Pengelolaan Sumberdaya Mangrove dan Udang yang Berkelanjutan di Pulau Belakang Padang

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Ekonomi dan Sumberdaya Alam ... 8

2.2. Jenis, Penyebaran Mangrove dan Luasan Mangrove ... 9

2.3. Fungsi, Manfaat dan Potensi Ekosistem Mangrove ... 12

2.4 Fungsi Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 13

2.5. Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Sumberdaya Ikan (Udang) …………. ... 15

2.6. Valuasi Ekosistem Mangrove ... 21

2.7. Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 22

2.8. Pemodelan Sistem Dinamik ... 23

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ... 25

IV. METODOLOGI ... 28

4.1. Metode Penelitian ... 28

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 28


(2)

4.4. Metode Analisis Data ... 31

4.4.1. Analisis Perubahan Luas Ekosistem Mangrove Menggunakan Citra Landsat ETM + 7 ... 31

4.4.2. Analisis Ekonomi Optimal Keterkaitan antara Mangrove dan Perikanan (Udang) ... 33

4.4.3. Valuasi Ekonomi ... 33

4.4.4. Pemodelan Sistem Dinamik Keterkaitan Sumberdaya Mangrove dan Udang ... 37

4.5. Batasan dan Pengukuran ... 38

V. KEADAAN UMUM WILAYAH KOTA BATAM DAN KECAMATAN BELAKANG PADANG ... 41

5.1. Letak Geografis, Administrasi dan Batas Wilayah…………. 41

5.2. Kondisi Geofisik Wilayah... 43

5.2.1. Topografi dan Struktur Tanah ... 43

5.2.2. Klimatologi Wilayah ... 44

5.3. Perekonomian Wilayah ... 45

5.3.1. Perekonomian dari Sektor pariwisata ... 47

5.4. Kependudukan dan Mata Pencaharian ... 50

5.5. Pendidikan, Agama dan Sosial Budaya ... 53

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

6.1. Potensi Sumberdaya Hayati ... 56

6.1.1. Keragaan Sumberdaya Perikanan ... 58

6.1.2. Keragaan Sumberdaya Mangrove ... 65

6.2. Analisis Keterkaitan Ekosistem Sumberdaya Mangrove dan Penangkapan (udang) ... 67

6.3. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mangrove ... 75


(3)

6.3.2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) ... 79

6.3.3. Manfaat Pilihan ( Option Value) ... 81

6.4. Pemodelan Sistem Dinamik Keterkaitan Sumberdaya Mangrove dan Udang ... 82

6.5. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Mangrove ... 86

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

7.1. Kesimpulan ... 89

7.2. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perubahan luas kawasan mangrove dari analisis data satelit ... 11

2. Nama Kecamatan dan Kelurahan beserta luas wilayah….. ... 42

3. Perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku ... 46

4. Perkembangan PDRB atas dasar harga konstan (1993) ... 47

5. Banyaknya penduduk Kota Batam Menurut Jenis Kelamin Tahun 1993- 2004 ... 51

6. Perkembangan Banyaknya Rumah Tangga, penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio tahun 2001-2005 ... 52

7. Ibukota kelurahan, jumlah dusun, rumah tangga dan penduduk dirinci per kelurahan Tahun 2005 ... 52

8. Perkembangan jumlah penduduk, luas daratan, luas lautan dan kepadatan penduduk Tahun 2001-2005. ... 53

9. Banyaknya sekolah per kecamatan dan jenis sekolah Tahun 2003 53 10. Banyaknya murid per kecamatan menurut jenis sekolah Tahun 2003 54 11. Banyaknya tempat peribadatan per kecamatan menurut jenisnya . 54 12. Jumlah Rumah Tangga Menurut kecamatan dan jenis kegiatan di Kota Batam ... 58

13. Produksi perikanan Kota Batam Tahun 2003 dan 2004 ... 61

14. Nilai Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Kota Batam Tahun 2003 dan Tahun 2004 ... 62

15. Jumlah Armada Tangkap berdasarkan Gross Tonase ... 63

16. Jumlah Alat Tangkap menurut jenis per kecamatan Tahun 2004 .. 64

17. Jumlah RTP dan jumlah keluarga serta jumlah penduduk per kecamatan Tahun 2004 ... 64

18. Perubahan luas ekosistem mangrove dari analisis data satelit di Pulau Belakang Padang ... 67


(5)

19. Perubahan luas ekosistem mangrove dari hasil analisis data

satelit di Pulau Belakang Padang Tahun 1989-2004 ... 68 20. Perubahan luas pemukiman dari hasil analisis data

satelit di Pulau Belakang Padang ... 69 21. Perkembangan produksi udang dan alat tangkap trammel net

pada Tahun 1994-2004 ... 70 22. Hasil analisis regresi hubungan antara produksi udang,

upaya penangkapan (effort) dan luas mangrove ... 71 23. Perbandingan Marjinal produktivitas dari mangrove area (MPM)

dan Marjinal produktivitas upaya penangkapan (MPE) di 3 negara 73 24. Hasil simulasi dari efek kehilangan mangrove saat ekuilibrium

open access di Pulau Belakang Padang Periode tahun 1994-2004 74 25. Klasifikasi fungsi dan manfaat sumberdaya hutan mangrove di

Pulau Belakang Padang ... 76 26. Tingkat nilai berdasarkan fungsi dan manfaat ekosistem hutan

mangrove di Pulau Belakang Padang ... 76 27. Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Mangrove Pulau

Belakang Padang Tahun 2004 dengan Luas Mangrove 110,5 Ha . 82 28. Parameter-parameter simulasi interaksi keterkaitan sumberdaya


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kurva hubungan hasil tangkapan (Y) dan upaya penangkapan (E) . 16

2. Skema Kerangka Pendekatan Studi ... 27

3. Peta Lokasi Penelitian ... 29

4. Metode Analisis perubahan luas Ekosistem Mangrove menggunakan citra landsat ETM +7 ... 32

5. Tarif masuk pariwisata pantai Melawa ... 49

6. Keindahan pariwisata Pantai Melawa ... 49

7. Grafik perkembangan produksi perikanan Kota Batam ... 61

8. Grafik perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dan budidaya di Kota Batam... 62

9. Grafik luasan mangrove pada tahun 1989-2004 dan Trendline ... 68

10. Grafik luasan pemukiman pada tahun 1989-2004 dan Trendline .... 69

11. Grafik hubungan produksi udang dengan luasan mangrove ... 70

12. Plot hubungan perubahan luas mangrove terhadap perubahan produksi udang (MPM) ... 72

13. Trendline hubungan TR, luas mangrove, effort dan produksi udang ... 75

14. Simulasi interaksi keterkaitan sumberdaya mangrove dan udang ... 83

15. Casual Loop Model Sistem Dinamik ... 84

16. Grafik produksi udang dan TR pada luasan mangrove kondisi Existing ... 85

17. Grafik produksi udang dan TR pada luasan mangrove kondisi Optimal ... 86


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Nama-nama Pulau Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni dirinci

per Kelurahan di Kecamatan Belakang Madang Tahun 2003 ... 95 2. Banyaknya Penduduk di Kota Batam Tahun 2003 ... 97 3. Potensi dan Keragaan Perikanan Kota Batam Tahun 2003-2004 .. 99 4. Jenis Mangrove yang ada di Pulau Belakang Padang ... 101 5. Pemanfaatan area Mangrove di Pulau Belakang Padang ... 102 6. Hasil Analisis Data Citra Landsat +7 ETM di Pulau Belakang

Padang Tahun 1989 dan 1992 ... 103 7. Hasil Analisis Data Citra Landsat +7 ETM di Pulau Belakang

Padang Tahun 1999 dan 2000 ... 104 8. Hasil Analisis Data Citra Landsat +7 ETM di Pulau Belakang

Padang Tahun 2002 dan 2003 ... 105 9. Hasil Analisis Data Citra Landsat +7 ETM di Pulau Belakang

Padang Tahun 2004 ... 106 10. a Data Produksi Udang, Luas Mangrove, Upaya Penangkapan

sebagai Bahan Analisis Regresi ... 107 10.b Hasil Analisis Regresi hubungan Luas Mangrove, Produksi

Udang dan Upaya Penangkapan ... 108 11. Hasil Pemecahan Analitik Melalui Program Maple 9.5 untuk

Marginal Produktifitas Mangrove dan Prouktifitas Effort ... 109 12. Penghitungan Struktur Biaya Penangkapan Udang dengan meng-

gunakan IHK di Kecamatan Belakang Padang ... 111 13. Hasil Simulasi dari Efek Hilangnya Luasan Mangrove ... 112 14. Penghitungan Nilai Optimal pada Periode 1994-2004 ... 113 15. Persamaan Matematis Simulasi dan Nilai Variabel pada kondisi

Existing ... 114 16. Persamaan Matematis Simulasi dan Nilai Variabel pada kondisi


(8)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Luas perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km2 yang merupakan 75% dari seluruh wilayah, yang terdiri atas perairan nusantara 2,8 juta km2, perairan laut teritorial 0,3 juta km2, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001). Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain (Dahuri, 2002).

Potensi sumberdaya yang terkandung dalam wilayah kepulauan tersebut memiliki kekhasan khususnya berkaitan dengan keanekaragaman hayati laut, sehingga perlu pengelolaan yang khas pula, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi. Sejak awal tahun 1990-an fenomena degradasi bio-geofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas akibat pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan hilangnya ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun


(9)

yang selanjutnya dapat mengganggu keberlanjutan sumberdaya perikanan maupun kelestarian wilayah kepulauan Indonesia.

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai peran sangat penting dalam mendukung produktivitas perikanan, sebagai nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning ground (tempat pemijahan) bagi beragam jenis biota air. Disamping itu juga sebagai penahan erosi pantai, pencegah intrusi air laut ke daratan, pengendali banjir, merupakan perlindungan pantai secara alami mengurangi resiko dari bahaya tsunami dan juga merupakan habitat dari beberapa jenis satwa liar (burung, mamalia, reptilia dan amphibia) (Saenger et al dalam Aksornkoae 1993).

Menurut data statistik yang ada, tidak ada angka yang pasti tentang luas kawasan ekosistem mangrove di Indonesia. Menurut Bina Program Kehutanan (1973) luas hutan mangrove 3.177.700 ha, 3.707.100 ha (UNESCO 1979), 4.251.011 ha (Bina Program Kehutanan 1982), 4.355.553 ha (INTAG Departemen Kehutanan 1993) sedangkan menurut Ditjen RLPS Dephutbun (1999) luas kawasan hutan mangrove 3.980.496 ha dan diluar kawasan hutan 5,5 juta ha.

Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Secara spasial, penyebaran mangrove di Indonesia berada di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan


(10)

sebagainya (Dahuri, 2002). Dampak dari krisis ekonomi yang dialami negara Indonesia dan menurunnya nilai tukar rupiah telah mendorong laju konversi hutan mangrove, terutama untuk budidaya perikanan (udang). Beberapa lokasi yang diduga cukup menonjol terjadi konversi adalah: DI.Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Selain itu mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya perikanan. Hal tersebut diperburuk dengan hasil-hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah dimana mangrove dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS 2002).

Provinsi Kepulauan Riau secara geografis terdiri dari pulau-pulau kecil dengan dominasi pantai pasir putih dan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove banyak terdapat dibagian-bagian pulau yang terlindung dan menyebar hampir di setiap kelompok pulau, seperti di Batam, Karimun, Bintan, Natuna, Siantan, Tambelan, Singkep/Selayar. Jenis-jenis ekosistem mangrove yang umum ditemukan di Riau Kepulauan antara lain Rhizopora, Sonneratia dan Avicennia (PKSPL 2001).

Potensi ekosistem mangrove yang cukup besar di Kepulauan Riau, sampai saat ini belum dikelola secara optimal. Bahkan ada kekhawatiran dengan adanya motivasi menjadikan Kota Batam sebagai SEZ (Special Economic Zone),


(11)

perdagangan, transportasi laut dan pariwisata dapat mengakibatkan degradasi ekosistem mangrove. Sejak Batam ditetapkan sebagai kawasan industri, segala urusan administrasi kependudukan Batam berpusat di Kecamatan Pulau Belakang Padang dan perkembangan pulau ini menjadi luar biasa. Di tambah lagi pada tahun 1978 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 41 dengan menetapkan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse, kehadiran penduduk di kawasan itu melonjak tajam. Pada tahun 1978 itu tercatat jumlah penduduk yang tinggal di Batam mencapai 31.800 orang. Lima tahun berikutnya jumlah penduduk Batam melonjak mencapai 43.000 orang dan setelah 20 tahun tercatat penduduk Batam pada tahun 2003 telah mencapai 562.661 orang. Hal ini mengakibatkan terjadinya konversi lahan mangrove menjadi perumahan di beberapa bagian lahan mangrove di Pulau Belakang Padang (Kompas, 2004).

Keadaan ekosistem mangrove di beberapa pulau di Batam pada tahun 2000 telah mengalami perubahan dari ekosistem aslinya dan ada indikasi ketidakstabilan keseimbangan ekosistem mangrove tersebut. Sebagai contoh nyata terjadinya tumpahan minyak mentah dari kapal tanker MT. Natuna Sea di perairan Pulau Belakang Padang, Kota Batam pada Oktober Tahun 2000 membuat sebagian ekosistem mangrove mati dan menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan. Sebagaimana kita ketahui ekosistem mangrove merupakan tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, termasuk ikan dan udang yang hidup secara alami di wilayah tersebut.

Untuk menjaga fungsi ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan dan asuhan, khususnya udang di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau,


(12)

maka perlu melakukan penelitian bagaimana hubungan keterkaitan antara produksi penangkapan udang dengan ekosistem mangrove dan bagaimana pengelolaan sumberdaya mangrove di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan manfaat ganda dari ekosistem mangrove (yaitu manfaat ekonomis dan ekologis), maka konversi hutan mangrove menjadi perumahan, tambak, pelabuhan, pabrik maupun hotel akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistemnya. Begitu banyak manfaat ekosistem tersebut namun pengelolaan mangrove di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagian besar masih bersifat open access sehingga cenderung tidak terkontrol. Pada jenis usaha yang dianggap merupakan sumber devisa negara (komoditi ekspor) seperti udang, tekanan pemanfaatan akan semakin kuat, sehingga jika tidak dibatasi dan dikelola dengan baik akan cenderung kearah pemanfaatan yang berlebihan yang dapat mengancam kelangsungan sumberdaya itu sendiri.

Mangrove merupakan nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning ground (tempat pemijahan) bagi beragam jenis biota air seperti ikan, sehingga perlu mengetahui keterkaitan antara nilai sumberdaya mangrove dengan penangkapan udang dan apa dampak pengelolaan mangrove terhadap daya dukung dan tingkat produksi dari penangkapan udang serta bagaimana pengelolaan ekosistem mangrove yang optimal di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau.


(13)

Dari paparan tersebut diatas maka permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Bagaimana gambaran umum pemanfaatan sumberdaya alam ekosistem mangrove di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau?

2) Bagaimana ekonomi keterkaitan sumberdaya mangrove dengan penangkapan udang di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau?

3) Berapa besar nilai ekonomi dari manfaat ekosistem mangrove di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau saat ini dan bagaimana alokasi optimal pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui dinamika ekonomi-ekologi pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya yang lestari. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dilakukan melalui tujuan khusus, yaitu :

1) Mengidentifikasi pemanfaatan ekosistem mangrove di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau.

2) Menganalisis secara ekonomi keterkaitan sumberdaya mangrove dengan penangkapan udang di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau. 3) Mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya mangrove dan penangkapan udang,

serta menganalisis alokasi optimal pengelolaan sumberdaya mangrove di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau.


(14)

Kegunaan penelitian ini adalah :

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pemanfaatan pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan pemanfaatan sumberdaya udang, bahwa sumberdaya mangrove erat kaitannya dengan sumberdaya udang. 2) Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam penentuan

pengelolaan ekosistem mangrove secara efisien berdasarkan keseimbangan manfaat ekologis dan ekonomisnya yang berkelanjutan di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau dan juga pemanfaatan sumberdaya udang yang memberikan hasil maksimum secara ekonomi dan lestari dari segi sumberdaya.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi dan Sumberdaya Alam

Ilmu ekonomi secara konvesional didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumberdaya yang langka. Sumberdaya menurut ensikklopedia Webster dalam Fauzi (2004) adalah kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu; sumber persediaan penunjang atau bantuan; sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Dalam pengertian umum, sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia (Fauzi, 2004).

Ilmu ekonomi sumberdaya alam adalah ilmu yang mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan, hutan. Sehingga secara eksplisit ilmu ini mencari jawaban seberapa besar sumberdaya harus di ekstraksi sehingga menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat (Fauzi, 2004). Menurut Conrad dan Clark (1995) dalam Adrianto (2005) ekonomi sumberdaya adalah cabang ilmu ekonomi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya optimal baik statik maupun dinamik untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akar dari setiap permasalahan ekonomi adalah kelangkaan sumberdaya dimana pada saat yang sama kebutuhan manusia senantiasa dipenuhi (Adrianto, 2005). Terdapat empat implikasi ekonomi untuk mengatasi masalah kelangkaan sumberdaya tersebut, yaitu (Hussen, 2000 dalam Adrianto 2005): 1) Pilihan (choice), implikasi ini menunjukan bahwa manusia harus memilih sumberdaya yang paling sesuai dan men-set prioritas untuk pemenuhan kebutuhannya; 2) Oportunity cost,

setiap pilihan yang dilakukan akan berimplikasi pada timbulnya biaya untuk mendapatkan pilihan tersebut; 3) Efisiensi, implikasi dari kelangkaan sumberdaya adalah bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhannya secara efisien; 4) Institusi


(16)

sosial, implikasi kelangkaan sumberdaya adalah adanya konflik, maka diperlukan pendekatan institusi yang mampu mengalokasikan sumberdaya.

2.2 Jenis, Penyebaran Mangrove dan Luasan Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Sehingga hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2002).

Salah satu tipe zonasi ekosistem mangrove di Indonesia, daerah yang paling dekat dengan laut, sering ditumbuhi Avicennia yang sering kali berasosiasi dengan Sonneratia, jika kondisi lumpurnya kaya bahan organic. Kearah darat tumbuh Bruguiera cylindrica yang membentuk tegakan-tegakan yang kokoh. Dibelakang zona ini tumbuh

Bruguiera cylindrica bercampur dengan Rizophora apiculata, Rizophora mucronata, Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum. Dan paling belakang antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah tumbuh jenis Nypa fruticans, dan pandan laut (Pandanus spp)(Bengen, 2002).

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.) (Kusmana, 2002).


(17)

Di Indonesia jenis-jenis mangrove yang mendominasi antara lain : bakau (Rizophora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tengar (Ceriops spp) dan buta-buta (Exocaria spp). Komunitas hutan mangrove yang terbesar di Indonesia tersebut berkaitan dengan sifat dasar lingkungan laut dan iklim tropis Indonesia. Penyebarannya dibatasi oleh letak lintang. Hal ini dikarenakan mangrove sensitive terhadap suhu dingin. Umumnya mangrove akan tumbuh dengan baik di daerah yang suhunya pada musim dingin tidak lebih rendah dari 200 C. Selain itu penyebaran hutan mangrove juga dipengaruhi oleh limpasan air tawar. Terdapat juga jenis-jenis mangrove yang memiliki adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, bila tidak ada suplai air tawar akan mempengaruhi kemampuan toleransi mangrove dan biota yang terkait terhadap salinitas(Bengen, 2002).

Luasan mangrove di Indonesia menurun secara signifikan dalam dasawarsa terakhir yakni dari 4,25 juta hektar menjadi 2,50 juta hektar yang diakibatkan oleh perubahan pemanfaatan yang dapat berdampak pada kelestarian sumberdaya perikanan. Perubahan tersebut dapat dianalisis melalui pemanfaatan citra landsat ETM+7.

Satelit penginderaan jauh memiliki sensor tertentu untuk merekam citra, beberapa citra satelit yang sering digunakan meliputi : NOAA, GMS, SPOT, Landsat dan SeaWIFS. Penggunaan citra disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan, misalnya untuk pemantauan cuaca digunakan citra NOAA dan GMS sedangkan untuk penggunaan lahan dan ekstraksi informasi perairan umumnya digunakan citra Landsat. Landsat adalah Land Satelite yang merupakan produksi Amerika Serikat yang diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama Earth Resources Technologi Satelite (ERTS), pada perkembangan selanjutnya berubah nama menjadi Landsat (LAPAN, 2003).

Menurut Lilleand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat, tanpa kontak langsung dengan


(18)

obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Informasi mengenai obyek yang terdapat pada suatu lokasi di permukaan bumi diambil dengan menggunakan sensor pada satelit yang dapat menghasilkan beberapa bentuk citra, kemudian sesuai dengan tujuan kegiatan yang akan dilakukan, informasi mengenai obyek tersebut diolah, dianalisis dan diintepretasikan dan disajikan dalam bentuk informasi spasial dan peta tematik yang menghasilkan data bermanfaat untuk aplikasi di berbagai bidang, seperti pertanian, arkeologi, geografi, geologi, kehutanan, perikanan, perencanaan wilayah dan sebagainya (LAPAN, 2003).

Untuk memudahkan analisis seperti yang telah dilakukan Ratih Dewanti (2003) dalam menganalisis perubahan hutan mangrove di Segara Anakan, Pantai Bekasi-Subang, Delta Brantas, Pulau Tibi dan Lampung Timur adalah dengan mengelompokkan objek yang terbagi kedalam 3 kelas utama yaitu mangrove, tambak dan kelas di luar mangrove dan tambak seperti pemukiman, lahan terbuka, perkebunan dan sebagainya. Dari hasil pengolahan citra landsat dengan metode klasifikasi terbimbing dengan ketelitian klasifikasi rata-rata lebih besar dari 85% dan ketelitian tiap-tiap kelas 75 % dapat dihitung dan diperoleh informasi luasan mangrove di masing-masing kawasan pengamatan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan luas kawasan mangrove dari analisis data satelit

Kawasan yang diamati

Luas mangrove (ha)

1984 1985 1986 1988 1990 1991 1992 1994 1995 1996 Bekasi 817 784 923 1.243 Karawang 527 290 841 1.225 Subang 2.088 1730 958 3.074 Segara

anakan

15.172 15.689 15.268 14.133 12.670 12.707 Delta

Brantas

16.163 7.782 7.540 10.337 Lampung

Timur

8.342 6.128

P. Tibi 7.460 7.400 5.460


(19)

laut dan tanah timbul Segara Anakan. Jika penyusutan dibiarkan terus, maka dikhawatirkan dalam 30 tahun mendatang laguna akan hilang yang tentunya membawa dampak terhadap masyarakat sekitar laguna yang umumnya adalah nelayan miskin.

2.3 Fungsi, Manfaat dan Potensi Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup diperairan, diatas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove tersebut (Noor et al, 1999).

Ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, memijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota, (3) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif dan (4) sebagai sumber bahan baku industri (Noor et al,

1999).

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai hutan lindung, sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjadi garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Fungsi penting yang lain adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti : cacing, mysidaceae (udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya.


(20)

Pada tingkat berikutnya hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia (Noor et al,

1999).

Ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi penting sebagai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil ikutan lainnya.

2.4 Fungsi Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Mangrove

Fungsi ekologi ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain aspek fisika, kimia dan biologi. Dari aspek fisika, fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sebagai : (1) dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan antara komponen-komponen serta hubungan antara ekosistem mengrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang, (2) dengan sistem perakaran yang kuat dan kokoh ekosistem mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (3) sebagai pengendali banjir, fungsi ini akan hilang jika ekosistem mangrove ditebangi (Aksornkoae, 1993).

Fungsi ekologis ditinjau dari aspek kimia, ekosistem mangrove dengan kemampuannya melakukan proses kimia dan pemulihan (self purification) memiliki beberapa fungsi : (1) ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan


(21)

organic, (2) sebagai sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya, karena banyaknya tersedia berbagai jenis makanan bagi berbagai biota yang bernaung didalamnya, seperti udang, kepiting, burung, kera, ular dan lain-lain telah menjadikan rantai makanan yang sangat kompleks sehingga terjadi pengalihan energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi, (3) pensuplai bahan-bahan organic bagi lingkungan perairan, (4) sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bacterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan (Aksornkoae, 1993).

Di lihat dari aspek biologis ekosistem mangrove sangat penting untuk tetap menjaga kestabilan produktifitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir, mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenil stage) yang akan tumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa, daerah mencari makanan (feeding ground) dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai (Bengen, 2002). Fungsi ekonomi ekosistem mangrove adalah dalam menyediakan produk yang dapat diukur dengan uang, berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat dan teknik penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin, dan tempat rekreasi. Pemanfaatan untuk skala komersial (skala besar) adalah


(22)

menghasilkan kayu, chip dan arang; konversi ekosistem mangrove untuk kawasan pertanian, pertambakan, pemukiman, ladang garam dan daerah transmigrasi; dan manfaat ekosistem mangrove untuk beberapa jenis obat-obatan (Soemodihardjo dan Soerianegara dalam Yani, 2002). Menurut Dahuri et al (2001) daun-daunannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan, pupuk untuk pertanian, dan sebagainya.

2.5 Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Sumberdaya Udang

Aktivitas nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya udang yang dilakukan, merupakan salah satu aktivitas yang berpengaruh terhadap perkembangan udang, terutama yang tumbuh di daerah mangrove. Penangkapan udang dapat berpengaruh apabila semakin besar laju penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim berikutnya dengan kondisi regenerasi yang sama. Bahkan dapat berakibat fatal jika hasil tangkapan yang diperoleh berupa udang muda atau masih berukuran kecil dalam jumlah yang banyak. Hal ini dapat berdampak pada kepunahan sumberdaya udang pada daerah tersebut.

Menurut Seijo, Defeo dan Salas (1998) hubungan antara upaya penangkapan dan jumlah hasil tangkap akan membentuk kurva dimana titik maksimum dengan nilai Fmax yang berarti biologi adalah sebuah titik puncaknya atau disebut dengan MSY (Maximum Sustainable Yield). Setelah mencapai titik puncak, dimana terjadi keseimbangan antara jumlah tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) secara alami akan mengalami penurunan atau tidak mengalami kestabilan sepanjang titik Fmax. Kondisi tersebut dapat dilihat pada kurva hasil tangkap dan upaya penangkapan (Gambar 1).


(23)

Dimana : Y = hasil tangkapan E = upaya penangkapan

K = Daya dukung perairan (carrying capacity) MSY = Maximum Sustainable Yield

Dengan adanya peningkatan jumlah upaya penangkapan hingga melebihi titik Maksimum Sustainable Yield (MSY), maka pertambahan hasil tangkap akan bernilai negatif hingga mencapai titik nol pada saat hasil tangkapan yang sama dengan daya dukung perairan (carrying capacity) tersebut. Keadaan tersebut dinamakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih secara biologi (biological overfishing) (Clark, 1976).

Hasil tangkapan udang di Indonesia yang mendominasi ditangkap dari berbagai jenis spesies, diantaranya udang windu atau giant tiger prawn (Penaeus monodon dan Penaeus semiculatus), udang putih atau banana prawn (Penaeus merguensis de Man dan Penaeus indicus) dan udang dogol atau metapenaeus

shrimp (Metapenaeus spp) (Nurfirman, 1992).

Gambar 1. Kurva hubungan hasil tangkapan (Y) dan upaya penangkapan. (E) K MSY

Y Y msy


(24)

Ekosistem mangrove merupakan daerah asuhan bagi spesies ikan dan beberapa diantaranya bernilai ekonomis tinggi. Ikan merupakan salah satu kelompok hewan terpenting yang terdapat pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove memegang peranan penting dalam perikanan terutama udang (Macnae 1972). Beberapa udang penaeid di perairan Indonesia sangat tergantung pada mangrove (Unar 1972). Hal ini juga dibuktikan oleh Martosubroto dan Naamin (1977) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang nyata antara produksi udang dengan luas hutan mangrove. Penelitian ini dilanjutkan kembali oleh Barbier dan Ivar (1998) yang mengatakan bahwa mangrove merupakan area yang esensial dan sangat penting bagi udang, hilangnya atau berkurangnya hutan mangrove dalam jangka panjang akan membuat produksi udang menurun. Perubahan luas mangrove di laguna De Terminos (Mexico) sangat berpengaruh pada produksi dan nilai hasil panen udang di Campache dari tahun 1980-1990, yang juga menyarankan bahwa area mangrove adalah suatu hal yang sangat penting dan masukan esential ke perikanan udang.

Perubahan pemanfaatan lahan pesisir yang merusak ekosistem mangrove (misalnya untuk tambak) dapat mengakibatkan hilangnya komponen sumberdaya hayati lain yang terkandung di dalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Komponen sumberdaya tersebut memiliki nilai ekonomi, sehingga perubahan ekosistem mangrove menjadi tambak mengakibatkan hilangnya nilai ekonomi dan komponen hayati yang terkandung di dalamnya dan nilai ekonomi sumberdaya perikanan di wilayah perikanan sekitarnya.

Pengembangan model bioekonomi secara umum dari efek area mangrove yang merupakan daya dukung perikanan pada kondisi open access dan


(25)

pengaruhnya terhadap tingkat produksi. Untuk memudahkan analisis digunakan

discrete time model dari perikanan tersebut, yang menggambarkan kondisi keseimbangan jangka panjang dari perikanan dan turunan keseimbangan kurva penawaran untuk hasil panen. Jika ada perubahan dari area mangrove akan mempengaruhi keseimbangan jangka panjang pada perikanan open access (Barbier dan Ivar, 1998)

Model bioekonomi di adaptasi untuk menghitung peranan dari ekosistem mangrove yang mendukung perikanan sebagai breeding ground (tempat berkembang biak/bertelur/memijah) dan nursery ground (tempat pembesaran). Digambarkan x sebagai ukuran stock ikan pada unit biomass, perubahan dari pertumbuhan stock setiap waktu digambarkan sebagai berikut:

0 ,

0 ), . ( ) , (

1− = − > >

+ t t t t t x M

t X F X M h X E F F

X ……….……...(1)

Dimana :

F (Xt, Mt) adalah peningkatan dari stock ikan yang terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan biologi pada saat ini.

H(Xt. Et) adalah hasil panen Effort (Et) adalah fungsi dari stock

Untuk mengestimasi pengaruh yang kuat dari habitat mangrove pada perikanan menurut (Lynne et al.1981; Bell 1989 dalam Barbier dan Ivar. 1998),

berasal dari proses produksi Schaefer pada hasil panen sebagai berikut : t

t t qX E

h = . ……….………(2)

Dimana : qt adalah koefisien penangkapan (catchability)

Dari persamaan (1) dan fungsi pertumbuhan logistik pada persamaan (2) didapatkan :


(26)

x t t t t

t X r K M X qE X

X +1− =[ ( ( )− )− ], ………..…...(3) Dimana :

r adalah tingkat pertumbuhan intrinsik dari udang pada beberapa periode K adalah carrying capacity dari area mangrove

Mt adalah pengaruh yang kuat yang positif dari carrying capacity mangrove Analisis keuntungan ekonomi perikanan pada beberapa periode (Clark 1976; Conrad 1995 dalam Barbier dan Ivar 1998), dengan persamaan sebagai berikut

] ) . ( [

1 t t t t

t E ph X E cE

E+ − =Φ − ………(4)

Dimana :

Effort (Et) adalah fungsi dari stock

P (h) adalah harga ikan yang didaratkan per unit harvest C adalah real unit cost dari effort

φ > 0 koefisien penyesuaian dan usaha penangkapan sesuai dengan persamaan ini. Pada saat open access equilibrium area mangrove dimisalkan : Mt = Mt +1 = M. Pemecahan pada tingkat steady-state dari stock, X dan E (saat M konstan)

E untuk

pq c

X = ,

E

t+1=

E

t=

F (X,M) – h (X,E) = 0 untuk Xt + 1 = Xt = X. Mt+1= Mt= M...(5) P (h) h (X.E) – cE = 0 untuk

Et+1=Et=E……..………...….(6)

E

r q EM q h 2 2 − = α

Y = aEM - BE2


(27)

Dimana :

q = koefisien penangkapan M = Luas Mangrove

E = Effort (upaya penangkapan) r = Tingkat pertumbuhan intrinsik

X untuk q X M K r

E = ( ( )− ),

X

t+1=

X

t= …………..……….(7)

Persamaan (5) mengindikasikan kombinasi ukuran stock dan usaha penangkapan mendorong kearah tingkat constant stock. Persamaan (6) adalah standard kondisi open access dengan asumsi profits pada perikanan akan habis pada jangka panjang. Persamaan (7) mengindikasikan kombinasi dari effort perikanan dan stock udang (dan juga area mangrove) dan pasti akan membuat tingkat yang konstan pada stock udang perikanan dalam jangka panjang.

Efek comparative static pada perubahan area mangrove,untuk memudahkan diasumsikan hubungan antara area mangrove dengan carryng capacity sebagai berikut K(M) = αM, α > 0. Dari persamaan (7) efek comparative static dengan perubahan area mangrove pada tingkat ekuilibrium pada effort perikanan didapat persamaan sebagai berikut :

0 )

( dMdXAqdEA =

rα atau

) 8 ..( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 0 > = q r dM dEA α

Dari persamaan (8) dan persamaan (5), pengaruh pada tingkat panen ekuilibrium dapat dipecahkan secara eksplisit melalui persamaan :


(28)

) 9 .( ... ... ... ... ... ... 0 > = = = dM pq rc dM rX dE qX

dhA A A α A α

Perubahan keuntungan kotor dari perikanan dapat disajikan dalam persamaan berikut : ) 10 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... 0 > = dM q rc pdhA α

Menurunnya area mangrove mengakibatkan turunnya produksi udang dan keuntungan kotor dari perikanan, sehingga berdampak pada parameter bioekonomi pada model (α, r dan q) digabungkan dengan harga dan biaya (p dan c) pada perikanan.

2.6 Valuasi Ekosistem Mangrove

Banyak konflik dan kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir dan lautan yang tidak dapat diselesaikan, karena kurangnya data dan informasi yang dimiliki sehingga berapa besar kerugian yang akan diperoleh tidak diketahui. Misalnya untuk sumberdaya yang belum diketahui manfaat dan fungsinya untuk sekarang dan masa datang menyebabkan nilai tersebut tidak dihitung dari perhitungan ekonomi dan kemusnahannya tidak dianggap sebagai kerugian. Salah satu yang dapat membantu untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menghitung potensi ekonomi dari sumberdaya tersebut.

Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Secara garis besar nilai tersebut dibagi dalam dua macam yaitu : (a) nilai manfaat (use-value) dan (b) bukan nilai


(29)

manfaat (non use value). Use Value (UV) terdiri atas : (1) nilai manfaat langsung,

direct use value (DUV) adalah output (barang dan jasa) yang terkandung dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan, (2) nilai manfaat tidak langsung, indirect use value (IUV) adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut, (3) nilai manfaat pilihan, option value (OV) adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan diwaktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. Nilai merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat memanfaatkan potensi sumberdaya di waktu mendatang. Sedangkan non use value, terdiri atas : (1) nilai pewarisan, bequest value (BV) adalah nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation) suatu sumberdaya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga mereka dapat mengambil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil oleh generasi sebelumnya, (2) nilai keberadaan, existence value (EV) adalah nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapatdiambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai relijius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam (Kusumastanto, 2000).

2.7 Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem mangrove adalah dengan penerapan teknologi kehutanan secara teratur dalam kegiatan pengusahaan hutan suatu kawasan hutan. Dalam kegiatan hutan tercakup konsep kelestarian hasil (sustainable yield), yaitu


(30)

untuk mendapatkan produksi secara terus menerus dalam waktu yang relatif singkat dengan tujuan untuk mencapai suatu keadaan seimbang antara pertumbuhan dengan hasil yang dipanen setiap tahun atau jangka waktu tertentu (Meyer et al dalam Yani, 2002).

Tujuan pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dari ekosistem secara serbaguna dan lestari. Pada dasarnya pengelolaan ekosistem merupakan penerapan cara-cara pengurusan dan pengusahaan ekosistem secara teknik ke dalam usaha pemanfaatan sumberdaya alam ekosistem mangrove tersebut (Kenneth dalam Yani 2002). Ekosistem mangrove memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari, perlindungan dapat berupa upaya memberikan legitimasi kawasan hutan mangrove sebagai areal yang dilindungi, dan rehabilitai merupakan suatu kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah gundul, yang mana dalam hal ini bukan saja berhasil mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah mampu mengembalikan fungsi ekologi kawasan tersebut.

2.8 Pemodelan Sistem Dinamik

Model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai modelling atau pemodelan yang berarti merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis (Fauzi dan Anna, 2005).

Secara umum model dapat dikategorikan berdasarkan skala waktu dan tingkat kompleksititas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Menurut Fauzi dan Anna (2005) jenis-jenis model terbagi :


(31)

• Model statik yaitu model yang tidak mempertimbangkan aspek waktu, • Model dinamik yaitu model yang mempertimbangkan aspek waktu

(intertemporal),

• Model deterministik yaitu model yang dibangun dengan mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata,

• Model Stokastik yaitu model yang dibangun memasukkan unsur ketidakpastian,

• Model dinamik-stokastik yaitu model yang dibangun dengan interaksi antara skala waktu dan ketidakpastian,

Sistem adalah sekumpulan komponen yang saling berinteraksi dan merupakan kerangka desain pemikiran untuk membantu dalam mencapai tujuan tertentu. Sehingga sistem dinamik merupakan sekumpulan komponen yang saling berinteraksi yang mempertimbangkan aspek waktu dalam mencapai tujuan tertentu.

Sekuen proses pemodelan yaitu mengidentifikasi, membangun asumsi, kontruksi model, menganalisis, interpretasi, validasi dan implementasi. Konstruksi model dapat dilakukan dengan baik dengan bantuan komputer software maupun secara analitis (Fauzi dan Anna, 2005).


(32)

IV. METODOLOGI

4.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study), tujuan metode ini adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari studi kasus, kemudian dari sifat-sifat khas tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir, 1988).

Obyek penelitian adalah kawasan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan udang di Pulau Belakang Padang, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Obyek penelitian dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa ada keterkaitan antara kawasan mangrove dengan sumberdaya perikanan udang serta bagaimana pengelolaan yang optimal terhadap sumberdaya mangrove agar tetap lestari. Peta lokasi studi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Pengumpulan data berupa data primer dan sekunder, data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan lapangan atau observasi, wawancara serta melalui kuesioner yang diajukan kepada responden di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian, Dinas Kehutanan, Bappeda, laporan studi penelitian, dan publikasi ilmiah.


(33)

Gambar. 3

Lok a si Pe ne lit ia n

PETA LOKASI

PENELITIAN

K e c : Be la k a ng Pa da ng

Prov: K e pula ua n Ria u

Lokasi Penelitian

Legenda:


(34)

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat dan lembaga yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pemanfaatan mangrove dengan sub populasi nelayan yang menangkap udang dan nelayan penangkap ikan belanak, pengambil kayu bakar, pengambil arang kayu, para pengunjung rekreasi, penerima manfaat keberadaan ekosistem mangrove dan instansi – instansi yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove tersebut.

Penentuan responden kasus ditentukan secara purposive sampling, yaitu metode penentuan responden/ sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu atau sengaja. Pertimbangan tersebut mencakup sifat spesifik responden/sampel seperti mampu berkomunikasi dengan baik, memiliki pengetahuan dan atau pengalaman mengenai masalah yang dimaksud serta memiliki keterlibatan langsung dalam kegiatan perikanan atau ekosistem mangrove tersebut. Penentuan responden/sampel ini adalah dengan memilih subgroup dari populasi dengan sedemikian rupa sehingga responden/sampel yang dipilih mempunyai sifat yang sesuai dengan sifat-sifat populasi (Singarimbun dan Effendi 1985). Jumlah responden sebagai sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 88 orang atau 4 % dari populasi responden sebanyak 2.337 rumah tangga. Jumlah responden secara rinci yaitu 16 orang nelayan udang yang hanya menangkap udang di sekitar Pulau Belakang Padang, 10 orang nelayan pengambil ikan belanak, 46 orang pengambil arang kayu, 10 orang pengambil kayu bakar, dan 6 orang pengunjung rekreasi.


(35)

4.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data penelitian meliputi analisis Citra Landsat untuk memisahkan area mangrove dan non mangrove juga mendapatkan luas mangrove, dan analisis ekonomi optimal keterkaitan antara mangrove dan perikanan (udang), valuasi ekonomi sumberdaya mangrove dan simulasi model pengelolaan sumberdaya mangrove.

4.4.1. Analisis Perubahan Luas Ekosistem Mangrove Menggunakan Citra Landsat ETM +7.

Pengolahan data dapat dikelompokkan menjadi pra pengolahan (pre processing) dan pengolahan lanjutan termasuk analisis. Pra-pengolahan merupakan kegiatan koreksi citra secara geometris dan radiometric. Sehingga akan diperoleh data citra yang sudah memiliki posisi geografi yang sesuai dengan referensi dimuka bumi, serta data tersebut sudah mampu untuk di analisis dan di overlay-kan dengan peta vector digital lainnya. Selanjutnya citra raster yang sudah terkoreksi di interpretasi secara supervised (terbimbing) untuk membedakan wilayah mangrove dan non mangrove yang kemudian di lakukan pengecekan ke lapang untuk membuktikan hasil interpretasi. Metode sampling dalam pengecekan lapang (ground truthing) adalah sebagai berikut :

1. Menentukan titik sampling secara acak dan menyebar titik perwakilan uji data, 2. Melakukan/membuat kotak sampling (transek kuadran) 4 x 4 meter,

3. Mengidentfikasi jenis-jenis mangrove pada transek kuadran, 4. Mengumpulkan seluruh hasil identifikasi.

Wilayah mangrove akan didelinasi (digitations on screen) untuk mendapatkan bentuk vector dari wilayah mangrove dari citra satelit. Dari bentuk vector wilayah mangrove yang diperoleh dengan menggunakan teknik GIS dihitung secara


(36)

otomatis luas wilayah mangrove tersebut. Dengan metode yang sama untuk mendapatkan luas wilayah mangrove per periode maka dilakukan analisis perubahan wilayah mangrove. Metode analisis perubahan luas ekosistem mangrove menggunakan citra landsat ETM +7 dapat dilihat pada Gambar 4.

Citra Landsat ETM + 7

Peta Digital Referensi Bakosurtanal 1 : 50.000

Koreksi Geometrik/Radiometri

Validasi Geometrik

tidak

Interpretasi mangrove/non mangrove

ya

Ground Truthing

(pengecekan lapang)

Luas Mangrove Perbaiki hasil

interpretasi tidak

ya validitas validitas


(37)

4.4.2. Analisis Ekonomi Optimal Keterkaitan antara Mangrove dan Perikanan (Udang).

Pendugaan keterkaitan mangrove dan perikanan, secara matematis dapat dituliskan seperti persamaan berikut (Barbier dan Ivar, 1998) :

2...(11)

2 2

2

)

( r E

q EM q E r q qE

h=

K

M − = α −

Diasumsikan stock udang konstan dengan X1 = X 1+1= X akan digunakan sebagai kondisi steady state.

Y = aEM - bE2

a = qα ; b = - q2/r, sehingga b1 = qα ; b2 = - q2/r Dimana :

q = koefisien penangkapan M = Luas Mangrove

E = Effort (upaya penangkapan) r = Tingkat pertumbuhan intrinsik

Persamaan tersebut digunakan dengan asumsi sebagai berikut :

• Harga persatuan output, (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

• Biaya persatuan upaya (c) dianggap konstan • Struktur pasar persaingan sempurna (pps)

• Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pascapanen, dsb).

4.4.3. Valuasi Ekonomi

Untuk memperoleh data tentang berbagai macam manfaat dan fungsi ekosistem mangrove, yaitu :


(38)

(1) Manfaat Langsung (ML)

Manfaat Langsung atau Direct Use Value (DUV) yaitu manfaat yang dapat diperoleh secara langsung dari ekosistem mangrove, misalnya kayu bakar, sumberdaya perikanan (Barton 1994).

Nilai manfaat langsung (Direct Use Value) dari ekosistem mangrove di Pulau Belakang Padang dirumuskan sebagai berikut :

DUV = ∑ DUV i……… ………….(12) Dimana :

DUV = Direct Use Value

DUV1 = Tegakan Pohon DUV2 = Arang kayu DUV3 = Kayu Bakar

DUV4 = Perikanan Mangrove (penyedia umpan) DUV5 = Pendidikan

DUV6 = Rekreasi

(2) Manfaat Tidak Langsung (MTL)

Manfaat Tidak Langsung atau Indirect Use Value (IUV) yaitu manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung, misalnya hutan bakau sebagai pencegah interusi air laut, daerah pemijahan, asuhan dan mencari makan (spawning ground, nursery ground

dan feeding ground) (Barton 1994).

Nilai manfaat tidak langsung yang pertama diestimasi dengan menggunakan pendekatan replacement cost/damage avoided cost yang diaplikasikan untuk fungsi ekosistem mangrove sebagai pemecah

6

i =1


(39)

sebagai penahan abrasi diestimasikan dengan biaya pembuatan pemecah gelombang (breakwater) yaitu didekati dengan cara menghitung biaya yang diperlukan untuk membangun breakwater di sepanjang pantai yang dilindungi hutan mangrove. Nilai dari biaya pembuatan bangunan pemecah gelombang dikalikan dengan satu per tiga dari panjang garis pantai yang terlindungi hutan mangrove.

Manfaat tidak langsung kedua adalah sebagai tempat pemijahan dengan menggunakan rumus model hubungan regresi antara luasan hutan mangrove, upaya penangkapan (effort) dengan produksi udang seperti pada persamaan 11 (Barbier dan Ivar, 1998) yaitu:

) 13 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... 2 2 E r q EM q

h= α −

Dimana : b1 = qα ; b2 = - q2/r h = produksi udang E = Effort

M = luasan hutan mangrove (Ha)

Manfaat tidak langsung yang ketiga adalah sebagai penyimpan karbon. Brown dan Pear (1994) diacu dalam Pearce dan Moran (1994) menjelaskan bahwa karbon dapat tersimpan dalam hutan mangrove berkisar antara 36 hingga 220 ton per ha. Frankhauser (1994) menghitung bahwa nilai per ton karbon tersebut sebesar US$ 20.

Nilai total dari manfaat tidak langsung dapat dirumuskan sebagai berikut :

IUV = ∑ IUVi...………...(14) i =1


(40)

Dimana :

IUV = Indirect Use Value

IUV1 = Pemecah Gelombang IUV2 = Tempat Pemijahan IUV3 = Penyimpan Karbon (3) Manfaat Pilihan (MP)

Manfaat pilihan atau Option Value (OV) yaitu nilai yang menunjukkan kesediaan seorang individu untuk membayar demi kelestarian sumberdaya bagi pemanfaatan di masa datang. Nilai manfaat pilihan ini didekati dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove di Indonesia, yang diestimasi berdasarkan potensi manfaat mangrove sebagai salah satu bahan baku industri farmasi (pharmaceutical goods) yaitu US $ 1.500/km2/tahun atau US $ 15/ha/tahun (Ruitenbeek 1991). Nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai tukar rata-rata US $ terhadap rupiah pada saat penelitian yakni periode 1992 -2004. Manfaat pilihan tersebut dirumuskan sebagai berikut :

M

ha

Dv

OV

=

(

/

)

×

...(15) Dimana :

OV = option value; nilai komersial untuk bahan farmasi Dv = nilai estimasi biodiversity per hektar (benefit transfer) M = luas hutan mangrove (ha)

Nilai Ekonomi Total (NET) atau Total Economic Value (TEV) diformulasikan sebagai berikut :


(41)

NMTL = Nilai manfaat tidak langsung NMP = Nilai manfaat pilihan

4.4.4. Pemodelan Sistem Dinamik Keterkaitan Sumberdaya Mangrove dan Udang

Pemodelan sistem dinamik keterkaitan sumberdaya mangrove dan udang dilakukan untuk melihat interaksi antar variabel dengan pertimbangan aspek waktu, sehingga dapat melihat apa yang terjadi pada tahun yang akan datang juga dapat membuat kebijakan dalam mengelola sumberdaya mangrove yang optimal dan lestari.

Pemodelan dilakukan melalui simulasi model dengan bantuan komputer

software Stella version 7 dengan skenario, yaitu dengan memasukkan variabel-variabel luasan mangrove, tingkat produksi udang, effort (upaya penangkapan),

TR (total revenue), dan harga riil. Pemodelan simulasi model keterkaitan sumberdaya mangrove dan udang ini dilakukan dengan dua skenario, yaitu:

(1) Skenario 1, konservasi 100 % pada kondisi existing

Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Belakang Padang dikonservasi seluruhnya pada kondisi existing pada tahun 2004.

(2) Skenario 2, konservasi 100 % pada kondisi optimal

Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Belakang Padang dikonservasi pada luasan mangrove optimal.

Pemodelan sistem dinamik keterkaitan sumberdaya mangrove dan udang dilakukan dengan mensimulasi luasan mangrove pada kondisi existing pada tahun 2004 dan kondisi optimal di Pulau Belakang Padang dengan bantuan komputer


(42)

dari pustaka dan didukung dengan hasil pengukuran dari lapang yang sudah dianalisis.

4.5 Batasan dan Pengukuran

Beberapa batasan dan pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

• Ekosistem mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur dan pantai berpasir.

• Citra Landsat adalah salah satu jenis citra satelit berresolusi sedang dengan ukuran 30m x 30 m, yang memiliki cakupan areal 180 km x 180 km akan digunakan untuk menghitung luasan mangrove per periode.

• Vector adalah bentuk gambar berupa line point dan area yang di- representasikan sebagai gambar di komputer dengan menggunakan algoritma matematik sehingga gambar tidak akan pernah terlihat bentuk minimumnya, meskipun di zoom (di perbesar) beberapa kali.

• Raster adalah bentuk gambar berupa line point dan area yang di- representasikan sebagai gambar di komputer dengan menggunakan satuan terkecil pixel (picture element) dimana mempunyai batas minimum ketajaman gambar atau resolusi tergantung pixel yang ada.

• Pada penghitungan luas mangrove, tidak memperhitungkan kerapatan mangrove, karena yang diteliti adalah satu-satuan panjang pantai wilayah administratif di Pulau Belakang Padang.


(43)

pohon, arang kayu, sumberdaya perikanan sebagai penyedia umpan, pariwisata, dan pendidikan.

• Manfaat tidak langsung (Indirect Use Value) adalah manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung, misalnya ekoistem mangrove sebagai pemecah gelombang, daerah pemijahan, asuhan dan mencari makan, sebagai penyimpan karbon.

• Manfaat pilihan (Option Value) adalah nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang individu untuk membayar demi kelestarian sumberdaya bagi pemanfaatan di masa depan, didekati dengan nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove Indonesia. Dihitung berdasarkan nilai tukar rata-rata US $ terhadap rupiah (jual dan beli) pada saat penelitian.

• Nilai pasar yaitu digunakan untuk merupiahkan komoditas-komoditas yang langsung dapat dipasarkan. Pendekatan ini terutama untuk menilai manfaat langsung ekosistem hutan mangrove, yaitu hasil hutan dan hasil perikanan. • Harga bukan pasar (non market price) : pendekatan ini digunakan bila

mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komponen sumberdaya yang diteliti, misalnya karena komponen tersebut belum memiliki pasar. Cara ini digunakan untuk merupiahkan nilai manfaat tidak langsung (MTL) ekosistem hutan mangrove.

• Valuasi ekonomi digunakan untuk mengkuantifikasi manfaat keberadaan dari ekosistem yang diteliti.

• Harga ikan nominal adalah harga rata-rata tahunan dari penangkapan udang dari tahun 1994 – 2004, sedangkan harga riil merupakan harga yang telah dijustifikasi dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHK) pada periode yang sama.


(44)

• Biaya penangkapan udang (cost per unit effort) adalah biaya total yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan udang per tahun per unit effort


(45)

V. KEADAAN UMUM WILAYAH KOTA BATAM DAN

KECAMATAN BELAKANG PADANG

5.1

Letak Geografis, Administrasi dan Batas Wilayah

Secara geografis, Kota Batam terletak antara 0

0

55’ - 1

0

55’ Lintang Utara dan

103

0

45

- 104

0

10

Bujur Timur. Berdasarkan Undang-undang nomor 53 Tahun 1999

memiliki total luas wilayah 1.570,35 km

2

. Batas-batas wilayah Kota Batam secara

administratif meliputi : sebelah Utara berbatasan dengan Selat Singapura, sebelah Selatan

berbatasan langsung dengan Wilayah Kecamatan Senayang Kabupaten Selingsing, sebelah

Barat berbatasan langsung Kecamatan Karimun dan Kecamatan Moro Kabupaten Karimun,

dan sebelah Timur berbatasan Kecamatan Bintan Utara dan Bintan Selatan Kabupaten

Kepulauan Riau.

Secara administrasi berdasarkan Undang-Undang No 53 tahun 1999 Kotamadya

Administratif Batam berubah menjadi Kota Batam dengan membawahi 8 kecamatan dan 51

kelurahan. Dengan berlakunya Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 4 Tahun 2002

perubahan status desa menjadi kelurahan dengan rincian yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Sebelum terbentuknya Kotamadya Batam, awalnya merupakan Kecamatan Batam

dengan ibukota pusat pemerintahan di Belakang Padang yang termasuk wilayah

administratif Kabupaten tingkat II Kepulauan Riau. Sejak dikeluarkannya PP No. 34 tahun

1983 tanggal 27 Desember 1983, Wilayah Kecamatan Batam di pecah menjadi 3

Kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Belakang Padang yang terdiri dari 5

Kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Terong, Kelurahan Pecong, Kelurahan Kasu, Kelurahan

Pemping dan Kelurahan Belakang Padang. Nama Kecamatan Belakang Padang diambil

dari nama sebuah pulau yang terletak di Kecamatan Batam.


(46)

Tabel 2.

Nama Kecamatan dan Kelurahan beserta Luas wilayah Berdasarkan Kelurahan

No Kecamatan Kelurahan Luas Wilayah (km2)

1 Belakang Padang Pulau terong 72.1

Pecong 16.59

Pemping 19.35

Kasu 88.46

Belakang Padang 27.65

2 Bulang Pantai Gelam 42.92

Temoyong 22.45

Pulau Setokok 22.84

Batu Legong 31.58

Bulang Lintang 21.57

Pulau Buluh 12.00

3 Galang Pulau Abang 52.70

Karas 70.70

Sijantung 38.80

Sembulang 59.90

Rempang Cate 68.80

Subang Mas 17.40

Galang Baru 4.20

4 Sei Beduk Sagulung 38.76

Batu Aji 29.95

Tanjung Piayu 71.89

Muka Kuning 10.58

5 Nongsa Ngenang 17.00

Kabil 15.00

Batu Besar 7.00

Baloi Permai 5.00

Baloi 3.00

Teluk Tering 15.00

Belian 16.00

Nongsa 8.00

6 Sekupang Tanjung Uncang 7.00

Tanjung Riau 10.00

Tiban Asri 16.00

Tiban Lama 29.00

Tiban indah 10.00

Patam Lestari 10.00

Sungai Harapan 16.00

Tanjung Pinggir 13.00

7 Lubuk Baja Pangkalan Petai 5.02

Batu Selicin 2.15

Kampung Pelita 3.50

Lubuk Baja Kota 2.42

Tanjung Uma 11.90

8 Batu Ampar Bukit Jodoh 15.60

Bengkong Harapan 2.61

Harapan Baru 14.90

Kampung Seraya 2.57

Sungai Jodoh 1.00

Bengkong Laut 31.1


(47)

Kecamatan Belakang Padang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah

111 buah, pulau yang sudah dihuni 47 buah dan pulau yang masih kosong 64 buah.

Nama-nama pulau bepenghuni dan tidak berpenghuni dirinci per kelurahan di Kecamatan

Belakang Padang tahun 2005 disajikan pada Lampiran 1. Kecamatan Belakang Padang

dikelilingi oleh lautan sehingga luas laut lebih besar daripada daratan. Luas laut sebesar

575,30 km

2

dan luas daratan sebesar 224,15 km

2

(Kecamatan Belakang Padang dalam

Angka, 2005).

Secara geografis Kecamatan Belakang Padang terletak pada 13

0

30’ Lintang Utara

dan 103

0

51’ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut : di sebelah Utara

berbatasan dengan Selat Philips (Singapura), sebelah Selatan dengan Kecamatan Moro

(Kep.Riau), sebelah Barat dengan Kecamatan Moro (Kep.Riau), dan sebelah Timur dengan

Kecamatan Sekupang (Kecamatan Belakang Padang dalam Angka, 2005).

5.2

Kondisi Geofisik Wilayah

5.2.1. Topografi dan Struktur Tanah

Wilayah Kota Batam umumnya permukaan tanah digolongkan datar dengan variasi

disana-sini berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 160 M diatas permukaan laut.

Sungai-sungai kecil banyak mengalir dengan aliran pelan dan dikelilingi hutan-hutan serta

semak belukar yang lebat. Dilihat dari perputaran arus yang ada maka perairan di Kota

Batam yang berada di Selat Malaka ini merupakan daerah subur bagi kehidupan perikanan

dan biota lainnya. Perairan Kota Batam merupakan wilayah ekosistem perikanan

Kepulauan Riau yang dipengaruhi oleh gerakan air yang berasal dari Samudera Hindia

yang melewati Selat Malaka dan gerakan arus yang berasal dari Laut Cina Selatan.


(48)

Sedangkan struktur tanah di wilayah Kota Batam sangat dipengaruhi oleh asal

pembentukan dari pulau-pulau tersebut. Pulau-pulau di Kota Batam umumnya merupakan

bahagian dari paparan benua (

continental self

), yang dikenal dengan Paparan Sunda.

Pulau-pulau yang terbentuk merupakan sisa-sisa erosi atau pembentukan daratan

pra tertier

yang

membentang dari Semenanjung Malaysia di utara, sampai dengan pulau-pulau Moro dan

Kundur seta Karimun di bagian selatan. Kebanyakan batuan yang terbentuk merupakan

batuan

metamorf

dan batuan beku yang berumur dari

pra tertier

, sedangkan penyebaran

batuan sedimen terbatas. Hasil penelitian sporadis menunjukkan bahwa jenis tanah yang

terdapat di daerah ini umumnya berupa Organosol,

Humic Clay

dan

Podsolik

. Sedangkan

kawasan dengan fisiografi pegunungan didominasi oleh batuan induk dari batuan granit

yang merupakan batuan terobosan dari zaman

tersier

.

Dilihat dari struktur tanahnya, daerah daratan termasuk dasar perairan pantainya

memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang pertambangan seperti timah bouksit, pasir

kwarsa dan granit. Di samping itu daerah ini potensial bagi kepentingan pertanian,

budidaya perairan, industri dan pariwisata serta pengembangan usaha jasa lainnya.

Permukaan tanah di Kecamatan Belakang Padang pada umumnya dapat

digolongkan datar dengan variasi berbukit-bukit, dengan ketinggian maksimum 128 meter

diatas permukaan laut dan juga terdapat sungai-sungai kecil.

5

5

.

.

2

2

.

.

2

2

K

K

l

l

i

i

m

m

a

a

t

t

o

o

l

l

o

o

g

g

i

i

W

W

i

i

l

l

a

a

y

y

a

a

h

h

Kota Batam beriklim tropis dengan suhu minimum pada tahun 2003 berkisar antara

21,2

0

C-23,2

0

C dan suhu maksimum berkisar antara 30,6

0

C – 33,5

0

C, sedangkan suhu

rata-rata sepanjang tahun 2001 adalah 26,1

0

C – 27,8

0

C. Keadaan tekanan udara rata-rata


(49)

Kelembaban udara di wilayah Kota Batam rata-rata berkisar antara 82-87 %.

Dengan kecepatan angin 14-30 knot atau rata-rata kecepatan angin sebesar 4 knot.

Banyaknya hari hujan selama setahun di Kota Batam pada tahun 2003 adalah 188 hari dan

banyaknya curah hujan setahun 2.075 mm.

Kecamatan Belakang Padang mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum pada

tahun 2005 berkisar antara 21,3

0

C – 23,6

0

C dan suhu maksimum berkisar antara 31,5

0

C-

34,2

0

C. Sedangkan suhu rata-rata sepanjang tahun 2004 adalah 26,2

0

C – 28,4

0

C.

5

5

.

.

3

3

Perekonomian

Wilayah

Perekonomian wilayah Kota Batam termasuk dalam katagori yang cukup baik

apabila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada di Sumatera. Laju

pertumbuhan ekonomi Kota Batam pada tahun 2003 mengalami peningkatan bila

dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Kota Batam

mencapai 7,73 %, sedangkan pada tahun sebelumnya (2002), pertumbuhan ekonomi Batam

mencapai 7,01 %. Jika dilihat dari kontribusi masing-masing sektor pendapatan regional

pada tahun 2003 masih sangat dominan berasal dari sektor industri pengolahan sebesar

70,73 %. Sektor lain yang cukup dominan adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran

sebesar 11,26 %. Sedangkan sektor pertanian termasuk perikanan didalamnya hanya

memberikan kontribusi sebesar 1,68 %, yang merupakan pemberi kontribusi terendah

ketiga.

Perekonomian suatu wilayah baik secara agregat maupun menurut lapangan usaha

dapat dilihat dari angka Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga

berlaku ataupun harga konstan. Masing-masing harga berlaku dan harga konstan tahun

1993 sebagai tahun dasar. Berdasarkan harga berlaku 1993 nilai PDRB 2005 adalah


(50)

sebesar Rp. 24.191.078,43 juta, mengalami kenaikan sebesar 8,41

% dari nilai PDRB 2004

adalah senilai Rp. 22.157.237,85 juta.

Berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, sektor

yang memiliki nilai tertinggi pada tahun 2005 adalah sektor industri pengolahan sebesar Rp

15.300.263,00 juta, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp

4.950.569,35 juta. Sedangkan sektor yang terkecil adalah pertambangan dan penggalian

senilai Rp 89.195,25 juta. Bila dibandingkan dengan tahun 2004 semua sektor berdasarkan

atas dasar harga berlaku mengalami kenaikan.

Sedangkan nilai PDRB tahun 2005 atas dasar harga konstan menurut lapangan

usaha, sektor yang mempunyai nilai terbesar adalah juga sektor industri pengolahan

dengan nilainya Rp 12.721.212,52 juta, selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran

sebesar Rp 4.593.208,93 juta, secara lebih rinci terlihat pada Tabel 3

dan 4.

Tabel 3.

Perkembangan PDRB atas dasar Harga berlaku Menurut Lapangan Usaha di Kota

Batam Tahun 2001-2005

No Lapangan Usaha

PDRB (Dalam Jutaan Rupiah)

2001 2002 2003 2004 2005

1 Pertanian 215.202,64 260.456,62 298.166,56 332.321,71 379.453,13 2 Pertambangan 53.843,40 63.264,54 69.668,68 78.829,75 89.195,25 3 Industri 10.107.924,73 11.522.471,61 12.234.049,57 14.013.007,63 15.300.263,00 4 Listrik dan Air

bersih

49.848,40 58.112,31 84.252,36 88.577,68 93.832,23 5 Bangunan 285.285,40 304.215,79 312.327,40 366.061,16 429.039,40 6 Perdagangan, Hotel

& restoran

4.068.968,31 4.240.803,91 4.488.615,94 4.643.532,64 4.950.569,35 7 Pengangkutan dan

Komunikasi

432.009,43 511.239,15 601.909,62 651.989,42 708.838,20 8 Keuangan,

persewaan dan Jasa

856.516,40 982.788,14 1.471.154,63 1.656.010,80 1.867.548,59 9 Jasa-jasa 223.630,89 257.674,41 290.689,82 326.907,06 372.339,28

PDRB 16.293.229,60 18.201.026,48 19.850.834,58 22.157.237,85 24.191.078,43


(51)

Pendapatan per kapita masyarakat juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan

harga berlaku, pada tahun 2005 pendapatan per kapita telah mencapai Rp 12.217.716,78,

sedangkan pada tahun 2004 sebesar Rp 11.188.263,91.

Pola struktur perekonomian Kota Batam masih mencari bentuk yang lebih

berimbang dan dinamis. Stabilitas politik, keamanan dan ekonomi nasional sangat

menentukan prestasi kinerja perekonomian daerah ini baik langsung maupun tidak

langsung. Adanya pergeseran struktur ekonomi yang terjadi, dari perekonomian yang

bertumpu pada sektor agraris menjadi ekonomi modern belum diikuti oleh perubahan

proporsi pada struktur kesempatan kerja.

Tabel 4

.

Perkembangan PDRB atas dasar Harga Konstan (1993) Menurut Lapangan Usaha

di Kota Batam Tahun 2001-2005

No Lapangan Usaha

PDRB (Dalam Jutaan Rupiah)

2001 2002 2003 2004 2005

1 Pertanian 222.418,65 235.533,49 252.705,50 270.498,08 290.369,69 2 Pertambangan 50.616,69 53.646,73 57.289,44 60.545,54 62.986,70 3 Industri

pengolahan

9.492.176,38 10.243.891,50 10.975.164,41 11.807.538,64 12.721.212,52 4 Listrik dan Air 40.328,94 42.987,60 46.252,74 49.815,34 53.855,42 5 Bangunan 311.076,62 332.677,85 362.367,70 390.789,59 421.440,72 6 Perdagangan, Hotel

& restoran

3.586.730,61 3.779.803,23 4.010.761,44 4.258.733,74 4.593.208,93 7 Pengangkutan dan

Komunikasi

388.005,00 424.624,28 463.588,36 533.554,49 616.994,45 8 Keuangan,

Persewaan dan Jasa

800.905,97 847.060,15 957.827,60 1.033.339,64 1.124.843,55 9 Jasa-jasa 203.671,77 219.567,99 231.855,01 248.676,74 266.979,92

PDRB 15.095.930,63 16.179.809,82 17.357.812,20 18.653.491,80 20.151.891,91

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Batam, 2006

5.3.1. Perekonomian dari Sektor Pariwisata

Sektor pariwisata di Kota Batam sangat mendukung perekonomian daerah tersebut

terlihat dari data PDRB tahun 2005 sektor pariwisata memberikan kontribusi terbesar

kedua yaitu sebesar Rp 4.593.208,93 juta. Hal ini disebabkan Kota Batam sebagai wilayah


(52)

manca negara yang didukung oleh potensi alam dan kekayaan serta keindahan kehidupan

bawah lautnya.

Kota Batam memiliki potensi pariwisata yang sangat menjanjikan, khususnya

pengembangan pariwisata bahari

.

Pariwisata merupakan salah satu hal yang sangat penting

artinya bagi daerah. hal ini tercermin dari arah dan kebijakan Pemerintah Daerah untuk

tetap mengembangkan usaha ini, termasuk pengadaan berbagai event-event lokal dan

internasional seperti

dragon boat race

, pertandingan panjat tebing tingkat nasional, lomba

keterampilan dalam penerapan pengetahuan

diving

, orientasi bawah air,

snorkling

, renang

antar selat dan lain-lain.

Potensi ini meliputi kawasan pantai berupa mangrove dan pantai-pantai berpasir

putih serta kawasan laut berupa terumbu karang dan daerah rekreasi pemancingan.

Berbagai aktivitas pariwisata yang dapat dilakukan pada resort-resort tersebut antara lain

berupa

scuba diving, fishing, snorkling, boating, swimming

dan

water siiking

. Hingga saat

ini objek-objek wisata ini telah dipasarkan hingga Singapura dan Malaysia.

Semuanya itu tidak lain untuk mendorong peningkatan pendapatan daerah maupun

kehidupan masyarakat setempat. Lokasi/objek wisata pesisir yang sering dikunjungi, baik

oleh wisatawan domestik maupun mancanegara adalah kawasan wisata pantai Trikora,

Bintan Beach Resort Pulau Mapur, serta kawasan Bintan Beach International Resort

(BBIR) di Lagoi Bintan Utara. Khusus untuk BBIR, terdapat fasilitas yang lebih kompleks

baik untuk kepentingan wisata, rekreasi, pertemuan maupun olahraga eksklusif lainnya.

Namun di Pulau Belakang Padang, sektor pariwisata tidak begitu ramai, hanya saat

hari libur pariwisata di Melawa (Pulau Belakang Padang) dikunjungi wisatawan, hal ini

diakibatkan kurangnya pengelolaan yang baik dan kurangnya promosi pariwisata.


(53)

1.000,00 per orang, juga untuk kendaraan yang masuk. Keindahan pantai Melawa di Pulau

Belakang Padang sebenarnya cukup indah, namun kurang pengelolaan sehingga sepi

pengunjung. Keindahan pariwisata pantai Melawa dan tarif masuk pantai Melawa dapat

dilihat pada Gambar 5 dan 6.


(54)

5.4

Kependudukan dan Mata Pencaharian

Penduduk merupakan modal dasar pembangunan suatu daerah. Salah satu ciri khas

masalah kependudukan di Kota Batam adalah pemusatan sebagian besar penduduk di

daerah pantai, pusat-pusat pemerintahan dan perdagangan. Jumlah penduduk yang besar

baru bisa menjadi modal dasar yang efektif bagi pembangunan Nasional jika penduduk

yang besar tersebut berkualitas baik. Namun dengan pertumbuhan penduduk yang pesat

sulit untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan secara layak dan merata. Hal

ini juga berarti bahwa penduduk yang besar dengan kualitas yang tinggi tidak akan mudah

untuk dicapai. Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau disekitarnya dikembangkan oleh

Pemerintah Republik Indonesia menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan

pariwisata dan sejak terbentuknya Kotamadya Batam tanggal 24 Desember 1983, laju

pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan penduduk dari

hasil sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama periode 1990-2000 sebesar 12,87 %

dan laju pertumbuhan penduduk Kota Batam tahun 2003 sebesar 5,46 % dibanding tahun

2002. Hal ini membuktikan Batam mempunyai daya tarik sendiri, khususnya bagi

pendatang yang ingin mendapatkan lapangan pekerjaan.

Berdasarkan data registrasi penduduk akhir tahun 2003, penduduk Kota Batam

keseluruhan tercatat 562.661 jiwa, dari jumlah penduduk tersebut tersebar di 8 kecamatan,

51 kelurahan, banyaknya penduduk WNI (Warga Negara Indonesia) dan WNA (Warga

Negara Asing) per wilayah dan jenis kelamin pada tahun 2003 dapat dilihat pada Lampiran

2. Namun penyebarannya tidak merata sehingga mengakibatkan kepadatan penduduk per

Km2 di daerah ini bervariasi. Dari jumlah penduduk tersebut 268.431 jiwa berjenis

kelamin laki-laki sedangkan 294.230 jiwa perempuan dengan sex ratio 91,23. Banyaknya


(55)

5. Sebagian besar penduduknya terkonsentrasi di Kecamatan Sei Beduk dan Kecamatan

Batu Ampar. Hal ini menyebabkan konsentrasi kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat

lebih banyak barada pada kecamatan tersebut.

Tabel 5. Banyaknya Penduduk Kota Batam Menurut Jenis Kelamin Tahun 1993-Juni 2004

Sumber : Dinas Kependudukan, Capil dan KB Kota Batam, 2005

Ketenagakerjaan selalu menjadi masalah di setiap daerah, tidak terkecuali Kota

Batam. Banyaknya pencari kerja tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia,

sehingga pengangguran tidak terelakkan. Dari data yang diperoleh sampai dengan Juni

2004 tercatat 12.048 orang pencari kerja yang terdiri dari 4.467 berjenis kelamin pria dan

7.581 berjenis kelamin wanita dan komposisi terbanyak dari lulusan SMTA sederajat untuk

mengisi lowongan kerja 7.343 pada tahun 2003 dan angka ini terus meningkat setiap

tahunnya seiring dengan laju pertumbuhan penduduk disetiap daerah dan banyaknya

lulusan yang telah menyelesaikan studinya, baik pada jenjang pendidikan formal maupun

non-formal. Sedangkan yang bermata pencaharian sebagai nelayan berjumlah sekitar 8930

RTP atau 1,53 % dari total penduduk yang ada di Kota Batam.

Tahun Laki-laki

(orang)

Perempuan

(orang)

Jumlah

(orang)

Sex Ratio

1993 81.437 65.268

146.705

124,77

1994 89.565 74.337

163.902

120,49

1995 100.418 95.662 196.080 104,97

1996 123.685

124.273

247.958 99,53

1997 127.410

127.769

255.179 99,72

1998 154.300

139.400

293.700 110,69

1999 160.066

176.891

336.957 90,49

2000 210.325

227.033

437.358 92,64

2001 244.184

282.967

527.151 86,29

2002 257.272

292.679

549.951 87,90

2003 268.431

294.230

562.661 91,23


(1)

111

Lampiran 12.Perhitungan Struktur Biaya Penangkapan Udang dengan Menggunakan Indeks Harga Konsumen di Kecamatan Belakang Padang

Tahun

produksi Udang (ton)

Total Produksi Trammel

net(Ton) Share IHK

IHK (standar 2002)

Real cost (Rp/effort)

1994 70.75 77.09 0.92 152.3 49.85

26,103.75

1995 67.15 157.89 0.43 174.63 57.15

29,931.04

1996 64.58 105.05 0.61 181.32 59.34

31,077.69

1997 59.83 89.55 0.67 189.4 61.98

32,462.58

1998 59.45 89.75 0.66 220.08 72.03

37,721.03

1999 64.84 107.64 0.60 298.37 97.65

51,139.70

2000 54.31 74.45 0.73 295.1 96.58

50,579.23

2001 51.74 66.79 0.77 294.21 96.29

50,426.69

2002 24.13 41.67 0.58 305.54 100

52,368.61

2003 17.01 39.55 0.43 299.71 98.09

51,369.37

2004 37.73 53.63 0.70 197.45 64.62

33,842.32


(2)

112 Lampiran 13. Hasil Simulasi dari efek hilangnya luasan mangrove saat ekuilibrium open access di Pulau Belakang Padang Tahun

1994-2004

Tahun (Year)

Luas Mangrove (Ha)

Produksi Udang (h)

(ton)

Price (P) Nominal

Price (P) Riil (Rp1000)/Ton

Cost ©

(Rp/Perahu) TR =Priil.h

1994 168.4 70.75 8646.56 430997.81 26103.75 30492771.73 142.29 613282 1995 168.4 67.15 31512.26 1801068.90 29931.04 120949003 39.04 703201 1996 164.1 64.58 40119.88 2380878.39 31077.69 153767157.2 30.67 730140 1997 164.1 59.83 21989.28 1363084.72 32462.58 81548339.24 55.95 762677 1998 164.1 59.44 71593.19 5156846.90 37721.03 306546776.3 17.19 886219 1999 164.1 64.84 95425.69 9318636.83 51139.70 604239511.5 12.89 1201478 2000 125.9 54.31 152051.11 14685567.45 50579.23 797499975.3 8.09 1188310 2001 111.1 51.74 118803.17 11439772.46 50426.69 591839107.1 10.36 1184726 2002 111.1 24.13 101373.88 10137388.36 52368.61 244599096.8 12.14 1230350 2003 99.9 17.01 153100.21 15017891.14 51369.37 255474814.5 8.04 1206873 2004 110.5 37.73 166013.15 10728315.75 33842.32 404770504.4 7.41 795092 Rata-rata 141.06 51.96 87329.85 7496404.43 40638.36 326520641.55 31.28 954758.88

Sumber : Hasil Analisis (Februari, 2007)

Perubahan pada Ekuilibrium Produksi (dh) Metric tons

Perubahan pada Ekuilibrium Revenue (pdh) (Rp1000)


(3)

113 Lampiran 14. Penghitungan Nilai Optimal pada Periode 1994 - 2004

1. Nilai optimal produksi udang : y = - 1,3179 X2 + 15,576X + 17,768 dy/dx = - 2,6358 X + 15,576 = 0 -2,6358 X = - 15,576

X = 5,909

y = - 1,3179 (5,909)2 + 15,576 (5,909) + 17,768 = 63,790 ton

2. Nilai optimal luas mangrove : y = - 2,8749 X2 + 36,738 X dy/dx = - 5,7498 X + 36,738 = 0 -5,7498 X = - 36,738

X = 6,3894

y = -2,8749 (6,3894)2 + 36,738 (6,3894) = 117,368 Ha

3. Nilai optimal Total Revenue (TR) y = - 10,057 X2 + 172,62 X – 278 dy/dx = - 20,114 X + 172,62 = 0 - 20,114 X = - 172,62

X = 8,58

y = - 10,057 (8,58)2 + 172,62 (8,58) – 278 = 462, 719

y = 462, 719 X Rp 1.000.000.000,00 = Rp 462.719.000.000,00

4. Nilai optimal upaya penangkapan (effort) y = - 2, 988 X2 + 46,78 X + 56,18

dy/dx = - 5,976 X + 46,78 - 5,976 X = - 46,78 X = 7,828

y = - 2, 988 (7,828)2 + 46,78 (7,828) + 56,18 = 239,276


(4)

  114

Lampiran 15. Persamaan Matematis Simulasi dan Nilai Variabel pada Kondisi Existing

Effort(t) = Effort(t - dt) + (PeubahEffort - OutEffort) * dt INIT Effort = 2144

INFLOWS:

PeubahEffort = Luas_Mangrove*b1/0.9999+Effort OUTFLOWS:

OutEffort = Effort+Luas_Mangrove*b1/0.9999

Luas_Mangrove(t) = Luas_Mangrove(t - dt) + (Pertumbuhan - Penurunan_M) * dt INIT Luas_Mangrove = 110.5

INFLOWS:

Pertumbuhan = IF(Luas_Mangrove<200) then Luas_Mangrove+b1*Effort else 200 OUTFLOWS:

Penurunan_M = Luas_Mangrove

Produksi_Udang(t) = Produksi_Udang(t - dt) + (Pertumbuhan_udang - PenangkapanUdang) * dt

INIT Produksi_Udang = 37.73 INFLOWS:

Pertumbuhan_udang = b1*Effort*Luas_Mangrove-b2*Effort^2 OUTFLOWS:

PenangkapanUdang = Produksi_Udang

TR(t) = TR(t - dt) + (TRIN - PeubahTRB) * dt INIT TR = TRIN

INFLOWS:

TRIN = Produksi_Udang*PriceRiil OUTFLOWS:

PeubahTRB = TR b1 = 0.0268 b2 = -1.141*10^-5 PriceRiil = 10728315.75


(5)

  115

Lampiran 16. Persamaan Matematis Simulasi dan Nilai Variabel pada Kondisi Optimal

 

Effort(t) = Effort(t - dt) + (PeubahEffort - OutEffort) * dt INIT Effort = 2393

INFLOWS:

PeubahEffort = Luas_Mangrove*b1/0.9999+Effort OUTFLOWS:

OutEffort = Effort+Luas_Mangrove*b1/0.9999

Luas_Mangrove(t) = Luas_Mangrove(t - dt) + (Pertumbuhan - Penurunan_M) * dt INIT Luas_Mangrove = 117.368

INFLOWS:

Pertumbuhan = IF(Luas_Mangrove<200) then Luas_Mangrove+b1*Effort else 200 OUTFLOWS:

Penurunan_M = Luas_Mangrove

Produksi_Udang(t) = Produksi_Udang(t - dt) + (Pertumbuhan_udang - PenangkapanUdang) * dt

INIT Produksi_Udang = 37.73

INFLOWS:

Pertumbuhan_udang = b1*Effort*Luas_Mangrove-b2*Effort^2 OUTFLOWS:

PenangkapanUdang = Produksi_Udang

TR(t) = TR(t - dt) + (TRIN - PeubahTRB) * dt INIT TR = TRIN

INFLOWS:

TRIN = Produksi_Udang*PriceRiil OUTFLOWS:


(6)

  116

b1 = 0.0268 b2 = -1.141*10^-5 PriceRiil = 10728315.75