PENGARUH METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA: Studi Quasi Eksperimen dalam Pembelajaran IPS di Kelas V SD.

(1)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

LEMBAR PERSETUJUAN ………. ii

PERNYATAAN ……… iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……… v

KATA PENGANTAR ………... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ………. vii

ABSTRAK ……… ix

DAFTAR ISI ………. x

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………. 15

C. Tujuan Penelitian ……….. 16

D. Manfaat Penelitian ……… 16

E. Paradigma Penelitian ……… 17

F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian ……….. 18

1. Asumsi ……… 18

2. Hipotesis ………. 18

G. Definisi Operasional ………. 19

H. Sistematika Penulisan ……… 20

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Metode Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) ……. 21


(2)

xi

B. Metode Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournament) ..…. 25

1. Hakikat Metode Kooperatif Tipe TGT ………..…… 25

2. Langkah-Langkah Kegiatan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT ……… 27

C. Dasar Pemikiran Metode Pembelajaran Kooperatif ……….…… 35

D. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif ……… 36

E. Keterampilan-Keterampilan dalam Pembelajaran Kooperatif ….. 37

F. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif 39 1. Kelebihan Metode Pembelajaran Kooperatif………. 39

2. Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif ………. 41

G. Aktivitas dan Hasil Belajar siswa ……….. 42

1. Aktivitas Belajar Siswa ………. 42

2. Hasil Belajar Siswa ……… 49

H. Hubungan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa……….. 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ……….……… 63

B. Alur Penelitian ……… 64

C. Sampel Penelitian ……….……….. 65

D. Lokasi Penelitian ……….………... 66

E. Prosedur Penelitian ……….……… 66

F. Alat Pengumpulan Data…..……….…………... 68

G. Uji Instrumen Soal Tes Hasil Belajar ………... 72

H. Teknik Pengolahan Data ………. 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 78

1. Aktivitas Belajar IPS Menggunakan Metode Cooperative Learning tipe TGT dan Pembelajaran Konvensional ……….. 78

2. Hasil Belajar IPS Menggunakan Metode Cooperative Learning tipe TGT dan Pembelajaran Konvensional ……… 92


(3)

xii

B. Temuan dan Pembahasan ………. 108

1. Aktivitas Belajar Siswa ………. 108

2. Hasil Belajar Siswa ……… 118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………... 124

B. Rekomendasi ………. 125

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP


(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran kooperatif telah memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman dahulu kala, para guru telah membolehkan atau mendorong siswa-siswa mereka untuk bekerja sama dalam tugas-tugas kelompok tertentu, dalam diskusi atau debat kelompok, atau dalam bentuk-bentuk kerja kelompok, atau dalam kegiatan pelajaran tambahan kelompok lainnya. Metode ini biasanya bersifat informal, tidak berstruktur dan hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja. Namun demikian, sejak dua puluh tahun yang lalu, telah dilakukan beberapa penelitian yang signifikan terhadap teknik-teknik lama ini. Untuk pertama kalinya, strategi pembelajaran kooperatif mulai dikembangkan, bahkan lebih dari itu, mulai di evaluasi dalam berbagai konteks pengajaran yang lebih luas. Sebagai hasil dari sekian tahun penelitian dan aplikasi praktis dari ratusan ribu guru, keberadaan metode-metode pembelajaran kooperatif yang efektif kini sebenarnya hadir untuk berbagai keperluan pengajaran yang ada. Lebih jauh lagi, kini kita tahu akan betapa banyaknya pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap siswa dan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk membuat pembelajaran kooperatif yang efektif, khususnya untuk mencapai prestasi. Kini menjadi mungkin bagi para guru memilih metode yang sesusi dari sekian banyak metode kooperatif untuk diterapkan pada keperluan yang berbeda, dan untuk menggunakan pembelajaran kooperatif sebagai skema pengorganisasian utama dalam pengajaran di kelas, dan bukan untuk kegiatan-kegiatan tertentu.


(5)

2

Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai pada saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Cara belajar kooperatif jarang sekali menggantikan pengajaran yang diberikan oleh guru, tetapi lebih seringnya menggantikan pengaturan tempat duduk yang individual, cara belajar individual, dan dorongan yang individual. Apabila diatur dengan baik, siswa-siswa dalam pembelajaran kooperatif akan belajar satu sama lain untuk memastikan bahwa tiap orang dalam kelompok telah mengetahui konsep-konsep yang telah dipikirkan (Slavin, 2008: 4).

Pembelajaran kooperatif bukanlah gagasan baru dalam dunia pendidikan, tetapi sebelum masa belakangan ini, metode ini hanya digunakan oleh beberapa guru untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti tugas-tugas atau laporan kelompok tertentu. Namun demikian, penelitian selama dua puluh tahun terakhir ini mengidentifikasi metode pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada semua tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai mata pelajaran.

Ada banyak alasan yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki jalur utama pendidikan. Salah satunya adalah berdasarkan penelitian dasar yang mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan prestasi belajar para siswa, dan juga akibat positif lainnya dapat mengembangkan


(6)

3

hubungan antarkelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para siswa perlu belajar untuk berpikir, menyelesaikan masalah dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka dan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang baik untuk mencapai hal-hal semacam itu. Pembelajaran kooperatif berjalan dengan baik, dan dapat diaplikasikan untuk semua jenis kelas, termasuk kelas-kelas yang khusus untuk anak-anak berbakat, kelas-kelas pendidikan khusus dan bahkan dengan tingkat kelas dengan tingkat kecerdasan ”rata-rata” dan khususnya sangat diperluan dalam kelas heterogen dengan berbagai tingkat kemampuan. Pembelajaran kooperatif dapat membantu membuat perbedaan menjadi bahan pembelajaran dan bukannya menjadi masalah. Karena sekolah bergerak dari sistem pengelompokkan yang lebih heterogen, pembelajaran kooperatif menjadi semakin penting. Lebih jauh lagi pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan yang sangat besar untuk mengembangkan hubungan antara siswa dari latar belakang etnik yang berbeda dan antara siswa-siswa pendidikan khusus terbelakang secara akademik dengan teman sekelas mereka, ini jelas melengkapi alasan pentingnya menggunakan pembelajaran kooperatif (Slavin, 2008: 4-5).

Salah satu alasan terpenting mengapa pembelajaran kooperatif dikembangkan adalah bahwa para pendidik dan ilmuwan sosial telah mengetahui tentang pengaruh yang merusak dari persaingan dalam pembelajaran konvensional yang sering digunakan di dalam kelas. Ini bukan mengatakan bahwa persaingan itu salah; jika di atur dengan baik, persaingan diantara para pesaing yang sesuai


(7)

4

dapat menjadi sarana yang efektif dan tidak berbahaya untuk memotivasi orang untuk melakukan yang terbaik. Namun bentuk-bentuk persaingan yang biasanya digunakan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat (Slavin, 2008: 6).

Kritik terhadap pengaturan kelas tradisional yang diberikan oleh para pencetus teori motivasional adalah bahwa penilaian yang kompetitif dan sistem penghargaan informal di kelas menciptakan norma-norma di antara mereka yang berlawanan dengan usaha-usaha akademi (Coleman, 1961). Karena kesuksesan salah satu siswa menurunkan kesempatan untuk sukses bagi yang lainnya, para siswa lebih suka mengekspresikan norma-norma bahwa pencapaian tinggi hanyalah untuk “orang-orang aneh” dan kesayangan guru. Norma-norma penghalang seperti ini sering ditemukan dalam dunia industri, di mana “si pembuat onar” dicemooh oleh rekan kerjanya (Vroom, 1969). Akan tetapi, ketika para siswa bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama, seperti yang mereka lakukan ketika struktur penghargaan kooperatif diterapkan, mereka belajar tentang usaha yang dapat membantu keberhasilan teman satu kelompoknya. Oleh sebab itu, para siswa saling mendorong pembelajaran satu dengan lain, mendorong usaha akademis satu sama lain, dan mengekspresikan norma-norma yang sesuai dengan pencapaian akademik (Slavin, 2008: 35).

Bagi kebanyakan anak-anak dengan prestasi yang rendah situasi persaingan adalah motivator yang buruk; bagi sebagian lainnya ini bahkan menjadi penderitaan psikologis yang menetap. Siswa masuk ke dalam sebuah kelas dengan latar belakang kemampuan dan pengetahuan yang berbeda. Siswa dengan prestasi rendah boleh jadi memang tidak memiliki bekal untuk belajar


(8)

5

materi-materi baru. Untuk alas an ini dan alasan lainnya, berhasil menjadi sesuatu yang sulit bagi sebagian siswa, tetapi mudah bagi yang lainnya. Keberhasilan ditentukan oleh dasar yang relatif dalam kelas yang kompetitif. Para siswa dengan prestasi rendah, meskipun sudah belajar banyak, tetap saja masih berada di peringkat bawah jika teman sekelasnya belajar lebih banyak lagi. Dari hari ke hari, siswa dengan prestasi rendah mendapatkan umpan balik yang negatif dalam usaha-usaha akademis mereka. Setelah beberapa waktu, mereka belajar bahwa kesuksesan prestasi akademik bukanlah bidang mereka, lalu mereka memilih bidang lain yang masih terbuka di mana masih ada kemungkinan bagi mereka untuk membangun citra diri yang positif. Sebagian besar dari bidang ini menuntun mereka pada perilaku antisosial dan menyimpang (Slavin, 2008: 7-8)

Inti dari pembelajaran kooperatif (Slavin, 1982a,b). Dalam metode pembelajaran kooperatif, para siswa duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang akan disampaikan oleh guru. Anggota kelompoknya heterogen yang terdiri dari siswa berprestasi tinggi, sedang dan rendah, laki-laki dan perempuan dan berasal dari latar belakang etnik yang berbeda. Setelah mendapatkan kesempatan untuk belajar dengan kelompok mereka, para siswa mengerjakan kuis secara sendiri-sendiri. Skor kuis dari semua siswa dicatat. Semua kelompok yang skor rata-rata kuisnya tinggi mendapatkan penghargaan khusus, seperti sertifikat yang menarik atau menempatkan foto anggota kelompok mereka di ruang kelas.

Selama belajar secara kooperatif siswa tetap tinggal dalam kelompoknya selama beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan ketrampilan-ketrampilan


(9)

6

khusus agar dapat bekerjasama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, berdiskusi dan sebaginya. Agar terlaksana dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu di antara teman sekelompok untuk mencapai ketuntasan materi. Belajar belum selesai jika salah satu anggota kelompok ada yang belum menguasai materi pelajaran (Trianto, 2007: 1996: 41-42).

Ide yang melatarbelakangi bentuk pembelajaran kooperatif semacam ini adalah apabila siswa ingin agar kelompoknya berhasil, mereka akan mendorong anggota kelompoknya untuk lebih baik dan akan membantu mereka melakukannya. Seringkali, para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa guru yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak.

Metode pembelajaran kooperatif tentu saja bukan hal baru. Para guru sudah menggunakan selama bertahun-tahun dalam bentuk kelompok laboratorium, kelompok tugas, kelompok diskusi dan sebagainya. Namun, penelitian terakhir di Amerika Serikat dan beberapa negara lain telah menciptakan metode-metode pembelajaran kooperatif yang sistematik dan praktis ditujukan untuk digunakan sebagai elemen utama dalam pola pengaturan di kelas, pengaruh penerapan metode-metode ini juga telah didokumentasikan dan telah diaplikasikan pada kurikulum pengajaran yang luas. Metode-metode ini sekarang


(10)

7

telah digunakan secara ekstensif dalam tiap subyek yang dapat dikonsepkan, pada tingkat kelas mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan pada berbagai macam sekolah diseluruh dunia (Slavin, 2008: 9).

Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Eggen and Kauchak: 279) dalam Trianto, 2007: 42. Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitas dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi, dalam pembelajaran kooperatif siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan diluar sekolah.

Proses demokrasi dan peran aktif merupakan ciri khas dari lingkungan pembelajaran kooperatif. Dalam kelompok guru menerapkan struktur tingkat tinggi dan guru juga mendefinisikan semua prosedur. Meskipun demikian, guru tidak dibenarkan mengelola tingkah laku siswa dalam kelompok secara ketat, dan siswa memiliki ruang dan peluang untuk secara bebas mengendalikan aktivitas-aktivitas di dalam kelompoknya. Selain itu pembelajaran kooperatif menjadi sangat efektif jika materi pelajaran tersedia lengkap di kelas, ruang guru perpustakaan, ataupun dipusat media (Ibrahim, dkk, 2000: 11).


(11)

8

Kelemahan-kelemahan pembelajaran IPS selama ini adalah kurang mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran. Guru tidak mengembangkan berbagai pendekatan maupun metode dalam pembelajaran. Kebanyakan para pendidik menempuh cara yang mudah saja dengan menggunakan metode ceramah dan mengandalkan penghafalan fakta–fakta belaka. Berikut ini perlu dicermati pendapat Numan Somantri (2001: 39) tentang pembelajaran pendidikan IPS, yaitu pendekatan ekspositori sangat menguasai keseluruhan proses belajar mengajar. Kalaupun ada diskusi tetapi tidak ada hubungannya dengan prosedur berfikir ilmu sosial.

Hierarki belajar dalam pembelajaran IPS hampir tidak di temui baik dalam rencana pembelajaran, proses pembelajaran, maupun konstruksi tes dalam buku pelajaran. Tingkat pengetahuan sebagian besar peserta didik berada dalam kelompok peringkat satu (fakta) dan peringkat dua (konsep), sedang generalisasi sebagai peringkat tiga hampir tidak digunakan. Penyebaran kawasan tujuan instruksional tidak memungkinkan peserta didik belajar aktif. Mata pelajaran sejarah dan ilmu sosial lainnya sangat membosankan dan kurang membantu dalam permulaan di perguruan tinggi maupun manfaatnya bagi kehidupan masyarakat.

Berdasarkan pengalaman di kelas dan analisis dari beberapa sumber, ternyata masih banyak guru yang belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk memilih dan mengaplikasikan berbagai metode atau pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan kegairahan, keaktifan, kreatifitas, dan motivasi belajar siswa. Disamping itu, tidak jarang siswa kesulitan dalam menangkap isi pesan yang disampaikan oleh guru selama berlangsungnya


(12)

9

pembelajaran, karena metode yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik materi pelajaran yang disampaikan.

Selanjutnya Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001:3) menilai bahwa metode pembelajaran IPS yang diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Dengan pembelajaran seperti itu maka perbedaan individual siswa di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga sulit tercapai tujuan; tujuan spesifik pembelajaran terutama bagi siswa berkemampuan rendah. Metode pembelajaran IPS saat ini juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan riil siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan administratif dan

belum mengembangkan potensi anak secara optimal.

http://educare.e_fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10&itemid=7

Sesuai dengan karakteristik anak dan IPS SD, maka metode ekspositori akan menyebabkan siswa bersikap pasif, dan menurunkan derajat IPS menjadi pelajaran hafalan yang membosankan. Guru yang bersikap memonopoli peran sebagai sumber informasi, selayaknya meningkatkan kinerjanya dengan metode pembelajaran yang dapat memotivasi, memacu aktivitas belajar, memperhatikan perbedaan individual, dan memanfaatkan lingkungan. Metode pembelajaran kooperatif adalah salah satu metode pembelajaran yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pembelajaran IPS.

Pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Metode pembelajaran kooperatif dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif karena


(13)

10

siswa berbagi tanggung jawab dengan siswa lainnya termasuk dengan guru untuk menciptakan keadaan belajar dan berusaha bersama memenuhi tugas pengembangan keterampilan serta penguasaan kompetensi yang sedang dipelajari. Siswa akan belajar lebih banyak melalui proses pembentukan dan penciptaan, melalui kerja dengan kelompok dan melalui berbagi pengetahuan sesama siswa. Namun tanggung jawab individual merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.

Sehubungan dengan permasalahan diatas, maka upaya peningkatan kualitas pembelajaran pendidikan IPS, merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu alternatif metode pembelajaran yang di duga dapat menjembatani keresahan tersebut adalah metode cooperative learning. Metode ini biasa disebut juga metode gotong royong. Sifat belajar cooperative

learning tidak sama dengan belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa.

Dalam kerja kelompok, guru biasanya membagi kelompok lalu memberikan tugas kelompok tanpa rancangan tertentu yang dapat membuat setiap siswa menjadi aktif. Akibatnya, siswa ada yang bekerja aktif tetapi ada juga yang pasif, ataupun bahkan ada yang main-main atau ngobrol.

Sementara itu, cooperative learning, setiap siswa dituntut untuk bekerja dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan oleh guru, sehingga seluruh siswa harus bekerja aktif. Siswa adalah suatu organisme hidup, di dalam dirinya beraneka ragam kemungkinan potensi. Di dalam dirinya terdapat prinsip aktif, keinginan untuk berbuat dan bekerja sendiri. Prinsip aktif inilah yang mengendalikan tingkah-laku siswa. Pendidikan perlu


(14)

11

mengarahkan tingkah laku dan perbuatan itu menuju ketingkat perkembangan yang diharapkan.

Adanya berbagai temuan dan pendapat pada gilirannya menyebabkan pandangan anak (siswa) berubah. Pengajaran yang efektif adalah pengajaran yanga menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Dalam pembelajaran tradisional asas aktivitas sudah dilaksanakan, tetapi aktivitas tersebut bersifat semu (aktivitas semu). Untuk saat ini, asas aktivitas lebih ditonjolkan melalui suatu program unit activity, sehingga kegiatan belajar siswa menjadi dasar untuk mencapai tujuan dan hasil belajar yang optimal. (Hamalik, 2008:171-172)

Jika dikaji lebih jauh, cooperative learning sangat relevan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, apalagi kalau dikaitkan dengan berbagai life skill yang harus dikuasai siswa. Umpamanya, dalam kecakapan berpikir rasional (thinking skill), siswa dituntut memiliki kecakapan menggali dan menemukan informasi, kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan serta kecakapan memecahkan masalah. Selain itu siswa pun dituntut untuk memiliki kecakapan sosial, termasuk kecakapan berkomunikasi dan bekerjasama.

Hal ini juga sejalan pendidikan IPS yang sangat memperhatikan dimensi ketrampilan disamping pemahaman dalam dimensi pengetahuan. Kecakapan mengolah dan menerapkan informasi merupakan ketrampilan yang sangat penting untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang mampu berpartispasi dalam masyarakat demokratis. Ketrampilan yang diperlukan dalam dimensi


(15)

12

pendidikan IPS salah satunya adalah ketrampilan partisipasi sosial, yaitu bagaimana berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain. Keahlian bekerjasama dalam kelompok sangat penting karena dalam kehidupan bermasyarakat begitu banyak orang menggantungkan hidup melalui kelompok. Beberapa ketrampilan partisipasi sosial yang perlu dibelajarkan oleh guru meliputi; mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain, menunjukkan rasa hormat dan perhatian kepada orang lain, berbagi tugas dan pekerjaan dengan orang lain, berbuat efektif sebagai anggota kelompok, mengambil berbagai peran kelompok, menerima kritik dan saran, menyesuaikan kemampuan dengan tugas yang harus diselesaikan (Sapriya, 2008: 34-35)

Dalam melaksanakan pembelajaran IPS, guru harus dapat membangun dan menciptakan keterampilan sosial siswa. Williams and Asher (Muijs & Reinolds, 2005: 133-134) menyebutkan 4 (empat) konsep dasar yang harus diajarkan dalam membentuk keterampilan sosial siswa yaitu co-operation, participation,

communication, and validation. Konsep dasar yang pertama adalah kerja sama

(co-operation), dapat terwujud pada perilaku siswa dalam memberi kesempatan dan saran kepada orang lain. Kedua adalah partisipasi (participation) yaitu melibatkan diri dalam permainan. Ketiga adalah komunikasi (communication), merupakan bentuk keterampilan sosial. Komunikasi dapat terwujud pada kemampuan berbicara, keterampilan bertanya dan mendengarkan orang lain.

Keempat, validasi (validation) adalah validasi dengan mengatakan kebaikan dan


(16)

13

Untuk dapat mewujudkan keterampilan sosial tersebut, guru hendaknya tidak hanya menuntut siswa untuk menghafal materi-materi secara konseptual saja, tetapi lebih jauh siswa mampu mengaplikasikan secara cerdas dan bertanggung jawab. Guru juga harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan multi media, metode dan teknik pembelajaran yang kompleks, sehingga pembelajaran tidak monoton dan dapat menciptakan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) bagi siswa. Suasana belajar dan pembelajaran diarahkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya, berarti proses pembelajaran harus berorientasi kepada siswa (student active

learning). Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan IPS membentuk warga negara

yang baik, yaitu warga negara yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara (UU NO. 20 TAHUN 2003 tentang SISDIKNAS), guru dapat menerapkan beberapa metode pembelajaran. Proses pembelajaran berujung pada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan , ketrampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Ketiga aspek ini (sikap, kecerdasan dan ketrampilan) merupakan arah dan tujuan pembelajaran yang harus diupayakan. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah

cooperative learning (pembelajaran kooperatif).

Pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Metode pembelajaran kooperatif dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif karena siswa berbagi tanggung jawab dengan siswa lainnya termasuk dengan guru


(17)

14

untuk menciptakan keadaan belajar dan berusaha bersama memenuhi tugas pengembangan keterampilan serta penguasaan kompetensi yang sedang dipelajari. Siswa akan belajar lebih banyak melalui proses pembentukan dan penciptaan, melalui kerja dengan kelompok dan melalui berbagi pengetahuan sesama siswa. Namun tanggung jawab individual merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.

Ada beberapa variasi metode pembelajaran kooperatif salah satu diantaranya adalah metode pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games

Turnament). Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah salah satu tipe atau

metode pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif metode TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.

Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT seringkali dilihat sebagai salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling mengasyikkan. Steve Parson dalam Slavin (2008: 167) mengatakan:

Apa yang dilakukan TGT adalah memberikan kesempatan kepada saya sebagai guru untuk menggunakan kompetisi dalam suasana yang konstruktif/positif. Para siswa menyadari bahwa kompetisi merupakan sesuatu yang selalu mereka hadapi setiap saat, tetapi TGT memberikan mereka peraturan dan strategi untuk bersaing sebagai individu setelah menerima bantuan dari teman mereka. Mereka membangun ketergantungan atau kepercayaan dalam kelompok asal yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk merasa percaya diri ketika mereka bersaing dalam turnamen.


(18)

15

Sebagai tindak lanjutnya perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh pembelajaran kooperatif dengan tipe TGT dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Penelitian dibatasi pada satu tingkat saja, yaitu kelas 5 Sekolah Dasar, dengan pertimbangan bahwa dari sisi perkembangan kemampuan sosial, siswa sudah mampu menjalin hubungan dengan teman sebaya karena pada usia tersebut ikatan sebaya sangat kuat. Pada tingkatan tersebut siswa juga sudah mendapatkan pelajaran IPS minimal dua tahun sehingga dipandang cukup memiliki dasar umum pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan sosial.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan aktivitas siswa dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?

2. Seberapa besar pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?

Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran kooperatif tipe TGT. Dengan metode pembelajaran ini, diharapkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS meningkat.


(19)

16 C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan aktivitas siswa dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

2. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian bagi pengembangan pembelajaran kooperatif, khususnya pada bidang studi IPS di Sekolah Dasar (SD).

2. Bagi peneliti, dapat menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut pengembangan penelitian bidang IPS. Selain menambah pemahaman tentang metode pembelajaran kooperatif, nantinya dapat diajarkan kepada mahasiswa PGSD/PGMI

3. Bagi guru, proses belajar mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak lagi monoton dan ditemukan strategi pembelajaran yang tepat, tidak


(20)

17

konvensional, tetapi bersifat pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).

4. Bagi siswa, keaktifan siswa dalam mengerjakan tugas mandiri maupun kelompok meningkat, keberanian siswa mengungkapkan ide, pendapat, pertanyaan dan saran meningkat sehingga hasil belajar siswa dalam mata pelajarn IPS meningkat.

E. Paradigma Penelitian

Permasalahan:

”Seberapa besar pengaruh peningkatan aktivitas dan hasil

belajar siswa antara siswa yang

mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD?”

1. Persaingan dlm pembelajaran konvensional; sikap

individual, penderitaan psikologis yang menetap, prilaku anti sosial dan menyimpang 2. Pelaksanaan di kelas

pembelajaran di dominasi metode konvensional yang kurang mendukung aktivitas siswa dan hasil belajarpun tidak opkelompok al

Pembelajaran IPS dengan metode konvensional 1. Pengaruhnya

terhadap aktivitas siswa

2. Pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa

Treatment

Pembelajaran IPS dengan Metode Kooperatif Tipe TGT 1. Pengaruhnya

terhadap aktivitas siswa

2. Pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa

Hasil dan Kesimpulan 1. Pembelajaran

dengan metode kooperatif tipe TGT secara signifikan lebih meningkatkan aktivitas belajar siswa dibandingkan pembelajaran dengan metode konvensional 2. Pembelajaran dengan metode kooperatif tipe TGT secara signifikan lebih meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan pembelajaran dengan metode konvensional

Raw Input Process Out Put


(21)

18 F. Asumsi dan Hipotesis

1. Asumsi

Pada pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metode kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament) diharapkan keterlibatan setiap siswa dalam proses meningkatkan aktivitas dapat dilihat dari: pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam pembelajaran; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam LAS melalui metode pembelajaran kooperatif tipe TGT (dilakukan melalui kelompok). Sedangkan, peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat dari peningkatan nilai setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat dilihat dari hasil pretes dan postes materi IPS yang diberikan siswa.

2. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh yang signifikan peningkatan aktivitas siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara biasa/konvensional dalam pembelajaran IPS.

2. Terdapat pengaruh peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan antara siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan dengan siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran secara biasa/konvensional dalam pembelajaran IPS.


(22)

19 G. Definisi Operasional

1. “Metode kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament)” adalah salah satu metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil kelompok mereka dengan anggota kelompok lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka.

2. “Aktivitas belajar” adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk mental-emosional (mengerjakan las, membuat keputusan/menjawab pertanyaan, mengingat materi yang diajarkan, berada dalam tugas kelompok, melakukan prilaku yang tidak relevan dengan pembelajaran, berani tampil di depan kelas, menghargai pendapat teman, menghargai hasil keputusan kelompok dan menyenangi pembelajaran) dan fisik (aktivitas visual, lisan, mendengarkan dan menulis) dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan kegiatan pembelajaran dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.

3. ”Hasil belajar siswa” dalam penelitian ini hanya dibatasi pada ranah kognitif yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, dan sintesis dengan penekanan pada aspek pengetahuan, pemahaman dan penerapan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.


(23)

20 H. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat/kegunaan penelitian, kerangka berpikir, para digma penelitian, asumsi dan hipotesis penelitian serta sistematikan penulisan.

Bab II Kajian Pustaka dan Kerangka Teoritis, menguraikan landasan teori berupa uraian mengenai teori-teori yang mendukung penelitian ini sebagai dasar pemikiran dan pemecahan masalah.

Bab III Metodologi Penelitian, bagian ini berisi tentang uraian langkah-langkah yang dilakukan selama penelitian dan penulisan tesis.

Bab IV Hasil Penelitian, bagian ini berisi keseluruhan data dari hasil penelitian. Menguraikan hasil pengolahan data berdasarkan metode yang telah ditetapkan serta analisis data yang dilakukan. Kemudian hasil analisis ini dibahas berkaitan dengan permasalahan penelitian.

BAB V Kesimpulan dan Saran, bagian ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran penulis mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dan ditetapkan oleh organisasi berdasarkan hasil penelitian.


(24)

63 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi eksperimen) dimana sampel penelitian tidak dikelompokkan secara acak, tetapi menerima keadaan sampel apa adanya (Ruseffendi, 2006: 2). Adapun desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah "non-equivalent

groups pretest-posttest design".Dimana desain ini terdapat dua kelompok, yaitu

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Menurut Schumacher (2001:342), desain ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Kelompok Pretes Perlakuan Postes

A O1 X O2

B O1 O2

Gambar 3.1: Desain Penelitian

A = Kelompok Eksperimen yang mendapat perlakuan B = Kelompok Kontrol

O1 = Tes awal sebelum perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen O2 = Tes akhir setelah perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen X = Perlakuan menggunakan model kooperatif tipe TGT


(25)

64 B. Alur Penelitian

Adapun langkah-langkah dalam mewujudkan desain penelitian tersebut ditunjukkan dalam alur penelitian pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.2. Diagram Alur Proses Penelitian

Identifikasi Masalah

Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa

Penentuan Sampel

Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Pretes

Postes

Pembelajaran

Kooperatif Tipe TGT

Pembelajaran Konvensional

Angket Aktivitas siswa

Pengolahan dan analisis data

Pengolahan dan analisis data Pengolahan dan

analisis data

Kesimpulan

Observasi Aktivitas siswa Pengolahan dan


(26)

65 C. Sampel Penelitian

Arikunto, (1998: 117) mengatakan “Sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi”. Sugiyono (1997: 57) memberikan pengertian: “Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Dari dua pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang diteliti (Akdon, 2008: 98).

Teknik penarikan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara untuk mengambil sampel yang representatif dari populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purpose sampling (sampling pertimbangan), yaitu teknik sampling yang digunakan jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Akdon, 2008: 105).

Sampel dalam penelitian adalah siswa kelas V (Arofah) SD Muhammadiyah Kecamatan Pringsewu Tanggamus sebanyak 32 siswa sebagai kelompok eksperiman, sedangkan sebagai kelompok kontrol adalah siswa kelas V (Marwah) SD Muhammadiyah Kecamatan Pringsewu Tanggamus sebanyak 32 siswa.

Faktor yang mendasari pemilihan sampel penelitian, antara lain:

1. SD Muhammadiyah Pringsewu dan SDN I Pringsewu merupakan salah satu sekolah unggulan di Kecamatan Pringsewu.


(27)

66

2. Letak sekolah dekat dengan rumah peneliti, sehingga mudah dijangkau dan memudahkan dalam komunikasi.

3. Kesediaan guru kelas V sebagai mitra peneliti.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah Pringsewu Kabupaten Tanggamus Lampung yang berlokasi di Jl. Jenderal Sudirman No. 27 Pringsewu Tanggamus 35373, Telp. (0729) 21156 dengan akreditasi A.

E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan observasi dan wawancara dengan guru yang mengajar IPS untuk memperoleh informasi tentang penggunaan model pembelajaran.

Peneliti mengadakan observasi pada tanggal 5 (kelas eksperimen) dan 6 (kelas kontrol) Pebruari 2009 dengan memberikan pokok bahasan “Perjuangan Para Tokoh Daerah dalam Melawan Penjajah” .

Sebelum mulai memberikan materi baru terlebih dahulu memberikan apersepsi untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Dilanjutkan dengan memberikan materi “Perjuangan Para Tokoh Daerah dalam Melawan Penjajah”. Dalam penyampaiannya guru menggunakan metode ceramah, dan tanya jawab lalu diakhiri dengan memberikan tes awal (pretes).

2. Bersama guru menyepakati penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe

TGT dalam pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru bersangkutan,

peneliti bertugas sebagai observer dan partner guru, pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan.


(28)

67

Hasil observasi awal pembelajaran IPS sebelum tindakan, didiskusikan dengan guru kelas. Peneliti, memberikan saran, lalu menjelaskan suatu metode yang dianggap dapat membangkitkan aktivitas siswa, yaitu metode pembelajaran kooperatif . Setelah dipahami dan tercapai kesepakatan untuk menggunakan metode pembelajaran kooperatif pada pembelajaran IPS berikutnya untuk kelas eksperimen dan menggunakan satu kelas kontrol dengan metode konvensional. 3. Memperkenalkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan

memberikan training pada guru yang bersangkutan.

Diskusi dilanjutkan dengan pendalaman materi metode pembelajaran kooperatif yang akan diterapkan dalam penelitian, yaitu metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dilanjutkan dengan penyusunan rencana pembelajaran, Lembar Aktivitas Siswa (LAS), soal tes hasil belajar, angket sikap siswa, pedoman wawancara dan observasi. Selanjutnya soal tes diujicobakan pada siswa kelas V sekolah dasar tahun pelajaran 2007/2008 yang telah mempelajari pokok bahasan “Perjuangan Para Tokoh Daerah dalam Melawan Penjajah”. Ujicoba yang diadakan dengan tujuan untuk menganalisis tingkat kesukaran, daya pembeda, validitas dan reliabilitas soal tes.

4. Menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TGT pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.

Setelah susun rencana pembelajaran , Lembar Aktivitas Siswa (LAS) untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dilaksanakan kegiatan kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen pembelajaran menggunakan metode kooperatif tipe TGT, sedangkan untuk kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional/biasa.


(29)

68

5. Melakukan observasi dan analisis data observasi aktivitas siswa Kegiatan observasi dan analisis aktivitas siswa dilakukan setiap kali pertemuan, dalam penelitian ini dilaksanakan selama tiga minggu/pertemuan (9x35 menit).

6. Memberikan postes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

7. Melakukan analisis data kuantitatif dengan menggunakan uji-t terhadap rerata skor pretes dan rerata skor postes

8. Memberikan angket dan analisis data aktivitas siswa 9. Mendokumentasikan kegiatan pembelajaran

F. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Angket

Angket adalah pertanyaan yang diberikan kepada orang lain bersedia memberikan respons (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Tujuan penyebaran angket adalah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dan responden tanpa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Di samping itu, responden mengetahui informasi tertentu yang diminta (Akdon, 2008: 131).

Angket digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur aktivitas siswa selama dalam pembelajaran dengan menggunakan metode kooperatif tipe TGT. Angket untuk mengukur aktivitas siswa dengan menggunakan Skala Guttman, yaitu skala yang digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan


(30)

69

konsisten. Skala Guttmen yang digunakan dalam bentuk checlist. Jawaban responden berupa skor tertinggi bernilai (1) dan skor terendah bernilai (0).

Tabel 3.1. Kisi-Kisi Angket Aktivitas Siswa

Aspek Sub Aspek Indikator No. Item

Aktivitas Siswa

Aktivitas visual

Memperhatikan penjelasan guru 1 Memperhatikan penjelasan teman 2 Mengamati kelompok lain bekerja 3 Membacakan hasil pekerjaan 4

Aktivitas lisan

Berdiskusi dengan sesama siswa 5 Berdiskusi antara siswa dengan guru 6

Bertanya kepada guru 7

Bertanya kepada teman 8

Memberi saran/masukan 9

Memberikan interupsi/sanggahan 10 Aktivitas

mendengarkan

Mendengarkan penjelasan guru 11 Mendengarkan penjelasan teman 12 Mendengarkan percakapan atau diskusi

kelompok 13

Aktivitas menulis

Menulis hal-hal yang relevan dengan

pembelajaran 14

Menulis laporan hasil diskusi 15

Mengerjakan tes 16

Aktivitas mental

Mengerjakan LAS 17

Membuat keputusan/menjawab pertanyaan 18 Mengingat materi yang diajarkan 19 Berada dalam tugas kelompok 20

Aktivitas Emosional

Melakukan prilaku yang tidak relevan dengan

pembelajaran 21

Berani tampil di depan kelas 22 Menghargai pendapat teman 23 Menghargai hasil keputusan kelompok 24 Menyenangi pembelajaran 25


(31)

70

Selain pengambilan data aktivitas siswa melalui angket juga dilakukan observasi terhadap aktivitas siswa, tujuannya agar data yang diperoleh melalui angket tidak bias. Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung kepada obyek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Apabila obyek penelitian bersifat perilaku dan tindakan manusia, fenomena alam (kejadian-kejadian yang ada di alam sekitar), proses kerja dan penggunaan responden kecil (Akdon, 2008: 136). Selanjutnya Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiono, 2008: 203) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Salah satu kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah mengguna observasi terhadap aktivitas siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dan pada kelas kontrol yang menggunakan metode konvensional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perbedaan aktivitas siswa yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan aktivitas siswa menggunakan metode konvensional. 2. Tes Hasil Belajar

Tes ini digunakan untuk mengukur hasil belajar yang berupa peningkatan pemahaman kognitif siswa, yang dilakukan dengan pretes dan postes sebelum dan sesudah metode pembelajaran kooperatif Tipe TGT diterapkan dengan indikator kemampuan pengetahuan, pemahaman dan penerapan siswa dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Dasar (SD). Tes dilakukan melalui bentuk soal pilihan ganda (multiple choice) 4 opsi (A, B, C dan D) berjumlah 25 butir soal.


(32)

71 Tabel 3.2. Kisi-Kisi Soal Pilihan Ganda

Standar Kompetensi

Kompetensi

Dasar Indikator

No Soal

Taksonomi

Bloom Jwb

Menghargai peranan tokoh pejuang dan mayarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia Mendeskripsik an perjuangan para tokoh pejuang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Mengidentifikasi kedatangan bangsa asing ke Nusantara 1 2 3 Pengetahuan Pemahaman Pengetahuan C C A Menjelaskan penyebab jatuhnya Nusantara ke tangan Belanda 4 5 Pemahaman Pemahaman C D Mengatasi penjajahan

6 Penerapan D

Mengidentifikasi sistem kerja paksa dan tanam paksa

7 8 Pengetahuan Pengetahuan A C Menjelaskan penyebab kesengasaraan rakyat 9 10 Pemahaman Pemahaman C B Mengatasi kesengsaraan rakyat 11 12 Penerapan Penerapan D C Mengidentifikasi perjuangan para tokoh daerah 13 14 15 Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan A C A Menjelaskan penyebab kekalahan para tokoh daerah 16 17 Pemahaman Pemahaman B A Menghargai jasa para tokoh perjuangan

18 Penerapan C

Mengidentifikasi pendudukan Jepang di indonesia 19 20 21 Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan A A D Menjelaskan kemunduran Jepang

22 Pemahaman B

Menjelaskan kekejaman Jepang 23 24 Pemahaman Pemahaman A B Usaha-usaha mengusir penjajah


(33)

72 G. Uji Instrumen Soal Tes Hasil Belajar

Untuk memperoleh data tentang hasil belajar siswa diperoleh melalui tes. Soal tes harus memenuhi syarat valid (sahih), memiliki taraf kemudahan, memiliki daya pembeda dan reliabel. Adapun rumus-rumus yang digunakan untuk keperluan pengujian kesahihan tes di atas adalah :

1. Tingkat Kemudahan

Untuk melihat tingkat kemudahan butir soal dengan menggunakan persamaan:

s J

B

P= (Arikunto, 2003)

Keterangan: P = Indeks kemudahan

B = Banyak siswa yang menjawab soal itu benar Js = Jumlah seluruh siswa

Kriteria: P = 0,00 : Soal sangat sukar 0,00 < P ≤ 0,30 : Soal sukar

0,30 < P ≤ 0,70 : Soal sedang 0,70 < P ≤ 1,00 : Soal mudah

Tabel 3.3. Rekap Hasil Uji Tingkat Kemudahan Soal Pilihan Ganda

No Keterangan Rentang Jumlah %

1 Sangat sukar P= 0,00

2 Sukar 0,00 < P ≤ 0,30 1 4

3 Sedang 0,30 < P ≤ 0,70 8 32

4 Mudah 0,70 < P ≤ 1,00 16 64


(34)

73

Berdasarkan hasil uji tingkat kemudahan, diperoleh data soal pilihan ganda yang menunjukkan tingkat kemudahan kategori sukar 1 soal (4%), sedang 8 soal (32%) dan mudah (16%).

2. Daya Pembeda Tes

Perhitungan daya pembeda setiap butir soal dapat digunakan rumus :

A B

B B A

A P P

J B J B

D= − = − (Arikunto, 2003)

Keterangan:

D = Daya pembeda

JA = Jumlah siswa kelompok atas

JB = Jumlah siswa kelompok bawah

BA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar

BB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar

PA = Proporsi jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar

PB = Proporsi jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar.

Kriteria:

DP ≤ 0,10 : sangat jelek

0,10 < DP ≤ 0,20 : jelek

0,20 < DP ≤ 0.40 : cukup

0,40 < DP ≤ 0,70 : baik


(35)

74

Tabel 3.4. Rekap Hasil Uji Daya Pembeda Soal Pilihan Ganda

No Keterangan Rentang Jumlah %

1 Sangat jelek DP ≤ 0,10 1 4

2 Jelek 0,10 < DP ≤ 0,20 2 8

3 Cukup 0,20 < DP ≤ 0.40 1 4

4 Baik 0,40 < DP ≤ 0,70 20 80

5. Sangat baik 0,70 < DP ≤ 1,00 1 4

Jumlah 25 100

Berdasarkan hasil uji daya pembeda diperoleh data soal pilihan ganda menunjukkan soal yang daya pembedanya sangat jelek 1 soal (4%), jelek 2 soal (8%), cukup 1 soal (4%), baik 20 soal (80%) dan sangat baik 1 soal (4%).

3. Uji Validitas Tes

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan dan kevalidan suatu alat ukur atau instrumen penelitian. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur itu mampu mengukur apa yang akan diukur pada penelitian. (Singarimbun, 1995:). Alat ukur yang absah akan mempunyai validitas yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Untuk menguji validitas alat ukur atau instrumen penelitian, terlebih dahulu dicari nilai (harga) korelasi dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment Pearson (PPM), sebagai berikut:

(

) ( )( )

( )

{

}

{

( )

}

Υ − Υ Χ − Χ Υ Χ − ΧΥ = 2 2 2 2 . . . . n n n rs

Dimana : rs : Koefisien korelasi

n : Jumlah responden

Y : Jumlah skor total seluruh system


(36)

75

Kemudian validatas itu ditafsirkan berdasarkan kriteria sebagai berikut, (Arikunto, 2003) :

r < 0,20 = sangat rendah 0,20 ≤ r < 0,40 = rendah 0,40 ≤ r < 0,60 = sedang 0,60 ≤ r < 0,80 = tinggi

r ≥ 0,80 = sangat tinggi

Kemudian nilai rs diuji dengan uji t, untuk memberikan taraf

signifikansinya, dengan rumus:

hitung

t =

2

1 2

r n r

− −

Setelah nilai korelasi (thitung) didapat, kemudian nilai thitung dibandingkan

dengan nilai ttabel. Kaidah keputusan adalah:

• Jika thitung > ttabel, maka alat ukur atau instrumen penelitian yang digunakan

adalah valid

• Jika thitung < ttabel, maka alat ukur atau instrumen penelitian yang digunakan

adalah tidak valid.

Tabel 3.5. Rekap Hasil Uji Validitas Soal Pilihan Ganda

No Keterangan Rentang Jumlah %

1 Sangat rendah r < 0,20 -

2 Rendah 0,20 ≤ r < 0,40 -

3 Sedang 0,40 ≤ r < 0,60 5 20

4 Tinggi 0,60 ≤ r < 0,80 18 72

5. Sangat tinggi r ≥ 0,80 2 8


(37)

76

Berdasarkan hasil uji validitas diperoleh data semua soal pilihan ganda dinyatakan valid. Tingkat validitas data menunjukkan tingkat validitas rendah dan sangat rendah tidak ada, tingkat sedang 5 soal (20%), tingkat tinggi 18 soal (72%) dan tingkat sangat tinggi 2 soal (8%).

4. Reliabilitas

Suatu instrument dikatakan reliabilel, jika dalam dua kali atau lebih pengevaluasian dengan dua atau lebih instrumen yang ekuivalen hasilnya akan serupa pada masing-masing pengetesan (Ruseffendi, 1996: 142). Uji reliabilitas diperlukan untuk melengkapi syarat validnya sebagai alat evaluasi. Untuk mengetahui apakah sebuah tes memiliki realibilitas tinggi, sedang atau rendah dilihat dari nilai koefisien realibilitasnya.

Suatu alat ukur (instrumen) memiliki reliabilitas yang baik bila alat ukur itu memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan oleh siapun (dalam level yang sama), di manapun dan kapanpun berada.

Hasil perhitungan koefisien reliabilitas, kemudian ditafsirkan dan diinterpretasikan mengikuti interpretasi menurut J.P. Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990:177), yaitu:

r ≤ 0,20 sangat rendah (SR)

0,20 < r ≤ 0,40 rendah (RD)

0,40 < r ≤ 0,70 sedang (SD)

0,70 < r ≤ 0,90 tinggi (TG)


(38)

77

Jika nilai korelasi telah diperoleh, maka untuk menghitung reliabilitas

soal dapat menggunakan rumus Spearman Brown, yaitu:

xy xy r r r

+ =

1 2

11 . Nilai r11

kemudian dibandingkan dengan nilai rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan dk = 30 – 2. Jika r11 > rtabel berarti reliabel dan jika r11 < rtabel berarti tidak reliabel

(Akdon dan Hadi, 2005: 153).

Berdasarkan hasil uji coba instrumen soal pilihan ganda untuk mengukur reliabilitas diperoleh data seperti pada tabel 3.5. berikut ini:

Tabel 3.6. Rekap Hasil Uji Reliabilitas Soal Pilihan Ganda

No Keterangan Rentang Jumlah %

1 Sangat rendah r < 0,20 - 2 Rendah 0,20 ≤ r < 0,40 -

3 Sedang 0,40 ≤ r < 0,60 5 20 4 Tinggi 0,60 ≤ r < 0,80 18 72

5. Sangat tinggi r ≥ 0,80 2 8

Jumlah 25 100

Berdasarkan hasil uji reliabilitas diperoleh data semua soal pilihan ganda dinyatakan reliabel. Tingkat validitas data menunjukkan tingkat validitas rendah dan sangat rendah tidak ada, tingkat sedang 5 soal (20%), tingkat tinggi 18 soal (72%) dan tingkat sangat tinggi 2 soal (8%).

H. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, pengembangan ketrampilan kooperatif siswa saat pembelajaran berlangsung diamati oleh peneliti sebagai observer. Observasi


(39)

78

dilakukan dengan menggunakan lembar pengamatan yang berisi ketrampilan kooperatif yang diambil dari Fladers dalam Hopkins (1993). Aktivitas yang diamati saat pembelajaran menggunakan model cooperative class experiment tipe TGT ini adalah pada saat siswa diskusi dalam kelompok masing-masing.

Nilai aktivitas dikonversikan dengan menentukan kriteria sebagai dasar untuk melakukan konversi nilai berdasarkan tabel 3.6 berikut:

Tabel 3.7. Kriteria Nilai Aktivitas Siswa

No. Keterangan Persentase aktivitas (%) Nilai Konversi

1 Baik 2.45 – 3.0

(81.7% - 100%) 3

2 Cukup 1.45 – 2.44

(48.3% - 81.3%) 2

3 Kurang

0.0 – 1.44

(0% - 48%) 1

( Suherman; 2001).

Pengolahan data hasil belajar IPS siswa secara garis besar dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 12. Data primer dan hasil tes siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran

Kooperatif Tipe TGT, dianalisa dengan cara membandingkan skor pretes dan postes.

Pengolahan dan analisis data dengan menggunakan uji statistik dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menguji Normalitas data hasil penelitian menggunakan program SPSS versi 12


(40)

79

Kriteria Pengujian:

• Jika nilai Sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas < 0,05, maka distribusi

data tidak normal.

• Jika nilai Sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas > 0,05, maka distribusi

data normal

2. Menguji homogenitas tes hasil belajar IPS

Menguji homogenitas tes hasil belajar IPS digunakan uji – F, dengan menggunakan program SPSS versi 12.

Kriteria Pengujian:

• Jika Fhitung < Ftabel, maka keputusannya adalah homogen.

• Jika Fhitung > Ftabel, maka keputusannya adalah tidak homogen.

Rumus df atau db = n1 + n2 -2

3. Uji t

Tujuan Uji t dua vareabel bebas adalah untuk membandingkan (membedakan) apakah kedua vareabel, yaitu nilai hasil pretes kelas eksperimen dan nilai hasil pretes kelas kontrol. Gunanya adalah untuk menguji kemampuan generalisasi (signifikasi hasil penelitian yang berupa perbandingan dua rata-rata sampel. (Akdon, 2007: 145).

Uji t dilaksanakan untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil belajar IPS siswa yang dilihat dalam data nilai pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk menguji apakah terdapat perbedaan rata-rata skor pretes kelas eksperimen


(41)

80

dan kelas kontrol dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan hipotesis pengujian sebagai berikut:

H0 : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes kelas

eksperimen dan kelas kontrol.

H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes kelas

eksperimen dan kelas kontrol.

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut:

Jika harga thitung≥ ttabel, berarti hipotesis H0 diterima, dan

Jika harga thitung≤ ttabel, berarti hipotesis H0 ditolak

Kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) berdistribusi normal dan homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t dengan menggunakan program SPSS versi 12.

Apabila data yang diperoleh berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji- 1

t , dan dirumuskan sebagai berikut, Sudjana (1996: 241),

2 2 2 1

2 1

2 1 1

n S n S

X X t

+ − =

Jika data yang diperoleh tidak berdistribusi normal, maka pengujinnya menggunakan uji nonparametrik yaitu uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney digunakan karena variabel dalam penelitian saling bebas.


(42)

81

Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain faktor (N-Gain) dengan rumus.

pre maks

pre post

S S

S S g

− −

= (Meltzer, 2002)

Ketarangan:

Spost : Skor postes

Spre : Skor pretes

Smaks : Skor maks ideal

Kriteria tingkatan Gain adalah:

Tabel 3.8. Kategori Tingkat Gain

Batasan Kategori

g > 0.7 Tinggi

0.3 ≤ g ≤ 0.7 Sedang

g < 0.3 Rendah

Nilai hasil belajar siswa dikatagorikan dengan berpatokan pada kriteria berikut; standar sepuluh (0-10) dan standar empat (1-4) atau dengan huruf (A-B-C-D) seperti tertera dalam tabel 3.8. berikut:


(43)

82

Tabel. 3.9. Kriteria Nilai Konversi Hasil Belajar

Skor mentah Nilai Konversi

Standar huruf Standar 10 Standar 4

23-25 A 9 4

20-22 B 8 3

18-20 C 7 2

16-17 D 6 1

Kurang dari 15 (gagal) (gagal) (gagal)

Nilai 10 bila mencapai 25

(Sudjana, 2008 : 119)

Standar nilai yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar sepuluh (0-10). Nilai yang diperoleh kemudian diinterpretasikan sesuai sebagai berikut:

Tabel. 3.10. Kriteria Interpretasi Nilai Hasil Belajar Didalam Rapor

No Nilai Kriteria

1. 10 Istimewa

2. 9 Baik sekali

3. 8 Baik

4. 7 Lebih dari cukup

5. 6 Cukup

6. 5 Hampir cukup

7. 4 Kurang

8. 3 Kurang sekali

9. 2 Buruk


(44)

124 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan metode kooperatif

learning tipe TGT dalam penelitian ini menggambarkan terciptanya suasana

pembelajaran aktive learning (siswa aktif), belajar bersama dan saling membantu untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hal ini membuktikan bahwa dalam kelas cooperative learning tipe TGT masing-masing siswa memiliki tanggung jawab dan keharusan untuk membantu dan menghasilkan hal terbaik bagi seluruh anggota kelompoknya. Adanya tanggung jawab pribadi terhadap sesama teman dalam satu kelompok untuk belajar, membantu dan mengerjakan tugas bersama dimana hal ini mengindikasikan adanya proses pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Dengan demikian, untuk selanjutnya metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat terus diterapkan dalam pembelajaran IPS di SD/MI karena terbukti memberikan peningkatan aktivitas siswa dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran yang konvensional.

2. Pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terbukti dapat lebih meningkatkan hasil belajar IPS siswa, dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Kelas eksperiman dengan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT memperoleh skor


(45)

rata-125

rata postes 19,63 (7,85) kategori cukup. Sedangkan kelas dengan pembelajaran konvensional memperoleh skor rata-rata postes 16,56 (6,62) kategori rendah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis siswa yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT hasil belajarnya meningkat bila dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa/konvensional. Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, ini dimungkinkan karena dalam pembelajaran siswa dapat saling berinteraksi dalam menyelesaikan tugas kelompoknya. Interaksi ini berupa curah pendapat (brainstorming) dalam rangka melengkapi masing-masing anggota. Untuk selanjutnya metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat terus diterapkan dalam pembelajaran IPS di SD/MI karena terbukti memberikan peningkatan hasil belajar siswa dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran yang konvensional.

B. Rekomendasi

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya dan hasil penelitian membuktikan bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, penulis memberikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:

1. Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT ini terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Oleh karena itu metode pembelajaran ini selain harus dikuasai


(46)

126

juga harus diterapkan oleh guru dalam pemebelajaran IPS SD/MI, dan tidak menutup kemungkinan metode ini dapat diterapkan pada mata pelajaran lain. 2. Bagi kepala sekolah hendaknya memberikan sosialisasi kepada guru akan

pentingnya penerapan pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan (PAKEM) yang melibatkan siswa secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga pembelajaran yang dilakukan akan lebih bermakna

(meaningfull) bagi siswa.

3. Siswa mempunyai sikap yang positif terhadap diterapkannya metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran IPS, dan karena dapat lebih meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan aktivitas yang ditunjukkan serta membuat anak lebih bersemangat dalam belajar, sehingga siswa belajar lebih aktif, kreatif, bertanggungjawab, serta terciptanya suasana demokrasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bagi guru untuk melakukan proses belajar-mengajar di kelas. Dengan harapan hasil belajar IPS siswa dapat lebih baik.

4. Penelitian tentang metode pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan oleh peneliti di bidang pendidikan yang ingin menggali lebih dalam tentang metode pembelajaran kooperatif dan sebaiknya dilakukan terhadap sampel yang lebih besar untuk menjajagi peningkatan aspek keterampilan atau kecakapan lainnya, tidak hanya pada aktivitas dan hasil belajar siswa saja, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian lebih lengkap dan dapat menggambarkan manfaat pembelajaran kooperatif tipe TGT secara luas.


(47)

127

DAFTAR PUSTAKA

Akdon, 2007. Modul: Aplikasi Statistika dalam Pendidikan. SPs UPI. Bandung. Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta.

Bumi Aksara.

Azwar. 1999. Teori Kebutuhan dalam Bukunya Manajemen. edisi II.

Bloom, Benjamin S., 1979.Taxanomy of Educational Objectives, London: Longman.

Bonwell, C.C. (1995). Active Learning: Creating excitement in the classroom. Center for Teaching and Learning, St. Louis College of Pharmacy.

Chance, Paul, 1979. Learning and Behaviour, California: Wadsworth Publishing Company, Inc.,

Colemen, 1961. The Adolescent society. New York: Free Press.

Dewi, T.P.S. 2003. “Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Students

Teams Achievement Division pada Konsep Sistem Saraf Kelas II SLTP N 1 Wonopringgo Pekalongan Tahun Ajaran 2002/ 2003”. Skripsi.Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Fatimah, Siti. 2004. Keefektifan MetodeTGT dalam Proses PembelajaranMatematika Siswa Kelas II Semester Ganjil pada Pokok Bahasan TeoremaPythagoras di SLTP 24 Semarang. Semarang: Skripsi

Unnes.

Gagne, Robert J and Leslie J. Briggs, 1992. Principles of Instructional Design. 4th Edition, New York : Holt Rinehart and Winston,

Good, Thomas L. & Jere E. Brophy, 1990. Educational Psychology, New York: Longman,

Greenwood, dkk., 1984. Teacher versus peer-mediated instruction: An

eco-behavioral analysis of achiavement outcomes. Journal of Applied

Behavior Analysis.

Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hasan, 2006. Ketentuan-Ketentuan Untuk Karangan Ilmiah. Makalah.

Hertz-Lazarowitz, dkk., 1993. The Bilingual Cooperative Integrate Reading and

Composition (BCIRC) projec in the Ysleta Independent School District: Standarrized test outcomes. Baltimore, MD: John Hopkins University


(48)

128

Hopkins, 1993. Agrarian Reform and Social Tranformation. Baltimore and London.

http://educare.e_fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10 &itemid=7

http://one.indoskripsi.com/node/6312

http://re-searchengines.com/0805arief7.html

Ibrahim, dkk. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Pusat Sains dan Matematika Sekolah Program Pascasarjana Unesa. Surabaya: University Press.

Isjoni, 2007. Cooperative Learning (Efektifitas Pembelajaran Kelompok). Alfabeta : Bandung.

LAPIS PGMI, 2009. Materi Workshop MBM 1A. Surabaya.

Lie, A. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di

Ruang-ruang Kelas. Grasindo

Lie, Anita, 2002. Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative Learning di

Ruang-ruang Kelas.Jakarta: Gramedia.

Mc.Millan & Schumacher. (2001). Research Education: A Conceptual

Introduction (S^ed). United States: Addison Wesley Longman, Inc.

McKeachie W., 1986. Teaching Tips: A Guidebook for the Beginning College

Teacher. Boston, D.C. Health,

Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Holistik Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Meltzer, David E. (2002). "The Relationship between Mathematics Preparation and

Conceptual Learning Gain in Physics: 'hidden variable' in Diagnostic Pretest Scores'. American Journal ojPhysics, 70, (12), 1259-1267

Muijs, Daniel & David Reinold. (2005) Effective teaching evidence and practice. London: SAGE Publications Ltd.

Nana Sudjana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab IV Pasal 19 tentang Standar Proses

Pendidikan.

Pollio, H.R., , 1984. “What Students Think About and Do in College Lecture

Classes” dalam Teaching-Learning Issues No. 53. Knoxville, Learning


(49)

129

Reigeluth, Charles M., 1983. Instructional Design Theories and Models, An

Overview of Their Current Status, New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates Publishers, Inc.,

Ruseffendi, H.E.T. (1996). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Andira.

Russefendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA (Edisi Revisi). Bandung: Tarsito.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sapriya. 2002. Studi Sosial Konsep dan Model Pembelajaran. Bandung : Buana Nusantara.

Sarwono, 2006. Laskar Pelangi. Rajawali Pers.

Sharan, dkk. 1984. Cooperative Learning in the classroom: Research in

desegregated schools. Hilsdale, NJ: Erlbaum.

Silberman, Melvin. 1996. Active Learning,101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung Nusa Media.

Slavin, R. E.(1995). Cooperative Learning : Theory, Research, and practice,

(seconded.). Boston: Allyn and Bacon.

Slavin, R. E.(2008). Cooperative Learning : Teori, Riset, dan Praktik

(terjemahan). Nusa Media. Bandung.

Slavin, R.E. (1978). Student teams and achievement divisions. Journal of Research and Development in Educational.

Slavin, R.E. (1983). Cooperative Learning. Maryland : John Hopkins University. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice.

Second Edition. Massachussets: Allyn & Bacon.

Soedijarto, 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu, Jakarta: Balai Pustaka,

Soemadi (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.

Soemantri, N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Kerjasama UPI dengan PT Rosda Karya.

Somantri. H.M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : Rosda Karya-PPS UPI Bandung.


(50)

130

Stahl, R. J. (1999) Cooperative learning in social studies: A Handbook for

Teacher. New York: Addision Wesley Publishing Company, Inc.

Stahl, R.J. (1994). Cooperative Learning in Social Studies : Handbook for Teachers. USA : Kane Publishing Service, Inc.

Sudjana, 2008. Tuntunan Karya Ilmiah. Bandung. Sinar Baru.

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suherman , E. Sukjaya. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi

Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Suherman, E. (2001). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan

Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung. Wijayakusumah.

Suparno, P. (2000). Teori Perkembangan Piaget. Yogyakarta

Surya, 1983. Laporan Pengembangan Informasi IPTEK. Jakarta. PDII-LIPI. Inotji.

Syamsudin. 1990. Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi. Propinsi Riau. Depag RI.

Talmage, dkk., 1984. The influence of cooperative learning strategies on teacher

practices, student perceptions of the learning environment, and academic achievement. American Educational Research Journal.

Trianto. (2007). Model model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Usman, Uzer, 1995. Menjadi Guru Profesional. Bandung. Remaja Rosda Karya. Vroom, 1969. Industrial Social Psychology. In G. Lindzey and E. Aronson (eds.).

The Handbook of Social Psychology (Vol %.2nd ed.). Reading MA: Addison-Wesley.

Walgito, Bimo, 1997. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset. Wenger, Win, 2003. Beyond Teaching and Learning, Memadukan Quantum

Teaching & Learning, (terjemahan Ria Sirait dan Purwanto). Nuansa.

Wheeler, dkk. 1973. Effect of Cooperative and Competitive Classroom

Environments on the Attitudes and Achievement of Elementary School Students Engaged in Social Studies Inquiry Activities. Journal of


(1)

125

rata postes 19,63 (7,85) kategori cukup. Sedangkan kelas dengan pembelajaran konvensional memperoleh skor rata-rata postes 16,56 (6,62) kategori rendah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis siswa yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT hasil belajarnya meningkat bila dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa/konvensional. Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, ini dimungkinkan karena dalam pembelajaran siswa dapat saling berinteraksi dalam menyelesaikan tugas kelompoknya. Interaksi ini berupa curah pendapat (brainstorming) dalam rangka melengkapi masing-masing anggota. Untuk selanjutnya metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat terus diterapkan dalam pembelajaran IPS di SD/MI karena terbukti memberikan peningkatan hasil belajar siswa dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran yang konvensional.

B. Rekomendasi

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya dan hasil penelitian membuktikan bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, penulis memberikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:

1. Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT ini terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Oleh karena itu metode pembelajaran ini selain harus dikuasai


(2)

126

juga harus diterapkan oleh guru dalam pemebelajaran IPS SD/MI, dan tidak menutup kemungkinan metode ini dapat diterapkan pada mata pelajaran lain. 2. Bagi kepala sekolah hendaknya memberikan sosialisasi kepada guru akan

pentingnya penerapan pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan (PAKEM) yang melibatkan siswa secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga pembelajaran yang dilakukan akan lebih bermakna (meaningfull) bagi siswa.

3. Siswa mempunyai sikap yang positif terhadap diterapkannya metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran IPS, dan karena dapat lebih meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan aktivitas yang ditunjukkan serta membuat anak lebih bersemangat dalam belajar, sehingga siswa belajar lebih aktif, kreatif, bertanggungjawab, serta terciptanya suasana demokrasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bagi guru untuk melakukan proses belajar-mengajar di kelas. Dengan harapan hasil belajar IPS siswa dapat lebih baik.

4. Penelitian tentang metode pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan oleh peneliti di bidang pendidikan yang ingin menggali lebih dalam tentang metode pembelajaran kooperatif dan sebaiknya dilakukan terhadap sampel yang lebih besar untuk menjajagi peningkatan aspek keterampilan atau kecakapan lainnya, tidak hanya pada aktivitas dan hasil belajar siswa saja, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian lebih lengkap dan dapat menggambarkan manfaat pembelajaran kooperatif tipe TGT secara luas.


(3)

127

DAFTAR PUSTAKA

Akdon, 2007. Modul: Aplikasi Statistika dalam Pendidikan. SPs UPI. Bandung. Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta.

Bumi Aksara.

Azwar. 1999. Teori Kebutuhan dalam Bukunya Manajemen. edisi II.

Bloom, Benjamin S., 1979.Taxanomy of Educational Objectives, London: Longman.

Bonwell, C.C. (1995). Active Learning: Creating excitement in the classroom. Center for Teaching and Learning, St. Louis College of Pharmacy.

Chance, Paul, 1979. Learning and Behaviour, California: Wadsworth Publishing Company, Inc.,

Colemen, 1961. The Adolescent society. New York: Free Press.

Dewi, T.P.S. 2003. “Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Students Teams Achievement Division pada Konsep Sistem Saraf Kelas II SLTP N 1 Wonopringgo Pekalongan Tahun Ajaran 2002/ 2003”. Skripsi.Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Fatimah, Siti. 2004. Keefektifan MetodeTGT dalam Proses PembelajaranMatematika Siswa Kelas II Semester Ganjil pada Pokok Bahasan TeoremaPythagoras di SLTP 24 Semarang. Semarang: Skripsi Unnes.

Gagne, Robert J and Leslie J. Briggs, 1992. Principles of Instructional Design. 4th Edition, New York : Holt Rinehart and Winston,

Good, Thomas L. & Jere E. Brophy, 1990. Educational Psychology, New York: Longman,

Greenwood, dkk., 1984. Teacher versus peer-mediated instruction: An eco-behavioral analysis of achiavement outcomes. Journal of Applied Behavior Analysis.

Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hasan, 2006. Ketentuan-Ketentuan Untuk Karangan Ilmiah. Makalah.

Hertz-Lazarowitz, dkk., 1993. The Bilingual Cooperative Integrate Reading and Composition (BCIRC) projec in the Ysleta Independent School District: Standarrized test outcomes. Baltimore, MD: John Hopkins University Center for Research on Effective Schooling for Disadvantaged Students.


(4)

128

Hopkins, 1993. Agrarian Reform and Social Tranformation. Baltimore and London.

http://educare.e_fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10 &itemid=7

http://one.indoskripsi.com/node/6312

http://re-searchengines.com/0805arief7.html

Ibrahim, dkk. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Pusat Sains dan Matematika Sekolah Program Pascasarjana Unesa. Surabaya: University Press.

Isjoni, 2007. Cooperative Learning (Efektifitas Pembelajaran Kelompok). Alfabeta : Bandung.

LAPIS PGMI, 2009. Materi Workshop MBM 1A. Surabaya.

Lie, A. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Grasindo

Lie, Anita, 2002. Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas.Jakarta: Gramedia.

Mc.Millan & Schumacher. (2001). Research Education: A Conceptual Introduction (S^ed). United States: Addison Wesley Longman, Inc.

McKeachie W., 1986. Teaching Tips: A Guidebook for the Beginning College Teacher. Boston, D.C. Health,

Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Holistik Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Meltzer, David E. (2002). "The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: 'hidden variable' in Diagnostic Pretest Scores'. American Journal ojPhysics, 70, (12), 1259-1267

Muijs, Daniel & David Reinold. (2005) Effective teaching evidence and practice. London: SAGE Publications Ltd.

Nana Sudjana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab IV Pasal 19 tentang Standar Proses Pendidikan.

Pollio, H.R., , 1984. “What Students Think About and Do in College Lecture Classes” dalam Teaching-Learning Issues No. 53. Knoxville, Learning Research Centre. University of Tennesse.


(5)

129

Reigeluth, Charles M., 1983. Instructional Design Theories and Models, An Overview of Their Current Status, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, Inc.,

Ruseffendi, H.E.T. (1996). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Andira.

Russefendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA (Edisi Revisi). Bandung: Tarsito.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sapriya. 2002. Studi Sosial Konsep dan Model Pembelajaran. Bandung : Buana Nusantara.

Sarwono, 2006. Laskar Pelangi. Rajawali Pers.

Sharan, dkk. 1984. Cooperative Learning in the classroom: Research in desegregated schools. Hilsdale, NJ: Erlbaum.

Silberman, Melvin. 1996. Active Learning,101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung Nusa Media.

Slavin, R. E.(1995). Cooperative Learning : Theory, Research, and practice, (seconded.). Boston: Allyn and Bacon.

Slavin, R. E.(2008). Cooperative Learning : Teori, Riset, dan Praktik (terjemahan). Nusa Media. Bandung.

Slavin, R.E. (1978). Student teams and achievement divisions. Journal of Research and Development in Educational.

Slavin, R.E. (1983). Cooperative Learning. Maryland : John Hopkins University. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice.

Second Edition. Massachussets: Allyn & Bacon.

Soedijarto, 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu, Jakarta: Balai Pustaka,

Soemadi (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.

Soemantri, N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Kerjasama UPI dengan PT Rosda Karya.

Somantri. H.M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : Rosda Karya-PPS UPI Bandung.


(6)

130

Stahl, R. J. (1999) Cooperative learning in social studies: A Handbook for Teacher. New York: Addision Wesley Publishing Company, Inc.

Stahl, R.J. (1994). Cooperative Learning in Social Studies : Handbook for Teachers. USA : Kane Publishing Service, Inc.

Sudjana, 2008. Tuntunan Karya Ilmiah. Bandung. Sinar Baru.

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suherman , E. Sukjaya. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Suherman, E. (2001). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung. Wijayakusumah. Suparno, P. (2000). Teori Perkembangan Piaget. Yogyakarta

Surya, 1983. Laporan Pengembangan Informasi IPTEK. Jakarta. PDII-LIPI. Inotji.

Syamsudin. 1990. Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi. Propinsi Riau. Depag RI.

Talmage, dkk., 1984. The influence of cooperative learning strategies on teacher practices, student perceptions of the learning environment, and academic achievement. American Educational Research Journal.

Trianto. (2007). Model model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Usman, Uzer, 1995. Menjadi Guru Profesional. Bandung. Remaja Rosda Karya. Vroom, 1969. Industrial Social Psychology. In G. Lindzey and E. Aronson (eds.).

The Handbook of Social Psychology (Vol %.2nd ed.). Reading MA: Addison-Wesley.

Walgito, Bimo, 1997. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset. Wenger, Win, 2003. Beyond Teaching and Learning, Memadukan Quantum

Teaching & Learning, (terjemahan Ria Sirait dan Purwanto). Nuansa. Wheeler, dkk. 1973. Effect of Cooperative and Competitive Classroom

Environments on the Attitudes and Achievement of Elementary School Students Engaged in Social Studies Inquiry Activities. Journal of educational Psychology.


Dokumen yang terkait

Upaya Peningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Melalui Model Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Pada Konsep Sistem Koloid

0 7 280

Perbandingan antara model pembelajaran cooperative learning tipe stad dengan pembelajaran konvensional dalam rangka meningkatkan hasil belajar PAI (eksperimen kelas XI SMA Negeri 3 Tangerang)

2 14 159

Upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas II dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di Mi Al-Amanah Joglo Kembangan

0 6 103

Peningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada pembelajaran IPS melalui model kooperatif tipe stad: penelitian tindakan kelas di SDN Grogol Selatan 02 Jakarta Selatan

0 4 162

Upaya meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas 3 melalui metode pembelajaran kooperatif tipe TGT : teams games tournament di MI Darul Muqinin Jakarta Barat

0 29 169

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token Arends Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran IPS Terpadu (Quasi Eksperimen di SMPN 87 Jakarta)

0 8 204

MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR IPS DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) DI KELAS V SD NEGERI WINONGO TIRTONIRMOLO KASIHAN BANTUL.

0 0 403

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE ROTATING TRIO EXCHANGE TERHADAP HASIL BELAJAR IPS DI SD

0 1 11

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA KELAS V SD

0 0 8

PENINGKATAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPS MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE TALKING STICK DI KELAS V SD

0 0 8