T2 752014003 BAB III

(1)

29

BAB III

GKJW JEMAAT PONOROGO DAN KASUS PINDAH AGAMA 1. Gambaran umum GKJW Jemaat Ponorogo

GKJW jemaat Ponorogo, adalah salah satu jemaat yang lahir dan diresmikan oleh Majelis Agung ( Sinode ) GKJW pada tanggal 11 Desember 19591, jemaat ini adalah satu di antara 165 jemaat mandiri se - Sinode GKJW. Keberadaan jemaat-jemaat se sinode GKJW tersebar di wilayah Propinsi Jawa Timur, mulai dari kabupaten yang berada di ujung timur yaitu kabupaten Banyuwangi, sampai di bagian barat yaitu kabupaten Ngawi. GKJW Jemaat Ponorogo, berada di wilayah Kabupaten Ponorogo beralamat di Jl.Argopuro RT.02,RW 04 Kelurahan Bangunsari, Kecamatan Ponorogo, kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Jemaat ini masuk dalam wilayah pelayanan GKJW di lingkup persekutuan Majelis Daerah (Klasis) Madiun, yang anggotanya terdiri dari 13 Jemaat yang berada di dalam wilayah eks karsidenan Madiun, yaitu : GKJW Jemaat Trenceng yang berada di desa Mrican kecamatan Jenangan, wilayah kabupaten Ponorogo, GKJW Jemaat Pacitan dan GKJW Jemaat Donorojo, berada di wilayah kabupaten Pacitan GKJW Jemaat Magetan dan GKJW Jemaat Dupak, di wilayah kabupaten Magetan, GKJW Jemaat Madiun Kota, GKJW Jemaat Madiun Lor dan GKJW Jemaat Caruban, di wilayah kodya dan kabupaten Madiun, GKJW Jemaat Ngawi, GKJW Jemaat Wotgalih, GKJW Jemaat Bayem Mojorejo, dan GKJW Jemaat Ketanggung, berada di wilayah kabupaten Ngawi.

Secara geografis Ponorogo terletak di koordinat 111° 17’ - 111° 52’BT dan 7° 49’ - 8° 20’LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 kilo meter persegi,2dengan batas-batas sebelah utara kabupaten Madiun dan Magetan, sebelah timur berbatas-batasan dengan Kabupaten Nganjuk dan Trenggalek, sebelah selatan Kabupaten Pacitan, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah.3Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk

1

Team Penulis Sejarah GKJW Ponorogo, (1987), GKJW Jemaat Ponorogo, hlm.1 2

Soemarto, (2011), Melihat Ponorogo lebih dekat, Apix Offset, Ponorogo, hlm.2 3


(2)

30

Kabupaten Ponorogo adalah 855.281 jiwa.4 tersebar di 21 kecamatan, 279 desa, dan 26 kelurahan.

Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog, dan warga GKJW juga ikut serta dalam melestarikan kesenian reog, terlebih warga jemaat yang masih pelajar, karena kesenian reog dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal bagi sekolah-sekolah di Ponorogo. Ponorogo juga dikenal sebagai Kota Santri karena memiliki banyak pondok pesantren, salah satu yang terkenal adalah Pondok Modern Darussalam, Gontor yang terletak di desa Gontor, kecamatan Mlarak. Di tengah banyaknya pondok pesantren, ada beberapa warga jemaat yang tempat tinggalnya berada di lingkungan pondok pesantren, bahkan gedung gereja GKJW Ponorogo bersebelahan dengan pondok Putri, yang berada di Jalan Argopuro 19 Ponorogo. Di samping terkenal sebagai kota reog, dan kota santri, Ponorogo terkenal dengan makanan khas, yaitu Sate Ponorogo, karena itu mendapat sebutan juga Kota Sate5.

Agama yang dianut oleh penduduk kabupaten Ponorogo beragam, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk tahun 2010 penduduk Ponorogo berjumlah 855.281 jiwa,6 penganut Islam berjumlah 839.127 jiwa (98,11%), Kristen berjumlah 2.864 jiwa (0,33%), Katolikberjumlah 2.268 jiwa (0,27%), Buddha berjumlah 261 jiwa (0,03%), Hindu berjumlah 82 jiwa (0,01%), Kong Hu Cu berjumlah 14 jiwa (0,002%), agama lainnya berjumlah 25 jiwa (0,003%), tidak terjawab dan tidak ditanyakan berjumlah 10.640 jiwa (1,24%).7Jumlah keseluruhan tempat peribadatan di Ponorogo pada tahun 2010 adalah sejumlah 4233 buah. Masjid berjumlah 1448 buah, Mushola berjumlah 2754 buah,Gereja Protestan berjumlah 21 buah, gereja Katolik berjumlah 8 buah, dan Wihara berjumlah 2 buah.

Data warga GKJW jemaat Ponorogo pada tahun 2014 yang disampaikan pada sidang Majelis Daerah Madiun I tahun 2015 pada 18 sampai 20 April 2015, yang menetap di Ponorogo berjumlah 123 kk, terdiri dari warga dewasa laki-laki, 125 jiwa, perempuan 174 jiwa, warga anak: laki-laki 46 jiwa, perempuan 52 jiwa.8Total jumlah

4 http ://id.wilkipedia.org/wilki/_kabupaten poonorogo., diunduh 4 Januari 20116 pukul.22.00 5

Soemarto, (2011), Melihat Ponorogo lebih dekat, hlm.3 6

Badan Pusat Statistik Ponorogo, 2013 7

http ://id.wilkipedia.org/wilki/_kabupaten poonorogo., diunduh 4 Januari 20116 pukul.22.00 8


(3)

31

mereka, dewasa dan anak-anak berjumlah 397 Jiwa. Mata pencaharian mereka ada yang pegawai negri, karyawan swasta, wiraswasta, pensiunan pegawai negri, petani, buruh tani dan lain-lain. Berdasarkan data tersebut memberikan gambaran bahwa warga GKJW Ponorogo berada di antara penduduk Ponorogo yang berjumlah 855.281, yang mempunyai latar belakang pendidikan, kelas sosial yang beragam, dan mereka tinggal tersebar di desa, kelurahan dan kecamatan. di wilayah kabupaten Ponorogo. Mereka tidak tinggal dalam suatu wilayah kecamatan tertentu, tetapi tinggal menyebar di wilayah kecamatan Pulung, Sawoo, Balong, Mlarak, Jetis, Ngrayun, Kauman, Siman, Babadan, Jenangan, dan Kecamatan Ponorogo Kota.

GKJW Jemaat Ponorogo juga mempunyai warga yang tinggal di luar kota, seperti Surabaya, Malang, Jakarta, dan kota lainnya berjumlah 112 jiwa, 50 jiwa laki-laki, dan 62 perempuan, mereka ada yang bekerja, kuliah dan ada yang mempunyai tempat tinggal tetap, tetapi ada juga yang hanya tinggal sementara atau kos, dan mereka masih tercatat sebagai warga jemaat Ponorogo, saat hari-hari libur, misalnya libur Natal, Paskah, atau saat liburan sekolah, saat kontrak kerja mereka habis, mereka pulang ke Ponorogo.

Memperhatikan komposisi penganut agama yang berada di Ponorogo, maka warga GKJW Jemaat Ponorogo yang berjumlah 397 jiwa, berada di antara 2864 pemeluk agama Kristen, berarti13,86% nya, bila dibandingkan dengan penganut agama Islam yang berjumlah 839.127 jiwa, berarti 0,05% nya, dan bila dibandingkan dengan pemeluk agama Katolik yang 2.268 jiwa prosentasenya warga GKJW adalah 17,5% nya.

2. Fenomena Kawin beda agama di GKJW Jemaat Ponorogo

Di GKJW Jemaat Ponorogo, ada 12 pasangan suami istri yang berbeda agama, keduabelas pasangan suami istri tersebut sebenarnya memulai kehidupan rumahtangga dengan menikah dalam satu agama, delapan pasangan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA), secara Islam, dua pasangan menerima pemberkatan di Gereja Katolik, dan dua pasangan menerima pemberkatan di GKJW. dari hasil wawancara dengan sekretaris GKJW Jemaat Ponorogo, menyampaikan bahwa kasus tersebut terjadi di antara tahun 1982 – 1995, mereka hidup sebagai pasangan beda agama, karena setelah beberapa tahun berumah tangga, mereka yang semula Kristen pindah kembali ke Kristen, dan yang semula Islam kembali masuk agama Islam,


(4)

32

tetapi mereka tetap tinggal sebagai pasangan suami istri.9 Dengan demikian fenomena kawin beda agama yang terjadi di GKJW Ponorogo berawal dari proses pernikahan duabelas pasangan yang masing-masing menganut agama yang berbeda tetapi sepakat menikah dan melegalkan pernikahannya pada satu agama, selanjutnya beberapa tahun kemudian mereka yang semula beragama Kristen kembali ke Kristen, dan yang semula beragama Islam kembali ke Islam, sehingga pada fenomena kawin beda agama tersebut ada proses pindah agama.

3. Kasus Pindah Agama warga GKJW Jemaat Ponorogo

Di GKJW Jemaat Ponorogo terdapat kasus pindah agama yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2008-2014, tercatat ada enam kasus warga jemaat yang pindah agama ke Islam, dari enam orang tersebut tiga orang diantaranya (inisial Mt, Yn, Dy),warga dewasa, sudah memiliki pekerjaan, dan orangtua mereka beragama Kristen. Ketiga gadis tersebut menikah dengan pemuda yang beragama Islam, sehingga mereka pindah agama mengikuti agama suami. Tiga orang berikutnya yaitu ( Pm, Is, dan Bng), mereka sudah duda dan janda, tinggal di lingkungan kerabatnya yang beragama Islam yang kuat, bahkan anak-anak mereka adalah muslim yang taat. Tempat tinggal mereka berada di lingkungan orang-orang muslim yang kuat. Ada indikasi mereka pindah agama karena diajak anggota keluargauntuk masuk Islam, dan mereka mengikutinya.

