ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KOTA KEDIRI SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH.

(1)

OTONOMI DAERAH

SKRIPSI

Oleh :

YESSICA ADIGUNA PAHLAWI 0513010314/FE/EA

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

PADA KOTA KEDIRI SEBELUM DAN SESUDAH

OTONOMI DAERAH

yang diajukan :

YESSICA ADIGUNA PAHLAWI 0513010314/FE/EA

disetujui untuk ujian lisan oleh

Pembimbing Utama

Drs. Ec. Syafi’i, AK, MM Tanggal : ……….

Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi

Drs. Ec. H. R.A. Suwaidi, MS NIP. 196003301986031003


(3)

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tugas penyusunan skripsi dengan judul : “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pada Kota Kediri Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah” dapat terselesaikan dengan baik.

Adapun maksud penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi sebagian persyaratan agar memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur di Surabaya.

Sejak adanya ide sampai tahap penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Dr. H. Dhani Ichsanudin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Dr. Sri Trisnaningsih, SE, MSi, sebagai Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 4. Bapak Drs. Ec. Syafi’i, AK, selaku Dosen Pembimbing Utama, yang telah banyak

meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan saran untuk penulis.

5. Para dosen dan staff karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur


(4)

dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini.

7. Ibunda dan Ayahanda yang tercinta, serta saudara dan keluarga besar, tiada kata yang bisa ananda ucapkan, selain kata terima kasih yang sebanyak - sebanyaknya, karena beliaulah yang selama ini telah memberi dorongan semangat baik material maupun spiritual, dan memberikan curahan kasih sayangnya sampai skripsi ini selesai.

8. Specially for my little angle from heaven, who life my live.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya atas semua bantuan yang telah mereka berikan selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dengan terbatasnya pengalaman serta kemampuan, memungkinkan sekali bahwa bentuk maupun isi skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang mengarah kepada kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Sebagai penutup penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan sumbangan kecil yang berguna bagi masyarakat, almamater, dan ilmu pengetahuan.

Surabaya, Juni 2011


(5)

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 8

2.2. Landasan Teori ... 10

2.2.1. Akuntansi Sektor Publik ... 10

2.2.2. Otonomi Daerah... 11

2.2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)... 14

2.2.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 15

2.2.4.1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 15

2.2.4.2. Sumber – Sumber Pendapatan Daerah... 17

2.2.4.3. Usaha – Usaha Yang Dapat Dilakukan Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 19


(6)

2.2.6.1. Jenis Laporan Keuangan Daerah ... 24

2.2.6.2. Pemakai Laporan Keuangan Daerah... 25

2.2.6.3. Tujuan Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah . 26 2.2.7. Analisis Rasio Keuangan ... 26

2.2.7.1. Pengertian Analisis Rasio Keuangan ... 26

2.2.7.2. Jenis – Jenis Analisis Rasio Keuangan Pada APBD ... 28

2.2.5. Desentralisasi ... 33

2.3. Kerangka Pikir ... 34

2.4. Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel... 38

3.2. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel... 39

3.2.1. Populasi... 39

3.2.2. Sampel... 40

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.3.1. Jenis dan Sumber Data... 40

3.3.2 Pengumpulan Data ... 41

3.4. Teknik Analisis Dan Pengujian Hipotesis ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 42

4.4.1. Sejarah Kota Kediri... 44


(7)

4.4. Pembahasan ... 52 4.4.1. Implikasi ... 52

4.4.2. Perbedaan Dengan Penelitian Sebelumnya... 54 4.4.3. Konfirmasi Hasil Penelitian Dengan Tujuan

Dan Manfaat... 54 4.4.4. Keterbatasan Penelitian... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan... 56 5.2. Saran ... 56


(8)

Halaman Tabel. 1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Kediri

Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah

Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Tahun 2004... 4

Tabel. 2.1. Laporan Surplus Defisit Anggaran Pemerintah Daerah Untuk Periode 31 Desember 20XX... 23

Tabel. 4.1. Rekapitulasi Data “Rasio Kemandirian” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri... 47

Tabel. 4.2. Rekapitulasi Data “Rasio Pertumbuhan” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri... 48

Tabel. 4.3. Rekapitulasi Data “Tingkat Desentralisasi Fiskal” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri... 49

Tabel. 4.4. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangani... 50

Tabel. 4.5. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangani... 51


(9)

Halaman Gambar. 2.1. Diagram Kerangka Pikir... 35


(10)

OTONOMI DAERAH

Oleh :

YESSICA ADIGUNA PAHLAWI

Abstrak

Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai macam permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas terhadap daerah (pemerintah daerah), yang dikenal dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan dikeluarkannya UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 yang merupakan revisi terhadap UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Kedua UU di bidang otonomi daerah tersebut berdampak pada terjadinya pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam membiayai program pembangunannya dapat digunakan analisis rasio keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris adanya perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dan data yang digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, Jawa Timur. Data yang diperoleh tersebut dianalisis dengan menggunakan Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangan

Dari hasil Uji analisis dan Uji Hipotesis dapat disimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, sehingga hipotesis yang diajukan tidak teruji kebenarannya. Keyword : Rasio Kemandirian, Rasio Pertumbuhan dan Tingkat


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai macam permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas terhadap daerah (pemerintah daerah), yang dikenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan diharapkan sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 yang merupakan revisi terhadap UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Kedua UU di bidang otonomi daerah tersebut berdampak pada terjadinya pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.


(12)

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimilikinya.

Untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam membiayai program pembangunannya dapat digunakan analisis rasio keuangan. Penggunaan analisis rasio terhadap APBD belum banyak dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparansi, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. (Halim, 2002: 127)

Menurut Widodo seperti yang telah dikutip oleh Halim (2002: 128), ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD yaitu Rasio Kemandirian, Rasio Pertumbuhan dan Tingkat Desentralisasi Fiskal.

Rasio Kemandirian menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber


(13)

pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat maupun dari pinjaman. (Halim, 2002: 128). Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) semakin rendah Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrawati (2003) yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Selanjutnya Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) menunjukkan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah tercapai dari periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu diperhatikan. (Halim, 2002: 129). Semakin tinggi rasio pertumbuhan mengandung arti bahwa pemerintah daerah mampu dalam mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Penelitian yang dilakukan Indrawati (2003) membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian dan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Tingkat Desentralisasi Fiskal menunjukkan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan, ini berarti bahwa pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program regional, sehingga


(14)

seluruh pertanggungjawaban pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. (Hariyadi 2002: 237). Semakin tinggi tingkat Desentralisasi Fiskal mengandung arti bahwa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat, dengan harapan dapat mendorong efisiensi sektor publik, akuntabilitas publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2003) yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang – Undanh hak otonomi daerah.

