eksperimentasi pembelajaran matematika d Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan diri sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Dewasa ini pendidikan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pemerintah secara bertahap dan terus menerus berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia yang diupayakan dalam bentuk peningkatan sarana dan prasarana, perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar, peningkatan kualitas guru, dan usaha lain yang tercakup dalam komponen pendidikan, sedangkan upaya untuk meningkatkan kuantitas pendidikan diantaranya adalah kejar paket A, peningkatan wajib belajar, dan lain- lain. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan pemerintah terhadap pendidikan nasional sangat besar.
Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang dipelajari dalam proses pendidikan adalah matematika. Matematika mempunyai peran strategis dalam proses pendidikan karena banyak cabang ilmu lain yang memanfaatkan matematika. Dalam pembelajaran di sekolah, baik tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) sering kali matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dipelajari.
Banyak siswa yang merasa terbebani jika harus berhadapan dengan pelajaran matematika di sekolah. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap matematika adalah ilmu yang rumit, membingungkan dan banyak yang merasa pesimis dahulu sebelum belajar matematika. Pada akhirnya siswa hanya menghafal materi pelajaran matematika untuk memenuhi syarat ujian saja. Hal ini mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam pemahaman konsep dan berdampak pada pencapaian prestasi belajar matematika yang kurang memuaskan.
Kondisi ini mengakibatkan rendahnya nilai matematika sebagian besar peserta Ujian Nasional (UN) SMP/MTs di Solo. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah (Jateng), Kunto Nugroho menyebutkan, persentase ketidaklulusan SMP Kondisi ini mengakibatkan rendahnya nilai matematika sebagian besar peserta Ujian Nasional (UN) SMP/MTs di Solo. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah (Jateng), Kunto Nugroho menyebutkan, persentase ketidaklulusan SMP
16 Surakarta, sebagai induk SMP Terbuka Surakarta, Amir Khusni menyatakan bahwa tingkat kelulusan siswa yang bersekolah di SMP Terbuka setiap tahun ternyata selalu kurang dari 50 persen. (www.joglosemar.com/2009/12/Tingkat kelulusan SMP Terbuka).
Dalam fakta-fakta yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran matematika belum berhasil. Masih banyak anak yang tidak lulus ujian matematika pada saat UN maupun try out. Hal ini disebabkan karena siswa tersebut tidak dapat mengerjakan soal-soal matematika.
Keberhasilan belajar matematika siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor internal (dalam diri siswa) dan faktor eksternal (luar diri siswa). Faktor dari dalam siswa antara lain minat, aktivitas siswa, motivasi dan sebagainya, sedangkan faktor dari luar diri siswa mungkin karena model pembelajaran yang digunakan guru dalam menyampaikan materi kurang tepat.
Pada umumnya pelaksanaan belajar mengajar masih berpusat pada guru, murid kurang berperan aktif di dalamnya, sehingga tujuan pembelajaran serta kegiatan yang akan dilakukan oleh murid pada model pembelajaran ini banyak dipengaruhi oleh guru. Agar tujuan pembelajaran tercapai secara optimal maka guru harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Hal-hal yang perlu diketahui oleh guru adalah pendekatan mengajar, strategi, teknik, metode mengajar dan model pembelajaran. Sebagai seorang guru harus mampu memilih mana model pembelajaran yang tepat dan mana yang tidak tepat untuk suatu materi tertentu. Pemilihan model pembelajaran harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah materi yang disampaikan, tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia, dan banyaknya siswa serta hal-hal yang berkaitan dengan proses belajar mengajar.
Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Padahal pada model pembelajaran konvensional guru sangat mendominasi dalam proses pembelajaran sedangkan keterlibatan siswa sangat sedikit sekali. Banyak siswa yang hanya mengorganisir sendiri apa yang
diperolehnya tanpa mengkomunikasikannya dengan siswa lain sehingga terkadang terjadi kurangnya pemahaman terhadap materi yang dipelajari. Oleh karena itu guru dituntut mencari alternatif model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa. Model pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif siswa dan kerjasama antar siswa dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Model ini memberi kesempatan suatu kelompok yang beranggota 4 orang untuk berbagi hasil dan informasi kepada kelompok lainnya dengan cara saling mengunjung atau bertamu. Dua orang anggota kelompok keluar dari kelompoknya dan bertamu kepada kelompok lain untuk menerima jamuan (berupa informasi) dari kelompok tersebut, sementara dua orang lainnya menjadi tuan rumah dan menjamu tamu dari kelompok yang lain pula. Dengan menggunakan model ini dimungkinkan terjadi transfer ilmu antar siswa sehingga siswa menjadi aktif mengikuti proses pembelajaran.
