, maka hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih luas dibanding pengertian


(53)

tokoh karena sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166).

Tokoh yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida adalah Molek Saragi, Jabosi, Hurlang Jamangilak, Jumontam, Jamangilak, Sibarani, Ali Badak, laki-laki di rumah Bupati, laki-laki di kantor Bupati, sekretaris Bupati, pejabat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat, interogator, Asmu, Lebi, Kristin, Emi Binti Madali, Pastor, Pastor Hilarius, pengayuh sampan, penduduk tepi sungai, penduduk wilayah hutan, perempuan Siraituruk, Boru Sirait. Akan tetapi, dalam penelitian ini peneliti perlu melakukan pembatasan terhadap tokoh-tokoh yang dibahas agar analisis menjadi lebih fokus. Berikut ini tokoh-tokoh yang akan dibahas.

a. Molek Saragi memiliki sifat pantang menyerah dan peka terhadap lingkungan. Keadaan sungai yang mengancam lingkungan hidup membuat dia bertekad untuk melakukan usaha penyelamatan. Berbagai langkah ditempuhnya. Dia sendiri mengadu pada pemerintah, hingga mengadakan rapat besar, serta demonstrasi di kecamatan. Berikut ini bukti dari Molek yang bersikap pantang menyerah.


(54)

1) Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).

Berikut ini bukti dari sikap Molek yang peka terhadap lingkungan. 2) Rupanya kepergian suaminya tidak memberati hati. Hanya pasir,

lumpur dan entah apalagi, yang membikin dangkal sungai, yang menyesakkan benaknya, yang terus menerus datang mendera pikirannya (Aleida, 2004:29).

b. Hurlang Jamangilak bersifat pantang menyerah. Setelah membantu Molek, ibunya untuk mengumpulkan masyarakat dalam rapat besar di Lapangan Padang Bundar, Hurlang disiksa aparat keamanan, dan hampir dibunuh ibunya karena melakukan dosa besar yang diharamkan keluarga, namun, Hurlang tetap berkemauan mendukung usaha ibunya menyelamatkan sungai yang sekarat. Dia hadir dalam demonstrasi di Porsea. Berikut ini adalah bukti dari sikap pantang menyerah Hurlang.

3) Dengan langkah yang diseret, dia tinggalkan tempat di mana dia akan dibakar hidup-hidup menuju kolam yang dibangun kakek-buyutnya, Jamangilak, yang entah sudah berapa dasawarsa ditinggalkan (Aleida, 2004: 174).

4) Molek setengah menjerit begitu matanya tertumbuk pada mata yang sekelebat dilihatnya persis Hurlang, anaknya yang menurut pikirannya sudah tewas terbakar (Aleida, 2004: 219).

c. Jabosi adalah orang yang mudah putus asa. Keadaan sungai yang tidak bisa diandalkan membuat Jabosi putus asa. Dia tidak percaya bahwa


(55)

sungai dapat diselamatkan dengan perjuangan manusia. Berikut ini bukti dari sikap Jabosi yang putus asa karena keadaan sungai yang rusak.

5) Jabosi menimpali, “Kan sudah berkali-kali kukatakan. Kita takkan bisa melawan pasir yang membikin tumpat sungai itu. Kalaupun ada kapal keruk, berapa tahun yang diperlukan besi raksasa itu untuk mengembalikan arus sungai seperti sediakala. Pemerintah saja tak bisa berbuat, apalagi kita. Dengan tangan telanjang seperti yang kau lakukan? Ah pekerjaan sia-sia…” (Aleida 2004:18). d. Jamangilak merupakan tokoh yang gigih, pandai, dan pantang

menyerah. Kakek Jabosi ini meninggalkan teladan baik yang amat kuat bagi keturunannya. Ketegarannya menyeberangi punggung Pulau Sumatera memberi pelajaran pada Molek untuk tidak mudah berputus asa. Kepandaiannya dalam mengolah hasil alam menurun pada anak dan cucunya. Berikut ini bukti dari karakter Jamangilak.

6) Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat bagaimana memetik buah kelapa dengan aman.

Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan lele yang di daerah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir, limbat (Aleida 2004:11).

