PROSES BELAJAR AGAMA DI TPA TPQ PROGRAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

Jln. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2 Kedung Badak Bogor 16162

KATA PENGANTAR

ِل ل ِلٱ ِ ِلٱ ِل ِٱ ِ

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada kita, khususnya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat beriring salam senantiasa kita hadiahkan kepada junjungan alam kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan kita para pengikutnya sampai akhir zaman.

Alhamdulillah atas izin Allah SWT saya dapat menyelesaikan penyusunan

makalah penelitian ini yang berjudul “Proses Belajar Agama di TPA/TPQ ”.

Adapun tujuan penyusun membuat makalah ini, tidak lain hanya untuk membantu para mahasiswa agar memiliki cakrawala pandang yang lebih luas dalam bidang Ilmu Jiwa Belajar serta memahami dan menemukan pola mengenai proses belajar agama melalui penelitian secara kualitatif, sistematis dan logis. Dan juga sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir semester Genap/IV (empat) Mata Kuliah Ilmu Jiwa Belajar II. Semoga dapat bermanfaat untuk ke depannya.

Bogor, Mei 2014 Penyusun

Muhammad Reza Noviandy

NPM : 12214210582

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama dipelajari yang bertujuan untuk memahaminya oleh seluruh umat manusia. Dengan agama pula manusia diatur dan diarahkan ke jalan yang benar menurut keyakinannya masing-masing. Begitu pula umat Muslim, agama menjadi pedoman yang tuntunan hidup untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dari pada itulah pemahaman tentang agama sangatlah penting bagi setiap umat manusia terlebih bagi setiap individunya. Dan dalam hal memahami sebuah agama pastilah ada proses yang harus dilalui dan dijalani. Proses belajar agama telah dimulai sejak seseorang terlahir ke dunia hingga akhir hayatnya. Oleh sebab itu sangatlah penting mengetahui segala bentuk dan usaha seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam proses belajar agamanya, terlebih di zaman yang semakin modern dengan kemajuan teknologinya yang tidak dapat kita hindari. Untuk itu menanamkan pengetahuan agama sejak usia dini menjadi suatu yang harus dilakukan agar seseorang mempunyai pegangan hidup yang akan menjadi filter dalam dirinya untuk menyaring segala macam bentuk kebaikan maupun keburukan yang terpampang di depan mata, agar tidak salah arah dan terperosok ke lubang hitam di dalam menjalani kehidupan ini. Maka dari pada itu, dengan mengadakan penelitian dan pengamatan ini khususnya untuk mengamati proses belajar agama di suatu lingkungan tertentu dapat menjadi tolak ukur bagi kita dalam meningkatkan proses belajar agama ke depannya.

B. Rumusan Masalah

Di dalam penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan beberapa masalah yang dituangkan menjadi beberapa pertanyaan, sebagai berikut:

1. Bagaimana proses belajar agama di suatu lingkungan tertentu, misalnya di sebuah TPA/TPQ ?

2. Adakah hambatan/masalah yang ditemukan dalam proses belajar agama ?

3. Apa yang menjadi tantangan dalam proses belajar agama ?

4. Adakah perubahan perilaku atau sikap setelah seseorang belajar agama ?

5. Apa saja manfaat dari belajar agama ?

C. Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji proses belajar agama di sebuah TPA/TPQ, apakah ada faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar agama tersebut dan bagaimanakah hasil dari proses belajar agama tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Mengungkapkan secara spesifik kegunaan yang hendak dicapai dari:  Aspek

menyebutkan kegunaan teoretis/metodologi apa yang dapat dicapai dari masalah yang diteliti. (bisa berupa temuan, kritisi, pengembangan teori/metodologi)

 Aspek praktis (guna laksana) dengan menyebutkan kegunaan apa yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan penelitian ini. (kegunaan bagi sosial, subjek/objek yang diteliti)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Belajar