Menurut informasi dari guru Matematika kelas VII SMP Negeri 14 Surakarta, siswa dinyatakan tuntas jika memperoleh nilai lebih dari sama dengan
60. Persentase ketidaktuntasan siswa kelas VII tahun ajaran 2008/ 2009 pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat adalah sekitar 20%. Materi ini membahas tentang menghitung keliling dan luas Segitiga dan Segi Empat. Pada materi ini siswa mengalami kesulitan dalam memahami soal cerita, menggambar bangun-bangun tersebut serta mengidentifikasi unsur-unsur yang diperlukan dalam menentukan keliling dan luas segitiga dan segi empat. Oleh karena materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat adalah salah satu materi yang sering keluar dalam UN Matematika SMP maka diharapkan siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah yaitu:
1. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru biasanya menggunakan suatu metode dalam menyampaikan materi. Ada kemungkinan rendahnya prestasi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat disebabkan karena metode yang digunakan guru kurang dapat membantu siswa dalam memahami dan menyerap materi. Terkait dengan masalah ini dapat diteliti apakah jika metode pembelajaran yang digunakan diubah maka prestasi siswa pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat akan meningkat.
2. Dalam pelaksanaan pembelajaran diharapkan siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Ada kemungkinan rendahnya prestasi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat disebabkan karena model pembelajaran yang digunakan guru kurang dapat mengaktifkan siswa. Terkait dengan masalah ini dapat diteliti apakah jika model pembelajaran yang digunakan diubah maka prestasi siswa pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat akan meningkat.
3. Ada kemungkinan rendahnya prestasi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat disebabkan karena aktivitas belajar siswa rendah. Terkait dengan ini dapat diteliti apakah aktivitas belajar matematika siswa mempengaruhi prestasi siswa pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat. Jika hal itu benar maka guru harus berusaha meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa agar hasil yang diperoleh pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat lebih maksimal.
C. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan luasnya permasalahan yang timbul dari topik kajian maka pembatasan masalah perlu dilakukan guna memperoleh kedalaman kajian dan menghindari perluasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam hal ini adalah :
1. 1. Prestasi belajar matematika siswa dalam penelitian ini adalah hasil optimal pada kegiatan belajar siswa setelah menerima pengalaman belajar pada
2. Aktivitas belajar matematika siswa yang dibatasi pada aktivitas dalam belajar matematika yang meliputi kemampuan bertanya, mengeluarkan pendapat, mendengarkan, berdiskusi, mencatat, memecahkan soal, dan mempelajari kembali materi. Aktivitas belajar matematika siswa dibedakan dalam tiga kategori yaitu aktivitas belajar tinggi, sedang dan rendah.
3. Model pembelajaran yang diteliti adalah model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran Konvensional (dalam penelitian ini adalah model pembelajaran langsung) untuk kelas kontrol.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut :
1. Diantara model pembelajaran yang digunakan (TSTS dan konvensional), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar yang lebih baik pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat ?
2. Diantara kategori aktivitas belajar matematika siswa (tinggi, sedang, rendah), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar yang lebih baik pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat ?
3. Pada masing-masing kategori model pembelajaran (TSTS dan Konvensional), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi, sedang atau rendah dan pada masing-masing kategori aktivitas belajar matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, model pembelajaran kooperatif tipe TSTS atau model pembelajaran konvensional pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui diantara model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan model pembelajaran konvensional, manakah yang dapat menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat.
2. Untuk mengetahui diantara kategori aktivitas belajar matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat.
3. Untuk mengetahui pada masing-masing model pembelajaran (TSTS dan konvensional), manakah diantara kategori aktivitas belajar matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah) yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik dan untuk mengetahui pada masing-masing kategori aktivitas belajar matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah), manakah diantara model pembelajaran kooperatif tipe TSTS atau konvensional yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat.
F. Manfaat Penelitian
Setelah dilakukan penelitian, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Memberikan masukan kepada guru Matematika pada umumnya dan para peneliti pada khususnya bahwa terdapat model pembelajaran lain yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran.
2. Memberikan masukan kepada guru Matematika tentang pentingnya aktivitas belajar siswa terhadap prestasi belajar siswa.
3. Memberikan sumbangan dalam rangka perbaikan pembelajaran dan peningkatan mutu proses pembelajaran, khususnya mata pelajaran Matematika.
BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi Belajar Matematika
a. Prestasi
Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti hasil usaha. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002: 896) dinyatakan bahwa “Prestasi adalah hasil yang telah dicapai”. Zainal Arifin (1990: 3) mengemukakan bahwa prestasi adalah hasil dari kemampuan, keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal.
Dari berbagai pendapat tentang pengertian prestasi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan usaha dengan kemampuan yang dimilikinya.
b. Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 17) disebutkan bahwa belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Sardiman A. M (2004: 50) menyatakan: “belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan diri seseorang.”
Dalam teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Agar pengetahuan siswa menjadi bermakna, maka siswa harus memproses sendiri informasi yang diperoleh, menstruktur kembali dan mengintegrasikan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Guru tidak dapat begitu saja memberikan pengetahuannya kepada siswa, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam proses pembentukan pengetahuan tersebut.
Menurut Paul Suparno (1997: 61), belajar merupakan suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya, yang mungkin berwujud Menurut Paul Suparno (1997: 61), belajar merupakan suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya, yang mungkin berwujud
1) Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri pebelajar.
2) Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan. Proses internalisasi dan keaktifan pebelajar dengan segenap panca indera perlu ada pengembangannya yakni melalui proses yang disebut dengan sosialisasi yaitu menginteraksikan atau menularkan ke pihak lain. Dalam proses sosialisasi, karena berinteraksi dengan pihak lain tentu akan melahirkan suatu pengalaman. Proses belajar yang terjadi merupakan proses aktif dimana individu menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Proses belajar bukan semata-mata terjadi karena adanya hubungan antara stimulus dan respon tetapi lebih merupakan hasil dari kemampuan individu dalam mengembangkan potensi dalam dirinya.
Proses belajar yang terjadi bercirikan antara lain sebagai berikut:
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh pebelajar dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2) Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu perkembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru.
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu seseorang dalam keraguan.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pebelajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
(Paul Suparno, 1997: 61). Hudoyo (1997: 107) mengemukakan bahwa : “ belajar merupakan suatu
proses aktif dalam memperoleh pengalaman atau pengetahuan baru sehingga timbul perubahan kemampuan, misalnya setelah belajar seorang mampu mendemonstrasikan dan keterampilan dimana sebelumnya siswa tidak dapat melakukannya”.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses aktivitas siswa dalam interaksinya dengan lingkungan, Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses aktivitas siswa dalam interaksinya dengan lingkungan,
c. Prestasi Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 895) prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Sutratinah Tirtonegoro (2001: 43) menyatakan: “prestasi adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar mengajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang dicapai dalam periode tertentu ”. Dan Purwodarminto (1998: 86) mengemukakan: “Prestasi adalah hasil yang telah dicapai atau dilakukan, dikerjakan dan sebagainya”.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai setelah mengikuti serangkaian proses belajar yang dinyatakan dalam angka atau simbol.
d. Matematika
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 723) disebutkan bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.
Purwoto (2003: 4) menyatakan bahwa: ”Matematika adalah pengetahuan tentang pola keteraturan, pengetahuan tentang struktur terorganisasikan, mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan ke unsur-unsur yang didefinisikan ke
aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil”. R. Soejadi (2000: 11) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi dari
matematika, yaitu sebagai berikut:
1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik.
2) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi.
3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.
4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.
5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak tentang bilangan, kalkulasi, penalaran, logika, fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang dan bentuk, aturan-aturan yang ketat, dan pola keteraturan serta tentang struktur yang terorganisir.
e. Prestasi Belajar Matematika
Berdasarkan pengertian prestasi belajar dan matematika yang telah diuraikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil yang telah dicapai oleh siswa dalam mengikuti pelajaran matematika yang mengakibatkan perubahan pada diri seseorang berupa penguasaan dan kecakapan baru yang ditunjukkan dengan hasil yang berupa angka atau nilai.
f. faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa secara global dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa) yaitu keadaan atau kondisi jasmani/ rohani siswa. Factor ini meliputi 2 aspek yaitu :
a) Aspek fisiologis (jasmaniah) Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas dalam mengikuti pelajaran.
b) Aspek psikologis (rohaniah) Meliputi : intelegensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi siswa.
2) Faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa) yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa. Faktor ini meliputi 2 aspek yaitu :
a) Faktor lingkungan sosial yang meliputi kondisi lingkungan sekolah,
masyarakat, tetangga, orang tua, dan keluarga siswa itu sendiri.
b) Faktor lingkungan nonsosial seperti, letak dan bangunan sekolah, rumah tempat tinggal, peralatan belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar siswa.
3) Faktor pendekatan mengajar (approach to learning) yaitu segala jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran.
(Muhibbin Syah, 2006: 144) Dapat disimpulkan faktor internal, faktor eksternal, dan faktor
pendekatan belajar di atas juga mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali dalam rangka membantu siswa mencapai prestasi belajar yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yang dibahas dalam penelitian ini adalah aktivitas belajar siswa dan model pembelajaran yang digunakan guru.
2. Model Pembelajaran
a. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Joyce dalam Trianto (2007: 5): “model pembelajaran diartikan sebagai suatu perencanaan yang digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan
pembelajaran di kelas dan untuk menentukan perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain- lain”. Joyce juga menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Adapun Soekamto dkk. dalam Trianto (2007: 5) mengemukakan: “Model pembelajaran adalah kerangka konseptual untuk melakukan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar guna mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dala m merencanakan aktifitas belajar mengajar”.
Model pembelajaran memiliki empat ciri khusus yang tidak dipunyai strategi atau metode tertentu yaitu:
1) Rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya.
2) Tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar metode tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil dan
4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. (Depdiknas, 2005: 5)
Menurut Arends dalam Trianto (2007: 9) model pembelajaran yang praktis dan sering digunakan guru dalam mengajar yaitu presentasi, pembelajaran langsung, pembelajaran konseptual, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah dan diskusi kelas. Tidak ada model pembelajaran yang paling baik diantara yang lainnya karena masing-masing model pembelajaran dapat dirasakan apabila telah diujicobakan untuk mengajar materi pelajaran tertentu. Oleh karena itu beberapa model pembelajaran perlu diseleksi, model pembelajaran manakah yang paling baik untuk mengajarkan suatu materi tertentu. Pertimbangan mengenai materi pelajaran, tingkat perkembangan kognitif, kondisi siswa dan sarana yang tersedia sangatlah penting dalam pemilihan model pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Dari beberapa di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian model pembelajaran adalah keseluruhan rangkaian yang dimulai dari pendahuluan, pengelolaan sampai dengan evaluasi pembelajaran oleh pendidik dengan menggunakan strategi, pendekatan dan metode tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
b. Model Pembelajaran Konvensional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 459): “konvensional / klasik adalah tradisional”. Tradisional sendiri berarti sikap dan cara berpikir serta
bertindak yang selalu berpegang teguh norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
Pembelajaran klasikal sendiri diartikan sebagai pembelajaran yang disampaikan kepada sejumlah siswa tertentu secara serentak pada waktu dan tempat yang sama dengan ceramah untuk menjelaskan materi, dilanjutkan metode tanya jawab dan pada akhir pembelajaran guru memberikan tugas untuk diselesaikan siswa. Dalam sistem pembelajaran klasikal, siswa cenderung pasif, kurang mempunyai kesempatan dalam mengembangkan kreativitas dan inisiatif, karena proses pembelajaran lebih banyak didominsi oleh guru. Dalam mengajar guru langsung membuktikan dalil dan menurunkan rumus. Guru memberikan Pembelajaran klasikal sendiri diartikan sebagai pembelajaran yang disampaikan kepada sejumlah siswa tertentu secara serentak pada waktu dan tempat yang sama dengan ceramah untuk menjelaskan materi, dilanjutkan metode tanya jawab dan pada akhir pembelajaran guru memberikan tugas untuk diselesaikan siswa. Dalam sistem pembelajaran klasikal, siswa cenderung pasif, kurang mempunyai kesempatan dalam mengembangkan kreativitas dan inisiatif, karena proses pembelajaran lebih banyak didominsi oleh guru. Dalam mengajar guru langsung membuktikan dalil dan menurunkan rumus. Guru memberikan
Berdasarkan pengertian diatas, model pembelajaran konvensional dapat diartikan sebagai model pembelajaran yang sering digunakan di sekolah biasanya dalam bentuk model pembelajaran langsung. Dalam model pembelajaran langsung guru memegang peran yang dominan. Guru menyampaikan materi pelajaran secara terstruktur dengan harapan apa yang disampaikan dapat dikuasai siswa dengan baik.
Pembelajaran langsung menurut Kardi dalam Trianto (2007: 30) dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktek. Pembelajaran langsung digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa.
