KOMPONEN SISTEM SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN KOTA KEDIRI
KOMPONEN SISTEM SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN KOTA KEDIRI
The Components of Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Surveillance System in Health Department of Kediri City
Binti Mahfudhoh
FKM UA, [email protected]
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. Kota Kediri merupakan daerah endemis DBD. Angka penemuan kasus baru (IR) tahun 2013 adalah 99,28 per 100.000 penduduk dan angka kematian (CFR) 0,73%. Upaya untuk mengatasi DBD di Kota Kediri adalah melaksanakan sistem surveilans epidemiologi untuk memantau perkembangan penyakit secara rutin dan terus menerus. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pelaksanaan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan rancangan cross sectional. Responden adalah pelaksana program surveilans DBD di dinas kesehatan. Sumber data adalah data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen pengumpulan data surveilans DBD bersifat rutin dan tidak rutin, tenaga dan sarana surveilans memadai, metode pengumpulan data secara aktif dan pasif. Frekuensi pengumpulan data setiap bulan, tribulan dan insidental. Ketepatan waktu tidak dapat dihitung, kelengkapan data 47,9% dan formulir mencukupi. Kompilasi data berdasarkan orang, waktu, tempat dan endemisitas wilayah. Analisis data berdasarkan data kesakitan, kematian dan stratifi kasi daerah. Interpretasi data meliputi analisis perbandingan, cakupan dan kecenderungan. Informasi epidemiologi berupa informasi umum DBD. Diseminasi informasi berupa laporan DBD ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan umpan balik ke puskesmas.
Kata kunci: DBD, evaluasi, surveilans, Kota Kediri
ABSTRACT
The Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) was the dangerous infectious disease because it could cause fatality. Kediri City was the DHF endemic area. The Incident Rate in 2013 was about 99,28 per 100.000 population and CFR 0,73%. Effort to overcome DHF in Kediri City was implementing the better epidemiology surveillance system that able to monitor the desease regularly and continuously. The purpose of this research was to evaluate the implementation of DHF surveillance in Health Department of Kediri City. This research used the descriptive method with cross sectional design. Respondent was the functionary of DHF surveillance programme in Health Departement. Data resources consist of primer data and secondary data. The result of the research shown that data collection of DHF surveillance were routine and non-routine data, manpower and tools were suffi cient, data collection method were active and passive, the frequency of data collection were monthly, quarterly, and incidentally. Punctuality was uncountable, the completeness of data were 47,9%, and the DHF form were suffi cient. Data compilation based on people, time, place, and endemic area. Data analysis based on morbidity, mortality, and area stratifi cation. Data interpretation consist of comparative analysis, coverage analysis, and kecenderungan analysis. The epidemiology information were the general information of DHF. Information dissemination were reporting of the DHF data to Health Department of East Java province and feedback to the public health center.
Keywords: DHF, evaluation, surveillance, Kediri City
PENDAHULUAN
per 100.000 penduduk mulai tahun 1968 hingga Salah satu penyakit menular yang sering
sekarang menunjukkan kecenderungan peningkatan muncul dan berkembang di daerah tropis adalah
(Kemenkes, 2010).
Demam Berdarah Dengue (DBD). Indonesia sebagai Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2012), salah satu negara tropis di kawasan Asia Tenggara
menyebutkan bahwa angka Incident Rate (IR) DBD seolah menjadi habitat penyakit DBD. Departemen
di Kota Kediri sebanyak 82,25/100.000 penduduk kesehatan Republik Indonesia mencatat insiden DBD
sedangkan Case Fatality Rate (CFR) sebanyak
96 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 95–108 1,32%. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan
dengan kode etik yang disetujui oleh Komisi IR Jawa Timur sebesar 29,25/100.000 penduduk
Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas dan CFR Jawa Timur sebesar 0,88%. Hal tersebut
Airlangga Surabaya.
menunjukkan bahwa DBD masih menjadi permasalahan kesehatan di Kota Kediri yang harus
HASIL
segera diselesaikan. Surveilans kesehatan masyarakat digunakan
Jumlah kasus DBD di Kota Kediri selama untuk mengetahui status kesehatan masyarakat,
tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan memantau perkembangan kesehatan masyarakat,
peningkatan. Jumlah kasus DBD sejak tahun menentukan prioritas kesehatan, mengevaluasi
2011 hingga 2013 secara berturut-turut adalah 67 program kesehatan dan mengembangkan penelitian
kasus, 105 kasus dan 274 kasus. Pada tahun 2013 kesehatan (Lee, et al., 2010). Menurut Badan
prevalensi DBD sebesar 0,99 per 1000 penduduk, Kesehatan Dunia (WHO) dalam Kepmenkes
prevalensi tersebut meningkat jika dibandingkan RI Nomor 1116 tahun 2003 tentang Pedoman
tahun 2012 sebesar 0,38 per 1000 penduduk. Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Distribusi DBD di Kota Kediri tahun 2013 Kesehatan menyebutkan bahwa surveilans adalah
paling banyak diderita oleh penduduk kelompok proses pengumpulan, pengolahan, analisis,
umur 7–9 tahun. Persentase penderita DBD lebih interpretasi data secara sistematik dan terus menerus
banyak berjenis kelamin laki-laki (53%). DBD di serta melakukan penyebaran informasi kepada unit
Kota Kediri terjadi sepanjang tahun. Berdasarkan yang membutuhkan sebagai pertimbangan dalam
status endemisitas wilayah, 47,8% kelurahan di pengambilan keputusan atau kebijakan.
Kota Kediri merupakan daerah endemis dan sisanya Dengan memperhatikan pola penyakit demam
sebesar 52,2% merupakan daerah sporadis DBD. berdarah di Kota Kediri yang merupakan daerah
Pola maksimum minimum DBD di Kota Kediri endemis, maka pelaksanaan sistem surveilans
menunjukkan bahwa kasus DBD sejak tahun epidemiologi demam berdarah dengue sebagai upaya
2011 hingga 2013 cenderung banyak terjadi pada pemberantasan penyakit penting untuk dilaksanakan.
permulaan tahun, kasus DBD tersebut kemudian Apabila kegiatan surveilans epidemiologi DBD di
mengalami penurunan secara berkala pada Kota Kediri dilaksanakan dengan baik, diharapkan
pertengahan hingga akhir tahun. mampu menekan angka kejadian DBD. Oleh
Incident rate (IR) DBD di Kota Kediri selama karena itu, perlu evaluasi surveilans DBD di
tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. IR DBD Kota Kediri dalam rangka meningkatkan status
tahun 2013 adalah 99,28 per 100.000 penduduk kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah
sedangkan IR dua tahun sebelumnya (2011 dan mendeskripsikan pelaksanaan sistem surveilans
2012) secara berturut-turut adalah 25,28 dan 38,74 epidemiologi DBD berdasarkan komponen
per 100.000 penduduk. CFR DBD adalah 0,73 per surveilans di Kota Kediri tahun 2013.