7) … Jamangilak, Tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka.” (Aleida, 2004: 236).

e. Pihak pabrik merupakan tokoh yang digambarkan acuh tak acuh. Sejak berdirinya, pabrik Rayon i Toba telah ditolak oleh masyarakat karena limbah yang mencemari dan pohon-pohon aneh sebagai bahan baku


(56)

pabrik itu merusak tanah, air, dan tumbuhan lain, namun pabrik itu masih kokoh berdiri dan membuang limbah ke sungai. Berikut ini bukti dari sikap pihak pabrik yang acuh tak acuh terhadap masalah yang sedang terjadi.

8) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan (Aleida, 2004: 234).

f. Pemerintah bersifat tidak peka terhadap lingkungan. Selama dua puluh tahun masyarakat melakukan penolakan, selama itu juga pemerintah tetap melindungi pabrik yang merusak kehidupan makhluk hidup itu. Berikut ini bukti dari pemerintah yang bersifat tidak peka terhadap lingkungan.

9) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan (Aleida, 2004: 234).

10)… Simpang tiga itu menjadi simbol perlawanan terhadap perlakuan sebuah pabrik yang terus mencemari dengan restu kekuasaan (Aleida, 2004: 195).

g. Aparat keamanan memiliki sifat yang kejam. Aksi protes masyarakat terhadap pabrik Rayon i Toba ditanggapi dengan kekerasan yang berakhir penderitaan dan kematian bagi masyarakat.

11)“Baik, kalau lu hanya mau bicara kalo di-strum, ditenggelamkan ke dalam sumur. Dan mulutmu dijejali sambal merah, maka saya


(57)

kan melakukannya. Akan ku matikan kepekaan dengan sebotol ciu, dan koé takkan bisa sembunyi (Aleida, 2004: 104).

12)Dan, acapkali, perlawanan damai itu dihadapi pasukan keamanan dengan kekerasan, dengan tembakan peringatan ataupun letusan peluru yang langsung diarahkan kepada massa, membuat peristiwa itu menjadi peistiwa yang penuh luka dan malahan membawa kematian (Aleida, 2004:194).

h. Peserta Rapat di Padang Bundar adalah tokoh yang diceritakan mendukung usaha Molek menyelamatkan lingkungan yang terancam rusak.

13)Orang itu berkata: “Kami tak punya apa-apa. Cuma inilah yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih untuk apa yang kau lakukan untuk sungai kita. Sungai diraja. Terimalah pemberian kami ini,” katanya sambil menyerahkan selempit tikar pandan sebagai tanda penyerahan diri pada rencana baik yang telah diuraikan Molek (Aleida, 2004:100).

i. Penduduk Porsea adalah tokoh yang juga berusaha menyelamatkan lingkungan hidup. Bertahun-tahun mereka berjuang menuntut agar pabrik bubur kayu yang mencemari sungai dan danau ditutup.

14)Perlawanan terhadap keberadaan pabrik itu berpusat di simpang tiga, Simpang Sigura-gura, di Siraituruk, tempat pertemuan jalan raya yang menghubungkan Porsea dengan kota-kota kecil yang menetek di tepi Danau Toba. Hampir saban hari berlangsung barbagai macam perlawanan terhadap Rayon i Toba di sini, mulai dari ibu-ibu yang duduk bersaf-saf di tepi jalan… (Aleida, 2004:193).

j. Pastor adalah tokoh yang melindungi masyarakat dari tindak kekerasan aparat keamanan ketika melakukan aksi protes.


(58)

15)Ada tiga orang pastor yang mengenakan juba berat, seperti mau menyapu tanah, berwarnah coklat tua, yang terus mondar-mandir mengawasi keadaan. Ini pula dalam sejarah perlawanan di tanah batak yang Protestan (Aleida, 2004: 214).

k. Provokator adalah perusuh yang menyebabkan kekacauan dalam demonstrasi yang direncanakan berjalan damai dalam rangka menuntut agar pemerintah menutup pabrik Rayon i Toba.

16) Sekelebat dari arah massa yang panik terlihat ada tangan dari satu-dua orang yang berdiri dengan kokoh, lain dari pada yang lain, denga terburu-buru, tetapi dengan arah lemparan yang terukur, melayang batu bata yang menghantam dinding dan kaca-kaca jendela kecamatan (Aleida, 2004: 28).

Pada umumnya tokoh dibedakan menjadi dua jenis yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan, (Sudjiman, 1988: 17)

a. Tokoh Sentral

(1) Protagonis

Protagonis mewakili yang baik dan yang terpuji, karena itu biasanya menarik simpati pembaca. Dalam fungsinya sebagai sumber nilai, cerita rakyat selalu memenangkan protagonis yang menjadi tokoh teladan itu (Sudjiman, 1988). Dalam novel Jamangilak Tak pernah Menangis, digambarkan seorang tokoh utama atau protagonis bernama Molek. Molek merupakan seorang perempuan yang gelisah melihat kotanya yang sudah mati dan terancam tenggelam karena


(59)

dasar sungai yang tercemar dan tertimbun lumpur limbah perusahaan bubur kayu di hulu sungai.

Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama adalah intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa yang membangun cerita, intensitas hubungannya dengan tokoh-tokoh yang lain, terlibat dalam tema, konflik, dan klimaks cerita, serta digambarkan sebagai pemenang dalam cerita.

Berikut adalah kutipan yang menunjukkan Molek sebagai tokoh protagonis dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis. Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita dengan teknik dramatik. Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa pertama dalam cerita yaitu tingkah lakunya yang menggambarkan bentuk protesnya terhadap keadaan sungai.

17)Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah-pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar-pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya (Aleida 2004: 1).

18)Hampir saban hari istrinya tegak memaku di tengah sungai. berjam-jam lamanya. Melamun kayak dipukau setan. Atau menggumamkan kata-kata, menyesal tiada ujung. Tak jarang pula ia mengambil sikap rukuk, sehingga rambutnya mencium arus, seperti bisik-bisik pada air yang lalu dan angin yang berkibas.


(60)

Atau pada burung-burung walet, yang di daerah ini disebut layang-layang mandi, yang berkejaran di udara (Aleida, 2004: 3).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di mana ia mulai mengubah bentuk protesnya dengan mengadu kepada pemerintah.

19)“Kita ingatkan pemerintah. Tak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan sungai itu. Jangan biarkan pemerintah hanya memungut pajak. Ke mana uang pajak itu dibelanjakan pemerintah kalau bukan untuk memelihara sungai? Kalau sungai itu jadi kering, timpas, dari mana kita dapat uang? Apa pemerintah juga mau membiarkan dirinya mati? Pemerintah macam apa itu…?” Molek meningkahi (Aleida, 2004:19).

20)“Saya datang kesini tidak untuk mengemis barang sebutir pasirpun. Saya mau mempertanyakan kemana saja pajak puluhan tahun yang kami bayar. Saya mau bertemu dengan Bupati.” (Aleida, 2004:33).

21)“Berpuluh tahun suami saya dan para pedangan di kota ini, kecil maupun besar, menyerahkan pajak kepada pemerintah, ke mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk sungai? Kalau kota ini mati dan orang-orang semua pergi, apakah Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?” (Aleida, 2004:33).

22)Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di mana ia pertama kali menghimpun aspirasi masyarakat yang terkena dampak kerusakan sungai, untuk melakukan protes terhadap pemerintah sebagai pengelola pajak rakyat.


(61)

23)Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

24)Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia dirayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka. Sudah berada di bendul kebinasaan disebabkan oleh keserakahan yang dipicu oleh kehendak mengejar kemakmuran sesaat bagi segelintir pemodal dengan mengorbankan anak-anak dan mereka yang sedang beranjak dewasa, dari siapa manusia zaman sekarang telah meminjam planet yang fana ini (Aleida, 2004:95).

Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di mana ia kedua kalinya melakukan protes terhadap pemerintah untuk menutup pabrik Rayon i Toba yang menjadi akar kerusakan sungai. 25)Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang

berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup. Mereka bergerak dari Lumban Huala, Lumba Lobu, Naga Mosik, Sihiong, Silamosik, Siruar, Sosor Dolok, dan dua puluh desa lainnya yang selama dua puluh tahun belakangan ini sengsara melihat pucuk padi, kelapa dan singkong mereka memerah dan layu, serta kerbau, babi dan ikan emas mereka mati mendadak seperti disantet setan. Atau kena ardom, racun, dari neraka. Saban hari, angin mengantarkan bau busuk yang tak terkira (Aleida, 2004: 211). Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di akhir cerita, di mana ia dipenjarakan karena melakukan protes


(62)

terhadap pemerintah untuk menutup pabrik Rayon i Toba yang menjadi akar permasalahan kerusakan sungai.

