KINERJA SEKTOR KEUANGAN DOMESTIK DI TENG

Ke depan, daya tahan sektor keuangan akan dihadapkan pada tantangan yang berasal

dari potensi pemburukan ekonomi global. Upaya meminimalkan risiko dalam rangka menjaga daya tahan sektor keuangan memiliki konsekuensi logis berupa potensi menurunnya peran sektor keuangan dalam pembiayaan sektor riil. Terkait dengan itu, kebijakan pokok Bank Indonesia akan diarahkan pada upaya mengawal fungsi intermediasi perbankan agar tetap berjalan sebagaimana mesinya. Sementara itu, Bank Indonesia juga mencermai penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar dapat terus berjalan dengan ingkat pertumbuhan yang siginiikan. Kredit jenis ini sangat pening arinya bagi masyarakat kecil agar dapat terus bertahan dan mengembangkan usahanya pada masa-masa sulit pada tahun 2009.

BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

DAYA TAHAN SISTEM KEUANGAN DOMESTIK DAN PERANNYA DALAM PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

Sepanjang tahun 2008, sistem keuangan Indonesia dan sistem pembayaran nasional. Demikian pula, menunjukkan daya tahan yang cukup kuat, meskipun

kedisiplinan dalam menerapkan prudent regulaion pada akhir triwulan III-2008 dihadapkan pada krisis

berhasil menghindarkan perbankan Indonesia dari keuangan global yang telah memorakporandakan stabilitas

masalah produk derivaif yang lebih besar, sebagaimana sistem keuangan di berbagai negara maju. Pengalaman

yang dialami sejumlah negara berkembang lain dan pahit krisis keuangan Asia tahun 1997/1998 lalu, telah

negara-negara maju. Sementara itu, pelaku di sektor mendorong otoritas dan pelaku di sektor keuangan

keuangan juga didorong menerapkan prinsip-prinsip Indonesia berbenah diri, meningkatkan disiplin, dan selalu

good governance dan meningkatkan fungsi pengendalian berhai-hai.

intern. Pelaku sektor keuangan juga semakin baik dalam mengelola manajemen risiko seperi risiko likuiditas, risiko

Bank Indonesia dan Pemerintah terus menelurkan regulasi

kredit, dan risiko pasar.

dan kebijakan yang mengedepankan prinsip kehai-haian namun tetap memberi ruang yang cukup bagi intermediasi

Secara umum, kinerja bank umum dan syariah, pasar perbankan dan pembiayaan usaha melalui pasar modal

modal, lembaga keuangan nonbank lainnya dan sistem dan lembaga keuangan nonbank lainnya yang didukung

pembayaran cukup mengesankan pada semester I-2008. oleh sistem pembayaran nasional yang semakin handal

Kinerja perbankan, yang merupakan industri terbesar dan modern. Koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah

dalam sektor keuangan ditandai oleh permodalan yang juga semakin baik dalam meningkatkan kualitas

cukup inggi, ekspansi kredit yang menggembirakan pengawasan terhadap perbankan dan lembaga keuangan

disertai dengan terjaganya kualitas kredit, sehingga nonbank serta pasar modal sehingga dapat meminimalkan

rentabilitas dan likuiditas perbankan terpelihara. Kinerja eksposur perbankan dan lembaga keuangan nasional

pasar modal juga masih cukup baik ditandai oleh IHSG terhadap subprime mortgages. Kesigapan Pemerintah

yang mencapai level teringgi sepanjang sejarah Bursa Efek mengambil alih Bank Century yang mengalami kesulitan

Indonesia disertai dengan penerbitan saham yang jauh likuiditas juga berhasil mengamankan stabilitas perbankan

lebih inggi dari tahun sebelumnya.

114 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

Pada semester II-2008, sejalan dengan meningkatnya intensitas krisis global yang ditandai oleh bangkrutnya Lehman Brothers, bank investasi terbesar ke-4 di AS, kepercayaan terhadap sistem perbankan global sempat goyah. Meski eksposur perbankan dan lembaga keuangan Indonesia terhadap aset dan lembaga keuangan bermasalah di global terbatas, imbas ke domesik tetap terasa melalui penarikan dana asing dari instrumen keuangan domesik. Kondisi likuiditas global yang ketat berimbas pada segmentasi dan relaif ketatnya likuiditas pada beberapa bank domesik, meskipun secara sistem likuiditas tetap mencukupi. Untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat, Pemerintah menaikkan penjaminan simpanan pihak keiga dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar.

Pasar modal domesik turut mengalami guncangan, sehingga sempat dihenikan perdagangannya. Namun dengan berbagai langkah yang ditempuh Pemerintah, pasar modal kembali menunjukkan perbaikan meski kinerjanya secara keseluruhan tahun tetap terkoreksi. Sistem pembayaran nasional tetap terjaga kelancarannya ditopang oleh kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan BI, sehingga permasalahan gagal bayar Bank Century idak berdampak secara sistemik. Sedangkan lembaga keuangan lainnya seperi dana pensiun dan asuransi belum terpengaruh imbas krisis global tersebut. Secara umum, meskipun mengalami ujian berat pada semester II-2008, daya tahan sistem keuangan relaif terjaga sehingga fungsi intermediasi perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam membiayai pembangunan domesik tetap berjalan dengan cukup baik, didukung oleh sistem pembayaran nasional yang dapat diandalkan.

Daya tahan Bank Umum tercermin dari terjaganya indikator kinerja. Terlebih lagi ekspansi kredit yang semakin meningkat terbuki kondusif dalam pembiayaan perekonomian domesik. Kualitas kredit tetap terpelihara baik, sebagaimana tercermin pada Non Performing Loan (NPL) tahun 2008, baik gross maupun net, yang berhasil mencatat angka terendah semenjak krisis keuangan Asia tahun 1997/1998 dan sekaligus berada jauh di bawah target indikaif yang ditetapkan Bank Indonesia. Namun, ekspansi kredit yang lebih inggi dari peningkatan Dana Pihak Keiga (DPK) tersebut terjadi di tengah ketatnya likuiditas global sehingga memengaruhi likuiditas antarbank. Meski secara industri likuiditas mencukupi, kecenderungan segmentasi antarbank yang meningkat sempat menjadikan likuiditas antarbank ketat. Rentabilitas bank cukup terjaga didukung kualitas kredit yang baik, meskipun suku bunga dana relaif meningkat.

Permodalan bank tercatat masih jauh di atas benchmark internasional, meski relaif menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sejalan dengan ekspansi kredit untuk pembiayaan ekonomi domesik.

Sementara itu, kinerja perbankan syariah relaif idak terpengaruh imbas krisis global, sehingga fungsi intermediasi berjalan opimal dengan ingkat pembiayaan bermasalah yang relaif rendah dan senaniasa mendukung pembiayaan sektor riil. Pertumbuhan aset dan pendanaan juga tercatat cukup inggi dan mengesankan. Disamping itu, eksposur pembiayaan perbankan syariah yang masih didominasi oleh pembiayaan pada akivitas perekonomian domesik turut berperan dalam memperkuat daya tahan perbankan syariah dari imbas krisis keuangan global.