100 kasus. Berdasarkan capaian indikator IR dan CFR tersebut dapat diketahui bahwa DBD masih menjadi permasalahan kesehatan di Kota Kediri.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
Pengumpulan Data
dengan pendekatan observasional. Desain penelitian Jenis data DBD yang dikumpulkan di Dinas yang digunakan adalah cross sectional yaitu melihat
Kesehatan Kota Kediri adalah data rutin dan data pelaksanaan surveilans epidemiologi DBD tahun
tidak rutin. Data rutin meliputi data penemuan 2013. Responden penelitian adalah pelaksana
penderita, data penanggulangan fokus dan program DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri.
data abatisasi/PJB. Data tidak rutin berupa data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
penderita atau data KDRS. Data rutin bersumber dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan
dari puskesmas yang dikumpulkan setiap bulan dan secara deskriptif dengan cara membandingkan hasil
tiga bulan (data abatisasi/PJB) sedangkan data tidak penelitian yang diperoleh di lapangan dengan teori
rutin berasal dari rumah sakit dan dikumpulkan dan atau pedoman program. Hasil analisis diuraikan
secara insidental ketika ada kasus. dalam bentuk narasi untuk mendeskripsikan variabel
Data yang ada di form penemuan penderita penelitian, kemudian digambarkan dalam bentuk
terdiri dari nama penderita/KK, umur, jenis kelamin, tabel, grafi k dan gambar. Penelitian ini dilengkapi
alamat, tanggal mulai sakit, tanggal masuk RS,
Binti, Komponen Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue…
tanggal pengambilan darah dan gejala klinik. Data petugas DBD di puskesmas baik melalui telepon di form penanggulangan fokus adalah kelurahan,
maupun mendatangi secara langsung apabila belum jumlah penderita, jumlah kematian, jumlah fokus,
menyerahkan laporan sesuai waktu yang telah tanggal fogging, luas daerah yang diasapi, jumlah
ditetapkan. Pengumpulan data secara aktif juga rumah, jumlah peserta penyuluhan, jumlah kontainer
dilakukan melalui kegiatan supervisi rutin untuk sebelum PSN, tanggal PE, jumlah rumah PE dan
memantau perkembangan DBD di masyarakat. Ada hasil PE. Data pada form abatisasi/PJB meliputi
dua jenis supervisi DBD yang dilakukan oleh Dinkes kelurahan, jumlah rumah diperiksa, jumlah rumah
kota yaitu supervisi kewaspadaan dini dan supervisi positif jentik, ABJ, jumlah kontainer diperiksa,
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB). jumlah kontainer positif jentik, container index,
Tenaga yang melakukan pengumpulan data jumlah rumah diberi abate, jumlah rumah di fogging
DBD di Dinkes Kota Kediri adalah seorang dan jumlah bahan pakai. Adapun form KDRS
penanggung jawab program DBD. Penanggung memuat data tentang nomor rekam medis, nama,
jawab program DBD telah mengikuti pelatihan umur, jenis kelamin, nama KK, alamat, tanggal mulai
tentang DBD sebanyak satu kali di Surabaya yang sakit, tanggal mulai dirawat, keadaan penderita saat
diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi awal diperiksa, diagnosa awal, hasil pemeriksaan
Jawa Timur. Petugas mulai menjadi penanggung laboratorium, diagnosa akhir dan kondisi penderita
jawab program DBD sejak November 2013 sampai saat pulang.
sekarang. Pendidikan terakhir petugas DBD adalah Sumber data DBD di Dinas Kesehatan Kota
S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat (S.KM). Kediri berasal dari puskesmas dan rumah sakit.
Frekuensi pengumpulan data DBD dari Setiap pemegang program DBD di puskesmas
puskesmas dilakukan setiap bulan dan tribulan. merekap dan melaporkan data DBD yang terdiri
Batas waktu pengumpulan setiap tanggal 10 awal dari data penemuan penderita, data penanggulangan
bulan. Data yang dikumpulkan meliputi data fokus dan data abatisasi/PJB (Pemeriksaan Jentik
penemuan penderita, data penanggulangan fokus Berkala). Dinas kesehatan menerima laporan
dan data PJB. Dinas kesehatan menetapkan jumlah KDRS dari rumah sakit yang merawat pasien dan
rumah yang dihitung dalam ABJ (Angka Bebas meneruskan informasi tersebut ke puskesmas yang
Jentik) adalah sebanyak 100 rumah. Puskesmas wilayah kerjanya terdapat penderita DBD agar
diberi waktu untuk memenuhi target tersebut selama melakukan penyelidikan epidemiologi. Penyelidikan
3 bulan. Untuk mempermudah pelaporan data, epidemiologi dilakukan di sekitar tempat tinggal
puskesmas biasanya melakukan pemeriksaan jentik penderita (sebanyak 20 rumah secara acak, radius
dan melaporkan hasilnya ke dinas kesehatan setiap
1 km). Apabila ABJ ≥ 95% dan terdapat ≥ 3 orang bulan. Petugas puskesmas merasa lebih mudah jika yang mengalami panas tubuh tanpa diketahui
melakukan pemeriksaan jentik dan melaporkan ke penyebabnya, maka daerah tersebut harus dilakukan
dinas kesehatan setiap bulan. fogging /pengasapan sebagai upaya pemberantasan
Frekuensi pengumpulan data DBD dari rumah sarang nyamuk.
sakit bersifat insidental jika ada kasus. Apabila Surveilans DBD di Dinkes Kota Kediri
dalam sebulan terdapat banyak kasus maka intensitas dilaksanakan secara rutin. Untuk mengoptimalkan
pelaporan juga semakin sering. Dinas kesehatan kinerja petugas DBD diperlukan sarana yang dapat
menetapkan batas waktu pengumpulan form KDRS menunjang kegiatan surveilans DBD. Jenis sarana
selambat-lambatnya 24 jam setelah diagnosa DBD di Dinkes Kota Kediri adalah komputer/laptop,
ditetapkan. Dinas kesehatan menghimbau kepada alat komunikasi, kepustakaan tentang DBD, buku
seluruh rumah sakit untuk melaporkan data DBD pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi DBD,
secepat mungkin (< 24 jam) setelah hasil diagnosa aplikasi komputer, formulir pengumpulan data,
pasien menunjukkan positif DBD. peralatan surveilans (printer, foto kopi, scanner),
Berdasarkan presensi pengumpulan data kendaraan bermotor, mobil dan laboratorium.
DBD di Dinkes Kota Kediri, ketepatan data DBD Metode pengumpulan data DBD di Dinkes
belum dapat dinilai karena tanda tangan petugas Kota Kediri dilakukan secara aktif dan pasif.
pengumpul data tidak lengkap dan banyak yang tidak Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan
menyantumkan tanggal pengumpulan. Sebanyak menunggu laporan dari puskesmas dan rumah
55,56% (60) dari total presensi hanya terdapat tanda sakit di Kota Kediri. Sedangkan pengumpulan data
tangan, 28,7% (31) presensi kosong atau tidak ada secara aktif dilakukan dengan meminta data ke
tanda tangan dan 15,74% (17) presensi terdapat
98 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 95–108 tanda tangan dan tanggal pengumpulan. Menurut
secara rutin per bulan. Ada atau tidak adanya kasus tanggal yang tertera pada presensi, ketepatan
DBD setiap bulan tidak mempengaruhi intensitas pengumpulan data DBD di Dinkes Kota Kediri
pelaporan ke Dinkes. Rumah sakit melaporkan data sebesar 13,8% (15) terhitung bulan november
DBD ke Dinkes secara insidental apabila terdapat sampai desember. Berdasarkan hasil penghitungan
kasus. Rumah sakit tidak melaporkan secara rutin kelengkapan data DBD di Dinas Kesehatan Kota
sebagaimana puskesmas. Kompilasi data DBD Kediri, jenis data yang lengkap (≥ 80%) adalah data
tersebut menyebabkan adanya perbedaan data antara tribulan/ABJ sedangkan data bulanan (penemuan
puskesmas, rumah sakit dan dinas kesehatan. penderita dan penanggulangan fokus) dan data
Analisis data di Dinkes Kota Kediri KDRS tidak lengkap karena < 80%.
menggunakan indikator angka penemuan dan Form pengumpul data yang digunakan dalam
penanganan DBD, Incident Rate (IR), Case Fatality surveilans DBD disediakan oleh Dinkes Kota
Rate (CFR) dan Angka Bebas Jentik (ABJ). Indikator dalam bentuk soft fi le dan didistribusikan ke seluruh
tersebut digunakan sebagai evaluasi perkembangan puskesmas. Petugas DBD di puskesmas dapat
program di Dinkes Kota Kediri. Indikator akan menggandakan form tersebut sesuai kebutuhan.
dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan Proses pengisian form mudah dilakukan apabila data
di Dinkes Kota Kediri yang mengacu pada target yang diperlukan tersedia di puskesmas. Adapun form
nasional program P2DBD Depkes RI. KDRS sudah tersedia di seluruh rumah sakit.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa indikator angka penemuan dan penanganan
Kompilasi dan Analisis Data
DBD, ABJ dan IR masih belum memenuhi target Pencatatan data DBD dari rumah sakit
Dinkes Kota Kediri. Sedangkan indikator CFR disusun secara terpisah dari data puskesmas. Dinas
sudah memenuhi target baik nasional maupun Kesehatan Kota Kediri merekap data penderita
kota. Rendahnya CFR menunjukkan bahwa angka DBD dari rumah sakit berupa (form KDRS) dalam
kematian yang ditimbulkan oleh DBD di Kota Kediri buku register. Sedangkan data penderita DBD dari
masih tergolong kecil.
puskesmas direkap berdasarkan laporan bulanan. Hasil analisis program pemberantasan penyakit Data pasien pada buku register diurutkan sesuai
DBD di Kota Kediri adalah informasi epidemiologi tanggal pelaporan ke dinas kesehatan. Data pasien
di setiap puskesmas. Informasi hasil analisis tersebut tidak dikelompokkan berdasarkan hasil diagnosa
terdiri dari jumlah penduduk per puskesmas, jumlah sehingga data pasien DBD dan SSD (data kasus)
daerah endemis dan sporadis, angka kesakitan dan bercampur dengan data tersangka dan DD (non
kematian, jumlah desa yang dilakukan program kasus). Petugas hanya memberikan tanda khusus
penanggulangan (abatisasi, PJB, PSN), angka bebas (lingkaran) pada pasien DBD dan SSD.
jentik, jumlah jumantik terlatih dan jumlah desa per Dalam melakukan perekapan data, petugas tidak
puskesmas yang memiliki kader jumantik. Program melakukan pengecekan kelengkapan atau duplikasi
pemberantasan penyakit DBD di Kota Kediri pada data pasien. Data pasien DBD yang tercatat dalam
tahun 2013 yakni program abatisasi, PSN dan PJB buku register seringkali tidak ada dalam laporan
telah dilakukan di semua wilayah kerja puskesmas. bulanan puskesmas, begitu pula sebaliknya.
Hasil analisis data DBD selain data program Sebagian data pasien DBD yang tercatat dalam
pemberantasan penyakit DBD dan Infeksi Virus laporan bulanan puskesmas tidak tercatat dalam
Dengue (IVD) adalah data kasus menurut umur, buku register. Ketidaklengkapan data pasien DBD
data evaluasi dampak BOK (Bantuan Operasional puskesmas mengindikasikan bahwa puskesmas
Kesehatan) pada perkembangan program dan data tidak selalu menerima laporan DBD dari penderita
pola maksimal minimal penyakit. Data evaluasi ataupun pemberitahuan adanya kasus oleh dinas
dampak BOK pada perkembangan program berisi kesehatan. Ketidaklengkapan data DBD pada buku
tentang jumlah penemuan dan penanganan kasus register mengindikasikan adanya kemungkinan
DBD yang terjadi di puskesmas Kota Kediri perawatan pasien DBD dilakukan di rumah sakit
dibandingkan dengan target penemuan dan luar Kota Kediri.
penanganan kasus tahun 2013. Data DBD yang dikompilasi di Dinkes Kota
Dari hasil analisis data ditemukan bahwa Kediri merupakan data agregat dari puskesmas dan
indikator penemuan dan penanganan kasus DBD rumah sakit. Puskesmas melaporkan kasus DBD
di Puskesmas Kota Kediri masih belum memenuhi
Binti, Komponen Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue…
target. Upaya pencegahan dan pemberantasan DBD Cakupan program pemberantasan penyakit harus lebih dioptimalkan agar kasus DBD yang
DBD dapat digunakan untuk menilai kinerja terjadi menurun.
petugas kesehatan. Indikator yang dinilai adalah Pola maksimal dan minimal suatu penyakit
abatisasi, PJB (Pemeriksaan Jentik Berkala) dan menggambarkan pola penyakit selama beberapa
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Cakupan periode waktu. Data pola maksimal minimal DBD
program pemberantasan penyakit DBD tahun 2013 penyakit diperoleh dari penghitungan kasus DBD
sebagaimana yang terdapat pada hasil sebelumnya, terendah dan tertinggi setiap bulan selama tiga tahun
yaitu telah menjangkau seluruh puskesmas dan terakhir (2010–2012) kemudian dibuat grafi k dan
kelurahan di Kota Kediri. Jadi cakupan program membandingkan dengan pola DBD tahun 2013.