Pada kasus lain ada enam orang Islam ( inisial L,R, E, F, At, Le), L dan R. adalah ibu dan anaknya yang sudah dewasa, keduanya tinggal bertetangga dengan keluarga Kristen, yang berada di tengah-tengah masyarakat muslim. E dan F adalah Nenek dan cucunya yang tinggal bersama di lingkungan perumahan yang mayoritas muslim, L,R, E dan F, menyatakan masuk agama Kristen karena kemauan mereka sendiri. Sedangkan At adalah pemuda yang beragama Islam dari Jombang yang menikah dengan gadis Kristen warga GKJW Ponorogo, dan At menyatakan pindah agama Kristen mengikuti istrinya, akibat pindah agama Kristen At dikucilkan orangtuanya, dan memutuskan tinggal bersama dengan istrinya di Ponorogo, sedangkan Le adalah gadis Ponorogo, yang pernah bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita di Hongkong, menikah dengan pemuda Kristen, ia menyatakan pindah agama

9

Sumber : Sekretaris GKJW Jemaat Ponorogo, Ibu Sintawati, hasil wawancara pada tanggal 30 Nopember 2015, ia memberikan keterangan bahwa keduabelas pasangan yang beda agama tersebut terjadi karena suami atau istri mereka melakukan pindah agama setelah beberapa tahun proses pernikahan mereka.


(5)

33

Kristen mengikuti suaminya. Di samping warga jemaat yang sudah diketahui dan telah tercatat pindah agama, diperkirakan ada beberapa warga yang pindah ke gereja denominasi lain, yang pindahnya tanpa memberitahu anggota majelis jemaat. Demikian juga ada yang pindah agama dan tidak terpantau, karena mereka meninggalkan Ponorogo pergi ke daerah lain tanpa pemberitahuan, tetapi ada jemaat menerima kabar dari mulut ke mulut bahwa mereka telah pindah agama.

4. Empat kasus pindah agama warga GKJW Jemaat Ponorogo

Dari beberapa kasus pindah agama kasus pindah agama di GKJW Jemaat Ponorogo, penulis memfokuskan pada empat kasus, dengan rincian dua kasus warga jemaat yang sebelumnya beragama Kristen karena menikah pindah agama Islam, tetapi setelah beberapa tahun berumahtangga memutuskan pindah agama kembali ke agama Kristen, mereka adalah Ch dan Ar). Kasus ketiga, adalah seorang ibu (Ea) yang beragama Islam pindah agama ke agama Kristen, dan menjadi warga Jemaat GKJW Ponorogo, Kasus ke empat adalah seorang bapak, status duda yaitu (Pm) warga Jemaat GKJW Ponorogo yang pindah menganut agama Islam. Adapun deskripsi kasusnya seperti berikut ini:

Kasus Pertama, Ch, seorang ibu beragama Kristen berumur 50 tahun,

pekerjaan : Guru Taman Kanak-kanak, bersuami Dd beragama Islam, mempunyai dua orang anak, anak pertama sudah berumahtangga, yang ke dua, masih kuliah di Malang. Bertempat tinggal di Ponorogo, Ch menikah dengan Dd secara Islam pada tahun 1988, dan menyatakan pindah agama Islam.Pada tahun 1995 Ch menyatakan pindah (kembali ) ke agama Kristen. Adapun kisahnya seperti berikut ini

Ch adalah seorang gadis beragama Kristen, berpacaran dengan Dd seorang pemuda Islam, jalinan kasih mereka dilanjutkan dengan pernikahan. Karena menikah Ch rela berhenti kuliah, dan ia pun rela meninggalkan agama Kristen pindah agama Islam mengikuti suaminya. Sebelum proses perkawinan orangtua Ch tidak keberatan kalau Ch menikah dengan Dd secara Islam. Untuk mempersiapkan perkawinan secara agama Islam Ch menghafalkan dua kalimat Sahadat, selanjutnya mereka menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Ponorogo pada tahun 1988.

Dalam kehidupan berumahtangga Ch berusaha mengikuti agama suami sebaik-baiknya, tetapi suaminya(Dd) dalam kesehariannya tidak pernah sembahyang secara Islam. Pada awalnya Ch tidak berani menanyakan akan hal tersebut, ia berpikir suaminya (Dd) tidak sembahyang karena ada perasaan sungkan dengan


(6)

34

mertuanya yang Kristen, karena mereka masih tinggal bersama di rumah mertuanya. Keadaan tersebut dibiarkan saja oleh Ch, ia pun tidak sembahyang secara Islam. Pada saat mereka pindah menempati rumah sendiri, dan saat itu mereka sudah dikaruniai satu anak, Dd tidak pernah sembahyang atau mengikuti kegiatan keagamaanya, dan Ch pun tidak pernah diajak atau diperintah untuk sembahyang secara Islam, karena itu Ch mulai memberanikan diri bertanya kepada suaminya, tentang keberadaan Dd yang tidak pernah sembahyang. Dd memberikan jawaban, bagi dia yang penting bukan sembahyangnya, tetapi praktek kehidupan sehari-hari dengan berbuat baik, dan tidak menyakiti atau merugikan orang lain.

Atas jawaban tersebut membuat hati Ch terusik, ia mulai merenungkan dirinya sendiri, mengapa ia meninggalkan agama Kristen, pindah ke agama Islam mengikuti suami tetapi tidak pernah sembahyang. Ch mengalami keresahan, namun ia simpan perasaan itu. dan bersikap diam terhadap apa saja yang telah dikatakan suaminya. Di sisi lain Ch sebagai istri Dd, menjadi menantu kesayangan mertua, kebutuhan hidup mereka setiap bulan dibantu dengan tambahan uang belanja serta bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari, seperti beras, lauk, sabun dan sebagainya. Ch merasa diperlakukan istimewa oleh mertuanya, karena itu ia membalas kebaikannya dengan sering bertandang ke rumah mertua untuk membantu pekerjaan yang ada di rumah mertuanya, bahkan Ch memberi perhatian lebih saat mertua sedang membutuhkan pertolongan, misalnya saat ada gangguan kesehatan, saat syukuran dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu bahtera kehidupan rumahtangga Ch dan Dd, terus berjalan, sementara praktek sembahyang secara Islam tidak mereka jalani, keadaan tersebut membuat Ch merasa bersalah meninggalkan agama Kristen, Ch merasa suaminya tidak memberikan bimbingan kerohanian Islam, karena itu Ch diliputi rasa gelisah, tetapi perasaan tersebut ia abaikan bertahun-tahun. Sampai pada suatu ketika di tahun 1995 ia menderita penyakit gatal-gatal, berkali-kali berobat ke dokter, serta pengobatan alternatif tetapi penyakitnya sampai berbulan-bulan tidak kunjung sembuh.

Dalam pergumulan dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh ia berdoa memohon kesembuhan, dan ia berjanji pada Tuhan jikalau sembuh ia bertekat akan kembali ke gereja, dalam arti akan kembali memeluk agama Kristen. Sehubungan dengan sakit yang diderita, Ch merasa bahwa penyakit itu sebagai hukuman dari Tuhan, ia merasa bersalah meninggalkan agama Kristen. Pada suatu malam ia berdoa


(7)

35

memohon pengampunan atas dosa-dosanya dan memohon kesembuhan.Di pagi hari, setelah Ch berdoa,secara tak terduga kakaknya yang ada di Brebes datang ke rumahnya,pada kesempatan itu ia menceritakan tentang penyakitnya, dan kakaknya menyarankan agar Ch membeli obat, dan kemudian Ch membeli obat yang disarankan kakaknya tersebut dan selanjutnya meminumnya, beberapa hari setelah minum obat itu ia sembuh, padahal obat yang diminum adalah obat murah. Peristiwa tersebut membuat Ch yakin bahwa yang menyembuhkan penyakitnya adalah kuasa Tuhan. Keyakinan Ch atas pertolongan Tuhan makin kuat, ketika temannya, yaitu S menderita penyakit yang sama dengan Ch, meminum obat yang sama, dari sisa obat yang pernah diminimnya, ternyata tidak menjadikan temannya sembuh, hal tersebut mendorong Chsemakin percaya bahwa ia disembuhkan oleh kuasa Tuhan, keyakinan itu mandorong Ch untuk kembali ke agama Kristen.

Pada suatu hari Minggu Ch pergi ke gereja tanpa sepengetahuan suami,sesampainya di gereja ia melihat anak pertamanya ada di gereja bersama neneknya, hati Ch tersentuh, dan segera mendampingi anaknya. Atas peristiwa tersebut mendorongnya untuk datang ke gereja. Setelah beberapa kali ke gereja ia merasa nyaman dan batinya menjadi tenang, ia merasa disegarkan menjadi orang Kristen baru, ia pun bertekat untuk terus aktif beribadah di gereja.Beberapa minggu kemudian Ch mendekati suaminya dan memberanikan diri berbicara bahwa ia memutuskan kembali ke agama Kristen. Chjuga menyampaikan bahwa ia meyakini sakitnya telah disembuhkan Tuhan, baginya ia merasa diingatkan Tuhan untuk kembali ke agama Kristen. Mendengar pernyataan istrinya, Dd suaminya marah, ia kecewa atas keadaan tersebut, tetapi Ch tidak peduli dengan kemarahan suaminya, ia bersikukuh untuk kembali menganut agama Kristen, dan memohon kepada suaminya agar diijinkan untuk ke gereja, atas permintaan tersebutDd merasa keberatan, walupun demikianCh tetap bersikeras untuk ke gereja setiap hari minggu. Keadaan yang demikian membuat hubungan dengan suami menjadi terganggu, bahkan kemarahan suaminya dilampiaskan dengan seringnya ke luar meninggalkan rumah tanpa mempedulikan perasaan istrinya yang saat itu sedang mengandung anak yang kedua.

Hubungan yang kurang baik di antara Ch dan suaminya, mempengaruhi juga hubungan dengan mertua, bahkan dengan sudara-saudaranya Dd, keadaan yang kurang baik tersebut membuat perasaan Ch menjadi tidak nyaman, ia merasa tidak diterima oleh suami dan kerabatnya karena pindah agama. Pada suatu hari Ch,


(8)

36

memberanikan diri mengajak bicara suaminya tentang hubungan mereka, ia mengatakan dari pada hubungannya tidak baik, karena ia aktif kegereja dan kembali ke Kristen, Ch meminta diceraikan saja, padahal saat itu ia sedang hamil. Permohonan yang bernada tantangan tersebut membuat Dd, suami Ch memilih untuk tidak bercerai dan mengijinkan istrinya untuk kembali aktif ke gereja.

