HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK

HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK TERKAIT DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 2015

(PEMILIHAN KEPALA DAERAH)

UNIVERSITAS INDONESIA

Audhilla Novieta Putri 16006959162

09 Kelas Hukum Kenegaraan (Reguler)

Fakultas Hukum Program Magister Hukum Universitas Indonesia 2017

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang dengan rahmat, nikmat serta keagungan-NYA memberikan kelancaran, kesabaran, dan kekuatan untuk penulis dalam menyusun tugas makalah matakuliah Hak Asasi Manusia. Dengan segala keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dapat menyelesaikan makalah

akhir ini dengan baik. Makalah akhir ini membahas tentang HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK TERKAIT DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 2015 (PEMILIHAN KEPALA DAERAH). Terima kasih untuk pihak-pihak yang telah membantu penulis, khususnya pengampu mata kuliah Politik Hukum, Prof. Dr. Satya Arinanto., SH., MH. yang memberi inspirasi kepada penulis dalam memberi materi untuk mengangkat judul makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tulisan ini tentunya masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Hormat Saya,

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demokrasi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi. Karena demokrasi merupakan suatu sistem yang telah dijadikan

tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara. Demokrasi merupakan asas yang fundamental dalam pemerintahan. Namun sebenarnya, apa hakikat dari demokrasi itu sendiri? Secara etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan. Jadi,secara terminologis demokrasi berarti kedaulatan yang berada di

alternatif

dalam

tangan rakyat. 1 Dengan kata lain, kedaulatan rakyat mengandung pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi

dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat. 2 Salah

demokratis adalah terselenggaranya kegiatan Pemilihan Umum yang bebas. Sebagai negara demokrasi, tentunya Indonesia harus

1 R.Masri Sareb Putra (ed), Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm.148.

2 Ibid.

menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam demokrasi, hal ini ditandai dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum yang melibatkan rakyat secara langsung. Pemilihan Umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah.

Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3 Dikatakan sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat (demokrasi), merujuk pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”.

Indonesia sempat menerapkan dua sistem Pemilihan Umum kepala daerah, yaitu pemilihan tak langsung dan pemilihan langsung. Pasang surut politik telah melahirkan beberapa variasi sistem pilkada tak langsung. Berdasarkan kajian terhadap ketentuan-ketentuan perundangan, yakni sejak UU No. 1 /1945 sampai UU No. 22/1999 telah digunakan 3

3 C.S.T. Kansil, Memahami Pemilihan Umum dan Referendum (Sarana Demokrasi Pancasila) , (Jakarta: IND-HILL-CO, 1986), hlm. 1

(tiga) jenis tak langsung. 4 Awalnya pada permulaan Orde Baru sistem pemilihan tak langsung memiliki karakteristik tersendiri

yaitu penunjukan dan/atau pengangkatan pememerintah/pejabat pusat dan dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1/1945, Pasal 18 Undang-Undang No. 22/1948 dan Pasal 11 Undang-Undang No. 18/1965. Pada pilkada Orde Baru di kenal sebagai pemilihan perwakilan semu, karena seolah-olah dilakukan DPRD akan tetapi penentu sesungguhnya berada di tangan pemerintah pusat seperti presiden atau menteri dalam negeri. Hal tersebut di tegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1975 tentang perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Aanggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Masa akhir orde baru sebelum reformasi kepala daerah dipilih dengan sistem perwakilan melalui DPRD berdasarkan Undang-Undang No.22 /1999. Undang-undang tersebut memberi kedudukan DPRD sangat dominan dan sentral, presiden hanya sebatas pengesahan pengangkatan atau pemberhentian kepala daerah.

Pemilihan Umum pada era reformasi beralih pada pemilihan secara langsung yang dimana rakyat yang memilih

4 Joko J.Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Filosofi, Sistem dan Problematika Penerapan di Indonesia), ( Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 72.

langsung para calon pemimpin mereka melalui Pemilihan Umum. Di sini rakyat menjadi dominan dan berhak memilih sesuai hati nurani masing-masing rakyat. Dengan lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 setelah itu lahir Undang- undang No. 12 2008 tentang perubahan kedua atas Undang- undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Yang terakhir untuk mengatur Pemilihan Umum undang-undang No.

8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-undang No. 1 Tahun 2015 tentang penetetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- undang, sehingga undang-undang tersebut telah memberikan hak politik rakyat untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan juga dapat ikut serta secara langsung dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dengan demikian hak politik masyarakat untuk melakukan partisipasi politik secara konvensional terbuka lebar.

Keikutsertaan setiap warga negara untuk membangun negara juga tidak lepas dari hak asasi sipil politik yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hak asasi manusia adalah hak –hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan

hukum positif. 5 Indonesia mengenal adanya hak asasi manusia sipil dan politik dan secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam acara pesta demokrasi yang meliputi Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada. Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan selain mendapatkan hak untuk memilih masyarakat juga memiliki hak untuk dipilih dan memiliki kedudukan yang sama dalam hak untuk dipilih untuk menjadi kepala daerah.

Kepala Daerah adalah orang yang diberikan tugas oleh pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan di daerah. Untuk menjadi kepala daerah harus melalui Pemilihan Umum kepala daerah. Tugas Kepala Daerah yang utama adalah memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan daerah. Seperti yang di sebutkan Pasal 160 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh

5 Rhona K. M. Smith, at. al, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2015), hlm. 11.

Presiden, sedangkan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota pengesahan pengangkatan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri di jelaskan dalam Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015. Oleh karena itu, kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi kewajiban kepala daerah memberikan keterangan pertanggung jawaban mengenai pelaksanaan pemerintahan daerah yang dipimpinnya kepada DPRD. Seorang Kepala Daerah memiliki dua kedudukan, selain sebagai kepala daerah yang merupakan wakil pemerintah pusat (Kepala wilayah) juga sebagai kepala daerah otonom yang bersangkutan.

Sebagai kepala daerah memiliki tugas, wewenang, kewajiban dan hak untuk menjalankan pimpinan pemerintahan daerah sebagai kepala wilayah yang diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi di daerahnya serta bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi penyelenggaraan pemerintahan di seluruh wilayah di Indonesia diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2014. Selain pada presiden, kepala daerah memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada DPRD sekurang-kurangnya sekali setahun agar DPRD dapat

mengawasi jalannya pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014. Seorang kepala daerah juga berkewajiban mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan sehubungan dengan hak dan kewajiban kepala daerah sebagai pimpinan daerah. Akan tetapi, karena banyaknya tugas, apabila dipandang perlu, kepala daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya dalam hal-hal tertentu di luar dan di dalam pengadilan.

Dewasa ini jika kita melihat beberapa fenomena yang terjadi, yaitu menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah banyak sekali anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada). Berikut 10

orang anggota DPR yang mencalonkan diri di Pilkada 2015: 6

1. Norbaiti Isran Noor (Demokrat), calon Bupati Kutai Timur, diusung Gerindra, PDIP, dan PKPI.

6 http://news.detik.com/berita/3012747/ini-10-anggota-dpr-yang- mundur-karena-maju-di-pemilukada-2015 . Pada tanggal 20 Oktober 2017

pukul 21.00

2. Irna Narulita (PPP), calon Bupati Pandeglang, diusung Gerindra, PKB, PKS, Nasional Demokrat, PBB, Hanura, dan PAN.

3. Saan Mustopa (Demokrat), calon Bupati Karawang, diusung Gerindra, Golkar dan Nasional Demokrat.

4. Willy Midel Yoseph (PDIP), calon Gubernur Kalimantan Tengah, diusung PDIP.

5. Zairullah Azhar (PKB), calon Gubernur Kalimantan Selatan, diusung PKB, Nasional Demokrat, dan Demokrat.

6. Hamid Noor Yasin (PKS), calon Bupati Wonogiri, diusung PKS, PAN, Gerindra, dan Demokrat.

7. Neni Moerniaeni (Golkar), calon Walikota Bontang, maju secara independen (non-parpol)

8. Abdul Hakim (PKS), calon Walikota Metro, diusung PKS dan Gerindra.

9. Olly Dondokambey (PDIP), calon Gubernur Sulawesi Utara, diusung PDIP.

10. Chusnunia Chalim (PKB), calon Bupati Lampung, diusung PKB dan Partai Demokrat. Sebenarnya hal tersebut sudah lazim terjadi akan

tetapi dalam hal hak kesamarataan dimata hukum karena adanya keringanan bagi calon yang berstatus anggota legislatif. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tetapi dalam hal hak kesamarataan dimata hukum karena adanya keringanan bagi calon yang berstatus anggota legislatif. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil

Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;”.

Sedangkan calon kepala daerah yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Badan Usaha Milik Daerah, dan pejabat Badan Usaha Milik Negara diwajibkan mengundurkan diri sejak di tetapkan sebagi calon kepala daerah. Peraturan yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mengundurkan diri tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2015 pasal 7 huruf t menyebutkan “mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon ”. Peraturan yang Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon ”. Peraturan yang

menyebutkan “berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan

sebagai calon. ” Berdasarkan realita ini Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan merasa adanya keistimewaan terhadap calon yang berasal dari legislatif atau dewan perwakilan dengan berlakunya Pasal 7 huruf s UU Nomor 8

Tahun 2015 tentang Pilkada 7 . Adapun beberapa pokok permohonan dari pemohon sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 7 huruf s UU Pilkada Tahun 2015 hasil revisi DPR justru memberikan keistimewaan atau keringanan perlakukan kepada sebagian warga negara Indonesia dengan jabatan tertentu terkait persyaratan memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan

7 http://www.arajang.com/index.php/detail-nasional/39-polhukam/1539- mk-kabulkan-uji-materi-politik-dinasti-keluarga-petahana-boleh-ikut-

pemilukada. Pada tanggal 20 Oktober 2017 pukul 21.10.

Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;

2. Hukum yang berlaku universal, seharusnya tidak lagi membeda-bedakan antara calon yang berasal dari Anggota Legislatif dengan calon lainnya yang menjabat sebagai incumbent dan yang menjabat di BUMN/BUMD, maupun yang berstatus PNS, dan Anggota TNI/POLRI;

3. Apabila filosofi pembatasan persyaratan bagi incumbent, pejabat BUMN/BUMD serta PNS dan Anggota TNI/POLRI adalah didasarkan pada dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, maka seharusnya kekhawatiran yang sama juga berlaku bagi calon dari Anggota Legistatif yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya, jika hanya disyaratkan memberitahukan pencalonannya saja, tanpa harus mengundurkan diri;

4. Untuk mengembalikan kedudukan semua warga negara yang sama di mata hukum, maka seharusnya bagi calon yang berstatus

disyaratkan mengundurkan diri dari jabatannya selaku anggota legislatif, atau jika tidak, baik calon incumbent, pejabat BUMN/BUMD serta PNS dan Anggota TNI/POLRI dipersyaratkan sama dengan calon dari Anggota Legislatif.

Anggota

Legislatif

juga

Pasal 7 huruf s UU Pilkada 2015 yang menyebutkan “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;” tersebut dinyatakan oleh Mahkamah telah berlaku diskriminatif, karena tidak mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk berhenti dari jabatannya, melainkan cukup hanya memberitahukan

pencalonannya kepada pimpinan masing-masing. 8 Dapat dilihat hal tersebut terdapat ketimpangan dalam mengikuti pemilihan kepala daerah antara anggota DPR, DPD dan DPRD dengan PNS, Polri, TNI, Pejabat BUMN/BUMD yang diwajibkan mengundurkan diri melepaskan jabatan terlebih dahulu setelah di tetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon pemilihan kepala daerah.

Melihat realita di atas apabila seorang calon kepala daerah berasal dari anggota legislatif tentu timbul pertanyaan apakah tidak mengganggu kinerja orang tersebut dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota legislatif

8 http://www.antaranews.com/berita/505942/mk-legislator-ikut-pilkada- harus-mengundurkan-diri. Pada tanggal 20 Oktober 2017 pukul 21.10.

jika mengikuti pemilihan kepala daerah. Karena sudah jelas fungsi antara DPR atau DPRD dengan kepala daerah sangat berbeda dan juga persiapan menjadi calon kepala daerah sangat rumit dan memerlukan persiapan yang sangat menyita waktu. Apa yang melatarbelakangi munculnya ketentuan pasal 7 huruf s UU No. 8 2015 yang setelah itu diubah menjadi pasal inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Ini lah yang menjadi dasar pijakan bagi penulis menganalisis penelitian ini dengan tema,

“HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK TERKAIT DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 2015 (PEMILIHAN KEPALA DAERAH ”.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang melatarbelakangi munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada?

2. Apa pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal

7 huruf s sebagai pasal yang inkonstitusional bersyarat?

3. Bagaimana pokok permasalahan tersebut bila dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia?

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar latar belakang munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

2. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7 huruf s sebagai pasal yang inkonstitusional bersyarat.

3. Untuk mengetahui bagaimana HAM memandang hal tersebut.

D. KERANGKA TEORI

a) Teori Demokrasi

Kita mengenal bernacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah

demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. 9 Kata

demokrasi atau democracy dalam bahasa Inggris diadaptasi

9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 50.

dari kata demokratie dalam bahasa Perancis pada abad ke-

16. Namun, asal kata sebenarnya berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang diambil dari kata demos berarti rakyat,

kekuasaan/berkuasa (memerintah) 10 Perkataan demokrasi yang terbentuk dari dua pokok kata Yunani di atas, maknanya adalah cara memerintah oleh

kratos /kratein

berarti

rakyat. 11 Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat

untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. 12 Oleh sebab itu hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya rakyat diletakkan pada posisi penting dalam

asas demokrasi ini. 13

Diantara sekian banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi, ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya demokrasi, tetapi bersandar pada komunisme. Perbedaan keduanya yaitu, demokrasi

10 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 200.

11 Ibid . 12 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000), hlm. 19 13 Ibid .

konstitusional mencita-citakan pemerintah yang terbatas kekuasaannya, suatu negara hukum (rechtsstaat), yang tunduk pada rule of law. Sebaliknya demokrasi yang mendasarkan

dirinya pada komunisme mecita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machtsstaat). 14 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai

dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijakan tersebut

kehidupannya,

termasuk

menentukan kehidupan rakyat. 15

Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan bahwa Hendry

B. Mayo memberikan defenisi sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan

dalam suatu terjaminnya kebebasan politik. 16

15 Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 202 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hlm. 207.

16 Moh. Mahfud MD, op.cit.

Lebih lanjut B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi

didasari oleh beberapa nilai, yakni: 17

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.

3. Menyelenggaran pergantian pimpinan secara teratur.

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku.

6. Menjamin tegaknya keadilan. Untuk menjalankan demokrasi tentunya diperlukan berbabgai

lembaga yang dapat melaksanakan nilai-nilai tersebut, yaitu: 18

1. Suatu pemerintahan yang bertanggungjawab.

2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang dapat mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan Pemilihan Umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi.

17 Miriam Budiarjo, op.cit, hlm. 62 18 Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 219.

3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.

4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.

5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.

Dari berbagai literatur yang mennelaah tentang tolak-tarik antara peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah demokrasi. Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa yang berkuasa penuh yaitu rakyat. Rakyatlah yang akan menentukan arah kebijakan ke depan. Dengan begitu rakyatlah yang berkuasa dalam

menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan pemerintah tersebut menentukan kehidupan rakyat itu sendiri. Untuk itu ditekankan kepada rakyat, kedaulatan berada di tangan rakyat. Agar dapat memaksimalkan perannya dalam menunjang sistem guna keberlangsungan suatu Negara.

b) Teori Pemilihan Umum

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu media demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat. Pemilu dianggap penting dalam proses dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu media demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat. Pemilu dianggap penting dalam proses dinamika

Dalam negara hukum yang demokratis, kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin idealnya dilakukan melalui pemilu dengan berasaskan prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBERJURDIL). Adapun yang dimaksud dengan

pemilihan yang bersifat 19 :

a. Langsung. Bahwa rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung

memberikan

suaranya,

menurut hati

nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.

b. Umum. Pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia

17 tahun atau telah atau telah kawinn berhak dalam pemilihan, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap/semua

19 C.S.T Kansil S.H, op.cit, hlm. 9 19 C.S.T Kansil S.H, op.cit, hlm. 9

c. Bebas. Tiap warganegara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hai nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun/dengan apapun.

d. Rahasia. Para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan di ketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun, siapapun siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot)

e. Jujur. Dalam

Pemilihan Umum, penyelenggara, pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau

menyelenggarakan menyelenggarakan

f. Adil Dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapatkan perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

dalam praktek ketatanegaraan lazimnya dilaksanakan melalui Pemilihan Umum. Pasca perubahan amandemen UUD 1945, semua anggota lembaga perwakilan dan bahkan presiden serta Kepala Daerah dipilih dengan mekanisme Pemilihan Umum. Pemilihan Umum menjadi agenda yang diselenggarakan secara berkala di Indonesia.

Menurut Ibnu Tricahyo dalam bukunya yang berjudul Reformasi Pemilu, mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai berikut: Secara universal Pemilihan Umum adalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan Menurut Ibnu Tricahyo dalam bukunya yang berjudul Reformasi Pemilu, mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai berikut: Secara universal Pemilihan Umum adalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan

rakyat, membentuk pemerintahan

mewujudkan

kedaulatan

sebagai sarana mengartikulasi aspirasi dan kepentingan rakyat. Negara Indonesia mengikutsertakan rakyatnya dalam rangka

Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen dengan sistem perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Wakil- wakil rakyat ditentukan sendiri oleh rakyat melalui Pemilu (general election) Soedarsono mengemukakan lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul Mahkamah Konstitusi Pengawal Demokrasi, bahwa yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah sebagai berikut: secara berkala agar dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Pemilihan Umum adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil daerah,

penyelenggaraan

negara.

presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis. 21 Penjelasan di atas menyebutkan bahwa Pemilihan Umum

merupakan syarat minimal adanya demokrasi yang bertujuan

20 Ibnu Tricahyo, Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal , (Jakarta: Intrans Publishing, 2009), hlm. 6.

21 Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi, (Jakarta: Setjen dan Kepanitraan MKRI, 2006), hlm. 1.

memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis. Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga

rakyat atas penyelenggaraan pemerintahan dijalankan oleh presiden dan Kepala Daerah yang juga dipilih secara langsung. Anggota legislatif maupun Presiden dan Kepala Daerah karena telah dipilih secara langsung, maka semuanya merupakan wakil- wakil rakyat yang menjalankan fungsi kekuasaan masing- masing. Kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan yang begitu penting dan agar wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat tersebut harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui Pemilihan Umum.

perwakilan.

Kedaulatan

Menurut Jimly Asshidiqqie pentingnya penyelenggaraan Pemilihan Umum secara berkala tersebut dikarenakan beberapa sebab diantaranya sebagai berikut: 1) pendapat atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu; 2) kondisi kehidupan masyarakat yang dapat juga berubah; 3) pertambahan penduduk dan rakyat dewasa yang

dapat menggunakan hak pilihnya; 4) guna menjamin regulasi kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif. 22 Berdasarkan pernyataan di atas bahwa beberapa sebab pentingnya Pemilihan Umum diantaranya adalah aspirasi rakyat cenderung berubah, kondisi kehidupan rakyat berubah, pertambahan penduduk dan regulasi kepemimpinan. Pemilihan Umum menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Kondisi kehidupan rakyat yang cenderung berubah memerlukan adanya mekanisme yang mewadahi dan mengaturnya yaitu melalui proses Pemilihan Umum. Setiap penduduk dan rakyat Indonesia yang telah dewasa memiliki hak untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Regulasi kepemimpinan baik cabang eksekutif maupun legislatif akan terlaksana secara berkala dengan adanya Pemilihan Umum.

c) Teori Hak Asasi Manusia Sipil dan Politik

Hak asasi adalah hak yang bersifat mendasar dan pokok yang dimiliki manusia. Asal usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati

(natural rights theory) dan awal mula teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory ), dan dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat

22 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 169-171.

Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Dalam teori hukum kodratinya, Santo Thomas Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui

melalui penggunaan nalar manusia. 23

Hak asasi merupakan perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan dengan manusia yang lain. Hak asasi adalah hak yang melekat secara otomatis pada manusia itu sendiri. Dapat dilihat jika secara struktural hak asasi masnusia merupakan kontrak sosial antara negara dan warganegara. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan keharusan negara agar warganegaranya dapat hidup sesuai dengan harkat martabat kemanusiaannya. Hak asasi manusia yang di jamin oleh negara tertulis dalam undang-undang nomor 39 Tahun 1999.

UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia. Pasal-

23 Rhona K. M. Smith, op.cit, hlm. 12.

pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi

manusia adalah: 24

1) Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negarabersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ”;

2) Pasal 27 ayat ( 2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”;

3) Pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang ”;

4) Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu ”;

5) Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara ”;

6) Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran ”;

24 Jimly Asshiddiqie, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta Rajawali Pers, 2013), hlm. 352.

7) Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara ”. HAM di dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi

empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik; hak ekonomi, sosial, dan budaya; hak atas pembangunan dan hak khusus lain; serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) yang meliputi hak untuk hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Adapun hak sipil politk adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil politik yang pemenuhannya ditanggung oleh negara. Salah satu bentuk hak sipil politik adalah hak untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam pemerintahan, hak tersebut mencakup hak untuk bebas memilih dan dipilh. Hak dalam membangun negara secara langsung dan ikut serta Adapun hak sipil politk adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil politik yang pemenuhannya ditanggung oleh negara. Salah satu bentuk hak sipil politik adalah hak untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam pemerintahan, hak tersebut mencakup hak untuk bebas memilih dan dipilh. Hak dalam membangun negara secara langsung dan ikut serta

treatment of aliens). 25 Secara

menyebutkan pengertian tentang hak sipil dan politik, namun dapat di simpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi

jelas undang-undang tidak

tanggung jawab negara. 26 Dengan kata lain, hak sipil dan politik adalah hak asasi dan kebebasan dasar manusia yg pemenuhan, penghormatan dan perlindungannya sangat ditentukan ada atau tidaknya hukum yg menjamin dan

25 Satya Arinanto, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2015), hlm 81.

26 KontraS, Hak Sipil dan Hak Politik, 2010, op.cit; hlm 1.

kekuasaan yang taat hukum serta memberikan kepastian hukum menjamin penegakannya jika ada pelanggaran. 27 Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak –hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak –hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights –ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak –hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR). 28 Ratifikasi ini

menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang-undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU.

Hak sipil dan politik membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar yang mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Saat ini

27 Suparman Marzuki, Hak Sipil dan Politik, (Yogyakarta: Pusham UII, 2010), hlm 17.

28 Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm 4.

rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan hak sipil politik. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai- partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikan perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.

E. METODE PENELITIAN

1. Fokus Penelitian Adapun fokus penelitian ini adalah menganalisis

secara yuridis dan politis calon kepala daerah yang berasal dari anggota DPR dan DPRD dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, khususnya analisis terhadap undang- undang pilkada dan putusan mahkamah konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015. Penelitian juga fokus pada bagaimana HAM memandang hak-hak politik masyarakat yang ingin memasuki dunia politik.

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan karena dalam penelitian ini penulis mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.

2. Bahan Hukum.

1. Data Sekunder. Data yang akan digunakan untuk membahas penelitian

ini, yang meliputi:

1. Bahan hukum primer, antara lain terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

b. Undang-Undang No. 8 tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.

1 tahun2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

c. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

d. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 terkait Pasal 7 huruf s UU 8/2015.

2. Bahan hukum sekunder, antara lain terdiri dari:

a. Buku.

b. Pendapat para ahli.

c. Karya Tulis.

d. Literatur lainnya.

3. Cara Pengumpulan Bahan Hukum. Data dikumpulkan dengan cara:

a) Studi pustaka, yakni dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum, literature yang berkaitan dengan

objek penelitian, mengkaji tentang berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, risalah sidang, dan lain-lain yang berhubungan

dengan objek penelitian .

4. Pendekatan yang Digunakan. Pendekatan perundang-undangan karena bahan utama yang akan dianalisis adalah pengaturan persyaratan pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam pilkada kepala daerah dan kasus, dipilih karena melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

5. Metode Analisis Data. Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu pengelompokan dan penyesuaian data-data yang diperoleh dari suatu gambaran sistematis yang didasarkan pada teori dan pengertian hukum yang terdapat dalam ilmu hukum untuk mendapatkan kesimpulan yang signifikan dan ilmiah. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:

dari peneltian diklasifikasikan

a. Bahan hukum

yang

diperoleh

sesuai dengan permasalahan dalam penelitian; b. Hasil klasifikasi bahan hukum selanjutnya disistematisasikan;

yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan nantinya.

c. Bahan

hukum

F. Sistematika Penulisan

Bab I tentang Pendahuluan terdiri dari 6 (enam) sub bab, yaitu: Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Maksud dan

Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II tentang Pembahasan Latar latar belakang munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang nomor 8 Tahun

2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada), berisikan dasar hukum dan analisis terhadap ketentuan pasal terkait. Bab III Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7 huruf s sebagai pasal yang konstitusional bersyarat, berisikan analisis putusan Mahkamah Konstitusi yang diteliti oleh penulis, dasar hukum serta fakta-fakta yang berkaitan dengan putusan tersebut. Bab IV Pembahasan mengenai hak asasi manusia sipil dan politik terkait dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. BAB V Penutup tentang kesimpulan serta saran yang berkaitan dengan penelitian ini. Kesimpulan merupakan penyajian kembali secara singkat dan jelas yang merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang mengacu pada pokok- pokok permasalahan yang ada. Sedangkan saran adalah hal- hal yang diusulkan oleh penulis terkait penulisan ini.

BAB II Latar latar belakang munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s

Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada)

Demokrasi punya keterkaitan yang erat dengan hak asasi manusia karena makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara. Posisi ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat. Hak sipil politik rakyat meliputi hak konstitusional untuk dipilih dan juga hak konstitusional untuk memilih dalam pemilu.

Demokrasi mengisyaratkan kedaulatan rakyat dengan dilaksanakannya mekanisme Pemilihan Umum dan Pilkada. Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif

dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi karena pemilihan umum merupakan salah satu ciri dari dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi karena pemilihan umum merupakan salah satu ciri dari

legislatif. Berkenaan dengan demokrasi dan hak asasi manusia, hal tersebut sudah jelas-jelas

di

lembaga

diatur dan dijamin dalam konstitusi Indonesia. Karena hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Pilkada adalah salah satu bentuk lain dari Pemilihan Umum, dalam hal tersebut Pilkada juga wujud demokrasi yang konkret, karena Pilkada diatur dalam bentuk Undang- Undang. Adapun salah satu urgensi pengaturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di dalam Undang-Undang adalah untuk mengurangi adanya praktik kecurangan dalam Pilkada, supaya Pilkada berjalan dengan pakem yang jelas mulai dari syarat menjadi calon hingga syarat terpilihnya seorang calon dan tugas wewenang lembaga penyelenggara serta sanksi-sanksi apabila ada yang melakukan praktik kecurangan. Pengaturan tentang pemilihan Gubernur,

29 Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), hlm 253.

Bupati, dan Walikota guna terlaksana secara demokratis sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 30

Pengaturan tentang Pilkada secara langsung diawali munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota mekanisme Pemilhan Kepala Daerah secara langsung kembali lagi menjadi Pilkada melalui DPRD. Namun adanya penolakan oleh masyarakat terhadap Undang-Undang tersebut karena mekanisme Pemilihan Kepala Daerah kembali melalui DPRD, Undang-Undang Pilkada tersebut akhirnya diganti dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada intinya dalam Perpu tersebut merubah mekanisme Pilkada dari tidak langsung menjadi langsung .

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

30 Bagian menimbang huruf a Peraturan Pemertintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

Walikota menjadi Undang-Undang. Pengaturan terakhir tentang Pilkada tidak berselang lama Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 tersebut direvisi menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang .

Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 mengatur syarat pencalonan untuk mengikuti Pilkada. Namun ada syarat yang berbeda dalam pencalonan mengikuti Pilkada tersebut, ada yang harus berhenti dan ada yang hanya melaporkan

Pilkada kepada pemimpinnya saja. Perbedaan tersebut berlaku bagi calon Pilkada yang berasal dari DPR, DPD dan DPRD, calon yang berasal dari anggota TNI/POLRI dan calon yang berasal dari pejabat BUMN/BUMD. Berikut bunyi pasal-pasal yang mengatur persyaratan pencalonan Pilkada:

keikutsertaannya

dalam

Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015: “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi

Pasal 7 huruf t Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015: “mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional

Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon.”

Pasal 7 huruf u Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015: “berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau

badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.” Akan tetapi terjadi permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 untuk meminta pengujian kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur mengenai persyaratan menjadi calon kepala daerah

(baik calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota). Dengan pemohon Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019 menganggap Pasal 7 huruf s (baik calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota). Dengan pemohon Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019 menganggap Pasal 7 huruf s

adil dan melanggar prinsip keadilan (fairness). 31

Adapun yang menjadikan alasan pemohon terkait Pasal

7 huruf s adalah: 32

1. Bahwa pasal yang diujikan memuat ketentuan yang memberi perlakuan istimewa dan berbeda kepada anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan calon kepala dan wakil kepala daerah yang berlatarbelakang pejabat atau pegawai pemerintahan lainnya, seperti petahana, penjabat petahana, anggota TNI, Polri, PNS, atau pejabat BUMN/BUMD (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf p, huruf q, huruf t, dan huruf u UU 8/2015);

2. Bahwa Undang-Undang a quo telah menetapkan bahwa hanya anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak harus mengundurkan diri atau berhenti pada saat akan mendaftarkan diri sebagai calon dalam pemilihan kepala atau wakil kepala daerah. Seharusnya anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak diperlakukan istimewa dan berbeda dengan calon lainnya seperti anggota TNI, Polri, atau pejabat

31 http://www.ajnn.net/news/implikasi-putusan-mahkamah-konstitusi-no- 33-puu-xiii-2015/index.html . Pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul

21.03 WIB 32 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015,

hlm. 35-38.

BUMN/BUMD yang diwajibkan berhenti atau mengundurkan diri karena mereka semua sama dengan pegawai pemerintahan lainnya, dalam hal menerima gaji dan fasilitas lainnya dari anggaran atau keuangan negara (APBN atau APBD);

3. Bahwa ketentuan perubahan Pasal 7 huruf s UU Pilkada 2015 tersebut telah berlaku diskriminatif kepada sesama Warga Negara Indonesia yang hendak mencalonkan diri atau dicalonkan, membeda-bedakan perlakuan persyaratan antara calon yang berkedudukan sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD dengan calon yang berkedudukan sebagai petahana, calon yang berstatus PNS dan calon yang berstatus anggota TNI/POLRI, serta pejabat BUMN/BUMD.