DBD di Kota Kediri mencapai 100%. Untuk mempermudah proses analisis data DBD,
Kecenderungan kasus DBD yang diinterpretasi petugas menggunakan Pedoman analisis data berupa
di Dinas Kesehatan Kota Kediri adalah modul bagi pengelola program DBD yang disusun
kecenderungan kasus berdasarkan kelompok umur. oleh Depkes RI tahun 2007. Selain itu terdapat
Interpretasi data menurut umur penting dilakukan sarana untuk melakukan analisis data berupa 1 unit
untuk menentukan tindakan pencegahan dan komputer dan 1 unit media cetak (printer). Kegiatan
pemberantasan DBD di masyarakat. Hal tersebut analisis data dilakukan sendiri oleh penanggung
karena kemunculan DBD seringkali berhubungan jawab program DBD.
dengan faktor perilaku manusia dengan karakter Kendala yang sering ditemui dalam analisis data
berbeda sesuai jenjang umur. adalah faktor keterlambatan data. Seringkali data
Interpretasi DBD menggunakan indikator IR, yang diperlukan sebagai bahan analisis terlambat
CFR, ABJ dan proporsi menurut umur. Standar disetorkan ke dinkes kota. Padahal dinkes sudah
IR tahun 2014 adalah ≤ 51/100.000 penduduk menetapkan batas waktu pengumpulan data bagi
sedangkan capaian IR adalah 99,28/100.000 puskesmas, namun realisasinya masih banyak terjadi
penduduk. Standar CFR adalah < 1% sedangkan pelanggaran proses analisis data.
capaian IR adalah 0,73%. Standar ABJ adalah > 95%, namun capaian ABJ adalah 92%. Dengan
Interpretasi Data
demikian indikator IR dan ABJ di Dinas Kesehatan Interpretasi data DBD merupakan pemberian
Kota Kediri belum memenuhi target sedangkan deskripsi atau narasi pada suatu hasil analisis
indikator CFR sudah memenuhi target. data agar data tersebut menjadi bermakna dan
Informasi Epidemiologi
menghasilkan informasi epidemiologi. Dengan dasar informasi epidemiologi tersebut, petugas
Informasi epidemiologi DBD yang dihasilkan dapat melakukan berbagai upaya penanggulangan
Dinas Kesehatan Kota Kediri adalah situasi DBD. Petugas yang melakukan interpretasi data
umum DBD, informasi endemisitas wilayah dan adalah penanggung jawab program DBD. Bentuk
kecenderungan DBD. Informasi epidemiologi interpretasi data DBD disajikan dalam profil
tersebut disajikan dalam laporan tertulis dan profi l kesehatan Kota Kediri dan disimpan dalam file
tahunan. Situasi umum DBD yang terdapat pada komputer.
profi l berisi tentang jumlah kasus, CFR, IR dan Data DBD yang diinterpretasi adalah analisis
upaya penanggulangan DBD. Sedangkan endemisitas perbandingan, analisis cakupan program DBD dan
dan kecenderungan disajikan dalam fi le komputer analisis kecenderungan DBD. Analisis perbandingan
yang disusun oleh petugas DBD. Bentuk informasi merupakan data capaian program DBD dengan
yang disajikan berupa tabel (file komputer) dan target yang telah ditetapkan. Cakupan program DBD
narasi (profi l kesehatan).
adalah data program pemberantasan penyakit DBD Informasi epidemiologi DBD berdasarkan di seluruh puskesmas. Sedangkan kecenderungan
analisis data di Dinas Kesehatan Kota Kediri tidak DBD yang diinterpretasi adalah kecenderungan
hanya dimanfaatkan oleh internal Dinkes kota namun munculnya kasus DBD menurut umur. Secara
juga oleh instansi lain (kesehatan dan nonkesehatan). umum hasil pencapaian program penanggulangan
Beberapa instansi yang memanfaatkan informasi DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri masih belum
epidemiologi adalah Dinkes Kota Kediri sebagai memenuhi target yang telah ditetapkan. Kasus DBD
bahan evaluasi kinerja penyelenggara program yang muncul mencapai angka yang lebih tinggi dari
penanggulangan DBD, Pemerintah Kota Kediri target yang ditetapkan, yakni mencapai 173%.
sebagai dasar penyusunan program untuk
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 95–108
meningkatkan kesejahteraan Kediri, DPRD sebagai yang melaporkan data ke dinas kesehatan adalah evaluasi kinerja penyelenggaraan program kesehatan
puskesmas dan rumah sakit. Pencatatan dilakukan dan Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan
dalam buku catatan program dan softcopy dalam Daerah) sebagai pertimbangan penyusunan anggaran
komputer.
daerah tahun berikutnya. Jenis data DBD yang dikumpulkan di Dinas Kesehatan Kota Kediri bersifat rutin dan tidak rutin.
Diseminasi Informasi
Data rutin terdiri dari data penemuan penderita, data Diseminasi informasi merupakan proses
penanggulangan fokus dan data abatisasi/PJB. Data penyebarluasan informasi epidemiologi ke berbagai
tidak rutin berupa data KDRS. Setiap jenis data unit atau pihak yang membutuhkan. Diseminasi
memuat informasi tertentu tentang DBD di Dinkes informasi terdiri dari pelaporan dan umpan balik.
Kota Kediri.
Diseminasi informasi DBD di Dinkes Kota Kediri Jenis data DBD di Dinkes Kota Kediri sesuai dilakukan dengan pelaporan ke Dinkes Provinsi
dengan Modul Pengendalian Demam Berdarah Jawa Timur sedangkan umpan balik ditujukan
Dengue dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tahun kepada puskesmas se-Kota Kediri. Pelaporan dan
2011. Dalam modul tersebut disebutkan bahwa umpan balik dalam diseminasi informasi DBD di
variabel yang berhubungan dengan pengendalian Dinas Kesehatan Kota Kediri memiliki beberapa
DBD adalah data kesakitan dan kematian, data perbedaan. Secara umum pelaporan data merupakan
penduduk menurut umur dan jenis kelamin, data upaya pertanggungjawaban penyelenggaraan
daerah yang terdapat DBD (desa/kelurahan, program P2DBD di dinkes kota ke dinkes provinsi
kecamatan, provinsi) dan data ABJ. Data kesakitan sedangkan umpan balik sebagai bentuk apresiasi ke
dan kematian terdapat pada data penemuan penderita, unit penyelenggara teknis kesehatan di bawah dinas
data penduduk menurut orang dan tempat (desa/ dan masyarakat yang telah berpartisipasi.
kelurahan, kecamatan) terdapat pada data P2DBD yang dikelola oleh penanggung jawab program DBD Dinkes Kota Kediri dan data ABJ terdapat pada data
PEMBAHASAN
abatisasi/PJB.
Pengumpulan Data
Jenis data surveilans DBD yang dikumpulkan di Dinkes Kota Kediri berbeda dengan jenis data DBD
Pengumpulan data merupakan kegiatan awal di daerah lain. Kartiawan (2009), menyebutkan dalam pelaksanaan surveilans epidemiologi Data
bahwa jenis data DBD di Dinas Kesehatan Sumbawa yang dikumpulkan diolah agar mampu menghasilkan
adalah data kematian, data kematian (data W1/ informasi epidemiologi. Dalam pengumpulan data,
KLB dan W2/mingguan) dan data penyelidikan diperlukan pencatatan yang baik agar hasil analisis
epidemiologi. Data KDRS tidak dikumpulkan di data dapat menghasilkan informasi secara utuh
Dinkes Sumbawa.
(Hariyana, 2007). Data yang dikumpulkan di dinas Sumber data DBD di Dinas Kesehatan Kota kesehatan kota sebagaimana yang terdapat pada
Kediri berasal dari puskesmas dan rumah sakit. Kepmenkes RI Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003
Puskesmas melaporkan data DBD secara rutin dalam dapat bersifat rutin dan atau tidak rutin/insidental.
bentuk hardfile/dokumen tertulis sesuai format Data yang dikumpulkan berasal dari UPTD (Unit
yang ditetapkan Dinas Kesehatan Kota Kediri. Pelaksana Teknis Daerah) di bawah dinkes kota.
Sedangkan rumah sakit melaporkan kasus DBD Pada umumnya pelaksanaan surveilans DBD di
insidental jika ada kasus. Sumber data surveilans Dinas Kesehatan Kota Kediri sudah sesuai dengan
DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri telah sesuai teori dan peraturan. Data yang sudah terkumpul
dengan Modul pengendalian DBD. Kemenkes RI di dinas kesehatan dianalisis agar menghasilkan
(2011), menyebutkan bahwa sumber data DBD informasi epidemiologi. Informasi tersebut
dapat diperoleh dari laporan rutin (mingguan, dimanfaatkan oleh dinas sebagai bahan evaluasi
bulanan, tribulan), laporan KLB/wabah (W1), program pencegahan dan penanggulangan DBD
hasil laboratorium (puskesmas, RS, laboratorium di Kota Kediri. Dinas kesehatan telah melakukan
kesehatan), laporan penyelidikan kasus, laporan pencatatan data DBD secara rutin per bulan
penyelidikan KLB/wabah, survei khusus, laporan sesuai jadwal pengumpulan data dari puskesmas.
data demografi , laporan data vektor serta laporan dari Adapun pencatatan data tidak rutin dilakukan
Badan Meteorologi dan Geofi sika. Weraman (2010), ketika ada laporan KDRS dari rumah sakit. UPTD
mengatakan bahwa sistem surveilans memiliki 10
Binti, Komponen Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue…
elemen sumber data yaitu laporan kematian, laporan Metode pengumpulan data surveilans secara penyakit, wabah, hasil pemeriksaan laboratorium,
aktif maupun pasif memiliki kekurangan dan penyelidikan penyakit, penyelidikan wabah, survei,
kelebihan. Menurut Gordis (2000), kelebihan metode penyelidikan distribusi vektor dan reservoir pada
pengumpulan data secara aktif ada pada tingkat hewan, penggunaan obat dan vaksin, serta laporan
akurasi data surveilans. Pengumpulan data secara penduduk dan lingkungan.
aktif lebih akurat dibanding dengan pengumpulan Sumber data DBD di Kota Kediri hampir
data secara pasif. Hal ini karena proses pengumpulan sama dengan sumber data di daerah lain. Menurut
dilakukan oleh petugas kesehatan yang kompeten di penelitian Sitepu et al. (2012), sumber data DBD
bidangnya. Metode pasif memiliki keunggulan dalam di Kota Singkawang berasal dari rumah sakit yang
hal efisiensi biaya dan kemudahan pelaksanaan kemudian diteruskan ke puskesmas agar segera
sedangkan kekurangannya adalah memerlukan biaya dilakukan upaya penyelidikan epidemiologi.
yang lebih mahal dan konten laporan yang biasanya Sumber data DBD di Kota Singkawang yang hanya
tidak sesuai harapan (under reporting). berasal dari rumah sakit memiliki kelemahan dalam
Pengumpulan data surveilans DBD di Kota hal koordinasi antar unit kesehatan. RS sebagai
Kediri secara aktif sesuai dengan penelitian Sitepu satu-satunya sumber data DBD sering terlambat
et al. (2012). Data DBD Kota Singkawang melaporkan data ke dinas kesehatan. Akibatnya
dikumpulkan oleh petugas puskesmas dengan penyelidikan epidemiologi DBD oleh petugas
cara active case finding atau pelacakan kasus puskesmas juga terlambat dilakukan. Penyelidikan
di masyarakat. Pengumpulan data secara aktif epidemiologi dilakukan untuk mengetahui adanya
menunjukkan bahwa sensitivitas petugas dalam penambahan kasus dan perluasan penyebaran
mendeteksi DBD di masyarakat cukup baik sehingga penyakit.
dapat melakukan upaya pemberantasan penyakit Sumber data DBD di Kota Kediri sesuai dengan
secara cepat dan tepat.
sumber data DBD di Kabupaten Tuban. Hasil Tenaga pengumpul data DBD di Dinas penelitian Ayu (2012) menunjukkan bahwa sumber
Kesehatan Kota Kediri dilakukan oleh seorang data DBD Dinkes Kabupaten Tuban berasal dari
penanggung jawab program bergelar Sarjana puskesmas dan rumah sakit. Data dari puskesmas
Kesehatan Masyarakat (S.KM.) dan menjabat sejak merupakan data rutin (form W1/mingguan, form
bulan november 2013 (< 1 tahun). Tenaga surveilans STP, K-DBD/bulanan) sedangkan data rumah sakit
DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri masih belum bersifat tidak rutin (form KDRS). Berdasarkan
sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor: 1116/ beberapa penelitian sebelumnya dapat diketahui
MENKES/SK/VIII/2003 karena tenaga pelaksana bahwa sumber data DBD mayoritas berasal dari
tidak dilakukan oleh tim melainkan satu orang puskesmas dan rumah sakit.
saja. Tenaga surveilans di puskesmas sudah sesuai Sarana surveilans DBD di Dinas Kesehatan
Kepmenkes karena merupakan tenaga epidemiolog Kota Kediri secara umum sudah baik. Pengadaan
terampil.
dan penggunaan sarana sesuai dengan Kepmenkes Faktor petugas dapat mempengaruhi RI nomor 1116/SK/VIII/2003 tentang pedoman
pelaksanaan surveilans epidemiologi DBD. Menurut pelaksanaan sistem surveilans epidemiologi
penelitian Natalia (2012), bahwa surveilans DBD penyakit. Sarana surveilans di dinkes kota menurut
di Kota Semarang dapat dipengaruhi oleh petugas. Kepmenkes (2003), adalah jaringan elektromedia,
Faktor petugas tersebut adalah lama bekerja, alat komunikasi, kepustakaan, pedoman program,
pendidikan, pengetahuan, sikap positif, keterampilan formulir, peralatan surveilans, mobil dan sepeda
dalam mengolah dan menyajikan data dan perhatian motor. Sarana surveilans DBD yang tidak tersedia
dari atasan.
di Dinkes Kota Kediri yakni sarana transportasi Frekuensi pengumpulan data di Dinas sepeda motor.
Kesehatan Kota Kediri dilakukan secara rutin Metode pengumpulan data surveilans di Dinas
(bulanan, tribulan) dan tidak rutin (insidental). Data Kesehatan Kota Kediri dilakukan secara aktif
P2DBD dikumpulkan setiap bulan sedangkan data dan pasif. Pengumpulan data secara aktif dengan
PJB dikumpulkan setiap tiga bulan. Data KDRS melakukan supervisi DBD di masyarakat. Adapun
yang merupakan data tidak rutin dilaporkan ke dinas secara pasif, dinas kesehatan kota menerima laporan
kesehatan ketika ada kasus DBD saja. dari puskesmas dan rumah sakit sebagai sumber data
Data KDRS berisi hasil diagnosa pasien DBD kasus DBD.
yang dirawat di rumah sakit. Pengumpulan data
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 95–108
KDRS di Dinkes Kota Kediri secara tepat waktu Standar minimal kelengkapan dan ketepatan sangat sulit dilakukan. Keterbatasan tenaga dan
pengumpulan dalam Kepmenkes RI Nomor: sumber daya di rumah sakit menjadi salah satu
1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman kendala pengumpulan data. Agar data KDRS yang
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi dikumpulkan di dinas kesehatan terlaksana dengan
Kesehatan masing-masing adalah ≥ 80%. cepat, rumah sakit melaporkan data KDRS melalui
Berdasarkan Modul Pengendalian Demam Berdarah telepon/SMS terlebih dahulu. Dengan demikian,
Dengue (Kemenkes, 2011) indikator kinerja dinas kesehatan kota dapat segera melakukan upaya
kabupaten/kota dianggap baik jika persentase penanggulangan untuk mencegah penyebaran
kelengkapan pengumpulan data di dinkes kota DBD.
minimal 80%, persentase ketepatan pengumpulan Pelaksanaan pengumpulan data DBD di Dinkes
data di Dinkes kota minimal 80% dan persentase Kota Kediri dapat menyesuaikan dengan kondisi
laporan KDRS yang diterima dinkes kota tidak lebih lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa surveilans
dari 24 jam sejak diagnosis pertama ditegakkan DBD dinilai dari unsur atribut bersifat fl eksibel.
adalah 100%.
Surveilans epidemiologi dinilai fl eksibel apabila Persentase kelengkapan pengumpulan data dapat menyesuaikan dengan situasi tanpa disertai
DBD di Dinas Kesehatan Kota masih tergolong perubahan sistem yang berarti (Douglas, 1997).
rendah. Menurut hasil penelitian Saputra et al. Frekuensi pengumpulan data DBD di Dinas
(2011), ketidaklengkapan laporan surveilans dapat Kesehatan Kota (dari puskesmas) menurut Modul
mempengaruhi upaya kewaspadaan dini penyakit. Pengendalian DBD tahun 2011 harus dilakukan
Data surveilans yang seharusnya digunakan sebagai secara rutin setiap bulan. Data P2DBD tersebut
landasan pengambilan keputusan akan diragukan digunakan untuk mengetahui kecenderungan dan
kebenarannya apabila tidak lengkap oleh karena itu, musim penularan penyakit DBD di suatu daerah
penyediaan data DBD secara lengkap penting untuk berdasarkan analisis data yang tersedia.
dilaksanakan.
Ketepatan pengumpulan data dapat diketahui Salah satu cara untuk meningkatkan ketepatan dari presensi atau daftar hadir petugas pengumpul
dan kelengkapan data surveilans DBD dari data. Berdasarkan presensi P2DBD, ketepatan
puskesmas adalah dengan melakukan pelaporan pengumpulan data di Dinas Kesehatan Kota Kediri
melalui telepon kemudian mengirimkan ke dinas tidak dapat dinilai. Hal tersebut dikarenakan presensi
melalui jasa kurir. Berdasarkan penelitian Siyam pada tahun 2013 tidak lengkap (tidak ada tanda
(2013), metode pelaporan data DBD via telepon tangan petugas) tidak ada keterangan. Selain itu,
kemudian dilanjutkan via jasa kurir menunjukkan tidak semua bulan disertai tanggal pengumpulan
adanya peningkatan persentase ketepatan dan sehingga sulit untuk dievaluasi. Presensi yang
kelengkapan secara bermakna. disertai dengan tanggal pengumpulan hanya pada
Formulir pengumpulan data di Dinas Kesehatan bulan November dan Desember.
Kota Kediri tersedia dalam jumlah yang mencukupi. Menurut penelitian Siyam (2013), ketepatan
Form DBD untuk puskesmas tersedia dalam waktu menjadi salah satu indikator kualitas data
bentuk fi le komputer (softcopy) dan dicetak sesuai atau informasi. Keterlambatan dalam pengumpulan
kebutuhan. Form KDRS tersedia di rumah sakit data akan berdampak pada penyediaan dan
dalam bentuk hardcopy dengan jumlah mencukupi. pengolahan data. Ketepatan waktu pengumpulan
Salah satu sarana yang diperlukan dalam data DBD di Dinkes Kota Kediri yang tidak dapat
penyelenggaraan surveilans di kabupaten/kota dinilai menunjukkan bahwa penyediaan data DBD
dan puskesmas menurut Kepmenkes No. 1116 secara tepat waktu masih belum dilaksanakan oleh
Tahun 2003 adalah penyediaan formulir surveilans petugas.
epidemiologi yang sesuai dengan buku pedoman. Kelengkapan pengumpulan data di Dinas
Formulir digunakan sebagai alat bantu pengumpulan Kesehatan Kota Kediri berbeda-beda tergantung
data yang memuat variabel penyakit tertentu jenis data. Kelengkapan data penemuan penderita
(Weraman, 2010). Form pengumpulan data di 59,25%, data penanggulangan fokus 56,48%, data
Dinkes Kota Kediri sudah sesuai dengan modul PJB 88,88% dan KDRS 34,67%. Kelengkapan
DBD. Variabel yang dimuat dalam formulir seperti pengumpulan data DBD di Dinas Kesehatan Kota
identitas penderita, hasil diagnosis dan upaya PSN Kediri secara umum masih rendah karena masih
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) akan menjadi belum mencapai standar surveilans.
bahan pengolahan data selanjutnya.
103 Kompilasi dan Analisis Data
Binti, Komponen Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue…
data pasien. Contoh duplikasi data misalnya adanya perubahan status pasien dari tersangka menjadi
Kompilasi data merupakan pengelompokan data berdasarkan karakteristik tertentu. Kompilasi
penderita DBD selama perawatan berlangsung, data DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri
atau adanya pelaporan ganda dari rumah sakit dan dilakukan berdasarkan orang (umur, jenis kelamin),
puskesmas dengan pasien yang sama. Petugas DBD waktu (bulan dan tahun), tempat (kecamatan dan
Dinkes Kota Kediri tidak melakukan verifikasi puskesmas) dan klasifi kasi endemisitas wilayah.
terlebih dahulu sehingga terdapat duplikasi data Kompilasi data DBD di Dinas Kesehatan
pasien DBD.
Kota Kediri sesuai dengan penelitian Ayu (2012), Analisis data DBD di Dinas Kesehatan Kota bahwa kompilasi data DBD di Dinas Kesehatan
Kediri dilakukan menurut angka penemuan dan Kabupaten Tuban berdasarkan variabel orang,
penanganan DBD, Incident Rate (IR), Case Fatality tempat dan waktu. Hasil penelitian serupa dilakukan Rate (CFR) dan Angka Bebas Jentik (ABJ). Data
oleh Kartiawan (2009), Kompilasi data DBD di tersebut diuraikan dalam bentuk tabel. Analisis data Dinas Kesehatan Kota Kediri mengacu pada Modul
DBD di Dinkes Kota Kediri sesuai dengan hasil Pengendalian Demam Berdarah Dengue tahun 2011
penelitian Pawestri (2009), bahwa analisis data DBD bahwa bentuk kompilasi data di Dinkes kota antara
dilaksanakan berdasarkan indikator CFR, IR dan lain dapat berupa laporan penderita, stratifikasi
ABJ.
endemisitas kecamatan dan distribusi DBD (menurut Data penemuan dan penanganan kasus DBD tahun, kelompok umur dan jenis kelamin).
secara cepat dan tepat penting untuk dilakukan. Data DBD yang dikompilasi di Dinas Kesehatan
Menurut Widoyono (2011), penyakit DBD seringkali Kota Kediri merupakan data agregat dari rumah sakit
menimbulkan dampak fatal karena terlambat dan puskesmas. Data DBD dari rumah sakit (KDRS)
mendapatkan penanganan medis. Pengetahuan dan dibedakan dari data puskesmas dan dicatat oleh
kemampuan masyarakat untuk mengenali gejala petugas dalam buku register DBD. Status pasien
DBD harus ditingkatkan agar pasien DBD segera yang tercatat pada buku register meliputi tersangka
mendapatkan pertolongan medis. DBD, DD (demam dengue), positif DBD, dan SSD
Pemeriksaan jentik nyamuk merupakan salah (Syndroma Shock Dengue). Hasil diagnosa pasien
satu upaya pencegahan DBD. Menurut penelitian dinilai sebagai kasus DBD apabila pasien dinyatakan
Purnama dan Baskoro (2012), rumah yang positif positif DBD atau SSD.
ditemukan jentik memiliki risiko terkena DBD 2,7 Pencatatan data DBD di Dinas Kesehatan
kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang Kota Kediri belum dilaksanakan dengan baik.
tidak ditemukan jentik. Oleh karena itu, pemeriksaan Ketidaksesuaian data pasien dari rumah sakit
jentik secara rutin harus dilakukan memonitor (buku register) dan puskesmas (data penemuan
nyamuk vektor DBD.
penderita) masih banyak ditemukan. Tidak semua Indikator analisis data DBD di Dinkes Kota data penderita dari puskesmas tercatat dalam
Kediri sesuai dengan Modul Pengendalian Demam buku register (KDRS), begitu pula sebaliknya.
Berdarah Dengue tahun 2011 yakni kelengkapan Tidak semua data penderita dalam buku register
dan ketepatan data, penentuan musim penularan, terdapat pada laporan puskesmas. Berdasarkan
kecenderungan penyakit DBD dan data demografi . wawancara mendalam dengan petugas penyebab
Kelengkapan data dinilai dari presensi pengumpulan, ketidaklengkapan data DBD di puskesmas karena
kelengkapan dinilai dari variabel data DBD. Data seringkali data KDRS terlambat dilaporkan ke
musim penularan diketahui dari pola minimum- dinas kesehatan. Akibatnya puskesmas terlambat
maksimum, data kecenderungan DBD dianalisis melakukan penyelidikan epidemiologi sehingga
menurut umur, waktu dan tempat Sedangkan data terjadi penyebaran kasus DBD. Ketidaklengkapan
demografi ada dalam Profi l Dinas Kesehatan dan data DBD dalam buku register karena beberapa
diperbarui setiap tahun.
form KDRS yang dilaporkan ke dinas kesehatan Pemerintah Indonesia melalui Departemen dalam kondisi buruk atau tidak terbaca sehingga
Kesehatan RI dan Pemerintah Kota Kediri telah petugas tidak dapat mencatat data DBD dalam buku
menetapkan nilai standar program P2DBD. Nilai register.
standar tersebut merupakan target minimal yang Pencatatan data DBD sesuai Modul
harus dicapai petugas kesehatan sebagai komponen Pengendalian Demam Berdarah Dengue memerlukan
penilaian efektivitas program P2DBD yang sudah kecermatan untuk menghindari terjadinya duplikasi
dijalankan. Berdasarkan laporan data P2DBD
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 95–108
Dinkes Kota Kediri tahun 2013 diketahui bahwa nyamuk. Upaya PSN dilakukan di rumah, kantor, indikator DBD yang sudah memenuhi target adalah
pondok/asrama, sekolah dan berbagai tempat umum IR sedangkan indikator lain (angka penemuan kasus,
lainnya.
CFR dan ABJ) belum mencapai target. Hasil analisis data DBD di Kota Kediri Program penanggulangan DBD dilakukan untuk
berupa informasi capaian program pemberantasan menurunkan angka CFR (Case Fatality Rate). CFR
penyakit DBD, infeksi virus dengue (DD, DBD, menunjukkan banyaknya kematian yang ditimbulkan
DSS) beserta upaya penyelidikan epidemiologi dan oleh suatu penyakit. CFR DBD dinilai baik apabila
penanggulangan fokus, kecenderungan kasus DBD nilainya kurang dari 1%. Kemenkes RI (2010) dalam
menurut umur, capaian penemuan dan penanganan buletin epidemiologi menyatakan bahwa upaya untuk
kasus DBD, serta pola maksimal minimal DBD menurunkan angka kematian akibat DBD adalah
untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya KLB. dengan memberikan pelatihan manajemen kasus
Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah bagi petugas agar skill yang dimiliki meningkat,
mencanangkan program pengendalian DBD menyediakan sarana prasarana yang memadai
sebagaimana yang terdapat pada Peraturan untuk mendeteksi dini dan menangani pasien
Gubernur Jawa Timur Nomor 20 Tahun 2011 tentang dengan cepat dan tepat. Upaya lain adalah dengan
Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue meningkatkan promosi kesehatan dan meningkatkan
di Provinsi Jawa Timur. Dalam Pergub tersebut akses pelayanan kesehatan. Menurut penelitian Jaya
dinyatakan bahwa pengendalian DBD merupakan et al. (2013), cara pencegahan penyakit DBD dapat
tanggung jawab pemerintah provinsi dan kabupaten/ dilakukan dengan menguras tempat penampungan
kota bersama dengan masyarakat. Masyarakat air, mengubur barang bekas dan menutup rapat
harus berperan aktif dalam menyukseskan tempat penampungan air.
program P2DBD. Upaya yang dilakukan meliputi Menurut Bappenas (2006), Pemberantasan
pencegahan DBD (promosi kesehatan, PSN, PJB, Sarang Nyamuk (PSN) merupakan upaya
surveilans), penanggulangan DBD (Penyelidikan pemeriksaan perkembangbiakan nyamuk di
epidemiologi, penanggulangan fokus, pengasapan, masyarakat. Upaya tersebut untuk memeriksa
larvadisasi), penanganan penderita di fasilitas dan mengontrol jentik nyamuk pembawa virus
pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat, serta penyebab DBD. Penilaian program PSN adalah
penanggulangan KLB DBD.
dengan menghitung Angka bebas jentik (ABJ). ABJ Program P2DBD di Dinas Kesehatan Kota lebih dari atau sama dengan 95% menunjukkan
Kediri terdiri dari terdapat dalam Instruksi Kerja bahwa penularan DBD dapat dicegah atau
P2MK DBD, meliputi penemuan penderita, diminimalisasi. Pemberantasan sarang nyamuk
pengamatan penyakit dan penyelidikan epidemiologi adalah dengan cara 3M yaitu menguras dan menyikat
dan penanggulangan DBD. Program pemberantasan tempat penampungan air, menutup rapat tempat
penyakit DBD di Kota Kediri meliputi abatisasi, penampungan air dan mengubur berbagai barang
PJB dan PSN sudah menjangkau seluruh kelurahan bekas yang dapat menampung air. Penjelasan serupa
(100%). Namun dilihat dari indikator keberhasilan juga terdapat dalam Modul pengendalian DBD dari
program DBD, menunjukkan bahwa sebagian besar Depkes.
indikator P2DBD di Kota Kediri masih belum Pelaksanaan PSN di Kota Kediri mengacu
tercapai target. Banyak faktor yang mempengaruhi pada Juknis Pemberantasan Sarang Nyamuk
keberhasilan pemberantasan DBD. Dinas Kesehatan Kota Kediri. Upaya PSN di
Sungkar (2007), mengatakan keberhasilan Kota Kediri selain dengan 3M juga melakukan
program pemberantasan DBD di Indonesia tindakan ‘PLUS’, yaitu mengganti air vas bunga
dipengaruhi oleh faktor perilaku penduduk, tenaga dan tempat minum burung atau barang sejenis setiap
kesehatan, sistem peringatan dini oleh pemerintah, minggu, memperbaiki saluran air yang tidak lancar,
resistensi nyamuk dan alokasi dana. Rendahnya menutup lubang pada benda yang menempel tanah,
pemahaman penduduk terhadap kebersihan menaburkan bubuk abate, memelihara ikan pemakan
lingkungan masih menjadi problematika masyarakat. jentik di kolam penampungan air, memasang
Tingginya pemakaian produk plastik/bahan kemasan kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung
yang tidak diimbangi dengan perilaku hidup bersih pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan
menjadi pemicu bersarangnya nyamuk. Kinerja dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan
petugas kesehatan yang kurang optimal dan tidak kelambu dan memakai obat/lotion pencegah gigitan
sesuai SOP, minimnya upaya kesehatan berbasis
Binti, Komponen Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue…
preventif, resistensi nyamuk terhadap insektisida dan terjadi pada anak-anak. Kondisi tersebut berkaitan minimnya anggaran penelitian terhadap virus dengue
dengan faktor perilaku.
menjadi penghambat pemberantasan penyakit DBD Pola maksimal minimal penyakit dapat menjadi di Indonesia. Pemerintah selaku pelaksana kesehatan
salah satu indikator terjadinya KLB (Kejadian seharusnya dapat mengoptimalkan program yang
Luar Biasa). Menurut Permenkes RI Nomor 1501/ sudah ada dan berusaha menemukan alternatif solusi
MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit untuk memberantas DBD di Kota Kediri.
Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah Laporan KDRS di Dinkes Kota Kediri
dan Upaya Penanggulangan salah satu penetapan dikelompokkan menurut hasil diagnosa. Hasil
kriteria KLB adalah adanya peningkatan kejadian diagnosa yang dianggap sebagai kasus DBD adalah
kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun jika ditemukan penderita positif DBD dan SSD
waktu. Berdasarkan pola maksimal minimal DBD sedangkan pasien DD tidak termasuk kasus DBD.
di Kota Kediri yaitu menunjukkan bahwa pada tahun Penentuan dan pencatatan status pasien DBD harus
2013 tidak terjadi KLB. Hasil analisis tersebut sesuai dilakukan secara cermat, terutama apabila terjadi
dengan pernyataan penanggung jawab program DBD perpindahan status menjadi level yang lebih parah.
di dinas kesehatan yang menyatakan bahwa tahun Diagnosa yang akurat dan pencatatan yang tepat
2013 tidak terjadi KLB DBD di Kota Kediri. menentukan tindakan penanggulangan DBD lebih lanjut.
Interpretasi Data
Penyelidikan Epidemiologi (PE) dan Dinas Kesehatan Kota Kediri telah melakukan Penanggulangan Fokus (PF) merupakan tindak lanjut
interpretasi atau pemberian makna pada hasil analisis dari pelaporan DBD. Menurut modul pengendalian
data DBD. Data yang diinterpretasi adalah analisis DBD tahun 2011, penyelidikan epidemiologi
perbandingan capaian program, analisis cakupan dilakukan untuk mencari penderita atau tersangka