Pada saat aktif kembali ke gereja itulah, Ch didekati oleh seorang ibu majelis yaitu Bg, yang memberi dorongan dan semangat kepadanya untuk selalu kuat menghadapi masalah kehidupan, bahkan Bg sering berkunjung ke rumah Ch, dan menyarankan agar natinya Ch menghadap pendeta Jemaat untuk meminta pelayanan pertobatan, dan kembali ke agama Kristen, hal itu membuat Ch merasa dikuatkan.

Atas dorongan dan pendekatan Bg yang menghimbau Ch agar menghadap pendeta jemaat untuk meminta pelayanan pertobatan, Ch kemudian menghadap pendeta Spj untuk meminta pelayanan katekisasi pertobatan, karena ia ingin kembali menganut agama Kristen. Permohonannya disambut baik oleh pendeta, yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian katekisasi pertobatan, sebagai bagian dari proses penggembalaan khusus. Pada proses penggembalaan khusus diadakan katekisasi pertobatan selama tiga kali pertemuan, dengan materi pembinaan iman Kristen, yang selanjutnya Ch mendapatkan pelayanan ibadah pertobatan, dan dinyatakan kembali menganut agama Kristen.

Sebagai dampak pindah agama kembali ke Kristen hubungan dengan mertua juga sempat menjadi kurang baik, yang biasanya tiap bulan diberi jatah beras, dan tambahan uang belanja tidak diberi lagi, kalau bertandang ke rumah mertua selalu dipengaruhi agar mempertahankan keislamannya, dan tidak perlu pindah agama lagi, demikian juga dengan teman-teman agama lain, yang juga mempengaruhi agar tidak kembali ke Kristen, tetapi Ch, bersikukuh untuk tetap kembali ke Kristen.

Keputusan Ch kembali ke agama Kristen, awalnya mengganggu hubungan dengan suami, mertua dan teman-temannya,tetapi tidak menjadi halangan bagi Ch, untuk aktif bergereja, bahkan sikap yang kurang baik tersebut dibalas dengan sikap yang mau bersahabat, mengalah, sabar terhadap mereka, sampai akhirnya hubungan dengan mereka baik kembali, di sisi kehidupan yang lain perilaku Ch makin religius, apalagi setelah mendapatkan pelayanan penggembalaan dari gereja, Ch menjadi aktif bergereja, rajin berdoa, membaca Alkitab, melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan gereja, bagi Ch ibadah minggu menjadi diutamakan, bila ada kegiatan suami yang mengajak istri, ia lakukan sesudah mengikuti ibadah minggu pagi, ia merasa tidak


(9)

37

nyaman bila tidak mengikuti ibadah minggu.Ia merasa lega, dan merasa tentram dengan keputusannya kembali menganut agama Kristen, dan merasa yakin bahwa Tuhan menyayanginya. Kembalinya Ch ke agama Kristen mendapatkan respon dari majelis jemaat, serta warga jemaat yang sering mendorong Ch untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja. Atas dorongan para majelis dan warga Ch merasa makin dikuatkan imannya.

Sampai anak kedua lahir Ch dan suaminya sepakat untuk menjaga kerukunan, walaupun mereka berbeda agama, pembicaraan dalam keseharian tidak lagi dalam membicarakan tentang agama mereka dan tidak disinggung lagi tentang pindah agama, mereka berusaha untuk saling menghargai dan saling menghormati, tetapi kemudian mereka berpikir tentang pendidikan agama kedua anaknya, untuk itu Ch dan suaminya membuat kesepakatan tentang agama ke dua anak mereka.Kedua anaknya diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri ikut agama ibunya atau bapaknya, tetapipada saat anak-anaknya memasuki masa remaja, mereka mengikuti agama ibunya, dengan keadaan tersebut (Dd) ayahnya menyadari bahwa ia tidak bisa membimbing menurut agama yang ia anut, sehingga ia merelakan kedua anaknya mengikuti agama Kristen.

Seiring dengan berjalannya waktu, pasangan suami istri yang berbeda agama tersebut selalu berusaha hidup rukun, saling menghormati, dan saling menerima satu sama lain. Hal ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, bila ada Ch mengikuti kegiatan gereja sang suami mengantarnya, bahkan kalau Ch lupa sering suami mengingatkannya, demikian juga sebaliknya Ch bersedia mendampingi suami bila ada kegiatan-kegiatan kantor suaminya. Perbedaan agama bagi mereka pada akhirnya bukan menjadi penghalang untuk hidup bersama sebagai suami istri, mereka berupaya untuk memelihara kerukunan dengan saling menghormati satu sama lain.Merekapun berterima kasih pada gereja yang menerima mereka apa adanya, bahkan mereka merindukan adanya kegiatan gereja untuk pasangan yang berbeda agama.

Kasus kedua, Ar, seorang ibu rumahtangga berumur 54 tahun, beragama

Kristen, bersuamikan Pr, 56 tahun, ia beragama Islam dan taat beribadah, memiliki dua anak laki-laki, yang sulung sudah menikah dan tinggal di Malang, anak kedua, pengawai Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Tempat tinggal : Ponorogo, berada di tengah-tengah masyarakat muslim. Ar menikah dengan Pr secara Islam pada tahun 1982, dan berpindah agama (kembali) ke Kristen pada tahun 1988. Deskripsi kisahnya seperti berikut:


(10)

38

Ar. Berasal dari keluarga Kristen di sebuah desa Kristen di Kabupaten Malang, sejak lulus SLTA merantau ke Ponorogo, dan bekerja di sebuah rumah bersalin swasta. Di Ponorogo ia menjalin dengan seorang pemuda bernama Pr, ia beragama Islam yang taat. Mereka saling mencintai, karena itu jalinan kasihnya dilanjutkan dengan pernikahan.tetapi sebelum menikah Ar menyampaikan kepada Pr kekasihnya, bahwa ia bersedia menikah secara Islam, tetapi sesudah proses pernikahan Ar akan kembali masuk Kristen. Pernikahan mereka berlangsung secara agama Islam di KUA Kecamatan Ponorogo (Kota) pada tahun 1982. Dalam proses pernikahannya Ar, mengucapkan dua kalimat Sahadat Islam. Setelah selesai mengucapkan sahadat, Ar diliputi perasaan bersalah, walaupun ada janji dalam diri setelah menikah akan kembali ke gereja, tetapi ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Perasaan - perasaantersebut selalu menghantui Ar, ia seakan-akan menjadi manusia kotor, najis di hadapan Tuhan, Ar diliputi perasaan gelisah dan tertekan apalagi ketika bertemu dengan warga gereja yang sering menyinggung pernikahannya yang tidak dilakukan di gereja tetapi di KUA, hal ini makin membuatnya merasa tertekan.Dari hari ke bulan, dari bulan ke tahun perasaan tersebut selalu muncul, ia sebenarnya ingin pergi ke gereja, tetapi takut pada suaminya yang taat beragama, ia khawatir suaminya marah atau tersinggung, ia juga malu bilapergi ke gereja akan dicibirkan oleh warga gereja. Perasaan-perasaan tersebut membuat hidupnya tidak tenang, dalam praktek keseharian iapun tidak pernah sembahyang secara Islam, pada hal Ar adalah istri Pr, seorang muslim yang taat beragama. Ar tidak berani bercerita tentang perasaan-perasaan yang menjadi batinnya tersebut kepada suami atau teman-temannya, ia lebih memilih diam, menyimpan perasaan yang menekan dirinya tersebut selama kurang lebih enam tahun.

Pada tahun 1986, beberapa bulan setelah anak ke dua lahir Ar memberanikan diri ke gereja secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan suami,dan kegiatan ke gereja itu dilakukan berulang-ulang, sampai di suatu ketika ia didekati oleh seorang ibu majelis yang berprofesi sebagai bidan bernama Bg, dan Ar mengenal betul Bg karena ia adalah karyawati di sebuah rumah bersalin swasta di mana Ar saat itu juga bekerja di rumah bersalin tersebut. Pada saat itu Bg memotivasi agar Ar terus aktif ke gereja walaupun ada banyak tantangan, dorongan itulah yang membuat Ar selalu ingin ke gereja pada hari minggu untuk beribadah tanpa sepengetahuan suami.

Pada suatu hari Bg berbicara kepada Ar agar menghadap pendeta untuk meminta pelayanan pertobatan, tetapi Ar belum bersedia, ia masih butuh waktu untuk


(11)

39

menata diri, tapi ia berjanji di suatu saat ia akan menghadap pendeta untuk menyatakan kembali ke agama Kristen. Dua tahun berikutnya, pada tahun 1988, Ar memberanikan menghadap pendeta jemaat dan menyatakan bersedia menerima katekisasi pertobatan, yang pada saat itu dilayani oleh Pdt.S. Ar menerima pelayanan katekisasi pertobatan sebanyak tiga kali pertemuan, yang selanjutnya Ar mendapatkan pelayanan ibadah pertobatan dan secara resmi iadinyatakan kembali menganut agama Kristen.

Pr, suami Ar pada awalnya tidak mengetahui bahwa Ar istrinya kembali menjadi Kristen, tetapi setelah mengetahui bahwa istrinya telah kembali menjadi Kristen, ia menyatakan kekecewaannya pada Ar. Bentuk kekecewaannyadilampiaskan dengan selingkuh dengan wanita lain. Perselingkuhannya dengan wanita lain, diketahui Ar, tetapi ia diam tidak mau berkonflik dengan suaminya, ia tetap setia mendampingi walau hati disakiti oleh suami. Ia pun bersedia menerima keputusan apapun dari suami, kalau memang perselingkuhan itu dilakukan karena Ar kembali ke agama Kristen, Ar bersedia diceraikan, tetapi hal itu tidak terjadi, dan suaminya minta maaf atas kasus perselingkuhannya tersebut. Hari demi hari kehidupan Ar dengan suaminya tetap berjalan walau terasa hambar, tetapi Ar berusaha untuk mendampingi suami secara sebaik-baiknya, ia selalu berusaha untuk mengalah dan menghindari konflik dengan suaminya.

Berpindahnya Ar menjadi Kristen lagi juga menjadi pembicaraan tetangga dan teman kantor suaminya, keadaan ini ia dengar sendiri ketika ada kegiatan dengan lingkungan, suami juga bercerita pada istrinya bahwa Ar menjadi pergunjingan teman-teman kantornya, mereka seakan tidak terima Ar kembali menganut agama Kristen. Pergunjingan-pergunjingan itu ia tanggapi dengan sabar, walau hatinya merasa sedih, tertekan, tapi ia berusaha tegar dan tetap menyapa tetangga dan teman-teman suaminya dengan ramah, keputusan untuk kembali menganut agama Kristen adalah pilihan pribadinya, ia pun bersedia menanggung akibatnya.Keadaan itu mendorong Ar untuk lebih giat mengikuti kegiatan gereja, ia juga mulai berani menceritakan perasaannya kepada beberapa warga gereja, dan ia mendapatkan motivasi untuk kuat menghadapi pergunjingan tersebut dengan sabar. Dengan kesabaran, dan penyerahan diri kepada Tuhan Ar merasa ada kekuatanyang selalu menolong dirinya dalammenghadapi s persoalanyang menimpa dirinya.

Seiring dengan perjalanan waktu kehidupan pasangan suami istri Ar dan Pr, yang berbeda agama tersebut lambat laun berusaha untuk bisa saling menerima,


(12)

40

mereka membuat kesepakatan untuk bisa menerima keadaan yang berbeda itu apa adanya, mereka berusaha untuk saling menghargai satu dengan yang lain, bilamana saat bulan puasa datang, Ar dan anak-anaknya menghormati ayahnya dengan ikut berpuasa, Ar sebagai istri selalu menyediakan keperluan untuk makan sahur dan buka bersama, bila datang hari raya Idul fitri mereka rayakan bersama, demikian juga saat hari natal, suami selalu ikut mendampingi bila Ar istrinya mengikuti perayaan Natal.

Ar dan suaminya dikaruniai dua orang anak laki-laki, berkaitan dengan agama Ar dan Pr memberi kebebasan kepada kedua anaknya untuk memilih mengikuti agama yang dianut ibu atau ayahnya, tetapi kedua anaknya pada akhirnya memeluk agama Kristen mengikuti agama yang dianut ibunya.Pada saat ini anak sulung sudah berkeluarga dan tinggal di Malang, tetapi saat hari raya Idul Fitri, mereka selalu menyediakan waktu untuk pulang menghormati bapaknya yang menganut agama Islam, dan anak kedua bekerja sebagai Pegawai Negri di Ponorogo, tinggal bersama kedua orangtuanya.

Sejak menganut kembali agama Kristen Ar merasa mantab dengan keputusannya, ia pun aktif mengikuti kegiatan gereja, khususnya kegiatan ibu-ibu gereja, dan ia merasa kehidupan keagamaannya makin bertumbuh di samping suami yang muslim, walaupun kadang ada pernik-pernik kecil dalam rumah tangga tapi tidak pernah menimbulkan masalah yang besar, kehidupan yang rukun diwujudkan dengan sikap saling mendukung kegiatan kerohanian mereka, bila Ar ke gereja untuk beribadah atau mengikuti kegiatan gereja, suami bersedia antar jemput, demikian juga bila ada acara keagamaan suami, istri menyediakan diri terlibat di lingkungannya, atau kegiatan di Kelurahan Bayudono, di mana suaminya bekerja. Ar bersedia mendampingi suaminya yang menjabat sebagai sekretaris Kelurahan. Menurut pengakuan Ar, dalam kehidupan rumahtangga ia bersikap mengalah pada suaminya, dan berusaha menjaga kerukunan.

Pada suatu hari suami Ar pernah mengungkapkan perasaannya, ia merasa sendiri dalam keluarga, karena tak ada anak yang agamanya ikut dia, tetapi istri dan anak-anaknya menyatakan bahwa mereka selalu siap dalam kebersamaan, saling menolong dan saling menghargai walau berbeda keyakinan, hal itu diwujudkan dalam keseharian, ketika bulan puasa datang pak Pr menjalankan ibadah puasa, istri dan anak-anaknya menemani ikut juga berpuasa, ketika Idul fitri mereka bersama merayakan bersama. Mereka berusaha menjaga kerukunan, dan hidup saling


(13)

41

menghargai satu sama lain, bila ada masalah mereka bicarakan bersama untuk mencari solusi yang terbaik bagi keluarga.

Ar berharap gereja bisa memberikan pelayanannya kepada keluarga-keluarga yang keadaannya seperti mereka, yaitu keluarga majemuk, yang anggotanya berbeda keyakinan. Ar dan suaminya menyampaikan rasa terimakasih kepada gereja yang selama ini memperhatikan keberadaan mereka, dengan pelayanan perkunjungannya, mereka juga berharap pelayanan yang sudah diberikan kepada mereka dalam bentuk kunjungan pastoral yang dilakukan oleh majelis jemaat bisa di tingkatkan kwalitasnya, Ar dan suaminya merasa senang, dan terbuka terhadap pelayanan gereja selama ini.

Kasus ketiga, Ea, usia 64 tahun, seorang janda, pensiunan Guru SMP bidang

studi bahasa Jawa, beragama Kristen, (masuk agama Kristen pada tahun 2008) bertempat tinggal di lingkungan perumahan bersama dengan ketiga cucunya, aktif di kegiatan ibu-ibu gereja, kelompok Lanjut Usia, demikian juga aktif dalam kegiatan masyarakat lingkungan perumahan. Ea masuk agama Kristen pada tahun 2008, deskripsi kisahnya seperti berikut :

Menjelang masa pensiun, pada tahun 2008 Ea memutuskan untuk memperdalam agama Islam, ia minta bantuan rekannya yang dianggap banyak memahami soal agama Islam untuk menjadi pembimbing rohaninya, ia kemudian juga aktif dalam kelompok yasinan, dan mengikuti pengajian-pengajian di lingkungan perumahan, bahkan Ea ditunjuk sebagai ketua kelompok yasinan di lingkungannya. Bimbingan rohani yang diberikan rekannya dilakukan seminggu sekali di Masjid Perumahan, dan sekali saat sesudah yasinan, Berkali-kali menerima bimbingan rohani tidak membuat Ea bertumbuh pengetahuan dan imannya, ia merasa kesulitan untuk menerima materi dan arahan yang diberikan temannya, ia malah mengalami kebingungan tidak dimengerti sebabnya, alasan utama yang dikatakan adalah sulit mengerti bahasa Arab, Ea merasa ada beban berat, sehingga menimbulkan perasaan gelisah tidak tenang, perasaan itu selalu muncul, walaupun demikian ia tetap aktif melaksanakan kegiatan yasinan, dan mengikuti pengajian-pengajian di lingkungannya.

Di suatu hari, Ea ditugasi Kepala Sekolahnya untuk mendampingi kegiatan pramuka padahari minggu pagi di sekolah.Pagi-pagi ia berangkat diantar tetangga


(14)

42

yang juga seorang guru ke sekolahan, tetapi karena hari masih pagi ia minta diturun kan di jalan yang melewati gereja GKJW. Saat berjalan melintas di depan gereja terdengar sayup-sayup lagu rohani, dan lagu itu menyentuh hati Ea, kemudian ia tanpa rencana, spontan langsung masuk gereja dan mengikuti ibadah, pada saat mengikuti ibadah ia diberi Alkitab oleh seorang warga jemaat yang duduk di sebelahnya dan Alkitab itu diterimanya, selesai mengikuti ibadah ia bertemu dengan (Hr) rekan guru yang anggota GKJW Jemaat Ponorogo. Rekan guru itu kaget melihat Ea mengikuti ibadah, ia kemudian mendekati dan menyalami Ea. Setelah berbincang sejenak, Ea pamit untuk ke sekolahan di mana ia ditugasi kepala sekolahnya untuk mendampingi kegiatan pramuka.

Pada suatu malam Ea membuka Alkitab yang diperoleh dari pemberian warga gereja, ia kemudianmembacanya, ketika membaca ada perasaan lain, terlebih ketika membaca Masmur 23, ia merasa menemukan tentang yang ia cari selama ini yaitu ketentraman. Di hari-hari berikutnya ia menyisihkan waktu untuk membaca Alkitab, Ea suka membaca kitab Masmur, perasaannya haru ketika membacanya, ia mulai merenungkan tentang dirinya, dan merasa isi kitab Masmur banyak menyentuh kisah hidupnya, tidak terasa air matanya kadang meleleh membasahi pipinya. Sejak saat itu ia merasa gelisah dan berupaya untuk mencari tahu bagaimana mempelajari agama Kristen, saat berpikir itulah ia teringat teman baiknya yang beragama Kristen yaitu Hr, yang pernah ia jumpai saat mengikuti ibadah di GKJW.

Beberapa hari kemudian Ea mendekati Hr, seorang teman guru yang pernah bertemu saat ibadah di gereja, dan memohon penjelasan tentang bagaimana belajar agama Kristen, atas permohonan Ea tersebut kemudian Hr, mengantar dan mendampingi Ea menjumpai majelis GKJW Jemaat Ponorogo. Pada perjumpaan tersebut Ea mengungkapkan maksudnya untuk belajar agama Kristen, dan majelis tersebut (Shr) memberikan penjelasan tentang syarat-syarat yang perlu diikuti untuk belajar agama Kristen di GKJW Ponorogo dan saat itu juga Ea menyatakan siap belajar dan menerima syarat-syarat tang disampaikan oleh majelis tersebut. Selanjutnya Ea mengikuti katekisasi calon warga setiap hari selasa sore, selama tiga bulan ia ikuti dengan rajin, sampai pada akhirnya ia merasa mantab memutuskan bersama cucunya (Fb) masuk agama Kristen, dan bersedia menerima sakramen babtisan.


