KADAR SUPEROXIDE DISMUTASE BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT MATA KERING.

(1)

TESIS

KADAR

SUPEROXIDE DISMUTASE

BERKORELASI NEGATIF DENGAN

DERAJAT MATA KERING

NI MADE WIDYA MAHAYANI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

KADAR

SUPEROXIDE DISMUTASE

BERKORELASI NEGATIF DENGAN

DERAJAT MATA KERING

NI MADE WIDYA MAHAYANI NIM 1214128101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

KADAR

SUPEROXIDE DISMUTASE

BERKORELASI NEGATIF DENGAN

DERAJAT MATA KERING

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE WIDYA MAHAYANI NIM 1214128101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 22 JULI 2016

Pembimbing I,

Prof. dr. NK Niti Susila, Sp.M(K) NIP. 19450605 1971062 001

Pembimbing II,

Dr. dr. A A Mas Putrawati Triningrat, Sp.M(K) NIP. 19751017 2006042 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pasca Sarjana Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19580521 1985 03 1 002 NIP. 19590215 1985 10 2 001


(5)

Tesis ini telah diuji dan dinilai oleh Panitia Penguji pada

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Tanggal 22 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No:

Ketua : Prof. dr. N.K. Niti Susila, Sp.M(K) Sekretaris : Dr. dr. AA Mas Putrawati T., Sp.M(K)

1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH

2. dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, SpM(K)


(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Ni Made Widya Mahayani NIM : 1214128101

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine – Degree)

Judul : Kadar Superoxide Dismutase Berkorelasi Negatif dengan Derajat Mata Kering

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang – undang yang berlaku.

Denpasar, 12 Juli 2016 yang membuat pernyataan,


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Ilmu Kesehatan Mata di Universitas Udayana.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik kekhususan Combined Degree. Tida lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas


(8)

Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M.(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M.(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. dr. N.K. Niti Susila, Sp.M.(K), sebagai pembimbing I dan Dr. dr. A.A. Mas Putrawati Triningrat, Sp.M.(K), selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, SpM(K), dr. Wayan Gede Jayanegara, Sp.M(K) selaku penguji yang selalu memberikan saran, masukan, bimbingan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. dr. A. A. Wiradewi Lestari, Sp.PK dan seluruh petugas laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya dalam pemeriksaan spesimen penelitian. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya, seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini, serta seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.


(9)

Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda penulis Dr. Drs. I Made Sukamerta, M.Pd dan Ir. Ni Wayan Suwidiasih, Ayahanda dan Ibunda Mertua Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. dan Dra. Ni Wayan Sudiati (Alm.) yang telah memberikan doa, bekal pendidikan, motivasi dan semangat kepada penulis selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta dr. I Gde Sastra Winata, M.Biomed, Sp.OG dan ananda tersayang I Putu Radhitya Pramanata Putra, atas dorongan semangat dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan Ilmu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, 10 Juni 2016


(10)

ABSTRAK

KADAR SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT MATA KERING (MK)

Penatalaksaan Mata kering (MK) sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Berbagai penelitian disimpulkan bahwa terapi yang ideal pada MK adalah berdasarkan etiopatogenesis. Mata kering terjadi akibat dari penurunan antioksidan, salah satu nya Superoxide Dismutase (SOD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar SOD dengan derajat MK sebagai salah satu upaya terapi berdasarkan atas etiopatogenesis MK.

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah yang dilakukan mulai bulan Januari sampai Juni 2016 dengan sampel penelitian sebanyak 51 pasien yang menderita MK. Sampel penelitian kemudian dikelompokkan berdasarkan atas derajat MK, yaitu MK derajat 0, 1, 2, 3, dan 4. Kemudian masing-masing derajat MK dilakukan pemeriksaan kadar serum SOD. Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan antara kadar SOD dengan derajat MK dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson.

Penelitian ini diperoleh jenis kelamin, umur, riwayat menderita diabetes mellitus, riwayat merokok, dan riwayat operasi okular pada kelima kelompok derajat MK adalah homogen. Berdasarkan uji korelasi diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,373 (p=0,007) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kadar SOD dengan derajat MK.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kadar SOD berkorelasi negatif dengan derajat MK.


(11)

ABSTRACT

SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) LEVEL HAVE A NEGATIVE CORRELATION WITH DRY EYE (DE) DEGREE

Theraphy for dry eye (DE) remains controversial. Some studies conclude that the ideal theraphy for DE is based etiophatogenesis. Dry eye is caused by decreased of antioxidant, one of them is superoxide dismutase (SOD). This study assess correlation between SOD level and DE degree as theraphy based on etiopathogenesis DE.

This study was a cross-sectional study in Sanglah eye clinic, in January until Juni 2016, a total of 51 sample with DE. The samples were categorized based on DE degree, namely 0, 1, 2, 3, and 4 respectively. Each group of degree was performed SOD serum examination. Analysis of correlation between SOD level and DE degree was conducted with Pearson correlation test.

This study obtain sex, age, history of diabetes mellitus, history of smoking, and history of ocular operation from five groups of DE in homogeneity. Based on correlation test, the r-value was -0,373 (p=0,007), which indicating that there was negative correlation between SOD level and DE degree.

Conclusion of this study is showed that SOD level have a negative correlation with DE degree.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. i

PRASYARAT GELAR ………. ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……….. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……….. v

UCAPAN TERIMA KASIH ……… vi

ABSTRAK ………. ix

ABSTRACT ……… x

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR GAMBAR ………..……… xiv

DAFTAR TABEL ………..………... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……….. 5

1.3 Tujuan Penelitian ……… 5

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 5

1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan ……… 5

1.4.2 Manfaat bagi pelayanan ……… 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA


(13)

2.1 Mata Kering (MK) ………. 6

2.1.1 Epidemiologi Mata Kering (MK) ………. 8

2.1.2 Faktor risiko dan Klasifikasi Mata Kering (MK) ..………… 9

2.1.3 Patogenesis Mata Kering (MK)……….. 11

2.1.4 Derajat Mata Kering (MK) ……… 12

2.2 Superoxide Dismutase (SOD) ……… 14

2.2.1 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) ………. 14

2.2.2 Peran Superoxide Dismutase (SOD) ………. 15

2.2.3 Pemeriksaan Superoxide Dismutase (SOD) ………. 17

2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK) ……… 18

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ………... 23

3.2 Kerangka Konsep ……… 25

3.3 Hipotesis Penelitian ……… 26

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ……… 27

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……… 28

4.3 Populasi Penelitian ………. 28

4.4 Sampel Penelitian ……… 28

4.4.1 Kriteria inklusi ……….. 28

4.4.2 Kriteria eksklusi ……… 28

4.4.3 Perhitungan besar sampel ………. 29

4.4.4 Cara pemilihan sampel ………. 30

4.5 Variabel Penelitian ………. 30

4.5.1 Identifikasi variabel ……….. 30

4.5.2 Definisi operasional variabel ………. 31

4.6 Alur Penelitian ……… 34

4.7 Instrumen dan Metode Pemeriksaan ………. 37

4.7.1 Instrumen penelitian ………. 37


(14)

4.8 Analisis Data ………. 38

4.8.1 Pengumpulan data ……… 38

4.8.2 Analisis data ……….………... 38

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ………. 39

5.2 Hubungan antara Kadar Superoxide dismutase (SOD) dengan Derajat Mata Kering (MK) ………. 40

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ………. 43

6.2 Hubungan antara Kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan Derajat Mata Kering (MK) ………. 47

6.3 Kelemahan Penelitian ………. 53

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ……… 54

7.2 Saran ………. 54

DAFTAR PUSTAKA ………. 55


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tiga Komponen Lapisan Air Mata ……..……….. 7

Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK) ……… 10

Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) ……….……… 12

Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD)……… 15

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel ……….……… 17

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……… 25

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian………... 27

Gambar 4.2 Hubungan antar Variabel ……… 30

Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian ………. 36

Gambar 5.1 Hubungan antara kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat Mata Kering (MK) ………. 41


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)……… 13 Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ……… 40 Tabel 5.2 Kadar SOD pada Setiap Derajat MK ……… 41 Tabel 5.3 Hubungan antara Kadar SOD dengan Variabel Bebas………… 42


(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

AINS = Anti Inflamasi Non Steroid ATD = Aqueous tear deficiency BI = Brinkman Smoking index

BOSS = Beaver Dam Offspring Study

Cu = Tembaga

DE = Dry Eye

dL = Desiliter

DEWS = Definition and classification subcommite of the international dry eye workshop

DM = Diabetes mellitus

DNA = Deoxyribose Nucleic Acid

DR = Death Receptor

EDTA = Etilenadiaminatetraasetat EED = External Eye Disease

ELISA = Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

FADD = Fas-Associative Death Domain

Fe = Iron

GSH = Reduced Glutathione

GSSG = Glutathione Disulfide

H = Hidrogen

H2O = Air

H2O2 = Hidrogen Peroxide IL = Interleukin

KDa = Kilo Dalton

KNHANES = The Korea National Health and Nutrition Examination Survey

LASIK = Laser-assisted in situ Keratomileusis

LFU =Lacrimal Functional Unit

M = Metal

MGD = Meibom Gland Dysfunction


(18)

Mn = Mangan mm = milimeter

Ni = Nikel

O2- = Anion superoksida PHS = Physician’s Health Study PRK = Photorefractive Keratectomy

RS = Rumah Sakit

RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat SD = Standar deviasi

SOD = Superoxide Dismutase

SPSS = Statistical Product and Service Solution

TBUT = Tear Break-Up Time

TGF-β = Transforming Growth Factor-β TNF-α = Tumor Necrosis Factor- α

UV = Ultra Violet

WHS = Women’s Health Study

Zn = Seng

% = Persen

> = lebih dari < = kurang dari


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah ………..……… 61 Lampiran 2. Surat Keterangan Kelaikan Etik ……… 62 Lampiran 3. Penjelasan Penelitian ………. 63 Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

(Informed Consent) ……… 65

Lampiran 5. Kuisioner Penelitian ……….. 66 Lampiran 6. Tabel Induk Penelitian ……….. 68 Lampiran 7. Hasil Pemeriksaan Kadar Superoxide Dismutase (SOD) ….. 70 Lampiran 8. Hasil Output SPSS ………. 73


(20)

1.1 Latar Belakang

Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK disebabkan oleh karena berkurangnya produksi air mata dan atau meningkatnya evaporasi pada air mata (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Beberapa faktor risiko diduga penyebab terjadinya MK, antara lain: proses penuaan, jenis kelamin, perubahan hormonal, penyakit imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas berkedip, defisiensi vitamin A, dan diabetes melitus (Lemp, dkk.,2007).

Angka kejadian MK diperkirakan mengalami peningkatan setiap tahunnya, terkait dengan peningkatan usia. Kejadian MK pada usia lebih dari 40 tahun rata-rata sebesar 5% dan meningkat menjadi 10 sampai 15% pada usia 65 tahun (Lemp, dkk.,2007). Prevalensi MK secara umum adalah 14,4%, yang bervariasi dari 8,4% pada usia kurang dari 60 tahun dan 19,0% pada usia lebih dari 80 tahun (Smith, dkk., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Beaver Dam, ditemukan bahwa angka prevalensi MK sebesar 14% pada orang dewasa yang berusia 48-91 tahun dan sebagian besar mengenai perempuan daripada laki-laki yaitu 16,7% berbanding 11,4% (Moss, dkk., 2000). Di Amerika, ditemukan sekitar 7% pada perempuan dan 4% pada laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi MK sebesar 27,5% seiring dengan peningkatan prevalensi yang berhubungan dengan usia, merokok, dan pterigium (Lee, dkk., 2002).


(21)

pada kornea dan konjungtiva, kondisi kelenjar meibom, dan tes schirmer. Pada kondisi ringan atau derajat 0, seringkali tanpa keluhan, namun pada kondisi yang lanjut ata derajat 4 dapat mengakibatkan berbagai morbiditas pada mata, diantaranya mata merah, ulkus kornea, dan bahkan dapat mengakibatkan kebutaan (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Adanya morbiditas pada MK sangat tergantung pada seberapa dini kejadian tersebut ditemukan untuk dilakukan penanganan dengan tepat. Semakin dini diberikan penanganan, maka semakin tinggi kualitas hidup dari penderita MK dan semakin rendah kemungkinan morbiditas dapat terjadi di mata. Penatalaksanaan yang tepat pada MK kenyataannya sangat sulit dan hampir sebagian penderita masih tetap mengeluh MK, apabila dapat diberikan terapi yang tepat, maka kualitas hidup penderita akan meningkat. Penanganan yang tepat merupakan hal yang sangat penting dalam upaya menurunkan morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup pada penderita MK.

Penatalaksanaan MK berdasarkan etiopatogenesis sampai saat ini belum ditemukan sehingga terapi yang diberikan sebatas mengurangi keluhan saja. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami etiologi dan patogenesis dari MK. Pendekatan tersebut nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penatalaksanaan MK.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan penanganan pada penatalaksanaan MK dengan harapan dapat menurunkan morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderita. Terapi yang tepat sampai saat ini


(22)

yang telah dilakukan penelitian secara mendalam namun masih memiliki keterbatasan (Bron, dkk., 2011).

Etiopatogenesis MK terjadi melalui dua mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Aktivasi berbagai sitokin pro inflamasi, seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth factor-β (TGF-β) (Dogru, dkk., 2007) serta jalur apoptosis yang melibatkan jalur ekstrinsik melalui sederet proses proteolitik dapat disebabkan oleh karena penurunan antioksidan (Kumar dkk., 2010).

Berdasarkan fenomena di atas, para ahli mulai memikirkan berbagai metode dalam melakukan penatalaksanaan pada MK, diantaranya melalui pendekatan etiopatogenesis terjadinya MK. Mata Kering (MK) merupakan suatu keadaan kekeringan pada air mata dan permukaan mata. Gejala yang ditimbulkan berupa ketidaknyamanan pada mata, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan lapisan air mata. Prinsip dari etiopatogenesis dari MK ini adalah adanya inflamasi dan stress oksidatif. Berbagai penelitian terhadap peran inflamasi dan stress oksidatif telah dikembangkan dalam rangka memahami etiologi dan patofisiologi MK. Penelitian dilakukan dengan pemeriksaan secara langsung pada mediator-mediator inflamasi atau pun tidak langsung melalui enzim yang berperan pada pembentukan stress oksidatif. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa salah satu terapi yang diperkirakan memegang peranan penting dalam etiopatogenesis terjadinya MK adalah pemanfaatan antioksidan (Jee dkk., 2014).


(23)

mengacu rendahnya kadar antioksidan atau tingginya radikal bebas pada MK, sebagai upaya pemanfaatan antioksidan pun masih sangat jarang. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui kadar antioksidan adalah dengan menggunakan suatu protein enzim, salah satu enzim yang penting adalah

Superoxide Dismutase (SOD) (Cejkova, dkk., 2008).

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu enzim antioksidan yang berperan dalam mengatasi stress oksidatif yang bekerja untuk mengubah radikal bebas anion superoksida (O2-) menjadi komponen lainnya yang tidak berbahaya, yaitu H2O2, yang selanjutnya dikatalase manjadi air (H2O) (Kovacic dan Jacintho, 2001). SOD merupakan suatu enzim antioksidan memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai salah satu konsep terapi berbasis etiopatogenesis pada MK. Hal ini didasarkan oleh penelitian pendahuluan. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk., (2008) dapat disimpulkan bahwa penurunan ekspresi antioksidan pada MK berhubungan dengan adanya trauma oksidatif pada permukaan anterior mata. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk., (2009) diperoleh bahwa pemberian antioksidan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata pada MK. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., (2001) diperoleh bahwa terapi antioksidan meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan konjungtiva tetapi tidak meningkatkan jumlah air mata pada MK.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini akan dilakukan penilaian korelasi atau hubungan antara SOD dengan derajat MK sebagai salah satu upaya terapi berdasarkan atas etiopatogenesis MK. Penelitian


(24)

berdasarkan etiopatogenesis pada MK.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Bagaimanakah korelasi kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat Mata Kering (MK)?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat Mata Kering (MK).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan korelasi kadar Superoxide Dismutase

(SOD) dengan derajat Mata Kering (MK). 1.4.2 Manfaat bagi pelayanan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar acuan terapi antioksidan pada Mata Kering (MK).


(25)

(26)

2.1 Mata Kering (MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith, dkk., 2007).

Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi, pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).


(27)

memahami MK. Menjaga lapisan air mata sangat vital untuk fungsi kornea normal. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu: Lapisan lipid yang dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos yang dihasilkan kelenjar lakrimal, dan lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008)

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan akuos air mata adalah dengan tes Schirmer. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes mata anestesi. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang berisikan ukuran yang distandardisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes Schirmer negatif yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm


(28)

Tes Schirmer II dilakukan sama dengan tes Schirmer I, namun setelah dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Tear Breakup merupakan pengukuran fungsi stabilitas air mata dan pada MGD stabilitas air mata terganggu, menyebabkan Tear Break-up Time (TBUT) yang cepat. Setelah konjungtiva diberikan tetes fluorescein, lapisan air mata kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter biru. Perhitungan waktu diukur antara kedipan terakhir dan pertama kali munculnya dry spot pada kornea. Munculnya dry spot kurang dari 10 detik dikatakan abnormal (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Javadi dan Feizi, 2011).

Penampakan klinis pada Meibom Gland Disfunction (MGD) meliputi busa pada meniskus air mata sepanjang kelopak mata bawah, injeksi konjungtiva bulbi dan tarsus, reaksi papil pada inferior tarsus, pewarnaan berbentuk garis sepanjang konjungtiva dan kornea inferior, episkleritis, epitel marginal dan infiltrat subepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

2.1.1 Epidemiologi mata kering (MK)

Mata Kering (MK) meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka kejadian MK rata-rata 10% pada usia 30 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas 65 tahun angka kejadian MK meningkat menjadi 15% (Smith, dkk., 2007). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian MK cenderung lebih


(29)

Penelitian di Thailand tahun 2006 memperoleh angka kejadian MK sebesar 14,2% dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia lebih dari 45 tahun (Kasetsuwan, dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Lee dan kawan-kawan tahun 2007 memperoleh angka kejadian MK tertinggi antara usia 40 sampai 49 tahun dan lebih tinggi ditemukan pada laki-laki. Berdasarkan data Women’s health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) tahun 2009 diperoleh sebesar 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki di Amerika Serikat usia di atas 50 tahun menderita MK (Smith, dkk., 2007).

Sekitar sepuluh dari satu juta orang di dunia memiliki gejala yang berat dan cenderung bermanifestasi secara episodik pada MK. Setelah dilakukan analisis lanjutan untuk mencari penyebab, diperoleh adanya faktor kelembaban yang kurang dan penggunaan lensa kontak sebagai dua faktor risiko tertinggi (Smith, dkk., 2007). Angka kejadian MK cenderung mengalami peningkatan sepanjang tahun, penelitian Ellwein memperoleh angka kejadian MK tahun 1991 sebesar 1,33% kasus kemudian tahun 1998 meningkat menjadi 1,92% (Smith, dkk., 2007).

2.1.2 Faktor risiko dan klasifikasi mata kering (MK)

Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Mata Kering (MK) telah teridentifikasi pada berbagai studi, antara lain: usia, jenis kelamin, terapi estrogen, nutrisi, penggunaan obat antihistamin, riwayat pembedahan kornea, dan penggunaan lensa kontak yang lama (Lemp, dkk., 2007; Gayton, 2009).


(30)

2014-2015; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueus dapat disebabkan oleh Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan Sindroma Sjogren, terjadinya penurunan cairan akuos disebabkan oleh karena gangguan produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.2) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)


(31)

2.1.3 Patogenesis mata kering (MK)

Mata Kering (MK) terjadi akibat adanya berbagai faktor risiko MK yang mengakibatkan hiperosmolaritas dan atau ketidakstabilan lapisan air mata. Adanya hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin. Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan ketidakstabilan lapisan air mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata dan sering mengedipkan kelopak mata. Kehilangan musin pada permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Kelembaban yang rendah dan aliran udara yang tinggi mengakibatkan peningkatkan evaporasi lapisan air mata. Peningkatan evaporasi ini berdampak pada ketidakstabilan komponen lemak air mata sehingga mengakibatkan hiperosmolaritas air mata. Selain itu, berkurangnya aliran air mata oleh karena adanya gangguan aliran cairan lakrimal ke dalam sakus lakrimalis mengakibatkan penurunan produksi dan sekresi air mata. Gangguan aliran air mata tersebut sering disebabkan oleh karena sikatrik pada konjungtiva dan gangguan reflek kelenjar lakrimal (gambar 2.3) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).


(32)

Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)

2.1.4 Derajat mata kering (MK)

Berdasarkan The definition and classification of dry eye disease: report of the definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye workshop (2007), MK diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat kenyamanan, berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi konjungtiva, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi kelenjar meibom, TBUT, dan nilai tes schirmer. Ditunjukkan dalam tabel 2.1. Dikatakan sebagai MK marginal atau derajat 0 jika tingkat kenyamanan, berat dan frekuensi ringan; gejala yang mempengaruhi penglihatan tidak ada; injeksi konjungtiva tidak ada, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea normal, tanda


(33)

tes schirmer ≥ 10 mm/5 menit

Tabel 2.1

Skema derajat beratnya Mata Kering (MK) Derajat

Kriteria 1 2 3 4

ketidaknyamanan, berat, dan frekuensi ringan dan/atau episodik; terjadi dalam stress lingkungan episodik sedang atau kronis, stress atau tanpa stress frekuensi berat atau tetap tanpa stress berat dan/atau tidak aktif dan tetap Gejala penglihatan tidak ada atau episodik ringan episodik mengganggu dan/atau membatasi aktifitas mengganggu, kronik dan/atau konstan, membatasi aktifitas konstan dan/atau tidak aktif Injeksi konjungtiva tidak ada atau ringan tidak ada atau ringan +/- +/++ pewarnaan konjungtiva tidak ada atau ringan

bervariasi sedang hingga jelas jelas Pewarnaan kornea tidak ada atau ringan

bervariasi jelas di sentral erosi pungtata berat

Tanda pada kornea/ air mata

tidak ada atau ringan debris ringan, meniskus menurun keratitis filamentosa, penggumpalan mucus, peningkatan debris air mata keratitis filamentosa, penggumpalan mucus, peningkatan debris air mata, ulkus Kelenjar meibom MGD

bervariasi

MGD bervariasi

sering trikiasis, keratinisasi, simblefaron

TBUT (detik) bervariasi ≤ 10 ≤ 5 Segera

Nilai tes schirmer (mm/5 menit)

bervariasi ≤ 10 ≤ 5 ≤ 2


(34)

2.2 Superoxide Dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim pengkatalis radikal bebas superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Dalam aktivitasnya, SOD memerlukan berbagai mineral sebagai katalisator enzimatisnya, antara lain Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) (Kovacic and Jacintho, 2001; Cemelli, dkk., 2009).

Jenis SOD ditentukan berdasarkan atas mineral pengkatalisnya, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) terdapat di dalam sitosol lisosom dan nukleus, Manganese-SOD (Mn-SOD) terdapat di dalam mitokondria, Iron-SOD (Fe-SOD) dan Nikel SOD (Ni-SOD) yang terdapat di dalam sitosol lisosom (Chakraborty dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009).

Superoxide Dismutase [Cu-Zn] yang juga dikenal dengan Superoxide Dismutase 1 (SOD1) merupakan enzim pada manusia yang berlokasi di kromosom 21. Peran dari stress oksidatif ditemukan pada patogenesis terjadinya MK, yaitu mempengaruhi fungsi air mata, permukaan okular dan kelenjar lakrimal baik secara kuantitatif dan kualitatif (Wakamatsu, dkk., 2008).

2.2.1 Struktur superoxide dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul dan bentuk bervariasi tergantung dari mana enzim tersebut berasal. Pada manusia SOD memiliki bentuk tetramerik glikopeptida dengan berat molekul sebesar 28.300 Kilo Dalton (KDa). Struktur SOD memiliki gugus Cu dan Zn sebagai katalisatornya berperan penting dalam menstabilkan radikal bebas. Gugus


(35)

asetilalanin pada ujung terminalnya yang berperan mengikat target radikal bebas (gambar 2.4) (Kovacic and Jacintho, 2001).

Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) (Nicholls and Budd, 2000)

2.2.2 Peran superoxide dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron yang tidak berpasangan mengakibatkan molekul menjadi tidak stabil dan bereaksi dengan zat kimia organik dan atau anorganik lainnya. Adanya reaksi tersebut mengakibatkan kerusakan sel terutama asam nukleat dan membran sel (Mitchel dan Contran, 2008).

Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang


(36)

oksidasi sebagai berikut: Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti dibawah:

M3+ + O2-  M2+ + O2

M2+ + O2- + 2H+  M3+ + H2O2

SOD menetralisir O2- menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase dan peroksidase. Salah satu enzim peroksidase yang penting adalah glutation peroksidase. Sehingga secara lengkap mekanisme enzimatis tersebut adalah sebagai berikut (Kovacic dan Jacintho, 2001):

2O2- + 2H+  O2 + H2O2 (oleh SOD) 2H2O2  2H2O + O2 (oleh Katalase)

2GSH + H2O2  GSSG + 2H2O (oleh Glutation Peroksidase)

Mekanisme SOD dalam mempertahankan integritas sel dapat dilihat pada gambar 2.5. Radikal bebas berasal dari reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal

β-oksidasi dan sitokrom P450. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O). Namun apabila terjadi gangguan metabolisme SOD akan terjadi akumulasi radikal bebas O2- yang mengakibatkan kerusakan membran lipid, protein esensial dan DNA sel (Kohen dan Nyska, 2002).


(37)

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel (Nicholls and Budd, 2000)

2.2.3 Pemeriksaan superoxide dismutase (SOD)

Pemeriksaan enzim Superoxide Dismutase (SOD) dikerjakan dengan menggunakan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pemeriksaan ELISA menggunakan prinsip ikatan antigen-antibodi yang spesifik. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik akan menimbulkan perubahan warna yang dinilai secara kuantitatif atau kualitatif (Winarsi, 2007; Rajkumar dkk., 2008).

Penilaian ELISA secara kualitatif akan memberikan hasil positif atau negatif, dimana cut off point antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan atau statistik. Pada penilaian ELISA secara kuantitatif, kadar SOD akan dinilai berdasarkan jumlah ikatan antara antigen dengan antibodi dengan alat kolorimeter


(38)

1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro.

2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen. 3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen. 4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi

primer.

5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi primer.

6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai dengan alat kolorimeter.

2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial yang etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan antioksidan (Nicholls dan Budd, 2000).


(39)

Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal β -oksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002).

Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen dan Nyska, 2002). Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel dan Contran, 2008).


(40)

tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008).

Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008).

Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi, seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth factor-β (TGF-β). Berbagai sitokin pro inflamasi neurogenik tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Dogru, dkk., 2007).


(41)

(Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti Fas-Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK.

Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal. Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas, gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi akibat koreksi terhadap penurunan kadar SOD atau oleh karena peningkatan


(42)

secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan pada pasien MK.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang memediasi oksidatif stress.


(43)

(1)

atau immunoabsorbant. Secara umum prosedur pemeriksaan ELISA secara kuantitatif adalah sebagai berikut (Rajkumar dkk., 2008):

1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro.

2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen. 3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen. 4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi

primer.

5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi primer.

6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai dengan alat kolorimeter.

2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial yang etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan antioksidan (Nicholls dan Budd, 2000).


(2)

Pemukaan bola mata merupakan daerah yang tidak terlindungi dan sering terpapar oleh berbagai faktor eksternal seperti radiasi, oksigen dan bahan kimia. Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal β -oksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002).

Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen dan Nyska, 2002). Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel dan Contran, 2008).


(3)

Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas

superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD

menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen

peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008).

Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008).

Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi, seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth factor-β (TGF-β). Berbagai sitokin pro inflamasi neurogenik tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Dogru, dkk., 2007).


(4)

Apoptosis merupakan program bunuh diri intra seluler yang dilakukan dengan cara mengaktifkan protein kaspase, yang merupakan suatu sistein protease (Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti Fas-Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK.

Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal. Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas, gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi akibat koreksi terhadap penurunan kadar SOD atau oleh karena peningkatan


(5)

sekresi cairan aqueos atau peningkatkan defisiensi musin, defisiensi lipid, dan epitel. Kesimpulan sementara yang diambil dari penelitian tersebut bahwa secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan pada pasien MK.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang memediasi oksidatif stress.


(6)