T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Perkara Nomor : 4PDT.G2016PN.SLT (Studi terhadap Sengketa Obyek Jaminan) T1 BAB II

BAB II PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Hak Tanggungan

1.1 Jaminan Hak Tanggungan

  Sebelum membahas mengenai inti dari permasalahan, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu Jaminan. “Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerbeid atau cautie yang mencakup secara umum cara – cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya disamping pertanggungan jawab umum debitor terhadap barang – barangnya. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977, disimpulkan bahwa pengertian jaminan adalah „menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda‟. Bahkan hukum jaminan adalah merupakan hukum benda“ 1 .

  1 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Cetakan ke IV, Alumni, Bandung, 1987, h. 227-265. dikutip dari Herowati Poesoko, Dinamika

  Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja Pressindo, edisi revisi, Yogyakarta, 2013, h. 25.

  Menurut Hartono hadisoeprapto 2 jaminan adalah “sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor

  akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”. Adanya lembaga hak tanggungan dimaksudkan sebagai pengganti dari hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908- 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 masih diberlakukan walaupun telah lahir Undang – Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Nomor 4

  Tahun 1996 3 .

  “Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor

  tertentu terhadap kreditor – kreditor lain. Dalam arti jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah

  2 Hartono Hadisoeprapto, 1984, h. 50. Dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid., h. 26. 3 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan

  Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999. H. 1., lihat juga buku A.P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang tentang Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU No. 4 Tahun 1996 April 1996LN No. 42) dan sejarah terbentuknya, Mandar Maju, Bandung, 1996, h. 1., lihat juga Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (1996) trntang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Pakai, Hak Tanggungan, Rumah Tinggal untuk Orang Asing dan Rumah Susun, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 1. Dikutip dari Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, edisi 1 Cetakan kedua, Jakarta, 2012, h. 1.

  barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang Negara menurut ketentuan hukum yang berlaku” 4 .

1.2 Pembebanan Hak Tanggungan

  Sebagai syarat pembebanan Hak Tanggungan mencakup dua hal berikut:

1.2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 5 (SKMHT)

  Dalam Penjelasan Umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Dalam hal suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT, maka wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (disingkat SKMHT) yang berbentuk akta autentik.

  Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaannya sampai pada wilayah Kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Isi dalam SKMHT harus memenuhi

  persyaratan berikut: 6

  a) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain diluar pembebanan Hak Tanggungan.

  b) Tidak memuat kuasa substitusi.

  4 Ibid., h. 5. 5 Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 60-61. 6 Ibid.

  c) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.

  Dalam Penjelasan Umum angka 7 UUHT dijelaskan kewenangan dari PPAT dalam membuat SKMHT yang di antaranya menyatakan:

  (1) PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat

  akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing–masing. Sebagai pejabat umum tersebut akta–akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta autentik.

  (2) Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, juga

  ditugaskan kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan untuk memudahkan pelayanan kepada pihak–pihak yang memerlukan.

  Dengan demikian jika notaris berwenang membuat SKMHT untuk tanah – tanah di seluruh wilayah Indonesia, maka PPAT hanya boleh membuat SKMHT di wilayah jabatannya terutama di tempat – tempat di mana tidak ada Notaris yang bertugas. Apabila ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut tidak dapat terlaksana, Dengan demikian jika notaris berwenang membuat SKMHT untuk tanah – tanah di seluruh wilayah Indonesia, maka PPAT hanya boleh membuat SKMHT di wilayah jabatannya terutama di tempat – tempat di mana tidak ada Notaris yang bertugas. Apabila ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut tidak dapat terlaksana,

  

  Akta Pemberian Hak Tanggungan. 7 Dalam SKMHT terdapat dua aspek yaitu:

  a. Pembatasan Isi Muatan dalam SKMHT

  Isi atau muatan yang terkandung di dalam SKMHT hanya boleh memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan, maka itu tidak diperbolehkan membuat kuasa – kuasa melakukan perbuatan hukum lain yang bermaksud mendukung tercapainya maksud pemberian jaminan yang bersangkutan, misalnya, tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek Hak Tanggungan, memperpanjang hak atas tanah atau untuk mengurus perpanjangan sertifikat, mengurus balik nama dan sebagainya. Jika memang dikehendaki, hal–hal semacam itu dapat dimuat di dalam APHT, namun bukan sebagai kuasa tetapi hanya berupa janji – janji antara pemberi Hak Tanggungan dengan pemegang Hak

  Tanggungan 8

  b. Pembatasan Jangka Waktu

  Untuk mencegah berlarut – larutnya pemberian hak kuasa dan terjadinya penyalahgunaan serta demi tercapainya kepastian hukum, maka berlakunya SKMHT dibatasi jangka

  7 Ibid., h. 61. 8 Yudo Paripumo, “Pengaturan dan Pelaksanaan Surat Kuasa Memasang Hipotik

  (SKMH) dalam Kaitannya dengan UU Hak Tanggungan,” Makalah, UI Depok, 9 Mei, 1996, h. 6. dikutip dari Adrian Sutedi, Ibid., h. 62.

  waktunya. Untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat – lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan, tetapi hak atas tanah yang belum terdaftar harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan. Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Aturan tersebut sebenarnya menampakan suatu penyimpangan dari KUH Perdata Pasal 1813 KUH Perdata dimana pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si penerima kuasa melalui pemberitahuan penghentian kuasa karena meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang

  memberikan kuasa atau menerima kuasa 9 .