1. Pengertian Belajar

Jika kita membaca buku-buku pendidikan dan psikologi, kita dapat menemukan banyak sekali definisi atau pengertian belajar yang dikemukakan oleh para ahli. Dan dalam pembahasan ini saya akan mengemukakan beberapa definisi atau pengertian belajar menurut para ahli, sebagai berikut :

a. W.S Winkel (1989:6) memberikan pengertian belajar sebagai bentuk perubahan diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah

laku yang baru, akibat pengalaman dan latihan. 1

b. Sartain (1973:240) mengemukakan pengertian belajar sebagai “The process by which a relativity enduring change in behavior occurs a result of experience practice ” yang dapat diartikan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tahan lama

sebagai hasil dari pengalaman. 2

c. Surya (1985:23) mengemukakan pengertian lain tentang belajar, menurutnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi- interaksi dengan lingkungannya.

d. Whiterington (M.Buchori, 1983:3) mengartikan belajar sebagai suatu proses perubahan dalam kepribadian sebagaimana dimanifestasikan dalam perubahan penguasaan pola-pola respons tingkah laku yang baru nyata dalam perubahan keterampilan, kebiasaan, kesanggupan, dan sikap.

1 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung, Cet.Kedua: 2007. hlm. 328. 2

Ibid.

e. Reber (Muhibbin Syah, 1995: 90) mendefinisikan belajar yaitu Pertama, bela jar adalah “the process of knowledge”, yakni proses memperoleh pengetahuan, kedua belajar adalah “a relativity

permanent change in responpotential alit which occurs as result of reinforced practice ”, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.

Dilihat dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses tingkah laku yang terjadi pada diri individu sebagai hasil pengalaman atau hasil interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Dan perubahan hasil belajar ini hanya berkaitan dengan penambahan kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Akan tetapi juga berhubungan dengan perubahan pola-pola respons dari seluruh aspek-aspek kepribadian seseorang yang telah melakukan aktivitas belajar.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Agar kita dapat mencapai keberhasilan belajar yang maksimal, tentu saja kita harus memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar tersebut. Pemahaman itu juga penting agar selanjutnya kita dapat menentukan latar belakang dan penyebab kesulitan belajar yang suatu saat mungkin kita alami. Dan faktor-faktor tersebut terbagi ke dalam dua jenis yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal. berikut penjelasannya :

a. Faktor Internal

Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Faktor ini terdiri dari faktor biologis dan faktor psikologis.

1) Faktor Biologis (Jasmaniah)

Faktor biologis meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan fisik atau jasmani individu yang bersangkutan. Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan sehubungan dengan faktor biologis ini di antaranya sebagai berikut:

Pertama, kondisi fisik yang normal. Kondisi fisik yang normal atau tidak memiliki cacat sejak dalam kandungan sampai sesudah lahir sudah tentu merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan belajar seseorang.

Kondisi fisik yang normal ini terutama harus meliputi keadaan otak, panca- indra, anggota tubuh seperti tangan dan kaki, dan organ-organ tubuh bagian dalam yang akan menentukan kondisi kesehatan seseorang.

Kedua, kondisi kesehatan fisik. Bagaimana kondisi kesehatan fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang, tentunya telah kita ketahui dengan mudah dan tidak perlu lagi kita bicarakan secara panjang lebar. Namun demikian, di dalam menjaga kesehatan fisik, ada beberapa hal yang sangat diperlukan. Hal tersebut di antaranya adalah makan dan minum harus teratur serta memenuhi persyaratan kesehatan, olahraga secukupnya, dan istirahat yang cukup. Selain itu, jika terjadi gangguan kesehatan, segeralah berobat dan jangan membiasakan diri untuk membiarkan

terjadinya gangguan kesehatan secara berlarut-larut. 3

2) Faktor Psikologis (Rohaniah)

Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang. Dan berikut hal- hal yang meliputi faktor psikologis seseorang dalam menentukan keberhasilan

belajarnya: 4  Kecerdasan/Intelegensi Siswa, Kecerdasan merupakan faktor psikologis

yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi tingkat intelegensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat inteligensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan perlu dimiliki oleh setiap calon guru atau guru profesional, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasan siswanya.

