ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN ( SWP ) IV JAWA TIMUR.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ilmu Ekonomi

Diajukan Oleh:

STEVANI SHYEH

0711010033 /FE/ IE

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

STEVANI SHYEH

0711010033 /FE/ IE

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”

JAWA TIMUR


(3)

PEMBANGUNAN ( SWP ) IV

JAWA TIMUR

Disusun Oleh :

STEVANI SHYEH

0711010033 /FE/ IE

Telah Dipertahankan Dihadapan dan Diterima Oleh

Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi

Univeritas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada Tanggal 22 Oktober 2010

Pembimbing

: Tim

Penguji

:

Pembimbing Utama :

Ketua

Drs. Ec. Marseto, DS, MSi

Drs. Ec. Arief Bachtiar, MSi

Sekretaris

Drs. Ec. Marseto, DS, MSi

Anggota

Dra. Ec.Hj. Titik Nur. H

Mengetahui

Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur

Dr. Dhani Ichsanudin Nur, SE.MM

NIP. 030 202 389


(4)

Assalamu’ alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat

serta hidayahnya yang telah dilimpahkan sehingga penulis bisa menyelesaikan

skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu kewajiban mahasiswa

untuk memenuhi tugas dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi khususnya

Jurusan Ekonomi Pembangunan. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil

judul “ ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL SATUAN WILAYAH

PEMBANGUNAN ( SWP ) IV JAWA TIMUR ”.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan skripsi ini

masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya

kemampuan dan pengetahuan yang ada.Walaupun demikian berkat bantuan dan

bimbingan yang diterima dari Drs. Ec. Marseto, DS, MSi Selaku Dosen

Pembimbing Utama yang dengan penuh kesabaran telah mengarahkan dari awal

untuk memberikan bimbingan kepada peneliti, sehingga skripsi ini dapat tersusun

dan terselesaikan dengan baik.

Atas terselesainya skripsi ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1.

Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

2.

Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

3.

Bapak Drs. Ec. Marseto, DS, Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu

Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur,

sekaligus Dosen Pembimbing Utama dan Dosen Wali yang telah

mengarahkan serta meluangkan waktu guna membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini.


(5)

5.

Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur. Yang telah dengan iklas memberikan

ilmu dan pelayanan akademik bagi penulis dan semua mahasiswa

UPN.

6.

Keluarga tercinta yang telah sabar mendidik dan membesarkan dengan

penuh kasih sayang baik moral, material, maupun spiritual. Dan semua

keluarga besar serta teman-teman semuanya Semoga mendapatkan

pahala yang besar dari Allah SWT.

7.

Bapak-bapak dan ibu-ibu staf instansi, dan Badan Pusat Statistik

cabang Surabaya, yang telah memberikan banyak informasi dan

data-data yang dibutuhkan untuk mengadakan penelitian dalam penyusunan

skripsi ini.

8.

Seluruh mahasiswa dari Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, serta semua pihak

yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang selalu memotivasi,

membantu, dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata yang dapat terucapkan semoga penyusunan skripsi ini

dapat berguna bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang membutuhkan,

semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Surabaya, Agustus 2010


(6)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

ABSTRAKSI ... x

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...6

1.3. Tujuan Penelitian...…...6

1.4. Manfaat Penelitian...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu...8

2.2. Landasan Teori...10

2.2.1. Desentralisasi fiskal...….8

2.2.1.1. Sejarah desentralisasi fiskal di Indonesia...14

2.1.1.2. Indikator Desentralisasi fiskal...18

2.1.1.3. Keuntungan dan kerugian ...21

2.2.2. Pendapatan Asli daerah (PAD)...24


(7)

2.2.4. Sumbangan Daerah...37

2.2.4.1. Dana Alokasi Umum...39

2.2.4.2. Dana Alokasi Khusus...40

2.2.5. Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah.42

2.2.6. Perwilayahan...45

2.3 Kerangka Pikir...47

2.4. Hipotesis...48

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel...50

3.2. Jenis dan Sumber data...51

3.2.1.

Jenis

Data...51

3.2.2.

Sumber

Data...51

3.3. Teknik Pengumpulan Data...51

3.4. Teknik Analisis...52

3.4.1. Index Desentralisasi Fiskal...52


(8)

Provinsi

Jawa

Timur...54

4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Jember...54

4.1.1.1.1. Letak Geografis...54

4.1.1.1.2. Penduduk...56

4.1.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bondowoso...56

4.1.1.2.1. Letak Geografis...56

4.1.1.2.2. Penduduk...57

4.1.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Situbondo...54

4.1.1.3.1. Letak Geografis...58

4.1.1.3.2. Penduduk...59

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian...60

4.2.1. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten

jember...60

4.2.2. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten

Bondowoso...61

4.2.3. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten

Situbondo...62


(9)

Dan Tingkat Kemandirian Daerah..…...70

4.4. Pembahasan...71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan...75

5.2.

Saran...76

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(10)

Tabel 2.1 : Perjalanan Desentralisasi Di Indonesia...16

Tabel 2.2 : Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal...20

Tabel 2.3 : Pola Hubungan Keuangan Dan Tingkat Kemandirian Daerah...44

Tabel 4.1 : Penerimaan Daerah Kabupaten Jember Tahun 2007-2008…...60

Tabel 4.2 : Penerimaan Daerah Kabupaten Bondowoso Tahun 2007-200...61

Tabel 4.3 : Penerimaan Daerah Kabupaten Situbondo Tahun 2007-2008...62

Tabel 4.4 : Rasio PAD Terhadap TPD, Rasio BHPBP Terhadap TPD

Rasio SB Terhadap TPD SWP iv JATIM Tahun 2007………...65

Tabel 4.5 : Rasio PAD Terhadap TPD, Rasio BHPBP Terhadap TPD

Rasio SB Terhadap TPD SWP iv JATImM 2008…………....…..66

Tabel 4.6 : Hasil Perhitungan Kontribusi PAD Dan Kontribusi BHPBP

Terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Desentralisasi

Fiskal (Kemandirian Fiskal Th 2007) ………...68

Tabel 4.7 : Hasil Perhitungan Kontribusi PAD Dan Kontribusi BHPBP

Terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Desentralisasi

Fiskal (Kemandirian Fiskal Th 2008)..………...69

Tabel 4.8 : Hasil Perhitungan Untuk Mengetahui Tingkat Kemandirian

Daerah

………...71


(11)

Lampiran

1.

Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Jember 2007

2.

Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Bondowoso

2007

3.

Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Situbondo

2007

4.

Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Jember 2008

5.

Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Bondowoso

2008

6.

Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Situbondo

2008


(12)

Oleh :

Stevani Shyeh

ABSTRAKSI

Dengan Diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5

tahun 1974 tentang pokok–pokok pemerintah di daerah dan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa dan Undang-Undang-Undang-Undang

No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah sebagai Pengganti Undang- Undang No. 32 tahun 1956

tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah pada 1 januari

2001 maka Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru

penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di

seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336.

Otonomi daerah yang dilasanakan sejak awal 2001 memberikan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara

proposional yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber

daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh

karena itu tumpuan dan harapannya adalah dengan cara pemerintah daerah

menggali dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penelitian ini betujuan untuk mengetahui tingkat dan perbedaan

kemandirian fiscal pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV

(Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo) pada

tahun 2007 sampai 2008 dengan menganakan analisis derajat

desentralisasi fiscal. Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa

derajat desentralisasi fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV

Jawa Timur masih sangat rendah yaitu dibawah 25% dan menpunyai pola

hubungan keuangan dengan pemerintah pusat yang bersifat instruktif, hal

ini dikarenakan persentase sumbangan daerah lebih besar daripada

persentase pendapatan asli daerah dengan bagi hasil pajak dan bagi hasil

bukan pajak, sehingga daerah –daerah tersebut dapat dikatan belum dapat

melaksanakan otonomi daerah.

Kata kunci : Pendatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan

Bagi Hasil Bukan Pajak (BHPBP), Sumbangan Daerah

(SB)


(13)

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Otonomi daerah yang dilasanakan sejak awal 2001 memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapannya adalah dengan cara pemerintah daerah menggali dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan demikian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu ketetapan yang dimaksud adalah ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah, yaitu:


(15)

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang pokok–pokok pemerintah di daerah dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.

2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai Pengganti Undang-Undang No. 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah.

Kedua Undang-Undang tersebut dijadikan acuan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda). Kebijakan otonomi daerah ini bertujuan untuk memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur pembangunan daerahnya sendiri.

Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut harus diimbangi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada dasarnya beberapa daerah mempunyai potensi untuk dapat mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya dengan cara memberdayakan masyarakat atau dengan cara mengembangkan potensi yang ada di daerah nya seperti potensi keragaman budaya, objek wisata ataupun industri rumah tangga (home industry) yang beragam, saat ini sepertinya mereka berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. (Khusaini, 2006 : 32-33)


(16)

Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Menurut United Nation Development Program (UNDP) bentuk-bentuk desentralisasi dalam era otonomi daerah adalah sebagai berikut; desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, dan desentralisasi pelayanan. (JurnalSkripsi.com, 2005)

Salah satu desentralisasi yang paling banyak disoroti dan paling banyak berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan daerah adalah desentralisasi fiskal yang merupakan bagian terpenting dalamm implementasi otonomi daerah. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan alat atau instrument pemerintah yang berperan penting dalam sistem perekonomian, yang berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas basis kegiatan ekonomi dalam berbagai sektor, dan secara khusus memperluar lapangan pekerjaan untuk menurun angka pengangguran. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya ekonomi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang dikehendakinya. Kebijakan fiskal juga sekaligus sebagai kesempatan emas untuk memberikan sinyal, baik bagi pelaku ekonomi, dunia usaha, investor, maupun yang lainnya. (JurnalSkripsi.com, 2005)


(17)

mendorong pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian dari banyak ahli, antara lain dikemukakan oleh Tiebout, Oates, Tresch, Breton, Weingast, dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al dalam Sidik (2002) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena :

1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; 2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap

kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;

3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

Dalam hal ini, kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintah menjadi kewenangan daerah. Dalam menjamin terselenggaranya otonomi daerah semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan pengalian sumber pendapatan asli daerah yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah, perlu diadakan analisis faktor yang mempengaruhi Pendapatan


(18)

Asli Daerah Satuan Wilayah Pembangunan (SWP IV) yaitu Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo.

Pembangunan nasional harus dilakukan melihat berbagai potensi yang ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat keterbatasan tenaga yang professional maupun dana yang tersedia maka pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap melalui perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan itu sendiri tentunya memerlukan biaya yang sangat besar. Kondisi yang demikian itu akan mendorong para pelaku pembangunan untuk lebih berorientasi kepada kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang asas desentralisasi maka dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata, berdaya guna dan berhasil guna maka dibentuklah daerah otonomi. (Kuncoro, 2004)

Di harapkan terjadi perubahan paragdigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dari budaya petunjuk menjadi penekanan prinsip demokrasi, prakasa, dan aspirasi masyarakat daerah. UU No. 22 dan 25 tahun 1999, beserta serangkaian Praturan Pemerintah, mencoba memberikan alternatif format otonomi daerah yang baru. Ini terlihat dari adanya kesadaran bahwa ”pembangunan di daerah” tidak identik dengan ”pembangunan daerah” . Perubahan struktural yang layak di catat berkat UU ini adalah pelaksanaan otoda secara utuh dan luas di kabupaten dan kota, sedang provinsi hanya memiliki otonomi daerah terbatas. (Kuncoro, 2004 : 4-5)


(19)

Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah baik propinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan Asli Daerah (PAD) 2. Bagi hasil pajak dan non pajak

3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II 4. Pinjaman daerah

5. Sisa lebih anggaran tahun lalu

6. Lain-lain penerimaan daerah yang sah

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian latar belakang dalam bagian sebelumnya, maka dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas diantaranya :

1. Bagaimana tingkat kemandirian fiskal pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo)?

2. Apakah ada perbedaan kemandirian fiscal antar daerah pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan sebagaimana dalam bagian sebelum, maka penelitian ini bertujuan untuk :


(20)

Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo).

2. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian fiscal antar daerah pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Dapat memberi informasi dan sebagai sambungan pemikiran terhadap

pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo dalam menetapkan kebijakan dalam ketenagakerjaan industri dalam meningkatkan keterampilan teanga kerja bagi porsi yang tepat dalam memilih alternatif.

2. Sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya bagi penulis atau peneliti yang mengambil topik pendapatan asli daerah yang terkait dengan IDF (Indeks Desentralisasi Fiskal ).

3. Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan perbendaharaan literatur perpustakaan UPN “Veteran” Jawa Timur Khususnya perpustakaan Fakultas Ekonomi.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Bagian ini berisikan tentang hasil penelitian mengenai pendapatan asli daerah yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti: 1. Yopy Sumendap ( 2001 : 55 ) dengan judul penelitian ” Analisis

beberapa faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bondowoso ” dengan menggunakan analasis regresi linier berganda diperoleh kesimpula : Bahwa adanya suatu hubungan simultan atau pengaruh yang nyata antara variabel jumlah penduduk (X1), pajak (X2), dan retribusi (X3) terhadap Penerimaan Asli Daerah Bondowoso (Y) dengan Fhitung = 146,106 > Ftabel = 3,71 pada tingkat

signifikan ( α ) = 5% dengan df = (3,10). Melalui uji secara simultan tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi ( R²) sebesar 0, 978 yang menunjukan kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat sebesar 97,8% sedangkan sisanya 2,2% di jelaskan oleh variabel lain.

2. Ratna Yulianti ( 2002 : ix ) dengan judul penelitian ” Beberapa faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sidoarjo dalam rangka Otonomi Daerah ” dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dapat ditarik kesimpulan : secara


(22)

simultan faktor / variabel Produk Domestik Regional Bruto (X1), pengeluaran pemerintah (X2) dan inflasi (X3) berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y), hal ini di tunjukan dengan pengujian Fhitung = 346,159 lebih besar dari Ftabel = 3,587. Setelah diuji

secara parsial dengan uji t ternyata variabel pengeluaran pemerintah yang berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah. Sedangkan variabel Produk Domestik Regional Bruto dan Inflasi berpengaruh tidak signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.

3. Enggak ( 2010 : 92 ) dengan judul penelitian ” Analisis Index

Desentralisasi Fiskal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) 1 Propinsi Jawa Timur ” kesimpulannya adalah Derajat desentralisasi fiskal (DDF) dari hasil perhitungan rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) ditambah rasio bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan 2008, sebesar 22.37% yang menunjukkan bahwa DDF SWP I Jawa Timur rendah dan mempunyai pola hubungan keuangan diantara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang bersifat Intruktif.

Dengan melihat uraian di atas dapat dilihat bahwa Perbedaan antara Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dimana penelitian ini lebih spesifik untuk meneliti tentang kemandirian fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV dengan menggunakan Index Desentralisasi Fiskal (IDF). Jadi di dalam penelitian ini dapat


(23)

dilihat seberapa mandiri daerah-daerah di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV dan juga perbandingan kemandirian antara daerah-daerah di Satuan Wilayah Pembanguna (SWP) IV.

2.2 Landasan teori

2.2.1 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut UU No.5 tahun 1974, desentralisasi adalah suatu perpindahan jasa administrasi dari pemerintah pusat atau dari suatu pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah untuk menjadi jasa regional.

Desentralisasi adalah diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah. Sehingga daerah yang menerima wewenang bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas. (Saragih, 2003 : 40 ).