Dari data yang diperoleh dari Kabupaten Kediri mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) antara sebelum dan sesudah berlakunya UU otonomi daerah, dapat disajikan pada tabel 1.1, sebagai berikut:

Tabel 1.1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Kediri

Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Tahun 2004

Pendapatan Asli Daereh Kota Kediri Sebelum Diberlakukannya

Hak Otonomi Daerah

Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah

1999 6.336.923,00 2005 40.135.033,00

2000 7.871.025,00 2006 52.905.244,00

2001 13.704.520,00 2007 54.473.977,00

2002 12.182.314,00 2008 61.072.155,00

2003 26.209.849,00 2009 70.462.352,00

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010

Dari tabel 1.1, menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang cukup signifikan antara tingkat pendapatan asli daerah pada Kota Kediri sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah. Fenomena ini membuktikan bahwa dengan hadirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata membawa nuansa baru Pemerintahan Indonesia. Undang-undang tersebut memberikan keleluasaan untuk


(15)

menyelenggarakan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsp- prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi keanekaragaman Daerah.

Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumber-sumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pada Kota Kediri Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah yang dapat diajukan dalam penelitian ini yaitu: 1. Apakah terdapat perbedaan rasio kemandirian pada kota Kediri antara

sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah?

2. Apakah terdapat perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah?

3. Apakah terdapat perbedaan tingkat desentralisasi fiscal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah?


(16)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini: 1. Untuk mengetahui adanya perbedaan rasio kemandirian pada Kota

antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

2. Untuk membuktikan adanya perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

3. Untuk menganalisis adanya perbedaan tingkat desentralisasi fiscal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang dikemukakan, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu antara lain:

1. Bagi Pemerintah Daerah Kota Kediri.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.

2. Bagi Peneliti.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai langkah kongkrit untuk penerapan ilmu berdasarkan teori yang selama ini didapat, serta dapat menambah pengetahuan tentang kinerja keuangan pemerintah daerah.


(17)

3. Bagi Pihak Lain.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan khasanah perpustakaan, bahan referensi dan bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut, yang berhubungan dengan masalah yang ada.


(18)

BAB II

TINAJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait dengan penelitin ini, telah dilakukan oleh:

1. Halim (2002) a Judul :

“Anggaran Daerah dan Fiscal Stress (Sebuah Studi Kasus Pada Anggaran Daerah Propinsi Di Indonesia)”.

b Permasalahan:

Apakah ada kemungkinan penurunan proporsi peran anggaran dan realisasi total penerimaan pendapatan daerah sebelum dan saat “fiscal stress” dengan focus pada Pemerintah Propinsi se-Indonesia.

c Kesimpulan :

1) Bahwa setahun setelah fiscal stress yang terjadi di tahun 1997 ternyata secara rata-rata dari seluruh propinsi di Indonesia tidak (belum) menurunkan PAD terhadap total anggaran penerimaan atau pendapatan daerah propinsi.

2) Dari komponen primadona PAD yang terpengaruh secara signifikan adalah proporsi (peran) hasil retribusi daerah, sementara untuk hasil pajak daerah, proporsi (peran) terhadap PAD tidak terpengaruh bahkan proporsi sedikit naik.


(19)

2. Ningrum (2003) a Judul :

“Kinerja Keuangan Daerah Pada Era Otonomi Daerah.” b Permasalahan:

Apakah terjadi perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah adanya otonomi daerah?

c Kesimpulan:

1) Terdapat perbedaan tingkat kemampuan pembiayaan dan mobilitas pemerintah daerah kabupaten atau kota sebelum berlakunya UU otonomi daerah.

2) Terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan sesudah berlakunya UU otonomi daerah.

3. Indrawati (2003) a Judul :

Perbedaan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Propinsi Jawa Timur.

b Permasalahan:

1) Apakah terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah?

2) Apakah terdapat perbedaan rasio keserasian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah?

3) Apakah terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah?


(20)

c Kesimpulan:

1) Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

2) Tidak terdapat perbedaan rasio keserasian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

3) Terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Adapun persamaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama membahas mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah, sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada objek dan periode penelitian, sehingga penelitian ini bukan merupakan replikasi.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Akuntansi Sektor Publik

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang definisi Akuntansi Sektor Publik (ASP), yaitu antara lain:

1. Bastian (2001: 6)

Merupakan mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Yayasan Sosial pada proyek kerjasama sector publik dan swasta.


(21)

2. Rosjidi (2001: 34)

Merupakan proses pengidentifikasian, pengukuran dan pengkomunikasian informasi ekonomi dari lembaga-lembaga negara, aparatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan seluruh satuan kerjanya serta aparatur perekonomian negara dan daerah dengan semua unit organisasinya berdasarkan pada hukum publik, kecuali Persero dan Perseroda yang didasarkan pada hukum dagang (Commercial Law) sebagai bagian dari hukum privat.

3. Halim (2002: 143)

Merupakan sebuah kegiatan jasa dalam rangka penyediaan informasi kuantitatif terutama yang bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari pihak-pihak yang berkepentingan atas berbagai alternatif arah tindakan. 4. Mardiasmo (2002: 14)

Merupakan suatu alat informasi yang baik bagi pemerintah sebagai manajemen maupun alat informasi bagi publik.

2.2.2. Otonomi Daerah

Berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(22)

Otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan apabila disertai dengan otonomi keuangan yang efektif. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial haruslah independen terhadap pemerintah pusat, dengan jalan sebaik mungkin menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah. Keuangan pemerintah daerah yang kuat dapat meningkatkan efisiensi sektor publik dan mengurangi kebutuhan akan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah/ regional

Skema otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun 1999 pada dasarnya bukan mengenai pengaturan kembali hubungan kekuasaan melainkan juga perlu menyentuh dimensi “ pembiayaan “ (ekonomi). Pemisahan antara kebijakan pemerintah dan masalah perimbangan kekuasaan telah dibaca oleh banyak kalangan sebagai siasat pusat untuk tetap memegang kendali meskipun telah menyuarakan konsep ekonomi. Dengan kontrol anggaran belanja dan pendapatan, bisa dipastikan abanyak inisiatif daerah yang bakal kandas dan pada giliranya akan “mengadahkan tangan” pada pusat. Ratio pembagian hasil yang masih kurang, merupakan indikasi lain dari suatu kenyataan bahwa pusat memang tidak sepenuhnya memberika kesempatan pada daerah untuk bisa tumbuh berkembang dan berkembang secara wajar.

Disamping itu, krisis ekonomi yang telah terjadi mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi di berbagai daerah, sehingga terjadi peningkatan pengangguran, kemiskinan, dan permasalahan sosial lainnya yang memicu berbagai bentuk unjuk rasa di berbagai daerah sebagai wujud


(23)

ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Penurunan ekonomi di berbagai daerah juga menyebabkan penurunan Pendapatan Asli Daerah sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan pemerintah , pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah secara otonom (Achmad; 2002)

Dalam kaitan dengan otonom daerah atau upaya memperkuat Pendapatan Asli Daerah maka bantuan dari pemerintah pusat sesungguhnya merupakan yang diharapkan dapat mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Hakikat bantuan/ subsidi adalah untuk memperkuat tingkat otonomi suatu daerah. Untuk itu daerah mempunyai kebebasan dalam menggunakan dana-dana bantuan yang ada sehingga mempunyai dampak yang positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah, sehingga diharapkan daerah betul-betul dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang bisa mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah mereka.

Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah , terutama hal ini disebabkan oleh (LPEM-UI, 1999) :

1 Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah, serta sifatnya bervariasi antar dearah.

2 Perannya yang masih kecil dalam total penerimaan daerah, sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat.

3 Kemampuan administrasi daerah yang masih rendah sehingga pungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar

4 Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah, hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.


(24)

2.2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu cerminan dari tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Semakin besar PDRB suatu wilayah maka semakin tinggi tingkat kemajuan pembangunan di wilayah tersebut.

Menurut Sukirno (2000 : 3) menyatakan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang - barang dan jasa dalam suatu daerah yang diproduksi milik negara dalam satu tahun tertentu.

Selanjtnya menurut BPS, Produk Domestik Regional Bruto adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu. PDRB atas harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tersebut, sedang PDRB atas harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar yaitu dimana tahun keadaan perekonomian sedang stabil.

Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan landasan bagi daerah untuk membangun daerahnya secara mandiri dengan lebih mengandalkan kemampuan dan potensi yang dimiliki daerah. Berkaitan dengan kegiatan pembangunan daerah, pengadaan pendanaan pembagunan merupakan salah satu agenda Pemerintah Daerah yang mendesak namun sering menjadi masalah. Adapun kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada ketersediaan potesi ekonomi dan


(25)

pada kemampuan merealisasikan potesi ekonomi tersebut menjadi bentuk – bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan.

Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan identifikasi terhadap wilayah perencanaan dan karakteristik wilayah. karakteristik wilayah perencanaan meliputi berbagai permasalahan dan potensi yang dimiliki daerah.

Rencana pembangunan daerah intensitasnya tiap tahun dapat diketahui melalui Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD). Sumber terbesar dari APBD adalah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Besar kecilnya PAD sangat dipengaruhi oleh intensita kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi beserta masyarakat di daerah. Dengan berkembangnya produksi suatu sub sektor dapat membawa dampak ganda pada kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Dalam hal kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah, berkembangnya produksi suatu sub sektor dalam PDRB berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga diharapkan dapat pula meningkatkan penerimaan PAD.

2.2.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

2.2.4.1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) nerupakan penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (perda) sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.


(26)

Menurut BPS, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya.

Sedangkan menurut Mardiasmo (2002 : 132) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik negara dan hasil pengelolahan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain – lain Pendapatan Asli Daerah yang sah,

Sedangkan berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 (dalam Siahaan, 2005 : 112) mendefinisikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah merupakan sebagai penerimaan yang diperoleh oleh suatu daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah dalam kurun waktu tertentu yang pemanfaatannya menjadi hak daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya menurut Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2002 Pendapatan meliputi semua penerimaan yang merupakan hak Daerah dalam satu Tahun Anggaran yang akan menjadi penerimaan Kas Daerah. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan, yang meliputi: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah


(27)

Setiap kelompok pendapatan dapat dirinci menurut jenis pendapatan; Kelompok Pendapatan Asli Daerah meliputi: a) hasil pajak daerah, b) hasil retribusi daerah, c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, d) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Kelompok Dana Perimbangan meliputi: a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumberdaya alam, b) Dana Alokasi Umum, c) Dana Alokasi Khusus. Kelompok lain-lain pendapatan yang sah, antara lain hasil penjualan asset tetap Daerah dan jasa giro (Taufik, 2004 ; 21)

2.2.4.2. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah

Soeparmoko (2001 : 94 - 95) mengemukakan sumber-sumber penerimaan pemerintah ataupun cara-cara yang dapat di tempuh pemerintah untuk mendapatkan uang pada pokoknya dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Pajak 2. Retribusi

3. Keuntungan di perusahaan-perusahaan negara

4. Denda-denda dan perampasan yang dijalankan oleh pemerintah

5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang di berikan oleh pemerintah

6. Hasil dari undian negara

7. Pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri 8. Hadiah


(28)

Selanjutnya menurut Samudra (1995 : 50-51) mengemukakan sumber pendapatan meliputi tidak saja Pendapatan Asli Daerah (PAD), akan tetapi termasuk pula sumber pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan pemerintah pusat, yang dalam realisasinya dapat saja berbentuk bagi hasil penerimaan pajak dari pusat atau lainnya yang berbentu subsidi (sokongan) untuk keperluan pembangunan daerah dan sebagainya.

Alokasi sumber-sumber keuangan pemerintah untuk daerah bisa disebabkan oleh adanya permintaan daerah untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat atau hal lainnya, yang dapat diwujudkan, misalnya dalam bagi hasil pungutan pajak, yakni pajak pusat yang sebagian atau seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah (tax sharing), penyertaan modal pemerintah, yaitu investasi modal pemerintah pusat di daerah, pinjaman, bagian anggaran pusat yang dialokasikan untuk pengeluaran-pengeluaran khusus pemerintah daerah yang dibayar langsung oleh pemerintah pusat (Mursinto, 2005 ; 201)

Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pengertian dalam arti sempit. Jadi jelas berbeda dengan pengertian sumber pendapatan daerah (secara global). Sebab dari semua sumber-sumber pendapatan, hanya sebagian saja yang merupakan Pendapatan Asli Daerah. Contoh dari pendapatan asli daerah adalah penerimaan dari pungutan pajak daerah, retribusi daerah, hasil dari perusahaan daerah , dan lainnya yang merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah itu yang digali atau dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan dan merupakan pula


(29)

pendapatan daerahyang sah. Khusus mengenai retribusi daerah, merupakan pungutan langsung yang dikenakan untuk pelayanan tertentu dari pemerintah daerah. Pungutan ini dibedakan dari pajak daerah yang dipungut tanpa menunjuk langsung pelayanan yang diberikan. (Mursinto, 2005 ; 201)

2.2.4.3. Usaha - Usaha Yang Dapat Dilakukan Untuk Meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Ada beberapa faktor yang dapat dilakukan guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di kabupaten maupun kota. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa untuk kabupaten maupun kota Pendapatan Asli Daerah (PAD) seharusnya merupakan sumber utama dalam APBD guna pembangunan daerahnya. Dengan demikian ketergantungan terhadap pemerintah pusat menjadi semakin berkurang.

Faktor internal yang dapat ditempuh guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah diantaranya adalah meninjau kembali kelembagaan yang ada saat ini dalam artian dinas penghasil di kabupaten maupun kota. Hal ini berarti apakah lembaga atau dinas penghasil di kabupaten maupun kota sudah bekerja secara optimal. Kenyataan ini sangat penting sekali untuk menilai diri sendiri apakah fungsi pelayanan telah dijalankan secara optimal. Diakui atau tidak, menilai diri sendiri bukan sebuah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Bila dikaitkan dengan PP Nomer 8 Tahun 2003, yang pada prinsipnya berisi tentang struktur pemerintahan baik kabupaten maupun kota yang ramping


(30)

tetapi kaya fungsi pada era otonomi daerah. Memang kenyataan yang terjadi perubahan struktur organisasi yang sangat mendasar sampai saat ini masih belum diikuti dengan budaya organisasi yang memadai.

Seperti diketahui masih banyak penarikan pajak maupun retribusi yang tidak melalui hanya satu dinas penghasil melainkan melalui beberapa dinas. Kenyataan ini menimbulkan birokrasi yang relatif cukup panjang dan memerlukan waktu penyelesaian cukup lama. Bila kondisi suatu kabupaten maupun kota seperti demikian sebaiknya secepatnya dilakukan perubahan.

Faktor internal lainnya adalah perlunya peninjauan kembali terhadap Perda-perda di kabupaten dan kota yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah. Diakui atau tidak masih banyak Perda-perda yang tumpang tindih antara satu sama lain. Tentu saja berkaitan dengan perda ini, tentunya harus bekerja sama dengan pihak legislatif dalam hal ini DPRD kabupaten dan kota. Inventarisasi terhadap Perda-perda yang berkaitan dengan PAD tersebut harus secepatnya dilakukan, agar supaya dapat diketahui Perda yang tumpang tindih. Memang inventarisasi yang harus dilakukan ini memerlukan waktu cukup lama karena berkaitan dengan pihak lain dalam hal ini legislatif.

Faktor internal lainnya adalah perlunya dilakukan pemetaan terhadap obyek maupun subyek pajak dan retribusi yang potensial. Pemetaan ini tidak hanya dilakukan terhadap besaran dari pajak maupun retribusi tetapi juga jenis obyek pajak maupun wajib pajak. Melalui pemetaan ini, diharapkan akan diketahui jenis-jenis pajak apa yang belum


(31)

tergali maupun wajib pajak yang belum terdaftar sebagai wajib pajak. Cara ini berguna sebagai dasar perencanaan guna menentukan besarnya Pendapatan Asli Daerah di masa selanjutnya.

Faktor internal selanjutnya adalah perlu adanya kemudahan-kemudahan terhadap form-form isian sehingga mudah dimengerti oleh wajib pajak maupun proses penyelesaian kewajiban wajib pajak. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui kerja sama dengan pihak lain dalam hal ini bank sehingga wajib pajak tidak perlu lagi datang ke dinas penghasil untuk membayar pajak. Dengan demikian akan dapat dihindari adanya kerja sama antara wajib pajak dengan oknum-oknum aparat dinas penghasil.

Selain faktor Internal tersebut diatas, faktor internal juga mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu misalnya masih banyak perilaku wajib pajak yang berusaha bekerja sama dengan oknum-oknum dinas penghasil agar supaya dikenakan pajak yang relatif rendah. Bila menghadapi wajib pajak sedemikian ini maka kedua belah pihak harus dikenakan sangsi yang proporsional. Tentu saja kepastian hukum terhadap mereka ini harus ditegakkan dengan benar.

Faktor eksternal yang juga harus diperhatikan adalah adanya kerja sama antara dinas pemberi ijin dengan dinas yang berhak untuk menarik pajak maupun retribusi. Melalui cara ini akan dapat diketahui adanya wajib pajak baru sehingga dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan perencanaan selanjutnya. Idealnya dapat dilakukan melalui pelayanan satu atap agar supaya deteksi tersebut dapat dilakukan sedini mungkin.


(32)

Faktor eksternal yang juga ikut berperan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah adalah perusahaan-perusahaan jasa yang menangani masalah pajak maupun retribusi. Perusahaan-perusahaan jasa tersebut perlu dilakukan inventarisasi agar supaya dapat dideteksi perusahaan mana yang kurang profesional dalam menjalankan kegiatannya. Bagi perusahaan ini bila tidak bekerja secara profesional harus diberikan sangsi dengan tegas. Hal ini untuk menghindari lamanya proses penyelesaian membayar pajak maupun retribusi yang sebenarnya kesalahannya terletak pada perusahaan jasa tersebut, namun seringkali ditimpakan pada dinas penghasil.

2.2.5. Kinerja Keuangan Daerah

Kinerja pemerintah daerah tidak dapat dinilai berdasarkan laba yang diperoleh karena pemerintah daerah bukan perusahaan pencari laba. Mungkin saja pemerintah daerah melakukan aktivitas menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari biayanya sehingga mengalami surplus. Akan tetapi surplus yang diperoleh tidak berarti menunjukkan kinerja unit pemerintah yang bagus, sebab harus dilihat apakah surplus tersebut karena tarif yang terlalu tinggi yang dibebankan terhadap publik.

Kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai penyusun dan pelaksana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dapat digambarkan dalam suatu laporan kinerja keuangan surplus/deficit pemerintah.


(33)

Dengan demikian laporan surplus atau defisit pada anggaran adalah merupakan suatu laporan yang menyajikan tentang pendapatan pemerintah daerah selama satu periode dan biaya untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan Laporan surplus-defisit anggaran pemerintah daerah yang dapat disajikan pada tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1. : Laporan Surplus Defisit Anggaran Pemerintah Daerah Untuk Periode 31 Desember 20XX

No. Rek Keterangan Jumlah (Rp)

PENDAPATAN:

Pendapatan pajak hotel Pendapatan retribusi pasar Pendapatan laba BUMD

Pendapatan bagi hasil pajak dan bukan pajak Pendapatan DAU

Total Pendapatan BELANJA: Belanja rutin

Belanja perjalanan dinas Belanja barang

Belanja pegawai

Biaya sosialisasi akuntansi Jumlah belanja rutin Belanja pembangunan

Belanja pembangunan pertanian Belanja pembangunan industri Belanja pembangunan agama Jumlah belanja pembangunan Total Belanja Surplus/Defisit xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx Sumber: Halim, 2002, Akuntansi Keuangan Daerah, Penerbit Salemba


(34)

2.2.6. Laporan Keuangan Daerah

2.2.6.1. Jenis Laporan Keuangan Daerah

Laporan keuangan daerah menurut IPSAS (International Public Sector Accounting Standart) seperti yang dikutip oleh Bastian (2001: 177) terdiri dari:

1. Laporan Posisi Keuangan / Neraca.

Laporan yang memberikan gambaran utuh suatu entitas (pemerintah daerah) pada suatu titik waktu. Dalam neraca akan tergambar elemen-elemen yang menyusun entitas tersebut, sehingga neraca sering disebut sebagai potret keuangan suatu entitas.

2. Laporan Surplus-Defisit / Laporan Kinerja Keuangan.

Laporan surplus-defisit adalah laporan yang menggambarkan kinerja keuangan entitas (pemerintah daerah) dalam satu periode akuntansi. Kinerja dalam hal ini digambarkan dengan kemampuan pemerintah daerah dalam menciptakan surplus. Ketika total biaya lebih besar daripada total pendapatan, maka terjadi defisit.

3. Laporan Arus Kas.

Laporan arus kas adalah laporan yang menggambarkan perubahan posisi kas dalam suatu periode akuntansi. Didalam laporan arus kas, perubahan posisi kas akan dilihat dari tiga sisi, yaitu kegiatan operasi, pendanaan dan investasi. Laporan arus adalah laporan yang selama ini dihasilkan oleh system akuntansi berbasis kas yang sebelumnya dianut oleh pemerintah daerah meskipun dalam format yang tidak sama persis.


(35)

4. Laporan Perubahan Ekuitas Dana.

Laporan ekuitas dana menyajikan informasi mengenai perubahan surplus dan defisit anggaran akibat berbagai transaksi yang terjadi dalam satu periode. Laporan ini merupakan pelengkap dari laporan surplus/defisit anggaran.

5. Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Perhitungan Anggaran. Merupakan suatu laporan yang menggambarkan selisih antara jumlah yang dianggarkan dalam APBN diawal periode dengan jumlah yang telah direalisasikan dalam APBD diakhir periode.

2.2.6.2. Pemakai Laporan Keuangan Daerah

Laporan keuangan daerah akan digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dengan pemerintah daerah baik langsung maupun tidak langsung, sehingga pihak-pihak tersebut disebut sebagai pemakai laporan keuangan pemerintah daerah.

Menurut Halim (2002: 22) pemakai laporan keuangan pemerintah daerah adalah:

1. DPRD.

2. Badan Eksekutif.

3. Badan Pengawas Keuangan.

4. Investor, Kredit dan Donatur Pemerintahan.

5. Analisis Ekonomi dan Pemerhati Pemerintah Daerah. 6. Rakyat.


(36)

2.2.6.3. Tujuan Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah

Menurut Bastian (2006: 96) Tujuan dari pelaporan keuangan umum dalam pemerintah daerah adalah menyadiakan informasi yang berguna untuk tujuan pengambilan keputusan dan untuk mendemonstrasikan akuntabilitas entitas untuk sumber-sumber daya terpercaya dengan:

1. Menyediakan informasi mengenai sumber-sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya finansial.

2. Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas mendanai aktivitasnya dan memenuhi persyaratan kasnya.

3. Menyediakan informasi yang berguna dalam mengevaluasi kemampuan entitas untuk mendanai aktivitasnya dan untuk memenuhi kewajiban dan komitmennya.

4. Menyediakan informasi mengenai kondisi finansial suatu entitas perubahan di dalamnya.

5. Menyediakan informasi agregat yang berguna dalam mengevaluasi kinerja entitas dalam hal kas jasa, efisiensi dan pencapaian tujuan.

2.2.7. Analisis Rasio Keuangan

2.2.7.1. Pengertian Analisis Rasio Keuangan

Menurut Halim (2002: 127) Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Penggunaan analisis rasio terhadap APBD belum banyak dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan mengenai nama


(37)

dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparansi, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi.

Hasil analisis rasio keuangan digunakan untuk:

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

2. Mengukur efektivitas dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3. Mengukur aktivitas pemerintah daerah membelanjakan pendapatan daerahnya.

4. Melihat perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

Pada pemerintah daerah, penggunaan analisis rasio keuangan masih sangat terbatas, karena:

1. Keterbatasan penyajian laporan keuangan yang sifatnya berbeda dengan penyajian laporan keuangan perusahaan.

2. Selama ini penyusunan APBD dilakukan berdasarkan tingkat inflasi dan mengabaikan bagaimana rasio keuangan dalam APBD.

3. Penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi struktur APBD nya.


(38)

2.2.7.2. Jenis-Jenis Analisis Rasio Keuangan Pada APBD

Menurut Widodo seperti yang telah dikutip oleh Halim (2002: 128), ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain:

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.

Kemandirian keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat maupun dari pinjaman.

x100%

Pinjaman dan

Provinsi atau

Pusat Pemerintah Bantuan

Daerah Asli Pendapatan n

Kemandiria

Rasio 

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi parstisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang


(39)

merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.

2. Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.

x100% Diharapkan Yang PAD Penerimaan Target Daerah Asli Pendapatan Realisasi s Efektifita Rasio 

Kemampuan daerah menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio dicapai minimal sebesar 1 atau 100%. Namun semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.

3. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.

x100% PAD Penerimaan Realisasi PAD Memungut n Untuk Dikelaurka Yang Biaya Efisiensi Rasio 

Kinerja pemerintah dalam melakukan pungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 atau di bawah 100%. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik.


(40)

4. Rasio Aktivitas. a Rasio Keserasian.

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin ke riil.

x100% APBP Total Rutin Belanja Total APBD Terhadap Rutin Belanja Rasio  Dan x100% APBD Total n Pembanguna Belanja Total APBD Terhadap n Pembanguna Belanja Rasio 

Belum ada patokan yang pasti mengenai besarnya rasio rutin maupun pembangunan terhadap Anggaran Pendapatan dan Balanja Daerah (APBD) yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Sebagai daerah bagian dari negara yang berkembang, peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan yang relatif masih kecil, sangat perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.

b Penyerapan Dana Per Triwulan.

Penyerapan dana per triwulan menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan dan mempertanggungjawabkan secara periodic atas kegiatan yang


(41)

direncanakan pada masing-masing triwulan. Hal ini sesuai dengan pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah yang menegaskan bahwa Pemerintah Daerah menyampaikan laporan triwulan pelaksanaan APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Apabila realisasi penerimaan pendapatan per triwulan dikurangi realisasi pengurangan per triwulan terjadi surplus dan sementara penyerapan dana untuk pengeluaran terbesar terjadi pada periode triwulan terakhir, hal ini berarti beban kerja pelaksanaan pembangunan terpusat pada kerja dan sumber daya lainnya pada masing-masing periode triwulan terakhir tersebut merupakan tahap penyelesaian dan masa pemeliharaan proyek.

5. Debt Service Coverage Ratio (DSCR).

Dalam rangka melaksanakan sarana dan prasarana pembangunan di daerah, selain menggunakan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif lain, yaitu dengan melakukan pinjaman, sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu:

a Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75% dari penerimaan APBD tahun sebelumnya.

b DSCR minimal 2,5

DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagian Daerah (BD), dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah serta Dana


(42)

Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi Belanja Wajib (BW), dengan pejumlahan Angsuran Pokok, Bunga dan Biaya Pinjamam lainnya yang jatuh tempo.

100% x Pinjaman) Biaya Bunga Angsuran (Pokok Total BW -DAU) BD (PAD DSCR     

c Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman.

d Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan yang dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk pembelian pinjaman dan pelayanan masyarakat.

e Pinjaman jangka pendek untuk pengaturan arus kas. f Ketentuan yang menyangkut prosedur.

g Mendapatkan persetujuan DPRD. h Dituangkan dalam kontrak. 6. Rasio Pertumbuhan.

Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) mengikuti seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah tercapai dari periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu diperhatikan.

7. Tingkat Desentralisasi Fiskal.

Ukuran ini menunjukkan dan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan, ini berarti bahwa pemerintah pusat memberikan


(43)

otonomi kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program regional, sehingga seluruh pertanggungjawaban pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. Tingkat desentralisasi fiscal diukur dengan menggunakan rasio yaitu Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah (Hariyadi 2002: 237)

2.2.8. Desentralisasi

Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect (aspek politik kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi negara) (Rasyid, 2000: 78)

Menurut Nugroho (2000: 42) Desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat kebagian-bagiannya, baik bersifat wilayah maupun fungsi. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan bersama-sama. Di dalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu ikut serta didalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing.

Menurut Nurcholis (2005: 3) Desentralisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Desentralisasi territorial (territorial decentralisatie) yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi territorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan.


(44)

2. Desentralisasi fungsional (fungcionale decentralisatie) yang pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa desetralisasi adalah pelimpahan atau pendelegasian wewenang dari pusat ke daerah-daerah otonom sehingga organisasi perlu diselenggarakan bersama-sama.

Desentralisasi fiscal terutama dimaksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-factor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan membawa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat, desentralisasi fiscal diharapkan dapat mendorong efisiensi sector publik, juga akuntabilitas publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis.

Tingkat Desentralisasi Fiskal dapat diformulasikan sebagai berikut:

100% x Daerah Penerimaan

Total

Daerah Asli

Pendapatan Fiskal

sasi Desentrali

Tingkat 

Sumber : Halim (2002: 137)

2.3. Kerangka Pikir

Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu yang telah dijelaskan sebelumnya, maka untuk pendukung hasil penelitian maka diajukan beberapa premis, sebagai berikut :

Premis 1 : Salah satu alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan daerah adalah dengan menggunakan rasio keuangan


(45)

Premis 2 : Terdapat perbedaan rasio kemandirian dan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi

daerah (Indrawati, 2003)

Premis 3 : Terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan sesudah diberlakunya UU hak otonomi daerah.(Ningrum, 2003) Sesuai dengan perumusan masalah dan fakta-fakta pendukung yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka untuk memudahkan analisis dapat disusun sebuah diagram kerangka pikir yang disajikan pada gambar 2.1, sebagai berikut

Gambar. 2.1 : Diagram Kerangka Pikir

Dari gambar 2.1 dapat dijelaskan bahwa pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 32/2004 dan UU No 33/2004

Rasio Keuangan Daerah

Rasio Kemandirian Rasio Pertumbuhan Tingkat Desentralisasi Fiskal

Menilai Kinerja Keuangan Daerah

Sebelum Otonomi Daerah

Uji Beda Dua Rata-Rata Sampel Berpasangan

Sesudah Otonomi Daerah


(46)

yang merupakan revisi terhadap UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Kedua UU di bidang otonomi daerah tersebut berdampak pada terjadinya pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.

Untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam membiayai program pembangunannya dapat digunakan analisis rasio keuangan. Menurut Widodo seperti yang telah dikutip oleh Halim (2002: 128), ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD yaitu Rasio Kemandirian, Rasio Pertumbuhan dan Tingkat Desentralisasi Fiskal.

Rasio Kemandirian menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) semakin rendah

Selanjutnya Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) menunjukkan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah tercapai dari periode berikutnya. Semakin tinggi rasio pertumbuhan mengandung arti bahwa pemerintah daerah mampu dalam mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah.


(47)

Tingkat Desentralisasi Fiskal menunjukkan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan. Semakin tinggi tingkat Desentralisasi Fiskal mengandung arti bahwa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat, dengan harapan dapat mendorong efisiensi sektor publik, akuntabilitas publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis.

2.4. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut H1 : Diduga terdapat perbedaan rasio kemandirian pada Kota Kediri antara

sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

H2 : Diduga terdapat perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah. H3 : Diduga terdapat perbedaan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota

Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan (Nazir, 2005: 126).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris apakah ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

Konsep dan definisi operasional, serta skala pengukuran dari masing-masing variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

Kinerja Keuangan, meliputi 1. Rasio Kemandirian (X1)

Rasio kemandirian adalah merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).

Rasio Kemandirian dapat diformulasikan sebagai berikut:

100% x Pinjaman dan Provinsi atau Pusat Pemerintah Bantuan Daerah Asli Pendapatan n Kemandiria Rasio 


(49)

2. Rasio Pertumbuhan (X2)

Rasio pertumbuhan adalah merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).

Rasio Pertumbuhan dapat diformulasikan sebagai berikut:

100% x 1 -Yrt 1) -(Yrt -Yrt n Pertumbuha Rasio 

Sumber : Halim (2002: 135)

3. Tingkat Desentralisasi Fiskal (X3)

Tingkat Desentralisasi Fiskal adalah merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat kewenangan dan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).

Tingkat Desentralisasi Fiskal dapat diformulasikan sebagai berikut:

100% x Daerah Penerimaan Total Daerah Asli Pendapatan Fiskal sasi Desentrali

Tingkat 

Sumber : Halim (2002: 137)

3.2. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel 3.2.1. Populasi

Populasi adalah himpunan individu, unit, elemen, yang memiliki ciri atau karakteristik yang sama (Sugiyono, 2006 : 55). Dari pengertian


(50)

tersebut maka populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri sampai dengan tahun dengan 2010.

3.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006 : 56). Pengambilan sampel merupakan bagian dalam melaksanakan suatu penelitian, untuk itu teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sampel yang ditujukan untuk tujuan tertentu dan berdasarkan kriteria – kriteria yang telah ditetapkan. (Sugiyono, 2006 : 78).

Adapun kriteria – kriteria dalam pengambilan sampel tersebut yaitu data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dengan catatan bahwa hak otonomi daerah mulai berlaku pada tahun anggaran 2004.

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis dan Sumber Data

Ditinjau dari sifatnya, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, sedangkan dilihat dari cara memperolehnya, data yang dipergunakan merupakan data sekunder yaitu data laporan keuangan


(51)

Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dan data yang digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, Jawa Timur.

3.3.2. Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Studi Pustaka

Merupakan metode pengumpulan data yang bersifat teoritis atas dasar kepustakaan, yang dilakukan dengan cara mempelajari dan memahami buku - buku literature, serta laporan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Dokumentasi

Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencatat data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang telah tersedia dan sesuai dengan obyek penelitian. Dalam metode ini peneliti mengambil data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dan data yang digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, Jawa Timur.


(52)

3.4. Teknik Analisis dan Pengujian Hipotesis

Untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris apakah ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (µ1) dan sesudah (µ2) diberlakukannya

hak otonomi daerah pada kota Kediri, digunakan Uji beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangan (Anonim, 2009)

Hipotesis Statistik

1. Ho : µ1 = µ2, menunjukkan tidak ada perbedaan kinerja keuangan

pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

Ho : µ1≠ µ2, menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah

daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah.

2. Dalam penelitian ini digunakan tingkat signifikan 0,05 3. Kriteria keputusan

i. Jika nilai probabilitas > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak yang

berarti tidak ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah


(53)

ii. Jika nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima yang

berarti ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah, yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah


(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1. Sejarah Kota Kediri

Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "KEDI" yang artinya "MANDUL" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan".Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'KEDI" berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama "KEDI WRAKANTOLO".Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, "KEDI" berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata "DIRI" yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan). Untuk itu dapat kita baca pada prasasti "WANUA" tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi : "Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban", artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.

Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, "Tanah


(55)

Perdikan".Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194. Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur."Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang ("tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri").

Menurut bapak MM. Sukarto Kartoatmojo "hari jadi Kediri" muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimuculkan pada ketiga prasasti. Alasannya Prasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 Masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 M. Dilihat dari ketiga tanggal tersebut, akhirnya nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala Bagawantab hari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.

Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Daerah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 No 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri.


(56)

4.1.2. Misi Dan Visi Kota Kediri Visi

“Mewujudkan masyarakat yang semakin mumpuni dalam berbudaya baca, agamis, berwawasan humanis, santun, dan menjadi manusia bermutu serta berdaya”.

Misi

1. Mendorong dan memfasilitasi terciptanya berbagai komunitas gemar dan sadar membaca di tengah masyarakat

2. Mendorong dan memfasilitasi terciptanya masyarakat yang semakin peduli terhadap peningkatan wawasan kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta teknologi.

3. Memfasilitasi pula upaya pengurangan sejumlah bagian dari masyarakat yang masih buta aksara agar mereka tidak gagap dan gegar terhadap budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang bersifat terapan.

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Kediri untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), dan data yang digunakan tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, Jawa Timur.


(57)

Berikut ini merupakan hasil dari rekapitulasi data yang diperoleh selama periode penelitian yang ditabulasikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut :

1. Rasio Kemandirian

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan selama periode penelitian, dapat dilihat pada tabel 4.1, sebagai berikut :

Tabel. 4.1 : Rekapitulasi Data : “Rasio Kemandirian”

Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 (lima) Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri

Satuan (%)

Nama Kota Periode Tahun Rasio Kemandirian

1999 504,97

2000 502,61

2001 271,97

2002 236,13

Sebelum Diberlakukannya Hak Otonomi Daeerah

2003 105,06

2005 234,63

2006 248,21

2007 619,29

2008 239,77

KEDIRI

Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daeerah

2009 238,34

Sumber : Lampiran 1

Berdasarkan dari tabel 4.1, dapat diketahui bahwa nilai rasio kemandirian untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009) berfluktuasi, fenomena ini membuktikan bahwa meskipun diberlakukannya hak otonomi daerah, pertumbuhan tingkat rasio


(58)

kemandirian tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, hal ini kemungkinan disebabkan karena dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut belum didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai, sehingga tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) masih tinggi

2. Rasio Pertumbuhan

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan selama periode penelitian, dapat dilihat pada tabel 4.2, sebagai berikut :

Tabel. 4.2 : Rekapitulasi Data : “Rasio Pertumbuhan”

Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 (lima) Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri

Satuan (%)

Nama Kota Periode Tahun Rasio Pertumbuhan

1999 1,87

2000 -0,08

2001 9,05

2002 -1,00

Sebelum Diberlakukannya Hak Otonomi Daeerah

2003 0,00

2005 -0,95

2006 -18,31

2007 -1,52

2008 -1,43

KEDIRI

Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daeerah

2009 0,68

Sumber : Lampiran 2

Berdasarkan dari tabel 4.2, dapat diketahui bahwa nilai rasio pertumbuhan untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5


(59)

(lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), berfluktuasi, bahkan untuk periode 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah banyak mengalami penurunan, fenomena ini membuktikan bahwa meskipun diberlakukannya hak otonomi daerah, tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimilikinya.

3. Tingkat Desentralisasi Fiskal

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, dengan satuan pengukurannya adalah persen (%).

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan selama periode penelitian, dapat dilihat pada tabel 4.3, sebagai berikut :

Tabel. 4.3 : Rekapitulasi Data : “Tingkat Desentralisasi Fiskal” Periode 5 (lima) Tahun Sebelum dan 5 (lima) Tahun Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daerah Di Kota Kediri

Satuan (%)

Nama Kota Periode Tahun Rasio Pertumbuhan

1999 13,80

2000 14,11

2001 8,35

2002 8,26

Sebelum Diberlakukannya Hak Otonomi Daeerah

2003 13,50

2005 17,11

2006 11,00

2007 11,54

2008 11,33

KEDIRI

Sesudah Diberlakukannya Hak Otonomi Daeerah

2009 11,85

Sumber : Lampiran 3

Berdasarkan dari tabel 4.3, dapat diketahui bahwa nilai rasio pertumbuhan untuk tahun anggaran 5 (lima) tahun sebelum


(60)

diberlakukannya hak otonomi daerah (1999 – 2003) sampai dengan 5 (lima) tahun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah (2005 – 2009), berfluktuasi, fenomena ini membuktikan bahwa meskipun diberlakukannya hak otonomi daerah, pemerintah daerah kurang mampu dalam mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah, sehingga . pertanggungjawaban pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.

4.3. Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis Hipotesis 1

Untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris adanya perbedaan rasio kemandirian pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, digunakan uji beda dua rata – rata sampel berpasangan.

Dari hasil Uji beda dua rata – rata sampel berpasangan dengan menggunakan alat bantu komputer dengan program SPSS.16.0, For Windows, dapat dilihat pada tabel 4.4, sebagai berikut

Tabel 4.4. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangan

Nilai t hitung Nilai Signifikan Ketentuan Keterangan

0,069 0,948 0,05 Tidak ada perbedaan

Sumber ; Lampiran. 4

Berdasarkan pada tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa besarnya nilai thitungsebesar 0,069 dengan tingkat taraf signifikansi sebesar 0,948 (lebih besar dari 0,05), maka H1 ditolak dan H0 diterima yang berarti tidak adanya


(61)

perbedaan rasio kemandirian pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, sehingga hipotesis 1 tidak teruji kebenarannya

Hipotesis 2

Untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris adanya perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, digunakan uji beda dua rata – rata sampel berpasangan.

Dari hasil Uji beda dua rata – rata sampel berpasangan dengan menggunakan alat bantu komputer dengan program SPSS.16.0, For Windows, dapat dilihat pada tabel 4.5, sebagai berikut

Tabel 4.5. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangan

Nilai t hitung Nilai Signifikan Ketentuan Keterangan

1,754 0,154 0,05 Tidak ada perbedaan

Sumber ; Lampiran. 5

Berdasarkan pada tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa besarnya nilai thitungsebesar 1,754 dengan tingkat taraf signifikansi sebesar 0,154 (lebih besar dari 0,05), maka H1 ditolak dan H0 diterima yang berarti tidak adanya

perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, sehingga hipotesis 2 tidak teruji kebenarannya

Hipotesis 3

Untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris adanya perbedaan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, digunakan uji beda dua rata – rata sampel berpasangan.


