ANALISIS INDEKS DESENTRALISASI FISKAL PADA SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR.
ANALISIS INDEKS DESENTRALISASI FISKAL PADA
SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII
PROPINSI JAWA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Ekonomi Pembanguanan
Oleh:
RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAWA TIMUR
2012
(2)
yang diajukan
Rahadyan Yunan 0511010099
Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
Drs.Ec.Niniek Imaningsih,MP NIP. 196111201987032001
(3)
USULAN PENELITIAN
ANALISIS INDEKS DESENTRALISASI FISKAL PADA SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR
yang diajukan
RAHADYAN YUNAN 0511010099FE/IE
Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
Drs.Ec.Niniek Imaningsih,MP NIP. 196111201987032001
(4)
WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR
yang diajukan
RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE
Telah diseminarkan dan disetujui untuk menyusun skripsi oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
Drs.Ec.Niniek Imaningsih,MP NIP. 196111201987032001
(5)
ANALISIS INDEKS DESENTRALISASI FISKAL PADA
SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI
JAWA TIMUR
yang diajukan
RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE
disetujui untuk Ujian Lisan oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
DRS.EC.RAHMAN AMIRULLAH.SUWAIDI,MS NIP.196003301986031003
(6)
atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga
peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas
dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi
khususnya Jurusan Ilmu Ekonomi. Dalam penelitian skripsi ini
peneliti mengambil judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal
Pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa
Timur”.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan
skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada.
Atas terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Dr.Ir.Teguh Sudarto,MP, selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
(7)
2.
Bapak Dr.Dhani Ichsanuddin Nur,SE,MM, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
3.
Ibu Dra.Ec Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
4.
Ibu Drs.Ec Titik Nurhidayati.selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam
perkuliahan.
5.
Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah dengan ikhlas
memberikan ilmu pengetahuannya dan pelayanan akademik bagi
peneliti.
6.
Ayah dan Bunda tercinta yang telah sabar mendidik dan
membesarkan peneliti dengan penuh kasih sayang baik moral,
material, maupun spiritual, dan juga untuk adik peneliti, semua
perhatianmu tidak akan pernah peneliti lupakan.
(8)
membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.
Wassallamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Mei 2012
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...
1
1.2
Perumusan Masalah ...
7
1.3
Tujuan Penelitian ...
7
1.4
Manfaat Penelitian ...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 8
2.2 Landasan Teori ... 12
2.2.1 Desentralisasi Fiskal ... 12
(10)
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah ... 28
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan
Pendapatan Daerah ... 32
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal... 33
2.2.3 Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) 34
2.2.4 Sumbangan Daerah ... 40
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum ... 40
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus... 43
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
... 45
2.2.6 Perwilayahan ... 47
2.3 Kerangka Pikir ... 50
2.4 Hipotesis ... 52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 53
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 54
3.2.1 Jenis Data ... 54
(11)
3.4 Teknik Analis ... 54
3.4.1 Index Desentralisasi Fiskal ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Obyek Penelitian ……….. 57
4.1.1 Gambaran Umum Wilayah ... 57
4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung .…. 57
4.1.1.1.1 Letak Geografis ………. 57
4.1.1.1.2 Penduduk ……….. 58
4.1.1.2 Kondisi Umum Kabupaten Kediri... 59
4.1.1.2.1 Letak Geografis ………. 59
4.1.1.2.2 Penduduk ……….. 60
4.1.1.3 Kondisi Umum Kabupaten Blitar………...….. 61
4.1.1.3.1 Letak Geografis ………. 61
4.1.1.3.2 Penduduk ……….. 62
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 63
4.2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ... 63
4.2.2 Pajak Daerah... 67
4.2.3 Restribusi Daerah ... 68
4.2.4 Laba Perusahaan Daerah ... 69
4.2.5 Lain-Lain PAD Yang Sah ... 69
(12)
4.4 Alasan Naik Turunnya Indek Desentralisasi Fiskal ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA
(13)
DAFTAR GAMBAR
(14)
2.1
Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 18
2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 22
2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 47
4.1 Perkembangan
Penerimaan
Daerah Tahun 2009/2010 ... 65
4.2
Rasio Keuanagn Daerah Kabupaten Tulungagung 2009/2010 ... 73
4.3
Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Kediri 2009/2010 ... 74
(15)
ABSTRAKSI
Dengan munculnya UU No .22 tahun 1999yang mengatur perlimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah serta UUNo.25 tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.Salah satu tujuan pemberian otonomi bagi daerah adalah untuk menambah kelancaran pembangunan didaerah dan terciptanya suatu kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasil-hasilnya.Dengan berlakunya Otonomi Daerah maka sebaiknya pemerintah daerah otonom diwajibkan untuk menggali sunber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya dan harus bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD sebagian besar masih berasal dari bantuan pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan salah satunya adalah Dana Alokasi Umum.Selayaknya Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII menggembangkan sumber daya lokal dan menggurangi ketergantungan dari pusat.
Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatu daerah pada SWP VII.Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif,yaitu analisa yang sifatnya,menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kualitatif,yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti.Analisa kuantitatif meliputi analisa Indeks Desentralisasi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) sehingga dapat menggetahui di daerah SWP VII mempunyai kemandirian fiskal.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indeks Desentralisasi Fiskal SWP VIII rata-rata menunjukan rendah sekali.Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di kabupaten / kota di SWP VII adalah pola hubungan intruktif dan konsultatif. Sehingga dapat di katakan selama periode penelitian SWP VII belum mampu membawa daerahnya / kurang mandiri.
(16)
atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga
peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas
dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi
khususnya Jurusan Ilmu Ekonomi. Dalam penelitian skripsi ini
peneliti mengambil judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal
Pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa
Timur”.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan
skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada.
Atas terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Dr.Ir.Teguh Sudarto,MP, selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
(17)
2.
Bapak Dr.Dhani Ichsanuddin Nur,SE,MM, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
3.
Ibu Dra.Ec Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
4.
Ibu Drs.Ec Titik Nurhidayati.selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam
perkuliahan.
5.
Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah dengan ikhlas
memberikan ilmu pengetahuannya dan pelayanan akademik bagi
peneliti.
6.
Ayah dan Bunda tercinta yang telah sabar mendidik dan
membesarkan peneliti dengan penuh kasih sayang baik moral,
material, maupun spiritual, dan juga untuk adik peneliti, semua
perhatianmu tidak akan pernah peneliti lupakan.
(18)
membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.
Wassallamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Mei 2012
(19)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...
1
1.2
Perumusan Masalah ...
7
1.3
Tujuan Penelitian ...
7
1.4
Manfaat Penelitian ...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 8
2.2 Landasan Teori ... 12
2.2.1 Desentralisasi Fiskal ... 12
(20)
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah ... 28
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan
Pendapatan Daerah ... 32
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal... 33
2.2.3 Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) 34
2.2.4 Sumbangan Daerah ... 40
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum ... 40
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus... 43
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
... 45
2.2.6 Perwilayahan ... 47
2.3 Kerangka Pikir ... 50
2.4 Hipotesis ... 52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 53
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 54
3.2.1 Jenis Data ... 54
(21)
3.4 Teknik Analis ... 54
3.4.1 Index Desentralisasi Fiskal ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Obyek Penelitian ……….. 57
4.1.1 Gambaran Umum Wilayah ... 57
4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung .…. 57
4.1.1.1.1 Letak Geografis ………. 57
4.1.1.1.2 Penduduk ……….. 58
4.1.1.2 Kondisi Umum Kabupaten Kediri... 59
4.1.1.2.1 Letak Geografis ………. 59
4.1.1.2.2 Penduduk ……….. 60
4.1.1.3 Kondisi Umum Kabupaten Blitar………...….. 61
4.1.1.3.1 Letak Geografis ………. 61
4.1.1.3.2 Penduduk ……….. 62
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 63
4.2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ... 63
4.2.2 Pajak Daerah... 67
4.2.3 Restribusi Daerah ... 68
4.2.4 Laba Perusahaan Daerah ... 69
4.2.5 Lain-Lain PAD Yang Sah ... 69
(22)
4.4 Alasan Naik Turunnya Indek Desentralisasi Fiskal ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA
(23)
DAFTAR GAMBAR
(24)
2.1
Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 18
2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 22
2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 47
4.1 Perkembangan
Penerimaan
Daerah Tahun 2009/2010 ... 65
4.2
Rasio Keuanagn Daerah Kabupaten Tulungagung 2009/2010 ... 73
4.3
Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Kediri 2009/2010 ... 74
4.4
Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Blitar 2009/2010 ... 75
(25)
ABSTRAKSI
Dengan munculnya UU No .22 tahun 1999yang mengatur perlimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah serta UUNo.25 tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.Salah satu tujuan pemberian otonomi bagi daerah adalah untuk menambah kelancaran pembangunan didaerah dan terciptanya suatu kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasil-hasilnya.Dengan berlakunya Otonomi Daerah maka sebaiknya pemerintah daerah otonom diwajibkan untuk menggali sunber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya dan harus bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD sebagian besar masih berasal dari bantuan pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan salah satunya adalah Dana Alokasi Umum.Selayaknya Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII menggembangkan sumber daya lokal dan menggurangi ketergantungan dari pusat.
Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatu daerah pada SWP VII.Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif,yaitu analisa yang sifatnya,menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kualitatif,yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti.Analisa kuantitatif meliputi analisa Indeks Desentralisasi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) sehingga dapat menggetahui di daerah SWP VII mempunyai kemandirian fiskal.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indeks Desentralisasi Fiskal SWP VIII rata-rata menunjukan rendah sekali.Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di kabupaten / kota di SWP VII adalah pola hubungan intruktif dan konsultatif. Sehingga dapat di katakan selama periode penelitian SWP VII belum mampu membawa daerahnya / kurang mandiri.
(26)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap daerah di Indonesia diberikan hak untuk melakukan
otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapnnya adalah
dengan cara menggali dan mengoptimalisasikan Pendapatan Asli
Daerah. Ada beberapa daerah yang mempunyai obsesi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan cara memberdayakan
rakyat atau mengembangkan potensi yang ada seperti potensi budaya,
obyek wisata serta industri rumah tangga yang banyak ragamnya dan
selama ini sepertinya dibiarkan berjalan sendiri, seharusnya didukung
oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Sedangkan reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu di Negara
kita telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek
reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan. Aspek
pemerintahan yang dimaksud disini adalah aspek hubungan pemerintah
pusat dengan daerah. Pada aspek ini isu yang mencuat adalah adanya
tuntutan otonomi yang lebih luas dan nyata yang harus diberikan kepada
daerah. Oleh karenanya sejak per 1 Januari 2001 Bangsa dan Negara
(27)
2
otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten)
yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan pemerintah
pusat diserahkan pada daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi
merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era
globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian
daerah. Menurut bentuk-bentuk desentralisasi dalam era otonomi daerah
adalah sebagai berikut; desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal,
desentralisasi politik, dan desentralisasi pelayanan.
Salah satu desentralisasi yang paling banyak disoroti dan paling
berpengaruh terhadap perkembangan daerah adalah desentralisasi fiskal
yang merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi daerah.
Kebijakan Fiskal pada dasarnya alat atau instrumen pemerintah yang
sangat penting peranannya dalam sistem perekonomian. Instrumen
fiskal itu berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas
basis kegiatan ekonomi berbagai sektor, dan secara khusus memperluas
lapangan usaha untuk menurunkan tingkat pengangguran. Dengan
kebijakan fiskal, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya
ekonomi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang
dikehendakinya. Kebijakan fiskal juga sekaligus sebagai kesempatan
emas untuk memberikan sinyal, baik bagi pelaku ekonomi, dunia usaha,
(28)
Selain itu juga isu desentralisasi yang dianggap sebagai jalan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian dari banyak
ahli, antara lain dikemukakan oleh Tiebout, Oates, Tresch, Breton,
Weingast, dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al dalam Sidik
(2002) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien
seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol
geografis yang paling minimum karena :
1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya.
2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap
kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal
untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal
dari masyarakat.
3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk
meningkatkan inovasinya.
Dalam hal ini, kewenangan keuangan yang melekat pada setiap
kewenangan pemerintah menjadi kewenangan daerah. Dalam menjamin
terselenggaranya otonomi daerah semakin mantap, maka diperlukan
usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni
dengan upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan
pengalian sumber pendapatan asli daerah yang baru sesuai dengan
(29)
4
Dalam melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah,
perlu diadakan analisis faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli
Daerah Satuan Wilayah Pembangunan (SWP VII) yaitu Kabupaten
Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar.
Pembangunan nasional harus dilakukan melihat berbagai potensi
yang ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat
keterbatasan tenaga yang professional maupun dana yang tersedia maka
pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap melalui
perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan itu
sendiri tentunya memerlukan biaya yang sangat besar. Kondisi yang
demikian itu akan mendorong para pelaku pembangunan untuk lebih
berorientasi kepada kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang asas desentralisasi maka dalam
rangka melaksanakan pembangunan yang merata, berdaya guna dan
berhasil guna maka dibentuklah daerah otonomi.
Dapat di terlihat bahwa desentralisasi kekuasaan dan distribusi
pengambilan keputusan serta perimbangan keuangan yang pasti antara
pusat dan daerah merupakan pilihan kebijakan strategi masa depan yang
dapat di hindarkan dan di tunda dalam PJPT II. Indikasi ini setidaknya
terlihat dari di luncurkanya Pakto 1993 yang pekat dengan nada
desentralisasi dan di ikuti dengan pencanangan proyek percontohan
(30)
Diharapkan terjadi perubahan paragdigma dari sentralisasi
menjadi desentralisasi. Dari budaya petunjuk menjadi penekanan
prinsip demokrasi, prakasa, dan aspirasi masyarakat daerah. UU No. 22
dan 25 tahun 1999, beserta serangkaian Peraturan Pemerintah, mencoba
memberikan alternatif format otonomi daerah yang baru.Ini terlihat dari
adanya kesadaran bahwa ”pembangunan di daerah” tidak identik dengan
”pembangunan daerah”. Perubahan struktural yang layak di catat berkat
UU ini adalah pelaksanaan otoda secara utuh dan luas di kabupaten dan
kota, sedang provinsi hanya memiliki otonomi daerah terbatas.
Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun
1999, sumber keuangan daerah baik propinsi, kabupaten, maupun
kotamadya menurut UU nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Asli Daerah (PAD).
2. Bagi hasil pajak dan non pajak.
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II
4. Pinjaman daerah.
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu.
6. Lain-lain penerimaman daerah yang sah.
Desetralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan
wewenangan dari pemerintah pusat ke level pemerintah yg ada di
bawahnya di bidang penerimaan anggaran atau keuangan. Oleh karena
itu, makna desentralisasi fiskal di bidang keuangan kepada
(31)
6
sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.
Suatu ekonomi ruang yang berada dibawah suatu administrasi
tertentu seperti satu propinsi, kabupaten, desa dan sebagainya. Daerah
menurut pengertian ini disebut daerah administrasi atau daerah
perencanaan. Konsep daerah berdasarkan administarsi pemerintah
biasanya terkait pada sejarah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang, sehingga tidak mudah diubah, maka daerah administrative di
Indonesia terbagi atas daerah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
kelurahan/desa, dan lingkungan/dusun. Maka dari ini propinsi,
kabupaten, kecamatan, kelurahan, lingkungan yang mandiri dan tidak
mandiri akan terlihat jelas dari perkembangan prencanaan
pembangunannya. Jika membahas perencanaan pembangunan
diperlukan tindakan dari pemerintah yang lebih praktis dan mudah
dengan cara meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan cara
memberdayakan rakyat atau mengembangkan potensi yang ada seperti
potensi budaya, obyek wisata serta industri rumah tangga yang banyak
ragamnya dan selama ini sepertinya dibiarkan berjalan sendiri, dan
(32)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Bagian ini berisikan tentang hasil penelitian mengenai pendapatan asli daerah yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti:
1. Sophiayani (1997 : 90), dengan judul penelitian “ Implementasi
pembangunan Daerah Tingkat I Dalam Kaitan pengembangan Perwilayahan Pembangunan di satuan Wilayah Pembangunan VII
Madiun, dengan menggunakan analisa Locationt Quotient dan indeks
Fungsional Wilkinson dapat di tarik kesimpulan : Pertama, sektor pertanian secara umum sektor ini menjadi corak bagi perekonomian seluruh daerah dan berperan sangat menonjol terhadap PDRB di daerah –
daerah tingkat II se-Satuan Wilayah Pembangunan VII Madiun (IF ≥
0,33). Kedua, sektor Perdagangan, hotel dan restoran secara umum menjadi corak bagi perekonomian seluruh Daerah Tingkat I di Satuan Wilayah Pembangunan VII Madiun ( IFS ≥ 0,33 0.
2. Mohammad Riduansyah (2003 ) dengan judul “Konstribusi Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah.” Dengan menggunakan location Quatient dapat disimpulkan: pertama total kontribusi komponen pajak daerah terhadap APBD dalam kurun waktu tahun anggaran 1993/1994-2000.
(33)
9
Kontribusi terbesar terhadap total penerimaan APBD diberikan oleh pajak hotel dan restaurant serta pajak hiburan. Kedua kontribusi komponen retribusi daerah terhadap total penerimaan APBD dalam kurun waktu tahun anggaran 1993/1994-2000. Kontribusi retribusi terhadap total penerimaan APBD diberikan oleh retribusi pasar dan retribusi terminal. Dari data yang diperoleh, terlibat bahwa kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap penerimaan APBD pemerintah daerah kota Bogor sangat fluktuatif. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kiranya perlu bagi pemerintah daerah Bogor untuk memperhatikan peluang yang ada. Langkah ini merupakan bentuk inovasi yang baik disamping tentunya mengintensifkan pelaksanaan penarikan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah diberlakukan sebelumnya.
3. Fuad (2004 : IX) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah di Jawa Timur”. Dari hasil penelitian melalui analisis regresi secara simultan variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dengan F hitung = 112,874 > F tabel = 3,59 dengan menggunakan Level of Signifikant () sebesar
0,05. Sedangkan dari uji secara parsial menggunakan uji t dengan 2
= 0,025, sehingga dapat diketahui variabel bebas produk Domestik Regional Bruto (PDRBP (X1) berpengaruh secara nyata terhadap variabel
terikat dengan thitung = 2,613 > ttabel = 2,201. Untuk variabel bebas jumlah
(34)
disebabkan karena kenaikan jumlah penduduk yang tidak diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup daripada membayar pajak dimana pajak adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah, sedangkan variabel pembangunan (X3) diperoleh thitung = 2,275 > ttabel = 2,201 yang berarti
bahwa pengeluaran pembangunan berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah.
4. Sari (2006:X) dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten Lamongan” dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Hasil analisis data menunjukkan bahwa variable bebas secara simultan berpengaruh nyata terhadap pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lamongan. Hal ini diketahui dari uji F, yaitu diperoleh Fhitung = 117,80 +
Ftabel = 3,35% secara parsial menunjukkan investasi, pengeluaran
pemerintah dan Pendaptan domestic regional Bruto (PDRB) berpengaruh nyata terhadap pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lamongan. Dimana t hitung untuk variable investasi = 5,897 > t tabel (2,201) t hitung untuk
pengeluaran pemerintah = 4,459 > ttabel (2,201) dan t hitung untuk variable
PDRB = -2,207 < + t table )-2,201), sedangkan jumlah tenaga kerja sector
Industri tidak berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Lamongan, dimana t hitung yang di hasilkan -0,098 < t table (2,201). Hasil
analisis dengan r2 parsial menunjukkan bahwa variable investasinya
berpengaruh dominant terhadap pendapatan asli daerah (y) di kabupaten Lamongan.
(35)
11
5. I Wandana (2006:X) dengan judul “Analisis beberapa factor yang
mempengaruhi pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten Gresik” dari hasil penelitian disimpulkan bahwa :
Melalui analisis regresi linier berganda dapat diperoleh persamaan regresi dengan menggunakan uji regresi secara simultan. Variable bebas berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan Fhitung =
18,946 > Ftabel = 3,48 dengan menggunakan level of significant (x)
sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t
dengan penduduk (x1) tidak berpengaruh secara nyata terhadap
pendapatan asli daerah di Kabupaten Gresik (Y) dengan thitung = 0,040 <
ttabel = 2,220 (untuk inflasi variabel bebas inflasi (x2) diperoleh thitung =
-0,622 > t table = -2,228 sehingga secara parsial inflasi tidak berpengeruh dan secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gresik untuk variabel jumlah tenaga kerja (x3) diperoleh thitung = 3,833 > ttabel =
2,228 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Gresik. Untuk variabel produk Domestik Regional Bruto (xy) di ketahui t hitung =
2,665 > t table = 2,220 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa
produksi domestic regional bruto berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan Asli daerah di Kabupaten Gresik.
(36)
2.2 Landasan teori
2.2.1 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut UU No.5 tahun 1974, desentralisasi adalah suatu perpindahan jasa administrasi dari pemerintah pusat atau dari suatu pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah untuk menjadi jasa regional.
Desentralisasi sering mengandung arti apapun juga sesuai dengan orang yang menggunakan istilah tersebut untuk kepentingannya sendiri Bird(1993). Dalam Khusaini,(2006).
Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada dibawahnya. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrative dan desentralisasi fiskal. Dalam Khusaini,(2006).
Desentralisasi berarti memberikan sebagaian dari wewenang pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab suatu daerah, misalnya :
a. Urusan umum dan pemerintahan
(37)
13
Jadi desentralisasi merupakan sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke level pemerintah daerah.
Dasar dari inisiatif seperti ini adalah desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ketingkat pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat.
Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya di atau atau dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dengan terjadinya pelimpahan sebagaian kewenangan terhadap sumber-sumber penerimaan Negara kepada pemerintahan di daerah, di harapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin, pelayanan public, dan meningkatkan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya.
Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintesifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan pengeseran beberapa tanggung jawab terhadap (revenue) dan atau pembelanjaan (expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang
(38)
pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan alokasi atas pengeluaran sendiri.
Desentralisasi fiskal terutama di maksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-faktor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong efesiensi sector public, juga akuntabilitas public, dan transportasi dalam penyediaan jasa public serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis (Demelo, 2000)
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :
a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan
pengawasan.
b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan
dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak.
Tujuan peningkatan desentralisasi adalah untuk mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pelayanan public dengan menggabungkan kebutuhan dan kondisi local yang sekaligus untuk mencapai obyektifitas pembangunan sosial, ekonomi pada tingkat daerah dan nasional, peningkatan perencanaan, pelaksanaan dan anggaran pembangunan
(39)
15
sosial dan ekonomi diharapkan dapat digunakan dengan lebih efektif dan efesien. Untuk memenuhi kebutuhan local.
Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut UU No.22 tahun 1999 mencakup paling tidak empat hal,yaitu:
Pertama, memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi artinya mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Kedua, otonomi yang nyata, artinya daerah punya keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada, dibutuhkan tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Ketiga, otonomi yang bertanggung jawab, berarti sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam pemberian pelayanan kepada public dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat daerahnya.
Keempat, otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas, yaitu (a) kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan yang belum dilaksanakan oleh kabupaten/kota (c) kewenangan lainnya menurut PP No.25 tahun 2000. Sedangkan asas dekonsentrasi diberikan
(40)
kewenangan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Asas tugas pembantuan adalah pemberian kewenangan oleh pemerintah kepada daerah dan desa.
Desentralisasi saat ini telah menjadi perhatian pokok dan merupakan fenomena bagi Negara-negara di dunia, baik di Negara berkembang maupun di Negara-negara maju. Desentralisasi seakan menjadi suatu resep atas kebijakan-kebijakan yang dapat mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi suatu Negara. Negara-negara di eropa timur dan tengah saat ini banyak mengalami proses transisi dalam membenahi sistem keuangan. Pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Bird, ebel, dan wallich, 1995)
Perhatian kepada Desentralisasi Fiskal sudah demikian mengglobal saat ini banyak Negara yang merubah tata pemerintahannya dari sentralistik menuju desentralistik, di antaranya adalah Meldova (IMF, 1999), Uganda (Livingstone dan chalton, 2001) Indonesia (Boedjonegoro dan Asanuma, 2000). Filipina (Eatan, 2001), da Afrika Selatan (Ahmad, 1998) dalam Khusaini,2006
2.2.1.1 Sejarah Desentralisasi Fiskaldi Indonesia
Sejarah perkembangan sistem tata pemerintah di Indonesia telah mengalami pasang surut mengikuti irama rezim yang sedang berkuasasaat itu. Sejak pemerintahan Republik Indonesia berdiri terdapat beberapa Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang
(41)
17
telah ditetapkan silih berganti untuk mencari bentuk dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu, sampai tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnya kekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas kekuasaan pusat dan merebaknya gerakan separatisme di Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat hingga tahun 1956.
(42)
Tabel 2.1
Perjalanan Desentralisasi di Indonesia
Periode
Konfigurasi
Politik UU Desentralisasi
Hakikat Desentralisasi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) Demokrasi
UU No. 1 Tahun 1945
UU No. 22 tahun 1948
Otonomi luas
Pasca
Kemerdekaan (1950-1959)
Demokrasi UU No. 1 tahun 1957 Otonomi Luas
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Otorotarian
Perpres No.6 tahun 1959
UU No. 18 tahun 1965
Otonomi terbatas
Orde Baru
(1965-1998) Otorotarian UU No. 5 tahun 1974 Sentralisasi
Pasca Orde Baru(1998-sekarang)
Demokrasi
UU No. 22 Tahun 1999
UU No. 25 tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2004
UU No. 33 tahun 2004
Otonomi Luas
(43)
19
Sesuai UU No.32 tahun 2004, daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter, dan fiskal nasional serta agama. Dengan pembagian kewenangan / fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di daerah di laksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentasi, dan tugas pembantuan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun
kabupaten/kota.
b. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten/kota.
c. Departemen dalam Negeri menentukan daerah penghasil sumber
daya alam antara provinsi dan kabupaten/kota.
d. Memuat pembagian hasil sumber daya alam antara provinsi dan
kabupaten/kota.
e. Daerah tidak dapat secara langsung mengajukan pinjaman hutang
luar negeri tetapi daerah dapat melakukan pinjaman dari pemerintah daerah lain.
f. Mengatur tentang pemilihan langsung kepala daerah/wakil kepala
daerah.
(44)
2.2.1.2 Indikator Desentralisasi Fiskal
Dalam membahas mengenai indicator desentralisasi fiskal, terdapat tiga variable yang merupakan reprerensi desentralisasi fiskal di Indonesia, ketiga variable tersebut adalah sebagai berikut:
a) Desentralisasi Pengeluaran
Variable didefiniskan sebagai rasio pengeluaran total. Masing-masing kabupaten/kota (APBD) terdapat total pengeluaran pemerintah (APBN) (Kerk dan Waller, 1997, zhang dan zou, 1998). Hal ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hasil study yang dilakukan Zhang dan Zou (1998), menunjukkan bahwa variable ini mempunyai pengaruh negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mengimplementasikan bahwa desentralisasi fiskal gagal mendorong pertumbuhan ekonomi di China, hal ini mungkin merefleksikan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan investasi di sector infrastruktur. Sementara studi yang dilakukan oleh Phillips dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negative desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada Negara-negara maju. Dan mereka gagal menjelaskan efek desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang.
b) Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten atau kota (APBD) terhadap
(45)
21
total pengeluaran pembangunan Nasional (APBN) (Zhang dan Zou, 1998). Variabel ini menunjukkan besaran relative pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, variable ini juga mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sector public atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variable ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah local dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor public.
c) Desentralisasi Penerimaan
Variable ini didefenisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD) tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah (Phillips dan Woller, 1997). Variable ini mengekspresikan besaran relative antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
(46)
Tabel 2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 – 10,00 Sangat Kurang
10.01 - 20.00 Kurang
20,01 - 30-00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup
40,01 – 50,00 Baik
50,00 Sangat Baik
Sumber : Fisipol UGM ,1991
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom itu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,(Syamsi 1986:199) menegaskan beberapa ukuran :
1. Kemampuan struktural organisasinya.
Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung segala aktifitasnya dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya.jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah.
Aparat Pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian moral disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan.
(47)
23
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.
Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah.
Pemerintah Daerah Harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dananya apa saja, apakah PAD atau sebagian dari subsidi Pemerintah pusat.
2.2.1.3 Keuntungan dan Kerugian Desentralisasi
a) Keuntungan Desentralisasi
Sistem penerimaan yang terdesentralisasi dapat dilihat melalui aspek ekonomi, administrative, dan politik. Dari sisi ekonomi, desentralisasi mempunyai implikasi bahwa program-program pembangunan pemerintah dalam bidang ekonomi lebih diarahkan pada kepentingan local dan disesuaikan dengan lingkungan daerah setempat. Hal ini terjadi karena penguasa local dengan jelas lebih knowledge able
tentang keadaan local daripada penguasa pusat yang jauh dari mereka.
Dari sisi administrative, decentralization dapat meningkatkan sistem administrasi di daerah, karena pemerintah local dapat mengumpulkan informasi dan mendistribusikan kepada masyarakat secara efektif.
(48)
Dari sisi politik, desentralisasi dapat meningkatkan demokrasi melalui partisipasi masyarakat secara langsung, mendidik masyarakat tentang proses pengambilan keputusan dan meningkatkan persatuan dalam Negara yang multicultural.
(http://www.worldbank.org/publicsector/seminar2001.ppt).
b) Kerugian Desentralisasi
Ada masalah potensial lain yang berkaitandengan desentralisasi, beberapa penelitian telah menemukan bahwa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi bertendensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan juga instabilitas makro ekonomi.
Pelajaran dari pengalaman internasional berkaitan dengan desentralisasi:
Pertama, desentralisasi dapat memperburuk suhu politik antara
daerah jika terdapat perbedaan pendapat (revenue capacity) yang
mencolok antar daerah.
Kedua, munculnya masalah yang berkaitan dengan tax assignment dan expenditure.
Ketiga, terdapat masalah pengawasan pengeluaran pemerintah, karena sistem desentralisasi lebih complicated daripada sistem yang terpusat .Dethier( 2000) dalam Khusaini,(2006)
(49)
25
Bahaya dari sistem decentralization adalah mulai dari mismanagement macro ekonomi, korupsi dan melebarkan kesenjangan antara daerah yang kaya dan miskin (Huther dan Shah (1998))
Decentralization akan melebarkan disparitas regional dalam pengeluaran sosial (social expenditure) jika pemerintah local bertanggung jawab untuk pembiayaan dan pengeluarannya (azfar, et.ali, 1999)
2.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang diterima oleh seorang atau rumah tangga dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Pendapatan terdiri dari upah atau penerimaan kerja, pendapatan dari kekayaan seperti sewa bunga atau devidan serta pembayaran atau penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asumsi pengangguran (Nordhaus, 1993 : 58)
Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan. Jadi pengertian dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi-potensi keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan tanggung jawabnya (Anonim, 1999 : 20).
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang berasal dari sumber-sumber pendapatan daerah dan pengolahan kekayaan daerah
(50)
(Anonim,1999:79).
Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan.
Jadi dapat disimpulkan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan tersebut, semakin tinggi pendapatan asli daerah maka semakin tinggi kualitas otonominya.
Peraturan pemerintah No.5 tahun 1975 pasal 12 sampai dengan pasal 20 yang penyusunannya masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang disesuaikan dalam undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah otonomi pasl 86. Pendapatan aerah diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1999 pasal 79 sampai dengan pasal 86.
Menurut Basri (1999 : 112) adapun langkah-langkah nyata yang harus ditempuh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan Asli daerah adalah:
1. Mengenali dengan baik potensi daerah sendiri dan menggalang
kemampuan untuk menguatkan potensi tersebut. 2. Menitikberatkan kepada penerimaan yang besar saja.
(51)
27
pendapatan pencapaian optimalisasi kapasitas produksi.
4. Memperhitungkan segala sesuatunya dari tinjauan yang lebih
makroskopis.
5. Peningkatan kemampuan apratur Dinas Pendapatan Daerah yang
disertai penyempurnaan administrasi dan sistem akuntansi.
6. Mengefektifkan pengenaan local user changes.
Selama ini, PAD dalam pembiayaan kebutuhan daerah disebagian besar daerah kurang dari 10% dan sangat bervariasi antar daerah dari 10% hingga 50%. Penguasaan sumber-sumber penerimaan pajak oleh pemerintah pusat pada dasarnya dengan administrasi pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi, dan distribusi dari pajak. Hal ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah pusat untuk memiliki basis pajak-pajak yang besar.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah
kewenangan perpajakan (taxing power) daerah yang sangat terbatas
yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD. Keadaan ini kurang mendukung akuntabiitas dari penggunaan anggaran daerah dimana keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya.
(52)
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah
Pada umumnya fungsi-fungsi yang berifat nasional berada ditangan pemerintah pusat, sedang sedang fungsi-fungsi yang bersifat lokal biasanya diserahkan kepadala pemerintah daerah, dengan tujuan untuk mendekatan pelayanan kepada masyarakat seperti halnya dengan pendidikan dasar, pembangunan jalan lokal dan sebagainya. Berdasarkan asas desentralisasi hal-hal yang menyangkut kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan kegiatan-kegiatan pemerintah daerah menjadi tugas dan wewenang pemerintah daerah. Keuangan daerah dengan adanya penyelenggara fungsi-fungsi pemerintah, yang dilaksanakan dalam dua atau lebih tingkat pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi. Dengan demikian pemerintah perlu memiliki sumber-sumber keuangan agar hal-hal tersebut di atas dapat diselenggarakan sebaik mungkin.
Sebelum dikemukakan mengenai sumber pendapatan daerah akan dijelaskan mengenai pengertian. Pendapatan daerah pada umumnya. Balasan pengertian pendapatan daerah secara tegas sebelum ada yang memutuskan.
Pengertian daerah menurut undang-undang No.5 tahun 1974 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunya batasi wilayah tertentu yang berhak, berwenang sendiri. Selanjutnya untuk dapat meningkatkan sumber pendapatan daerah, maka pemerintah daerah harus dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, baik secara
(53)
29
pengelolaannya maupun penggunaannya hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Manullang: bagi kehidupan suatu Negara masalah keuangan Negara sangat penting. Makin baik keuangan Negara, maka makin baik pula kedudukan pemerintahan dalam Negara tersebut. Sebaliknya kalau keuangan suatu Negara kacau, maka pemerintah akan menghadapi berbagai macam kesulitan dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang diberikan kepada Negara. Demikian juga bagi suatu pemerintah daerah keuangan merupakan suatu masalah penting bagi daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya (Kaho, 1988 : 61).
Pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa posisi keuangan yang cukup. Dan keuangan inilah salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri (Kaho, 1988 : 123). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syamsi (1988 : 198) yang menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Keuangan daerah mempunyai posisi yang sangat penting dan perlu disadari oleh pemerintah. Alternatif cara mendapatkan keuangan yang memadai telah dipertimbangkan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan resmi undang-undang No.22 tahun 1999 sebagai berikut. Agar daerah dapat mengurus sendiri, maka perlu diberikan
(54)
sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberiken kepada daerah, maka kepada daerah diwajibkan untuk menjadi sumber-sumber keuangan sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sumber-sumber keuangan daerah dapat diperoleh melalui berbagai cara yaitu:
1. Pemerintah daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang telah disetujui oleh pemerintah pusat.
2. Pemerintah daerah dapat mengambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut oleh daerah tersebut.
3. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar, bank atau pemerintah pusat.
4. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat (Kaho, 1988 : 125).
Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun1999, sumber keuangan daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU Nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan asli daerah (PAD). 2. Bagi hasil pajak dan non pajak.
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II.
4. Pinjaman daerah.
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu.
(55)
31
Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 tahun1999 dan
pasal 3, 4, 5 dan pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah.
Pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan, terdiri atas:
a. Hasil pajak daerah. b. Hasil restribusi daerah. c. Hasil perusahaan daerah.
d. Penerimaan lain-lain dan pendapatan dinas-dinas. 2. Dana Perimbangan, terdiri dari:
a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB). b. Dana alokasi umum (DAU).
c. Dana alokasi khusus (DAK)
3. Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), daerah yang dapat melakukan pinjaman, baik dari dalam negeri (pusat dan lembaga keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan pemerintah pusat, atau dengan penerbitan obligasi) dan dari luar negeri, dengan persetujuan pemerintah pusat. Ketentuan penggunaan pinjaman
(56)
daerah adalah sebagai berikut:
a. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat menghasilkan penerimana untuk pembayaran pinjaman yang bersangkutan, serta memberikan manfaat bagi pelayanan umum.
b. Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas daerah.
4. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Pendapatan daerah di Indonesia diklasifikasikan sebagai pendapatan rutin dan pembangunan, klasifikasi ini disesuaikan dengan jenis pembiayaan kegiatan dari pemerintah daerah. Pendapatan rutin berasal dari pendapatan asli daerah, subsidi dari pemerintah pusat dan pendapatan rutin lainnya. Pendapatan asli daerah meliputi pendapatan yang berasal dari pajak dan bukan pajak.
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan Pendapatan Daerah
Pengertian mengenai pendapatan asli daerah selama ini secara tegas belum ada yang merumuskan. Berikut ini batasan pengertian pendapatan asli daerah sendiri oleh Ibnu Syamsi (1988 : 213) yaitu, pendapatan asli daerah sendiri adalah: pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah tersebut. Semakin tinggi pendapatan asli daerah, maka semakin tinggi kualitas otonominya.
(57)
33
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal
Menyebabkan rendahnya PAD sehingga terjadi ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat.
Ada lima penyebab rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat:
a. Kurangnya berperannya perusahaan daerah sebagai sumber
pendapatan daerah.
b. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan (semua
pajak utama yang paling produktif dan buoyant, baik pajak langsung dan tak langsung ditarik oleh pusat).
c. Kendati pajak cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa
diandalkan sebagai sumber penerimaan. Pajak daerah saat itu berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak saja. Davey, (1979), dalam Kuncoro, (2004).
d. Bersifat politis ada kekhawatiran apabila daerah mempunyai
sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya dis integrasi dan separatisme.
e. Adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam
pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
(58)
Alternative solusi yang ditawarkan adalah :
a) Meningkatkan peran BUMN.
b) Meningkatkan penerimaan daerah.
c) Mengubah pola pemberian subsidi.
d) Meningkatkan pinjaman daerah (kuncoro et.al, 1994.
2.2.3. Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)
Bagian pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.
1. Bagi hasil pajak.
a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian:
1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota, dan 9% untuk biaya pemungutan.
3) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan
kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
(59)
35
a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh
daerah kabupaten dan kota, dan
b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
b). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut:
1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2) 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan di
salurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota.
3) 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten/Kota.
4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib
(60)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:
a) 60% untuk kabupaten/kota.
b). 40% untuk propinsi, sedangkan yang diterima pemerintah pusat sebesar 80 %.
1. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
A. Kehutanan.
1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH).
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi.
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil.
(61)
37
2. Dana reboisasi
Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi adalah 40% untuk daerah dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan.
b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil.
c) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
kabupaten/kota. lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%. B. Pertambangan Umum.
1. Iuran Tetap (Land-rend)
Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan. b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil.
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%. 2. Iuran Eksplorasi dan Iuran eksploitasi (Royalty)
Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan. b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil.
c) 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.
(62)
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%.
C. Perikanan.
Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan:
a. 20% untuk pemerintah pusat.
D. Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 84,5% untuk pemerintah pusat.
2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:
a). 3% untuk propinsi yang bersangkutan.
b). 6% untuk kabupaten/kota penghasil.
c). 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam propinsi yang bersangkutan.
(63)
39
d). 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
E. Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan :
1. 69.5% untuk pemerintah pusat.
2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan.
b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil.
c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
F. Pertambangan Panas Bumi.
Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
(64)
1. 20% untuk pemerintah pusat.
2. 80% unuk daerah, dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan.
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil.
c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan.
2.2.4. Sumbangan Daerah
Sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum
Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No. 25/1999 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke kabupaten dan kota yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus Subsidi Daerah Otonom dan dana Inpres yang diperkenalkan pada era Soeharto.
DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua
kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula
(65)
41
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting
alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan
penyediaan pelayanan publik antar Pemda di Indonesia. UU No.25/1999 pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya dalam bentuk DAU.
Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003,dalam Kuncoro,2004).
Komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.
1. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
2. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak, dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh Daerah.
(66)
yang diatur dalam PP 84/2001 sebagai perubahan atas PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan (digunakan dalam perhitungan DAU TA 2002). Selain dengan formula Kesenjangan Fiskal, perhitungan DAU juga ditentukan dengan menggunakan Faktor Penyeimbang (FP) berupa Alokasi Minimum (AM).
Ditetapkan dalam rapat Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah tanggal 10 Juli 2002, bahwa penyempurnaan formula dan perhitungan DAU dilakukan dengan:
1. Meningkatkan akurasi data dasar yang digunakan.
2. Mengurangi porsi DAU dalam perhitungan AM dan memperbesar porsi DAU yang dialokasikan untuk
mengurangi kesenjangan keuangan antar daerah
(perhitungan DAU dengan formula dalam PP 84/2001).
3. Mengupayakan untuk tetap mempertahankan bahwa tidak ada daerah yang menerima DAU TA 2003 kurang dari atau minimal sama dengan DAU plus Dana Penyeimbang TA 2002. Oleh karena itu, diberikan tambahan dana melalui Dana Penyeimbang TA 2003.
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No.25/1999, plafon DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari PDN dalam APBN. Dalam praktek dirinci menjadi:
(67)
43
1. Dibagi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan rasio 10% Provinsi dan 90% Kabupaten/Kota. (Pasal 7 ayat (2) UU No.25/1999).
2. Dalam implementasinya, plafon DAU untuk provinsi (10%) lebih kecil dari kebutuhan DAU-nya. Kenyataannya, plafon DAU TA 2002 Provinsi (10%) sebesar Rp. 6.911,41 miliar ternyata lebih kecil dibandingkan DAU Provinsi TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi yang mencapai Rp. 7.465,46 miliar.
Untuk mengkompensasi kekurangan, dana ditambahkan melalui Dana Penyeimbang. Dengan asumsi terdapat tambahan dana untuk DAU melalui Dana Penyeimbang, sebenarnya kebutuhan plafon DAU lebih besar dari 25% PDN netto dalam APBN.
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus
DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain.
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi.
(68)
3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir kepulauan tidak memadai.
4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
UU No. 25/1999 pasal 8 menggariskan bahwa kebutuhan khusus yang dapat dibiayai dengan DAK antar lain kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Empat puluh persen dari penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. DAK diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah dengan penyediaan Dana Pendamping 10% yang berasal dari penerimaan umum APBD (kecuali untuk DAK Reboisasi). Untuk APBN Tahun Anggaran 2001 dan 2002, DAK hanya berasal dari Dana Reboisasi (DR) masing-masing dengan jumlah Rp 700,6 miliar dan Rp 817,3 miliar. APBN Tahun Anggaran 2003 dianggarkan Rp 2.616,6 miliar yang terdiri dari DAK-DR sebesar Rp 347,6 miliar dan DAK non DR sebesar Rp 2.269 miliar.
Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut: Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang
(69)
45
a) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari kegiatan yang diajukan (kecuali untuk DAK dari Dana Reboisasi).
b). Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri Teknis /Instansi terkait.
Kegiatan DAK berdasarkan PP 104/2000 meliputi:
a. DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau
peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang.
b. Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu membiayai
pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiyai pelaksanaan pemerintahan dan pembagunan daerahnya, walaupun pengukurannya kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat macam pola hubungan yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan konsep pola “Hubungan Situasional” yang dikemukakan oleh heresy dan Blanchard (halim,2004:188), yaitu :
(70)
1. Pola Hubungan Instruktif
Pola hubungan ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah tersebut (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).
2. Pola Hubungan Konsultatif
Pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.
3. Pola Hubungan Partisipatif
Pola hubungan ini peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat tingkat kemandirian daerah yang bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
4. Pola Hubungan Delegatif
Pada pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dalam melaksanakan otonomi. Adanya potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dan tingkat kemandirian daerah (dari sisi keuangan) dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:
(71)
47
Tabel 2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi
0-25 25-50 50 - 75 75-100
Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif
(Halim,2004:189 )
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan derajat otonomi fiskal menunjukan kepada kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, sebagai salah satu indikator kemampuan otonomi daerah tingkat kabupaten atau kota.Salah satu ukuran yang di gunakan untuk mengukur derajat otonomi fiskal daerah adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD tanpa sumbangan dan bantuan pemerintah pusat serta tercemin melalui angka Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu proposi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat.
2.2.6 Perwilayahan
Pembangunan ekonomi selain dilihat dari segi sektoralnya juga dilihat dari segi perwilayahannya. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola semua sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
(72)
antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut adapun tujuan utama dari pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Sehinga perlu diperhatikan juga aspek ruang (space) atau lokasi dalam pelaksanaannya, dengan demikian pembangunan ekonomi selain bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan juga untuk meningkatkaii target pemerataan (Arsyad, 1999 : 109).
Prioritas lokasi pembangunan dilakukan dengan melihat kondisi fisik alami dan social ekonomi penduduknya, sehingga diusahakan laju pertumbuhan dan pengembangan daerah dapat berjalan secara seimbang, sedangkan perwilayahan pembangunan membagi Jawa Timur menjadi sembilan sektor wilayah pembangunan dan masing-masing pusat pengembangannya. Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat ekonomi Jawa Timur dan Kawasan Indonesia Timur.
Masing-masing Satuan Wiiayah Pembangunan ( SWP ) tersebut antara lain adalah sebagai:
1. SWP I meliputi Gerbang Kertosusila, meliputi Kota Surabaya dan
Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, dan Gresik dengan pusatnya di Surabaya.
(73)
49
Sumenep, Pamekasan dan Sampang dengan pusatnya di Sumenep. 3. SWP III meliputi Banyuwangi sekaligus sebagai pusatnya.
4. SWP IV meliputi Jember dan sekitarnya, meliputi Kabupaten : Jember, Bondowoso dan Situbondo serta Jember sebagai pusatnya.
5. SWP V meliputi Probolinggo - Lumajang dan pusatnya
Probolinggo.
6. SWP VI meliputi Malang - Pasuruan, dengan pusatnya di Malang.
7. SWP VII meliputi Kediri dan sekitarnya, meliputi Kota : Kediri
dan Blitar serta Kabupaten Kediri, Tulungagung dengan pusatnya di Kodya Kediri.
8. SWP VIII meliputi Madiun dan sekitarnya, meliputi Kota /
Kabupaten Madiun serta Kabupaten Ponorogo, Magetan, Ngawi dengan pusatnya di Kota Madiun.
9. SWP IX meliputi Tuban dan Bojonegoro, meliputi Kabupaten
Tuban dan Bojonegoro dengan pusatnya di Tuban.
Daerah penelitian difokuskan pada Satuan Wilayah Pembangunan I Jawa Timur, karena salah satu daerah yang tergabung dalam SWP I adalah ibukota propinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya. Di Surabaya banyak kebijakan-kebijakan strategis yang dibuat dan secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi daerah lainnya. Sehingga mampu menggerakkan banyak sektor di tiap wilayah Kabupaten / Kota di Jawa Timur terutama wilayah yang tergabung dalam SWP IIV, proses pembangunan di SWP I sudah dapat berjalan
(74)
dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan, proses pembangunan dapat dilanjutkan ke SWP yang lain dari II sampai dengan SWP IX, setelah pembangunan antar wilayah tersebut membuahkan hasil, maka secara otomatis akan tercipta pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh di Jawa Timur.
Keberhasilan pernbangunan ekonomi suatu daerah diukur dengan melihat besarnya nlai PDRB, yang menunjukan total nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Jumiah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mempengaruhi besarnya PDRB perkapita. Semakin besar jumlah penduduknya maka PDRB'perkapita semakin kecil.
2.3 Kerangka Pikir
Satuan wilayah pembangunan merupakan gabungan dari beberapa kabupaten/kotamadya Satuan wilayah pembangunan di Jawa Timur terbagi menjadi 9 satuan wilayah pembangunan. Dalam penelitian kali ini yang dijadikan obyek adalah. Satuan Wilayah Pembangunan VII untuk menentukan daerah mana yang mandiri sebagai prioritas pembangunan yang bertujuan untuk memicu pertumbuhan ekonomi di daerah lainnya dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan pada satuan wilayah pembangunan VII.
(75)
51
GAMBAR KERANGKA PIKIR
SWP VII 1. Kota Kediri 2. Kota Blitar
3. Kabupaten Kediri
4. Kabupaten Tulungagung
Indek PAD Indek BHPBP
HIPOTESIS
Indek SB
Sumber:peneliti.
TIDAK MANDIRI MANDIRI
(76)
2.4 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dengan melihat latar belakang, hasil-hasil penelitian terdahulu dan landasan teori yang ada, maka dapat ditarik hipotesa sebagai berikut:
1. Diduga, ada peningkatan kemandirian Fiscal pada SWP VII (Kota Kediri,
Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung) ?
2. Diduga, ada perbedaan kemandirian Fiscal antar daerah pada SWP VII
(77)
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Dalam menganalisis sektor-sektor yang akan dijadikan sektor
unggulan agar dapat terarah pada pokok permasalahannya baik itu untuk uji Location Quotient maupun untuk Index Desentralisasi Fiscal, maka definisi Operasional Variabel adalah sebagai berikut:
a). Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan pemerintah daerah yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah tersebut yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perundang-undangan, yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaanmilik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah, serta lain-lain PAD yang sah.
b). Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) adalah bagian
pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.
c). Subsidi/Bantuan (SB) adalah sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang berupa Dana Alokasi Umum secara keseluruhan yang secara garis besar bersumber dari total pendapatan daerah ditambah dengan penerimaan pembiayaan.
(78)
3.2 Jenis dan Sumber Data 3.2.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang diambil dari tahun 2009 sampai dengan 2010.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data diperoleh dari Kantor Statistik Propinsi Jawa Timur, Perpustakaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan perpustakaan-perpustakaan lainnya baik itu milik lembaga pendidikan ataupun pemerintah daerah Jawa Timur.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode:
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca buku-buku literatur sebagai bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
3.4Teknik Analisis
3.4.1 Index Desentralisasi Fiskal
Index ini dapat dipergunakan untuk menganalisa kemandirian suatu daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan keuangan dari daerahnya sendiri. Rasio yang digunakan untuk mengukur index. Dalam analisis ini ada dua macam yaitu:
(79)
55
1. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total
Pendapatan Daerah (TPD)
2. Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) Dari
index ini dapat dilihat seberapa besar daerah dapat memenuhi penerimaannya.
Penerimaan daerah terdiri atas 5 pos yaitu Bagian Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, Bagian Pendapatan Asli Daerah, Bagian Dana Penimbangan, Bagian Pinjaman Pemerintah Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.(Reksohadiprodjo,2001:155) :
i. 100 ) Daerah(TPD Penerimaan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan % ii. 100 ) Daerah(TPD Penerimaan Total (BHPBP) Daerah untuk Pajak Bukan dan Pajak Hasil Bagi % iii. 100 ) Daerah(TPD Penerimaan Total (SB) Daerah Sumbangan % Dimana :
SB adalah Sumbangan Daerah atau biaya yang di peroleh dari DAK (Dana Alokasi Khusus) di tambah DAU (Dana Alokasi Umum ).
SB= DAK + DAU
TPD adalah Total penerimaan Daerah yang di peroleh dari penjumlahan PAD ,BHPBP,dan SB.
(80)
Dengan TPD = PAD + BPHPB +SB,jika hasil perhitungan meningkat maka derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian ) suatu daerah semakin menguat.
Derajat desentralisasi merupakan rata-rata rasio Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) ,rata-rata rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP )terhadap TPD ,serta rata-rata rasio Sumbangan Daerah / Bantuan (SB) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 yang di nyatakan dalam satuan persen.
(1)
78
Indek Desentralisasi Fiskal sehingga semakin baik melaksanakan otonomi daerah. Sebaliknya semakin rendah atau turun Indek Desentralisasi Fiskal,maka suatu daerah di katakan semakin kurang mampu melaksanakan otonomi daerah.
BAB V
(2)
79
Setelah di baha an disimpulkan dan
diberi saran-saran dari hasil penelitian tersebut.
5.1. Kesimpulan
lungagung, Kediri, dan Blitar mengalami ke tidak kemandirian di dalam pelaksanaan pembangunan dengan meng
angan kekuatan dan peluang daerah dalam sisi pendapatan jangka menengah dan
b. Sosialisasi secara berkelanjutan pada masyarakat tentang pentingnya partisipasi mereka bagi kelanjutan pembangunan daerah.
c. Peningkatan kapabilitas se
d. Pengawasan secara lebih optimal terhadap sistem pendapatan.
79
5.2. Saran
s dalam hasil penelitian maka ak
Di daerah kabupaten Tu
gunakan menggunakan sumber - sumber penerimaan keuangan dari daerah sendiri, hal ini terjadi karena pemerintah kabupaten Tulungagung, Kediri, dan Blitar harus melakukan konsep peningkatan pendapatan daerah secara proporsional, sebagai berikut :
a. Menyiapkan kerangka kebijakan serta piranti pengemb
jangka panjang.
(3)
80
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka berikut ini diketahui beberapa saran
ediri, dan Blitar hendaknya
aerah untuk sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut :
1. Pemerintah Kabupaten Tulungagung, K
memberikan proses perizinan yang tidak lama agar lebih banyak lagi Investor maupun pengusaha untuk menanamkan modalnya.
2. Pemerintah daerah membuat kebijakan terhadap tarif pajak d
meningkatan penerimaan pajak agar para investor tidak keluar dari daerah Tulungagung, Kediri, dan Blitar.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,1993,Garis-Garis Besar Haluan Negara,Penerbit Beringin Jaya,Semarang .
,1999,Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Penerbit Kuraiko Pratama,Bandung.
,2009,Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya. ,2010,Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di
Indonesia,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya. ,2009,Kabupaten Tulungagung Dalam Angka,Badan Pusat Statistik
Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2009,Kabupaten Kediri Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2009,Kota Kediri Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2009,Kota Blitar Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2010,Kabupaten Tulungagung Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2010,Kabupaten Kediri Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2010,Kota Kediri Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
,2010,Kota Blitar Dalam Angka,Badan Pusat Statistik Daerah Tingkat I Jawa Timur,Surabaya.
Basri, 1995, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI (Distorsing,Peluang dan Kendala),Penerbit Erlangga,Jakarta.
Bastian,2001,Manual Akuntasi Keuangan Pemerintah Daerah 2001,Penerbit BPFE ,Yogyakarta.
(5)
Dasril,Henry & Hessel,2004,Kebijakan & Manajemen Keuangan Daerah,Penerbit YPAPI,Yogyakarta
Elmi,Bchrul,2002,Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia.Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),Jakarta
Fuad,2004,Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendpatan Asli Daerah di Jawa Timur,Skripsi,Fakulias Ekonomi Universitas Pembanggunan Nasional “Veteran”Jawa Timur,Surabaya.
Ibnu Syamsi,1993, Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara ,cetakan kedua, Penerbit PT.Bina AksaramJakarta.
I Wadana,2006,Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Gresik, Skripsi,Fakulias Ekonomi Universitas Pembanggunan Nasional “Veteran”Jawa Timur,Surabaya. Kaho,Josef Riwu,2005,Prospek Otonomi Daerah,edisi pertama,Penerbit PT.Raja
Grafindo Persada,Jakarta.
Khusaini,2006,Ekonomi Publik,Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah,Penerbit BPFE UNIBRAW,Malang.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi & Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta : Penerbit Erlangga
Riduansyah, 2003, Kontribusi Pajak Daerah dan Restribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi daerah,
www.ekonomirakyat.org
Saragih,Panglima,2003,Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi,Jakarta ;Penerbit Ghalia Indonesia
Sari,2006,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD)di Kabupaten Lamongan,Skripsi,Fakultas Ekonomi Universitas Pembanggunan Nasional “Veteran”Jawa Timur,Surabaya.
Sophiayani,Rahma,1997 ,Implementasi Pembangunan Daerah Tingkat II Dalam Kaitan Pengembangan Perwilayahan Pembangunan di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VIII Madiun,Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga,Surabaya.
Sri Haryati,2006,Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Sleman,Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia ,Yogyakarta.
(6)