 Motivasi, Motivasi adalah salah satu faktor yang memengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan

3 Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif: panduan menemukan teknik belajar,memilih jurusan, dan menentukan cita-cita, Jakarta: 2000, hlm. 11-12. 4

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: 2003.

kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang. Dari sudut sumbernya, motivasi dibagi menjadi dua, yairu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang lebih efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar (ekstrinsik). Sedangkan Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, reladan guru orangtua, dan lain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungan secara positif akan memengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.

 Minat, Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003), minat bukanlah istilah yang populer dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.

Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar. Karena jika seseorang tidak memiliki minat untuk belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dipelajarinya.

Untuk membangkitkan minat belajar siswa tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain, pertama, dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, Untuk membangkitkan minat belajar siswa tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain, pertama, dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi,

 Sikap, Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi

afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003). Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performa guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya. Dengan profesionalitas, seorang guru akan berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya, berusaha mengembangkan kepribadian sebagai seorang guru yang empatik, sabar, dan tulus kepada muridnya, berusaha untuk menyajikan pelajaran yang diampunya dengan baik dan menarik sehingga membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan, meyakinkan siswa bahwa bidang studi yang dipelajari bermanfaat bagi diri siswa.

 Bakat, faktor psikologis lain yang memengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan

potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorangyang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.

 Rasa percaya diri, rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui

bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian “ perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa. Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya diri semakin kuat. Begitupun sebaliknya kegagalan yang berulang kali dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. Bila rasa tidak percaya diri sangat kuat, maka diduga siswa akan menjadi takut belajar.

b. Faktor Eksternal

Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor faktor eksternal yang memengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan

faktor lingkungan nonsosial. 5

1) Lingkungan Sosial

 Lingkungan sosial keluarga, lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orang tua, demografi keluarga (letak

rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orang tua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.

 Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan yang harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. maka para pendidik, orang tua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang di miliki oleh anaknya atau peserta didiknya, antara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

5 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: 2003.

 Lingkungan sosial masyarakat, kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak telantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya.

2) Lingkungan Non Sosial

 Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap,

suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terhambat.

 Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olahraga. Contohnya, letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi syarat-syarat seperti di tempat yang tidak terlalu dekat kepada kebisingan atau jalan ramai, lalu bangunan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan- peraturan sekolah, buku panduan, silabi, dan lain sebagainya.

 Faktor materi pelajaran, Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa, begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan

dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.

3. Pentingnya Belajar dalam Kehidupan

Belajar adalah suatu kegiatan dari yang tidak tahu menjadi tahu. Itu sebabnya belajar itu sangat penting bagi seluruh manusia termasuk kita sebagai seorang pelajar atau mahasiswa. Karena tanpa belajar maka kita tidak akan mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui. Bahkan adapun orang Belajar adalah suatu kegiatan dari yang tidak tahu menjadi tahu. Itu sebabnya belajar itu sangat penting bagi seluruh manusia termasuk kita sebagai seorang pelajar atau mahasiswa. Karena tanpa belajar maka kita tidak akan mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui. Bahkan adapun orang

ternyata belajar itu adalah suatu yang sangat menyenangkan. Belajar juga memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan tragis bisa pula terjadi karena belajar, contoh, tidak sedikit orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk membuat orang lain terpuruk atau bahkan menghancurkan kehidupannya tersebut.

Kenyataan tragis lainnya yang lebih parah juga terkadang muncul karena hasil belajar. Hasil belajar pengetahuan dan teknologi tinggi, misalnya, tak jarang digunakan untuk membuat senjata pemusnah sesama umat manusia. Alhasil, kinerja akademik (academic performance) yang merupakan hasil belajar itu, di samping membawa manfaat terkadang juga membawa mudarat. Akan kehilangan arti penting upaya belajar karena timbulnya tragedi-tragedi tadi.

Meskipun ada dampak negatif dari hasil belajar pada sekelompok manusia tertentu, kegiatan belajar tetap memiliki arti penting alasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, belajar itu berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Artinya, dengan ilmu dan teknologi hasil belajar, maka kelompok manusia dapat menggunakan untuk membangun benteng pertahanan. Iptek juga dapat dipakai untuk membuat senjata penangkis agresi sekelompok manusia tertentu yang bernafsu serakah atau mengalami gangguan psychopathy yang berwatak merusak dan antisocial.

(Rebert, 1998). 6

6 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: 1999.

Selanjutnya, dalam perspektif keagamaan pun (dalam hal ini islam) belajar merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman agar memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan mereka. Hal ini dinyatakan dalam Al- Qur’an surat Al-Mujadalah (58) ayat 11 :

ِْرل قخِقن كقۡقِقل ِكِٱ ِق ِ ي ق ق ق ِ ِق ۡ ل ۡ ِنا ك أِ ِق ل ٱ ِق ِۡ ك ل ِنا ك ق اقحِ ِق ل ٱ ِ ِكِٱ ِلعقٱۡلق ِ ِنا ك كنٱ ِقِ ِنا ك كنٱ Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-

lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah: 11)

Ilmu dalam hal ini tentu saja tidak hanya berupa pengetahuan agama tetapi juga berupa pengetahuan yang relevan dengan tuntutan kemajuan zaman. Selain itu, ilmu tersebut juga harus bermanfaat bagi kehidupan orang banyak di samping bagi kehidupan diri pemilik ilmu itu sendiri.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, para calon guru atau guru profesional atau Dosen seyogianya melihat hasil belajar siswa atau mahasiswa dari berbagai sudut kinerja psikologis yang utuh dan menyeluruh. Sehubungan dengan itu, seorang siswa atau mahasiswa yang menempuh proses belajar, idealnya ditandai oleh munculnya pengalaman-pengalaman psikologis baru yang positif. Pengalaman yang bersifat kejiwaan tersebut diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sifat, sikap, dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan yang destruktif (merusak).

Untuk mencapai hasil belajar yang ideal, kemampuan para pendidik dalam membimbing belajar murid-muridnya atau mahasiswanya amat dituntut. Jika guru atau dosen dalam keadaan siap dan memiliki profesional (berkemampuan tinggi) dalam menunaikan kewajibannya, maka harapan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas sudah tentu akan tercapai.

B. Agama

1. Pengertian Agama

Banyak ahli menyebutkan bahwa agama berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama adalah peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang

gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama. 7 Menurut Drajat, agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan

terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang

paling maknawi (ultimate meaning). 8 Hadikusuma juga mengemukakan agama sebagai ajaran yang diturunkan

oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya. 9 Ada juga yang menyebutkan agama sebagai suatu ciri kehidupan sosial

manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara- cara berpikir dan pola- pola perilaku yang memenuhi untuk disebut “agama” yang terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka yang di

dalamnya juga mengandung komponen ritual. 10 Cliffort Geertz mengistilahkan agama sebagai sebuah sistem simbol-

simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan

7 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Yogyakarta: 1997, hlm. 28. 8

Ari Widiyanta, Sikap Terhadap Lingkungan Alam (Tinjauan Islam dalam Menyelesaikan Masalah Lingkungan) Makalah Psikologi: Fakultas Kedokteran/Program Studi Psikologi- Universitas Sumatera Utara: 2002, hlm. 10. 9

Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: 2006, hlm. 33. 10 Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: 2002, hlm. 29.

membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistis. 11

Dan ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa t ersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat. 12 Menurut Cicero, relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan

dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Lactancius mengartikan kata relegare sebagai

mengikat menjadi satu dalam persatuan bersama. 13 Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung

berbagai arti, ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al- ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al- tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al- tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan pengesaan Tuhan). 14

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dan Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur emosional dan kenyataan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.

2. Aspek-aspek dan Dimensi Ajaran Agama

Dalam bukunya. American Piety: The Nature of Religious Commitment, C.Y. Glock dan R. Stark menyebutkan ada lima dimensi keagamaan dalam diri manusia yakni, dimensi praktek agama, dimensi keyakinan, dimensi

11 12 Cliffort Geertz, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: 1992, hlm. 5. 13 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: 2002, hlm. 13.

14 Faisal Ismail, Loc.Cit, hlm. 28. Ibid, hlm. 13.

pengetahuan agama, dimensi pengalaman keagamaan dan dimensi konsekuensi. 15

Glock dan Stark menyebutkan kelima dimensi keagamaan tersebut sebagai berikut :

a. Religious Practice (the ritualistik dimension)

Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa, dan sebagainya.

b. Religious Belief (the ideological dimension)

Sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kita, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain yang bersifat dogmatik.

c. Religious Knowledge (the Intellectual dimension)

Seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.

d. Religious Feeling (the experiental dimension)

Dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman- pengalaman yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut akan berbuat dosa, seseorang merasa do’anya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.

e. Religious Effect (the consequential dimension)

Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan

konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain. 16

Lalu dari penelitian oleh Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987) juga menunjukkan persamaan dengan dimensi keagamaan yang dikemukakan oleh Glock dan Strk, yakni :

15 16 Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 53-54. Ari Widiyanta, Op.Cit, hlm. 11.

a. Dimensi Iman

Mencakup hubungan manusia dengan tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi, Mukjizat, hari akhir, dan adanya setan serta takdir baik dan buruk.

b. Dimensi Islam

Sejauh mana tingkat frekuensi, intensitas, dan pelaksanaan ibadah seseorang. Dimensi ini mencakup pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji.

c. Dimensi Ihsan

Mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan menerima balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan untuk melaksanakan perintah agama.

d. Dimensi Ilmu

Seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang agamanya, misalnya pengetahuan tentang tauhid, fiqh, dan lainnya.

e. Dimensi Amal

Meliputi bagaimana pengalaman keempat dimensi di atas yang ditunjukkan dalam perilaku seseorang. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dan dengan lingkungan alamnya.

Kelima dimensi tersebut adalah merupakan aspek-aspek yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Berikut ini akan dijelaskan persamaan antara dimensi keagamaan yang dikemukakan oleh Glock dan Stark dengan dimensi keagamaan yang dikemukakan dalam penelitian Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup:

 Aspek Isman (religious belief)  Aspek Islam (religious practice)  Aspek Ihsan (religious feeling)  Aspek Amal (religious effect)  Aspek Ilmu (religious knowledge)

Hampir serupa dengan kedua pendapat di atas, keagamaan dalam Islam merujuk kepada hadits Rasulullah SAW yang bersumber dari Ibnu Umar r.a, sebagai berikut:

ِل ن ق ااِ لم ق ق ِقن ق ق ق ِلمن قصق ِلة ق ِلٱاِلح ق ِِلة قَ ِلٱاِلم ق ِِل ِٱاِ كا كسق ِاًدِ ق ك ِِنقأق ِك ِٱاِ ِ لإِق ق لإِ ق Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar, telah menceritakan

kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Su'air bin al Khims at Tamimi dari Habib bin Abi Tsabit dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dibangun atas lima dasar: persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa

Ramadhan, dan haji ke Baitullah. (H.R. Tirmidzi) 17 Dari hadits di atas maka dapat disimpulkan kelima aspek keagamaan

ajaran Islam adalah sebagai berikut :

a. Aspek Akidah (Ideologi)

Seorang Muslim yang religius akan memeliki ciri utama berupa akidah yang kuat. Aspek akidah ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman(iman kepada Allah, Malaikat, kitab- kitab, Nabi, hari akhir serta qada’ dan qadar), kebenaran agama dan masalah-masalah gaib yang diajarkan agama. Inti aspek akidah dalam ajaran Islam adalah Tauhid atau mengesakan dan ketakwaan kepada Allah. Agama Islam menyeru manusia agar beriman

dan bertakwa. 18 Sebagaimana dalam Allah berfirman: ۡ

17 18 Kitab Sunan At-Tirmidzi No. 2534. Hery Noer Aly dan Munzier Suparta, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: 2000, hlm. 138.

ۡ ۡ ِ ِقن ك ِ ك ۡٱ ِك ك ِ ق لئٓ قلن كأق ِ ِۖنا ك ِقد قصِ ِق ل ٱ ِ ق لئٓ قلن كأِ ِ ل ا ق ِقلقِ ِلحهاِ ِلٱ ِق ِ ِلحه قس ق ا ِ لِ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang- orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang- orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 177)

b. Aspek Ibadah (Ritual)

Aspek ibadah ini dapat diketahui dari sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh agamanya. Aspek ibadah berkaitan dengan frekuensi, intensitas dan pelaksanaan ibadah seseorang.

Konsep ibadah berpusat pada prinsip dasar penting bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Allah berkehendak menciptakan manusia untuk menjadi khalifahnya yang memikul amanat risalah dan menjalankan syariatnya. Makna ini terdapat dalam firman Allah pada surat Adz-Dzariyat ayat 56:

ۡ ۡ ِلن كدك ۡ ق لٱِ لإِ ِ ق ٱل ْ ِق ِ ِِ ل ٱ ِ ك ۡ ق قخِ قق Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

c. Aspek Amal (Pengalaman)

Aspek amal ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari- Aspek amal ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-

Akhlak sebenarnya adalah buah dari keyakinan dan ibadah seseorang. 19 Aspek amal ini dalam Al- Qur’an di sebutkan sebagai berikut :

Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (QS. Saba’: 37)

d. Aspek Ihsan (Penghayatan)

Aspek ihsan berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan di lihat oleh Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah hadits dise butkan: “Ihsan itu adalah hendaknya kita menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan kalau kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu. ” (H.R. Muttafaq Alaih/H.R. Muslim)

Dalam Islam, aspek ihsan mencakup perasaan dekat dengan Allah, perasaan nikmat dalam melaksanakan ibadah, pernah merasa diselamatkan Allah, tersentuh atau bergetar ketika mendengar asma-asma Allah (seperti suara adzan dan lantunan ayat-ayat suci Al- Qur’an), dan perasaan syukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah SWT dalam kehidupan mereka.

e. Aspek Ilmu (Pengetahuan)

Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Orang-orang yang beragama paling tidak

19 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: 2001, hlm. 39.

harus mengetahui hal-hal yang pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi.

Dengan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan agama yang dianut seseorang akan lebih paham tentang ajaran agama yang dipeluknya. Jadi keagamaan seseorang bukan hanya sekedar atribut atau simbol semata, namun menjadi tampak jelas dalam kehidupan pribadinya. Jelasnya, aspek ilmu ini mencakup empat bidang, yakni akidah, ibadah, akhlak serta pengetahuan tentang Al- Qur’an dan Al-Hadits.

3. Urgensi Agama dalam Kehidupan

Ketika sesorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbullah tanda tanya dalam hatinya sendiri tentang banyak hal. Dalam lubuk hati yang dalam , memancar kecenderungan untuk tahu berbagai rahasia yang masih merupakan misteri yang terselubung. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain; dari mana saya ini, Mangapa saya tiba-tiba ada, hendak kemana saya dan bisikan lainnya.

Sekurang-kurangnya ada alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan tersebut secara singkat dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Latar Belakang Fitrah Manusia Dalam bukunya berjudul Prospektif Manusia dan Agama, Murthada

Muthahhari mengatakan bahwa di saat berbicara tentang para Nabi as. Menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingat manusia kepada manusia yang telah diikat oleh fitrah manusia, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak dicatat di atas kertas melainkan dengan pena ciptaan Allah di permukaan terbesar dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.

Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan kepada agama islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia, sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitri keagamaan yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia kepada agama, oleh karenanya ketika Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan kepada agama islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia, sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitri keagamaan yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia kepada agama, oleh karenanya ketika

ق ِقن ك ق ۡ قيِ ِ ِ ل ِٱ ِق قَۡ أِ ِ ل قلق ِ ِك لم ق ۡ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Ruum: 30) Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah

mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Setiap ciptaan Allah mempunyai fitrahnya sendiri-sendiri jangankan Allah sedang manusia saya membuat sesuatu itu dengan fitrahnya sendiri-sendiri .

Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama ini memerlukan pembinasaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.

b. Kelemahan dan Kekurangan Manusia

Faktor lainnya yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan.

Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya kemampuan M. Abdul Alim Shadd iqi dalam bukunya “Quesk For True Happines” menyatakan bahwa keterbatasan manusia itu terletak pada pengetahuannya hanyalah tentang apa yang terjadi sekarang dan sedikit tentang apa yang telah izin. Adapun tentang masa depan yang sama sekali tidak tahu, oleh sebab itu kata Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya kemampuan M. Abdul Alim Shadd iqi dalam bukunya “Quesk For True Happines” menyatakan bahwa keterbatasan manusia itu terletak pada pengetahuannya hanyalah tentang apa yang terjadi sekarang dan sedikit tentang apa yang telah izin. Adapun tentang masa depan yang sama sekali tidak tahu, oleh sebab itu kata

Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini ialah dengan senjata agama.

Allah menciptakan manusia dan berfirman bahwa manusia itu telah di ciptakan-Nya dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan lemah. Sebagaimana firman-Nya:

ِي قدق ل ِك قن ۡ ق قخِفحۡ قَِ ِ كُِ ِ لإ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu (termasuk manusia)

menurut (batas) ukuran. (QS. Al-Qamar: 49)

c. Tantangan Manusia

Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan bisikan setan sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang di manifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari keluhan.

Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya, berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan

mengejar mereka agar taat menjalankan agama. 20

20 Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung: tt, hlm. 15.

BAB III METODOLOGI

A. Metode Penelitian

Metodologi adalah cara-cara yang dipakai dalam penelitian ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objek yang diteliti. Pengetahuan yang dimaksud di sini yakni pengetahuan yang telah dibangun dalam kajian teori, sedangkan objeknya adalah situasi sosial penelitian. Menurut Sugiyono, latar sosial adalah sampel dan populasi penelitian. 21 Oleh karena itu penelitian

kualitatif dipilih untuk penelitian Pendidikan Agama Islam (PAI) bukanlah dengan maksud penelitian jenis lain tidak dapat atau tidak cocok digunakan. Ini dilakukan untuk membangun keseimbangan karena selama ini penelitian

kualitatif masih sangat dominan digunakan. 22 Dalam hal ini yang menjadi situasi sosial (sampel dan populasi) penelitian ini adalah para anak-anak murid usia 5-

12 tahun di TPA/TPQ Ar-Rahim yang terletak di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor Jawa Barat. Jadi, metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian untuk penelitian kualitatif ini yang bermaksud mendapatkan data secara alamiah itu terjadi di sebuah TPA/TPQ Ar-Rahim yang terletak di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Pemilihan situasi sosial ini disebabkan karena lokasi penelitian terletak di daerah yang sama/ atau tidak terlalu jauh dari tempat tinggal peneliti.

21 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: 2008, hlm. 399.

22 Nusa Putra dan Santi Lisnawati, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam, Bandung: 2013, cet. Kedua, hlm. 19.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data di sini dilakukan melalui sumber primer atau data primer. Data primer adalah data yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumber utamanya. Misalnya peneliti ingin mengetahui proses belajar mengajar di sebuah sekolah dasar maka sumber data adalah dari sekolah dasar yang bersangkutan.

Cara mengumpulkan data primer dapat dilakukan melalui cara-cara: (1) wawancara, (2) observasi, (3) kuesioner. Penggunaan tiga cara ini disesuaikan dengan informasi apa yang diperoleh, waktu yang tersedia, dana yang tersedia, dan tenaga peneliti yang akan melakukan penelitian. Apabila instrumen yang dipakai adalah peneliti maka informasi yang akan dicari adalah informasi kualitatif maka pilihan yang terbaik adalah memakai wawancara atau observasi. Bila informasi yang akan dicari adalah informasi kuantitatif maka pilihan yang terbaik adalah menggunakan kuesioner. Observasi adalah cara mengamati obyek yang merupakan sumber utama data. Misalnya, peneliti ingin mengetahui cara ibu-ibu memilih barang yang akan dibeli, maka yang dapat dilakukan oleh peneliti yakni mengamati ketika ibu-ibu memilih barang, waktu ibu-ibu memilih barang, atau segera setelah ibu-ibu memilih barang. Berdasarkan pengamatan itu, banyak informasi yang dapat diketahui. Informasi yang ingin diketahui dapat dilakukan pada waktu ibu-ibu akan memilih barang, dapat juga diketahui di rak mana letak barang yang terbaik, apakah di atas, di tengah, atau di bawah. Demikian pula lokasi terbaik di mana barang ditempatkan, apakah di depan pintu masuk, atau bagian belakang ruangan, akan menentukan ibu-ibu membeli

barang. 23 Teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah

observasi participant, wawancara mendalam studi dokumentasi, dan gabungan ketiganya. Dalam observasi ini akan dilakukan wawancara tidak berstruktur dan berstruktur untuk melihat dan menganalisis sejauh mana pengaruh bebas terhadap efektivitas proses pembelajaran.

Wawancara di sini adalah orang-orang yang dijadikan sebagai nara sumber (kepada siapa akan melakukan wawancara. Wawancara dilakukan

23 Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: 2007, hlm. 184-185.

melalui wawancara terstruktur (pewawancara menyiapkan daftar pertanyaan sebelum wawancara dilakukan dan pertanyaan didasarkan atas pertanyaan- pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya), dan wawancara tidak terstruktur (pewawancara dan yang diwawancarai berbicara dengan santai dan pertanyaan bisa muncul ketika sedang dalam pembicaraan. Tidak ada daftar

pertanyaan yang harus diikuti dengan ketat). 24

D. Analisis Data

Data kualitatif pada umumnya dalam bentuk pernyataan kata-kata atau gambaran tentang sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk penjelasan dengan kata-kata atau tulisan. Yang menjadi perhatian di sini adalah bagaimana

menganalisis pernyataan dalam bentuk kata-kata atau tulisan tersebut. 25 Jadi analisis data yang dipakai yaitu dilakukan secara beruntun/bersama-

sama, melalui beberapa proses/tahapan yaitu: (1) tahap memasuki lapangan (2) tahap menentukan fokus (3) tahap seleksi dengan menggunakan

pertanyaan yang bersifat struktural. 26

24 25 Ronny Kountur, Ibid. hlm. 186. 26 Ibid. hlm. 191-192.

Sugiyono, Ibid. hlm. 401.

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi dan Subyek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di sebuah TPA/TPQ Ar-Rahim Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor Jawa Barat. Bangunan TPA/TPQ ini adalah sebagian ruangan dari rumah pemilik sekaligus merangkap menjadi pengajar di TPA/TPQ tersebut yang dijadikan ruangan dalam proses pembelajaran. Ruangan ini menghadap ke arah timur yang terdiri dari satu ruang pembelajaran sederhana di mana langsung menghadap ke arah jalan. Fasilitas yang tersedia di ruangan ini terdapat satu buah papan tulis, rak buku untuk menyimpan buku-buku pendukung proses pembelajaran dan kitab suci Al- Qur’an, dan meja-meja ukuran dengan tinggi sekitar 30 cm dan panjang sekitar 1 meter yang diletakkan di lantai tanpa bangku tetapi menggunakan karpet sebagai tempat duduknya.

Jumlah murid di TPA/TPQ ini terbagi atas dua jam pembelajaran pada jam pertama yang dimulai sekitar pukul (07.30-09.30 WIB) berjumlah 18 orang, dengan perincian 8 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Sedangkan pada jam kedua pembelajaran yang dimulai sekitar pukul (15.30-17.30 WIB) berjumlah 22 orang, dengan perincian 9 orang laki-laki dan 13 orang perempuan.

2. Subyek Penelitian

Subjek penelitian ini dilakukan kepada beberapa orang informan kunci yang memberikan keterangan lebih lanjut tentang proses belajar mengajar di TPA/TPQ Ar-Rahim ini, berikut identitasnya: