Kajian Stilistika Dan Nilai Pendidikan Karakter Pada Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami COVER

(1)

Bab II

Tinjauan Pustaka, Landasan Teori Dan Kerangka Berpikir

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian tesis yang dilakukan Nurnaningsih (2010) dengan judul penelitian Teks Seksual dalam Serat Centhini Karya Pakubuwana V . Hasil kajian stilistika terhadap teks seksual dalam Serat Centhini karya Pakubuwana V dapat disimpulkan pola bunyi bahasa yang dominan muncul adalah purwakanthi guru

swara atau identik dengan asonansi /a, o, u, ê, e, è, i/, purwakanthi guru sastra atau

identik dengan aliterasi /b, c, d, D, g dan ng, h, j, k, l, m, n, p, r, s, t, dan y/, dan

purwakanthi lumaksita. Ketiga purwakanthi tersebut mampu membuat puisi teks

seksual dalam Serat Centhini menjadi lebih indah. Dalam hal struktur morfologis, pemakaian kata-kata dan pembentukan kata cenderung memilih bentuk-bentuk kata yang menggunakan afiks-afiks yang bernilai arkhais. Pemilihan kata/diksi sangat beraneka macam antara lain ada dasanama, tembung Kawi, kata yang berasal dari bahasa Arab, istilah-istilah seks, ungkapan-ungkapan dalam seks. Penggunaan metafora, personifikasi, simile dan metonimia yang mengandung unsur estetik.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penggunaan pendekatan yang sama yaitu stilistika, (2) aspek yang diteliti sama mengenai bahasa figuratif (majas), diksi. Selain itu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) pada penelitian tersebut, peneliti menyertakan penelitian pada aspek


(2)

fonologis ritma, morfologis, tema, perasaan, nada, dan amanat. Pada penelitian ini meneliti mengenai diksi, bahasa figuratif, citraan, kata-kata konkret dan nilai pendidikan karakter. (2) Penelitian tersebut, menggunakan objek teks Serat Centhini

yaitu mengenai tembang-tembang jawa. Penelitian ini menggunakan objek novel

Bilangan Fu.

Penelitian tesis yang dilakukan E Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata menyimpulkan bahwa keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada judul. Kekhususan aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam leksikon bahasa Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam pemakaian pendekatan yaitu stilistika. (2) Penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yaitu mengangkat mengenai diksi, dan bahasa figuratif. (3) Objek penelitian ini sama dengan penelitian tersebut yaitu novel. Selain itu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penggunaan objek yang berbeda, penelitian ini menggunakan novel


(3)

Bilangan Fu karya Ayu Utami, sedangakan penelitian tersebut menggunakan novel

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai objek kajian. 2) Penelitian tersebut

mengangkat permasalahan morfologis dan sintaksis, penelitian ini mengangkat aspek citraan, kata-kata konkret dan nilai pendidikan karakter.

Penelitian jurnal yang dilakukan Umami (2009) menyimpulkan bahwa lirik lagu Ungu tidak hanya didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan hiperbola tetapi juga asonansi, aliterasi, repetisi, pleonasme, simploke, inversi, klimaks, antitesis, dan sinekdok pars pro toto. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yang menggunakan pendekatan yang sama yaitu stilistika, (2) penelitian tersebut mengangkat aspek majas sebagai permasalahan. Selain itu perbedaan dengan penelitian ini antara ain, (1) penelitian tersebut menggunakan lirik lagu sebagai objek, penelitian ini menggunakan novel sebagai objek. (2) Penelitian tersebut hanya mengangkat aspek majas, selain itu penelitian ini lebih kompleks, yaitu pada diksi, majas, citraan, kata-kata konkret dan nilai pendidikan.

Penelitian jurnal yang dilakukan Al- ) dengan judul Kajian Stilistika Aspek Bahasa Figuratif Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari . Penelitian tersebut memaparkan mengenai bahasa kiasan Ronggeng Dukuh Paruk

memiliki keunikan dan keaslian bahasakiasan yang mendominasi RDP dapat dilihat

dari gaya majas dan idiom yang indahdan beranekaragam, penuh ekspresif, asosiatif


(4)

peribahasa. Ketiga aspek tersebut merupakan hasil kreasi Tohari yang menunjukkan intelektualitas dan estetika yang tinggi. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian tersebut antara lain, (1) penggunaan pendekatan yaitu menggunakan pendekatan stilistika, (2) pengangkatan permasalahan pada bahasa figuratif, (3) sama dalam penggunaan objek yaitu novel. Sedangakan perbedaan terdapat pada, (1) penelitian ini mengangkat nilai pendidikan, (2) penelitian tersebut menggunakan objek novel yang berbeda yaitu Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari digunakan pada penelitian tersebut, selain itu penelitian ini menggunakan objek novel

Bilangan Fu karya Ayu Utami.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kurwidaria (2013) dengan judul Kekhasan Gaya Pemakaian Bahasa Lirik-lirik Lagu Pop Jawa Karya Koes Plus jelaskan mengenai kreativitas Koes Plus dalam menggunakan bahasa Jawa sebagai ciri khas Koes Plus. Persamaan dengan penelitian ini yaitu cakupan stilistika mengenai diksi. Selain itu perbedaannya berkenaan dengan objek, penelitian ini menggunakan novel dan penelitian Kurwidaria menggunakan lirik lagi. Selain itu pada cakupan stilistik, penelitian ini menggunakan kata kokret, citraan, bahasa figuratif, proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang, namun penelitian Kurwidaria menggunakan gaya bunyi, dan gaya kalimat,

Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2007) dengan judul Diksi dan Pola

Sintaksis dalam Pepatah Aceh. Penelitian ini mengungkap pengucapan kata-kata


(5)

macam diksi yang ditemukan yaitu diksi untuk menyatakan perbandingan, penegasan, pengingkaran, dan pertentangan. Persamaan dengan penelitiaan ini, yaitu kedua penelitian menggunakan diksi sebagai kajian. Sementara itu, perbedaannya terletak pada objek kajian; (1) penelitian ini menggunakan objek novel sebagai objek kajian, selain itu penelitian yang dilakukan Santoso menggunakan pepatah sebagai objek kajian, (2) penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika, selain itu penelitian Santoso menggunakan kajian diksi dan sintaksis.

Penelitian yang dilakukan Sastriani (2007) dengan judul Transformasi Gaya Bahasa dalam Karya Sastra Terjemahan merupakan penelitian mengenai transformasi karya sastra francophone yang berjudul Le Rocher de Tanios karya Amin Maalouf (1991) menjadi Cadas Tanios oleh Ida Sundari Husen. Gaya bahasa terjemahan dalam penelitian ini ditemukan transformasi yang berupa pengungkapan bentuk kata baru. Ditemukan adanya inovasi dalam terjemahan karya sastra yang berkaitan dengan gaya bahasa. Teks yang semula menggambarkan kata, frase, kalimat atau wacaya yang diungkapkan dengan gaya bahasa tertentu yang menghasilkan terjemahan beberapa bentuk, yaitu gaya bahasa yang sama, gaya yang tidak sama, tidak menghasilkan gaya bahasa (zero), atau zero gaya bahasa dalam bahasa Perancis menghasilkan terjemahan gaya bahasa dalam bahasa Indonesia. Persamaan dengan penelitian ini yaitu kedua penelitian menggunakan gaya bahasa kajian dan novel sebagai objek kajian, selain itu perbedaan terletak pada (1) penelitian ini menggunakan satu objek kajian yaitu novel Bilangan Fu, penelitian


(6)

yang dilakukan Sastriani menggunakan dua objek kajian yaitu novel Le Rocher de

Tanios karya Amin Maalouf (1991) menjadi novel Cadas Tanios oleh Ida Sundari

Husen; (2) penelitian ini lebih berfokus pada pendekatan stilistika secara keseluruhan, baik diksi, gaya bahasa, tanda dan simbol, serta citraan, selain itu penelitian ini hanya mengungkap gaya bahasa terjemahan.