Menurut Kardi dan Nur dalam Trianto (2007: 31) sintaks model pembelajaran langsung meliputi:
1) Fase 1, menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran Khusus, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.
2) Fase 2, mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan Guru mendemonstrasikan ketrampilan dengan benar atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
3) Fase 3, membimbing pelatihan Guru merencanakan dan membimbing pelatihan awal
4) Fase 4, mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik dan memberikan umpan balik.
5) Fase 5, memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari.
Menurut Rachmadi (2004: 34) Pembelajaran konvensional (dalam hal ini pembelajaran langsung) memiliki kelebihan diantaranya adalah
1) Mampu menampung kelas yang besar.
2) Materi yang disampaikan banyak dan terurut.
3) Guru dapat memberi tekanan pada hal-hal yang penting.
4) Kondisi kelas relatif tenang dan teratur.
5) Kekurangan atau tidak adanya buku pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak menghambat dilaksanakannya pelajaran. Adapun kelemahan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut :
1) Pelajaran berjalan membosankan siswa dan siswa menjadi pasif, karena tidak berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Siswa hanya aktif membuat catatan.
2) Kepadatan konsep-konsep yang diberikan dapat berakibat siswa tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan.
3) Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini lebih cepat terlupakan.
4) Mematikan kreativitas siswa.
5) Siswa cenderung bersifat individual.
c. Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius , falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Anita Lie, 2008: 28). Menurut Slavin (1992) dalam Dion G. Norman, pembelajaran kooperatif adalah tehnik instruksional dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil yang heterogen dalam rangka untuk mewujudkan tujuan bersama. Dan menurut Johnson, Johnson dan Holubec (1999) dalam Effandi Zakaria dan Zanaton Iksan (2007) ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah:
1) Saling ketergantungan positif Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan ketergantungan positif.
2) Interaksi tatap muka Interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan 2) Interaksi tatap muka Interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan
3) Akuntabilitas individual Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, karena itu tiap anggota harus memberi sumbangan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok secara individual ini yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.
4) Ketrampilan menjalin hubungan antar pribadi Ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani memepertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bemanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga dari sesama siswa.
5) Pembentukan kelompok. Menurut Ibrahim (2000: 2) terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi
dalam pembelajaran kooperatif agar para siswa bekerja secara kooperatif, yaitu: 1) Para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai,
2) Para siswa tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu, dan
3) Untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapi. Akhirnya, para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus 3) Untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapi. Akhirnya, para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus
Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: 1) siswa dalam kelompoknya harus beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”, 2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti miliknya sendiri, 3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama, 4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara kelompoknya,
5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok, 6) siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan 7) siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe diantaranya Student Teams Achievment Division (STAD), Teams Games Tournaments (TGT), Two Stay Two Stray (TSTS), Group Investigation (GI), Make a Match dan sebagainya (Anita Lie, 2008: 55).
d. Model Pembelajaran Koopertif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS)
Menurut Anita Lie (2008: 61) model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray / Dua Tinggal Dua Tamu merupakan model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara saling mengunjungi/ bertamu antar kelompok untuk berbagi informasi. Banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan –kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lainnya. Padahal dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia bergantung satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah pembelajaran TSTS adalah sebagai berikut :
1) Siswa bekerja sama dalam kelompok yang berjumlah 4 (empat) orang.
2) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok menjadi tamu pada dua kelompok yang lain.
3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka.
4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
5) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka. (Anita Lie, 2008: 63)
Adapun kelebihan pembelajaran kooperatif dengan tipe TSTS adalah sebagai berikut :
1) Adanya interaksi antara siswa melalui diskusi untuk menyelesaikan masalah akan meningkatkan ketrampilan sosial siswa.
2) Baik siswa yang pandai maupun siswa yang kurang pandai sama-sama memperoleh manfaat melalui aktivitas belajar kooperatif.
3) Pembelajaran menjadi bermakna karena siswa mengkonstruk sendiri pengetahuannya dengan bantuan temannya.
4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ketrampilan bertanya, berdiskusi, dan menyampaikan ide-idenya. Adapun kelemahan pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah sebagai berikut :
1) Siswa yang pandai cenderung mendominasi sehingga dapat menimbulkan sikap minder dan pasif dari siswa yang kurang pandai.
2) Diskusi tidak akan berjalan lancar jika semua anggota kelompok merupakan siswa yang pasif.