1.2.2 Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)

  Suatu Akta Pembebanan Hak Tanggungan memuat substansi yang sifatnya wajib, yaitu berkenaan dengan 10 :

  a) nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan;

  b) domisili pihak – pihak yang bersangkutan;

  c) penunjukan secara jelas utang atau utang – utang yang dijamin;

  9 Ibid.

  10 Ibid., h. 72.

  d) nilai tanggungan dan,

  e) uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan.

  Selain itu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan itu para pihak juga dapat mencantumkan janji – janji yang bersifat fakultatif, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Walaupun janji – janji tersebut sifatnya fakultatif, tetapi hal itu selalu dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.

  Akta Pemberian Hak Tanggungan mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari debitur kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor–kreditor lain (kreditor

  konkuren) 11 .

  Pembebanan Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu: 12

  a. didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang

  11 Ibid. 12 Ibid., h. 72-73.

  tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

  b. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat

  spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang–utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

  c. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi persyaratan

  publisitas melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kotamadya Kabupaten).

  d. Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak

  Tanggungan memuat title eksekutorial dengan kata–kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  e. Batal demi hukum jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak

  Tanggungan akan memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji (wanprestasi).

  Di dalam APHT disebutkan syarat – syarat spesialitas, jumlah pinjaman, penunjukan obyek Hak Tanggungan, dan hal – hal yang diperjanjikan (Pasal 11 ayat (2) UUHT) oleh kreditor dan debitur, termasuk janji roya partial (Pasal 2 ayat (2) UUHT) dan janji Di dalam APHT disebutkan syarat – syarat spesialitas, jumlah pinjaman, penunjukan obyek Hak Tanggungan, dan hal – hal yang diperjanjikan (Pasal 11 ayat (2) UUHT) oleh kreditor dan debitur, termasuk janji roya partial (Pasal 2 ayat (2) UUHT) dan janji

  Untuk kepentingan kreditor dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yaitu Sertifikat Hak Tanggungan yang terdiri salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT. Akta pembebanan hak di daftarkan Kantor Pertanahan setempat sehingga memiliki kekuatan hukum yang pasti dan semua isi yang termuat dalam akta tersebut berlaku terhadap pihak ketiga. Demikian juga apabila debitur cidera janji, maka pihak kreditor memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung tanpa perlu lagi meminta persetujuan dari pihak debitur. Berpegang pada arti yang diberikan oleh doktrin terhadap hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji merupakan pelaksanaan hak eksekusi yang disederhanakan yang diberikan oleh undang – undang sendiri kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama dalam arti bahwa pelaksanaan hak seperti itu tidak usah melalui pengadilan dan tidak perlu diturut hukum acara, cara itu tampak seperti eksekusi yang selalu siap di tangan kalau dibutuhkan dan itulah sebabnya eksekusi yang demikian disebut parate

  eksekusi 14 .

1.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi dan Lelang Obyek Hak Tanggungan

  13 Ibid., h. 73. 14 Ibid., h. 74-75.

  Pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan diatur di dalam pasal 20 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda yang Berkaitan dengan

  Tanah (UUHT) yang memberikan pilihan eksekusi sebagai berikut: 15

  1. “Apabila debitor cidera janji maka:

  a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUHT, atau

  b. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) di mana obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului kreditor – kreditor lainnya.

  2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan untuk penjualan obyek Hak Tanggungan dilaksanakan di bawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak.

  3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak – pihak yang berkepentingan dan diumumkan

  15 Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 251-252.

  sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media massa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

  4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.

  5. Sampai saat pengumuman lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya – biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.”

2. Kewenangan Hakim dalam Peradilan

  Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa hakim diberi jaminan atas kuasa yang merdeka (bebas) untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dijelaskan pula dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang Merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

  Kehakiman dijelaskan pula kewenangan Hakim yaitu “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh dari itu Hakim di dalam hubungan ini, pekerjaan Hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya seorang teknisi UU, tetapi juga mahluk sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya

  memeras otak tetapi juga nuraninya 16 .

  Hakim dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya diharapkan didasari dengan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak benar dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkaranya. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduknya perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru kemudian dikonstruir.

  Dalam perspektif ideal dikatakan bahwa “optimam esse legem, quae minimum relinquit arbitrio judicis ; id quod certitude ejus

  praestat”, hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak memberikan peluang diskresi bagi hakim, guna mewujudkan ketertiban, menciptakan keadilan dan menjamin kepastian hukum dalam

  16 Aloysius Soni BL de Rosari, ed., Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif

  Satjipto Rahardjo, Kompas, 2010, h. 191.

  masyarakat 17 . Peristiwa sebenarnya akan diketahui hakim dari pembuktian, jadi bukannya putusan itu lahir dalam proses secara a priori

  dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dahulu tentang

  terbukti tidaknya baru kemudian sampai pada putusan 18 .Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya

  adalah urusan hakim dan bukan soalnya kedua belah pihak. Maka dari itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para

  pihak (Pasal 176 ayat 1 HIR dan Pasal 189 ayat 1 Rbg) 19 .

  Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim kadang- kadang sukar untuk menemukan hukumnya, tetapi menerapkan ketentuan undang-undang pada peristiwa konkrit yang harus dibuktikan pada umumnya dapat dikatakan mudah. Hukum yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk menemukan hukum. Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang saat ini menjadi Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim harus memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus memberi putusan berdasar atas kenyataan sosial yang hidup dalam

  17 Johnny Ibrahim, Op.Cit., h. 239. 18 Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cetakan I,

  Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 32.

  19 Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Op.Cit., h. 33.

  masyarakat itu. dalam hal ini hakim dapat minta keterangan dari para ahli, kepala adat dan sebagainya 20 .

2.1 Tugas Hakim

  Tugas Hakim dalam mengemban tugas pokok peradilan adalah menerima, memeriksa, dan mengadili (menentukan) serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya baik perkara perdata dan perkara pidana yang rincinya diatur dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 16 ayat (1) serta Pasal

  28 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Pokok–Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diganti dengan Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

  Kehakiman 21 . Pada hakekatnya Hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa

  yang diajukan kepadanya, tetapi hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersikap adil bagi para pihak yang berperkara dan menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku, karena hukum acara perdata pada asasnya bersifat

  mengikat 22 .

  20 Supomo Menyebutkan Putusan Pengadilan yang Mendasarkan pada Ken yataan

  Sosial, Hukum Acara Perdata Negeri, Fasco, Jakarta, 1958, h. 128. dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 37-38.

  21 Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 93-94. 22 C.W. Star Busmann, Hoofdstukken van Burgerlijke Rechtsvordering, no. 18. Dikutip

  dari Herowati Poesoko, Ibid., h. 94.

  Maka oleh karena itu hakim sebagai stabilisator hukum 23 , harus sungguh–sungguh menguasai hukum acara perdata. Kurangnya

  pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya atau hukum acara perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara perdata merupakan salah satu faktor terhambatnya jalannya

  peradilan 24 , dan bahkan bukan hanya sebagai penghambat melainkan dapat merugikan para pihak yang berperkara 25 .

2.2 Tahap-Tahap dalam Hukum Acara Perdata

  Hukum acara perdata meliputi 3 (tiga) tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. sedangkan dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan putusan. Hukum acara perdata bukanlah sekedar merupakan pelengkap saja, tetapi mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil, yaitu sarana peraturan hukum yang memuat tentang hak dan kewajiban yang ditimbulkan hubungan hukum antar

  pribadi 26 .

2.3 Asas dalam Peradilan

  23 Sunaryati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan

  Hukum Nasional, h. 8. dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid.

  24 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi kedua, Liberty,

  Yogyakarta, 1985, h. 1-2. Dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid.

  25 Herowati Poesoko, Ibid. 26 Ibid., h. 96.

  Dalam menjalankan tugasnya Hakim mengacu pada Hukum Acara Perdata yang asas – asasnya adalah:

  1) Asas Religiusitas Putusan yang Memuat Irah – Irah demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Di mana irah – irah yang berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengandung arti bahwa setiap Hakim yang mengadili dan memutus perkara harus berlaku adil dengan mengingat tanggung jawabnya tidak hanya pada diri sendiri melainkan pula bertanggung jawab kepada Tuhan Yang

  Maha Esa 27 .

  Setiap putusan Hakim harus dipertanggungjawabkan dan pertanggungjawaban seorang Hakim ternyata tidaklah berhenti pada kehidupan duniawi saja tetapi di dalamnya tercakup juga

  pertanggungjawaban ukhrawi (Arab:Akhirat) 28 .

  Walaupun sesungguhnya seluruh kehidupan manusia memang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat, namun terhadap jabatan Hakim dalam berbagai agama diatur secara lex spesialis, di mana hal ini menunjukkan demikian pentingnya jabatan ini karena jabatan inilah yang

  27 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti,

  Bandung, 2000, h. 152. dikutip dari H. Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 27.