(62)

Dari hasil Uji beda dua rata – rata sampel berpasangan dengan menggunakan alat bantu komputer dengan program SPSS.16.0, For Windows, dapat dilihat pada tabel 4.6, sebagai berikut

Tabel 4.6. Hasil Uji Beda Dua Rata – Rata Sampel Berpasangan

Nilai t hitung Nilai Signifikan Ketentuan Keterangan

-0,695 0,525 0,05 Tidak ada perbedaan

Sumber ; Lampiran. 6

Berdasarkan pada tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa besarnya nilai thitungsebesar -0,695 dengan tingkat taraf signifikansi sebesar 0,525 (lebih besar dari 0,05), maka H1 ditolak dan H0 diterima yang berarti tidak adanya

perbedaan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, sehingga hipotesis 3 tidak teruji kebenarannya

4.4. Pembahasan 4.4.1. Implikasi

Berdasarkan dari hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan rasio kemandirian pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, hal ini kemungkinan disebabkan karena dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut belum didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai, misalnya kurangnya kesadaran masyarakat yang akan membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, hal ini mengakibatkan pendapatan asli daerah akan rendah, sehingga meskipun sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, tingkat ketergantungan


(63)

daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) tetap tinggi. Maka hipotesis 2 tidak teruji kebenarannya. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Indrawati (2003) membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Dari hasil penelitian juga menunjukkan tidak adanya perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah daerah kurang mampu dalam mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah, karena disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Sehingga meskipun sudah diberlakukannya hak otonomi daerah, tingkat pertumbuhan daerah akan tetap rendah. Maka hipotesis 2 tidak teruji kebenarannya. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Indrawati (2003) yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Selanjutnya dari hasil penelitian juga menunjukkan tidak adanya perbedaan Tingkat Desentralisasi Fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah daerah kurang mampu dalam


(1)

daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pusat dan propinsi) tetap tinggi. Maka hipotesis 2 tidak teruji kebenarannya. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Indrawati (2003) membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Dari hasil penelitian juga menunjukkan tidak adanya perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah daerah kurang mampu dalam mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah, karena disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Sehingga meskipun sudah diberlakukannya hak otonomi daerah, tingkat pertumbuhan daerah akan tetap rendah. Maka hipotesis 2 tidak teruji kebenarannya. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Indrawati (2003) yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Selanjutnya dari hasil penelitian juga menunjukkan tidak adanya perbedaan Tingkat Desentralisasi Fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah daerah kurang mampu dalam


(2)

mempertahankan dan meningkatkan sumber – sember pendapatan daerah, sehingga . pertanggungjawaban pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, hal ini mengakibatkan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan, kurang bisa terpenuhi. Maka hipotesis 3 tidak teruji kebenarannya. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Ningrum (2003) membuktikan bahwa terdapat perbedaan desentralisasi fiscal antara sebelum dan sesudah berlakunya UU otonomi daerah.

4.4.2. Perbedaan Dengan Penelitian Sebelumnya

Adapun persamaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama membahas mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah, sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada objek dan periode penelitian, sehingga penelitian ini bukan merupakan replikasi.

Berdasarkan dari hasil penelitian membuktikan bahwa tidak adanya perbedaan kinerja keuangan daerah yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan Tingkat Desentralisasi Fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah,

.


(3)

membuktikan secara empiris adanya perbedaan kinerja keuangan daerah yang meliputi rasio kemandirian, rasio pertumbuhan dan Tingkat Desentralisasi Fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, telah tercapai.

Dari manfaat yang telah dikemukakan, maka hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.

4.5. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian ini. Adapun batasan-batasan tersebut yaitu: 1. Periode penelitian yang diambil relatif kecil atau pendek, sehingga

kurang dapat mengukur faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah.

2. Kendala yang bersifat situasional, yaitu berupa situasi yang dapat dirasakan peneliti pada saat melakukan penelitian, yang mana pada saat ini situasi negara dalam keadaan krisis ekonomi sehingga dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah.

3. Objek dalam penelitian ini, hanya terbatas pada kota Kediri, dimana kemungkinan penelitian ini akan menunjukkan hasil yang berbeda bila objek yang digunakan lebih dari satu kota, misalnya Surabaya.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan uji hipotesis, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Hipotesis 1 yang menyatakan bahwa diduga terdapat perbedaan rasio kemandirian pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, tidak teruji kebenarannya.

2. Hipotesis 2 yang menyatakan bahwa diduga terdapat perbedaan rasio pertumbuhan pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, tidak teruji kebenarannya.

3. Hipotesis 3 yang menyatakan bahwa diduga terdapat perbedaan tingkat desentralisasi fiskal pada Kota Kediri antara sebelum dan sesudah diberlakukannya hak otonomi daerah, tidak teruji kebenarannya.

5.2. Saran

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam meningkatkan kinerja keuangan pemerintah daerah dimasa datang, yaitu antara lain :

1. Meninjau kembali kelembagaan yang ada saat ini dalam artian dinas penghasil di kabupaten maupun kota, hal ini digunakan untuk menilai


(5)

menilai diri sendiri apakah fungsi pelayanan telah dijalankan secara optimal, dengan harapan dapat mendorong efisiensi sektor publik, akuntabilitas publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis.

2. Dengan memberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsp- prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi keanekaragaman Daerah.

3. Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumber-sumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah.


(6)

Anonim, 2009, Pedoman Penyusunan Usulan Dan Skripsi Jurusan Akuntansi, Penerbit UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Bastian, Indra, 2001, Manual Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah, Penerbit Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi, UGM.

--- 2006, Akuntansi Sektor Publik, Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Halim, Abdul, 2002, Akuntansi Keuangan Daerah, Penerbit Salemba Empat.

Hariyadi,,Bambang, Analisis Pengaruh Fiscal Stress Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten atau Kota Dalam Menghadapi Pelaksanaan Otonomi Daerah, SNA V. semarang, 2002

Indrawati, Nur, 2003, Perbedaan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Propinsi Jawa Timur. Fakultas

Ekonomi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.

Nazir, Moh, 2005, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor.

Ningrum, Diah, H.S, 2003, Kinerja Keuangan Daerah Pada Era Otonomi Daerah

Jurnal Penelitian dan Ilmu Ekonomi, Vol 16, No 4, Hal : 1-5, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta.

Rosjidi, 2001, Akuntansi Sektor Publik Pemerintah, Kerangka, Standar, dan Metode, Penerbit Aksara satu Surabaya.

Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Administrasi. Edisi kedelapan. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.