3) Penyampaian informasi pada siswa yang bertamu tidak akan berjalan lancar jika siswa yang menjadi tuan rumah kurang komunikatif.
4) Kondisi kelas cenderung ramai.
5) Pengelompokan siswa membutuhkan waktu. Kelebihan tersebut dapat terjadi apabila ada tanggung jawab individual anggota kelompok, artinya keberhasilan kelompok ditentukan oleh hasil belajar individual semua anggota kelompok. Dan kelemahan yang ada dapat diminimalisir dengan peran guru yang senantiasa meningkatkan motivasi siswa yang lemah agar dapat berperan aktif, meningkatkan tanggung jawab siswa untuk belajar bersama, dan membantu siswa yang mengalami kesulitan.
Tabel 2.1 Perbedaan Model Pembelajaran TSTS dan Model Pembelajaran Konvensional
Model Pembelajaran TSTS Model Pembelajaran Konvensional
1) Dalam pembelajaran selalu dibentuk 1) Dalam pembelajaran jarang kelompok.
dibentuk kelompok.
2) Siswa aktif mempelajari materi.
2) Siswa cenderung mendengarkan dan mencatat materi dari guru.
3) Terjadi transfer ilmu dari teman lain
3) Terjadi transfer ilmu dari guru dan dari guru.
saja.
4) Mengajarkan beberapa ketrampilan
4) Ketrampilan sosial tidak secara sosial seperti gotong royong,
langsung diajarkan. kemampuan komunikasi, mempercayai orang lain dan pengelolaan konflik dalam kelompok.
3. Aktivitas belajar siswa
Kata aktivitas berasal dari bahasa Inggris “activity” yang artinya kegiatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 17) aktivitas berarti keaktifan, kegiatan, atau kesibukan. Sardiman A.M. (2004: 95) menyatakan bahwa aktivitas belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan.
Penganut pandangan ilmu jiwa modern dalam Sardiman A.M. (2004: 97) menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental”. Jadi aktivitas fisik dan mental harus terkait agar dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Paul B. Diedrich menyebutkan bahwa aktivitas siswa dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Visual activities, yang termasuk didalamnya adalah membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
b. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
c. Listening activity, sebagai contoh mendengarkan : uraian, percakapan, musik, pidato.
d. Writing activities, seperti : menulis/ mencatat, karangan laporan, angket, menyalin.
e. Drawing activities, seperti : menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
f. Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain : melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, berternak.
g. Mental activities, seperti menganggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup. (Sardiman A.M., 2004: 101)
Klasifikasi aktivitas yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa bermacam-macam. Tetapi tidak semua jenis aktivitas tersebut dilakukan oleh siswa dalam belajar matematika. Apabila berbagai kegiatan tersebut dapat diciptakan, maka prestasi belajar yang diperoleh juga akan lebih optimal.
Dalam penelitian ini aktivitas belajar yang dimaksud adalah aktivitas belajar siswa di sekolah dan di rumah. Aktivitas belajar siswa di sekolah meliputi aktivitas bertanya, mengeluarkan pendapat, mendengarkan, mencatat, berdiskusi dan mengerjakan latihan soal. Dan aktivitas belajar siswa di rumah meliputi aktivitas dalam mengerjakan tugas rumah, mengulang kembali materi, dan mempersiapkan materi yang akan dipelajari.
4. Tinjauan Materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat
a. Keliling bangun datar Keliling bangun datar adalah jumlah panjang sisi-sisi yang membatasi bangun datar tersebut. Dengan demikian untuk mencari keliling bangun datar maka harus diketahui panjang sisi-sisinya.
b. Luas bangun datar Luas bangun datar adalah banyaknya persegi satuan yang menutupi bangun tersebut. Luas bangun datar didapat dengan membandingkan terhadap
satuan pokok luas, misalnya cm 2 .