  28 Ansjahrul, Pemuliaan Peradilan, Dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, Dan

  Hukum Acara (Kumpulan Makalah), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h. 2. dikutip dari H. Sunarto, Ibid.

  menyelamatkan pergaulan hidup dan peradaban umat manusia 29 .

  2) Asas Peradilan Diselenggarakan Secara Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.

  Salah satu asas dalam sistem peradilan di Indonesia sebagaimana di amanatkan oleh kententuan Pasal 2 ayat (4) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan tersebut dicantumkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan agar para pencari keadilan dalam mempertahankan hak, kapan dapat memperoleh hak tersebut serta berapa biaya yang harus dikeluarkan guna memperoleh

  hak tersebut 30 .

  3) Asas Hakim Pasif

  Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan ditentukan oleh hakim dan para pihak secara bebas sewaktu – waktu sesuai dengan kehendaknya dapat mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka persidangan pengadilan. Bilamana para pihak yang bersengketa di persidangan tersebut sudah memutuskan untuk mengakhiri

  29 Ibid.

  30 H. Sunarto, Ibid., h. 29.

  persengketaannya dan tidak menginginkan pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung diteruskan maka hakim tidak dapat menghalang – halanginya karena inisiatif maupun luas pokok sengketa sepenuhnya ada pada pihak yang bersengketa

  dan hakim hanya mencari kebenaran formil 31 .

  4) Asas Ultra Petitum Partium

  Sistem hukum acara perdata yang terdapat pada HIRRGB adalah menyerahkan kepada hakim agar berperan untuk memimpin persidangan mulai dari permulaan proses berperkara sampai dengan berakhirnya proses perkara tersebut. Hakim dalam memimpin persidangan dapat melakukan beberapa tindakan yang terkait pemanggilan para pihak yang bersengketa dan menentukan hari dan tanggal persidangannya untuk mendengar kedua belah pihak yang berperkara dan berusaha untuk mendamaikan serta memerintahkan para pihak yang berperkara untuk membawa dan menunjukkan bukti –

  bukti yang dimilikinya ke persidangan 32 .

  Sistem hukum acara acara yang menyerahkan pimpinan proses kepada hakim adalah sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia yang mengutamakan kepentingan masyarakat yang menghendaki bahwa sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, negara wajib menyelesaikan perkara

  31 Ibid., h. 34. 32 Ibid., h. 36.

  tersebut sedemikian rupa sehingga hukum dipulihkan kembali (Rechtsherstel) dan perkara dapat berakhir secara mutlak 33 .

  5) Asas Ex Aequo Et Bono (Putusan Yang Adil)

  Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan penggugat dan agar tuntutan itu dikabulkan oleh hakim. Hakim akan menjawab petitum penggugat tersebut di dalam putusannya setelah hakim mendengar kedua belah pihak yang berperkara dan setelah hakim memeriksa dan mempertimbangkan bukti – bukti yang diajukan oleh para

  pihak di persidangan 34 .

  Menurut Harifin A Tumpa, dalam praktek hukum acara perdata di pengadilan, petitum penggugat dalam surat gugatan dapat berbentuk:

  1. Petitum tunggal dengan perincian apa yang dituntut;

  2. Petitum yang berbentuk subsidaritas yang terdiri dari:

  a. Primair dan subsidair masing–masing diperinci satu

  persatu.

  b. Primairnya diperinci satu per satu sedangkan

  petitum subsidair tidak diperinci dan hanya dirumuskan dalam kalimat ex aequo et bono atau

  mohon keadilan 35 .

  33 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta,

  Cet. 12, 1993, h. 19. dikutip dari H. Sunarto, Ibid.

  34 H. Sunarto, Ibid., h. 41. 35 Harifin A Tumpa, Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata, Makalah

  Disampaikan Pada Pelatihan Tehnis Fungsional Hakim Peradilan Umum Tahun 2002, Dalam

  6) Asas Tidak Berpihak (Imparsialitas)

  Asas imparsialitas (tidak memihak) ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan orang”. Dengan adanya asas imparsialitas, hakim di dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus obyektif dan netral serta tidak berpihak kepada siapa pun kecuali kepada hukum dan keadilan sehingga para pihak yang berperkara di pengadilan akan percaya sepenuhnya bahwa apa yang akan diputuskan oleh hakim nantinya putusannya akan sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan yang

  diinginkan 36 .

  7) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

  Pasal 13 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur perihal atas sidang terbuka untuk umum sehingga hakim ketika memeriksa dan mengadili suatu perkara tidak diperkenankan dilakukan dalam persidangan yang tertutup untuk umum, kecuali undang- undang menentukan lain. Asas tersebut menjadi syarat sahnya suatu putusan hakim karena putusan hakim tidak akan sah dan

  Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005. h. 70. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 41.

  36 H. Sunarto, Ibid., h . 45-46.

  mempunyai kekuatan hukum bila diucapkan dalam persidangan untuk umum 37 .

  8) Asas Audi Et ALteram Partem (Mendengar Kedua Belah Pihak)

  Pasal 4 ayat (1) Undang–Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan keberadaan dari asas audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak) ini dengan menyebutkan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan orang” 38 .

  Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama – sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama adil serta masing – masing

  diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya 39 .

  9) Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

  Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, namun ada yang masih skeptis terhadap eksistensi asas kemandirian kekuasaan Kehakiman itu dengan mengatakan “It is easy to believe in judicial independence but it seems much harder to appreciate independent judges.

  37 Ibid., h. 48. 38 Ibid., h. 50. 39 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan 1, edisi 7, Liberty,

  Yoyakarta, 2006, h. 14-15. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 50.

  Judicial independence is a fragile concept” 40 . Setiap negara hukum minimal memiliki tiga ciri pokok yaitu:

  1. Adanya asas legalitas.

  2. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

  3. Adanya peradilan yang bebas 41 . “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka merupakan salah

  satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan Kehakiman kecuali

  terhadap hukum dan keadilan 42 .

  Atas dasar itu pula maka penilaian apakah putusan yang dibuat oleh hakim itu bertanggung jawab dapat dicocokkan dengan tingkatan kepuasan masyarakat selaku pemberi kebebasan sosial, dengan menilai apakah putusan itu telah memenuhi rasa keadilan atas kebebasan sosial yang dilanggar oleh orang yang dikenai putusan hakim. Dan seorang hakim akan mampu memuaskan tuntutan itu sejauh ia menggunakan

  40 Steven Lubet, Judicial Independence And Independence Judges, Hofstra Law

  Review, Vol. 25, 1997, h. 745. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 52.

  41 Purwoto S. Ganda Subrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),

  Cetakan 1, Jakarta, h. 93. dikutip dari, H. Sunarto, Ibid.

  42 H. Sunarto, Ibid., h. 53.

  kebebasan eksistensialnya dalam membuat keputusan memperhitungkan objektivitas tindakan 43 .

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Putusan Hakim

  2.4.1 Faktor Struktur Organisasi

  Faktor struktur organisasi akan berpengaruh ketika struktur itu bukan sebagai lembaga otonom yang merdeka, melainkan sebagai struktur yang tergantung di bawah kekuasaan struktur lain. Ketika sebuah struktur atau institusi menjadi subordinasi dengan

  struktur lain 44 maka struktur yang tersubordinasi akan menjadi penyebab lembaga itu tidak bebas dan mandiri. Demikian yang

  terjadi pada lembaga pengadilan selama ini, di mana struktur organisasinya menjadi bagian dan tidak terpisahkan dengan

  lembaga eksekutif 45 .

  Jaminan untuk tidak tersubordinasi kepada kekuasaan lain adalah syarat mutlak bagi suatu lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu perkara-perkara, namun pada kenyataannya peradilan di Indonesia telah menjadi subordinasi dari lembaga lain. Promosi dan mutasi nasib serta kesejahteraan hakim-hakim berada di tangan departemen-depatemen eksekutif yang secara psikologis hakim harus tunduk atas perintah eksekutif yang dapat mempengaruhi pengembangan kebebasan hakim dalam

  43 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Cetakan I, Jakarta, 2012, h. 173. 44 Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto,ELSAM, Cetakan I,

  Jakarta, 2004, h. 128. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 248.

  45 Ahmad Kamil, Ibid., h. 249.

  menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman secara bebas dan mandiri 46 yang kemudian mempengaruhi putusan hakim dalam

  penyelesaian sebuah perkara yang ditanganinya.

  2.4.2 Faktor Pemahaman

  Perasaan ewoh pakewoh terhadap atasan menjadikan hakim tidak berani mengambil sikap sendiri dalam menjatuhkan putusan, semuanya diserahkan kepada atasan, sikap seperti ini adalah bagian dari budaya paternalistis yang ternyata masih menjadi bagian dari kehidupan beberapa hakim. Sepanjang budaya paternalistis ini tetap di pertahankan, sepanjang itu pula kebebasan hakim tidak akan

  berkembang baik 47 .

  Integritas moral para hakim adalah persoalan utama dan faktor penting bagi pembinaan kebebasan hakim dan kemandirian lembaga peradilan. Bukan rahasia lagi bahkan selalu menjadi pembicaraan bahwa moralitas para hakim telah berada pada titik rendah. Rendahnya moral para hakim sering dikaitkan dengan baik buruknya

  citra lembaga peradilan 48 .

  Sebuah gejala yang mengkhawatirkan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, adalah keadilan hukum negara yang tidak sejalan dengan keadilan moral dan keadilan masyarakat. Dengan kata lain adanya putusan pengadilan yang tidak sejalan dengan nilai-

  46 Ibid., h. 250-251. 47 Ibid., h. 251-252. 48 Rifyal Ka‟Bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004,

  h. 144. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 252.

  nilai ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Dampak langsung gejala ini pertama adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada keadilan hukum, dan timbulnya inisiatif masyarakat untuk membuat pengadilan sendiri yang disebut sebagai

  main hakim sendiri 49 .

  2.4.3 Faktor Peraturan Perundangan

  Menempatkan peraturan hukum sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian lembaga peradilan seperti agak aneh dan tidak masuk akal tapi pada kenyataannya demikian karena ternyata dari peraturan hukumlah menjadikan lembaga peradilan itu menjadi tidak mandiri dan sebaliknya dari peraturan hukum itu pulalah kemandirian lembaga peradilan terwujud. Memang peraturan hukum tidak selamanya mengandung nilai-nilai positif bagi kehidupan manusia, melainkan pula mengandung nilai-nilai

  negatif 50 . Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai positivisme menganggap hukum sebagai sebuah bangunan atau

  tatanan logis-rasional, yakni membuat rumusan-rumusan atau definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan, mensistematisir, diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan demikian hukum hanya benar-benar menjadi wilayah esotetris bagi praktisi hukum. Cara tersebut hukum dipisahkan dari realitasnya yang penuh, dan jauh dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang

  49 Ahmad Kamil, Ibid., h. 252. 50 Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, h.

  76. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 254.

  dalam sosialnya 51 . Cara memahami dan menerapkan hukum seperti itu jelas bertentangan dengan amanat undang-undang kekuasaan

  kehakiman yang mendorong agar para hakim dalam menerapkan hukum dan keadilan harus mendasar pada nilai-nilai Pancasila dan

  UUD 1945 52 .

  Pikiran legistik, formalistik seperti tersebut telah menjadikan kebekuan pola pikir hakim, sehingga hakim merasa bangga sebagai corong undang-undang semata dengan mengabaikan hati nuraninya sebagai manusia, hal ini menjadi kendala besar dalam proses pengembalian pola pikir kebebasan hakim dalam menemukan hukum

  yang adil, dan hukum yang bermoral dalam kasus konkret 53 .

  2.4.4 Faktor Kekuasaan

  Intervensi kekuasaan dapat terjadi dari dalam kekuasaan kehakiman sendiri. Lembaga pengawasan yang dijalankan oleh Mahkamah Agung atau lapisan stuktur yang lebih tinggi juga berpotensi merusak pengembangan kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Untuk menghindari ikut campurnya lembaga kekuasaan dalam organisasi kekuasaan kehakiman terhadap kebebasan hakim, maka Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 ayat (4) secara tegas dinyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dijalankan oleh

  51 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 17. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 255. 52 Ahmad Kamil, Ibid., h. 255. 53 Ibid., h. 256.

  internal Mahkamah Agung tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara 54 .

  2.4.5 Faktor Politik

  Faktor politik juga merupakan faktor yang dapat memengaruhi lemah dan kuatnya kebebasan hakim dalam membangun kemandirian lembaga peradilan. Dalam kajian-kajian sosio-politik dan sosio-yuridis, terkadang politik dijadikan sebagai variable yang berpengaruh. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) sedangkan politik diletakkan sebagai variabel terpengaruh. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh

  imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya 55 .

  2.4.6 Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat

  Kesadaran hukum masyarakat adalah faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian lembaga peradilan. Bilamana kondisi kesadaran hukum masyarakat tinggi akan mendukung pula tingginya

  kesadaran hukum masyarakat 56 .

3 Legal Reasoning

  54 Ibid., h. 256-257. 55 Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta,

  1999, h. 4. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 258.

  56 Ahmad Kamil, Ibid., h. 259.

  Penalaran Hukum (legal reasoning) merupakan salah satu unsur utama yang harus dipahami oleh seorang peneliti hukum. Tanpa pemahaman terhadap penalaran hukum, maka seorang peneliti akan kehilangan arah dan bahkan menemui kesulitan besar dalam menyistematisasi bahan hukum yang menjadi topik, serta memengaruhi

  kualitas ilmiah kesimpulan penelitiannya 57 . Hakim menggunakan legal reasoning ini sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara

  guna mendapatkan putusan yang benar dan adil. Selain itu dalam menjatuhkan suatu keputusan terhadap suatu perkara yang diajukkan kepadanya, hakim mempertimbangkan berdasarkan hukum dan peristiwa hukum yang saling berkaitan.

  Penulis membandingkan legal reasoning yang dipakai oleh hakim Pengadilan Negeri Salatiga dengan teori Eksaminasi Publik yang diamanatkan di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diperbarui dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengamanatkan adanya sebuah pengawasan di lembaga tersebut. Pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan dan perilaku Hakim dalam melaksanakan kekuasaan

  kehakiman 58 .

  3.1 Eksaminasi Publik

  57 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan kedua,

  Bayumedia Publishing, Jakarta, 2006, h. 239.

  58 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, ed., Panduan Eksaminasi

  Publik (Edisi Revisi), Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2011, h. 19-20.

  Pengawasan terhadap peradilan terdiri dari pemantauan internal yang selama ini sudah dilaksanakan oleh institusi hukum yang ada, sedangkan pemantauan eksternal lebih dikenal dengan pemantauan masyarakat, yaitu dengan melakukan pengawasan dengan cara pengkritisan atau pengujian terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan (Eksaminasi) yang selama ini dikenal dengan istilah Eksaminasi Publik. Eksaminasi Publik atau pengujian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap putusan peradilan tidak terlepas dari kerangka pemantauan atau pengawasan peradilan secara umum. Pemahaman ini perlu dibangun karena eksaminasi hanya merupakan salah satu bagian dari proses publik dalam mengawasi lembaga

  peradilan 59 .

  Penambahan kata “publik” setelah kata eksaminasi lebih dimaksudkan untuk membedakan dengan eksaminasi yang dilakukan

  oleh Kejaksaan dan Pengadilan. Tambahan istilah public pada eksaminasi lebih bernuansa memberikan aksentuasi distingsi antara latar belakang pemikiran eksaminasi internal dan eksternal sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, hal ini juga dapat dimaknai sebagai aktivitas, yang sejak dari inisiasi, proses, sampai finalisasinya, diasumsikan untuk dihajatkan untuk kepentingan masyarakat (rasa keadilan hukum masyarakat) – jadi bukan semata- mata untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari pihak yang bersengketa di pengadilan ¾ dan oleh sebab itu akuntabilitas

  59 Ibid., h. 8-9.

  kinerjanya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dinilai dan diukur oleh masyarakat 60 .

  Essensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) maupun produk hukum yang dibuat oleh pejabat publik, apakah pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip kehakiman, apakah prosedur hukumnya telah sesuai dengan prinsip dalam Undang- Undang dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan

  masyarakat 61 . Faktor utama yang mendasari eksaminasi publik ini adalah untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi masyarakat

  agar dapat terlibat lebih jauh dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan putusan atas perkara itu yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan membiasakan publik terutama kalangan akademis dan profesi hukum melakukan penilaian dan pengujian terhadap proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan atau keputusan-keputusan lembaga penegak hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip- prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka hal yang selanjutnya ingin dicapai setelah masyarakat mampu melakukan

  60 Hasrul Halili:2005, dikutip dari Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah,

  ed., Panduan Eksaminasi Publik (Edisi Revisi), Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2011,

  h. 27.

  61 Ibid.

  eksaminasi ini, adalah tersosialisasikan lembaga eksaminasi secara luas 62 .

  Eksaminasi juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi MA dan Kejaksaan Agung dalam melakukan koreksi terhadap hakim dan jaksa. Bukan hanya dalam bentuk sanksi administrasi tetapi kepada proses hukum lebih lanjut. Hasil eksaminasi tidak bermaksud untuk melakukan intervensi terhadap proses hukum di MA, tapi hanya sumbangan pemikiran dari komunitas masyarakat hukum. Namun eksaminasi terhadap putusan-putusan atau produk hukum yang dianggap menyimpang lebih merupakan sebagai ruang publik yang harus mulai dibangun agar lembaga-lembaga negara tidak lepas dari

  kontrol masyarakat 63 .

  Kegiatan eksaminasi publik dapat dilakukan atas permintaan masyarakat atau tidak. Putusan pengadilan yang dieksaminasi adalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengandung indikasi awal bahwa :

  1. Tahapan proses pengadilan terdapat kejanggalan atau cacat hukum;

  2. Hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan benar atau bertentangan dengan asas-asas penerapan hukum;

  3. Ada indikasi KKN (judicial corruption), penyalahgunaan wewenang, atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya yang

  62 Ibid., h. 29. 63 Ibid., h. 30.

  menyebabkan hukum tidak diterapkan secara baik dan benar; dan;

  4. Putusan tersebut menjadi perhatian masyarakat atau membawa dampak terhadap kehidupan hukum dalam masyarakat 64 .

  3.2 Bagian-Bagian Yang Dieksaminasi 65

3.2.1 Administrasi Perkara :

  - Gugatanpermohonan yang meliputi : identitas para pihak, posisi

  para pihak, posita gugatan (kejadian dan hukumnya), petitum dan hubungannya

  tangan surat

  gugatanpermohonan. - Format PHS yang disertai sita jaminan, nomor, hari sidang pertama

  dan tenggang waktunya, ketua majelis dan masing-masing hakim. - Penunjukkan panitera. - Penunjukkan juru sitaJSP. - Administrasi lainnya yaitu : registrasi perkara, jurnal keuangan,

  pelaporan dan pengarsipan perkara. - Eksekusi putusan meliputi : sita eksekusi, aanmaning serta berita

  acaranya, pelaksanaan putusan (eksekusi).

3.2.2 Administrasi Persidangan :

  - Pemanggilan para pihak meliputi : nomor, nama para pihak, waktu

  pemanggilan, panggilan saksisaksi ahli (jika ada), keterangan pihak

  64 Susanti Adi Nugroho, et.al., Eksaminasi Publik: Partisipasi Masyarakat Mengawasi

  Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2003, h. 100-101.

  65 Pedoman Dasar Eksaminasi Putusan, sesuai SK Dirjen Badilag No.

  1207DJAHK.00.7SKVII2012 tentang Pedoman Pemberdayaan Hakim Tinggi Sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung, h. 2-3.

  yang dipanggil (misalnya, bertemu dan berbicara kepada tergugat), nama dan tanda tangan pihak lurah atau kepala desa dan capnya (dalam hal tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil), pengumuman penempelan surat panggilan (jika ada), tanda tangan JSJSP, pemberitahuan isi putusan (PBT)

  - Berita Acara Sidang (BAS) meliputi : tempatwaktu sidang, posisi

  para pihak, susunan majelis yang bersidang, kehadiran atau tidak hadirnya para pihak, mediasi serta laporannya, pernyataan sidang terbuka untuk umum, upaya perdamaian oleh majelis, pembacaan surat gugatanpermohonan, perubahan surat gugatanpermohonan (jika ada), pernyataan sidang tertutup untuk umum, penundaan sidang yang terbuka untuk umum, pemeriksaantanggapan pihak- pihak, pemeriksaan bukti (surat dan saksi), pembacaan putusan yang terbuka untuk umum, rumusan amar putusan pada BAS, renvoi pada BAS (termasuk pada jawaban, replik dan duplik serta kesimpulan tertulis yang diajukan), pemberian nomor BAS yang berkelanjutan, dan penanda tanganan BAS.

3.2.3 PutusanPenetapan :

  - Kepala dan identitas putusanpenetapan yang meliputi : nomor

  putusanpenetapan, irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak serta posisinya (termasuk kuasa hukumnya jika ada), konsiderans selengkapnya;

  - Tentang duduk perkaranya yang meliputi : isi gugatan, pernyataan

  kehadirantidak hadirnya para pihak, upaya perdamaian, upaya kehadirantidak hadirnya para pihak, upaya perdamaian, upaya

  - Tentang hukumnya meliputi : pertimbangan hukum telah

  dilakukannya upaya perdamaian, pelaksanaan mediasi, substansi daliljawab menjawab para pihak (hal-hal yang diakui dan disanggah oleh tergugat), perumusan pokok masalah (dari yang disangkal atau tidak diakui, bisa dalam bentuk kalimat tanya atau pernyataan), analisa pembuktian dari masing-masing pihak (meliputi syarat formal dan syarat materiil serta dengan metode analisis yang tepat), fakta hukum yang dirumuskan dari hasil analisis terhadap bukti-bukti yang ada, penemuan hukum beberapa sumber hukum yang relevan (peraturan perundang-undangan, kaidah, yurisprudensi) serta pertimbangan mengenai biaya perkara;

  - Amar putusanpenetapan atau penerapan hukumnya yang meliputi :

  bentuk dan sifat amar putusanpenetapan (sebagai jawaban dari petitum gugatanpermohonan), sistimatika amar putusan, redaksi dan bahasa amar putusanpenetapan.penutupan putusankaki putusan meliputi : hari dan tanggal penjatuhan putusan, pernyataan sidang terbuka untuk umum, nama majelis hakim dan panitera sidang serta kehadiran atau tidaknya pihak-pihak, tanda tangan bentuk dan sifat amar putusanpenetapan (sebagai jawaban dari petitum gugatanpermohonan), sistimatika amar putusan, redaksi dan bahasa amar putusanpenetapan.penutupan putusankaki putusan meliputi : hari dan tanggal penjatuhan putusan, pernyataan sidang terbuka untuk umum, nama majelis hakim dan panitera sidang serta kehadiran atau tidaknya pihak-pihak, tanda tangan

B. HASIL PENELITIAN

1. Duduk Persoalan Dalam Putusan Nomor : 4Pdt.G2016PN.Slt

1.1 Berdasarkan Versi Penggugat-Budi Kabul :

  Penggugat (Sdr. Budi Kabul) sebagai pemilik Tanah beserta Bangunan yang berdiri diatasnya seluas 366 m 2 berdasar Sertifikat Hak

  Milik (SHM No. 1644) merasa dirugikkan atas tindakan teman baik dan juga tetangga Penggugat yaitu Tergugat-I (Sdr. Kosidi) yang meminjam sertifikat itu sebagai agunan jaminan pinjaman modal usaha kepada Tergugat-II (Bank Danamon Cabang Salatiga) sebesar Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) melalui fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa dibebani APHT. Hingga pada bulan September 2015 Penggugat-Budi Kabul menerima surat dari Tergugat-

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22