Seperi halnya perbankan syariah, industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) idak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global, sehingga fungsi intermediasi BPR dan kredit Mikro Kecil dan Menengah (MKM) terus meningkat. Indikator kinerja BPR baik BPR konvensional maupun BPR Syariah tetap terjaga dan cenderung membaik. Fungsi intermediasi BPR juga terus meningkat, sehingga mendukung pembiayaan kegiatan ekonomi khususnya dalam skala MKM. Kualitas pembiayaan relaif terjaga meskipun NPL BPR konvensional meningkat pada akhir tahun. Permodalan BPR secara umum masih kuat, ditunjukkan dengan rasio kecukupan modal Capital Adequate Raio (CAR) BPR yang tergolong inggi.

Seiring integrasi pasar modal domesik terhadap pasar modal global, kinerja pasar modal yang mengesankan pada awal tahun terkoreksi cukup dalam pada paruh kedua tahun 2008. Meski IHSG terkoreksi, pembiayaan sektor riil melalui Iniial Public Ofering (IPO) atau right issue lebih inggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, pembiayaan ekonomi melalui pasar obligasi korporasi dan Pemerintah mengalami hambatan. Namun demikian, kebijakan yang ditempuh otoritas terkait sejauh ini berhasil meminimalkan dampak gejolak pasar keuangan global. Sementara itu kinerja perusahaan pembiayaan, asuransi dan dana pensiun masih dalam kondisi yang relaif baik dan idak terpengaruh oleh krisis di pasar keuangan global.

Sementara itu, daya tahan sistem pembayaran nasional tetap terjaga, meskipun imbas krisis global ditengarai memengaruhi nilai setelmen di pasar uang dan pasar modal pada semester II-2008. Volume dan nilai transaksi di sistem pembayaran nasional, baik instrumen

BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

Tabel 4.1. Indikator Kinerja Bank Umum

Indikator Utama

1.693,5 1.986,5 2.310,6 DPK (triliun Rp)

Total Aset (triliun Rp)

832,9 1.045,7 1.353,6 LDR (Kredit/DPK %)

Kredit (triliun Rp) 1 320,5

NII (triliun Rp) 2 1,9

2,6 2,8 2,3 NPL gross (%)

1) Termasuk kredit penerusan (channelling) 2) NII rata-rata perbulan

pembayaran tunai maupun nontunai, menunjukkan tren yang meningkat. Sementara itu, peningkatan segmentasi

Bank Umum

di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) membuat Bank Secara umum, dampak krisis global pada bank umum Indonesia menyempurnakan mekanisme dan setelmen

dapat diminimalkan oleh karakterisik perbankan kliring debet guna menjaga likuiditas sistem keuangan.

Indonesia yang cenderung ”konservaif”. Sumber dana perbankan terutama berasal dari DPK lebih banyak

Ke depan, daya tahan sektor keuangan masih menghadapi ditempatkan pada kredit atau surat-surat berharga (SSB) tantangan yang idak ringan sebagai imbas berlanjutnya

yang diterbitkan Pemerintah. Perbankan juga dilarang krisis ekonomi global. Agar terhindar dari dampak

untuk berinvestasi pada aset-aset berisiko inggi seperi krisis keuangan global yang lebih buruk lagi dan

saham, sementara investasi SSB dibatasi hanya pada SSB untuk meningkatkan kontribusi sektor keuangan bagi

berkualitas investment grade.

pertumbuhan ekonomi, maka idak ada pilihan lain bagi otoritas dan pelaku di sektor keuangan kecuali secara

Berbagai indikator kinerja bank umum relaif baik, bersama-sama memperkuat ketahanan sistem keuangan

disertai oleh ekspansi kredit yang mampu mendukung serta meningkatkan kewaspadaan dan kehai-haian.

akivitas perekonomian domesik yang tumbuh cukup Meskipun demikian, harus disadari bahwa hal tersebut

inggi. Kecukupan modal masih terjaga meski sedikit akan berpotensi menurunkan fungsi intermediasi sektor

menurun akibat ingginya ekspansi kredit (Tabel 4.1). keuangan yang telah menunjukkan kinerja yang baik pada

Tingginya ekspansi kredit tersebut sejalan dengan tahun 2008.

pertumbuhan ekonomi domesik yang cukup inggi dan

Tabel 4.2. Posisi, Pertumbuhan dan Pangsa Kredit Perbankan

Keterangan

Pangsa (%) 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Posisi (triliun Rp)

Pertumbuhan (%)

Sektor Ekonomi -Pertanian

25,9 24,6 23,2 20,5 20,7 -Listrik, Air dan Gas

27,3 30,0 28,7 28,3 28,3 Jenis Penggunaan -Kredit Modal Kerja 231,2 289,6 354,5 414,7

51,8 51,0 52,3 53,2 52,4 -Kredit Investasi

21,2 19,3 19,1 18,6 19,6 -Kredit Konsumsi

27,0 29,7 28,6 28,2 28,1 Jenis Valuta -Rupiah

26,5 30,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Kredit Channelling

116 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global 116 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

Ekspansi kredit tahun 2008 jauh lebih inggi dibandingkan dengan tahun 2007, dengan pertumbuhan teringgi terjadi pada kredit investasi. Sepanjang tahun 2008, ekspansi kredit (termasuk kredit penerusan/channeling) mencapai Rp308,0 triliun (tumbuh 29,5%), didorong oleh peningkatan realisasi penyaluran kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi (Tabel 4.2). Hal yang menggembirakan adalah pertumbuhan kredit investasi yang melonjak inggi dibandingkan dengan kredit modal kerja dan kredit konsumsi, searah adanya pertumbuhan investasi domesik yang kondusif dan pertumbuhan impor barang modal yang tumbuh inggi.

Secara sektoral, pertumbuhan kredit teringgi terjadi pada sektor listrik, sementara itu kredit ke sektor pertambangan dan pertanian mengalami pelambatan terpengaruh oleh perkembangan harga internasional. Pertumbuhan kredit teringgi pada sektor listrik, diikui kemudian oleh sektor pengangkutan dan telekomunikasi, jasa dunia usaha, dan konstruksi. Pertumbuhan kredit sektor listrik yang inggi ini juga terkait dengan upaya Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi listrik yang meningkat. Sementara itu, sektor pertambangan, jasa sosial, pertanian, dan perdagangan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai tahun 2007. Khusus untuk kredit sektor pertambangan dan pertanian sebenarnya sempat tumbuh inggi meski kemudian melambat sejalan dengan perkembangan harga komoditas internasional.

Dampak ekspansi kredit yang inggi terhadap penyerapan tenaga kerja diperkirakan relaif terbatas. Sektor listrik, pengangkutan dan telekomunikasi merupakan sektor yang padat modal sehingga pertumbuhan kredit yang inggi idak diikui penyerapan tenaga kerja yang besar. Sementara sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja inggi seperi pertanian dan perdagangan justru tumbuh lebih rendah.

Pertumbuhan kredit yang inggi ternyata disertai oleh pertumbuhan DPK yang lebih rendah, sehingga menimbulkan risiko likuiditas di beberapa bank, meskipun secara sistem likuiditas tetap mencukupi. Kecepatan pertumbuhan kredit sebesar 29,5% atau meningkat Rp308,0 triliun idak diimbangi oleh laju peningkatan DPK yang tumbuh sebesar 16,1% atau meningkat Rp242,6 triliun (Graik 4.1). Untuk memenuhi komitmen kreditnya, perbankan mencairkan SBI yang dimilikinya, sehingga

Graik 4.1. Pertumbuhan Kredit, DPK dan SBI

DPK SBI (rhs) Kredit

Tabel 4.3. Perkembangan DPK

Keterangan

Posisi (triliun Rp)

23,9 -0,5 68,5 69,5 68,9 73,8 76,3 71,6 -Valas

- - - 434,7

- - 0,9 4,4 Deposito

BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

Rendahnya pertumbuhan DPK dipengaruhi oleh strategi penggalangan dana murah perbankan. Pertumbuhan DPK yang melambat pada semester I-2008 antara lain dipengaruhi oleh penurunan suku bunga dan kebijakan beberapa bank besar pada awal tahun 2008 untuk mengurangi dana mahal berupa deposito dan melakukan pengalihan ke dana yang lebih murah. Namun, seiring dengan peningkatan suku bunga untuk mengatasi tekanan inlasi pada pertengahan tahun 2008, minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank kembali meningkat. Krisis keuangan global yang semakin mencuat pada September 2008 direspons dengan peningkatan jumlah simpanan yang dijamin Pemerintah pada Oktober 2008 sehingga menambah kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sehingga DPK kembali meningkat. Diinjau per valuta, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada triwulan IV-2008 ikut memengaruhi kenaikan DPK valas. Apabila pengaruh nilai tukar dihilangkan, pertumbuhan DPK pada tahun laporan hanya sebesar Rp201,6 triliun atau 13,3% (Graik 4.2).

Meski mencukupi, likuiditas perbankan idak merata, sehingga menjadi tantangan pengelolaan moneter dalam menstabilkan pasar uang baik rupiah maupun valas. Secara mikro, perbankan menjadi rentan terhadap likuiditas setelah secondary reserves ditarik untuk memenuhi komitmen penyaluran kredit. Akibatnya, ekses likuiditas bank (terdiri dari SBI, Fasbi/FTK, dan SSB) mencapai iik terendah pada bulan Agustus 2008. Krisis likuiditas global yang semakin menekan pada triwulan III-2008, berimbas pada kepercayaan antarbank, sehingga

pasar uang antarbank berjalan kurang lancar. Selain itu, penarikan investasi asing dari pasar keuangan domesik secara signiikan berdampak pada ketatnya pasar valas.

Pemerintah bersama BI menempuh berbagai kebijakan untuk melonggarkan tekanan likuiditas dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kebijakan tersebut melipui, penempatan dana Pemerintah pada bank-bank tertentu, perpanjangan tenor fasilitas likuiditas (repo) Bank Indonesia, pelonggaran ketentuan GWM baik rupiah maupun valas, serta pengelolaan pasokan dan permintaan valas. Upaya mengendorkan likuiditas pasar valas, ditempuh dengan mengeluarkan beberapa peraturan yang memfasilitasi penyediaan valas bagi perbankan dan korporasi yang eliglible, serta mengurangi spekulasi valas. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan dalam memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis, Pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan. Peraturan-peraturan tersebut terkait dengan penanganan bank yang mengalami permasalahan likuiditas/solvabilitas, peningkatan penjaminan DPK, dan perluasan jenis agunan bagi fasilitas pendanaan jangka pendek dari BI. Sejauh ini, kebijakan tersebut berhasil memberikan dampak posiif bagi likuiditas perbankan dan masyarakat yang tetap tenang dalam menyikapi penanganan bank bermasalah.

Ke depan, sikap bank yang berhai-hai terhadap berbagai risiko dalam menjaga ketahanannya dan prospek ekonomi yang cenderung melemah akan berpotensi mengurangi ekspansi kredit. Di tengah kondisi pasar keuangan global yang penuh keidakpasian dan faktor kepercayaan yang belum pulih, perbankan cenderung semakin berhai-hai menghadapi berbagai risiko yang akan memengaruhi daya tahannya. Apabila hal tersebut terus berlanjut, maka berpotensi mengurangi alokasi dana yang disalurkan dalam bentuk kredit.

Dari sisi kualitas, ekspansi kredit tahun 2008 terjaga kualitasnya sehingga mendukung proitabilitas perbankan. Rasio NPL gross dan net relaif masih rendah (Graik 4.3) meskipun secara nominal terjadi kenaikan NPL, yang terutama disumbangkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor lain-lain. Kondisi proitabilitas sempat tertekan pada pertengahan tahun akibat kenaikan suku bunga dan jatuhnya harga SUN, namun tertolong oleh kebijakan BI dan Dewan Standar Akuntasi Keuangan-IAI yang memungkinkan leksibilitas dalam pencatatan SUN. Sementara itu, dampak pelemahan nilai tukar terbatas karena volailitasnya dapat terjaga dan posisi Posisi Devisa Neto (PDN) bank yang relaif rendah. Namun, kerugian

Graik 4.2. Pertumbuhan DPK (yoy)

%, y-o-y

DPK Valas dlm USD

Total DPK (NT tetap)

DPK Valas dlm rupiah

DPK rupiah

Total DPK

118 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

%, y-o-y

triliun rupiah

intermediasi yang masih berjalan opimal dan mendukung pembiayaan sektor riil. Kinerja perbankan syariah pada tahun laporan cukup mengesankan, ditunjukkan oleh ingginya pertumbuhan aset, penghimpunan dana, dan pembiayaan. Tingginya pertumbuhan perbankan syariah didorong oleh iga faktor utama, yaitu permintaan domesik yang cukup inggi, integrasi perbankan syariah dengan sistem keuangan global yang masih rendah, dan ingkat kecanggihan transaksi yang belum inggi. Peningkatan kinerja tersebut ditopang oleh ketahanan

industri perbankan syariah yang semakin baik, tercermin dari tetap terjaganya likuiditas, menurunnya rasio

NPL Net

NPL Gross

NPL Nominal (rhs)

pembiayaan bermasalah, dan meningkatnya rasio kecukupan modal.

Graik 4.3. Perkembangan NPL

debitur karena pelemahan nilai tukar rupiah perlu

Kinerja Perbankan Syariah

diwaspadai karena berpotensi meningkatkan risiko kredit. Peningkatan jaringan kantor perbankan syariah yang cukup signiikan pada tahun laporan berperan pening

Dengan perkembangan kualitas kredit tersebut, dalam mendukung fungsi intermediasi perbankan syariah. permodalan bank masih kuat sehingga masih mendukung

Jaringan kantor perbankan syariah bertambah luas dengan ekspansi kredit ke depan. Rasio kecukupan modal (CAR)

berdirinya 2 Bank Umum Syariah (BUS), 2 Unit Usaha perbankan selama tahun 2008 masih cukup inggi,

Syariah (UUS), merger 2 bank umum berikut UUS-nya, meskipun menurun dari 19,3% (akhir 2007) menjadi

dan penambahan jaringan kantor cabang (termasuk 16,2% (akhir 2008). Dengan CAR yang masih jauh di atas

kantor kas, kantor cabang pembantu dan unit pelayanan benchmark internasional, dukungan permodalan dalam

syariah) sebanyak 182 kantor (Tabel 4.4). Kebijakan ekspansi kredit perbankan masih terbuka lebar.

pembukaan layanan syariah ( oice channeling) juga memberikan dukungan yang berari dalam mendorong

Asesmen Perkembangan berkembangnya volume usaha industri perbankan syariah. Hal itu ditunjukkan oleh jumlah layanan syariah yang

Perbankan Syariah

meningkat sebanyak 275 kantor menjadi 1.470 kantor pada akhir tahun 2008. Penyebaran jaringan kantor bank

Perbankan syariah relaif idak terpengaruh imbas krisis syariah juga telah menjangkau masyarakat di lebih dari global sehingga indikator kinerja bank syariah terus

75 kabupaten/kota di 32 provinsi. Perkembangan jaringan membaik. Hal tersebut berdampak posiif pada fungsi

kantor dapat mengindikasikan ingginya kebutuhan atau

Tabel 4.4. Perkembangan Kelembagaan dan Kinerja Perbankan Syariah

Indikator Utama

Kelembagaan Bank Umum Syariah (BUS)

2 3 3 3 3 5 Unit Usaha Syariah (UUS)

8 15 19 20 26 27 Jumlah Kantor (BUS & UUS)

822 Jumlah oice channeling

1.470 Kinerja Total Aset (miliar Rp)

49.555 DPK (miliar Rp)

36.852 PYD (miliar Rp)

38.195 FDR (PYD/DPK, %)

NPF gross (%)

Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

Fungsi intermediasi perbankan syariah terus mengalami peningkatan dengan inancing to deposit raio (FDR) di atas 100%. Sejalan dengan peningkatan penyaluran kredit bank umum, akselerasi pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah pada tahun laporan tumbuh signiikan. Pembiayaan yang Diberikan (PYD) tumbuh sebesar 36,7% menjadi Rp38,2 triliun lebih inggi dari pertumbuhan DPK sebesar 31,6% menjadi Rp36,9 triliun (Tabel 4.4). Kondisi ini mendorong peningkatan FDR perbankan syariah menjadi sebesar 103,6%. Selain menggunakan DPK, sumber dana pembiayaan perbankan syariah juga dapat berasal dari dana bank induk yang ditempatkan pada UUS, sehingga level FDR tersebut masih aman bagi perbankan syariah. Pencapaian tersebut berhasil meningkatkan aset industri perbankan syariah sebesar Rp13,0 triliun (35,6%) dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp49,6 triliun. Namun demikian, laju pertumbuhan aset, DPK, dan PYD perbankan syariah mengalami perlambatan pada semester II-2008 (Graik 4.4) sebagai dampak dari menurunnya kondisi likuiditas bank dan melambatnya akivitas sektor riil yang mulai terimbas krisis keuangan global.

Dari sisi penghimpunan dana, struktur DPK perbankan syariah semakin membaik yang ditandai oleh dominasi deposito mudharabah (investasi). Porsi deposito mudharabah meningkat menjadi 54,7%, sementara porsi giro wadiah turun menjadi 11,5% (Tabel 4.5). Sedangkan porsi tabungan mudharabah idak banyak berubah sebesar 33,8%. Namun, pertumbuhan DPK pada tahun laporan mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu tercermin dari menurunnya pertumbuhan tabungan mudharabah dari 47,0% menjadi 31,9%. Pelambatan pertumbuhan tabungan mudharabah tersebut disebabkan oleh kekhawairan terhadap krisis global yang memengaruhi perilaku nasabah dalam penyediaan dana tunai untuk berjaga-jaga.

Komposisi DPK yang didominasi oleh dana investasi (deposito mudharabah) dan nasabah individual dapat menurunkan potensi risiko likuiditas perbankan syariah. Sementara itu, potensi risiko likuiditas terutama bersumber dari luktuasi dana kelompok nasabah korporasi yang umumnya lebih sensiif terhadap daya saing nilai bagi hasil yang ditawarkan. Nilai simpanan kelompok deposan korporasi tersebut sangat besar, yakni 53% dari total DPK, meskipun dari segi jumlah nasabah atau rekening sangat kecil (1,9%).

Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah tetap tumbuh inggi, idak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global. Pertumbuhan PYD perbankan syariah pada tahun 2008 sama dengan tahun sebelumnya sebesar 36,7%. Ekspansi pembiayaan perbankan syariah pada tahun laporan cukup mengesankan, terutama pada triwulan II-2008 dan triwulan III-2008 yang secara rata- rata pertumbuhan PYD-nya mencapai 46,6% (yoy). Pada triwulan IV-2008, laju pertumbuhan PYD sedikit melambat seiring dengan mengetatnya kondisi likuiditas perbankan dan imbas dari krisis keuangan global. Namun laju pertumbuhan PYD yang terjadi tetap tergolong inggi, dan dengan karakter pembiayaan yang harus dilandasi oleh transaksi riil, sehingga hal ini dapat menegaskan semakin meningkatnya kontribusi perbankan syariah dalam

Graik 4.4 Pertumbuhan Aset, DPK, PYD dan FDR Perbankan Syariah

FDR (rhs)

Tabel 4.5. Komposisi DPK Perbankan Syariah

Keterangan

Jumlah (miliar Rp)

Pertumbuhan (%) Pangsa (%)

Giro Wadiah

13,4 11,5 Tabungan Mudharabah

33,7 33,8 Deposito Mudharabah

52,9 54,7 Total DPK

120 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

Tabel 4.6. Perkembangan Jenis-Jenis Pembiayaan Perbankan Syariah

Pangsa (%) Keterangan

Jumlah (miliar Rp)

20,0 16,2 Piutang Murabahah

59,2 58,9 Piutang Isishna

1,3 1,0 Piutang Qardh

pembiayaan sektor riil. Kontribusi posiif ini didukung pula Peningkatan pembiayaan syariah disertai dengan kualitas oleh porsi pembiayaan MKM yang masih dominan, yakni

yang membaik. Hal tersebut tercermin pada rasio sebesar Rp27,2 triliun atau 72,1% dari total pembiayaan

pembiayaan bermasalah Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah.

yang pada tahun laporan turun menjadi 3,95% (Graik 4.5). Peningkatan pembiayaan pada produk berbasis bagi

Tingginya pembiayaan syariah disertai dominasi jenis hasil, khususnya dengan akad musyarakah, yang berisiko pembiayaan dengan akad murabahah (jual beli),

lebih inggi dan krisis keuangan global idak banyak meskipun porsi pembiayaan dengan akad musyarakah

berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan terus meningkat. Pangsa pembiayaan dengan akad

syariah. Rasio NPF dapat dijaga dalam kisaran yang murabahah pada akhir tahun laporan mencapai 58,9%

rendah di bawah 5%. Secara sektoral, penurunan kualitas atau sedikit menurun dari tahun sebelumnya (Tabel 4.6).

pembiayaan terjadi pada sektor manufaktur, perdagangan Sebaliknya, porsi pembiayaan dengan akad musyarakah

dan jasa sosial (Graik 4.6).

mengalami peningkatan dari 15,8% menjadi 19,4%. Peningkatan tersebut didorong oleh pola pembiayaan

Peningkatan risiko dalam penghimpunan maupun perbankan syariah yang melakukan kerjasama dengan

penyaluran dana masih dapat dianisipasi oleh perbankan lembaga keuangan mikro-kecil seperi Bank Perkreditan

syariah. Meskipun laju peningkatan laba pada tahun Rakyat Syariah BPRS, koperasi, dan baitul maal wa tamwil

laporan sedikit terhambat, ingkat Return On Asset (BMT). Peningkatan tersebut juga dapat mengindikasikan

(ROA) masih cukup memadai sebesar 1,57%. Hambatan bahwa perbankan syariah mulai mengambil kebijakan

peningkatan laba disebabkan oleh meningkatnya pembiayaan yang berisiko lebih inggi dengan mendorong

pangsa pendapatan operasional yang dialokasikan pembiayaan berbasis bagi hasil.

kepada deposan untuk meningkatkan bagi hasil dan

FDR Syariah

LDR Bank Umum

NPF Syariah (rhs)

NPL Bank Umum (rhs)

NPF

NPL

Graik 4.5. NPF Perbankan Syariah Graik 4.6. Perbandingan NPF Persektor

Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

bank syariah tetap terjaga di atas batas minimal rasio kecukupan modal (CAR). Penerapan kebijakan tersebut dan terjaganya kualitas akiva berhasil meningkatkan CAR perbankan syariah pada periode laporan menjadi sebesar 11,34%.

Asesmen Kondisi Bank

Perkreditan Rakyat (BPR)

Industri BPR (konvensional dan syariah) memiliki daya tahan yang relaif baik dan idak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global. Indikator kinerja BPR tetap terjaga dan cenderung membaik, terutama fungsi intermediasi yang terus meningkat sehingga berdampak posiif bagi pembiayaan sektor riil. Fungsi intermediasi BPR yang terus meningkat telah mendukung kebutuhan pembiayaan kegiatan ekonomi, khususnya dalam skala MKM. Kualitas kredit/pembiayaan relaif terjaga meskipun NPL BPR konvensional meningkat pada triwulan IV-2008. Rasio permodalan BPR juga relaif masih inggi, khususnya untuk BPRS. Sementara akivitas penghimpunan dana terus meningkat mengikui tren pertumbuhannya.

BPR Konvensional

Indikator kinerja BPR konvensional membaik dan berdampak posiif bagi pembiayaan sektor riil, meskipun krisis global sedikit berpengaruh terhadap BPR dimana NPL mengalami peningkatan pada triwulan terakhir. Kegiatan penghimpunan dana pihak keiga (DPK) dan penyaluran kredit BPR mengalami peningkatan walaupun secara kelembagaan mengalami penurunan sebanyak

45 BPR. Penurunan jumlah BPR terutama terjadi karena konsolidasi internal industri BPR, yaitu dilakukannya konsolidasi dan merger sehingga penurunan jumlah

tersebut idak mengurangi jangkauan pelayanan BPR. Selaras dengan perkembangan bank umum, penyaluran

kredit BPR konvensional tumbuh lebih inggi dari penghimpunan DPK. Kredit meningkat sebesar Rp4,9

triliun (24,0%), sementara DPK meningkat Rp2,6 triliun (14,0%) sehingga Loan to Deposit Raio (LDR) meningkat

menjadi 119,4% 1 (Tabel 4.7). Pencapaian LDR tersebut tergolong inggi, namun masih aman bagi kesehatan BPR karena penyaluran kredit tersebut idak semata dibiayai dari DPK, tetapi juga menyertakan modal dan pinjaman.

Penetapan suku bunga menjadi salah satu strategi BPR dalam menarik DPK yang didominasi oleh deposito. Komposisi DPK BPR konvensional idak banyak mengalami perubahan dengan pangsa deposito sebesar Rp14,2 triliun (66,6%) dan tabungan Rp7,1 triliun (33,4%). Secara umum, BPR menetapkan suku bunga yang lebih inggi dari bank umum sehingga peningkatan suku bunga simpanan bank umum dapat menjadi suatu ancaman bagi BPR dalam penghimpunan dana. Akibatnya, rata-rata terimbang suku bunga simpanan BPR konvensional relaif inggi dibandingkan dengan bank umum, yakni sebesar 7,16% untuk tabungan dan 12,43% untuk deposito. Begitu pula dengan suku bunga kredit yang secara rata-rata mencapai 31,91%. Dalam situasi ini, BPR konvensional masih mampu menjaga ingkat eisiensinya, bahkan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) mengalami perbaikan dari 84,27% pada akhir tahun 2007 menjadi 82,83% pada akhir tahun 2008.

Penyaluran kredit BPR konvensional kepada jenis kredit konsumsi (KK) masih sangat inggi. Porsi kredit konsumsi mencapai Rp10,6 triliun atau 41,7% dari total kredit BPR konvensional. Penyaluran kredit yang bersifat produkif

didominasi oleh kredit modal kerja (KMK) sebesar Rp13,0 triliun (51,1%), sementara kredit investasi (KI) hanya

1 Apabila perhitungan LDR menyertakan modal dan pinjaman dalam komponen dana, maka LDR BPR konvesional pada tahun laporan sebesar 82,55% atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 80,03%.

Tabel 4.7. Indikator kinerja BPR

Jumlah BPR

2.009 1.880 1.817 1.772 Total Aset (miliar Rp)

20.393 23.045 27.741 32.533 DPK (miliar Rp)

13.178 15.771 18.719 21.339 Kredit (miliar Rp)

14.654 16.948 20.540 25.472 LDR (Kredit/DPK, %)

111,20 107,46 109,73 119,37 NPL gross (%)

122 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global 122 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

masing sebesar 44,3% dan 36,6%. Sementara penyaluran kredit kepada sektor pertanian yang idenik dengan mata pencaharian penduduk di pedesaan hanya sebesar 6,9%.

Kualitas kredit BPR konvensional sedikit tertekan pada triwulan terakhir, terutama kredit kepada sektor perdagangan dan skala usaha menengah dan besar. Rasio NPL kredit BPR konvensional mengalami lonjakan pada triwulan IV-2008 dari sebesar 6,94% pada bulan September menjadi 9,88% pada bulan Desember.

Di tengah kondisi peningkatan NPL tersebut, kecukupan modal BPR konvensional masih terjaga. Realisasi pemenuhan kewajiban modal disetor sebesar 70% dari yang dipersyaratkan berhasil meningkatkan permodalan BPR konvensional sehingga ekspansi kredit dan penurunan kualitas kredit pada tahun laporan idak berdampak banyak terhadap rasio kecukupan modal (CAR) BPR konvensional yang mencapai 23,34%. Level CAR tersebut tergolong inggi sebagai penyangga risiko sekaligus faktor pendukung pertumbuhan kredit yang lebih inggi.

BPR S yariah (BPRS)

Sejalan dengan perkembangan BPR konvensional, indikator kinerja BPRS juga mengalami peningkatan yang cukup baik, meskipun krisis global sedikit berpengaruh terhadap BPRS dimana NPF mengalami peningkatan pada triwulan terakhir. Secara kelembagaan, jaringan pelayanan BPRS semakin luas dengan bertambahnya

17 BPRS pada tahun 2008 sehingga jumlahnya menjadi 131 BPRS. Peningkatan jaringan tersebut berhasil meningkatkan volume usaha BPRS sebesar Rp464,1 miliar (38,4%) dari posisi pada akhir tahun 2007 menjadi Rp1,67 triliun pada akhir tahun 2008. Kegiatan penghimpunan dana meningkat sebesar 35,4% menjadi Rp962,9 miliar,

sementara pembiayaan yang disalurkan (PYD) meningkat sebesar 40,7% menjadi Rp1,24 triliun (Tabel 4.8). Kondisi tersebut meningkatkan FDR BPRS menjadi 128,58%, lebih inggi dari BPR konvensional. Sama halnya dengan BPR

konvensional, sumber dana pembiayaan BPRS juga berasal dari modal dan pinjaman sehingga rasio FDR yang inggi tersebut idak menganggu kondisi likuiditas BPRS.

Pertumbuhan PYD BPRS berluktuasi mengikui penyaluran kredit kepada UMKM. Seluruh pembiayaan yang disalurkan BPRS merupakan pembiayaan kepada

UMKM sehingga pertumbuhannya cenderung berluktuasi mengikui tren pembiayaan kepada UMKM. Fluktuasi pertumbuhan PYD terlihat dalam 3 tahun terakhir, dimana pada tahun 2006 pertumbuhannya mencapai 46,0%, kemudian mengalami perlambatan pada tahun 2007 menjadi sebesar 38,3%. Namun pada tahun 2008 pertumbuhan pembiayaan BPRS kembali meningkat menjadi sebesar 40,7%.

Pembiayaan berbasis jual beli dengan akad murabahah dan pembiayaan bagi hasil dengan akad musyarakah masih menjadi pilihan utama BPRS. Komposisi pembiayaan berdasarkan akad idak mengalami perubahan, pembiayaan dengan akad murabahah tetap mendominasi dengan pangsa sebesar 80,5%. Untuk pembiayaan bagi hasil masih mengandalkan akad musyarakah dengan pangsa sebesar 9,0%, sementara pangsa untuk akad mudharabah hanya sebesar 3,4%.

Kualitas pembiayaan BPRS relaif terjaga walaupun rasio NPF (gross) mengalami sedikit peningkatan. Kualitas pembiayaan BPRS sebenarnya dalam tren yang membaik sampai dengan triwulan III-2008, tercermin dari penurunan rasio NPF (gross) menjadi sebesar 6,92% pada bulan September 2008. Peningkatan NPF baru terjadi pada triwulan IV-2008 seiring dengan melambatnya

perekonomian menjadi sebesar 8,54% (Tabel 4.8).

Tabel 4.8. Indikator Kinerja BPRS

Indikator Kinerja

Jumlah BPRS 84 88 92 105 114 131 TotalAset (miliar Rp)

605,0 906,3 1.207,2 1.671,2 DPK (miliar Rp)

353,6 530,2 711,3 962,9 PYD (miliar Rp)

435,9 636,3 879,7 1.238,2 FDR (PYD/DPK, %)

123,29 120,02 123,69 128,58 NPF Gross (%)

10,64 8,29 7,99 8,28 CAR (%)

BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

Penurunan kualitas kredit cukup berpengaruh terhadap menurun menjadi 49,5% disebabkan oleh pertumbuhan rasio kecukupan modal BPRS, meskipun modal masih

kredit non-MKM yang lebih inggi, yakni sebesar 35,5%. dalam level yang inggi. Ekspansi penyaluran pembiayaan yang agresif pada tahun laporan meningkatkan Akiva

Bank umum mendominasi penyaluran kredit MKM. Posisi Terimbang Menurut Risiko (ATMR) secara signiikan.

kredit MKM yang disalurkan oleh bank umum pada akhir Sementara modal BPRS idak mengalami peningkatan

tahun laporan mencapai Rp633,9 triliun atau 95,9% dari sehingga rasio kecukupan modal (CAR) BPRS turun

total kredit MKM. Sementara itu, BPR, baik konvensional menjadi 25,47%. Namun level tersebut masih lebih inggi

maupun syariah, menyalurkan kredit MKM sebesar dari CAR BPR konvensional sehingga masih memadai

Rp26,79 triliun (4,1%). Rendahnya porsi kredit MKM yang sebagai penyangga risiko dan mendukung pertumbuhan

disalurkan oleh BPR lebih disebabkan oleh faktor skala kredit selanjutnya.

ekonomi. Namun penyaluran kredit BPR tetap berorientasi kepada UMKM karena 99,15% kredit BPR berupa kredit MKM. Sedangkan diinjau dari total kredit bank umum

Perkembangan Kredit Mikro, porsi kredit MKM (idak termasuk kredit penerusan) Kecil, dan Menengah (MKM) adalah sebesar 48,5%.

Ekspansi kredit MKM tetap inggi dengan kualitas yang Sebagian besar kredit MKM disalurkan pada jenis kredit terjaga, meskipun kehai-haian terhadap dampak krisis konsumsi dan pada sektor perdagangan. Pangsa kredit

konsumsi terus mengalami peningkatan dari 50,0% pada global ditengarai berpengaruh pada penyaluran kredit tahun 2007 menjadi 52,0% pada tahun 2008, sebaliknya MKM pada triwulan IV-2008. Kredit MKM tumbuh lebih inggi dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar pangsa kredit modal kerja dan kredit investasi mengalami

26,1% menjadi Rp660,7 triliun (Tabel 4.9). Berdasarkan sedikit penurunan (Tabel 4.9). Berdasarkan sektor usaha, sektor yang paling banyak menerima kredit MKM adalah

realisasi dari rencana bisnis bank, penyaluran kredit sektor perdagangan (25,2%), sektor perindustrian (7,0%) MKM pada tahun laporan berhasil melampaui target

dan jasa dunia usaha (6,6%).

yang ditetapkan pada awal tahun. Kredit MKM tumbuh secara signiikan pada iga triwulan pertama tahun 2008,

Kualitas kredit MKM tetap terjaga, meskipun NPL namun selanjutnya mengalami perlambatan pada triwulan mengalami sedikit peningkatan pada awal triwulan terakhir. Meskipun demikian, porsi kredit MKM terhadap IV-2008. Hingga triwulan III-2008, kualitas kredit MKM total kredit perbankan (termasuk BPR) pada tahun 2008

Tabel 4.9. Perkembangan Kredit MKM

Pangsa (%) Keterangan

Posisi (triliun Rp)

Jenis Penggunaan Kredit Modal Kerja

41,2 39,5 Kredit Investasi

8,8 8,5 Kredit Konsumsi

100,0 100,0 Sektor Ekonomi Pertanian

7,3 7,0 Listrik, Air dan Gas

1,4 1,3 Jasa Dunia Usaha

6,2 6,6 Jasa Sosial

100,0 100,0 Rasioa Kredit MKM/Total

Kredit Perbankan

124 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global 124 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

Penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang merupakan bagian dari kredit MKM menunjukkan peningkatan yang signiikan dengan kualitas sangat baik. Sejak diluncurkan pada bulan November 2007 hingga akhir tahun laporan, realisasi penyaluran KUR mencapai Rp12,62 triliun dengan total penerima sebanyak 1.671.668 debitur sehingga rata-rata kredit per debitur sebesar Rp7,55 juta. Sektor usaha yang paling banyak menerima KUR adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 58,52% dan sektor pertanian sebesar 21,93%. Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan iga urutan teratas daerah penerima program ini dengan porsi masing-masing sebesar 22%, 19% dan 15%. Konsentrasi penyaluran KUR di Pulau Jawa lebih disebabkan jaringan bank pelaksana yang lebih banyak dan merata. Sementara itu, kualitas KUR sangat baik dengan rasio NPL gross hanya sebesar 1,19%.

Lembaga Keuangan Lainnya

Kondisi pasar modal yang kondusif pada awal tahun mengalami tekanan seiring dengan merembetnya gelombang krisis keuangan global pada semester II tahun 2008. Nilai penerbitan saham mengalami peningkatan

yang signiikan pada awal tahun sebelum menurun drasis pada akhir tahun, namun secara total tetap mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. IHSG yang sempat

mencapai level teringgi pada awal tahun, akhirnya terkoreksi secara signiikan pada semester II-2008. Pasar obligasi Pemerintah juga mengalami tekanan dimana yield

cenderung meningkat, sehingga target penerbitan SUN Pemerintah idak tercapai. Namun demikian, hal tersebut idak terlalu berpengaruh pada APBN sejalan dengan rendahnya realisasi pengeluaran pemerintah. Realisasi penerbitan obligasi swasta juga tercatat lebih rendah dari target yang ditetapkan. Pasar reksadana juga turut mengalami tekanan. Sementara itu, lembaga keuangan nonbank (LKNB) lainnya seperi perusahaan pembiayaan, asuransi dan dana pensiun relaif idak terpengaruh oleh krisis keuangan global.

Perkembangan Pasar Saham

Kinerja pasar saham pada awal tahun 2008 masih cukup baik, namun terkoreksi cukup dalam pada semester

II 2008. IHSG pada akhir tahun 2008 ditutup pada level 1.355 poin atau melemah 50,64% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Graik 4.7). Kondisi tersebut menempatkan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada peringkat ke-5 se-Asia Pasiik sebagai bursa dengan kinerja terendah setelah Vietnam -66%, Shanghai -64,81%, Shenzen - 60,65%, dan Mumbai -53,83% (Graik 4.8). Kinerja IHSG pada tahun 2008 sebenarnya relaif terjaga dan bahkan sempat mencapai level 2.830 pada awal tahun dan merupakan level teringgi yang pernah dicapai sejak BEI beroperasi. Namun perkembangan pada semester II 2008 justru menunjukan dinamika yang berlawanan mengikui penurunan yang terjadi pada indeks saham global.

Penurunan kinerja IHSG lebih disebabkan oleh gejolak eksternal, baik di pasar keuangan maupun pasar komoditas, sementara itu kondisi domesik masih relaif terjaga. Gejolak eksternal bermula dari pecahnya bubble pasar keuangan global yang memicu terjadinya proses deleveraging dan berdampak pada perlambatan ekonomi global. Dampak lanjutan dari situasi tersebut adalah

Graik 4.7. Perkembangan IHSG dan Net Beli Asing

miliar rupiah indeks

Sumber: Bloomberg (diolah)

2007 2008

Net Beli Asing IHSG (rhs)

BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

penurunan laba dan bahkan kebangkrutan insitusi keuangan secara global. Terimbas kondisi tersebut, investor asing mulai mengurangi portofolio dananya di emerging market yang menyebabkan indeks di emerging market terkoreksi, termasuk IHSG di Indonesia. Selain itu, penurunan secara signiikan harga komoditas tambang dan pertanian di pasar dunia juga menjadi faktor penyebab penurunan IHSG.

Relaif terjaganya stabilitas makro yang tercermin dari respons BI Rate yang memadai dalam pengendalian inlasi, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup inggi, serta cadangan devisa yang masih dalam batas aman, dikombinasi dengan laporan keuangan emiten yang cukup baik dengan pertumbuhan laba yang inggi ternyata mampu menahan pelemahan IHSG. Namun demikian, beberapa risiko domesik juga turut mewarnai dinamika pergerakan IHSG pada tahun 2008. Risiko tersebut diantaranya adalah terkait dengan senimen kondisi likuiditas bank dan kekhawairan mulai menurunnya laba emiten sektor pertambangan dan pertanian searah dengan kejatuhan harga komoditas.

Kebijakan Bapepam-LK dan BEI juga berperan pening dalam menahan pelemahan IHSG lebih dalam. BEI melakukan suspensi perdagangan saham pada tanggal

9 dan 10 Oktober 2008. Langkah tersebut merupakan upaya untuk memberikan jeda kepada investor agar dapat berpikir rasional ditengah gejolak pasar keuangan yang terjadi pada saat itu. Pada hari yang sama Bapepam-LK juga mengeluarkan peraturan mengenai kemudahan untuk melakukan buyback. Pemerintah bahkan ikut mendorong BUMN untuk melakukan buyback melalui penyisihan laba. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh BEI adalah larangan

transaksi shortselling 2 dan membatasi perdagangan marjin. Kebijakan tersebut diarahkan untuk mengurangi aksi jual di tengah momentum penurunan harga. Disamping itu, BEI terus melakukan penyempurnaan

sistem auto-rejecion menjadi asymetric rejecion 3 . BEI juga memperpanjang suspensi beberapa emiten yang berpotensi menekan kinerja IHSG secara keseluruhan. Pada akhir 2008, BEI kembali mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pelaporan transaksi repo saham dan penutupan transaksi pasar tunai untuk mengurangi disparitas harga yang besar dengan pasar regular. Untuk mengembalikan kepercayaan investor, BEI juga meminta kepada beberapa emiten untuk melakukan public expose guna memberikan informasi yang berimbang atas kondisi perusahaan dimaksud.

Berbagai kebijakan tersebut mampu meningkatkan kepercayaan investor di pasar saham yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai rata-rata harian perdagangan saham, yaitu sebesar Rp4,29 triliun per hari pada 2007 menjadi sebesar Rp4,41 triliun per hari pada 2008. Indikasi membaiknya kepercayaan investor tersebut juga ditunjukkan oleh akivitas investor asing yang masih membukukan net beli sebesar Rp18,65 triliun pada 2008, meskipun masih jauh di bawah net beli tahun 2007 yang tercatat sebesar Rp32,92 triliun. Namun, porsi kepemilikan asing pada tahun 2008 ternyata justru meningkat menjadi sebesar 67,8%. Masih ingginya akivitas asing pada 2008, searah dengan pembelian selekif terhadap saham-saham yang tergolong undervalued terhadap nilai fundamentalnya akibat gejolak pasar keuangan pada triwulan IV-2008.

Penerbitan saham tahun 2008 masih mencapai target dan lebih inggi dari tahun 2007. Gejolak di pasar modal dan penurunan harga saham terutama berdampak terhadap penurunan jumlah penawaran perdana saham (iniial public ofering) dan hak memesan efek terlebih dahulu (right issue) pada akhir tahun 2008. Secara tahunan, nilai penerbitan saham mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Nilai emisi saham melalui IPO meningkat 38,04% dari Rp17,18 triliun menjadi Rp23,71 triliun, sementara itu, nilai right issue naik 86,21% dari Rp29,8 triliun menjadi sebesar Rp55,49 triliun sehingga total penerbitan saham pada tahun 2008 sebesar Rp79,1 triliun

2 Short-selling (jual kosong) adalah suatu teknik yang digunakan investor/trader untuk memperoleh proit dengan cara menjual instrumen keuangan (misalnya saham) yang belum dimiliki dengan harga inggi, pada saat investor/trader tersebut memperkirakan harga saham akan mengalami penurunan, dan keika harga saham benar-benar turun investor/trader akan membeli saham tersebut dengan harga yang murah dan menjualnya pada harga inggi sebelumnya.

3 Batas atas yang sempat ditentukan sebesar 10% diubah menjadi 20%

dan batas bawah tetap 10%.

Graik 4.8. Perkembangan IHSG dan Bursa Regional

Sumber : Bloomberg (diolah)

126 BAB 4 Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global

Tekanan di pasar obligasi negara tersebut lebih disebabkan oleh faktor eksternal dan terjadi di tengah kondisi domesik yang relaif terjaga. Beberapa indikasinya adalah pergerakan searah yield obligasi negara terhadap credit default swap (CDS) Indonesia dan nilai tukar rupiah. Dalam perkembangannya, kinerja obligasi negara kembali membaik sejalan dengan kondisi makroekonomi yang relaif terjaga. Faktor domesik yang relaif terjaga tersebut tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup inggi, inlasi yang terkendali, serta penurunan

triliun rupiah

triliun rupiah

risiko iskal pasca penyesuaian harga BBM 4 . Searah dengan gejolak pasar keuangan global tersebut, akivitas

Penawaran Umum (IPO)

HMETD (Right Issue)

Akumulasi Penerbitan Saham (rhs)

perdagangan di pasar obligasi negara juga mengalami

Sumber: Bapepam - LK

penurunan. Total volume perdagangan obligasi negara

Graik 4.9. IPO, Right Issue dan Penerbitan Saham

pada tahun 2008 tercatat sebesar Rp1.246,7 triliun atau turun dari posisi tahun 2007 sebesar Rp1.564 triliun.

(Graik 4.9). Namun penerbitan saham tersebut sebagian besar dilakukan pada triwulan I-2008 sebelum terjadi

4 Penurunan harga BBM berdampak pada menurunnya subsidi BBM

penurunan harga saham, yakni sebesar Rp46,1 triliun atau

oleh Pemerintah.

58,3% dari total penerbitan. Akivitas penerbitan saham menurun drasis pada triwulan IV-2008 dengan nilai

penerbitan sebesar Rp3,3 triliun (4,1%) karena beberapa basis poin emiten yang telah memperoleh ijin prinsip memilih untuk

menunda penerbitan sahamnya. Secara umum, peningkatan IPO dan right issue pada

tahun 2008 tersebut merupakan cermin dari daya tahan pasar saham akibat krisis pasar keuangan global. Hal itu sekaligus buki bahwa peran pasar saham dalam pembiayaan pembangunan masih berjalan baik dan bahkan cenderung meningkat.

Perkembangan Pasar Obligasi

FR 48 (10 Tahun)

FR 49 (5 Tahun)

FR 46 (15 Tahun)

FR 50 (30 Tahun)

Sejalan dengan gejolak pasar keuangan global, pasar

Sumber : Bloomberg (diolah)

obligasi negara turut mengalami tekanan. Target

Graik 4.10. Perkembangan Harga Obligasi Negara

penerbitan SUN idak tercapai, namun dengan realisasi pengeluaran APBN yang lebih rendah, hal tersebut idak

triliun rupiah

ribu

mengganggu pembiayaan APBN. Kondisi ini menyebabkan perkembangan pasar obligasi negara pada tahun 2008 bertolak belakang dengan kondisi pada tahun 2007. Penurunan kinerja di pasar obligasi negara tersebut mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008 pada saat harga rata-rata obligasi negara terkoreksi sebesar 27,4% (Graik 4.10). Dalam perkembangannya kinerja obligasi negara kembali mengalami peningkatan sejalan dengan mulai meredanya gejolak pasar keuangan global dan

langkah otoritas terkait. Dengan perkembangan demikian, harga obligasi negara pada akhir 2008 tercatat sebesar

97,9% atau turun ipis sebesar 5% dibandingkan dengan Frekuensi (rhs) tahun sebelumnya. Sumber: Departemen Keuangan

Volume Transaksi

Graik 4.11. Volume dan Frekuensi Perdagangan Obligasi Negara

Kinerja Sektor Keuangan Domesik di Tengah Krisis Global BAB 4

Sementara akumulasi frekuensi perdagangan obligasi negara justru naik, yaitu sebesar 76.533 kali pada tahun 2008 dibandingkan dengan sebesar 70.090 kali pada tahun 2007 (Graik 4.11).

Di tengah kondisi pasar obligasi negara yang tertekan kelompok nonresiden justru kembali meningkatkan posisi kepemilikannya di pasar obligasi negara. Akivitas asing sebagai net buyer di pasar obligasi negara terutama terjadi pada triwulan IV-2008. Hal itu terkait dengan relaif murahnya obligasi negara pada periode tersebut sehingga secara keseluruhan tahun 2008 posisi obligasi negara asing meningkat sebesar Rp9,4 triliun menjadi Rp87,5 triliun. Peningkatan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan tahun 2006-2007 yang mencapai Rp 23,2 triliun. Net buyer terbesar lainnya adalah kelompok asuransi dan bank nonrekap, yang masing-masing mengalami peningkatan posisi kepemilikan obligasi negara sebesar Rp10,3 triliun dan Rp10,5 triliun. Sementara bank rekap kembali menjadi net seller sebesar Rp18,1 triliun di pasar obligasi negara (Graik 4.12).