Desentralisasi berarti memberikan sebagaian dari wewenang pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab suatu daerah, misalnya :


(24)

b. Penyelesaian faslitas pelayanan, dan

c. Urusan sosial budaya, agama dan kemasyarakatan (Elmi,

2002).

Jadi, desentralisasi merupakan sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke level pemerintah daerah.

Dasar dari inisiatif seperti ini adalah desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ketingkat pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat.

Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun yang pemanfaatannya dilakukan oleh pemerintah pusat.

Dengan terjadinya pelimpahan sebagaian kewenangan terhadap sumber-sumber penerimaan Negara kepada pemerintahan di daerah, di harapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin, pelayanan public, dan meningkatkan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya.

Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintesifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan pengeseran beberapa


(25)

tanggung jawab terhadap (revenue) dan atau pembelanjaan (expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang sangat penting menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan alokasi atas pengeluaran sendiri.

Desentralisasi fiscal terutama di maksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-faktor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi fiscal diharapkan dapat mendorong efesiensi sector public, juga akuntabilitas public, dan transportasi dalam penyediaan jasa public serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis (Demelo, 2000)

Pelaksanaan desentralisasi fiscal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :

a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan

pengawasan dan low enforcement.

b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan

kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.

Desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power) .


(26)

Tujuan peningkatan desentralisasi adalah untuk mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pelayanan public dengan menggabungkan kebutuhan dan kondisi local yang sekaligus untuk mencapai obyektifitas pembangunan sosial, ekonomi pada tingkat daerah dan nasional, peningkatan perencanaan, pelaksanaan dan anggaran pembangunan sosial dan ekonomi diharapkan dapat digunakan dengan lebih efektif dan efesien. Untuk memenuhi kebutuhan local.

Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut UU No.22 tahun 1999 mencakup paling tidak empat hal.

Pertama memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi artinya mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kedua, otonomi yang nyata, artinya daerah punya keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada, dibutuhkan

tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Ketiga, otonomi yang

bertanggung jawab, berarti sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam pemberian pelayanan kepada public dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat daerahnya, Keempat,

otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas, yaitu (a) kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan yang belum dilaksanakan oleh kabupaten/kota (c) kewenangan lainnya menurut PP


(27)

No.25 tahun 2000. sedangkan asas dekonsentrasi diberikan pada daerah provinsi sebagai wilayan administrasi, untuk melaksanakan kewenangan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Asas tugas pembantuan adalah pemberian kewenangan oleh pemerintah kepada daerah dan desa.

Desentralisasi saat ini telah menjadi perhatian pokok dan merupakan fenomena bagi Negara-negara di dunia, baik di Negara berkembang maupun di Negara-negara maju. Desentralisasi seakan menjadi suatu resep atas kebijakan-kebijakan yang dapat mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi suatu Negara. Negara-negara di eropa timur dan tengah saat ini banyak mengalami proses transisi dalam membenahi sistem keuangan. Pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daera (Bird, ebel, dan wallich, 1995)

Perhatian kepada desentralisasi fiscal sudah demikian mengglobal saat ini banyak Negara yang merubah tata pemerintahannya dari sentralistik menuju desentralistik, di antaranya adalah Meldova (IMF, 1999), Uganda (Livingstone dan chalton, 2001) Indonesia (Boedjonegoro dan Asanuma, 2000). Filipina (Eatan, 2001), da Afrika Selatan (Ahmad, 1998) dalam (Khusaini, 2006)

2.2.1.1 Sejarah Desentralisasi fiskal di Indonesia

Sejarah perkembangan sistem tata pemerintah di Indonesia telah mengalami pasang surut mengikuti irama rezim yang sedang berkuasa


(28)

saat itu. Sejak pemerintahan Republik Indonesia berdiri terdapat beberapa Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang telah ditetapkan silih berganti untuk mencari bentuk dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu,

sampai tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnya

kekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas kekuasaan pusat dan merebaknya gerakan separatisme di Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat hingga tahun 1956.


(29)

Tabel 2.1

Perjalanan Desentralisasi di Indonesia

Periode

Konfigurasi

Politik UU Desentralisasi

Hakikat Desentralisasi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) Demokrasi

UU No. 1 Tahun 1945

UU No. 22 tahun 1948

Otonomi luas

Pasca

Kemerdekaan (1950-1959)

Demokrasi UU No. 1 tahun 1957 Otonomi Luas

Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Otorotarian

Perpres No.6 tahun 1959

UU No. 18 tahun 1965

Otonomi terbatas

Orde Baru

(1965-1998) Otorotarian UU No. 5 tahun 1974 Sentralisasi Pasca Orde

Baru(1998-sekarang)

Demokrasi

UU No. 22 Tahun 1999

UU No. 25 tahun 1999

UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 33 tahun 2004

Otonomi Luas


(30)

Sesuai UU No.32 tahun 2004, daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter, dan fiscal nasional serta agama.Dengan pembagian kewenangan/ fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di daerah di laksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentasi, dan tugas pembantuan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun kabupaten/ kota.

b. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten/ kota.

c. Departemen dalam Negeri menentukan daerah penghasil sumber

daya alam antara provinsi dan kabupaten/ kota.

d. Memuat pembagian hasil sumber daya alam antara provinsi dan kabupaten/kota.

e. Daerah tidak dapat secara langsung mengajukan pinjaman hutang luar negeri tetapi daerah dapat melakukan pinjaman dari pemerintah daerah lain.

f. Mengatur tentang pemilihan langsung kepala daerah/ wakil kepala daerah.

Pengembangan kelembagaan yang mengarah pada tata pemerintahan yang lebih baik, implementasi desentralisasi fiskal dan


(31)

kebijakan-kebijakan lain yang lebih baik akan memerlukan waktu yang lama, tahunan bahkan dekade. (ginting dan candra, 2000)

2.2.1.2 Indikator Desentralisasi Fiskal

Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal, terdapat tiga variabel yang merupakan reprerensi desentralisasi fiskal di Indonesia, ketiga variable tersebut adalah sebagai berikut :

a) Desentralisasi Pengeluaran

Variabel didefiniskan sebagai rasio pengeluaran total. Masing-masing kabupaten/ kota (APBD) terdapat total pengeluaran pemerintah (APBN) (Kerk dan Waller, 1997, zhang dan zou, 1998). Hal ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hasil study yang dilakukan Zhang dan Zou (1998), menunjukkan bahwa variable ini mempunyai pengaruh negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mengimplementasikan bahwa desentralisasi fiscal gagal mendorong pertumbuhan ekonomi di China, hal ini mungkin merefleksikan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan investasi di sector infrastruktur. Sementara studi yang dilakukan oleh Phillips dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negative desentralisasi fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi pada Negara-negara maju. Dan mereka gagal menjelaskan efek desentralisasi fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang.


(32)

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten atau kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan Nasional (APBN) (Zhang dan Zou, 1998). Variabel ini menunjukkan besaran relative pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, variable ini juga mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sector public atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variable ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah local dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor public.

c) Desentralisasi Penerimaan

Variabel ini didefenisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD) tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah (Phillips dan Woller, 1997). Variable ini mengekspresikan besaran relative antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.


(33)

Tabel 2.2

Skala Interval Derajat Desentralisasi fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

0,00 – 10,00 Sangat Kurang

10.01 - 20.00 Kurang

20,01 - 30-00 Sedang

30,01 – 40,00 Cukup

40,01 – 50,00 Baik

 50,00 Sangat Baik

Sumber : Fisipol UGM ,1991

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom itu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, (Syamsi, 2002) menegaskan beberapa ukuran :

1. Kemampuan struktural organisasinya

Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung segala aktifitasnya dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya.jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan ,pembagian tugas ,wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.

2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah

Aparat Pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengaatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.


(34)

Keahlian, moral disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang di idam-idamkan daerah.

3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.

Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan .

4. Kemampuan keuangan daerah

Pemerintah Daerah Harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dananya apasaja ,apakah PAD atau sebagian dari subsidi Pemerintah pusat.

2.2.1.3Keuntungan dan Kerugian Desentralisasi

a) Keuntungan Desentralisasi

Keuntungan dari desentralisasi fiskal adalah bahwa pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnnya sendiri. Proses politik dalam masyarakat yang lebih sempit akan lebih cepat dan efisien daripada dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat akan lebih sedikit kekurangan atau kesalahan yang akan dibuat dalam mekanisme pengambilan keputusan. Selanjutnya dengan desentralisasi fiskal akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekoomi yang dapat dilakukan. Karena banyak pemerintah daerah yang sifatnya otonom, akan banyak pula cara dan sistem administrasi maupun


(35)

ekonomi yang berbeda-beda yang diterapkan pada daerah yang berbeda. Suatu kenerhasilan atau kegagalan merupakan suatu inovasi yang nantinya dapat ditiru oleh daerah-daerah lain yang juga ingin mendapatkan keberhasilan tentunya dengan mengingat kondisi daerah masing-masing. Jadidalam suatu negara segala sesuatu tidak harus seragam secara nasional, melainkan justru dapat beraneka ragam atau bervariasi.

Dari sisi politik, desentralisasi dapat meningkatkan demokrasi melalui partisipasi masyarakat secara langsung, mendidik masyarakat tentang proses pengambilan keputusan dan meningkatkan persatuan dalam Negara yang multicultural. (http://pojokinfo.wordpress.com, 2006)

b) Kerugian Desentralisasi

Dalam hal-hal tertentu pemerintah daerah akan kurang efektif dan efisien dalam mengatasi permasalahan yang ada. Sebagai contoh bila pemerintah daerah diminta untuk menyediakan barang publik nasional seperti pertahanan dan keamanan nasional, masalah pemerataan penghasilan dan pemecahan masalah ekonomi makro, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.

1. Dalam hal pertahanan dan keamanan apabila hal ini diserahkan kepada pemerintah daerah, tentu setiap daerah akan bertanggung jawab terhadap daerahnya masing-masing dalam menghadapi


(36)

serangan dari luar. Apabila kita menjumlahkan semua usaha pertahanan masin-masing daerah tersebut akan kurang memadai.

2. Dalam hal retribusi pendapatan, pemerintah daerah juga tidak akan efisien dalam mengusahakannya. Retribusi pendapatan biasanya ditempuh dengan mengenakan pajak pada kelompok kaya dengan memberikan subsidi kepada kelompok berpenghasilan rendah. Kelompok kaya mungkin pindah ke daerah dimana perpajakan dan pungutan tidak terlalu tinggi, dan orang-orang kelompok berpenghasilan rendah akan pindah ke daerah berpenghasilan tinggi dengan maksud untuk mendapatkan subsidi atau bantuan sosial. Akibatnya pendapatan perkapita di daerah yang berpenghasilan tinggi akan turun dan program kesejahteraan sosial tidak dapat dilaksanakan lagi.

3. Dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi makro, jelas pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakannya, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan moneter. Pemerintah daerah tidak dapat menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Demikian pula kebijakan pemerintah daerah dalam bidang kesempatan kerja dan harga tidak akan banyak berpengaruh dalam suatu daerah. Setiap kebijakan fiskal (perpajakan dan pengeluaran) tentu akan ditanggapi dengan kepindahan subyek pajak ke daerah lain yang lebih menguntungkan. Jadi pemerintah pusatlah yang harus bertanggung jawab terhadap kebijakan


(37)

stabilisasi ekonomi secara ekonomi. (http://pojokinfo.wordpress.com, 2006)

2.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang diterima oleh seorang atau rumah tangga dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Pendapatan terdiri dari upah atau penerimaan kerja, pendapatan dari kekayaan seperti sewa bunga atau devidan serta pembayaran atau penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asumsi pengangguran (Nordhaus, 2000)

Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang bersumber dari potensi daerah itu sendirian di pergunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya sendiri (Anonim, 2002 : 1)

Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan. Jadi pengertian dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi-potensi keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan tanggung jawabnya (Anonim, 2002 : 20).

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang berasal dari sumber-sumber pendapatan daerah dan pengolahan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (Anonim, 2002 : 79).


(38)

asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan.

Jadi dapat disimpulkan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan tersebut, semakin tinggi pendapatan asli daerah maka semakin tinggi kualitas otonominya.

Peraturan pemerintah No.5 tahun 1975 pasal 12 sampai dengan pasal 20 yang penyusunannya masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang disesuaikan dalam undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah otonomi pasl 86. Pendapatan aerah diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1999 pasal 79 sampai dengan pasal 86.

Menurut Basri (2002 : 174) adapun langkah-langkah nyata yang harus ditempuh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan Asli daerah adalah:

1. Mengenali dengan baik potensi daerah sendiri dan menggalang kemampuan untuk menguatkan potensi tersebut.

2. Menitikberatkan kepada penerimaan yang besar saja

3. Menetapkan kebijaksanaan harga yang mampu menopang

pendapatan pencapaian optimalisasi kapasitas produksi


(39)

makroskopis

5. Peningkatan kemampuan apratur Dinas Pendapatan Daerah yang

disertai penyempurnaan administrasi dan sistem akuntansi

6. Mengefektifkan pengenaan local user changes

Selama ini, PAD dalam pembiayaan kebutuhan daerah disebagian besar daerah kurang dari 10% dan sangat bervariasai antar daerah dari 10% hingga 50%. Penguasaan sumber-sumber penerimaan pajak oleh pemerintah pusat pada dasarnya dengan administrasi pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi, dan distribusi dari pajak). Hal ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah pusat untuk memiliki basis pajak-pajak yang besar.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah kewenangan perpajakan (taxing power) daerah yang sangat terbatas yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD (rata-rata kurang dari 10%). Keadaan ini kurang mendukung akuntabiitas dari penggunaan anggaran daerah dimana keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan menyesuaikan basisi pajak atua tarif pajak daerahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila taxing power dari daerah diperbesar.

2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah

Pada umumnya fungsi-fungsi yang berifat nasional berada ditangan pemerintah pusat, sedang sedang fungsi-fungsi yang bersifat


(40)

lokal biasanya diserahkan kepadala pemerintah daerah, dengan tujuan untuk mendekatan pelayanan kepada masyarakat seperti halnya dengan pendidikan dasar, pembangunan jalan lokal dan sebagainya. Berdasarkan asas desentralisasi hal-hal yang menyangkut kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan kegiatan-kegiatan pemerintah daerah menjadi tugas dan wewenang pemerintah daerah. Keuangan daerah dengan adanya penyelenggara fungsi-fungsi pemerintah, yang dilaksanakan dalam dua atau lebih tingkat pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi. Dengan demikian pemerintah perlu memiliki sumber-sumber keuangan agar hal-hal tersebut di atas dapat diselenggarakan sebaik mungkin.

Sumber-sumber keuangan daerah dapat diperoleh melalui berbagai cara yaitu:

1. Pemerintah daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang telah disetujui oleh pemerintah pusat.

2. Pemerintah dareah dapat mengambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut oleh daerah, misalnya sekian persen dari pajak sentral tersebut.

3. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar, bank atau pemerintah pusat

4. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat (Kaho, 2005 : 140-141).


(41)

tahun1999, sumber keuangan daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU Nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan asli daerah (PAD) 2. Bagi hasil pajak dan non pajak

3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II 4. Pinjaman daerah

5. Sisa lebih anggaran tahun lalu

6. Lain-lain penerimaan daerah yang sah

Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 tahun1999 dan

pasal 3, 4, 5 dan pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut:

1. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan, terdiri atas:

a. Hasil pajak daerah b. Hasil restribusi daerah c. Hasil perusahaan daerah

d. Penerimaan lain-lain dan pendapatan dinas-dinas 2. Dana Perimbangan, terdiri dari:

a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHIB) b. Dana alokasi umum (DAU)


(42)

c. Dana alokasi khusus (DAK) 3. Pinjaman Daerah

Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), daerah yang dapat melakukan pinjaman, baik dari dalam negeri (pusat dan lembaga keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan pemerintah pusat, atau dengan penerbitan obligasi) dan dari luar negeri, dengan persetujuan pemerintah pusat. Ketentuan penggunaan pinjaman daerah adalah sebagai berikut:

a. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat menghasilkan penerimana untuk pembayaran pinjaman yang bersangkutan, serta memberikan manfaat bagi pelayanan umum

b. Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas daerah.

4. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

Pendapatan daerah di Indonesia diklasifikasikan sebagai pendapatan rutin dan pembangunan, klasifikasi ini disesuaikan dengan jenis pembiayaan kegiatan dari pemerintah daerah. Pendapatan rutin berasal dari pendapatan asli daerah, subsidi dari pemerintah pusat dan pendapatan rutin lainnya. Pendapatan asli daerah meliputi pendapatan yang berasal dari pajak dan bukan pajak


(43)

2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan Pendapatan Daerah

Pengertian mengenai pendapatan asli daerah selama ini secara tegas belum ada yang merumuskan. Berikut ini batasan pengertian pendapatan asli daerah sendiri oleh Ibnu Syamsi (1988 : 213) yaitu, pendapatan asli daerah sendiri adalah: pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah tersebut. Semakin tinggi pendapatan asli daerah, maka semakin tinggi kualitas otonominya.

2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal

Ada lima penyebab rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat:

a. Kurangnya berperannya perusahaan daerah sebagai sumber

pendapatan daerah

b. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan (semua pajak utama yang paling produktif dan buoyant, baik pajak langsung dan tak langsung ditarik oleh pusat.

c. Kendati pajak cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan. (Pajak daerah saat itu berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak saja. Davey, (1979), dalam Kuncoro, (2004)


(44)

d. Bersifat politis (Ada kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya dis integrasi dan separatisme.

e. Adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam

pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Alternative solusi yang ditawarkan adalah :

a) Meningkatkan peran BUMN

b) Meningkatkan penerimaan daerah c) Mengubah pola pemberian subsidi

d) Meningkatkan pinjaman daerah (kuncoro et.al, 2004)

2.2.3. Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)

bagian pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.

1. Bagi hasil pajak

a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian:

1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan


(45)

2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota, dan

3) 9% untuk biaya pemungutan.

4) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan

kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:

a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh

daerah kabupaten dan kota, dan

b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah

kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

b). Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut:

1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan

disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi, dan


(46)

2) 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/kota.

3) 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB

dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.

4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh pasal 21. Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:

a) 60% untuk kabupaten/kota

b). 40% untuk propinsi, sedangkan yang diterima pemerintah pusat sebesar 80 %.

1. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)

A. Kehutanan

1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi

Sumber Daya Hutan (PSDH).

  Penerimaan kehutanan yang berasal dari

penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:


(47)

a. 16% untuk propinsi

b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil

Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%. 2. Dana reboisasi

Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi adalah 40% untuk daerah dengan rincian:

a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil

c) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%. B. Pertambangan Umum

1. Iuran tetap (land – rent)

 

Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan rincian:

a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil

Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.


(48)

Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:

a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil

c) 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan

Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%. C. Perikanan

Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan:

a. 20% untuk pemerintah pusat.

b. 80% untuk pemerintah daerah.

D. Pertambangan Minyak Bumi

Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:

1. 84,5% untuk pemerintah pusat 2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:

a). 3% untuk propinsi yang bersangkutan b). 6% untuk kabupaten/kota penghasil


(49)

c). 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam propinsi yang bersangkutan

d). 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.

E. Pertambangan Gas Bumi

Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan :

1. 69.5% untuk pemerintah pusat 2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:

a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil

c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan

d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar

F. Pertambangan panas bumi

Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari


(50)

komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:

1. 20% untuk pemerintah pusat 2. 80% unuk daerah, dengan rincian:

a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil

c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan

2.2.4. Sumbangan Daerah

Sumbangan/ bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini bertujuan untuk pemerataan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai, kebutuhan fiskal dan potensi daerah. Dimana dana ini juga digunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan funsi yang merupakan perwujudan tugas pemerintahan di bidangtertentu khususnya dalam pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat.

2.2.4.1 Dana Alokasi Umum

Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No. 25/ 1999 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke


(51)

kabupaten dan kota yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus Subsidi Daerah Otonom dan dana Inpres yang diperkenalkan pada era Soeharto.

DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar Pemda di Indonesia. UU No.25/1999 pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya dalam bentuk DAU.

Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003, dalam Kuncoro,2004).

komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.

1. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang


(52)

antar-daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.

2. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak, dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh Daerah.

Kebijakan perhitungan DAU Tahun Anggaran (TA) 2003 menggunakan formula dengan konsep Kesenjangan Fiskal (fiscal gap)

yang diatur dalam PP 84/2001 sebagai perubahan atas PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan (digunakan dalam perhitungan DAU TA 2002). Selain dengan formula Kesenjangan Fiskal, perhitungan DAU juga ditentukan dengan menggunakan faktor penyeimbang (FP) berupa Alokasi Minimum (AM).

Ditetapkan dalam rapat Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah tanggal 10 Juli 2002, bahwa penyempurnaan formula dan perhitungan DAU dilakukan dengan:

1. Meningkatkan akurasi data dasar yang digunakan

2. Mengurangi porsi DAU dalam perhitungan AM dan memperbesar

porsi DAU yang dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan keuangan antar daerah (perhitungan DAU dengan formula dalam PP 84/2001)

3. Mengupayakan untuk tetap mempertahankan bahwa tidak ada


(53)

sama dengan DAU plus Dana Penyeimbang TA 2002. Oleh karena itu, diberikan tambahan dana melalui Dana Penyeimbang TA 2003.

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No.25/1999, plafon DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari PDN dalam APBN. Dalam praktek dirinci menjadi:

1. Dibagi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan rasio 10%

Provinsi dan 90% Kabupaten/Kota. (Pasal 7 ayat (2) UU No.25/1999).

2. Dalam implementasinya, plafon DAU untuk provinsi (10%) lebih

kecil dari kebutuhan DAU-nya. Kenyataannya, plafon DAU TA 2002 Provinsi (10%) sebesar Rp. 6.911,41 miliar ternyata lebih kecil dibandingkan DAU Provinsi TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi yang mencapai Rp. 7.465,46 miliar.

Untuk mengkompensasi kekurangan, dana ditambahkan melalui Dana Penyeimbang. Dengan asumsi terdapat tambahan dana untuk DAU melalui Dana Penyeimbang, sebenarnya kebutuhan plafon DAU lebih besar dari 25% PDN netto dalam APBN.

2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus

DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus.Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:


(54)

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain

2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi

3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir kepulauan tidak memadai

4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.

UU No. 25/1999 pasal 8 menggariskan bahwa kebutuhan khusus yang dapat dibiayai dengan DAK antar lain kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Empat puluh persen dari penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. DAK diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah dengan penyediaan Dana Pendamping 10% yang berasal dari penerimaan umum APBD (kecuali untuk DAK Reboisasi). Untuk APBN Tahun Anggaran 2001 dan 2002, DAK hanya berasal dari Dana Reboisasi (DR) masing-masing dengan jumlah Rp 700,6 miliar dan Rp 817,3 miliar. APBN Tahun Anggaran 2003 dianggarkan Rp 2.616,6 miliar yang terdiri dari DAK-DR sebesar Rp 347,6 miliar dan DAK non DR sebesar Rp 2.269 miliar.


(55)

Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut:

Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.

a) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%

dari kegiatan yang diajukan (kecuali untuk DAK dari Dana Reboisasi)

b). Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri Teknis /Instansi terkait.

Kegiatan DAK berdasarkan PP 104/2000 meliputi:

a. DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau

peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang;

b. Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu membiayai

pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.

2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah

Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiyai pelaksanaan


(56)

pemerintahan dan pembagunan daerahnya, walaupun pengukurannya kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat macam pola hubungan yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan konsep pola “Hubungan Situasional” yang dikemukakan oleh heresy dan Blanchard (Halim, 2004 : 188), yaitu :

1. Pola Hubungan Instruktif

Pola hubungan ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih dominandaripada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).

2. Pola Hubungan Konsultatif

Pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakanotonomi.

3. Pola Hubungan Partisipatif

Pola hubungan ini peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat tingkat kemandirian daerah yang bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

4. Pola Hubungan Delegatif

Pada pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dalam melaksanakan otonomi.Adanya potensi sumberdaya alam dan


(57)

sumberdaya manusia yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dan tingkat kemandirian daerah (dari sisi keuangan) dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3

Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah

Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan

Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi

0-25 25-50 50 - 75 75-100

Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif (Tumilar ,1997: 15 )

Dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud dengan derajat otonomi fiscal menunjukan kepada kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ,sebagai salah satu indicator kemampuan otonomi daerah tingkat kabupaten atau kota.Salah satu ukuran yang di gunakan untuk mengukur derajat otonomi fiscal daerah adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD tanpa sumbangan dan bantuan pemerintah pusat serta tercemin melalui angka Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu proposi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat.


(58)

2.2.6 Perwilayahan

Pembangunan ekonomi selain dilihat dari segi sektoralnya juga dilihat dari segi perwilayahannya. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masjyarakatnya mengelola semua sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja ba'ru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi rpertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut" adapun tujuan utama dari pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah lersebut. Sehinga perlu diperhatikan juga aspek raang (space) atau lokasi dalam pelaksanaannya, dengan demikian pembangunan ekonomi selain bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan juga untuk meningkatkaii target pemerataan (Arsyad, 1999 : 109).

Prioritas lokasi pembangunan dilakukan dengan melihat kondisi fisik alami dan social ekonomi penduduknya, sehingga diusahakan laju pertumbuhan dan pengembangan daerah dapat berjalan secara seimbang, sedangkan perwilayahan pembangunan membagi Jawa Timur menjadi sembilan sektor wilayah pembangunan dan masing-masing pusat pengembangannya. Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat ekonomi Jawa Timur dan Kawasan Indonesia Timur. Sedangkan wilayah Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Bangkalan, Mojokerto,


(59)

Lamongan, serta Kota Mojokerto, yang dikenal dengan kawasan GERBANGKERTOSUSILA menjadi wilayah/ kawasan penyanggah (buffer zone) dari Kota Surabaya. Masing-masing Satuan Wiiayah Pembangunan ( SWP ) tersebut antara lain adalah sebagai:

1. Keberhasilan pernbangunan ekonomi suatu daerah diukur dengan melihat besarnya nlai PDRB, yang menunjukan total nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Jumiah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mempengaruhi besarnya PDRB perkapita. Semakin besar jumlah penduduknya maka PDRB perkapita semakin kecil. SWP I meliputi Gerbang Kertosusila, meliputi Kota Surabaya dan Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, dan Gresik deng pusatnya di Surabaya.

2. SWP II meliputi Madura dan Kepulauannya, meliputi Kabupaten Sumenep, Pamekasan dan Sampang dengan pusatnya di Sumenep. 3. SWP III meliputi Banyuwangi sekaligus sebagai pusatnya

4. SWP IV meliputi Jember dan sekitarnya, meliputi Kabupaten : Jember,Bondowoso dan Situbondo serta Jember sebagai pusatnya.

5. SWP V meliputi Probolinggo - Lumajang dan pusatnya

Probolinggo

6. SWP VI meliputi Malang - Pasuruan, dengan pusatnya di Malang. 7. SWP VII meliputi Kediri dan sekitarnya, meliputi Kota : Kediri


(60)

Nganjuk dan Jombang dengan pusatnya di Kodya Kediri.

8. SWP VIII meliputi Madiun dan sekitarnya, meliputi Kota / Kabupaten Madiun serta Kabupaten Ponorogo, Magetan, Ngawi dengan pusatnya di Kota Madiun.

9. SWP IX meliputi Tuban dan Bojonegoro, meliputi Kabupaten

Tuban dan Bojonegoro dengan pusatnya di Tuban.

2.3 Kerangka Pikir

Satuan wilayah pembangunan merupakan gabungan dari beberapa kabupaten/ kotamadya Satuan wilayah pembangunan di Jawa Timur terbagi menjadi 9 satuan wilayah pembangunan. Dalam penelitian kali ini yang dijadikan obyek adalah. Satuan Wilayah Pembangunan IV untuk menentukan daerah mana yang mandiri sebagai prioritas pembangunan yang bertujuan untuk memicu pertumbuhan ekonomi di daerah lainnya dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan pada satuan wilayah pembangunan IV.


(61)

GAMBAR KERANGKA PIKIR

                 

   

     

Sumber : Peneliti 

2.4 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dengan melihat latar belakang, hasil-hasil penelitian terdahulu dan landasan teori yang ada, maka dapat ditarik hipotesa sebagai berikut: 1. Diduga,ada peningkatan kemandirian fiskal pada Satuan Wilayah

Pembangunan (SWP) IV (kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, SWP IV

1. Kabupaten Jember

2. Kabupaten Bondowoso

3. Kabupaten Situbondo

Indek PAD Indek BHPBP Indek SB

HIPOTESIS

MANDIRI TIDAK


(62)

Kabupaten Situbondo ) ?

4. Diduga, ada perbedaan kemandirian fiskal antar daerah pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo).


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Dalam menganalisis sektor-sektor yang akan dijadikan sektor unggulan agar dapat terarah pada pokok permasalahannya baik itu untuk uji Location Quotient atau kuosien lokasi maupun untuk Index Desentralisasi Fiscal (IDF), maka definisi Operasional Variabel adalah sebagai berikut:

a). Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan pemerintah daerah yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah tersebut yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perundang-undangan, yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah, serta lain-lain PAD yang sah. Dalam satuan Rupiah.

b). Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) adalah bagian pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Dalam Satuan Rupiah.

c). Subsidi/ Bantuan (SB) adalah sumbangan/ bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang berupa Dana Alokasi Umum secara keseluruhan yang secara garis besar bersumber dari total


(64)

pendapatan daerah ditambah dengan penerimaan pembiayaan. Dalam Satuan Rupiah.

3.2 Jenis dan Sumber Data

3.2.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang diambil dari tahun 2007 sampai dengan 2008.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data diperoleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur, Perpustakaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan perpustakaan-perpustakaan lainnya baik itu milik lembaga pendidikan ataupun pemerintah daerah Jawa Timur.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode:

1. Studi Kepustakaan

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca buku-buku literatur sebagai bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang adat dalam penelitian ini.

2. Studi Lapangan

Yaitu pengumpulan data data yang dilakukam dengan cara mencari data di Badan Pusat Statistik yang berkaitan dengan permasalahan yang ada di penelitian ini.


(65)

3.4Teknik Analisis

3.4.1 Index Desentralisasi Fiskal

Index ini dapat dipergunakan untuk menganalisa kemandirian suatu daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan keuangan dari daerahnya sendiri. Rasio yang digunakan untuk mengukur index, dalam analisis ini ada dua macam yaitu:

1. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total

Pendapatan Daerah (TPD)

2. Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)

Dari index ini dapat dilihat seberapa besar daerah dapat memenuhi penerimaannya.

Penerimaan daerah terdiri atas 5 pos yaitu Bagian Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, Bagian Pendapatan Asli Daerah, Bagian Dana Penimbangan, Bagian Pinjaman Pemerintah Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. (Reksohadiprodjo, 2001:155) :

i. 100 ) Daerah(TPD Penerimaan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan  % ii. 100 ) Daerah(TPD Penerimaan Total (BHPBP) Daerah untuk Pajak Bukan dan Pajak Hasil Bagi  % iii. 100 ) Daerah(TPD Penerimaan Total (SB) Daerah Sumbangan  %


(66)

Dimana :

 SB adalah Sumbangan Daerah atau biaya yang di peroleh dari DAK (Dana Alokasi Khusus) di tambah DAU (Dana Alokasi Umum ).

SB= DAK + DAU

 TPD adalah Total penerimaan Daerah yang di peroleh dari penjumlahan PAD,BHPBP,dan SB.

Dengan TPD = PAD + BPHPB +SB,jika hasil perhitungan meningkat maka derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian ) suatu daerah semakin menguat.

 Derajat desentralisasi merupakan rata-rata rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD),rata-rata rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP ) terhadap TPD,serta rata-rata rasio Sumbangan Daerah / Bantuan (SB) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 yang di nyatakan dalam satuan persen


(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1Deskripsi Obyek Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Satuan Wilayah Pembangunan I

Pada landasan teori telah diuraikan bahwa Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV terdiri dari tiga daerah yaitu Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo. Berikut adalah gambaran umum mengenai kondisi secara umum ketujuh wilayah tersebut:

4.1.1.1 KondisiUmum Kabupaten Jember

4.1.1.1.1. Letak Geografis

Kabupaten Jember terletak di bagian timur propinsi jawa timur dan berjarak 198 km dari ibu kota Jawa Timur yaitu Surabaya dengan luas wilayah 3.293,34 km2 atau 329.333,94 Ha. Dari segi topografi sebagian Kabupaten Jember di wilayah bagian selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan.Dari luas wilayah tersebut dapat dibagi menjadi berbagai kawasan :


(68)

Hutan : 121.039,61 ha

Perkampungan : 31.877 ha

Sawah : 86.568,18 ha

Tegal : 43.522,84 ha

Perkebunan : 34.590,46 ha

Tambak : 368,66 ha

Rawa : 35,62 ha

Semak/padang rumput : 289,06 ha Tanah rusak/tandus : 1.469,26 ha

Lain-lain : 9.583,26 ha

Posisi kabupaten Jember ada pada garis meridien 6 derajat 27' 9" sampai dengan 7 derajat 14' 33" bujur timur.Dan 7 derajat 59' 6" sampai dengan 8 derajat 33" 56" lintang selatan.Luas wilayahnya 3.293,34 km persegi. Luas kota 95,91 km persegi. Ketinggian 0 sampai 3.300 meter di atas permukaan laut. Ketinggian daerah kota kurang lebih 87 meter diatas permukaan laut. Itu bisa kita lihat di stasiun kota Jember. Temperatur udara di Jember 30 derajat celsius. Kalau musim hujan berkisar 15 derajat celsius.Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Jember sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Kab. Bondowoso dan sedikit Kab. Probolinggo

b. Sebelah Timur : Kabupaten Banyuwangi


(69)

d. Sebelah Barat : Kabupaten Lumajang

4.1.1.1.2. Penduduk

Kabupaten Jember pada dasarnya tidak mempunyai penduduk asli. Hampir semuanya pendatang, mengingat daerah ini tergolong daerah yang mengalami perkembangan sangat pesatkhususnya di bidang perdagangan, sehingga memberikan peluang bagi pendatang untuk berlomba-lomba mencari penghidupan di daerah ini.Mayoritas penduduk yang mendiami Kabupaten Jember adalah suku Jawa dan Madura, disamping masih dijumpai suku-suku lain serta warga keturunan asing sehingga melahirkan karakter khas Jember dinamis, kreatif, sopan dan ramah tamah. Berdasarkan data statistik hasil registrasi tahun 2003, penduduk Kabupaten Jember mencapai 2.131.289 jiwa, dengan kepadatan penduduk 647,15 jiwa/km, dengan sebagian besar penduduk berada pada kelompok usia muda. Sehingga kondisi demografi yang demikian menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia yang dimiliki Kabupaten Jember cukup memadai sebagai potensi penyedia dan penawar tenaga kerja di pasar kerja.

4.1.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bondowoso

4.1.1.2.1. Letak Geografis

Kabupaten Bondowoso adalah salah satu kabupaten dalam lingkup Propinsi Jawa Timur yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa. Dikenal dengan sebutan daerah tapal kuda.Ibukotanya adalah Bondowoso. Kabupaten Bondowoso memiliki luas wilayah 1.560,10


(70)

km2 yang secara geografis berada pada koordinat antara 113°48 10 - 113°48 26 BT dan 7°50 10 - 7°56 41 LS. Kabupaten Bondowoso memiliki suhu udara yang cukup sejuk berkisar 15,40 0C – 25,10 0C, karena berada diantara pegunungan Kendeng Utara dengan puncaknya Gunung Raung, Gunung Ijen dan sebagainya di sebelah timur serta kaki pengunungan Hyang dengan puncak Gunung Argopuro, Gunung Krincing dan Gunung Kilap di sebelah barat. Sedangkan di sebelah utara terdapat Gunung Alas Sereh, Gunung Biser dan Gunung Bendusa. Letak Kabupaten Bondowoso tidak berada pada daerah yang strategis.Meskipun berada di tengah, namun Kabupaten Bondowoso tidak dilalui jalan negara yang menghubungkan antar propinsi. Bondowoso juga tidak memiliki lautan. Ini yang menyebabkan Bondowoso sulit berkembang dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Adapun batas – batas wilayah Kabupaten Bondowoso sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kabupaten Situbondo

b. Sebelah Timur : Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi

c. Sebelah Selatan : Kabupaten Jember

d. Sebelah Barat : Kabupaten Situbondo dan Probolinggo


(71)

Jumlah penduduk Kabupaten Bondowoso tahun 2007 sebesar 735.894 jiwa, yang terdiri dari 361.380 jiwa penduduk laki-laki dan 374.514 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di 23 kecamatan. Ini mengalami kenaikan dari tahun 2006 sebesar 10.323 jiwa atau sebesar 1,42 %. Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Bondowoso sebesar 72.714 jiwa dan terendah di Kecamatan Sempol 8.103 jiwa.Angka kepadatan penduduk mencapai 471 jiwa/km2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bondowoso tahun 2008 yang terdiri dari empat komponen yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf orang dewasa, rata-rata sekolah dan paritas daya beli pada tahun 2008 sebesar 59,54. Meningkat dari tahun 2007 sebesar 59,05. Kecamatan dengan IPM tertinggi yaitu Kecamatan Bondowoso sebesar 68,58, dan IPM terendah di Kecamatan Sumberwringin sebesar 53,23.

4.1.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Situbondo

4.1.1.3.1. Letak Geografis

Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa timur yang cukup dikenal dengan sebutan daerah Pasir Putih yang letaknya berada di ujung timur Pulau Jawa bagian utara dengan posisi antara 7°35 – 7°44 Lintang Selatan dan 113°30 - 114°42 Bujur Timur.

Kabupaten situbondo. Batas Daerah Kabupaten Situbondo antara lain:


(72)

b. Sebelah Timur : Selat Bali

c. Sebelah Selatan : Bondowoso dan Banyuwangi

d. Sebelah Barat : Probolinggo

Luas Kabupaten Situbondo adalah 1.638,50 Km2 atau 163.850 Ha, bentuknya memanjang dari barat ke timur lebih kurang 140 Km. Pantai Utara umumnya berdataran rendah dan di sebelah selatan berdataran tingggi. Wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Banyuputih, dengan luas 481,67 Km2. Disebabkan oleh luasnya hutan jati di perbatasan antara Kecamatan Banyuputih dengan wilayah Banyuwangi Utara. Sedangkan wilayah kecamatan terkecil adalah Kecamatan Besuki yaitu 26,41 Km2. Dari 17 kecamatan yang ada, diantaranya terdiri dari 14 kecamatan yang memiliki pantai dan 4 kecamatan tidak memiliki pantai, yaitu Kecamatan Sumbermalang, Kecamatan Jatibanteng, Kecamatan Situbondo dan Kecamatan Panji.

4.1.1.3.2. Penduduk

Dari perhitungan yang dilakukan BPS penduduk Kabupaten Situbondo tahun 2007 telah mencapai 638.537 jiwa, yang terdiri dari 311.199 penduduk laki-laki dan 327.338 penduduk perempuan. Perbandingan antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan atau sex rasio sebesar 95,07%, artinya dalam 100 penduduk perempuan terdapat penduduk laki-laki 95 jiwa. Dengan demikian penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki.


(73)

Dari jumlah penduduk yang tersebar di 17 kececamatan, dapatlah dilihat 5 (lima) urutan terbanyak masing-masing adalah kecamatan Panji 64.931 jiwa, Besuki 58.234 jiwa, dan Asembagus 48.960 jiwa. Bila dilihat dari urutan jumlah terkecil penduduknya, masing-masing adalah kecamatan Jatibanteng 21.736 jiwa, Banyuglugur 22.271 jiwa, Mlandingan 22.253 jiwa, Kecamatan Suboh 25.234 dan Bungatan 26.053 jiwa.

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Kabupaten Jember

Penerimaan pemerintah daerah kabupaten merupakan unsur utama terhadap pendapatan daerah dan dimana tiap tahunnya mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pemerintah telah berhasil memicu pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat melihat besarnya penerimaan di Kabupaten Jember tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada tabel:

Tabel 4.1

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Jember Tahun 2007-2008 (Ribu rupiah)

No. Jenis Penerimaan 2007 2008

1. 2. 3.

Pendapatan Asli Daerah BHPBP

Sumbangan Daerah

89.304.961,- 55.446.047,-

927.348.800,-136.524.604,- 62.165.929,- 1.009.017.809,-


(74)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari tabel diatas dapat dilihat Penerimaan Daerah Kabupaten Jember dari tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 Penerimaan Daerah sebesar RP. 1.072.099.808,-sedangkan Penerimaan Daerah tahun 2008 naik menjadi Rp. 1.207.708.342,-.

4.2.2 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Kabupaten Bondowoso

Penerimaan pemerintah daerah kabupaten merupakan unsur utama terhadap pendapatan daerah dan dimana tiap tahunnya mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pemerintah telah berhasil memicu pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat melihat besarnya penerimaan di Kabupaten Bondowoso tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada table:

Tabel 4.2

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Bondowoso Tahun 2007-2008 (Ribu rupiah)

No. Jenis Penerimaan 2007 2008

1. 2. 3.

Pendapatan Asli Daerah BHPBP

Sumbangan Daerah

30.178.867,- 26.496.813,-

433.991.000,-35.371.877,- 30.411.137,- 492.748.068,-

4. Total Penerimaan Daerah 490.666.680,- 558.531.082,-


(75)

Dari tabel diatas dapat dilihat Penerimaan Daerah Kabupaten Bondowoso dari tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 Penerimaan Daerah sebesar RP. 490.666.680,- sedangkan Penerimaan Daerah tahun 2008 naik menjadi Rp.558.531.082,-.

4.2.3 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Kabupaten Situbondo

Penerimaan pemerintah daerah kabupaten merupakan unsur utama terhadap pendapatan daerah dan dimana tiap tahunnya mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pemerintah telah berhasil memicu pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat melihat besarnya penerimaan di Kabupaten Situbondo tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada tabel:

Tabel 4.3

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo Tahun 2007-2008 (Ribu rupiah)

No. Jenis Penerimaan 2007 2008

1. 2. 3.

Pendapatan Asli Daerah BHPBP

Sumbangan Daerah

29.481.697,- 33.582.216,-

421.514.000,-34.337.486,- 31.650.873,- 475.630.472,-

4. Total Penerimaan Daerah 484.577.913,- 541.618.831,-


(1)

IV. Hal ini menyebabkan pemerintah Kabupaten/Kota di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) SWP IV sangat tergantung terhadap bantuan keuangan dari pusat. Maka dapat dikatakan bahwa Kabupaten/Kota di SWP IV masih belum mampu melaksanakan ekonomi daerah. Ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat di satu sisi dan rendahnya kontribusi PAD dalam penerimaan daerah di sisi lain membawa konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan PAD dan membiayai pengeluaran daerah.

 

 

 


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Derajat desentralisasi fiskal (DDF) dari hasil perhitungan rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) ditambah rasio bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan 2008, sebesar 13,1% yang menunjukkan bahwa DDF SWP IV Jawa Timur rendah dan mempunyai pola hubungan keuangan diantara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang bersifat Instruktif.

2. Dengan menggunakan kontribusi perbandingan yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Sumbangan Daerah di tahun 2007 sampai 2008 tidak ada satupun daerah yang mandiri.

3. Dengan menggunakan kontribusi perbandingan yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Sumbangan


(3)

4. Dengan menggunakan hasil perhitungan rata-rata DDF untuk mengetahui pola hubungan yaitu :

Dengan pola hubungan instruktif dimana pola ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah), yaitu daerah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo atau bisa dikatakan semua daerah di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV belum mampu melaksanakan otonomi daerah.

5.2Saran

1. Sangatlah penting didalam melakukan suatu perencanaan keuangan daerah dimana pemerintah hendaknya juga memperhatikan suatu pula hubungan kemandirian daerah dimana suatu daerah mempunyai tingkat keuangan daerah yang tidak sama.

2. Dengan mengidifikasian suatu daerah yang lebih mandiri maka akan bisa mempengaruhi daerah lain untuk meningkatkan potensi yang mandiri yang akan memperjelas untuk meratakan kemandirian di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV.

3. Untuk daerah yang mendapat penurunan hendaknya lebih meningkatkan Potensi Pendapatan Asli Daerah.

4. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama aparatur daerah dengan menggunakan pendekatan kinerja.


(4)

5. Meningkatkan efiensi dan efektifitas dalam penggunaan anggaran yang dapat dilakukan dengan meminimalisasi pengeluaran yang tidak memberikan peningkatan produktifitas.

6. Untuk para peneliti selanjutnya diharapkan bisa membuat metode dengan analisis untuk disetiap daerahnya bukan hanya per Kabupaten tetapi per Kecamatan tiap satu Kabupaten.

7. Indeks desentralisasi fiscal ada kecenderungan diperkecil, hal ini dilakukan suatu daerah agar tetap memperoleh subsidi dari pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari pendapatan per kapita yang tinggi.

   

 

 

 

 

 


(5)

ABSTRAKSI

Dengan Diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang pokok–pokok pemerintah di daerah dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai Pengganti Undang- Undang No. 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah pada 1 januari 2001 maka Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336.

Otonomi daerah yang dilasanakan sejak awal 2001 memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapannya adalah dengan cara pemerintah daerah menggali dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penelitian ini betujuan untuk mengetahui tingkat dan perbedaan kemandirian fiscal pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo) pada tahun 2007 sampai 2008 dengan menganakan analisis derajat desentralisasi fiscal. Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa derajat desentralisasi fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV Jawa Timur masih sangat rendah yaitu dibawah 25% dan menpunyai pola hubungan keuangan dengan pemerintah pusat yang bersifat instruktif, hal ini dikarenakan persentase sumbangan daerah lebih besar daripada persentase pendapatan asli daerah dengan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, sehingga daerah –daerah tersebut dapat dikatan belum dapat melaksanakan otonomi daerah.

Kata kunci : Pendatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bagil Hasil Bukan Pajak (BHPBP), Sumbangan Daerah (SB)


(6)