(15)

43

Dalam proses katekisasi, Ea menceritakan bahwa ia pernah bersekolah di SMP Katolik di Madiun, tetapi tidak berkeinginan masuk agama Katolik, yang ia ingat setiap Natal dan Paskah, semua siswa selalu mengikuti dan dilibatkan dalam pelaksanaan perayaan tersebut, ia terkesan dengan pohon natal dan lagu-lagu natal yang didengarkan saat itu, bila bulan Desember tiba terkadang ia teringat saat dilibatkan dalam acara perayaan Natal di sekolah SMP Katolik Madiun, saat itulah yang muncul dalam ingatan Ea ketika secara tidak sengaja mengikuti ibadah pertama di GKJW Ponorogo.

Pada minggu ketiga bulan Mei tahun 2008, setelah proses katekisasi selesai dalam tiga bulan, Ea bersama dengan cucunya Fb, menerima sakramen babtisan, saat dilayani sakramen babtisan kudus, ia merasa dilingkupi kuasa yang mententramkan hidupnya, Ea meyakiniyang melingkupi itu Tuhan. Setelah proses babtisania dan cucunya disambut hangat oleh warga gereja GKJW Jemaat Ponorogo, sambutan dari warga itu membuatnya merasa terharu. Sejak menerima babtisan Ea aktif dalam kebaktian-kebaktian keluarga, dan juga ibadah Minggu, ia pun sering menceritakan pengalaman hidupnya kepada warga jemaat, bahwa ia merasa beruntung menjadi Kristen, ia meyakini bahwa yang menjadikan Kristen adalah karena pimpinan dan anugrah Tuhan.Ia bersyukur telah dihantar Tuhan untuk menjadi seorang Kristen.

Sejak menyatakan berpindah agama dari Islam ke Kristen, Ea menjadi perbincangan masyarakat, terlebih teman-teman guru di sekolahnya tempat ia mengajar, dan berhembus rumor bahwa Ea masuk Kristen karena mengalami kesulitan ekonomi, dan GKJW Jemaat Ponorogo dianggap telah memberikan fasilitas kebutuhan ekonomi bagi Ea. Atas rumor tersebut sampai ada teman Ea yang menyarankan agar menyekolahkan cucu-cucunya ke panti asuhan keagamaan (Islam) yang memberi beasiswa bagi cucu-cucu-nya, tetapi semuanya tolak, dan memberikan penjelasan bahwa Ea masuk Kristen bukan karena kesulitan ekonomi seperti yang disangkakan beberapa orang, ia masuk Kristen karena kemauannya sendiri, dan ia merasa telah menemukan jalan hidup baru, soal pindah agama adalah soal pribadi begitu jawabannya.

Perubahan sikap keagamaan yang Ea lakukan setelah menjadi Kristen adalah keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan gereja, bahkania terlibat aktif dalam pelayanan anak-anak, ibu-ibu gereja dan kelompok lansia. Ia menyatakan bahwa


(16)

44

menjadi Kristen adalah anugrah, dan merasakan pada setiap ada persoalan yang ia hadapi Tuhan selalu menolongnya, keadaan itulah yang membuatnya makin religius. Dalam keadaan ada pertentangan iaberusaha tetap menjaga hubungan baik dengan tetangga, dan kelompok yasinan di lingkungannya, ia pun terbuka untuk menerima tetangga yang beragama lain. Sejak pindah agama Kristen, ia selalu menyempatkan diri mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian di gereja, hal itu membuatnya merasa bahagia, ia merasa telah menemukan yang selama ini ia rindukan.

Di suatu hari, Ea pernah mengunjungi kakaknya di Caruban, saat itu ia disuruh kembali ke agama Islam, tetapi ia mengatakan bahwa ia merasa mantab menganut agama Kristen, ia telah menemukan jalan hidup yang diyakini kebenarannya,walaupun kini agama Ea berbeda agama dengan saudara-saudaranya ia tetap menjalin hubungan baik dengan mereka, sebagai contoh kalau saudaranya membutuhkan bantuan Ea, ia bersedia membantunya, bila hari raya Idulfitri, ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke saudaranya. Keadaan yang demikian ia jalani dengan sadar dan penuh keyakinan bahwa Tuhan menyertai dia dalam segala keadaan. Sebagai orang Kristen baru, Ea merasa perlu untuk mendapatkan pembinaan-pembinaan masalah kekristenan, khususnya pembinaan-pembinaan iman, walaupun ia terlibat aktif dalam pelayanan di gereja ia masih membutuhkan bimbingan dari majelis jemaat. Gereja perlu meningkatkan program pembinaan iman yang berkelanjutan, khususnya bagi warga yang masih relaif baru, ia juga berharap gereja menyediakan buku-buku rohani untuk bahan bacaan bagi warga gereja, khususnya bagi warga baru hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kekristenan.

Kasus keempat, Pm, seorang duda berusia 70 tahun, pensiunan pegawai negri,

bertempat tinggal di Desa Sidoharjo-Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo, ia tinggal bersama anak dan cucu-cucunya yang beragama Islam yang taat. Ia menyatakan masuk Islam pada bulan Oktober 2014. Deskripsi kisahnya sebagai berikut :

Pm adalah seorang yang statusnya duda, sudah kurang lebih empat tahun ia ditinggal mati istrinya pada tahun 2011, keadaan tersebut membuat Pm merasa sendiri, dan merasa terasing, ia sebenarnya tinggal serumah dengan anak dan menantunya yang muslim. Untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari dilayani


(17)

45

oleh anaknya, keberadaan cucu-cunya juga bisa menjadi teman bagi Pm, namun demikian kadang timbul perasaan sedih, merasa sepi ditinggal mati istrinya, biasanya kalau hari minggu pergi beribadah bersama istri, tetapi kematian istri berpengaruh terhadap kehadiran di gereja. Dalam situasi perasaan gundah, Pm jarang pergi ke gereja, apalagi jarak tempuh ke gereja GKJW cukup jauh yaitu 16 kilometer dari rumahnya, sedangkan tranportasi tidak begitu lancar, sementara anak dan cucunya yang muslim keberatan kalau setiap minggu mengantar ke gereja, ia mengalami hambatan bila pergi ke gereja, apalagi usia sudah lanjut, kekuatan tubuh berangsur melemah mempengaruhi aktifitas ke luar rumah, keadaan itu menjadi beban pikirannya.

Suatu ketika pengurus gereja Pentakosta yang jaraknya relatif dekat dengan rumah Pm mengajaknyauntuk beribadah dan bergabungmenjadi warganya, dari pada beribadah ke GKJW jaraknya relatif jauh dari rumah Pm, ajakan itu membuatnya bingung.Pm sebenarnya pernah mengikuti ibadah di gereja Pentakosta, tetapi ia merasa tidak cocok, dan tidak bisa mengikuti karena suara musiknya keras dan mengganggu ketenangan ibadah, hal itulah yang menjadikan ia tidak ingin ke gereja Pentakosta, ia pun dilandakebingungan dengan keadaannya tersebut.

Dalam keadaan bingung itu, Pm diajak anaknya yang muslim untuk pindah agama ke Islam, walaupun tidak sembahyang di masjid tidak apa-apa kata anaknya, yang penting mengucapkan dua kalimat sahadat sudah cukup, karena terus menerus dipengaruhi, diajak terus menerus akhirnya Pm menyerah pada ajakan anaknya, apalagi ia dalam rumah itu ia Kristen sendiri, ia takut kalau meninggal diabaikan anak-anaknya, selanjutnya di hadapan tokoh agama Islam di desanya ia mengucapkan dua kalimat sahadat dan menyatakan masuk Islam. Pada saat masuk Islam ia disambut dan diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar yang beragama Islam, bahkan Pm mendapatkan perhatian lebih dari kelompok yasinan di lingkungannya.

Pm sebenarnya masih merasakan diperhatikan oleh gereja, dengan pelayanan perkunjungan bagi warga usia lanjut, yang dilakukan setiap bulan sekali, tetapi baginya tidak cukup, keinginananya lebih dari sekali dalam sebulan, apa lagi ia sudah duda, dan lanjut usia, belum lagi ia seorang diri yang beragama Kristen di rumah itu. Pm terguncang imannya ketika anak-anaknya mengajak dia masuk agama Islam. Dalam pengakuannya, ia terpaksa pindah agama karena merasa tidak berdaya


(18)

46

mendapatkan tekanan dari anak-anaknya yang muslim, bila tetap menganut Kristen mereka tidak bersedia mengantar Pm untuk mengikuti ibadah minggu, ia menyerah dengan desakan dan kemauan anak-anaknya sampai pada akhirnya ia pindah agama. Ia sebenarnya merasa berat meninggalkan iman Kristen, tetapi di sisi lain bila tetap menganut Kristen ia khawatir, ia merasa tidak aman dan takut tidak diperhatikan oleh anak-anaknya.

Sesudah menyatakan pindah agama secara resmi, Pm menghubungi salah satu warga jemaat, dan disuruh menyampaikan pemberitahuan kepada majelis jemaat bahwa ia telah pindah agama Islam mengikuti anaknya, ia berpesan agar majelis gereja tidak perlu lagi memberikan jadwal ibadah perkunjungan di rumahnya. Setelah mendapatkan informasi itu majelis mendatangi Pm di rumahnya, yang ditemui juga oleh anaknya, dan memberitahukan bahwa Pm telah berpindah agama, mereka menyampaikan permohonan maaf pada majelis Jemaat, bahwa Pm pindah agama mengikuti anaknya yang muslim, agar ia merasa tentram, dan aman tinggal bersama anak dan masyarakat sekitarnya.

Dari paparan keempat kasus pindah agama di atas maka kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis kasus pindah agama yaitu:

Pertama,Kasus pindah agama dari agama Kristen masuk agama Islam beberapa tahun kemudian kembali masuk agama Kristen. (responden kasus Ch dan Ar) Kedua, Kasus Pindah agama dari Islam masuk agama Kristen (Kasus Ea), dan Ketiga, Kasus Pindah agama dari Kristen pindah agama ke Islam.(Kasus Pm).

5. Penanganan GKJW Jemaat Ponorogo terhadap kasus pindah agama.

Kasus pindah agama di GKJW dimasukkan dalam ranah kasus pastoral, yang penanganannya merujuk pada Tata dan Prana Gereja,10 bilamana kasus itu dialami oleh jemaat awam yang menangani adalah majelis jemaat setempat, dan tradisinya diserahkan kepada pendeta jemaat, bila yang berkasus adalah anggota majelis dari unsur penatua atau diaken, maka yang menangani adalah Pelayan Harian Majelis Daerah (Klasis), dan bilamana kasus itu menimpa anggota Majelis Daerah, yang menangani adalah Pelayan Harian Majelis Agung (Sinode) GKJW. Sehubungan dengan empat kasus pindah agama yang dikelompokkan menjadi tiga kasus tersebut

10

, Pdt. Agus Supriyono menyampaikan bahwa kasus pindah agama termasuk rahnah kasus pastoral, dan penanganannya merujuk pada Tata dan Pranata Gereja GKJW


(19)

47

di atas, mereka adalah warga jemaat awam, maka yang menangani adalah jemaat se tempat, dalam hal ini adalah majelis jemaat Ponorogo, adapun bentuk penanganannya seperti berikut:

Pertama: Penanganan terhadap responden yang sebelumnya beragama Kristen pindah ke Islam, dan beberapa tahun kemudian kembali menganut agama Kristen

Penanganan gereja terhadap warga jemaat yang pernah pindah agama Islam,atau agama yang lain, dan bermaksud kembali menjadi Kristen, landasan tindakannya berlandaskan pada Tata dan Pranata tentang penggembalaan Khusus. Seseorang yang pernah keluar dari agama Kristen, dianggap telah menyimpang dari ajaran dan kepercayaan Kristen, kalau yang bersangkutan ingin kembali menjadi Kristen harus bersedia menerima penggembalaan khusus, yang dalam tradisi GKJW diserahkan kepada pendeta jemaat, tetapi bisa juga dimandatkan kepada anggota majelis yang dianggap mempunyai kompetensi untuk menanganinya. Penggembalaan khusus yang diberikan kepada seseorang yang bermaksud kembali menjadi Kristen dinamakan katekisasi pertobatan, walaupun katekisasi pertobatan tidak hanya diberikan kepada warga yang masuk kembali ke agama Kristen saja, tetapi juga diberikan kepada mereka yang dianggap melanggar norma-norma Kristen, seperti kasus perzinahan, perjudian, dan yang terkena kasus hukum, dan kasus-kasus tersebut dimasukkan dalam ranah kasus pastoral.11

Penggembalaan Khusus kepada warga yang ingin kembali masuk agama Kristen dilakukan dengan cara memberikan pelayanan konseling pastoral, dengan berlandaskan ajaran Kristen yang bersumber dari Alkitab. Dalam pelaksanaan penggembalaan khusus tersebut ada perjumpaan, percakapan dan pembinaan terhadap warga yang akan kembali masuk agama Kristen. Frekwensi dan waktu pertemuan berkisar dua sampai tiga kali pertemuan, selanjutnya diakhiri dengan ibadah pertobatan, yang dimaksud dengan ibadah pertobatan menurut Tata dan Pranata GKJW, adalah ibadah yang diselenggarakan dalam rangka melayani pertobatan, dan dapat dilakukan dalam ibadah Minggu atau di hadapan Majelis-majelis.12Dengan demikian sikap dan tindakan gereja terhadap warga yang bermaksud kembali masuk

11

Sumber : Pdt. Agus Supriyono, hasil wawancara tanggal 29 nopember 2014 tentang penanganan kasus pindah agama.

12

Majelis Agung, Tata dan Pranata GKJW (1996), Pranata Tentang Ibadah, Memori Penjelasan Bab IV Pasal 9, poin I, hlm.65


(20)

48

Kristen adalah menerima dengan syarat, yaitu wajib mengikuti katekisasi pertobatan, yang didalamnya ada pelayanan konseling pastoral.

Penanganan gereja terhadap kasus pertama, yaitu Ch dan Ar, yang bermaksud masuk kembali agama Kristen, dilakukan dengan cara merespon permintaan mereka untuk mengikuti katekisasi pertobatan, selanjutnya pendeta jemaat melakukan penggembalaan khusus, dengan cara mengadakan percakapan konseling, sebanyak tiga kali pertemuan, dalam percakapan tersebut didahului dengan renungan singkat dengan tema pertobatan, selanjutnya pendeta melakukan percakapan konseling yang bersifat pembinaan iman, serta menyampaikan tentang hak dan kewajiban warga jemaat, selanjutnya proses katekisasi diakhiri dengan memotivasi mereka (Ch, dan Ar), agar menyiapkan diri dan bersedia untuk menerima pelayanan pertobatan, yang dilaksanakan di depan majelis jemaat, selanjutnya gereja memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada mereka seperti kepada warga jemaat lainnya, contohnya mendapatkan hak untuk terlibat aktif dalam kegiatan gereja, hak mengikuti ibadah, menerima pelayanan kunjungan pastoral majelis dan sebagainya.

Tindakan berikutnya, adalah pembinaan berkelanjutan, yang diprogramkan Jemaat melalui program pelayanan khusus kepada pasangan beda agama, yang dilakukan setiap pekan Pentakosta13, dan pada hari-hari khusus yang ditetapkan berdasarkan agenda kegiatan gereja, dengan model pelayanan kunjungan pastoral terhadap pasangan suami istri yang berbeda iman. Kunjungan pastoral dilakukan secara kelompok, yang bertujuan memberikan kesempatan kepada Ch, dan Ar, dan keluarga lain yang berbeda iman untuk mengungkapkan pergumulan-pergumulannya dalam hidup berkeluarga. selesai sharing mereka diajak berdoa bersama.

Kedua, Penanganan terhadap responden muslim atau non Kristen yang bermaksud masuk agama Kristen.

Bagi seseorang yang menganut agama non Kristen dan bermaksud masuk agama Kristen di GKJW, diwajibkan mengikuti katekisasi calon warga sekurang-kurangnya tiga bulan,14 dengan 12 kali tatap muka, sesuai dengan Tata gereja, materi katekisasi yang disampaikan tentang iman Kristen, serta tentang hak dan kewajiban sebagai

13

Pnt. Sunarjo menyampaikan bahwa jemaat mempunyai program pembinaan bagi pasangan beda agama, yaitu kunjungan pastoral yang dilaksanakan pada pekan pentakosta.

14


(21)

49

warga gereja, termasuk didalamnya adalah pelayanan konseling pastoral. Setelah mendapatkan pelayanan katekisasi mereka menerima sakramen babtisan yang dilaksanakan di tengah-tengah proses peribadahan yang dihadiri oleh warga jemaat. Selanjutnya mereka yang menerima tanda babtis, diberi surat tanda kewargaan gereja dan dicatat sebagai anggota baru dalam buku keanggotaan gereja. Proses untuk menjadi Kristen di GKJW didahului dengan katekisasi yang dilaksanakan dalam jangka waktu tententu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada calon warga tentang agama Kristen secara bertahap, serta memberi kesempatan untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh mengenai keinginannya untuk masuk agama Kristen.

Penanganan gereja terhadap kasus kedua (dalam kasus Ea)seorang beragama Islam yang bermaksud masuk agama Kristen, diawali dengan menerima dan merespon permintaan Ea, yang bermaksud belajar agama Kristen, selanjutnya gereja memberikan pelayanan katekisasi calon warga, yang dilaksanakan selama tiga bulan dengan 12 kali pertemuan, dengan materi pembinaan tentang iman Kristen dan hidup bergereja. Dalam proses katekisasi, dilaksanakan melalui perjumpaan dan percakapan, serta penyampaian informasi-informasi yang berkaitan dengan kekristenan, yang di dalamnya ada proses konseling pastoral. Setelah memberikan pelayanan katekisasi selama tiga bulan, gereja melaksanakan pelayanan sakramen babtisan, sebagai inisiasi bahwa orang itu sudahmenjadi Kristen, dan pelaksanaan sakramen babtisan dilaksanakan dalam ibadah Minggu. Sebagai pengakuan formal maka orang yang telah menerima babtisan,mendapatkan surat tanda warga gereja dan dicatat dalam buku kewargaan gereja.15 Selanjutnya gereja memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, serta memberikan hak dan kewajiban yang sama seperti yang diberikan kepada warga jemaat lainnya, seperti hak untuk mendapatkan pelayanan pastoral, menerima sakramen perjamuan kudus, pelayanan ibadah keluarga dan yang lainnya.

Ketiga, Penanganan terhadap warga jemaat yang pindah agama Islam

Penanganan gereja terhadap kasus pindah agama warga jemaat yang pindah agama Islam, dilakukan dengan pendekatan yang mengacu pada Tata Pranata Gereja,

15

Dkn. Sintawati, sekretaris jemaat , menampaikan bahwa setelah proses sekramen babtisan, Ea mendapatkan Surat Tanda warga, sebagai bukti bahwa Ea sah menjadi warga jemaat.


(22)

50

dengan sebutan penggembalaan khusus.Penggembalaan khusus bertujuan agar warga yang bersangkutan kembali pada perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan ajaran-ajaran seperti yang berlaku di GKJW demi damai sejahtera persekutuan umat Tuhan yang baru.16 Sebelum menentukan perlu tidaknya penggembalaan khusus, utusan majelis jemaat berusaha mencari informasi yang benar tentang warga jemaat yang pindah agama tersebut, selanjutnya majelis jemaat menelusuri kebenarannya, dengan cara mendatangi dan menanyakan kepada yang bersangkutan atau keluarganya, bila terbukti benar maka kasus tersebut dibawa dalam forum rapat majelis.

Pada forum rapat, membahas dan mempertimbangkan temuan-temuannya, selanjutnya warga yang telah pindah agama tersebut diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atau jawaban secara tertulis atau lisan tentang kasus yang dialaminya. Berdasarkan penjelasan yang diperoleh, selanjutnya majelis melakukan pemeriksaan dan pertimbangan-pertimbangan untuk mengambil keputusan tentang perlu tidaknya diadakan penggembalaan khusus. Bilamana majelis jemaat menyatakan perlu penggembalaan maka diberlakukan dengan cara mendatangi, mengingatkan, membina secara teratur, sampai bersedia bertobat, dan menyatakan kembali masuk agama Kristen di tengah ibadah pertobatan, tetapi bila tidak bersedia bertobat, dan menyatakan pindah agama Islam maka yang bersangkutan dikeluarkan kewargaannya dari jemaat, dengan diberi catatan : telah meninggalkan iman Kristen, dalam buku induk disebut murtad.17

Sebenarnya GKJW Jemaat Ponorogo berupaya untuk melakukan pembinaan-pembinaan iman, yang dituangkan dalam program kegiatan tahunan (PKT), secara khusus komisi teologia yang menangani bidang pembinaan iman, misalnya dengan program katekisasi, retreat, sarasehan dengan materi-materi yang berkaitan dengan pembinaan iman Kristen. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kwalitas iman, dan persekutuan warga jemaat, yang berpengaruh juga pada upaya pencegahan agar tidak ada warga jemaat yang pindah agama, tetapi dalam kenyataannya masih

16

Majelis Agung, Tata Pranata GKJW (1996) Pranata tentang Penggembalaan Khusus, hlm.183 17

Pdt. Agus S, (sebagai pdt.konsulen) menjelaskan bahwa warga yang jelas keluar kasuk agama Islam, kewargaannya dicoret, dan dinyatakan murtad atau meninggalkan agama Kristen.


(23)

51

saja ada warga jemaat yang pindah agama, demikian keterangan yang diberikan oleh Penatua Sunarjo.18

Pada kasus pindah agama yang dilakukan Pm (70 tahun), tindakan yang dilakukan gereja, menurut keterangan Penatua Sunarjo19 adalah: pertama, merespon informasi yang diterima dari salah seorang warga jemaat yang menyampaikan pesan bahwa ada seorang warga (kasusPm )menyatakan pindah agama Islam. Langkah kedua dengan cara mengklarifikasi kebenaran kasus tersebut dengan mendatangi ke rumah yang diberitakan pindah Islam, dan menanyakan kebenaran berita yang telah diterima dari warga jemaat, dalam perjumpaan tersebut diperoleh keterangan dari yang bersangkutan (Pm) dan anaknya bahwa orang tersebut benar-benar telah menyatakan pindah agama Islam. Selanjutnya utusan majelis menyampaikan keterangan tersebut kepada Pelayan Harian Majelis Jemaat, kemudian dilakukan pembahasan atas kasus tersebut, dan diputuskan tidak diadakan penggembalaan khusus, selanjutnya warga tersebut (Pm) dinyatakan dikeluarkan dari keanggotaan gereja, namun demikian utusan majelis jemaat menyampaikan kepada yang pindah agama Islam (Pm), dan anaknya bahwa gereja memaklumi keputusannya untuk pindah agama Islam, karena itu pilihannya sendiri, selanjutnya berharap agar yang bersangkutan nyaman dengan keputusannya. Atas penanganan kasus tersebut, sekretaris jemaat mencatat pada buku kewargaan gereja bahwa yang pindah agama Islam dinyatakan dikeluarkan dari keanggotaan gereja GKJW.Jemaat Ponorogo.

Kesimpulan Bab tiga, warga Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Ponorogo berada di tengah-tengah masyarakat majemuk, kondisi tersebut berpengaruh terhadap kasus pindah agama. Kasus pindah agama yang terjadi Nampak pada adanya fenomena kawin beda agama, kasus pindah agama dari Kisten ke Islam, demikian juga dari Islam masuk agama Kristen. Terkait dengan kasus pindah agama tersebut pihak gereja melakukan penanganan dengan mengacu pada Tata Gereja.

18

Wawancara dengan penatua Sunarjo, pada tanggal 2 Desember 2015, ia memberikan keterangan bahwa jemaat telah mempunyai program pembinaan iman, dimaksudkan agar iman warga jemaat tumbuh dengan baik., tetapi masih saja ada warga yang pindah agama, kebanyakan karena perkawinan.

19


(1)

46

mendapatkan tekanan dari anak-anaknya yang muslim, bila tetap menganut Kristen mereka tidak bersedia mengantar Pm untuk mengikuti ibadah minggu, ia menyerah dengan desakan dan kemauan anak-anaknya sampai pada akhirnya ia pindah agama. Ia sebenarnya merasa berat meninggalkan iman Kristen, tetapi di sisi lain bila tetap menganut Kristen ia khawatir, ia merasa tidak aman dan takut tidak diperhatikan oleh anak-anaknya.

Sesudah menyatakan pindah agama secara resmi, Pm menghubungi salah satu warga jemaat, dan disuruh menyampaikan pemberitahuan kepada majelis jemaat bahwa ia telah pindah agama Islam mengikuti anaknya, ia berpesan agar majelis gereja tidak perlu lagi memberikan jadwal ibadah perkunjungan di rumahnya. Setelah mendapatkan informasi itu majelis mendatangi Pm di rumahnya, yang ditemui juga oleh anaknya, dan memberitahukan bahwa Pm telah berpindah agama, mereka menyampaikan permohonan maaf pada majelis Jemaat, bahwa Pm pindah agama mengikuti anaknya yang muslim, agar ia merasa tentram, dan aman tinggal bersama anak dan masyarakat sekitarnya.

Dari paparan keempat kasus pindah agama di atas maka kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis kasus pindah agama yaitu:

Pertama,Kasus pindah agama dari agama Kristen masuk agama Islam beberapa

tahun kemudian kembali masuk agama Kristen. (responden kasus Ch dan Ar) Kedua, Kasus Pindah agama dari Islam masuk agama Kristen (Kasus Ea), dan Ketiga, Kasus Pindah agama dari Kristen pindah agama ke Islam.(Kasus Pm).

5. Penanganan GKJW Jemaat Ponorogo terhadap kasus pindah agama.

Kasus pindah agama di GKJW dimasukkan dalam ranah kasus pastoral, yang penanganannya merujuk pada Tata dan Prana Gereja,10 bilamana kasus itu dialami oleh jemaat awam yang menangani adalah majelis jemaat setempat, dan tradisinya diserahkan kepada pendeta jemaat, bila yang berkasus adalah anggota majelis dari unsur penatua atau diaken, maka yang menangani adalah Pelayan Harian Majelis Daerah (Klasis), dan bilamana kasus itu menimpa anggota Majelis Daerah, yang menangani adalah Pelayan Harian Majelis Agung (Sinode) GKJW. Sehubungan dengan empat kasus pindah agama yang dikelompokkan menjadi tiga kasus tersebut

10

, Pdt. Agus Supriyono menyampaikan bahwa kasus pindah agama termasuk rahnah kasus pastoral, dan penanganannya merujuk pada Tata dan Pranata Gereja GKJW


(2)

47

di atas, mereka adalah warga jemaat awam, maka yang menangani adalah jemaat se tempat, dalam hal ini adalah majelis jemaat Ponorogo, adapun bentuk penanganannya seperti berikut:

Pertama: Penanganan terhadap responden yang sebelumnya beragama Kristen pindah ke Islam, dan beberapa tahun kemudian kembali menganut agama Kristen

Penanganan gereja terhadap warga jemaat yang pernah pindah agama Islam,atau agama yang lain, dan bermaksud kembali menjadi Kristen, landasan tindakannya berlandaskan pada Tata dan Pranata tentang penggembalaan Khusus. Seseorang yang pernah keluar dari agama Kristen, dianggap telah menyimpang dari ajaran dan kepercayaan Kristen, kalau yang bersangkutan ingin kembali menjadi Kristen harus bersedia menerima penggembalaan khusus, yang dalam tradisi GKJW diserahkan kepada pendeta jemaat, tetapi bisa juga dimandatkan kepada anggota majelis yang dianggap mempunyai kompetensi untuk menanganinya. Penggembalaan khusus yang diberikan kepada seseorang yang bermaksud kembali menjadi Kristen dinamakan katekisasi pertobatan, walaupun katekisasi pertobatan tidak hanya diberikan kepada warga yang masuk kembali ke agama Kristen saja, tetapi juga diberikan kepada mereka yang dianggap melanggar norma-norma Kristen, seperti kasus perzinahan, perjudian, dan yang terkena kasus hukum, dan kasus-kasus tersebut dimasukkan dalam ranah kasus pastoral.11

Penggembalaan Khusus kepada warga yang ingin kembali masuk agama Kristen dilakukan dengan cara memberikan pelayanan konseling pastoral, dengan berlandaskan ajaran Kristen yang bersumber dari Alkitab. Dalam pelaksanaan penggembalaan khusus tersebut ada perjumpaan, percakapan dan pembinaan terhadap warga yang akan kembali masuk agama Kristen. Frekwensi dan waktu pertemuan berkisar dua sampai tiga kali pertemuan, selanjutnya diakhiri dengan ibadah pertobatan, yang dimaksud dengan ibadah pertobatan menurut Tata dan Pranata GKJW, adalah ibadah yang diselenggarakan dalam rangka melayani pertobatan, dan dapat dilakukan dalam ibadah Minggu atau di hadapan Majelis-majelis.12Dengan demikian sikap dan tindakan gereja terhadap warga yang bermaksud kembali masuk

11

Sumber : Pdt. Agus Supriyono, hasil wawancara tanggal 29 nopember 2014 tentang penanganan kasus pindah agama.

12

Majelis Agung, Tata dan Pranata GKJW (1996), Pranata Tentang Ibadah, Memori Penjelasan Bab IV Pasal 9, poin I, hlm.65


(3)

48

Kristen adalah menerima dengan syarat, yaitu wajib mengikuti katekisasi pertobatan, yang didalamnya ada pelayanan konseling pastoral.

Penanganan gereja terhadap kasus pertama, yaitu Ch dan Ar, yang bermaksud masuk kembali agama Kristen, dilakukan dengan cara merespon permintaan mereka untuk mengikuti katekisasi pertobatan, selanjutnya pendeta jemaat melakukan penggembalaan khusus, dengan cara mengadakan percakapan konseling, sebanyak tiga kali pertemuan, dalam percakapan tersebut didahului dengan renungan singkat dengan tema pertobatan, selanjutnya pendeta melakukan percakapan konseling yang bersifat pembinaan iman, serta menyampaikan tentang hak dan kewajiban warga jemaat, selanjutnya proses katekisasi diakhiri dengan memotivasi mereka (Ch, dan Ar), agar menyiapkan diri dan bersedia untuk menerima pelayanan pertobatan, yang dilaksanakan di depan majelis jemaat, selanjutnya gereja memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada mereka seperti kepada warga jemaat lainnya, contohnya mendapatkan hak untuk terlibat aktif dalam kegiatan gereja, hak mengikuti ibadah, menerima pelayanan kunjungan pastoral majelis dan sebagainya.

Tindakan berikutnya, adalah pembinaan berkelanjutan, yang diprogramkan Jemaat melalui program pelayanan khusus kepada pasangan beda agama, yang dilakukan setiap pekan Pentakosta13, dan pada hari-hari khusus yang ditetapkan berdasarkan agenda kegiatan gereja, dengan model pelayanan kunjungan pastoral terhadap pasangan suami istri yang berbeda iman. Kunjungan pastoral dilakukan secara kelompok, yang bertujuan memberikan kesempatan kepada Ch, dan Ar, dan keluarga lain yang berbeda iman untuk mengungkapkan pergumulan-pergumulannya dalam hidup berkeluarga. selesai sharing mereka diajak berdoa bersama.

Kedua, Penanganan terhadap responden muslim atau non Kristen yang bermaksud masuk agama Kristen.

Bagi seseorang yang menganut agama non Kristen dan bermaksud masuk agama Kristen di GKJW, diwajibkan mengikuti katekisasi calon warga sekurang-kurangnya tiga bulan,14 dengan 12 kali tatap muka, sesuai dengan Tata gereja, materi katekisasi yang disampaikan tentang iman Kristen, serta tentang hak dan kewajiban sebagai

13

Pnt. Sunarjo menyampaikan bahwa jemaat mempunyai program pembinaan bagi pasangan beda agama, yaitu kunjungan pastoral yang dilaksanakan pada pekan pentakosta.

14


(4)

49

warga gereja, termasuk didalamnya adalah pelayanan konseling pastoral. Setelah mendapatkan pelayanan katekisasi mereka menerima sakramen babtisan yang dilaksanakan di tengah-tengah proses peribadahan yang dihadiri oleh warga jemaat. Selanjutnya mereka yang menerima tanda babtis, diberi surat tanda kewargaan gereja dan dicatat sebagai anggota baru dalam buku keanggotaan gereja. Proses untuk menjadi Kristen di GKJW didahului dengan katekisasi yang dilaksanakan dalam jangka waktu tententu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada calon warga tentang agama Kristen secara bertahap, serta memberi kesempatan untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh mengenai keinginannya untuk masuk agama Kristen.

Penanganan gereja terhadap kasus kedua (dalam kasus Ea)seorang beragama Islam yang bermaksud masuk agama Kristen, diawali dengan menerima dan merespon permintaan Ea, yang bermaksud belajar agama Kristen, selanjutnya gereja memberikan pelayanan katekisasi calon warga, yang dilaksanakan selama tiga bulan dengan 12 kali pertemuan, dengan materi pembinaan tentang iman Kristen dan hidup bergereja. Dalam proses katekisasi, dilaksanakan melalui perjumpaan dan percakapan, serta penyampaian informasi-informasi yang berkaitan dengan kekristenan, yang di dalamnya ada proses konseling pastoral. Setelah memberikan pelayanan katekisasi selama tiga bulan, gereja melaksanakan pelayanan sakramen babtisan, sebagai inisiasi bahwa orang itu sudahmenjadi Kristen, dan pelaksanaan sakramen babtisan dilaksanakan dalam ibadah Minggu. Sebagai pengakuan formal maka orang yang telah menerima babtisan,mendapatkan surat tanda warga gereja dan dicatat dalam buku kewargaan gereja.15 Selanjutnya gereja memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, serta memberikan hak dan kewajiban yang sama seperti yang diberikan kepada warga jemaat lainnya, seperti hak untuk mendapatkan pelayanan pastoral, menerima sakramen perjamuan kudus, pelayanan ibadah keluarga dan yang lainnya.

Ketiga, Penanganan terhadap warga jemaat yang pindah agama Islam

Penanganan gereja terhadap kasus pindah agama warga jemaat yang pindah agama Islam, dilakukan dengan pendekatan yang mengacu pada Tata Pranata Gereja,

15

Dkn. Sintawati, sekretaris jemaat , menampaikan bahwa setelah proses sekramen babtisan, Ea mendapatkan Surat Tanda warga, sebagai bukti bahwa Ea sah menjadi warga jemaat.


(5)

50

dengan sebutan penggembalaan khusus.Penggembalaan khusus bertujuan agar warga yang bersangkutan kembali pada perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan ajaran-ajaran seperti yang berlaku di GKJW demi damai sejahtera persekutuan umat Tuhan yang baru.16 Sebelum menentukan perlu tidaknya penggembalaan khusus, utusan majelis jemaat berusaha mencari informasi yang benar tentang warga jemaat yang pindah agama tersebut, selanjutnya majelis jemaat menelusuri kebenarannya, dengan cara mendatangi dan menanyakan kepada yang bersangkutan atau keluarganya, bila terbukti benar maka kasus tersebut dibawa dalam forum rapat majelis.

Pada forum rapat, membahas dan mempertimbangkan temuan-temuannya, selanjutnya warga yang telah pindah agama tersebut diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atau jawaban secara tertulis atau lisan tentang kasus yang dialaminya. Berdasarkan penjelasan yang diperoleh, selanjutnya majelis melakukan pemeriksaan dan pertimbangan-pertimbangan untuk mengambil keputusan tentang perlu tidaknya diadakan penggembalaan khusus. Bilamana majelis jemaat menyatakan perlu penggembalaan maka diberlakukan dengan cara mendatangi, mengingatkan, membina secara teratur, sampai bersedia bertobat, dan menyatakan kembali masuk agama Kristen di tengah ibadah pertobatan, tetapi bila tidak bersedia bertobat, dan menyatakan pindah agama Islam maka yang bersangkutan dikeluarkan kewargaannya dari jemaat, dengan diberi catatan : telah meninggalkan iman Kristen, dalam buku induk disebut murtad.17

Sebenarnya GKJW Jemaat Ponorogo berupaya untuk melakukan pembinaan-pembinaan iman, yang dituangkan dalam program kegiatan tahunan (PKT), secara khusus komisi teologia yang menangani bidang pembinaan iman, misalnya dengan program katekisasi, retreat, sarasehan dengan materi-materi yang berkaitan dengan pembinaan iman Kristen. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kwalitas iman, dan persekutuan warga jemaat, yang berpengaruh juga pada upaya pencegahan agar tidak ada warga jemaat yang pindah agama, tetapi dalam kenyataannya masih

16

Majelis Agung, Tata Pranata GKJW (1996) Pranata tentang Penggembalaan Khusus, hlm.183

17

Pdt. Agus S, (sebagai pdt.konsulen) menjelaskan bahwa warga yang jelas keluar kasuk agama Islam, kewargaannya dicoret, dan dinyatakan murtad atau meninggalkan agama Kristen.


(6)

51

saja ada warga jemaat yang pindah agama, demikian keterangan yang diberikan oleh Penatua Sunarjo.18

Pada kasus pindah agama yang dilakukan Pm (70 tahun), tindakan yang dilakukan gereja, menurut keterangan Penatua Sunarjo19 adalah: pertama, merespon informasi yang diterima dari salah seorang warga jemaat yang menyampaikan pesan bahwa ada seorang warga (kasusPm )menyatakan pindah agama Islam. Langkah kedua dengan cara mengklarifikasi kebenaran kasus tersebut dengan mendatangi ke rumah yang diberitakan pindah Islam, dan menanyakan kebenaran berita yang telah diterima dari warga jemaat, dalam perjumpaan tersebut diperoleh keterangan dari yang bersangkutan (Pm) dan anaknya bahwa orang tersebut benar-benar telah menyatakan pindah agama Islam. Selanjutnya utusan majelis menyampaikan keterangan tersebut kepada Pelayan Harian Majelis Jemaat, kemudian dilakukan pembahasan atas kasus tersebut, dan diputuskan tidak diadakan penggembalaan khusus, selanjutnya warga tersebut (Pm) dinyatakan dikeluarkan dari keanggotaan gereja, namun demikian utusan majelis jemaat menyampaikan kepada yang pindah agama Islam (Pm), dan anaknya bahwa gereja memaklumi keputusannya untuk pindah agama Islam, karena itu pilihannya sendiri, selanjutnya berharap agar yang bersangkutan nyaman dengan keputusannya. Atas penanganan kasus tersebut, sekretaris jemaat mencatat pada buku kewargaan gereja bahwa yang pindah agama Islam dinyatakan dikeluarkan dari keanggotaan gereja GKJW.Jemaat Ponorogo.

Kesimpulan Bab tiga, warga Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Ponorogo

berada di tengah-tengah masyarakat majemuk, kondisi tersebut berpengaruh terhadap kasus pindah agama. Kasus pindah agama yang terjadi Nampak pada adanya fenomena kawin beda agama, kasus pindah agama dari Kisten ke Islam, demikian juga dari Islam masuk agama Kristen. Terkait dengan kasus pindah agama tersebut pihak gereja melakukan penanganan dengan mengacu pada Tata Gereja.

18

Wawancara dengan penatua Sunarjo, pada tanggal 2 Desember 2015, ia memberikan keterangan bahwa jemaat telah mempunyai program pembinaan iman, dimaksudkan agar iman warga jemaat tumbuh dengan baik., tetapi masih saja ada warga yang pindah agama, kebanyakan karena perkawinan.

19