Tabel 2.2 Rangkuman Rumus Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat
Rumus
Bangun No
Keterangan Datar
K = Keliling
L = Luas
L= a 2
a. Persegi
a = panjang sisi
p = panjang
b. panjang
K=2 𝑝×𝑙
l = lebar
1 L= 𝑎𝑡
a = alas
c. Segitiga
2 K = Jumlah panjang sisi-sisinya
t = tinggi
L = at
a = alas
d. Jajargenjang
K = Jumlah panjang sisi-sisinya
t = tinggi
1 a ,b= sisi-sisi
L= 2 𝑡(𝑎 + 𝑏)
e. Trapesium sejajarnya
K = Jumlah panjang sisi-sisinya
t = tinggi
2 1. d 2 d 1 f. = diagonal 1 Layang-layang
L= 1 d
K = Jumlah panjang sisi-sisinya
d 2 = diagonal 2
1 d 1 = diagonal 1
L= 2 d 1. d 2
g. Belah Ketupat
d 2 = diagonal 2
K = 4a
a = panjang sisi M. Cholik (2004: 62-95)
B. Kerangka Berfikir
Belajar merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya usaha untuk mengadakan perubahan. Indikator keberhasilan siswa dalam belajar dapat dilihat dari prestasi belajarnya. Banyak siswa yang menganggap matematika itu sulit diantaranya pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat. Sebagai indikator dapat ditunjukkan dari angka ketidaktuntasan tahun 2008/2009 pada materi ini di SMP 14 Surakarta adalah sebesar 20%. Untuk mencari keliling dan luas segitiga dan segi empat diperlukan kemampuan-kemampuan yang
mendukung diantaranya kemampuan menghitung, kemampuan memahami rumus, kemampuan memahami soal, kemampuan menganalisa unsur-unsur yang dibutuhkan serta kemampuan menggambar segitiga dan segi empat tersebut. Prestasi belajar matematika siswa pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah model pembelajaran yang digunakan oleh guru dan aktivitas belajar matematika siswa. Dengan demikian, baik tidaknya prestasi belajar dipengaruhi oleh model pembelajaran yang digunakan guru dalam pengelolaan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang tidak tepat justru akan menghambat tercapainya tujuan mengajar. Materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat menuntut penguasaan konsep dari siswa. Penguasaan konsep ini akan lebih mengena dan tertanam dalam diri siswa jika siswa mampu mengkonstruksi dan menemukan sendiri konsepnya. Proses ini akan semakin baik jika siswa melakukan kerjasama dengan menyampaikan kembali apa yang telah dipelajari kepada orang lain. Pembelajaran seperti ini akan menjadi menarik dan mampu mengaktifkan siswa sehingga siswa merasa nyaman dan mudah memahami materi. Salah satu model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi bermakna adalah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Melalui model ini, siswa diarahkan bekerja sama dalam diskusi kelompok untuk membahas materi atau permasalahan –permasalahan yang mana siswa tidak mampu untuk memahami atau menyelesaikannya sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk berpikir bersama dalam kelompok dan menyampaikan hasil kerjanya pada kelompok lain dengan cara saling mengunjungi atau bertamu. Hal ini dapat membantu siswa yang belum jelas untuk memahami materi dan bagi siswa yang berbagi, mereka dapat lebih memperdalam materi yang dipelajari. Berbeda dengan model pembelajaran konvesional, guru sebagai sumber informasi secara aktif mentransfer ilmu kepada siswa. Akibatnya siswa cenderung pasif dengan hanya mendengarkan dan menghafalkan rumus yang diberikan tanpa mengalami sendiri bagaimana rumus itu diperoleh. Dari uraian diatas dimungkinkan pembelajaran dengan model TSTS dapat menghasilkan prestasi mendukung diantaranya kemampuan menghitung, kemampuan memahami rumus, kemampuan memahami soal, kemampuan menganalisa unsur-unsur yang dibutuhkan serta kemampuan menggambar segitiga dan segi empat tersebut. Prestasi belajar matematika siswa pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah model pembelajaran yang digunakan oleh guru dan aktivitas belajar matematika siswa. Dengan demikian, baik tidaknya prestasi belajar dipengaruhi oleh model pembelajaran yang digunakan guru dalam pengelolaan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang tidak tepat justru akan menghambat tercapainya tujuan mengajar. Materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat menuntut penguasaan konsep dari siswa. Penguasaan konsep ini akan lebih mengena dan tertanam dalam diri siswa jika siswa mampu mengkonstruksi dan menemukan sendiri konsepnya. Proses ini akan semakin baik jika siswa melakukan kerjasama dengan menyampaikan kembali apa yang telah dipelajari kepada orang lain. Pembelajaran seperti ini akan menjadi menarik dan mampu mengaktifkan siswa sehingga siswa merasa nyaman dan mudah memahami materi. Salah satu model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi bermakna adalah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Melalui model ini, siswa diarahkan bekerja sama dalam diskusi kelompok untuk membahas materi atau permasalahan –permasalahan yang mana siswa tidak mampu untuk memahami atau menyelesaikannya sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk berpikir bersama dalam kelompok dan menyampaikan hasil kerjanya pada kelompok lain dengan cara saling mengunjungi atau bertamu. Hal ini dapat membantu siswa yang belum jelas untuk memahami materi dan bagi siswa yang berbagi, mereka dapat lebih memperdalam materi yang dipelajari. Berbeda dengan model pembelajaran konvesional, guru sebagai sumber informasi secara aktif mentransfer ilmu kepada siswa. Akibatnya siswa cenderung pasif dengan hanya mendengarkan dan menghafalkan rumus yang diberikan tanpa mengalami sendiri bagaimana rumus itu diperoleh. Dari uraian diatas dimungkinkan pembelajaran dengan model TSTS dapat menghasilkan prestasi
Faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa adalah aktivitas belajar matematika siswa. Aktivitas siswa untuk memahami materi misalnya adalah dengan mendengarkan, membaca, menulis, mengulang materi yang telah diberikan, mengerjakan soal-soal yang lebih kompleks serta mempelajari materi yang akan diberikan dapat mempengaruhi keberhasilan belajar. Siswa yang satu dengan siswa yang lain memiliki aktivitas belajar matematika yang berbeda-beda. Siswa dengan aktivitas belajar tinggi akan memiliki semangat belajar yang tinggi pula sehingga diharapkan dalam pembelajaran matematika, siswa tersebut mampu mempunyai pemahaman konsep yang kuat dan penguasaan materi yang baik. Siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi dimungkinkan memperoleh prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan aktivitas belajar sedang maupun rendah.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan konvensional yang tidak didukung oleh keaktifan siswa akan menyebabkan hasil pembelajaran yang kurang optimal. Dengan demikian, pada masing-masing model pembelajaran tersebut siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi dimungkinkan memiliki prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan aktivitas sedang atau rendah. Siswa yang mempunyai aktivitas belajar matematika tinggi memiliki kesadaran belajar yang tinggi dan mereka akan lebih antusias dalam mempelajari pelajaran matematika meskipun pelajaran itu sulit. Siswa tersebut akan cenderung aktif melibatkan diri dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi jika diberi model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dimungkinkan akan menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada jika diberi model pembelajaran konvensional. Berbeda dengan siswa yang memiliki aktivitas belajar matematika rendah. Mereka memiliki kesadaran belajar yang kurang, belum mandiri dan masih bergantung pada guru untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dengan aktivitas belajar matematika rendah jika diberi model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dimungkinkan akan menghasilkan prestasi belajar Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan konvensional yang tidak didukung oleh keaktifan siswa akan menyebabkan hasil pembelajaran yang kurang optimal. Dengan demikian, pada masing-masing model pembelajaran tersebut siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi dimungkinkan memiliki prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan aktivitas sedang atau rendah. Siswa yang mempunyai aktivitas belajar matematika tinggi memiliki kesadaran belajar yang tinggi dan mereka akan lebih antusias dalam mempelajari pelajaran matematika meskipun pelajaran itu sulit. Siswa tersebut akan cenderung aktif melibatkan diri dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi jika diberi model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dimungkinkan akan menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada jika diberi model pembelajaran konvensional. Berbeda dengan siswa yang memiliki aktivitas belajar matematika rendah. Mereka memiliki kesadaran belajar yang kurang, belum mandiri dan masih bergantung pada guru untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dengan aktivitas belajar matematika rendah jika diberi model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dimungkinkan akan menghasilkan prestasi belajar
Dari kerangka pemikiran di atas dapat digambarkan suatu paradigma penelitian sebagai berikut: Model pembelajaran
Prestasi belajar matematika
Aktivitas belajar siswa
Gambar 1: Paradigma Penelitian
C. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran konvensional pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat.
2. Siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi memiliki prestasi belajar matematika lebih baik daripada siswa dengan aktivitas belajar sedang atau rendah pada materi Keliling dan Luas Segitiga dan Segi Empat.
3. Baik untuk model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan model pembelajaran konvensional, siswa dengan aktivitas belajar matematika tinggi memiliki prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan aktivitas rendah dan untuk siswa dengan kategori aktivitas belajar matematika tinggi dan sedang, model pembelajaran kooperatif tipe TSTS memberikan prestasi belajar lebih baik daripada model pembelajaran konvensional, sedangkan untuk kategori aktivitas rendah, model pembelajaran konvensional memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada model pembelajaran kooperatif tipe TSTS.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian