MATERI PPKN PENGEMBANGAN BUDAYA DAERAH D

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding dengan musibah sehingga kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi pekerjaan rumah daripada berkah. Fenomena ini terlihat dari perkembangan sejarah Indonesia, seperti semakin kuatnya etnosenterisme. Hal ini dapat dilihat dari munculnya konflik antaretnik di berbagai daerah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh perkembangan etnosentrisme ke arah etnonasiolisme yang mendorong lahirnya gerakan sparatisme.

Otonomi daerah yang diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut, ternyata dominan berubah menjadi hiperotomoni sehingga memunculkan proses politik kedaerahan (Piliang, 2003). Fenomena ini menandakan adanya masalah serius dalam mengelola kepluralistikan di Indonesia sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika semakin jauh dari cita-cita kesatuan Indonesia. Begitu juga krisis yang melanda bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi dan skala merupakan cobaan moralitas dan kemanusiaan yang tidak ringan. Krisis ini menurut Kusumohamidjojo (2000) merupakan permasalahan serius bangsa, tetapi secara moralitas memperoleh tanggapan yang kurang sungguh-sungguh dari elite masyarakat.

Sikap pemuka Indonesia dari generasi yang berbeda-beda merefleksikan keprihatinan mengenai rasa hormat kepada etika sosial pada kalangan atas masyarakat. Pada gilirannya keprihatinan ini akan menghalangi penegakan serta pelaksanaan hukum secara luas dan merata. Apalagi arogansi mayoritas terhadap minoritas, perilaku menyimpang dalam kehidupan keagamaan, monopoli dalam bidang ekonomi, dan eksploitasi alam tanpa kendali secara sosio-budaya merupakan ancaman serius bagi keutuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, di samping sebagai kekayaan bangsa, juga bisa menjadi ancaman bagi negara dan bangsa ini, bila unsur bangsa masing-masing tidak memberikan ruang bagi perbedaan.

Tegasnya, bangsa Indonesia yang multikultur mutlak harus dipandang dari kacamata multikulturalisme, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno (2005) bahwa Indonesia hanya dapat bersatu, bila pluralitas yang menjadi kenyataan sosial dihormati. Artinya, penegakan kesatuan Indonesia bukan hendak menghilangkan identitas setiap komponen bangsa, tetapi harapannya agar semuanya menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati identitas masing-masing dan kesediaan untuk tidak memaksakan pandangan sendiri tentang “yang baik” kepada siapapun merupakan syarat keberhasilan masa depan

Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional, integrasi nasional, dan menempatkan agama menjadi fondasi kesatuan bangsa.

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui kesatuan bangsa indonesia dalam multikulturalisme

II. ISI

2.1. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.2 Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan (Mahfud, 2006).

Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri atas 13.667 pulau (meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa dan 200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai macam pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern (Irhandayaningsih, 2012).

Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan —artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.

2.2. Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing. Konsep multikulturalisme di sini tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi cirri masyarakat majemuk (plural society ). Karena, multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Mengkaji multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari permasalahannya yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hokum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, juga tingkat dan mutu produktivitas (Hidayah, 2013).

2.3. Transformasi Multikulturalisme Menuju Identitas Nasional

Seseorang baru menyadari keberadaan dirinya sendiri yang paling otentik, ketika berada bersama sesuatu yang lain, barang yang lain, dan orang yang lain. Itulah the others (liyan) dalam konsep multikulutralisme (Mulkhan, 2002). Menurut Hefner (2007) bahwa pandangan ini mengacu pada pengalaman Amerika dalam merumuskan kebijakan politik saat negeri itu diserbu para migran dari berbagai bangsa, seperti Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebijakan multikultural keragaman dan kebhinekaan kultur, justru menjadi penguat keberadaan Amerika. Walaupun berbeda latar historisnya, kebhinekaan etnis, dan keagamaan di Indonesia bisa menggunakan kerangka pikir multikulturalisme sebagai paradigma kerja.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa sejarah sosial, budaya, dan keagamaan yang berbeda dengan akar genealogi yang begitu kuat memerlukan strategi berbeda. Fakta sosio-budaya bhineka dalam keberagamaan bersilangan dengan etnisitas seringkali membuat setiap komunitas budaya dan keagamaan merasa berhak menjadi raja dalam kelompoknya sendiri. Kesadaran primordial ini bukanlah sikap yang salah, bila hal itu disadari menjadi lebih bermakna ketika diletakkan bersama dan dalam keber-liyan-an. Reposisi sekelompok etnis dan keagamaan dalam ruang Akan tetapi, perlu disadari bahwa sejarah sosial, budaya, dan keagamaan yang berbeda dengan akar genealogi yang begitu kuat memerlukan strategi berbeda. Fakta sosio-budaya bhineka dalam keberagamaan bersilangan dengan etnisitas seringkali membuat setiap komunitas budaya dan keagamaan merasa berhak menjadi raja dalam kelompoknya sendiri. Kesadaran primordial ini bukanlah sikap yang salah, bila hal itu disadari menjadi lebih bermakna ketika diletakkan bersama dan dalam keber-liyan-an. Reposisi sekelompok etnis dan keagamaan dalam ruang

Pada masa Orde Lama misalnya, Soekarno semboyan Bhinneka Tunggal Ika dijadikan wacana populis untuk menggairahkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat ini digunakan untuk melawan konstelasi kapitalisme melalui ide nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Alih-alih memediasi perbedaan, justru ide ini telah mensegmentasi masyarakat Indonesia ke dalam pilihan politik yang berbasis ideologi, seperti PNI (nasionalis), Masyumi dan PSI (agamais atau Islam), dan PKI (komunis). Keberhasilan membangun semangat kebangsaan melalui wacana perlawanan terhadap kolonial, ternyata tidak dibarengi dengan keberhasilan yang sama dalam konsolidasi politik nasional. Sistem politik multipartai yang diterapkan pemerintah Orde Lama telah membawa masyarakat Indonesia pada gejolak politik yang melelahkan dan mencapai puncak ketegangan pada lahirnya tragedi berdarah 30 September 1965 (Nurkhoiron, 2007).

Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru lebih meningkatkan penguasaan dan dominasi massa melalui demobilisasi dan deideologisasi. Praktik pembangunan melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan massa mengambang (floating mass). Kebijakan kebudayaan Orde Baru diarahkan untuk memantapkan stabilitas nasional dengan menggiring kebudayaan-kebudayaan daerah menjadi tonggak-tonggak kebudayaan nasional. Hasilnya berupa proses pembakuan sehingga melahirkan efek pada tumbangnya perbedaan budaya dan hancurnya kebudayaan-kebudayaan lokal.

Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto telah membawa babak baru dalam multikulturalisme Indonesia. Kebebasan berekspresi dan berpendapat diapresiasi seluas-luasnya oleh kelompok-kelompok yang selama masa pemerintahan Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Dengan memainkan isu identitas, kelompok-kelompok ini mulai membangun eksistensinya. Di beberapa tempat sejumlah kelompok Islam membangun laskar- laskar paramiliter untuk ”membela Tuhannya”. Demikian juga dengan dipaksakannya penegakkan syariat Islam sebagai bagian dari kebijakan publik di daerah. Hal serupa juga terjadi di Propinsi Papua yang memaksakan diberlakukakannya Perda berbasis Injil (Nurkhoiron, 2007). Wacana kedaerahan Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto telah membawa babak baru dalam multikulturalisme Indonesia. Kebebasan berekspresi dan berpendapat diapresiasi seluas-luasnya oleh kelompok-kelompok yang selama masa pemerintahan Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Dengan memainkan isu identitas, kelompok-kelompok ini mulai membangun eksistensinya. Di beberapa tempat sejumlah kelompok Islam membangun laskar- laskar paramiliter untuk ”membela Tuhannya”. Demikian juga dengan dipaksakannya penegakkan syariat Islam sebagai bagian dari kebijakan publik di daerah. Hal serupa juga terjadi di Propinsi Papua yang memaksakan diberlakukakannya Perda berbasis Injil (Nurkhoiron, 2007). Wacana kedaerahan

Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi masalah- masalah multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi hiperotonomi sehingga memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan prasangka- prasangka etnis, agama, dan lokalitas. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan mencolok antara multikulturalisme sebagai gejala epistemologis dan multikulturalisme sebagai gejala politik. Perbedaan ini menjadi medan perdebatan menarik oleh para teoretisi multikulturalisme. Parekh (2008) salah seorang proponen teori multikulturalisme merekomendasikan bahwa multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan muatan programatik, tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang khas tentang tempat manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat kehidupan manusia.

