VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6.

(1)

i

TESIS

VALIDITAS DIAGNOSTIK

C-REACTIVE PROTEIN

(CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT

SKOR ALVARADO 5-6

JIMMY NIM 0914028203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

VALIDITAS DIAGNOSTIK

C-REACTIVE PROTEIN

(CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT

SKOR ALVARADO 5-6

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

JIMMY NIM 0914028203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 22 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K)Trauma Dr.dr.Nyoman Golden, SpBS(K) NIP. 196006211987101001 NIP.196203071989031001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, SpGK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K)


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji Pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 22 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 523/UN14.4/HK/2016

Tertanggal 20 Januari 2016

Penguji:

1. dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma

2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) Neuro-Onkologi 3. Dr. dr. Tjokorda GB Mahadewa, M.Kes., Sp.BS (K) Spine 4. Dr. dr. A.A. Gde Oka, Sp.U


(5)

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka karya akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, karya akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Ketut Wiargitha, SpB(K) Trauma selaku pembimbing pertama dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah serta Dr. dr. Nyoman Golden, SpBS(K) selaku pembimbing kedua yang telah memberikan dorongan, semangat serta meluangkan waktu dan pemikiran sejak awal sampai akhir pendidikan penulis.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, FICS, M. Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) dan dan Ketua Program


(7)

vii

Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, SpGK, atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree). Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Bedah dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar, Kepala Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K), yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama pembuatan karya akhir ini, Kepala SMF Bedah Umum FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dr. I.B. Darmaputra, SpB-KBD atas kesempatan yang telah diberikan dalam menyelesaikan karya akhir ini dan juga seluruh kepala divisi dan staf pengajar Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan dan dorongan saat penyusunan karya akhir ini. Secara khusus, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada dr. Inge Kurniawati atas dukungannya dalam membantu menyelesaikan penelitian ini, rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas pengertian dan bantuannya tanpa mengenal waktu selama masa penulisan karya akhir ini serta pihak keluarga atas perhatian dan pengertiannya kepada penulis setiap saat.


(8)

viii

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya akhir ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan karya akhir ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini.

Denpasar, Januari 2016


(9)

ix

ABSTRAK

VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA

PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6

Penggunaan ultrasonografi yang merupakan standar modalitas diagnostik untuk penderita apendisitis akut skor Alvarado 5-6 mempunyai beberapa kendala apabila diterapkan di rumah sakit daerah di Indonesia. Hal ini akan semakin memperlambat penanganan, meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta kejadian apendisektomi negatif. CRP sebagai petanda inflamasi akut mempunyai nilai diagnostik untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 yang merupakan daerah abu-abu.

Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik menggunakan rancangan prospektif dan potong lintang untuk menilai validitas nilai diagnostik kadar CRP pada kasus apendisitis akut skor Alvarado 5-6 dan nilai “cut-off” dari kadar CRP. Sebanyak 60 sampel penelitian adalah penderita apendisitis akut skor Alvarado 5-6 yang dilakukan apendisektomi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi mulai dari April 2015 sampai November 2015.

Dari 60 sampel penelitian, sebanyak 29 (48,33%) sampel adalah laki-laki dan 31 (51,67%) sampel adalah perempuan. Hasil analisa ROC menunjukkan bahwa kemampuan CRP untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 sangat baik (AUC 0,95). Penelitian ini juga mendapatkan nilai “cut-off”CRP terbaik adalah ≥ 7,5 mg/dL. Berdasarkan nilai “cut-off” terbaik CRP tersebut, uji validitas yang dilakukan didapatkan sensitivitas 95,8%, spesifisitas 75%, nilai prediksi positif 93,9%, nilai prediksi negatif 81,8% dan akurasi 91,67%.

CRP dapat berfungsi sebagai alat diagnostik tambahan untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 terutama di rumah sakit daerah di Indonesia.


(10)

x

ABSTRACK

VALIDITY OF C-REACTIVE PROTEIN (CRP)

FOR PATIENTS WITH ACUTE APPENDICITIS ALVARADO SCORE 5-6

The utility of ultrasonography as a standard diagnostic tool for patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6 has some limited, especially when it applied at the regional hospital in Indonesia. Diagnostic delay has been associated with increased morbidity and mortality and the incidence of negative appendectomy. C-reactive protein (CRP) can plays as an important role in acute inflammation in this gray area.

Between April to November 2015, 60 consecutive patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6 whom performed appendectomy were studied prospectively. This study was a diagnostic test to evaluate the validity of CRP for patient with acute appendicitis Alvarado score 5-6 and determine the best cut-off point of CRP.

There were 29 (48,33%) males and 31 (51,67%) females. The cut-off point of C-reactive protein was set at 7,5 mg/dL by using receiver operating characteristic curve (0.95). The sensitivity and specificity of CRP in patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6 were 95,8% and 75%. Positive predictive value, negative predictive value and accuracy rate were 93,9%, 81,8% and 91,67% respectively.

This study suggests that CRP can be functioning as an additional diagnostic tool for patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6, especially when it applied at the regional hospital in Indonesia.


(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PRASYARAT GELAR... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH... vi

ABSTRAK... ix

ABSTRACK... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ...………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ………....... 1

1.1 Latar Belakang ………...... 1

1.2 Rumusan Masalah ………… ……….…... 3

1.3 Tujuan Penelitian ………... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 4

1.4 Manfaat Penelitian ………... 4

1.4.1 Manfaat Akademik... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Struktur Apendiks ... 7

2.2 Epidemiologi Apendisitis Akut ... 9

2.3 Patofisiologi Apendisitis Akut ... 11

2.4 Klasifikasi Apendisitis Akut ... 13


(12)

xii

2.5.1 Anamnesis ... 16

2.5.2 Pemeriksaan Fisik ... 18

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang ... 19

2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium ... 19

2.5.3.2 Sistem Skoring... 23

2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis... 24

2.6 Penatalaksanaan ... 29

2.7 C-Reactive Protein... 31

2.8 Hubungan C-Reactive Protein dengan Apendisitis Akut ... 34

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 45

3.1 Kerangka Berpikir ………... 45

3.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 46

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ....…...…... 47

4.1 Rancangan Penelitian ………...…... 47

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian …………... 48

4.3 Penentuan Sumber Data ……...……...…...... 48

4.3.1 Populasi Penelitian …………... 48

4.3.2 Kriteria Inklusi Penelitian ... 49

4.3.3 Kriteria Eksklusi Penelitian …………... 49

4.3.4 Tehnik Pengambilan Sampel ... 50

4.3.5 Besar Sampel ... 50

4.4 Variabel Penelitian …………... 51

4.4.1 Klasifikasi Dan Identifikasi Variabel ... 51

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 51

4.5 Bahan Penelitian... 53

4.5.1 Sampel ... 53

4.5.2 Bahan Sediaan Untuk Uji CRP ... 54

4.6 Instrumen Penelitian... 54

4.7 Prosedur Penelitian ... 54


(13)

xiii

4.7.2 Pelaksanaan Penelitian... 54

4.7.3 Pemeriksaan Laboratorium ... 55

4.7.3.1 Pemeriksaan CRP ... 55

4.8 Alur Penelitian... 55

4.9 Analisis Data... 56

BAB V HASIL PENELITIAN... 58

5.1 Karakteristik subyek dan variabel penelitian... 58

5.2 Hasil analisa ROC dan nilai “cut-off” terbaik CRP untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 dengan hasil histopatologi sebagai standar baku emas... 60

5.3 Uji validitas C-Reactive Protein untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 terhadap hasil histopatologi berdasarkan nilai “cut-off” terbaik... 61

BAB VI PEMBAHASAN... 63

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 69

7.1 Simpulan... 69

7.2 Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Variasi letak apendiks vermiformis... 7