Penelitian yang dilakukan Bosman (1992) melakukan penelitian yang mengungkap mengenai karakteristik puisi Leipoldt yang berkenaan dengan simbol, antara lain individualisme penyair, ketegangan dualistik antara berbagai oposisi, kepentingan eksotis dan okultisme, dan kesadaran keindahan. Persamaan dengan penelitian tersebut yaitu mengungkapkan simbolisme keindahan yang terdapat pada karya sastra. Simbolisme yang digunakan penyair mengungkap manifest estetika pengarang. Selain itu perbedaan terletak pada objek, penelitian ini menggunakan objek novel dan penelitian yang dilakukan Bosman menggunakan objek puisi. Selain itu pengkajian pada penelitian Bosman melingkupi simbolisme estetika, berbeda dengan penelitian ini yang mengungkapkan estetika secara keseluruhan dengan menggunakan pendekatan stilistika.

Penelitian jurnal yang dilakukan Moti (2010) dengan judul An Introduction

Modern Stylistics. Penelitian Moti mengungkapkan mengenai stilistika modern yang

berkenaan dengan gaya dalam bahasa, produksi gaya bahasa, identifikasi bahasa, mendeskripsikan bahasa, keistimewaan kandungan gaya bahasa, penggunaan keadaan bahasa dan pengertian stilistika modern. Persamaan dengan penelitian ini mengkaji


(7)

pendekatan yang sama yaitu stilistika. Namun perbedaannya, penelitian Moti ini membahas mengenai teori stilistika modern, selain itu penelitian ini membahas mengenai stilistika dalam novel yang mencakup diksi, kata konkret, citraan, bahasa figuratif, proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang.

Pada penelitian yang berjudul Features From Frequency: Autorship and Stylistic

analysis Using Repetitive Sound oleh Forstall (2010) mengenai kepengarangan dan

analisis stilistika menggunakan pengulangan bunyi dalam hal puisi dengan penghitungan digital. Persamaan dengan penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama yakni stilistika. Selain itu perbedaannya terletak pada cakupannya, penelitian ini mengungkap mengenai diksi, kata konkret, citraan, bahasa figuratif, proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang, namun penelitian Forstall mencakup stilistika puisi dalam penghitungan digital.

Penelitian yang dilakukan oleh Hafiz Ahmad Bilal dkk. (2012) yang berjudul

Stylistic Analysis of The Voice mengenai analisis estetika bahasa yang digunakan V. S

Pritchett dalam menciptakan cerita pendek yang berjudul The Voice. Penelitian tersebut menggambarkan karakter pengarang yang mampu mengolah kemampuan bahasanya melalui majas personifikasi, metafora dan lain sebagainya sehingga menghasilkan bahasa yang selaras dan halus. Pada pilihan kata-kata, pengarang mampu memainkan kata-kata sehingga memberikan makna yang mendalam. Selain itu dalam tataran kebahasaan, dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai fonologi, tata bahasa, leksilogi, grafologi dan sebagainya. Persamaan dengan


(8)

penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan stilistika yang mengkaji mengenai estetika kebahasaan pengarang, penelitian mengenai gaya bahasa dan diksi yang memiliki kebermaknaan. Selain itu perbedaannya, penelitian ini menambahkan pada citraan dan menentukan karakter kepengarangan serta nilai-nilai edukatif. Pada penelitian tersebut, menambahkan mengenai pengaplikasian pedagogi pada pembelajaran bahasa.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mussarat Azhar dkk. (2014) dengan judul

Foregroundin In The Rain mengenai puisi karya E. E

Cummings penyimpangan bahasa dengan gaya puitis yang kuat. Perbedaan pada penelitian tersebut menggunakan teknik foregrouding untuk mengukur tingkat penyimpangan pada tingkat graphological, sintaksis, tata bahasa, leksikal, fonologi dan semantik. Hal tersebut menjadi pembeda dengan penelitian ini yang menggunakan diksi, citraan, bahasa figuratif sebagai pemaknaan keindahan bahasa pengarang. Selain itu penelitian ini mengungkap proses kreatif, karakter pengarang dan nilai pendidikan karakter. Selain itu persamaan terdapat pada pendekatan stilistika yang mengungkapan estetika bahasa.


(9)

B. Landasan Teori 1. Hakikat Novel

Novel menurut Semi (1993:32) merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan secara halus. Selain itu menurut Kosasih (2012:60) novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Noor (2007:26) menambahkan pengertian novel yaitu novel cerkan yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur. Waluyo (2011:5-6) mendefinisikan novel secara arti baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Di samping kepanjangannya di antara cerita pendek dan roman, maka novel memiliki ciri-ciri lain, yaitu bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib hidup.

Selain itu, menurut Nurhayati (2012:7) novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang). Senada dengan asumsi tersebut, Nurgiyantoro (2005:10) mengungkapkan bahwa sebuah cerita yang panjang, katakanlah berjumlah ratusan halaman, jelas tak dapat disebut sebagai cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel. Maka sintesis dari beberapa pendapat tersebut, novel adalah karya imajinatif yang mengungkapkan aspek-aspek problematika kemanusiaan yang menampakkan serangkaian peristiwa dan latar yang mana para tokohnya mengalami perubahan nasib.


(10)

Sebagaimana beberapa pengertian novel menurut para ahli, novel merupakan prosa kompleks yang menghadirkan problematika kehidupaan beberapa tokoh yang mana tokoh-tokoh tersebut mengalami perubahan nasib dalam cerita. Novel menghadirkan perkembangan peristiwa, perkembangan dan perubahan watak tokoh, situasi yang rumit. Oleh sebab itu novel bersifat kompleks yang menghadirkan problematika yang kompleks.

2. Stilistika

a. Definisi Stilistika

Menurut Ratna (2013:3) stilistika adalah ilmu tentang gaya, selain itu stil (style) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut ini adalah cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Gaya demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citraan baru, gaya membangkitkan berbagai dimensi yang stagnasi. Senada dengan hal tersebut, stilistika menurut

Al-style yakni wujud performansi bahasa

dalam karya (sastra) melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language), dan citraan. Selain itu menurut Simpson (2004:2) Stylistics is a metod of textual


(11)

stilistika didefinisikan sebagai metode tekstual yang mengunggulkan bahasa dalam tugasnya sebagai pengungkapan gagasan dan pemikiran seseorang.

Noor (2005:118) juga mendefinisikan stilistika secara etimologi adalah kata style

yang artinya gaya. Style atau gaya yaitu cara khas yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri. Cara pengungkapan tersebut dapat meliputi setiap aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya). Selain itu Satoto (2012:31) secara singkat mengungkapkan, stilistika adalah bidang studi tentang gaya

(Style). Dalam gaya bahasa (style in language) tentu saja objeknya adalah bahasa.

Begitu pula dengan Endraswara (2004:72) mengungkapkan secara singkat bahwa stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra.

Jadi, stilistika secara singkat adalah metode atau kajian terhadap gaya (style) terhadap wujud performansi kebahasaan dalam mengungkapkan potensi keunikan dan kekhasan bahasa sebagai tugas bahasa yaitu untuk mengungkapkan gagasan atau pemikiran diri. Style merupakan cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu yang mencangkup gaya bahasa dalam pilihan pengekspresian pengarang untuk menuangkan apa yang dimaksudkan yang bersifat individual dan kolektif, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal.


(12)

b. Hakikat Stilistika

Stylistics has since its earliest days set great store by the use of detailed

linguistics analysis as a basis for the interpretation of literary texts. (Simpson,

2004:38). Hal tersebut mengungkapkan bahwa stilistika pada dasarnya stilistika merupakan teori yang digunakan sebagai analisis linguistik. Namun, berbicara mengenai hakikat stilistika yaitu berkenaan dengan estetika bahasa, maka dapat diterapkan juga pada karya sastra. Untuk itu, stilistika dapat menginterpretasikan teks sastra. Dengan kata lain, stilistika merupakan kajian linguistik namun dapat menjadi kajian sastra, mengingat sastra berhubungan secara langsung dengan bahasa sebagai pengungkapannya. Bahasa dalam hal ini selain berperan sebagai pengungkap pemikiran, yaitu sebagai pengungkap estetika penuturnya.

Selain itu, Sutejo (2010:5) menjelaskan bahwa style itu merupakan gaya bahasa termasuk di dalamnya pilihan pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan apa yang dimaksudkan bersifat individual dan kolektif. Style dalam hal ini merupakan gaya yang berkaitan dengan pendayagunaan potensi bahasa yang dimiliki pengarang yang menunjukkan keunikan dan karakter pengarang sebagai sarana estetis dan ekspresi dalam pengucapannya. Kajian gaya bahasa atau style lebih merupakan pengungkapan ciri khas pengarang dalam karyanya. Style ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pemilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2009:276). Bentuk pengungkapan kebahasaan itu sendiri dalam sebuah novel menawarkan dua macam


(13)

bentuk eksistensi yang saling berkaitan yang sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa dan sebagai pembuat teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Only if this aesthetic interest is central will stylistics be a part of literary scholarship; and it will be an important part because only stylistics methods can

define the specific characteristics of a literary work (Wellek dan Warren, 1977:180).

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, hakikatnya stilistika merupakan kajian yang penting dalam kesusatraan, karena hanya stilistika yang mampu menjabarkan ciri-ciri khusus pengarang dalam menciptakan karya sastra. Stilistika mampu mengungkapkan gaya bahasa pengarang dalam menciptakan karya sastra sehingga pembaca dapat membedakan karakteristik karya sastra.

Dengan demikian, studi stilistika seharusnya: a) menemukan prinsip yang mendasari totalitas karya, b) menemukan tujuan setetis yang dapat menopang keseluruhan unsur karya (Wellek dan Warren dalam Ratna, 2013:150). Stilistika tidak memandang bahasa sastra secara objektif maupun subjektif namun objektif dan subjektif secara bersama. Jadi stilistika tidak hanya membahas mengenai bahasa penutur maupun mitra tutur, akan tetapi seluruh unsur yang mendukung bahasa tersebut dalam rangka mencapat tujuan estetik. Senada dengan pemikiran tersebut, Ratna (2013:152) mengungkapkan bahwa stilistika diharapkan dapat merupakan alat penghubung pertama dan utama dalam rangka membangun kembali hubungan yang lama seolah-olah terlupakan. Pertama, secara definitive stilistika adalah ilmu tentang


(14)

gaya bahasa. Kedua,stilistika adalah kajian mengenai sastra dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa. Ketiga, meskipun dalam pengertian luas stilistika meliputi aspek kebudayaan lain tetapi dasar pemahamannya tetap bertumpu pada bahasa.

Dikaitkan dengan stilistika perlu juga dikemukakan pendapat Lotman (dalam Ratna, 2013:153) yang lain yaitu estetika persamaan atau estetika identitas (the

aesthetic of identity) dan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of

opposition). Estetika pertama mengandaikan penggunaan bahasa yang relatif sama

antara pengarang dan pembaca. Sebaliknya estetika yang kedua menyajikan penggunaan bahasa yang berbeda, sebagai estetika baru.

c. Sumber Objek Stilistika

Aspek estetika yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah. Bahasa sastra yang memiliki pesan bersifat pragmatis, maka mengarahkan bahasa sastra memiliki makna yang terselubung dan perlu penafsiran lebih dalam. Untuk itu, bahasa khas yang digunakan oleh pengarang memiliki pengertian bahasa yang yang berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa ilmiah. Namun, secara leksikal bahasa yang digunakan tidak terdapat perbedaan. Hal yang membedakan yaitu dalam pengolahan dan menyusunan bahasa dengan mengutamakan aspek estetika. Gaya bahasa digunakan pengarang merupakan cara khas pengarang dalam mengolah dan menyusunnya kembali, bukan khas yang memiliki pengertian berbeda dengan kamus. Dengan kalimat lain, kekhasan yang dimaksudkan adalah kekhasan


(15)

dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-kata (Ratna, 2013:15).

Stilistika, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain, atau pula yang menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku dan lain-lain (Teeuw, 2013:57). Maka stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa di pihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Oleh karena bahasa di sini sebagai bahan bakunya (Satoto, 2012:31).

Pada tataran analisis, gaya, gaya bahasa dan majas adalah objek, selain itu stilistika adalah ilmu untuk memecahkan objek tersebut (Ratna, 2013:169). Namun objek stilistika secara khusus merupakan bahasa sebagai kajian stilistika yaitu bahasa sastra yang mengandung unsur estetika yang bersifat konotatif berbeda dengan bahasa nonsastra yang bersifat denotatif.

d. Ruang Lingkup Stilistika

Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya (Wellek dan Warren, 2014:206). Oleh karena konsep keindahan


(16)

sastra yang berkaitan dengan keindahan bahasa. Maka pengarang sering memaksimalkan potensi bahasanya untuk mencapai nilai estetika.

Ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas, dianggap sebagai tugas yang tidak mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara luas, yaitu: bahasa itu sendiri, karya sastra,karya seni, dan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan (Hough dalam Ratna, 2013:18). Ruang lingkup bertambah luas dengan adanya perkembangan paralel di berbagai negara sehingga terjadi tumpang tindih di antaranya. Untuk membatasinya ruang lingkup dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri, dan b) ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas penelitian. Selain itu, menurut Satoto

(2012:35) nakan oleh

seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara pengungkapan: tersebut bisa meliputi setiap aspek kebahasaan: diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figutatif (figurative Language).Ruang lingkup stilistika dalam tataran ini antara lain:

1) Diksi

Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pemikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu


(17)

haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi (Pradopo, 1997:54). Pemilihan kata yang tepat dapat mewakili suara hati pengarang dengan tepat, agar makna dan maksud pengarang dapat tercurahkan secara tepat kepada pembaca.

Menurut Ratna (2013:412) pilihan kata yang tepat yang dilakukan oleh pengarang untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pesan secara keseluruhan. Disamping memilih kata-kata yang tepat, pengarang juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak pengarang (Waluyo, 2010:83-84). Dalam pemilihan kata (diksi) perlu diketahui ketepatan kata-kata yang digunakan, agar kata-kata yang dipergunakan tidak akan menganggu suasana, dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para hadirin atau para pembaca. Pada karya sastra, diksi biasanya dapat menjadi ciri khas pengarang dalam menciptakan karya sastra.

2) Citraan (pengimajian)

Pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra.

bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi tidak selalu bersifat visual (Wellen dan Warren, 2014:216). Oleh karena itu, citraan berhubungan dengan penggunaan indrawi sebagai media ekspresi bahasa untuk mencapai efek estetis. Selain itu


(18)

menurut Siswantoro (2010:215) pencitraan merujuk kepada gambar angan-angan

(mental picture) yang terbentuk sebagai akibat pemakaian kata-kata tertentu. Maka

dapat didefinisikan bahawa citraan merupakan suatu hasil penggambaran yang bersifat indrawi sebagai akibat pemakaian dan pengolahan kata-kata.

Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata-kata konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati secara nyata (Waluyo, 2010:91). Menurut Wellek dan Warren (2014:216-217) ahli-ahli psikologi dan estetik menyusun bebagai macam jenis citraan. Ada citraan yang berkaitan dengan cita rasa pengecapan, ada yang berkaitan dengan penciuman. Ada pula yang berkaitan dengan suhu dan tekanan (kinaesthetic

haptic empathic synaesthetic (yang bisa

diakibatkan keadaan jiwa pengarangnya, atau sekadar konvensi sastra biasa) memindahkan uraian satu indra ke uraian indra yang lain. pencitraan terikat berkaitan dengan indra penglihatan dan otot, dan efeknya sama bagi setiap pembaca atau tipe pembaca. Selain itu pencitraan bebas bersifat visual dan efeknya berbeda-beda bagi setiap pembaca atau tipe pembaca. Citraan tersebut dibagi menjadi enam yaitu:

a) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)

Citraan penglihatan biasanya dapat memberikan rangsangan kepada indera penglihatan sehingga hal-hal yang semula terlihat akan tampak atau hadir di depan


(19)

penikmat (Sutejo, 2010:21). Pada karya sastra citraan penglihatan lebih banyak muncul. Pengarang menggunakan citraan penglihatan untuk mengungkapkan pengalaman visual pengarang ke dalam bahasa figuratif pengarang.

b) Citraan Pendengaran (Audio Imagery)

Pada citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Citraan pendengaran karena itu, juga dapat memberikan rangsangan kepada indera pendengaran sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh (Sutejo, 2010:22). Citraan pendengaran bertugas untuk merangsang indera pendengaran pembaca agar pembaca mampu menikmati karya sastra yang tidak nampak dan hanya dapat dirasakan oleh pendengaran.

c) Citraan penciuman

Citraan yang cukup jarang dilakukan oleh pengarang yaitu citraan penciuman karena citraan ini cukup sulit diterapkan. Citraan penciuman ialah penggambaran yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman. Selanjutnya, citraan jenis ini dapat membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh atas pengalaman indera yang lain (Sutejo, 2010:23).


(20)

d) Citraan perabaan (Tactil Imagery)

Citraan selanjutnya yang digunakan oleh pengarang yaitu citraan peraba. Citraan perabaan menggambarkan peristiwa dalam cerita melalui peran indera peraba. Citraan

Pada beberapa teks sastra, citraan tersebut sering dikolaborasikan dengan beberapa majas untuk membangkitkan daya imajinasi pembaca sehingga lebih kuat.

e) Citraan Gerak (Movement Imagery)

Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, adapun gambaran gerak pada umumnya (Sutejo, 2010:24). Citraan ini digambarkan melalui gerak tubuh sehingga pembaca dapat merasakan gerakan yang lebih intensif.

3) Bahasa Figuratif

Menurut Al- figurative berasal dari bahasa Latin figura,

yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion. Berbeda yang diungkapkan

Al-mengungkapkan (2009:277), gaya bahasa dalam stilistika yaitu suatu bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang diketahui dalam karya sastra merupakan suatu kinerja kebahasaan seorang pengarang. Gaya bahasa, esensinya merupakan sebuah


(21)

teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili suatu yang akan diungkapkan.

Selain itu, menurut Sutejo (2010:26) gaya bahasa merupakan sarana strategis yang seringkali dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaannya ke dalam karya fiksi. Kemampuan untuk mengolah bahasa ini merupakan usaha untuk membungkus ide/gagasan/pengalaman dengan cara estetika sehingga dapat menjadi daya tarik pembaca dan membangkitkan imajinasi pembaca atau pendengarnya. Menurut Satoto (2012:153) gaya bahasa adalah cara mengungkapkan bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Jadi, gaya bahasa adalah suatu bentuk kinerja kebahasaan seorang pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaan pengarang yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis dengan cara esetetika dalam menciptakan karya fiksi.

Bahasa figuratif sering dikatakan sebagai bahasa kiasan atau gaya bahasa. Bahasa ini digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan suatu makna secara tersirat. Sebagaimana dijelaskan oleh Waluyo (2010:96), penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi pragmatis artinya memancarkan banyak makna. Maka, bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup (Pradopo, 1990:62). Maka pengarang memaksimalkan potensi kebahasaannya untuk menghasilkan karya yang imajinatif dan ekspresif agar karya sastra menjadi menarik. Bahasa figuratif di sebut


(22)

juga dengan gaya bahasa dalam hal ini dibagi menjadi dua aspek yaitu (1) permajasan; dan (2) simbol, dan lambang.

a) Permajasan

Majas (fiture of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam angka memperoleh aspek keindahan. Pada umumnya majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan, c) pertentangan, dan d) majas sindiran (Ratna, 2013:164).

(1) Majas Penegasan

Majas penegasan merupakan majas yang berisi tegasan atau tekanan mengenai sesuatu. Majas penegasan terdiri atas: (1) Aferesis yaitu majas penegasan dengan menghilangkan huruf atau suku kata awal; (2) Aforisme yaitu pernyataan sebagai kebenaran umum atau kata-kata arif; (3) Alonim yaitu majas dengan menggunakan varian nama; (5) Anagram yaitu majas dengan pertukaran huruf dalam kata sehingga menimbulkan makna baru; (6) Antiklimaks yaitu pernyataan menurun secara berturut-turut; (7) Apofasis/Preterisio yaitu majas yang seolah-olah mengingkari apa yang sudah dijelaskan; (8) Aposiopesis yaitu majas yang digambarkan dengan penghentian di tengah-tengah kalimat; (9) Arkhaisme yaitu majas yang menggunakan kata-kata yang sudah usang; (10) Bombastis yaitu majas yang penggunaan keterangan secara berlebihan.


(23)

Majas (11) Elipsis yaitu majas yang kalimat tidak lengkap; (12) Enumerasio/Akumulasio yaitu majas yang beberapa peristiwa saling berhubungan, disebut satu demi satu; (13) Esklamasio yaitu majas yang menggunakan kata seru: wah, aduh,amboi, astaga, awas, dan sebagainya; (14) Interupsi yaitu majas yang menyisipkan kelompok kata tertentu; (15) Inversi/Anastrof yaitu majas yang susunan kalimat terbalik; (16) Invokasi yaitu majas yang penggunaan kata seru untuk memohon kepada adi kodrati; (17) Klimaks yaitu majas yang menyatakan urutan pernyataan menuju puncak; (18) Kolokasi yaitu majas yang mengasosiasikan secara permanen satu kata dengan kata yang lain; (19) Koreksio/Epanortosis yaitu majas yang memperbaiki pernyataan sebelumnya yang dianggap salah; (20) Paralelisme yaitu majas yang mensejajarakan kata-kata atau frasa, dengan fungsi yang sama; (21) Pararima yaitu perulangan konsonan awal dan akhir dalam kata-kata tertentu; (22) Pleonasme yaitu majas yang memberikan keterangan secara berlebihan; (23) Praterio yaitu majas yang menyembunyikan maksud yang sesungguhnya;

Majas (24) adalah Repetisi, majas repetisi yaitu majas yang mengulang kata atau kelompok kata. Repetisi dibagi menjadi beberapa bentuk antara lain: (a) Aliterasi yaitu majas yang mengulang konsonan awal, (b) Anadiplosis/Epanadiplosis/Epa-nastof/Anastrof yaitu kata atau kelompok kata terakhir diulang pada kalimat berikut, seperti pantun berkait, (c) Anafora yaitu kata atau kelompok kata pertama diulang pada baris berikut, (d) Antanaklasis yaitu perulangan dengan makna berlainan, (e) Asonansi yaitu perulangan bunyi vokal, (f) Epanalepsis yaitu majas yang kata


(24)

pertamanya diulang pada akhir kalimat, (g) Epifora/Epistrofa yaitu majas yang diungkapkan sebagai pengulangan akhir kalimat secara berurutan, (h) Epizeuksis yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan langsung, (i) Katafora yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan melalui pronominal disusul oleh anteseden, (j) Kiasmus yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan dengan skema a-b-b-a, (k) Mesodiplosis yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan di tengah baris, (l) Simploke yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan pada awal dan akhir baris, dalam beberapa baris, (m) Tautotes yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan dalam sebuah konstruksi;

Selanjutnya majas (25) Retoris/Erotesis yaitu majas yang diungkapkan sebagai kalimat tanya tanpa memerlukan jawaban; (26) Sigmatisme yaitu majas yang

Silepsis yaitu majas yang penggunaan satu kata dengan banyak makna dalam konstruksi sintaksis yang berbeda; (28) Sindeton yaitu majas yang penjelasan kata-kata setara secara berturut-turut. Sindeton dibagi menjadi dua jenis antara lain: (a) Asindeton yaitu majas yang tanpa menggunakan kata penghubung, (b) Polisindeton yaitu majas yang dengan menggunakan kata penghubung; (29) Sinkope/Kontraksi yaitu majas yang menghilangkan suatu suku kata di tengah kata; (30) Tautologi yaitu majas yang perulangan kata, kelompok kata atau sinonimnya, yang kadang-kadang tidak perlu; (31) Zeugma yaitu majas yang seolah-olah tidak logis dan tidak gramatikal, rancu.


(25)

(2) Majas Perbandingan

Majas perbandingan merupakan majas yang membandingkan antara satu hal dengan hal lainnya yang memiliki kemiripan. Majas perbandingan terdiri atas: (1) Alegori yaitu majas perbandingan dengan alam secara utuh; (2) Alusio yaitu majas dengan ungkapan, peribahasa, atau sampiran pantun; (3) Antonomasia yaitu majas dengan sebutan untuk menggantikan nama orang; (4) Disfemisme yaitu majas yang menonjolkan kekurangan tokoh; (5) Epitet yaitu majas sebagai acuan untuk menunjukkan sifat khusus seseorang atau hal lain; (6) Eponim yaitu majas dengan nama yang menunjukkan ciri-ciri tertentu; (7) Eufemisme yaitu majas yang menghaluskan hati; (8) Hipalase/Enalase yaitu majas yang keterangan seolah-olah ditempatkan pada tempat yang salah; (9) Hiperbola yaitu majas yang melebihi sifat dan kenyataan yang sesungguhnya; (10) Litotes yaitu majas dengan cara merendahkan diri; (11) Metafora yaitu majas yang membandingkan suatu benda dengan benda lainnya.

Majas (12) Metonimia yaitu majas yang menggunakan suatu nama tetapi yang dimaksud benda lain; (13) Onomatope yaitu majas dengan menggunakan tiruan bunyi; (14) Paronomasia yaitu majas yang penggunaan kata sama tetapi menampilkan makna yang berbeda; (15) Periphrasis yaitu majas yang suatu kata diperluas dengan ungkapan; (16) Personifikasi yaitu majas yang penggunaan benda mati dianggap benda hidup; (17) Simbolik yaitu majas yang membandingkan dengan simbol; (18) Simile yaitu majas yang menggunakan kata-kata perbandingan: seperti, laksana,


(26)

umpama; (19) Sinekdoke yaitu majas yang sebagian untuk keseluruhan dan sebaliknya. Sinekdoke dibagi menjadi dua jenis antara lain: (a) Pars Prototo yaitu majas yang menggunakan kata bermakna sebagian untuk menyatakan makna seluruhnya, (b) Totem Proparte yaitu majas yang menggunakan kata bermakna keseluruhan untuk menyatakan makna sebagian; (20) Sinestesia yaitu majas yang menggunakan beberapa indera; (21) Tropen yaitu istilah lain dengan makna sejajar.

(3) Majas Pertentangan

Majas pertentangan merupakan majas yang mengungkapkan hal yang bersifat bertentangan. Majas pertentangan terdiri atas: (1) Anakronisme yaitu majas yang tidak sesuai dengan peristiwa; (2) Antithesis yaitu majas yang berlawanan; (3) Kontradiksio yaitu majas yang berlawanan secara situasional; (4) Oksimoro yaitu majas yang berlawanan dalam kelompok kata yang sama; (5) Okupasi yaitu majas yang bertentangan dengan penjelasan; (6) Paradoks yaitu majas yang bertentangan tetapi benar; (7) Prolepsis/Antipasi yaitu majas yang kata-kata seolah-olah mendahului peristiwannya.

(4) Majas Sindiran

Majas sindiran merupakan majas yang mengandung sindiran. Majas sindiran terdiri atas: (1) Anifrasis yaitu majas yang menyatakan sindiran dengan makna berlawanan; (2) Innuendo yaitu majas yang mengecilkan keadaan yang sesungguhnya; (3) Ironi yaitu majas yang menyatakan sindiran halus; (4) Permainan


(27)

kata yaitu majas yang menyatakan sindiran disertai humor dengan cara merubah urutan kata; (5) Sarkasme yaitu majas yang menyatakan sindiran kasar; (6) Sinisme yaitu majas yang menyatakan sindiran agak kasar.

b) Simbol, dan Lambang

Simbol (symballein, Yunani) berarti memasukkan, mencampurkan, membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan objeknya (Ratna, 2013:171). Artinya, simbol merupakan perbandingan secara langsung mengenai suatu hal dengan hal lain yang memiliki kemiripan analogi. Menurut Wellek dan Warren (2014:219) kata simbol sebenarnya ada dua unsur kerja bahasa Yunani yang berarti mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi antara tanda dan objek yang diacu. Menurut teori sastra, simbol sebaliknya dipakai dalam pengertian sebagai berikut: sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi juga menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Persoalan yang dapat dipecahkan adalah memahami sekaligus menyimpulkan bahwa simbol sangat luas dan beragam, dimanfaatkan secara berbeda-beda dalam kehidupan manusia. Sistem simbol mempermudah keterpahaman antara-manusia, atau sebaliknya mempersulitnya sebab proses pemahaman justru diperpanjang, dimediasi, sehingga pemahaman menjadi tidak langsung, bahkan tersembunyi. Fungsi-fungsi simbol, diantaranya: a) simbol, khususnya simbol bahasa memungkinkan untuk memahami lebih banyak, b) simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami kehidupan, c) meningkatkan kemampuan untuk berpikir dan


(28)

menyelesaikan masalah, d) memungkinkan untuk mendahului ruang dan waktu, bahkan diri sendiri, e) simbol memungkinkan untuk membayangkan realitas metafisika, seperti neraka dan surga (Ratna, 2013:173). Lambang adalah suatu maksud melalui visualisasi (Ratna, 2011:177). Lambang secara langsung berkaitan dengan wujud bendanya, seperti Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Indonesia, tunas kelapa sebagai lambang Pramuka, salib untuk umat Nasrani, timbangan untuk pengadilan, dan sebagainya.

4) Proses Kreatif Pengarang dan Karakteristik Pengarang.

Proses kreatif pengarang dalam meuliskan sebuah karya memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter suatu karya. Untuk itu, setiap karya sastra yang memiliki ciri khas tersendiri dalam kaitannya dengan bahasa pengarang. Oleh karena itu, bahasa pengarang menunjukkan pemikiran, sikap dan karakter pengarang. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Keraf (2010:104) kata-kata bukan saja menunjukkan barang-barang atau sikap orang, tetapi merefleksikan juga tingkah laku sosial dari orang-orang yang mempergunakannya.

Bahasa yang digunakan pengarang biasanya dipengaruhi oleh faktor sosiokultural dan sosiohistoris pengarang. Karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan sosial-budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah seorang anggota masyarakat bangsanya. Oleh karena itu, sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra yang ada sebelumnya dan tidak terlepas dari latar sosial budaya


(29)

masyarakatnya. Semuanya itu tercermin atau terpancar dalam karya sastranya (Pradopo, 2013:107-108). Faktor sejarah dan sosial-budaya (sosiokultural) masyarakat dan pengarang menjadi faktor penting terciptanya suatu karya yang melatarbelakangi kekhasan pengarang dalam hal pengungkapan ide-idenya ke dalam karyanya. Banyak kritikus melakukan penelitian melalui biografi, sejarah sastra, periode tertentu, ideologi masyarakat tertentu, dan sebagainya. Oleh karena terdapat adagium Stilus virum arguit yaitu gaya mencerminkan orangnya. Maka lewat pemilihan dan penggunaan gayanya, dapatlah didefinisikan tingkat pendidikannya, kelompok sosial, maupun lingkungan sosial budaya pengarang (Sutejo, 2010:10).

Senada dengan beberapa asumsi di atas, Menurut Ratna (2013:96) paling sedikit ada lima faktor utama proses kreatif, yaitu: a) faktor psikologis, b) didaktis, c) sosiologis, d) ekonomis, dan e) estetis. Faktor yang berhubungan dengan sosiokultural dan ideologi pengarang ditunjukkan oleh faktor sosiologis dan faktor ekonomis. Faktor tersebut dipengaruhi oleh globalisasi masyarakat kontemporer yang mempengaruhi kreatifitas pengarang dalam membuat karya sastra. Selain itu faktor yang mempengaruhi karakteristik pengarang mengacu pada faktor psikologis, didaktis dan estetis. Faktor psikologis mengenai daya pikir pengarang dalam mengungkapkan gagasannya sehingga melahirkan karya yang berkualitas. Faktor didaktis sebagaimana karya sastra dapat digunakan untuk mendidik, mengajar dan mempengaruhi. Selain itu faktor estetis merupakan cara dalam membungkus ide tersebut menjadi suatu karya yang mengandung nilai estetis.


(30)

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Semi (1993:49) bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan pembawaan diri. Melalui bahasa, pengarang mampu menyentuh dan mempengaruhi perasaan pembaca untuk terhanyut dalam alur cerita. Semi (1993:49) menambahkan bahwa karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang pengarang; maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.

Senada dengan ungkapan tersebut, Keraf (2010:113) mengatakan bahwa gaya bahasa memungkinkan dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa tersebut Hal tersebut menentukan karakteristik seorang pengarang yang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan gagasan atau idenya dalam karya sastra. Hal tersebut untuk dapat membedakan dan memberikan keanekaragaman karya-karya antara masing-masing pengarang. Kekhasan pengarang diungkapkan melalui gaya berbahasa, misalnya sebagai intelektual, Alisjahbana cenderung menampilkan gaya keilmuan. Sebagai dramawan Putu Wijaya cenderung menampilkan gaya dialogis, Mangunwijaya religius, selain itu Pramoedya cenderung bergaya Marxis. Sebaliknya, karya-karya ilmiah Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono cenderung puitis. Novel Ayu Utami cenderung menampilkan gaya jurnalis (Ratna, 2013:69).


(31)

3. Pendidikan Karakter

a. Hakekat Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntutan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2012:45). Menurut Lickona (2013:72), karakter yang sesuai dengan pendidikan nilai: karakter terdiri atas nilai-nilai operatif, nilai-nilai yang berfungsi dalam praktek. Selain itu, menurut Kesuma dkk (2013:5-6) pendidikan karakter memiliki pengertian: (1) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran; (2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh; (3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah (lembaga). Demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntutan kepada peserta didik di sekolah dengan cara yang terintegrasi untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter budi pekrti dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa yang dapat diandalkan dan diggunakan untuk merespons berbagai situasi dengan cara yang bermoral.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai upaya yang terencana


(32)

untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.

Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baikterhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Penanaman nilai kepada warga sekolah maknanya bahwa pendidikan karakter akan efektif jika tidak hanya mahasiswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah dan tenagaa non-pendidik di sekolah semua harus terlibat dalam pendidikan karakter

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang (Muslich, 2011:81). Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

b. Nilai Pendidikan Karakter

Pada pendidikan karakter, dibutuhkan karakter-karakter yang patut untuk diteladani. Karakter tersebut meliputi sembilan pilar, yaitu cinta Tuhan dan segenap


(33)

ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran/amanah; hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerja sama; percaya diri dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; dan toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Muslich, 2011:79-80).

Menurut Kesuma dkk (2013:11-12), dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlak/perilaku yang luar biasa tercermin pada nabi Muhammad SAW, yaitu: (1) Sidik yang berarti benar, mencerminkan bahwa Rasulullah berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar dan berjuang menegakkan kebenaran; (2) Amanah yang berarti jujur atau terpercaya, mencerminkan bahwa apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan Rasulullah dapat dipercaya oleh siapa pun baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim; (3) Fatonah yang berarti cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan professional. Artinya, perilaku Rasulullah dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya dalam memecahkan masalah; (4) Tablig yang bermakna komunikatif mencerminkan bahwa siap pun yang menjadi lawan bicara Rasulullah, maka orang tersebut akan mudah memahami apa yang dibicarakan/dimaksudkan Rasulullah. Keempat sifat tersebut merupakan esensi, namun masih banyak karakter Rasulullah, seperti kesabaran, ketangguhan dan lain sebagainya.

Kesuma dkk (2013:12) membedakan nilai-nilai pendidikan karakter menjadi tiga yaitu (1) Nilai yang terkait dengan diri sendiri, terdiri atas: jujur, kerja keras, tegas, sabar, ulet, ceria, teguh, terbuka, visioner, mandiri, tegar, pemberani, reflektif,


(34)

tanggung jwaba, disiplin, dan lain sebagainya; (2) nilai yang terkait dengan orang/makhluk hidup lain, terdiri atas: senang membantu, toleransi, murah senyum, pemurah, kooperatif, komunikasi, penyeru kebaikan, pencegah kemungkaran, peduli, adil, dan lain sebagainya; (3) nilai yang terkait dengan Ketuhanan, antara lain: ikhlas, ikhsan, iman, takwa, dan sebagainya.

Selain itu Lickona (2013:74) mengungkapkan bahwa penilaian moral dapar memunculkan perasaan moral, tetapi perasaan moral juga bisa memengaaruhi pemikiran moral. Penilaian moral dan perasaan moral jelas berpengaruh terhadap perilaku moral, khususnya ketika keduanya hadir bersama. Hal tersebut digambarkan pada bagan berikut.

Gambar 1. Bagan Komponen-Komponen Karakter yang Baik Pengetahuan moral:

1. Kesadaran moral 2. Mengetahui nilai moral 3. Pengambil perspektif 4. Penalaran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan diri

Perasaan moral: 1. Hati nurani 2. Penghargaan diri 3. Empati

4. Menyukai kebaikan 5. Kontrol diri

6. Kerendahan hati

Aksi Moral: 1. Kompetensi 2. Kemauan 3. Kebiasaan


(35)

Menurut Lickona, pengetahuan moral meliputi: (1) kesadaran moral yaitu kemampuan untuk menangkap isu moral secara cerdas sesuai dengan situasi dan kondisi dari suatu objek dan berfikir cermat mengenai langkah yang dilakukan selanjutnya; (2) Mengetahui nilai moral yaitu mempelajari dan memahami nilai-nilai moral beserta aplikasinya sehingga terbentuklah pengetahuan mengenai nilai moral; (3) Pengambil perspektif yaitu memahami pandangan orang lain agar dalam pengambilan keputusan mampu bertanggungjawab dan menghargai orang lain; (4) Penalaran moral yaitu kemampuan peserta didik untuk menganalisis suatu situasi kan kondisi sesuai dengan kemampuan moral bernalarnya; (5) Pengambilan keputusan yaitu sikap moral dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan baik-buruk serta konsekuensinya; (6) Pengetahuan diri yaitu kesadaran untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan diri secara universal sebagai upaya untuk melakukan perubahan kearah yang lebih positif.

Perasaan moral menurut Lickona (2013:80-85) meliputi: (1) Hati nurani memiliki dua sisi: sisi kognitif dan sisi emosional. Sisi kognitif menuntun dalam melakukan kebenaran, selain itu sisi emosional menjadikan seseorang merasa berkewajiban untuk melakukan kebenaran; (2) Harga diri, jika seseorang memiliki harga diri yang sehat maka akan dapat menghargai diri sendiri. Jika seseorang mampu menghargai diri sendiri maka ia mampu menghormati diri sendiri dan tidak membirakan orang lain merusak tubuh dan pikirannya, maka ia mampu untuk mandiri dan bertahan dari tekanan yang berasal dari luar; (3) Empati merupakan kemampuan mengenali, atau


(36)

merasakan, keadaan yang tengah dialami oleh orang lain. Empati merupakan sisi emosional dari pengambilan perspektif. Rasa empati timbul ketika orang lain mengalami hal buruk, sehingga ada dorongan untuk menolong atau berusaha meringankan bebannya; (4) Cinta kebaikan yaitu ketertarikan kepada hal- hal yang baik dan berupaya untuk melakukannya; (5) Kontrol diri merupakan sikap menahan emosi diri dari hal-hal yang bersifat buruk dan merusak. Emosi dapat merusak akal, untuk itu kontrol diri merupakan pekerti moral yang penting; (6) Rendah hati yaitu sikap keterbukaan murni terhadap kebenaran sekaligus kehendak untuk berbuat sesuatu demi memperbaiki kegagalan. Rendah hati membantu untuk mengatasi kesombongan, prasangka buruk dan merendahkan orang lain. Sikap sombong dan merendahkan orang lain berpotensi menimbulkan rasa iri, dengki, dendam, dan dapat menyulut pertikaian.

Selain itu tindakan moral menurut Lickona (2013:86-89) yaitu: (1) Kompetensi moral yaitu kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Seseorang dapat memecahkan suatu masalah dengan baik dan tepat bila memiliki kompetensi moral yang baik; (2) Kehendak, dalam hal ini kehendak sangat dibutuhkan untuk menjaga emosi agar terkendali oleh akal. Kehendak juga dibutuhkan untuk dapat melihat dan memikirkan suatu keadaan melalui seluruh dimensi moral; (3) Kebiasaan, sikap moral yang baik dibangun melalui kebiasaan untuk berbuat baik.


(37)

Selain itu, terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter versi Kemendiknas sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan

Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional, dalam Suyadi, 2013:8-9) yaitu: (1) Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, teramasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan. (2) Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.

(3) Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut. (4) Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. (5) Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan dan lain-lain dengan sebaik-baiknya. (6) Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.


(38)

(7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas maupun persoalan. (8) Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain. (9) Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. (10) Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (11) Cinta tanah air, yakin sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonimi, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.

(12) Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi. (13) Komuniktif, senang bersahabat auat proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. (14) Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu. (15) Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca


(39)

berbagai informsdi, baik buku, jurnal, majalah, Koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.

(16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikasn lingkungan sekitar. (17) Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya. (18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, dan Negara maupun agama.

Beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter dibagi menjadi tiga aspek yaitu (1) nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan meliputi ikhlas, ikhsan, iman dan takwa. (2) Nilai pendidikan karakter terhadap diri sendiri meliputi cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati, disiplin, kerja keras,kreatif, mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar membaca,tegas, tegar, sabar, visioner, pemberani, dan ramah. Nilai pendidikan karakter terhadap orang lain terdiri atas jujur, komunikatif, berhati nurani, empati, toleransi, menghargai prestasi dan pemurah. (3) Nilai pendidikan karakter terhadap masyarakat meliputi demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab, kooperatif dan adil. (4) Nilai pendidikan karakter terhadap bangsa dan Negara meliputi nasionalisme, cinta tanah air. (5) Nilai pendidikan karakter terhadap lingkungan alam meliputi peduli lingkungan.


(40)

C. Kerangka Berpikir

Pengarang mendayagunakan potensi bahasanya sehingga pemikiran dan ide pengarang dapat disajikan dengan bahasa-bahasa yang indah agar mengandung nilai estetika tinggi dan memiliki daya tarik bagi pembaca. Oleh karena itu, bahasa sastra memiliki makna yang dalam dan tersembunyi yang bersifat pragmatis. Maka, kajian mengenai estetika bahasa dalam karya sastra penting untuk menafsirkan maksud dan pesan dari pengarang.

Pengkajian mengenai estetika bahasa yaitu dengan menggunakan pendekatan stilistika. Pendekataan stilistika dalam penelitian ini menelaah mengenai keindahan bahasa sastra yang digunakan pengarang dalam novel Bilangan Fu yang memiliki nilai estetika tinggi dan sarat akan nilai edukatif. Oleh karena, kehandalan untuk mendayagunakan potensi bahasa pengarang dalam membungkus gagasan dan pemikirannya sangat tinggi, maka novel tersebut perlu dikaji secara mendalam untuk menafsirkan makna, pemikiran dan gagasan pengarang. Untuk itu, judul penelitian ini

Bilangan Fu

Pada penelitian ini, untuk menafsirkan makna, pemikiran, dan gagasan pengarang, peneliti memfokuskan pada unsur pembentuk teks sastra yang mengandung estetika bahasa pada novel Bilangan Fu yaitu diksi, kata konkret, citraan dan bahasa figuratif. Kajian stilistika tidak terbatas pada teks, namun pada


(41)

proses kreatif pengarang dalam menciptakan karya tersebut sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat diketahui karakteristik pengarang. Proses kreatif pengarang mengacu pada latar sosial budaya pengarang dan ideologi pengarang. Selain itu, peneliti mengungkap nilai-nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Tahap pertama, peneliti mengkaji aspek stilistika yaitu diksi, kata konkret, citraan, bahasa figuratif dan nilai pendidikan karakter dengan cara (1) memahami pemikiran pengarang dalam novel Bilangan Fu, (2) mengumpulkan data dan mengelompokkan data sesuai dengan aspek kajian stilistika yang sudah ditentukan, (3) mendeskripsikan dan memaparkan data sesuai dengan aspek stilistika yang sudah ditentukan. Tahap kedua, mengkaji mengenai proses kreatif dan menentukan karakteristik pengarang. Tahap ketiga, mengungkapkan nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.


(42)

Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir

Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami

Nilai Pendidikan Karakter Kajian Stilistika dalam

Karya Sastra

1. Diksi dan Kata Konkret 2. Citraan

Bahasa Figuratif Proses Kreatif dan Karakteristik Pengarang

1. Stilistika pada novel Bilangan Fu

2. Nilai pendidikan karakter pada novel Bilangan Fu

1. Ikhlas, ikhsan, iman dan takwa terhadap Tuhan.

Cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati, disiplin, kerja keras,kreatif,

mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar membaca, tegas, tegar, sabar, visioner, dan pemberani terhadap diri sendiri. Jujur, komunikatif, berhati nurani, empati, toleransi, menghargai prestasi, ramah dan pemurah terhadap orang lain.

Demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab, kooperatif, dan adil terhadap masyarakat.

Nasionalisme, cinta tanah air terhadap bangsa dan Negara. Peduli terhadap lingkungan.


(1)

Selain itu, terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter versi Kemendiknas sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan

Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional, dalam Suyadi, 2013:8-9) yaitu: (1) Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, teramasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan. (2) Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.

(3) Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut. (4) Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. (5) Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan dan lain-lain dengan sebaik-baiknya. (6) Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.


(2)

(7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas maupun persoalan. (8) Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain. (9) Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. (10) Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (11) Cinta tanah air, yakin sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonimi, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.

(12) Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi. (13) Komuniktif, senang bersahabat auat proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. (14) Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu. (15) Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca


(3)

berbagai informsdi, baik buku, jurnal, majalah, Koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.

(16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikasn lingkungan sekitar. (17) Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya. (18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, dan Negara maupun agama.

Beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter dibagi menjadi tiga aspek yaitu (1) nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan meliputi ikhlas, ikhsan, iman dan takwa. (2) Nilai pendidikan karakter terhadap diri sendiri meliputi cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati, disiplin, kerja keras,kreatif, mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar membaca,tegas, tegar, sabar, visioner, pemberani, dan ramah. Nilai pendidikan karakter terhadap orang lain terdiri atas jujur, komunikatif, berhati nurani, empati, toleransi, menghargai prestasi dan pemurah. (3) Nilai pendidikan karakter terhadap masyarakat meliputi demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab, kooperatif dan adil. (4) Nilai pendidikan karakter terhadap bangsa dan Negara meliputi nasionalisme, cinta tanah air. (5) Nilai pendidikan karakter terhadap lingkungan alam meliputi peduli lingkungan.


(4)

C. Kerangka Berpikir

Pengarang mendayagunakan potensi bahasanya sehingga pemikiran dan ide pengarang dapat disajikan dengan bahasa-bahasa yang indah agar mengandung nilai estetika tinggi dan memiliki daya tarik bagi pembaca. Oleh karena itu, bahasa sastra memiliki makna yang dalam dan tersembunyi yang bersifat pragmatis. Maka, kajian mengenai estetika bahasa dalam karya sastra penting untuk menafsirkan maksud dan pesan dari pengarang.

Pengkajian mengenai estetika bahasa yaitu dengan menggunakan pendekatan stilistika. Pendekataan stilistika dalam penelitian ini menelaah mengenai keindahan bahasa sastra yang digunakan pengarang dalam novel Bilangan Fu yang memiliki nilai estetika tinggi dan sarat akan nilai edukatif. Oleh karena, kehandalan untuk mendayagunakan potensi bahasa pengarang dalam membungkus gagasan dan pemikirannya sangat tinggi, maka novel tersebut perlu dikaji secara mendalam untuk menafsirkan makna, pemikiran dan gagasan pengarang. Untuk itu, judul penelitian ini

Bilangan Fu

Pada penelitian ini, untuk menafsirkan makna, pemikiran, dan gagasan pengarang, peneliti memfokuskan pada unsur pembentuk teks sastra yang mengandung estetika bahasa pada novel Bilangan Fu yaitu diksi, kata konkret, citraan dan bahasa figuratif. Kajian stilistika tidak terbatas pada teks, namun pada


(5)

proses kreatif pengarang dalam menciptakan karya tersebut sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat diketahui karakteristik pengarang. Proses kreatif pengarang mengacu pada latar sosial budaya pengarang dan ideologi pengarang. Selain itu, peneliti mengungkap nilai-nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Tahap pertama, peneliti mengkaji aspek stilistika yaitu diksi, kata konkret, citraan, bahasa figuratif dan nilai pendidikan karakter dengan cara (1) memahami pemikiran pengarang dalam novel Bilangan Fu, (2) mengumpulkan data dan mengelompokkan data sesuai dengan aspek kajian stilistika yang sudah ditentukan, (3) mendeskripsikan dan memaparkan data sesuai dengan aspek stilistika yang sudah ditentukan. Tahap kedua, mengkaji mengenai proses kreatif dan menentukan karakteristik pengarang. Tahap ketiga, mengungkapkan nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.


(6)

Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir

Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami

Nilai Pendidikan Karakter Kajian Stilistika dalam

Karya Sastra

1. Diksi dan Kata Konkret 2. Citraan

Bahasa Figuratif Proses Kreatif dan Karakteristik Pengarang

1. Stilistika pada novel Bilangan Fu

2. Nilai pendidikan karakter pada novel Bilangan Fu

1. Ikhlas, ikhsan, iman dan takwa terhadap Tuhan.

Cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati, disiplin, kerja keras,kreatif,

mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar membaca, tegas, tegar, sabar, visioner, dan pemberani terhadap diri sendiri. Jujur, komunikatif, berhati nurani, empati, toleransi, menghargai prestasi, ramah dan pemurah terhadap orang lain.

Demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab, kooperatif, dan adil terhadap masyarakat.

Nasionalisme, cinta tanah air terhadap bangsa dan Negara. Peduli terhadap lingkungan.