26)Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa. Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai-sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun (Aleida, 2004:234).

27)Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238).

Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh lain menggunakan teknik dramatik. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Hurlang putranya. 28)Molek menuntun tangan anaknya itu. ketika mereka sama beranjak

masuk, hatinya membusung berbunga-bunga. Karena pada langkah kaki anaknya itu tertumpang harapannya yang besar. Sangat besar. Dalam upaya menyelamatkan kota yang terancam karam. Hurlang tentulah akan bisa memberikan pandangan atau nasihat tentang apa yang harus dilakukan (Aleida, 2004:40).

29)Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar itu, anak-beranak tersebut mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau dukungan bagi penyelamatan sungai. Setiap hari setelah subuh, Molek dan Hurlang berangkat, berjalan kaki jauh-jauh, terkadang disambung dengan sampan; mengetuk pintu orang-orang kampung yang berdiam di berbagai pelosok yang dilalui sungai, semisal


(63)

Sabang Kiri, Si Jambi, Sungai Lendir, Sungai Lebah, Sarang Elang, dan bahkan Nantalu yang jauhnya hampir seratus kilometer… (Aleida, 2004:85).

30)Molek dan anaknya beranggapan penduduk wilayah hutan itu musti dibujuk supaya turut serta dalam aksi penyelamatan yang mereka rencanakan berdua (Aleida, 85).

31)Seorang terdakwa lagi duduk tak jauh dari sebelah Molek, adalah anaknya sendiri, Hurlang Jamangilak, yang dituduh berada di belakang kerusuhan, dijatuhi hukuman empat tahun. (Aleida, 2004:234).

32)Sekali lagi perempuan kita itu merangkul terhukum yang bernama Hurlang. Ketika dekapan berurai, Molek sempat menunduk, dan ketika matanya kembali tertumbuk pada mata anaknya itu, terasa ada air yang agak hangat mendorong dari balik bola matanya dan tubuhnya sedikit bergetar dijalari darah yang mengalir lebih hangat, lebih kencang (Aleida, 2004:236).

33)Hurlang memegang bahu ibunya dan katanya perlahan seakan berbisik: “Jangan menangis. Kuatkan hati kita di depan mereka. Ingat, Omak sendiri yang mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak, tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka. (Aleida, 2004:236).

Jabosi adalah suami Molek, yang setiap hari menjadi saksi istrinya memunguti pasir dari tengah sungai dan melemparnya ke tepi. Suatu hari Jabosi berniat mencari peruntungan di tempat lain, karena sungai yang dulu menjadi andalannya tidak lagi dapat menolong pekerjaannya sebagai pedagang. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Jabosi.


(64)

34)Mengapa suaminya itu yang diberi nama Jabosi, yang bermakna kuat seperti besi tak kuat memanggul namanya sendiri? Menjadi tanah liat yang lembek (Aleida 2004:17-18).

35)Merasa kena sindir, Jabosi menimpali, “kan sudah berkali-kali kukatakan. Kita takkan bisa melawan pasir yang membikin tumpat sungai itu. Kalaupun ada kapal keruk, berapa tahun yang diperlukan besi raksasa itu untuk mengembalikan arus sungai seperti sediakala. Pemerintah saja tak bisa berbuat, apalagi kita. Dengan tangan telanjang seperti yang kau lakukan? Ah pekerjaan sia-sia…” (Aleida 2004:18).

36)Jabosi, suami Molek menjadi pemikat dalam membujuk dukungan. Nama itu masih dikenal orang sebagai warga kota yang pantas jadi teladan yang memulai usahanya dari seorang penjual minyak kelapa dari kampung, kemudian menjadi pengusaha besar, yang bisa bersaing dengan para pedagang Tionghoa yang piawai. Hanya sungai yang mendangkal dan suasana politik yang berbau amis yang telah menghambat kemajuannya (Aleida 2004:84).

37)Sementara itu, di perantauannya yang jauh, Jabosi mengikuti kabar mengenai sepak terjang istrinya dalam menyelamatkan kota yang dia tinggalkan melalui berita-berita di koran. Juga tentang ditangkapnya Molek dan tuduhan penghasut yang dikenakan padanya (Aleida 2004:237).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan masyarakat yang terkena dampak dari rusaknya sungai.

38)Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

39)Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia di rayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka (Aleida, 2004:95).


(65)

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan penjaga rumah Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan sungai yang rusak.

40)“Saya mau bertemu dengan Bupati,” ucapnya tegas kepada seseorang yang muncul menyambut ketukannya di pintu rumah besar yang dia intai kemarin.

“Keperluan?”

“Saya mau mempertanyakan kemana pajak yang kami bayarkan selama puluhan tahun,” cepat dia menyambut.

Laki-laki yang tegak di depannya itu tersentak, dan menjawab sekenanya, “itu urusan kantor. Silahkan ke kantor saja. Bapak ada di kabupaten.” (Aleida, 2004: 32).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan sekretaris Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan sungai yang rusak.

41)Ketika dipertemukan dengan sekretaris Bupati, Molek mengulangi lagi alasannya untuk bertemu dengan penguasa kecil dari kota kecil itu.

“Apa maksud ibu dengan mempermasalahkan pajak?” “Berpuluh tahun suami saya dan para pedagang di kota ini, kecil maupun besar menyerahkan pajak kepada pemerintah. Ke mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk sungai? Kalau kota ini mati, dan orang-orang semua pergi, apakah Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?!” (Aleida 2004:33).

Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan aparat keamanan, ketika diinterogasi karena melaksanakan rapat di Padang Bundar untuk melakukan protes terhadap pemerintah atas terbengkalainya sungai yang mendangkal dan tercemar.


(66)

42)Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga. Masalahnya, dia menjual barang dagangan dengan harga di atas ketentuan. Dia ditangkap kawanmu, ya, orang seperti kau inilah. Aku sempat mendekam di kamar rombeng yang dulu terletak di sini. Tapi ketahuilah, waktu itu kami dengan mudahnya bebas setelah suamiku menyogok. Masalahnya waktu itu adalah pelanggaran ketentuan harga. Sekarang, kesalahan apa yang telah kami lakukan? Mencuri? Merusak? Tau kau, tak sejumput tanah pun yang terkelupas di Padang Bundar. Tak sehelai daunpun yang kan mati selamanya. Apakah kami tak punya hak bersuara untuk menyelamatkan sungai yang mengancam kami, mengancam kau juga?!” (Aleida, 2004:109).

Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam tema, menggunakan teknik dramatik. Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengangkat tema penyelamatan lingkungan hidup dari kerusakan. Kutipan berikut adalah bukti bahwa Molek terlibat dalam tema.

43)Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238).

44)Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota


(67)

yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam konflik, menggunakan teknik dramatik. Konflik diawali dengan Molek dan Hurlang yang diinterogasi oleh petugas keamanan karena dicurigai menghasut penduduk, diperintah oleh orang lain untuk melakukan kekacauan, dan melakukan pemufakatan jahat dengan Gerwani dan beberapa sanak keluarga dari tahanan politik tahun 1965 yang sudah meninggal. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan di atas. 45)“Koé jangan macam-macam, ya! Dipanggil lu sudah bagus.

Tukang hasut minta penghormatan segala lagi! Hah… lekaslah, kasi tau siapa yang memerintahkan lu datang ke sini?”

“Mak lu sendiri bilang, kota ini sudah mati. Mampus. Di pusat, di Jakarta, hidup lebih enak. Lantas kalau bukan membawa perintah untuk mengacau, tak mungkin lu datang kemari.” (Aleida, 2004:103).

46)”Lu mau ngaku atau nggak? Lu datang dan berdiskusi mengenai rencana rapat umum di Padang Bundar itu dengan Idham Margolang, Tiar Eden, Kaman Rahman, kutu-kutu yang semestinya ikut mampus tahun 1965-66. Kami sudah tau semua tentang permufakatan jahatmu.” (Aleida, 2004:104).

47)Molek tak kuat mempertahankan kesabaran menghadapi sikap dan kata-kata kasar yang dilontarkan interrogator yang duduk ongkang-ongkang di depannya. Melonjor. Mengepulkan asap rokok sesukanya (Aleida, 2004:106).

48)“Ya, kami tahu, kami juga menyaksikan ibu sendiri yang melempar-lemparkan pasir ke tepi sungai. tapi, menyelenggarakan rapat raksasa seperti itu, mana mungkin ibu lakukan seorang diri. Hatta dengan bantuan anak ibu sekalipun.” Interrogator itu diam sejenak untuk kemudian melanjutkan, “Kami tahu ada orang-orang


(68)

Gerwani yang masih hidup. Yang bernasib baik, yang luput dari penghakiman rakyat. Ibu, katakanlah sejujurnya, siapa saja yang membantu.” (Aleida, 2004:106).

49)Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga… (Aleida, 2004:109). Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam klimaks, menggunakan teknik dramatik. Klimaks terjadi ketika Molek kembali tampil berpidato di depan masyarakat yang terkena dampak dari limbah pabrik yang berdiri di hulu sungai. Setelah berpidato, Molek memimpin massa untuk menyampaikan aspirasi pada pemerintah, supaya pabrik yang menjadi akar masalah kerusakan sungai segera ditutup.

50)Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup (Aleida, 2004: 211). 51)“Karena sungai mendangkal, kota menjadi mati, suami saya

meninggalkan saya karena tak percaya bahwa kemauan yang baik pasti bisa mengatasi beting-beting yang dengan ganas memakani alur sungai. Dia memang tak salah. Saya coba menahannya, mengajaknya mengikuti cara saya sendiri dengan mengangkuti pasir dari dasar sungai dengan tangan. Tapi, sungai yang sepanjang dan selebar itu mana mungkin diselamatkan hanya dengan tangan telanjang… (Aleida 2004:218).

52)Molek memang sudah pernah menyelenggarakan pertemuan dengan dihadiri ribuan manusia. Tetapi inilah untuk pertama


(69)

kalinya dia berjalan paling depan mengiringi teman-temannya dalam kesepakatan untuk menyampaikan protes ke kantor pemerintah dan di negeri orang, jauh dari kotanya (Aleida, 2004:227).

53)….Berikan kami hak bertanya, ada apa sebenarnya di belakang Rayon i Toba, sehingga dia dibiarkan terus mencemari lingkungan kami, mengancam jiwa anak-anak kami,”sambungnya lagi di depan hidung polisi yang tetap diam melongo (Aleida, 2004:228). Kriteria tokoh utama yang lain adalah dilahirkan sebagai pemenang dalam cerita. Kemenangan Molek digambarkan dengan keberhasilannya menyadarkan masyarakat bahwa kerusakan sungai hanya bisa diatasi dengan berjuang. Molek dan Hurlang berhasil mengumpulkan masyarakat yang terkena dampak kerusakan sungai untuk melakukan rapat besar membahas usaha menyelamatkan sungai, dan melakukan aksi protes agar pabrik bubur kayu yang menjadi akar permasalahan segera ditutup. Berikut kutipan yang membuktikan pernyataan di atas.

54)Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida, 2004:84).

55)…. ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238).


(1)

141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

143

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

144

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

145

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

146

BIOGRAFI PENULIS

Roswita Rambu Lodang lahir di Binatana, Sumba Tengah, Nusa tenggara Timur pada 2 Juni 1994. Memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Stella Matutina Katiku Loku, Sumba Tengah. Pada tahun 2006 lulus dari Sekolah Dasar Masehi Waibakul, Sumba Tengah, dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama St. Aloysius Weetebula, Sumba Barat Daya, lulus pada tahun 2009. Tahun 2012 lulus dari Sekolah Menengah Atas Katolik Andaluri, Waingapu, Sumba Timur. Tahun 2012, melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Lulus pada tahun 2017 dengan skripsi berjudul Relasi Antara Manusia Dengan Lingkungan Hidup dalam Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis: Kajian Intrinsik dan Ekokritik.