Gambar 2.2 Mikroskopis apendisitis akut supuratif... 15

Gambar 2.3 Makroskopis apendisitis akut gangrenosa... 16

Gambar 2.4 Gambaran ultrasonografi apendisitis akut... 28

Gambar 2.5 Struktur molekul dan morfologi CRP... 34

Gambar 2.6 Respon vaskuler terhadap inflamasi... 35

Gambar 2.7 Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat infeksi... 39

Gambar 2.8 Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi... 40

Gambar 2.9 Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik... 42

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian... 46

Gambar 4.1 Bagan rancangan validasi kadar CRP... 47

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian... 56

Gambar 5.1 Grafik ROC kemampuan CRP untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 dengan hasil histopatologi sebagai standar baku emas... 60


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun

komplikata... 10 Tabel 2.2 Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara

gambaran makro dan mikroskopik... 14 Tabel 2.3 Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan

strategi penatalaksanaan... 25 Tabel 2.4 Respon CRP berbagai penyakit... 33 Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek dan variabel penelitian.. 59 Tabel 5.2 Hasil analisis validitas CRP menggunakan nilai “cut

-off” terbaik untuk mendiagnosis apendisitis akut... 61 Tabel 6.1 Perbandingan hasil penelitian oleh berbagai penulis


(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

CRP : C - reactive protein

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome PCT : Procalcitonin

CT-scan : Computed Tomography Scan MRI : Magnetic Resonance Imaging USG : Ultrasonogafi

IL : Interleukin

TNF-α : Tumor Necrosing Factor α

ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule 1 VICAM-1 : Vascular Cell Adhesion Molecule 1 TGF- : Transforming Growth Factor IFN- : Interferon

APR : Acute Phase Reactans LED : Laju Endap Darah DM : Diabetes Mellitus

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assays IRMA : Immunoradiometric Assay


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat keterangan kelaikan etik penelitian... 79

Lampiran 2 Surat ijin penelitian... 82

Lampiran 3 Informasi kepada pasien... 83

Lampiran 4 Lembar penelitian... 84

Lampiran 5 Data sampel... 85


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit apendisitis merupakan penyakit pada pasien rawat inap di rumah sakit yang menempati urutan keempat tertinggi pada tahun 2006 dan menempati urutan kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

Apendisitis akut sering dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Kesulitan dalam mendiagnosis sering terjadi terutama pada pasien anak kecil, orang tua dan perempuan dalam masa reproduksi. Misdiagnosis dan keterlambatan dalam menangani penyakit ini menyebabkan komplikasi seperti perforasi dan peritonitis semakin memperberat beban pasien (Chong, dkk., 2010). Demikian, diagnosis apendisitis akut secara akurat masih sulit terutama pada pasien dengan kecurigaan apendisitis yang berada dalam skor Alvarado 5-6 yang merupakan daerah abu-abu.

Ultrasonografi yang dipakai selama ini sebagai pilihan untuk membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut skor Alvarado 5-6 memiliki sejumlah kekurangan. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk menghindari penafsiran yang berlebihan. Kekurangan lain dari ultrasonografi antara lain biaya


(19)

2

yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010).

Sampai saat ini terdapat sejumlah petanda inflamasi yang menjadi subyek penelitian dalam kaitannya dengan apendisitis akut, seperti C-reactive protein, prokalsitonin, Interleukin-6 dan Interleukin-8. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu parameter protein fase akut yang terbaik yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis kondisi akut abdomen terutama apendisitis. Penggunaannya yang semakin meningkat dikarenakan alat ini mempunyai keuntungan seperti sensitif, sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus apabila dibandingkan dengan ultrasonografi, dapat mendeteksi apendisitis akut pada tahap awal, mudah diulang, hasil yang cepat (< 2 jam) serta biaya yang relatif murah. CRP sebagai faktor fase akut yang terkuat dapat digunakan sebagai indikator tunggal akan terjadinya inflamasi oleh karena infeksi bakteri ataupun nekrosis (Anielski, dkk., 2010). CRP bukanlah pemeriksaan yang spesifik untuk apendisitis, akan tetapi informasi yang diberikan dalam pemeriksaan ini mempunyai nilai diagnostik terutama keberadaan infeksi akut apabila digabungkan dengan evaluasi penemuan klinis.

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai validasi diagnostik CRP pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut skor Alvarado 5-6 pada populasi Indonesia. Berdasarkan data-data tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai validasi diagnostik CRP pada


(20)

3

pasien yang diduga apendisitis akut skor Alvarado 5-6 agar dapat mengambil keputusan dalam menyingkirkan penyakit yang bukan apendisitis akut, berguna sebagai alat bantu diagnostik apendisitis akut dan menentukan penatalaksanaan yang diambil sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta kejadian apendisektomi negatif. Lebih lanjut, serum biomarker ini tidak hanya dapat mengindikasikan apendisitis yang terjadi, akan tetapi bahkan dapat mengidentifikasi derajat keparahan apendisitis tersebut. Hal tersebut diharapkan memberikan dampak yang positif terutama mengenai penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan tentang apendisitis akut.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimana validasi diagnostik CRP pada pasien apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6 yang dilakukan apendisektomi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui validasi diagnostik CRP pada pasien apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.


(21)

4

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui nilai “cut off” kadar CRP pada pasien dengan apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.

2. Mengetahui sensitivitas CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.

3. Mengetahui spesifisitas CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.

4. Mengetahui nilai prediksi CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.

5. Mengetahui akurasi CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik

Memberikan data dan menambah khasanah pengetahuan tentang hubungan dan peran CRP pada pasien apendisitis akut. Hasil penelitian yang didapatkan juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya mengenai petanda diagnostik pada apendisitis akut.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat dipergunakan sebagai modalitas diagnostik tambahan dalam membantu mendiagnosis apendisitis akut oleh para klinikus, khususnya di Rumah Sakit daerah di Indonesia yang memiliki keterbatasan alat ultrasonografi.


(22)

5

2. Dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan penatalaksanaan apendisitis akut, terutama dari segi kecepatan diagnostik, waktu operasi, angka komplikasi dan biaya.


(23)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan sampai saat ini masih merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Apendisitis akut jarang ditemukan pada zaman dahulu. Sejak Hippocrates sampai Moses Maimonides, data mengenai apendisitis masih belum tercatat (Petroianu, 2012).

Jean Fernel dari Prancis memberikan deskripsi acute typhlitis (berasal dari bahasa Yunani “typhlon” yang berarti sekum) sewaktu mengotopsi anak perempuan berusia 7 tahun yang meninggal karena apendiks perforasi di tahun 1554. Dia menemukan obstruksi lumen sekum dan apendiks dengan nekrosis, perforasi dan spillage dari isi usus ke dalam kavitas abdomen. Tahun 1711, Lorenzo Heister untuk pertama kalinya mengemukakan apendiks sebagai suatu infeksi primer dan tempat terbentuknya abses pada kasus acute typhlitis. Tahun 1735, Claudius Amyand untuk pertama kalinya melakukan operasi apendisektomi (Williams, 1983; Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Reginald Heber Fitz pada tahun 1886. Dia mengemukakan hubungan antara apendisitis dengan penyakit inflamasi yang berasal dari perut kanan bawah serta penanganan apendisektomi sedini mungkin. Charles McBurney di tahun 1889 mendeskripsikan pengalamannya mengoperasi penderita apendisitis akut. Dia memperkenalkan titik McBurney dan mengembangkan insisi muscle-splitting atau


(24)

7

“Gridiron” yang sampai sekarang masih dipakai. Pada tahun 1902, kasus

apendisitis akut mulai dikenal oleh mayarakat umum pada saat Raja Edward VII terkena penyakit tersebut dan membaik setelah Lord Joseph Lister dan Sir Frederic Treves melakukan operasi (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

2.1 Struktur Apendiks

Apendiks merupakan saluran yang buntu seperti cacing dengan panjang bervariasi, dari agenesis komplit sampai lebih dari 30 cm, akan tetapi biasanya berukuran 5-10 cm dan lebar sekitar 0,5-1 cm. Jarak apendiks sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosekal dari pangkalnya di sekum (Prystowsky, 2005). Posisi apendiks sangat bervariasi, mulai dari parakolika (35%), retrosekal (65,3%), pelvik (31%), preileal (1%), postileal (1,5%), promontorik (1%) dan subsekal (2,3%) (Gambar 2.1) (Wakeley, 1933; Rybkin dan Thoeni, 2007). Pangkal apendiks vermiformis letaknya tetap, dan proyeksinya di titik McBurney (batas sepertiga bagian lateralis dan sepertiga bagian tengah dari garis Monro-Richter, yaitu garis antara spina iliaka anterior superior dan umbilikus) (Shelton, dkk., 2003).


(25)

8

Sekum mendapat darah dari arteri sekalis dan apendiks vermiformis dari arteri apendikularis, keduanya cabang dari arteri ileokolika. Darah vena dialirkan ke vena ileokolika, terus ke vena mesenterika superior. Limfe sekum dialirkan nodus limfatik presekalis dan dari apendiks vermiformis ke nodus limfatikus pada mesoapendiks dan dari keduanya dialirkan ke nodi limfatik ileokolika, terus ke nodi limfatik mesenterika superior. Persarafan sekum dan apendiks vermiformis diurus oleh saraf-saraf simpatis dan parasimpatis dari pleksus mesenterikus superior. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Prystowsky, 2005).

Apendiks menghasilkan lendir 2-3 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya apendisitis. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain dan di seluruh tubuh (Deshmukh, dkk., 2014).


(26)

9

2.2 Epidemiologi Apendisitis Akut

Apendisitis akut merupakan kegawatdaruratan abdomen yang paling sering ditemukan. Di Inggris terdapat 40.000 pasien dengan apendisitis akut yang dirawat setiap tahunnya (Humes dan Simpson, 2006) sedangkan di Amerika didapatkan angka insidensi yang meningkat setiap tahunnya, yaitu dari 7,62 menjadi 9,38 per 10.000 orang antara tahun 1993-2008 (Buckius, dkk., 2012). Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya sebesar 9% dimana pada laki-laki didapatkan angka sebesar 9% dan pada perempuan sebesar 6% (Anderson, dkk., 2012; Petroianu, 2012). Apendisitis akut dapat terjadi pada semua kelompok usia, akan tetapi hal ini sangat jarang pada orang dengan usia sangat lanjut. Frekuensi apendisitis akut tertinggi ditemukan pada kelompok usia 10-19 tahun. Perbandingan rasio laki-laki dengan perempuan yang menderita apendisitis akut adalah 1,4:1. Rasio apendisitis sederhana dengan apendisitis kompleks adalah 3:1 (Buckius, dkk., 2012). Apendisitis akut banyak didapatkan pada ras kulit putih yaitu sebesar 74% dan paling jarang pada kulit hitam yaitu sebesar 5% (Petroianu, 2012). Buckius, dkk. (2012) mendapatkan angka kenaikan yang signifikan pada ras hispanik, asia dan orang asli amerika sedangkan pada ras kulit putih dan kulit hitam terjadi penurunan (Tabel 2.1).

Beberapa penelitian di Eropa menunjukkan kecenderungan penurunan angka kejadian apendisitis akut pada dewasa muda yaitu usia 10-19 tahun (Humes dan Simpson, 2006; Buckius, dkk., 2012) . Sebuah studi di Denmark menunjukkan penurunan insiden apendisitis akut antara tahun 1996 dan 2004. Penurunan apendisitis akut pada laki-laki kelompok usia 10-14 tahun adalah


(27)

10

Tabel 2.1.

Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun komplikata (Buckius, dkk., 2012)

sebesar 27,8% dan pada kelompok usia 15-19 tahun adalah 12,8%. Tren ini juga sama pada populasi perempuan dengan penurunan insiden sebesar 35,9% pada kelompok usia 10-14 tahun dan menurun menjadi 22,5% pada kelompok usia 15-19 tahun. Sebuah studi retrospektif di Spanyol yang dilakukan antara tahun 15- 1998-2007 juga mendapatkan penurunan angka insiden apendisitis (Buckius, dkk., 2012).

Rasio terjadinya perforasi lebih tinggi pada anak kecil dan orang lanjut usia. Angka terjadinya perforasi pada anak kecil berumur kurang dari 5 tahun sebesar 82% dan mendekati 100% pada anak usia 1 tahun. Secara keseluruhan, angka perforasi bervariasi antara 20-76% (Morrow dan Newman, 2007). Apendisitis akut yang terjadi pada orang lanjut usia atau lebih dari 50 tahun


(28)

11

sangatlah jarang. Keadaan ini lebih disebabkan oleh penyakit lain, seperti tumor (Carr, 2000).

2.3 Patofiologi Apendisitis Akut

Hingga saat ini etiologi dari apendisitis akut masih belum jelas diketahui dengan pasti. Selama ini dipercaya bahwa obstruksi lumen apendiks merupakan penyebab tersering, diikuti oleh infeksi bakteri sekunder pada dinding apendiks. Fekalit, hiperplasi limfoid, benda asing, parasit dan tumor merupakan penyebab obstruksi pada apendisitis akut (Prystowsky, 2005; Birnbaum dan Wilson, 2000).

Pada penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Wangensteen dan Dennis (1939) ditemukan obstruksi lumen yang pada akhirnya menjadi apendisitis akut. Dasar teori ini adalah obstruksi menyebabkan inflamasi, meningkatkan tekanan intralumen dan pada akhirnya terjadi iskemia. Apendiks mempunyai lumen yang relatif lebih kecil apabila dihubungkan dengan panjangnya. Konfigurasi ini merupakan predisposisi terbentuknya obstruksi “closed-loop” dan berlanjut menjadi inflamasi. Obstruksi lumen yang terjadi pada bagian proksimal membuat tekanan intralumen di distal dari obstruksi meningkat. Kapasitas lumen apendiks hanya 1 ml, dimana peningkatan volume intralumen sebesar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sebesar 50-65 mmHg. Sekali tekanan intralumen melebihi 85 mmHg, terjadilah trombosis pada vena yang menyebabkan kongesti pembuluh darah, drainase limfatik terganggu dan apendiks membengkak. Pada saat pembuluh darah kongesti, mukosa apendiks menjadi hipoksik dan terjadi ulserasi. Hal ini menimbulkan kerusakan pada barrier


(29)

12

mukosa menyebabkan invasi bakteri intralumen ke dinding apendiks. Kebanyakan bakteri yang teridentifikasi merupakan bakteri gram negatif, yaitu Escherichia coli (70%), Bacteroides fragilis (70%), Enterococcus (30%) dan Pseudomonas (20%). Secara umum, lebih dari 10 jenis bakteri dapat ditemukan. Perbandingan bakteri anaerobik dan aerobik adalah 3:1. Pada tahap awal apendisitis akut, kerusakan mukosa yang terjadi oleh karena infeksi dan inflamasi merupakan karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan patologi. Proses inflamasi dapat berlanjut pada serosa apendiks, melibatkan peritoneum parietalis sehingga menyebabkan nyeri yang spesifik pada perut kanan bawah. Jika proses ini terlampaui, tekanan intralumen meningkat merangsang terjadinya infark vena, nekrosis “full-thickness” dan akhirnya perforasi. Perforasi dapat berlanjut menjadi peritonitis atau berkembang membentuk abses. Waktu untuk terjadinya gangren dan perforasi bervariasi. Waktu terjadinya nyeri abdomen pada apendiks gangrenosa adalah 46,2 jam dan pada perforasi adalah 70,9 jam (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

Fekalit yang diduga sebagai penyebab obstruksi pada apendisitis akut seringkali tidak ditemukan pada saat operasi (Carr, 2000). Pada penelitian dalam skala kecil yang dilakukan oleh Horton (1977), dilaporkan fekalit hanya ditemukan sebanyak 9% sedangkan 25% lumen berisi kosong. Sisa kasus lainnya lumen berisi feses yang lembek dan material purulen. Penelitian tersebut diperkuat oleh Arnbjörnsson dan Bengmark (1984) yang mengukur tekanan intralumen pada 33 pasien yang menjalani apendisektomi. Mereka melaporkan tekanan intralumen yang tidak meningkat pada sebagian besar kasus, terutama pada apendisitis


(30)

13

phlegmonosa. Obstruksi apendiks dengan peningkatan tekanan intralumen timbul oleh karena proses inflamasi dan berhubungan dengan apendisitis gangrenosa.

Sisson, dkk. (1971) melaporkan ulserasi yang terbentuk pada mukosa superfisial terjadi lebih awal daripada dilatasi apendiks. Infeksi virus disinyalir memiliki peran penting terbentuknya ulserasi tersebut. Hal ini diikuti oleh invasi bakteri sekunder yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya apendisitis akut.

Apendisitis akut lebih sering dijumpai di negara maju dibanding negara berkembang. Kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi berperan dalam timbulnya penyakit apendisitis. Feses yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Sayuran hijau dan tomat memegang peran sebagai pelindung mukosa apendiks dari invasi bakteri (Prystowsky, 2005).

2.4 Klasifikasi Apendisitis Akut

Perubahan yang terjadi akibat proses inflamasi pada apendiks dapat melibatkan seluruh struktur apendiks ataupun hanya sebagian dari panjang apendiks tersebut, akan tetapi, biasanya hanya melibatkan bagian distal dari apendiks. Pada penglihatan secara kasat mata, akan terlihat pembuluh darah apendiks yang melebar dan serosa yang mengkilap. Seiring dengan perkembangan penyakit, abses intramural terbentuk, dilatasi lumen dan edema pada dinding


(31)

14

apendiks. Pada tahap ini, mesoapendiks biasanya ikut terlibat dalam proses inflamasi (Carr, 2000).

Secara histologis, inflamasi akut pada apendiks dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok. Hal ini terangkum dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2.

Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara gambaran makro dan mikroskopik (Carr, 2000)

Secara mikroskopik, inflamasi akut pada apendisitis terbagi menjadi apendisitis akut kataral, supuratif/flegmonosa dan gangrenosa. Pada permulaan apendisitis akut, inflamasi hanya terbatas pada mukosa apendiks sehingga disebut apendisitis mukosal atau kataralis. Hal ini ditandai dengan ditemukannya netrofil di dalam mukosa ditambah dengan ulserasi mukosa. Apabila mukosa apendiks terlihat normal dan netrofil ditemukan di dalam lumen, terminologi apendisitis intraluminal akut digunakan. Hal ini biasa ditemukan secara kebetulan ketika


(32)

15

dilakukan apendisektomi dan kejadian ini dianggap bukan merupakan inflamasi apendiks yang sebenarnya. Pada pemeriksaan histopatologis, akan didapatkan eksudat fibropurulen atau netrofil purulen di dalam lumen apendiks. Secara klinis, apendisitis intraluminal akut sering tidak menunjukkan gejala apendisitis (Carr, 2000).

Apendisitis supuratif atau flegmonosa dikarakteristikkan dengan adanya infiltrat netrofil yang melibatkan lapisan muskularis propria. Mukosa apendiks biasanya mengalami inflamasi disertai dengan ulserasi. Pada tahap ini biasanya gejala nyeri pada perut kanan bawah sudah mulai muncul. Perubahan lain yang terjadi antara lain edema, serositis fibrinopurulen, mikro abses yang terjadi pada dinding apendiks dan thrombus pada pembuluh darah (Gambar 2.2.) (Carr, 2000).

Gambar 2.2. Mikroskopis apendisitis akut supuratif. Tampak infiltrat inflamasi akut transmural disertai dengan ulserasi mukosa, pus intraluminal dan serositis

fibrionpurulen (Carr, 2000)

Pada apendisitis gangrenosa, apendiks mengalami nekrosis pada dinding apendiks dan hal ini merupakan tanda yang signifikan ditemukan pada


(33)

16

pemeriksaan secara makroskopis maupun histopatologis (Gambar 2.3.). Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, perforasi akan terjadi. Bila tekanan lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan ataupun merah kehitaman (Carr, 2000).

Gambar 2.3. Makroskopis apendisitis akut gangrenosa. Panjang apendiks 75 mm dan membengkak oleh karena edema. Tampak gambaran kehitaman pada apendiks disertai dengan eksudat fibrinopurulen pada permukaan serosa (Carr,

2000)

2.5 Diagnosis Apendisitis Akut 2.5.1 Anamnesis

Diagnosis apendisitis akut tergantung dari riwayat penyakit yang detail dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Kompleksitas diagnosis terletak pada bervariasinya gejala yang muncul (Ahmad, dkk., 2011; Chong, dkk., 2010). Kesulitan ini akan muncul terutama pada anak kecil, sedangkan pada usia lanjut dapat berupa nyeri abdomen yang samar dan bahkan tanpa rasa nyeri. Seringkali


(34)

17

keterlambatan dalam mendiagnosis mencapai 72 jam apabila dihubungkan dengan penderita usia lanjut (Shafi, dkk., 2011).

Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada apendisitis akut. Nyeri progresif ini bermula sebagai nyeri kolik yang dirasakan pada bagian periumbilikus disertai rasa mual dan muntah, dan kemudian bermigrasi serta menetap di fossa iliaka kanan dalam 24 jam pertama. Nyeri ditemukan pada lebih dari 95% pasien dengan apendisitis akut. Seringkali nyeri ini tidak dirasakan di fossa iliaka kanan, akan tetapi dapat terjadi pada lokasi yang berbeda, contoh apendiks retrosekal, kehamilan, pelvik dan lain-lain. Nyeri abdomen tersebut akan bertambah bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Anoreksia sering merupakan fitur yang predominan, diikuti dengan rasa mual dan bahkan muntah (Petroianu, 2012; Froggatt dan Harmston, 2011; Hung, dkk., 2012; Lewis, dkk., 1975; Prystowsky, 2005).

Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami gejala demam. Demam ini dikarateristikkan sebagai demam yang tidak terlalu tinggi (38ºC). Kejadian perforasi patut diwaspadai apabila demam melampaui 38,3ºC (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

Gejala klasik apendisitis akut ini terdapat pada setengah sampai dua pertiga penderita. Kegagalan dalam mengenali gejala dan tanda apendisitis akut akan membuat penatalaksanaan tertunda dan meningkatkan angka morbiditas (Prystowsky, 2005).


(35)

18

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan abdomen akan ditemukan nyeri tekan pada fossa iliaka kanan. Hal ini terdapat pada 95% pasien dengan apendisitis akut. Penekanan maksimal dilakukan pada titik McBurney, yaitu titik sepertiga lateral dari garis khayal yang menghubungkan Spina iliaka anterior superior kanan dengan umbilikus. Nyeri tekan lepas (rebound tenderness) tidak dianjurkan dilakukan apabila gejala nyeri sudah jelas karena akan membuat pasien tidak nyaman (Petroianu, 2012).

Adanya rigiditas otot juga merupakan tanda yang bermakna untuk apendisitis akut. Hal ini dikarenakan rangsangan peritoneal akibat apendisitis yang berlanjut sampai ke peritoneum parietalis dan merupakan hal yang sangat penting sebagai indikasi operasi. Nyeri ketok, rigiditas otot dan nyeri tekan lepas merupakan tanda klinis yang paling dapat diandalkan terutama dalam mendiagnosis apendisitis akut (Shelton, dkk., 2003; Humes dan Simpson, 2006).

Selain pemeriksaan tersebut, dapat juga dilakukan pemeriksaan lain seperti tanda Blumberg, Rovsing, Psoasstretch dan Obturator. Pemeriksaan ini terdapat pada kurang dari 10% pasien dengan apendisitis akut (Humes dan Simpson, 2006).

Nyeri pada pemeriksaan rektal dan vagina dapat ditemukan, bahkan tidak jarang normal. Kegunaan pemeriksaan ini masih dipertanyakan. Pemeriksaan yang berulang terutama pada anak-anak sangatlah menyiksa dan menyediakan sedikit informasi sebagai diagnostik. Pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila kecurigaan apendisitis yang terletak di retrosekal atau pelvik (Petroianu, 2012).


(36)

19

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium

Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium yang berdiri sendiri yang dapat mendiagnosis apendisitis akut. Data laboratorium awal biasanya disertai peningkatan sel darah putih (lekositosis) dan jumlah netrofil. Lekositosis (> 10.000/mm3) ditemukan pada 70-90% apendisitis akut. Netrofilia ditemukan pada lebih 75% sebagian besar kasus. Akan tetapi, peningkatan ini juga ditemukan pada pasien usia lanjut dan kehamilan yang menderita apendisitis akut. Pada pasien gangguan sistem imun seperti penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), lekositosis ditemukan pada 12-14% kasus (Petroianu, 2012). Pada penelitian prospektif yang dilakukan Cardall, dkk. (2004) untuk menilai penggunaan klinis lekositosis dan demam dalam mendiagnosis apendisitis, mereka mendapatkan angka sensitivitas 76%, spesifisitas 52%, nilai prediksi positif 42%, nilai prediksi negatif 82% untuk lekosit dan sensitivitas 47%, spesifisitas 64%, nilai prediksi positif 37%, nilai prediksi negatif 72% untuk demam lebih dari 99,0ºF. Mereka menyimpulkan bahwa lekositosis dan demam merupakan alat diagnostik yang tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis apendisitis.

Dalam dua dekade terakhir, terdapat peningkatan penggunaan panel diagnostik tambahan dalam memprediksi kejadian apendisitis. Di samping diterapkannya pemeriksaan laboratorium rutin seperti jumlah lekosit dan hitung netrofil, beberapa tes laboratorium lain dapat dipakai secara luas dan bersifat praktis. Pengukuran CRP, suatu reaktan fase akut, telah mulai ditingkatkan.


(37)

20

Angka normal CRP adalah < 10 mg/l sedangkan pada penderita dengan apendisitis akut meningkat >25 mg/l. Pada apendiks gangrenosa, angka CRP melampaui 55 mg/l dan pada apendiks perforasi > 66 mg/l. Peningkatan CRP pada apendisitis akut memiliki angka sensitivitas sebesar 47-75% dan spesifisitas sebesar 56-82%. CRP ini meningkat dalam 12 jam sejak munculnya gejala. Kombinasi dari lekositosis, netrofilia lebih dari 75% dan peningkatan CRP meningkatkan sensitivitas sebesar 97-100% dalam mendiagnosis apendisitis akut (Petroianu, 2012; Shogilev, dkk., 2014). Tsioplis, dkk. (2013) melaporkan bahwa disamping riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, lekosit, CRP dan ultrasonografi masih merupakan faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis apendisitis.

Level CRP pada penderita apendisitis akut sering dihubungkan dengan beratnya derajat infeksi dan bahkan kadar CRP dipakai untuk membedakan apendisitis flegmonosa dengan perforasi apendisitis (Kaya, dkk., 2012). Nilai cut-off CRP yang diberikan oleh Moon, dkk. (2011) sebesar 7,05 mg/dL mengindikasikan bahwa penanganan apendisitis harus segera dilakukan oleh karena kemungkinan terjadinya perforasi sangat tinggi, terutama pada anak kecil dan orang tua. Yokoyama, dkk. (2009) melaporkan bahwa hanya CRP yang konsisten dengan derajat keparahan apendisitis dan merupakan tanda yang mengindikasikan dilakukannya pembedahan apendisektomi dengan nilai cut-off 4,95 mg/dl. Asfar, dkk. (2000) mencatat angka sensitivitas CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut sebesar 93,6%, spesifisitas sebesar 86,6%, nilai prediksi positif 96,7%, nilai prediksi negatif 76,5% dan kejadian apendisektomi


(38)

21

negatif sebesar 19,2% (15 dari 78 pasien yang dioperasi; dimana dari 15 pasien tersebut didapatkan kadar CRP normal pada 13 pasien). Mereka menilai bahwa kadar CRP pre-operatif yang normal pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut berhubungan dengan apendiks yang normal. Hal yang serupa dilaporkan oleh Gurleyik, dkk. (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan CRP dengan penilaian klinis ahli bedah mengenai apendisitis akut. Mereka mendapatkan sensitivitas 93,5%, spesifisitas 80%, akurasi 91%, negatif palsu 3%, positif palsu 11% kadar CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut dan merekomendasikan pemeriksaan CRP sebagai laboratorium rutin pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut. Apabila parameter laboratorium lekositosis dan CRP digabungkan, maka didapat angkasensitivitas 85%, spesifisitas 100%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 81% (Kumar, dkk., 2011). Hal serupa juga dikemukakan oleh Mohammed, dkk. (2004), mereka melaporkan evaluasi klinis ditambah dengan pemeriksaan lekosit, netrofil dan CRP dapat meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis dan mengurangi insiden terjadinya perforasi dan apendisektomi negatif. Kwan dan Nager (2010) melaporkan penggunaan CRP yang dikombinasi dengan lekositosis merupakan alat bantu yang berguna dalam mendiagnosis apendisitis akut pada anak-anak. Studi yang dilakukan oleh mereka tersebut juga mirip oleh penelitian yang dilakukan Mekhail, dkk. (2011). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gavela, dkk. (2012) tentang evaluasi procalcitonin (PCT) dan CRP sebagai prediktor derajat keparahan apendisitis pada anak kecil, mereka mendapatkan bahwa CRP dan PCT dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi hasil akhir apendisitis akut pada


(39)

22

anak kecil. Kadar CRP > 3 mg/dl dan/atau PCT > 0,18 mg/mL memiliki resiko untuk terjadinya komplikasi yang pada akhirnya menentukan tindakan intervensi. Mereka juga mendapatkan angka sensitivitas 95%, spesifisitas 74%, nilai prediksi positif 68%, nilai prediksi negatif 96,2% untuk CRP dan sensitivitas 97%, spesifisitas 80%, nilai prediksi positif 72%, nilai prediksi negatif 89,3% untuk PCT. Hal serupa juga dilaporkan oleh Wu, dkk. (2005), mereka mendapatkan nilai cut-off CRP selama 3 hari berturut-turut memberikan nilai prediksi yang berguna terutama untuk mendiagnosis apendisitis akut pada tahap awal. Untuk kasus apendisitis akut pada anak kecil yang menderita obesitas, kadar CRP bukan merupakan marker inflamasi yang bisa dipercaya. Hal ini disebabkan lemak viseral merupakan organ endokrin penting yang terlibat secara kompleks dalam hubungannya dengan inflamasi sistemik yang dapat mengganggu kadar CRP pada pasien dengan apendisitis akut (Kutasy, dkk., 2010).

Akan tetapi pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Hallan dan Asberg (1997), mereka melaporkan CRP merupakan alat bantu diagnostik untuk apendisitis akut dengan tingkat akurasi yang medium dan sedikit lebih inferior dibanding pemeriksaan lekosit. Dari 22 artikel yang diteliti, mereka mendapatkan angka sensitivitas 40%-99%, spesifisitas 27%-90%, nilai cut-off untuk apendisitis yang positif bervariasi antara 5 sampai 25 mg/l serta hanya 2 artikel yang melaporkan penambahan pemeriksaan CRP memberikan informasi yang bermakna dalam mendiagnosis apendisitis akut.

Penggunaan serum biomarker tunggal dan diambil dalam waktu yang berbeda untuk menegakkan apendisitis akut pada anak kecil apabila dibandingkan


(40)

23

dengan skor Alvarado dan pemeriksaan radiologis mempunyai beberapa keuntungan, antara lain biaya yang relatif lebih murah, obyektif dan lebih mudah dilakukan oleh karena tanpa resiko terpapar radiasi atau kebutuhan sedasi untuk anak kecil (Wu, dkk., 2012).

2.5.3.2 Sistem Skoring

Sejumlah sistem skoring telah dikembangkan dalam mendiagnosis apendisitis akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistem tersebut merupakan penunjang diagnosis berharga dalam membedakan suatu apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai seperti skor Kharbanda dan Lintula (Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010; Memon, dkk., 2013). Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun 1986, Alfredo Alvarado mengembangkan sebuah sistem skoring untuk membantu mendiagnosis apendisitis akut serta penatalaksanaannya. Sistem ini disebut juga MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan klinis maupun penunjang. Jumlah skor yang diperoleh akan menentukan apakah pasien yang dicurigai tersebut akan dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor < 5 merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi


(41)

24

indikasi tindakan pembedahan (Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011). Berdasarkan skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor < 5 adalah 30%, skor 5-6 adalah 66% dan skor ≥ 7 adalah 9γ% (Tabel β.γ.) (Ohle,

dkk., 2011). Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk (2013) melaporkan validasi skor Alvarado dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sebesar 88,13%, spesifisitas sebesar 70,96%, angka prediksi positif 85,24%, angka prediksi negatif 75,86% dan 16,9% untuk apendisektomi negatif. Nizamuddin dkk. (2009) melaporkan

sensitivitas sebesar 86% pada grup dengan skor ≥ 7 dan 90,6% pada grup dengan

skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4% (laki-laki 88,3% dan perempuan 81,4%) dan tingkat akurasi sebesar 85,4%. Penelitian ini serupa dengan studi yang dilakukan Memon, dkk. (2013) dimana mereka mendapatkan sensitivitas sebesar 93,5%, nilai prediksi positif sebesar 92,3% dan akurasi sebesar 89,9%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. (2011) mendapatkan angka sensitivitas sebesar 94-99% untuk skor < 5, 8β% untuk skor ≥ 7 dan spesifisitas sebesar 81%.

Data yang terkumpul mengindikasikan bahwa skor Alvarado dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis akut.

2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan mendiagnosis berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengaruh tehnik pencitraan dengan angka kejadian apendisektomi negatif masih belum sepenuhnya


(42)

25

Tabel 2.3.

Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi penatalaksanaan (Ohle, dkk., 2011)

jelas. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian apendisektomi negatif yang tidak berubah walaupun banyak muncul tehnik pencitraan. Di sisi lain, penggunaan ultrasonografi dan CT-scan menurunkan jumlah rawat inap dan apendisektomi yang tidak diperlukan (Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan Simpson, 2006).

Pada tahun 1986, Puylaert mengusulkan penggunaan ultrasonografi dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada ultrasonografi, kompresi secara gradual pada abdomen kanan bawah meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis apendisitis akut. Tehnik kompresi ini memiliki peran yang penting dalam mengurangi jumlah apendisektomi yang negatif. Ultrasonografi merupakan alat


(43)

26

bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun kontras. Kegunaan ultrasonografi sangatlah membantu klinisi dalam mendiagnosis apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk. (2010) mencatat bahwa meskipun ultrasonografi merupakan alat yang membantu dalam diagnosis preoperatif untuk kasus-kasus akut abdomen, kegunaannya untuk apendisitis akut terbatas. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh pentingnya ultrasonografi dalam memeriksa pasien dengan nyeri perut kanan bawah. Kurva pembelajaran dibutuhkan operator dalam memeriksa dan menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010; Lee, J. H., 2003).

Di tangan yang ahli, sensitivitas ultrasonografi dilaporkan sebesar 75-90%, spesifisitas 86-100%, akurasi 87-96%, nilai prediksi positif sebesar 91-94% dan nilai prediksi negatif sebesar 89-97% dalam mendiagnosis apendisitis akut (Birnbaum dan Wilson, 2000). Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat menekan angka apendisektomi negatif sebesar 10-20% (Morrow dan Newman, 2007; Wray, dkk., 2013; Kurane, dkk., 2008). Pada penelitian meta-analisis yang


(44)

27

dilakukan oleh Doria, dkk. (2006) mengenai penggunaan ultrasonografi atau CT-Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka mendapatkan angka sensitivitas dan spesifisitas CT-scan yang lebih tinggi dibanding ultrasonografi (94% dan 95% vs 88% dan 94%). Ultrasonografi harus dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama untuk membedakan apakah apendiks terletak di rongga pelvis atau terdapat kelainan di bidang ginekologi. Bendeck, dkk. (2002) melaporkan keuntungan pemeriksaan radiologis berupa ultrasonografi atau CT-scan pada penderita perempuan dewasa dengan kecurigaan apendisitis akut. Mereka mendapatkan angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif. Akan tetapi pada kelompok lain, tidak didapatkan perbedaan secara bermakna angka kejadian apendisektomi negatif pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif maupun yang tidak.

Secara spesifik, ultrasonografi dilakukan dengan penekanan pada perut kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat membantu memvisualisasi apendiks retrosekal. Pada pemeriksaan ultrasonografi, apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih. Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada jaringan lemak yang mengelilinginya (Gambar 2.4.). Pada apendiks perforasi gambaran ultrasonografi menunjukkan bentuk apendiks yang irregular dan adanya penumpukan cairan di sekitar sekum (Birnbaum dan Wilson, 2000; Kaiser, dkk.,


(45)

28

2002; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk., 2008; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009).

A B

Gambar 2.4.Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. (a) Axis memanjang dan (b) Potongan melintang (Birnbaum dan Wilson, 2000)

CT-scan merupakan alternatif diagnostik pada apendisitis akut. Alat ini direkomendasikan apabila ultrasonografi belum dapat menyimpulkan apendisitis. CT-scan merupakan alat diagnostik yang lebih superior dibanding ultrasonografi dalam hal spesifisitas (96% vs 76%), akurasi (94% vs 83%) dan nilai prediksi negatif (95% vs 76%). Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan menyerupai ultrasonografi (91% vs 89% dan 95% vs 96%) (Shelton, dkk., 2003; Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009; Krajewski, dkk., 2011). CT-scan lebih superior dalam mendiagnosis inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih sensitif menganalisa apendiks normal dibanding ultrasonografi. Pada pemeriksaan CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari 9 mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya. Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat pada lumen apendiks yang menyebabkan inflamasi perisekal. Pemeriksaan ini


(46)

29

juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat keganasan. Kekurangan dari pemeriksaan CT-scan adalah waktu yang dibutuhkan dalam memvisualisasi dan menginterpretasi hasil yang pencitraan serta biaya untuk melakukan pemeriksaan ini (Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson, 2000).

Laparoskopi, CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang relatif mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat Darurat. Pemeriksaan tersebut hanya akan menunda penegakkan diagnosis yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat penundaan diagnostik dan penatalaksanaan dilaporkan sebesar 0,2-0,8% dapat meningkat sampai diatas 20% pada pasien dengan usia diatas 70 tahun (Ali, dkk., 2013). Lee, dkk. (2001) bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi tidak meningkatkan akurasi diagnostik apendisitis maupun menurunkan angka kejadian apendisektomi negatif. Pemeriksaan tersebut hanya akan menghambat diagnosis dan penanganan pasien dengan apendisitis.

2.6 Penatalaksanaan

Apendisektomi darurat merupakan suatu prosedur operasi yang efektif dan diterima secara universal serta dilakukan lebih dari 250.000 kali per tahun di Amerika Serikat. Prosedur apendisektomi merupakan tindakan operasi yang paling sering dilakukan (Shelton, dkk., 2003). Beberapa studi melaporkan bahwa


(47)

30

prosedur ini mencakup 10% dari semua tindakan operasi kegawatdaruratan di abdomen (Chong, dkk., 2010; Kareem, dkk., 2009).

Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendisektomi merupakan pilihan pertama pada pasien dengan apendisitis akut. Pemberian analgesia tidak dianjurkan karena hal tersebut akan mengaburkan gejala yang muncul. Tindakan operasi adalah pilihan standar dalam menangani kasus apendisitis (Humes dan Simpson, 2006). Akan tetapi, apendisektomi untuk apendisitis akut bukanlah tanpa resiko. Resiko jangka panjang terjadinya obstruksi akibat adhesi setelah apendisektomi sebesar 1,3% selama 30 tahun setelah prosedur operasi. Angka apendisektomi negatif dilaporkan sebesar 10-20% walaupun CT-scan digunakan secara luas (Wray, dkk., 2013). Semua pasien harus mendapatkan antibiotika spektrum luas preoperatif (1 sampai 3 dosis) untuk menurunkan angka kejadian infeksi paska operasi dan pembentukan abses intraabdomen (Humes dan Simpson, 2006).

Apendisektomi merupakan prosedur yang relatif aman dengan angka mortalitas 0,8 per 1.000 untuk kasus apendisitis yang belum perforasi dan meningkat menjadi 5,1 per 1.000 kasus apendiks perforasi. Secara keseluruhan, perforasi terjadi antara 16-30% dan meningkat secara bermakna pada penderita usia lanjut dan anak kecil (Humes dan Simpson, 2006; Oliak, dkk., 2000). Infeksi luka operasi tergantung dari derajat kontaminasi intraoperatif, berkisar antara < 5% untuk apendisitis sederhana dan mencapai 20% untuk apendiks gangrenosa dan perforasi (Markides, dkk., 2010).


(48)

31

Penelitian yang dilakukan oleh Abou-Nukta, dkk. (2006) menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna komplikasi antara pembedahan yang dilakukan < 12 jam dengan 12-24 jam. Apabila lebih dari 36 jam sejak gejala pertama muncul, angka terjadinya komplikasi perforasi meningkat antara 16-36% dan bahkan meningkat 5% pada setiap 12 jam penundaan operasi. Abou-Nukta, dkk.(2006) menganjurkan prosedur apendisektomi harus dilakukan setelah diagnosis apendisitis ditegakkan.

2.7 C-Reactive Protein

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang ditemukan dalam darah dan meningkat sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut. Lebih lanjut CRP merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP juga diproduksi oleh dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos dan jaringan adiposa (Pepys dan Hirschfield, 2003).

CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930. CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul 118-144 kDa. Gen CRP terletak pada kromosom 1. Awalnya penamaan CRP berasal dari kemampuannya mempresipitasi somatik C-polisakarida dari bakteri Streptococcus pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut sebagai petanda sistemik yang sensitif terhadap rangsangan inflamasi dan kerusakan jaringan (Clyne dan Olshaker, 1999; Aziz dkk., 2003). Respon pada fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk endotermik terhadap kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan proses keganasan. Secara


(49)

32

khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum protein amiloid A. CRP mengaktivasi sistem komplemen dan terikat dengan reseptornya. Peningkatan CRP yang bermakna mengindikasikan inflamasi yang terjadi (Pepys dan Hirschfield, 2003).

Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/l, 90 persentil mencapai 3,0 mg/l dan 99 persentil mencapai 10 mg/l. CRP sebagai petanda inflamasi akut mengalami kenaikan 100-1.000 kali setelah terjadinya infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat 10.000 kali lipat (< 50 µg/l - > 500 mg/l). Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit melalui kontrol sitokin IL-6. CRP dapat meningkat melebihi 5 mg/l dan timbul 4-6 jam setelah terjadinya rangsangan, berduplikasi setiap 8 jam dan mencapai puncaknya dalam 48 jam. Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal. Apabila rangsangan sebagai pencetus inflamasi dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal secara cepat. Kadar CRP > 10 mg/l mengindikasikan reaksi inflamasi yang bermakna. Kadar serum CRP yang meningkat terlihat pada kondisi trauma, nekrosis jaringan, infeksi, pembedahan, infark miokardium dan berhubungan dengan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler. Beberapa keadaan noninflamasi juga dapat meningkatkan kadar CRP, seperti obesitas, depresi, bertambahnya usia, inaktivitas fisik, radioterapi serta merokok. Hubungan antara


(50)

33

produksi CRP dan polimorfisme genetik IL-1 dan IL-6 juga telah dikemukakan. Pada penyakit atherosklerosis, CRP merupakan faktor resiko yang independen. Kadar CRP yang tinggi sering dihubungkan dengan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas (Aziz, dkk., 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003; Marnell, dkk., 2005; Volanakis, 2001). Pada kebanyakan kasus, representasi CRP bervariasi menandakan inflamasi yang terjadi seperti dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4.

Respon CRP berbagai penyakit (Pepys dan Hirschfield, 2003)

CRP termasuk dalam turunan pentraksin protein calcium dependent ligand-binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit polipeptida nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam amino. Protomer CRP dihubungkan secara nonkovalen dalam konfigurasi annular yang berbentuk penta siklik. Masing-masing protomer mempunyai karakteristik


(51)

34

“lectin fold” yang terdiri atas lembaran β lapis dengan topologi jellyroll yang datar. Situs yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium yang terikat 4 Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf,

sedangkan bagian lain membawa heliks α tunggal (Gambar β.5.) (Pepys dan

Hirschfield, 2003; Thompson, dkk., 1999).

Gambar 2.5.Struktur molekul dan morfologi CRP. (a).Dengan mikrograf elektron menunjukkan struktur pentamerik, (b).Struktur kristal dengan diagram

berwarna yang menunjukkan “lectin fold” dan dua atom kalsium yang terikat pada masing-masing protomer, dan (c)Molekul CRP dengan molekul fosfokolin

tunggal yang terletak pada masing-masing protomer (Pepys dan Hirschfield, 2003)

2.8 Hubungan C-Reactive Protein Dengan Apendisitis Akut

Inflamasi didefinifikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat. Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat bersifat lokal, sistemik, akut dan kronis yang menimbulkan kelainan patologis. Petanda respon inflamasi lokal pertama digambarkan oleh orang Romawi sekitar 2000 tahun yang lalu berupa kemerahan, bengkak, panas dan nyeri. Pada abad ke-2, Galen menambahkan


(52)

35

petanda inflamasi ke-5 berupa gangguan fungsi alat yang terkena. Dalam beberapa menit setelah terjadi cedera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di tempat. Volume darah yang meningkat di jaringan dapat menimbulkan perdarahan. Permeabilitas vaskular yang meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang menimbulkan edema (Gambar 2.6.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Gambar 2.6. Respon vaskuler terhadap inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)

Dalam beberapa jam lekosit menempel ke sel endotel di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut


(53)

36

ekstravasasi. Pada pemeriksaan histologik ditemukan cairan edema dan infiltrasi sel lekosit. Berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil, mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit, limfosit dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain. Patogen yang menembus sawar luar imunitas nonspesifik seperti kulit, membran mukosa, infeksi atau cedera jaringan dapat memacu kaskade reaksi inflamasi yang kompleks (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang. Orang dewasa normal memproduksi lebih dari 1010 neutrofil per hari tetapi pada inflamasi dapat meningkat sampai 10 kali lipat. Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera dari 5000/µl sampai 30.000/µl. Peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravaskular. Persediaan marginal ini merupakan sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskular yang keluar dari sirkulasi. Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pertama terhadap mikroorganisme yang masuk membutuhkan komponen seluler untuk membersihkan debris lokal dan meningkatkan perbaikan jaringan (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).

Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat yang


(54)

37

mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikini, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi ( Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Pada inflamasi akut, pelepasan berbagai mediator sel mast (histamin dan bradikinin) disertai aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel inflamasi dan sel endotel yang masing-masing melepaskan mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas, neutrofil dan protein fase akut seperti CRP. Inflamasi akan pulih bila mediator tersebut menjadi tidak aktif. Bila penyebab tidak dapat disingkirkan atau timbul pajanan ulang maka akan terjadi inflamasi kronik (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).

Inflamasi lokal yang terjadi memberikan proteksi dini terhadap infeksi atau cedera jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respon lokal dan sistemik. Reaksi lokal terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila darah keluar dari sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek langsung mediator enzim plasma seperti bradikinin dan fibrinopeptida yang menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Beberapa efek vaskular disebabkan efek anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin menimbulkan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Prostaglandin juga berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).


(55)

38

Dalam beberapa jam setelah awitan perubahan vaskular, neutrofil menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel seperti TNF-α yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit dan limfosit mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan selanjutnya ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga memacu makrofag dan sel endotel

untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influx neutrofil melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN- dan TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan neutrofil, meningkatkan fagositosis dan penglepasan enzim ke rongga jaringan. Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar tidak terjadi kerusakan jaringan. TGF- membatasi respon inflamasi dan memacu

akumulasi dan proliferasi fibroblast dan endapan matriks ekstraselular yang diperlukan untuk perbaikan jaringan (Gambar 2.7.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).


(56)

39

Gambar 2.7. Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadinya infeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)

Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan sel dan berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab seperti kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh makrofag yang melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke tempat infeksi. Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast residen yang cenderung menarik eosinofil. Segera setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi


(57)

40

dalam endotel vaskular yang memungkinkan ekstravasasi limfosit terutama neutrofil, tetapi juga monosit dan limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul-molekul tersebut memiliki sejumlah fungsi antara lain mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP mengikat C-polisakarida dari S. pneumonia, scavenging (haptoglobin) dan sebagainya (Gambar 2.8.). Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur spontan pada fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut diperlukan untuk menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi.

Gambar 2.8. Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi (Hengst, 2003)


(58)

41

Perubahan metabolik dan endokrinologi yang terjadi pada hampir semua penderita dengan apendisitis akut dan perubahan tersebut tergantung pada berat ringannya infeksi. Mekanisme itu mencakup pertahanan organ tersebut terhadap infeksi misalnya perlindungan sendiri dan mempertahankan sistem homeostasis. Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar berupa acute phase reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling terkenal adalah C-reactive protein (CRP). APR teraktivasi hasil respon sistemik terhadap infeksi termasuk pada apendisitis akut. CRP yang merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan LED. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. CRP lebih sensitif dibandingkan LED karena dapat dijadikan indikator respon fase akut dalam 24 jam pertama proses inflamasi sedangkan LED terjadi setelahnya. Tidak seperti LED, CRP merupakan protein serum stabil yang pengukurannya tidak dipengaruhi waktu dan komponen serum lain. Besar inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).


(59)

42

Gambar 2.9.Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik (Hengst, 2003)

Fungsi fisiologi CRP adalah kemampuannya untuk mengikat berbagai macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi darah (Volanakis, 2001).

Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara 40-200 mg/L. Beberapa penelitian menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-85% untuk infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan inflamasi dan atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter laboratorium respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap darah. Lebih lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan proses makan. Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit


(60)

43

obat yang dapat mempengaruhi kadar CRP. Konsentrasi CRP merupakan petanda inflamasi biokimia nonspesifik yang sangat berguna sebagai alat untuk mengetahui penyakit organ, untuk memantau respon pengobatan terhadap inflamasi dan infeksi serta mendeteksi infeksi pada penyakit imunokompromis dan penyakit yang dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut (Aguiar, dkk., 2013).

Dalam menginterpretasikan hasil CRP, ada beberapa hal yang mempengaruhinya yang berhubungan dengan inflamasi. Supaya pengukuran CRP mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak mempengaruhi interpretasi. Hal-hal yang meningkatkan kadar CRP adalah kegemukan, DM, hipertensi, merokok, sedangkan keadaan yang menurunkan kadar CRP adalah diet dan penurunan berat badan, latihan fisik, berhenti merokok, terapi aspirin dan statin (Huang, dkk., 2013).

Pemeriksaan klinis untuk CRP dapat dilakukan tanpa memandang waktu pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam penyimpanan 3 hari dengan suhu 20-250C, 8 hari pada suhu 2-80C dan untuk jangka waktu lama disimpan pada suhu -700c (Ridker, dkk., 2000).

Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal digunakan beberapa studi epidemiologi. Metode ini semikuantitatif terutama hanya untuk riset, tidak secara rutin disediakan di laboratorium klinis kemudian dikembangkan metode CRP (metode kuantitatif) yang otomatis dan dapat digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) adalah metode imunonefelometri dari Dade


(61)

44

Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan hasilnya terdapat kesesuaian dengan metode sebelumnya yang telah disahkan yaitu metode IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15 mg/dl (Roberts, dkk., 2001).


(1)

Gambar 2.7. Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadinya infeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)

Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan sel dan berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab seperti kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh makrofag yang melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke tempat infeksi. Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast residen yang cenderung menarik eosinofil. Segera setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi


(2)

dalam endotel vaskular yang memungkinkan ekstravasasi limfosit terutama neutrofil, tetapi juga monosit dan limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul-molekul tersebut memiliki sejumlah fungsi antara lain mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP mengikat C-polisakarida dari S. pneumonia, scavenging (haptoglobin) dan sebagainya (Gambar 2.8.). Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur spontan pada fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut diperlukan untuk menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi.

Gambar 2.8. Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi (Hengst, 2003)


(3)

Perubahan metabolik dan endokrinologi yang terjadi pada hampir semua penderita dengan apendisitis akut dan perubahan tersebut tergantung pada berat ringannya infeksi. Mekanisme itu mencakup pertahanan organ tersebut terhadap infeksi misalnya perlindungan sendiri dan mempertahankan sistem homeostasis. Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar berupa acute phase reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling terkenal adalah C-reactive protein (CRP). APR teraktivasi hasil respon sistemik terhadap infeksi termasuk pada apendisitis akut. CRP yang merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan LED. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. CRP lebih sensitif dibandingkan LED karena dapat dijadikan indikator respon fase akut dalam 24 jam pertama proses inflamasi sedangkan LED terjadi setelahnya. Tidak seperti LED, CRP merupakan protein serum stabil yang pengukurannya tidak dipengaruhi waktu dan komponen serum lain. Besar inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).


(4)

Gambar 2.9. Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik (Hengst, 2003)

Fungsi fisiologi CRP adalah kemampuannya untuk mengikat berbagai macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi darah (Volanakis, 2001).

Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara 40-200 mg/L. Beberapa penelitian menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-85% untuk infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan inflamasi dan atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter laboratorium respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap darah. Lebih lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan proses makan. Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit


(5)

obat yang dapat mempengaruhi kadar CRP. Konsentrasi CRP merupakan petanda inflamasi biokimia nonspesifik yang sangat berguna sebagai alat untuk mengetahui penyakit organ, untuk memantau respon pengobatan terhadap inflamasi dan infeksi serta mendeteksi infeksi pada penyakit imunokompromis dan penyakit yang dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut (Aguiar, dkk., 2013).

Dalam menginterpretasikan hasil CRP, ada beberapa hal yang mempengaruhinya yang berhubungan dengan inflamasi. Supaya pengukuran CRP mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak mempengaruhi interpretasi. Hal-hal yang meningkatkan kadar CRP adalah kegemukan, DM, hipertensi, merokok, sedangkan keadaan yang menurunkan kadar CRP adalah diet dan penurunan berat badan, latihan fisik, berhenti merokok, terapi aspirin dan statin (Huang, dkk., 2013).

Pemeriksaan klinis untuk CRP dapat dilakukan tanpa memandang waktu pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam penyimpanan 3 hari dengan suhu 20-250C, 8 hari pada suhu 2-80C dan untuk jangka waktu lama disimpan pada suhu -700c (Ridker, dkk., 2000).

Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal digunakan beberapa studi epidemiologi. Metode ini semikuantitatif terutama hanya untuk riset, tidak secara rutin disediakan di laboratorium klinis kemudian dikembangkan metode CRP (metode kuantitatif) yang otomatis dan dapat digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) adalah metode imunonefelometri dari Dade


(6)

Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan hasilnya terdapat kesesuaian dengan metode sebelumnya yang telah disahkan yaitu metode IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15 mg/dl (Roberts, dkk., 2001).