Sebaliknya, Liliweri (2005) begitu yakin bahwa multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Artinya, sebagai sebuah terminologi multikulturalisme kadang-kadan agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda, yaitu realitas dan etika atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit- unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya yang semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.

Terhadap perbedaan ini Budiman (2005) berusaha menengahinya dengan mengatakan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme memang lebih mudah dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat lain bahwa kebijakan multikultural dikembangkan menjadi sebuah model Terhadap perbedaan ini Budiman (2005) berusaha menengahinya dengan mengatakan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme memang lebih mudah dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat lain bahwa kebijakan multikultural dikembangkan menjadi sebuah model

Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Ini merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh para pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1) kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition) dan (2) legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya (Tilaar, 2004). Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal suatu masyarakat, bila keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui, tetapi juga diberikan ruang untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Persoalan kesetaraan dan keadilan inilah yang kemudian menjadi perhatian penting para kritikus multikulturalisme gelombang kedua.

Dalam konteks inilah diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk segera mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional menuju terwujudnya kesatuan Indoensia. Kesadaran baru ini berlaku untuk seluruh komponen bangsa sehingga memiliki peran yang sama dalam pembentukan negara- bangsa Indonesia. Denghan demikian, semuanya memiliki hak yang sama untuk hidup dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Sekali lagi, kesadaran inilah yang harus ditransformasikan menjadi identitas nasional bangsa Indonesia, baik sebagai komunitas politik maupun budaya. Persoalan ini menjadi semakin rumit ketika sejarah bangsa telah menorehkan luka sosial-kultural, berupa ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani minoritas di berbagai daerah di Indonesia.

Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen agama, etnis, dan lokalitas dapat dipandang menjadi kesadaran baru di antara komponen bangsa. Ini merupakan kebanggaan dalam kehidupan berbangsa, ternyata hanyalah banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pandangan Anderson (1999) yang memaknai bangsa hanyalah sebagai komunitas imajiner (imagined communities ). Komunitas politik ini mencakup jutaan orang yang belum pernah terlihat dan mungkin saja tidak akan pernah melihat. Akan tetapi, mereka Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen agama, etnis, dan lokalitas dapat dipandang menjadi kesadaran baru di antara komponen bangsa. Ini merupakan kebanggaan dalam kehidupan berbangsa, ternyata hanyalah banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pandangan Anderson (1999) yang memaknai bangsa hanyalah sebagai komunitas imajiner (imagined communities ). Komunitas politik ini mencakup jutaan orang yang belum pernah terlihat dan mungkin saja tidak akan pernah melihat. Akan tetapi, mereka

Pemahaman tentang identitas nasional menyatukan para anggotanya pada sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama, membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan yang relevan, memfasilitasi reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan kesetiaan umum, serta menata kehidupan moral dan politik. Singkatnya, identitas nasional memiliki peran penting dalam masyarakat multikultur untuk menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang beranekaragam (Parekh, 2008). Akan tetapi, identitas nasional memang memiliki sisi dasar yang gelap dan dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Mengingat kesalahan dalam mendefinisikan identitas nasional dapat berakibat pada pendelegitimasian “yang satu” sekaligus peminggiran “yang lain”.

Dalam hal ini identitas nasional bukanlah penilaian, pernyataan, dan representasi kebijakan politik multikulturalisme dengan makna yang univokal dan tidak menyertakan sedikit pun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat seperti yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran, bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna teks ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu (Al-Fayyadl, 2005).

2.4. Multikulturalisme Indonesia di Masa Depan

Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan birokrat, akademisi, maupun masyarakat umum. Visi indah tentang kelompok- kelompok budaya berbeda yang berinteraksi dalam kedamaian dan ko-eksistensi Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan birokrat, akademisi, maupun masyarakat umum. Visi indah tentang kelompok- kelompok budaya berbeda yang berinteraksi dalam kedamaian dan ko-eksistensi

Namun, konflik inheren dalam konsep multikulturalisme belum dicarikan solusi fundamental, sehingga kita melihat dalam praktiknya terjadi benturan- benturan antara konsep yang satu dan yang banyak (one and many). Aksi terorisme, misalnya, menunjukkan adanya identitas kelompok kultural yang kuat namun memberontak terhadap identitas bersama dan kepentingan rakyat banyak sebagai sesama warga Indonesia. Para teroris mengorbankan kepentingan dan keselamatan sesama warga negara Indonesia untuk memperjuangkan tujuan kelompok kulturalnya sendiri. Kita bisa menilai hal yang sama terjadi pada gerakan-gerakan separatisme di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Menguatkan identitas kelompok kultural ternyata bisa menabrak kepentingan agenda nasional yang lebih besar, sila ketiga dari Pancasila, yakni persatuan Indonesia (Irhandayaningsih, 2012).

Masalah mengenai benturan antarklaim kesetaraan juga perlu diselesaikan. Jika esensi dari multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu diperlakukan setara seperti kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan persoalan: bagaimana dengan kaum minoritas di tengah kaum minoritas itu (minorities within minorities)? Bahkan kaum minoritas pun dapat berlaku menindas terhadap kaum minoritasnya sendiri, itu kita temui dalam realitas masyarakat. Perlakuan terhadap kaum perempuan di tengah sub-kelompok kultural yang patriarkis adalah satu contoh. Di Indonesia juga kita temukan kasus-kasus seperti sekte-sekte keagamaan minoritas yang tidak memperoleh pengakuan kesetaraan dari kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi, juga sub-sub kultur lain yang masih bergerak di bawah tanah, eksis tapi tidak berani menampilkan diri karena takut pada konsekuensi sosial dari kelompok kultural (Irhandayaningsih, 2012).

III. PENUTUP

Pada akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan kesatuan Indonesia dapat ditempuh setidak-tidak tiga upaya berikut. Pertama, mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional dengan bertumpu pada penghargaan terhadap kepluralistikan masyarakat Indonesia. Untuk itu Bhinneka Tunggal Ika sebagai teks ideal senantiasa perlu dibaca ulang pada setiap zaman karena pada prinsipnya identitas tidak pernah final. Kedua, membangun integrasi nasional yang berbasis multikulturalisme dengan mendorong kesadaran masyarakat menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul, berserikat, dan berpendapat guna memperjuangkan hak-hak keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Kemudian, mendorong pemerintah menjadikan civil society sebagai mitra kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan ekskusinya pada bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup masyarakat dengan tetap memperhatikan entitas-entitas budaya lokal. Ketiga, mendorong peran agama dalam kehidupan sosial dan kebudayaan misalnya, dengan menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah Tuhan, bukan agama. Melalui kesadaran ini, antarumat beragama tidak saling menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya, dan menawarkan keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian, agama menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat dan tidak sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas Terbayang Renungan Tentang

Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Alih Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di Indonesia. Jakarta:

Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.

Hefner, Robert W. 2007. Politik Multukulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan.

Yogyakarta: Kanisius. Hidayah, Nur. 2013. Masyarakat Multikultural. Irhandayaningsih, Ana. 2012. Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme. E-

Journal Universitas Diponegoro, Semarang.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia, Gramedia,

Jakarta.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka&Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. PT LKiS, Yogyakarta.

Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mahfud, Choirul 2006. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis

Pendidikan Islam. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Nurkhoiron, M. 2007. Agama dan Kebudayaan: Menjelajahi Isu Minoritas dan Multikulturalisme di Indonesia, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, ed. Hikamat Budiman, The Interseksi Foundatin & Yayasan TIFA, Jakarta.

Parekh, Bikhu. 2001. Rethinking Multiculturalism. Harvard. Parekh, Bikhu. 2007. National Culture and Multiculturalism. Sage Publication,

London.

Parekh, Bikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

Kanisius, Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.

Jalastura, Yogyakarta.

BIODATA

Nama

: Ariel Sharon

NIM

Tempat,tanggal lahir : Jakarta, 26 Juli 1995 Jenis kelamin

: Laki – laki

Alamat asal

: Griya Depok Asri Blok G1-15

Alamat kos : Jalan Mulawarman Selatan Dalam 2 No. 116 B Telepon

Email

: arielsharon03@gmail.com

BIODATA

Nama

: Tias Kusuma Wardani

NIM

Tempat, Tanggal Lahir : Sumbersari Bantul, 2 Agustus 1996 Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat Asal : Jalan Sekar Sari RT/RW:010/003, Sumbersari Bantul, Metro Selatan, Kota Metro, Lampung. Alamat Kos

: Jalan Banjarsari Gang Nirwanasari II No.2A, Tembalang,

Semarang, Jawa Tengah

: tiaskusuma2@gmail.com

BIODATA

Nama

: Khalisah Nur Shadrina

NIM

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 12 September 1996 Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat Asal : Dasana Indah Blok UC 5/9, Kab. Tangerang,

Banten

Alamat Kos : Jalan Gondang Barat IV no. 4b Telepon

E-mail

: ina.khalisah@gmail.com

BIODATA

Nama

: Ni Komang Sri Andayani

NIM

Tempat, Tanggal Lahir : Badung, 11 Oktober 1996 Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat Asal : Jalan Srikandi no 27 Nusa Dua Lingkungan

Penyarikan Badung/Bali

Alamat Kos : Jalan Timoho Barat No 23 RT 23 RW 03 Tembalang

Semarang, Jawa Tengah

: Msandayani71@gmail.com

BIODATA

Nama

: Siti Maisyarah

NIM

Tempat, Tanggal Lahir : Tanjungpinang, 09 Oktober 1996 Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat Asal : Perumahan Taman Pesona Asri km8. I/8, Tanjungpinang Alamat Kos

: Jalan Banjarsari gg. Nirwanasari 1 No.2a, Tembalang,

Semarang, Jawa Tengah

Telepon

E-mail : mai.shara.ms@gmail.com@gmail.com

BIODATA

Nama

: Ade Ramandata Budi Utama

NIM

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Februari 1996 Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Alamat Asal : Jalan Bunga Mawar XVIII No.18 Alamat Kos

: Gondang Bara 4 No.31, Tembalang,

Semarang, Jawa Tengah

Telepon

E-mail : aderamadantabudiutama@gmail.com

MATERI 2 “ Peranan Bahasa Daerah Dalam Bahasa Nasional Indonesia”

Disusun Oleh : Kelompok 2

Metya Astariningrum 26020214120013 Capriati Ariska Putri

26020214120014 Virginia Stephanie C

26020214120022 Ramli Kartika Yudha

26020214120025 Ulfah Shela Majid

Dosen Pengampu :

Koesoemadji,SH. MSi NIP. 19730719 199512 1 001

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer untuk digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan ciri khas dari suatu negara sebagai alat komunikasi dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan seseorang bisa mencerminkan kepribadian orang tersebut, yang dapat dilihat dari gaya dan tuturan berbahasa, itulah mengapa bahasa merupakan simbol penting dari suatu negara.

Setiap negara mempunyai bahasa yang berbeda, begitu pula Negara Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.

Bahasa sangatlah berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan perkembangan era globalisasi yang makin maju maka tingkat bahasa juga sangat penting. Tapi kita lihat sekarang ini bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara bersamaan dalam.Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bahasa lain, bahasa daerah maupun bahasa asing. Pengaruh itu di satu sisi dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia, tetapi di satu sisi dapat juga mengganggu kaidah tata bahasa Indonesia.Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedanya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka. Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa untuk berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab.

1.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. Bagaimana peranan bahasa daerah terhadap penggunaan bahasa Indonesia?

2. Apa saja dampak positif dan negatif dari penggunaan bahasa daerah?

1.3. Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui keterkaitan penggunaan bahasa penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia.

2. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari penggunaan bahasa daerah.

II. ISI

2.1. Sejarah dan Pengertian Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia [2] . Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya

setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagai bahasa kerja (Fajrih, 2013).

Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing (Fajrih, 2013).

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat- menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia (Fajrih, 2013).

Tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. [ Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu

beberapa minggu. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa

Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor (Fajrih, 2013).

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak

menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun

1896) van Ophuijsen, di bantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim (Fajrih, 2013).

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar

700 perpustakaan. [12] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia (Fajrih, 2013).

2.2. Pengertian Bahasa Daerah

Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan pada suatu daerah tertentu dan memiliki ciri khas tertentu di bidang kosa kata, peristilahan, struktur kalimat dan ejaannya. Bahasa daerah merupakan lambing kebanggaan daerah yang bersangkutan (Buku Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1994).

Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan, apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas . Indonesia merupakan negara

kesatuan yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah merupakan khasanah kekayaan yang sangat penting untuk di jaga dan dilestarikan agar terhindar dari jamahan asing yang mampu menghapus jejak budaya kita. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara (Wawan, 2012).

Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Bahasa daerah selain digunakan untuk berkomunikasi pada suatu suku bangsa yang ada, namun juga diyakini dapat mempererat solidaritas antar mereka. Sehingga bahasa daerah tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilestarikan dan di sosialisasikan oleh masing-masing suku bangsa tersebut kepada generasi penerusnya. Pada lembaga keluarga terdapat berbagai macam fungsi keluarga yang salah satu adalah sosialisasi. Dalam proses sosialisasi bahasa kepada anak, keluarga merupakan lembaga pertama yang melakukan sosialisasi dan pengenalan Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah. kepada anak. Bahasa yang cenderung Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Bahasa daerah selain digunakan untuk berkomunikasi pada suatu suku bangsa yang ada, namun juga diyakini dapat mempererat solidaritas antar mereka. Sehingga bahasa daerah tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilestarikan dan di sosialisasikan oleh masing-masing suku bangsa tersebut kepada generasi penerusnya. Pada lembaga keluarga terdapat berbagai macam fungsi keluarga yang salah satu adalah sosialisasi. Dalam proses sosialisasi bahasa kepada anak, keluarga merupakan lembaga pertama yang melakukan sosialisasi dan pengenalan Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah. kepada anak. Bahasa yang cenderung

Menurut Alwi (2003), Dalam rumusan Seminar Politik Bahasa disebutkan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia dan yang dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia.

2.3. Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia, yang mana penggunaannya diresmikan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari dan mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, di bidang bisnis dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan, apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas. Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah merupakan khasanah kekayaan yang sangat penting untuk di jaga dan dilestarikan agar terhindar dari jamahan asing yang mampu menghapus jejak budaya kita. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara (Nurwidyastuti, 2015).

Hubungan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia sangatlah erat dikarenakan Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang Hubungan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia sangatlah erat dikarenakan Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang

budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya (Nurwidyastuti, 2015).

Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipungkiri adanya bahasa Indonesia yang muncul seiring dengan perkembangan bahasa daerah itu sendiri. Karena bahasa daerah dan bahasa Indonesia saling melengkapi. Terutama dalam hal berkomunikasi antar masyarakat. Dengan adanya dua bahasa ini menimbulkan kedwibahasaan di negara Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).

Dalam Seminar Pengembangan Bahasa Daerah (1976) itu, yang merumuskan tujuaan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai berikut :

1. Di bidang struktur bahasa, tujuannya ialah terbinanyabahasa daerah yang strukturnya terpelihara dan sesuai dengan keperluan masa sekarang.

2. Dibidang pemakai, tujuan pembinaan adalah agar kedwibahasaan itu tetap (stabil), yaitu pemakai itu menguasai kedua bahasa itu seimbang, dan tidak menjadi ekabasahawan semata-mata. Jumlah pemakai itu hendaknya tetap berkembang dan tidak sebaliknya menyusut.

3. Di bidang pemakaian, pembinaan bertujuan agar bahasa daerah dipergunakan secara penuh sesuai dengan fungsinya, dalam keseimbangan dengan bahasa Indonesia seperti ditetapkan dalam Politik Bahasa Nasional.

Jadi antara bahasa Indonesia dan bahasa Daerah telah terjadi kontak sosial dan budaya yang aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa Daerah telah bertemu. Kedua bahasa saling bersangkutan dan memperhatikan. Akhirnya kedua bahasa saling mempengaruhi.

2.4. Peranan Bahasa Daerah Dalam Bahasa Indonesia

Bahasa merupakan Identitas, lambang bunyi bagi suatu Negara. Bahasa Indonesia sendiri merupakan bahsa Resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36 “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 “Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Kami Putra dan

Putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia sendiri merupakan dialek kaku dari bahasa melayu klasik dan bahasa

melayu kuno (Nurwidyastuti, 2015). Bahasa daerah merupakan salah satu budaya setiap bangsa. Terlebih bagi bangsa Indonesia, Budaya bahasa tersebut memang sebagai identitas dan kebanggaan suatu daerah dan juga penyatu rasa sedaerah dan tentu bahasa daerah mempunyai kedudukan penting di daerah masing-masing.Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam bahasa daerah mulai dari sabang sampai marauke memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan (Nurwidyastuti, 2015).

Interaksi budaya mengakibatkan kosakata bahasa-bahasa lokal masuk kedalam pemakaian bahasa Indonesia.Penutur bahasa Indonesia yang berlatar belakang bahasa ibu turut mencoraki perkembangan kosakata bahasa Indonesia.Bahasa lokal,terutama bahasa lokal yang memilki tradisi tulis serta memiliki penutur dalam jumlah besar memiliki pengaruh terhadap bahasa Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).

Pengaruh urbanisasi sangat besar terhadap penyerapan kosakata bahasa lokal ke dalam bahasa Indonesia.Oran-orang dar daerah yang merantau ke kota-kota besar membuat mereka tidak bisa meninggalkan bahasa lokalnya secara seketika,sehingga kosakata dalam bahasa lokal nyatak sengaja terlontar.Bahasa lokal yang diucapkan oleh perantau inilah yang lambat laun diserap menjadi bahasa Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).

Terdapat ratusan bahasa lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.Umumnya bahasa lokal mewakili suatu suku,namun keragaman budaya Terdapat ratusan bahasa lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.Umumnya bahasa lokal mewakili suatu suku,namun keragaman budaya

Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan “mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang

anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan (Nurwidyastuti, 2015). Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka (Nurwidyastuti, 2015).

Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia tercipta tidak lepas dari bahasa daerah dan bahasa asing seperti bahasa Arab, Portugis, Cina, Belanda, dll. Selain diwarnai dan dipengaruhi bahasa asing,bahasa indonesia juga dipengaruhi bahasa daerah atau bahasa lokal. Peran bahasa lokal Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia tercipta tidak lepas dari bahasa daerah dan bahasa asing seperti bahasa Arab, Portugis, Cina, Belanda, dll. Selain diwarnai dan dipengaruhi bahasa asing,bahasa indonesia juga dipengaruhi bahasa daerah atau bahasa lokal. Peran bahasa lokal

Dampak Positif

• Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata. • Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia. • Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah. • Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi. • Sebagai alat pemersatu antar budaya dan bangsa.

Dampak Negatif

• Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain. • Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa Indonesia

yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah. • Dapat menimbulkan kesalah pahaman.

• Warga negara asing yang ingin belajar bahasa Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata. Pada bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga terdapat beberapa kata yang sama dalam tulisan dan pelafalan tetapi memiliki makna yang berbeda, berikut beberapa contohnya:

• Suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada. Suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek. • Kenek dalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir). Kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena. • Abang dalam bahasa Batak dan Jakarta bermakna kakak. Abang dalam bahasa Jawa bermakna merah. • Mangga dalam bahasa Indonesia bermakna buah mangga. Mangga dalam bahasa Sunda bermakna silakan. • Maen dalam bahasa Indonesia bermakna bermain. Maen dalam bahasa Batak bermakna gadis. • Gedang dalam bahasa Sunda bermakna pepaya.

Gedang dalam bahasa Jawa bermakna pisang. • Cungur dalam bahasa Sunda bermakna sejenis kikil. Cungur dalam bahasa Jawa bermakna hidung. • Jagong dalam bahasa Sunda bermakna jagung. Jagong dalam bahasa Jawa bermakna duduk. • Nini dalam bahasa Sunda bermakna nenek.

Nini dalam bahasa Batak bermakna anak dari cucu laki-laki. • Tulang dalam bahasa Indonesia bermakna tulang. Tulang dalam bahasa Batak bermakna abang atau adik dari ibu. • Iba dalam bahasa Indonesia bermakna merasa kasihan. Iba dalam bahasa Batak bermakna saya. • Bere dalam bahasa Sunda bermakna memberi. Bere dalam bahasa Batak bermakna anak dari kakak atau adik perempuan

kita. Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam situasi formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar yang pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah haruslah pada waktu, tempat, situasi, dan kondisi yang tepat (Nurwidyastuti, 2015).

III. PENUTUP

2.1. Kesimpulan

Bahasa daerah merupakan sumber dari pengembangan kosakata bahasa Indonesia. Penyerapan kosakata bahasa daerah bermanfaat untuk pemerkayaan bahasa Indonesia serta untuk pengembangan bahasa daerah itu sendiri.

Pengaruh bahasa daerah dapat memperkaya bahasa Indonesia, tetapi di satu sisi dapat juga mengganggu kaidah tata bahasa Indonesia. Kebiasaan menggunakan bahasa daerah dalam bahasa sehari-hari dapat pula mempengaruhi keberadaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bahkan dianggap sebagai bahasa formal yang hanya digunakan untuk situasi formal seperti mengajar, rapat, menulis surat, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dan Dendy, S. (ed.). 2003. Politik Bahasa Nasional: Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Budhiono, R. Hery. 2009. Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) di Palangkaraya: Pergeseran dan Pemertahanannya. Jurnal Adabiyyat Vol 8 No 1, Juni 2009. Palangkaraya: Adabiyyat.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka