PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAM GAMES TOURNAMENT) TERHADAP KEMAMPUAN EMPATI SISWA.

(1)

i

DAFTAR ISI

ABSTRAK --- i

KATA PENGANTAR --- ii

UCAPAN TERIMA KASIH --- iv

DAFTAR ISI --- vii

DAFTAR TABEL --- x

DAFTAR GAMBAR --- xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah --- 1

B. Rumusan Masalah --- 11

C. Tujuan Penelitian --- 12

D. Kegunaan Penelitian --- 13

E. Asumsi --- 13

F. Hipotesis --- 20

G. Metode Penelitian --- 21

H. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian --- 21

BAB II KERANGKA TEORETIS A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 23

1. Definisi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 23

2. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 25 3. Pengelolaan Kelas dalam Pembelajaran Kooperatif


(2)

ii

Tipe TGT --- 29

4. Tahapan Pelaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 33

5. Evaluasi Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 35

6. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 39

7. Landasan Teori Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT 41

a. Teori Motivasi --- 42

b. Teori Kognitif --- 42

c. Teori Belajar Sosial --- 43

d. Teori Perilaku --- 43

B. Model Direct Instruction --- 44

1. Definisi Model Direct Instruction --- 44

2. Karakteristik Model Direct Instruction --- 45

3. Pengelolaan Kelas dalam Direct Instruction --- 46

4. Tahapan Pelaksanaan Model Direct Instruction --- 48

5. Evaluasi Pembelajaran Direct Instruction --- 50

6. Tujuan Model Direct Instruction --- 50

7. Landasan Teori Model Direct Instruction --- 52

C. Empati --- 54

1. Definisi Empati --- 54

2. Dimensi empati --- 57

3. Proses Psikologis dalam Empati --- 59


(3)

iii

b. Proses Komunikasi dalam Empati --- 63

4. Fungsi Empati --- 68

5. Teori Empati --- 69

a. Teori Simulasi (Theory of Simulation) --- 69

b. Teori Pikiran (Theory of Mind) --- 71

c. Teori Empati (Theory of Empathy) --- 73

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian --- 75

B. Variabel dan Definisi Operasional --- 77

1. Variabel Penelitian --- 77

2. Definisi Operasional --- 78

a. Model Pembelajaran --- 78

b. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT --- 79

c. Model Direct Instruction --- 80

d. Empati --- 80

C. Instrumen Penelitian --- 83

1. Deskripsi Instrumen Skala Empati yang Diadaptasikan --- 83

2. Prosedur Adaptasi Instrumen Skala Empati --- 86

3. Bentuk Akhir Instrumen Skala Empati --- 90

D. Populasi dan Sampel Penelitian --- 91

1. Populasi Penelitian --- 91

2. Sampel Penelitian --- 92


(4)

iv

F. Prosedur Penelitian --- 94

1. Tahap Persiapan --- 94

2. Tahap Pelaksanaan --- 99

3. Tahap Penyelesaian --- 99

G. Teknik Analisis Data --- 99

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Temuan Penelitian --- 101

B. Pembahasan Temuan --- 118

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan --- 129

B. Implikasi --- 130

C. Rekomendasi --- 131

DAFTAR PUSTAKA --- 133

LAMPIRAN-LAMPIRAN --- 137


(5)

v

DAFTAR TABEL

Tabel

3.1 Kisi-kisi Instrumen Skala Kemampuan Empati Siswa --- 85

3.2 Hasil Uji Coba Validitas Instrumen --- 88

3.2 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ke-1 --- 89

3.3 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ke-2 --- 89

4.1 Deskripsi Skor Rerata Tes Awal Kemampuan Empati Siswa --- 102

4.2 Deskripsi Skor Rerata Tes Akhir Kemampuan Empati Siswa --- 103

4.3 Deskripsi Skor Rerata Peningkatan Kemampuan Empati Siswa --- 104

4.4 Hasil Uji Normalitas Skor Rerata Tes Awal Kemampuan Empati Siswa 106

4.5 Hasil Uji Normalitas Skor Rerata Tes Akhir Kemampuan Empati Siswa 107 4.6 Hasil Uji Homogenitas Skor Rerata Tes Awal Kemampuan Empati Kelompok Ekpserimen dan Kelompok Kontrol --- 108

4.7 Hasil Uji Homogenitas Skor Rerata Tes Akhir Kemampuan Empati Kelompok Ekpserimen danm Kelompok Kontrol --- 109

4.8 Hasil Uji Kesamaan Skor Rerata Tes Awal Kemampuan Empati Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol --- 110

4.9 Hasil Uji Kesamaan Skor Rerata Tes Akhir Kemampuan Empati Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol --- 112

4.10 Hasil Uji-t Sampel Berpasangan Skor Rerata Tes Awal dan Tes Akhir Kemampuan Empati Kelompok Eksperimen --- 114

4.11 Hasil Uji-t Sampel Berpasangan Skor Rerata Tes Awal dan Tes Akhir Kemampuan Empati Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol -- 115

4.12 Hasil Uji-t Sampel Berpasangan Skor Rerata Peningkatan Kemampuan Empati Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol -- 116


(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar

2.1 Siklus Empati Sebagai Proses Empati --- 64 3.3 Randomized Pretest-Posttest Control Group Design --- 75 4.1 Skor Rerata Kemampuan Empati Hasil Tes Awal Kelompok

Eksperimen dan Kelompok Kontrol --- 102 4.2 Skor Rerata Kemampuan Empati Hasil Tes Akhir Kelompok

Eksperimen dan Kelompok Kontrol --- 103 4.3 Skor Rerata Peningkatan Kemampuan Empati Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol --- 105


(7)

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki milenium ketiga dewasa ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan multidimensional yang menyentuh berbagai tatanan kehidupan manusia. Permasalahan tersebut bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, politik, tetapi juga aspek sosial, moral, budaya dan bahkan akhlak. Permasalahan sosial khususnya, sudah menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Berita-berita tentang penyimpangan sosial dalam bentuk perilaku kekerasan, pemaksaan kehendak, pengrusakan, konflik antar kelompok sering muncul baik dimedia masa maupun media elektronik. Selain itu, berbagai bentuk kemiskinan sosial juga banyak diperlihatkan, seperti miskin pengabdian, kurang disiplin dan kurang empati terhadap masalah sosial. Hal ini sebagai pertanda bahwa rasa Ke-bhineka Tunggal Ika an Bangsa Indonesia yang penuh dengan persaudaraan, kepedulian, kerja sama dan tolong menolong dalam kehidupan masyarakat sudah mulai luntur. Yang lebih memprihatinkan lagi, gejala ini sering terjadi pada dunia pendidikan yang justru diharapkan menjadi pelopor dalam menumbuhkan kesadaran akan perbedaan untuk tetap hidup saling menghormati, saling berinteraksi dalam kehidupan sosial dengan penuh kesadaran untuk bekerja sama, saling peduli dan penuh kedamaian. Pertikaian dan tawuran antar pelajar seringkali tidak dapat dihindarkan sehingga membuat tercoreng dunia pendidikan. Sebagaimana dalam data yang dikemukakan Ramadhan (2010:2) menunjukkan bahwa:


(9)

Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus.

Melihat kenyataan tersebut, kiranya perlu merenungkan kembali mengenai fungsi dari pendidikan sebagai mana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemajuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa, hasil dari proses pendidikan yang diharapkan adalah terbentuknya sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual saja, tetapi juga memiliki kemampuan sosial dan moral yang tinggi. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan tentunya memegang peranan yang sangat penting dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia.

Sekolah sebagai sebuah miniatur dari masyarakat sudah tentu memiliki banyak perbedaan, baik perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan bahkan kemampuan. Namun sebagai lembaga pendidikan, sekolah tetap harus mampu memfasilitasi dan melaksanakan proses pendidikan yang dapat memberikan kesadaran akan adanya perbedaan dikalangan para siswa sehingga


(10)

bukan saja intelektual yang dapat dikembangkan, tetapi juga aspek sosial dan moral siswa. Hal tersebut akan menjadikan bekal bagi mereka untuk menghadapi kenyataan dalam masyarakat yang syarat dengan perbedaan.

Di antara perbedaan yang ada, perbedaan kemampuan misalnya, seringkali menjadi suatu masalah yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kesenjangan di antara para siswa. Permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran yaitu guru biasanya memperlakukan siswa dengan cara mengelompokkannya berdasarkan kemampuan yang sama. Siswa yang kemampuannya tinggi disatukan dengan siswa yang kemampuannya tinggi, siswa yang kemampuannya sedang disatukan dengan siswa yang kemampuannya sedang. Begitu pula dengan siswa yang kemampuannya rendah. Pengelompokkan semacam ini dikenal dengan istilah ”ability grouping”. Mengenai istilah tersebut, Lie (2010: 39) menjelaskan sebagai berikut:

Ability grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa dilakukan pada pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu sekolah. Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok siswa lemah.

Jika pengelompokkan seperti ini dilakukan secara terus menerus, maka akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap perkembangan siswa, sebagaimana dikemukakan Scott Gordon (1991; dalam Lie, 2010:41) bahwa:

..., pengelompokkan dengan orang lain yang sepadan dan serupa ini bisa menghilangkan kesempatan anggota kelompok untuk memperluas wawasan dan memperkaya diri, karena dalam kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.


(11)

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pengelompokkan siswa dengan kemampuan yang sama tidak akan menyebabkan terjadinya proses interaksi untuk berkembangnya kemampuan berpikir, bernegosiasi dan berargumen, karena semua siswa dalam kelompoknya mempunyai kemampuan yang sama sehingga tidak tergantung kepada siswa yang lainnya. Dampak lain dari pengelompokkan siswa secara homogen yaitu akan terjadinya kesenjangan sosial yang tinggi. Siswa yang mempunyai kemampuan tinggi tidak akan merasa peduli untuk mau membantu siswa yang mempunyai kemampuan sedang atau rendah. Sebaliknya, siswa yang mempunyai kemampuan sedang atau rendah akan merasa enggan dan rendah diri untuk bergabung dengan siswa yang kemampuannya tinggi.

Melihat keadaan tersebut, guru seharusnya tanggap dan berupaya untuk mencari solusi berupa inovasi dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajarannya sehingga dapat memfasilitasi perbedaan dan memberikan kesempatan yang luas kepada semua siswa untuk saling berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Melalui inovasi tersebut diharapkan akan tercipta suasana pembelajaran yang memungkinkan para siswa dapat saling mengenal, memahami, sehingga akan merangsang berkembangnya empati terhadap siswa lain untuk mau bekerja sama dan saling membantu dalam mencapai keberhasilan belajarnya. Empati yang dimaksud adalah kemampuan untuk mau mengerti, memahami dan merasakan perasaan orang lain yang diikuti dengan perilaku sehingga mau membantu orang lain. Pernyataan ini sesuai dengan Carkhuff (1969; dalam Budiningsih, 2008:47) yang mengartikan bahwa:


(12)

Empati sebagai kemampuan untuk mengenal, mengerti dan merasakan perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku, dan mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain. Empati merupakan dimensi yang penting dalam proses pemberian bantuan.

Berkaitan dengan permasalahan di atas, pendidikan jasmani sebagai salah satu mata pelajaran yang terdapat di sekolah tentunya mempunyai peranan yang sangat strategis dalam upaya mengembangkan kemampuan sosial dan moral siswa. Pendidikan jasmani dengan kelengkapan yang dimilikinya diharapkan mampu memberikan sumbangan yang positif terhadap pengembangan kemampuan sosial dan moral, terutama kemampuan empati siswa. Sebagaimana dikemukakan Siedentop (1990:253) bahwa ”The generally accepted goals of physical education are to promote physical fitness, selft esteem and cognitive and social development”. Begitu juga Rusli Lutan (1998:1) mengemukakan bahwa ”Tujuan yang ingin dicapai bukan saja perkembangan aspek fisik tetapi juga aspek mental, sosial dan moral”. Dari kedua kutipan tersebut dengan jelas dikatakan bahwa sasaran pendidikan jasmani tidak hanya pada pengembangan aspek psikomotor saja, tetapi aspek kognitif, rasa harga diri, kepribadian, sosial dan moral siswa turut dikembangkan.

Kemampuan moral, terutama kemampuan empati tidak akan muncul dengan sendirinya, tetapi harus diajarkan secara sengaja agar menjadi suatu kebiasaan. Seperti dikemukakan Anshel (1997; dalam Hoedaya, 2009:30) sebagai berikut:

Kebiasaan untuk berbagi dan memikirkan orang lain dimulai sejak masa kanak-kanak; akan tetapi tidak serta merta muncul begitu saja pada seorang anak melainkan perlu diajarkan oleh orang tuanya, karena anak biasanya akan menirukan sikap gembira dan sifat menyayangi orang lain dari orang tuanya sendiri.


(13)

Berkaitan dengan pernyataan yang dikemukakan Ansel (1997), Hoedaya (2009:30) mengemukakan juga pendapatnya bahwa:

... bukan saja orang tua, akan tetapi guru pun harus mengajarkan dan meyakinkan siswanya agar memiliki rasa kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain serta berperilaku dan bertindak yang mencerminkan perilaku kesosialan atau pro-social conduct.

Dari kedua kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa agar kepedulian/empati muncul dan berkembang di kalangan siswa, maka diperlukan upaya yang dilakukan secara sengaja yang diorganisir dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan diantaranya melalui proses pembelajaran. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka guru mempunyai peranan yang sangat menentukan mengenai bagaimana suatu pembelajaran dapat dilaksanakan. Guru harus memiliki kemampuan dalam menentukan model pembelajaran yang tepat agar dapat menyatukan perbedaan dan memungkinkan berkembangnya kemampuan empati diantara para siswa sehingga tujuan pembelajaran baik yang berkenaan dengan aspek keterampilan maupun aspek moral, terutama kemampuan empati dapat dicapai secara bersamaan.

Berdasarkan literatur, model pembelajaran yang dianggap dapat mengembangkan kemampuan empati siswa antara lain adalah model pembelajaran kooperatif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Cotton (2001; dalam Exquisite Learning, 2001:2) yang mengemukakan bahwa:

… several classroom strategies and program designs which tend to foster increases in empathy and prosocial behavior. The activities Cotton recommends below can be incorporated as part of instruction with Exquisite Learning: Cooperative Learning. Through cooperative learning, learners work with group members of different races, gender, and learning ability. As a result, learners become more accepting and respectful of other people.


(14)

Learners also develop a "more sophisticated ability to imagine other people's point-of-view.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa beberapa strategi kelas dan desain program yang cenderung dapat meningkatkan empati dan perilaku pro-sosial. Aktivitas yang direkomendasikan Cotton dapat disatukan sebagai bagian dari pembelajaran pada Exquisite Learning adalah pembelajaran kooperatif. Melalui pembelajaran kooperatif, para siswa bekerja dengan anggota kelompok yang berbeda suku, jenis kelamin, dan kemampuan belajarnya. Sebagaimana hasilnya, para siswa menjadi lebih menerima dan menghormati orang lain. Para siswa juga mengembangkan suatu kemampuan yang lebih berpengalaman untuk membayangkan dari sudut pandang orang lain.

Mengenai model pembelajaran kooperatif, Metzler (2000:221) mengartikan sebagai berikut:

It is a set of teaching strategies that key attributes, the most important being the grouping of students into learning teams for set amounts of time or assigments, with the expectation that all students will contribute to the learning process and autcomes. The word team takes on the same meaning as it does in sport-all members work to achieve a common goal.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan seperangkat strategi mengajar yang ditandai dengan pengelompokkan siswa ke dalam beberapa kelompok belajar dalam waktu atau tugas-tugas tertentu, dengan harapan semua siswa akan berperan baik dalam proses maupun hasil belajarnya. Semua anggota bekerja untuk mencapai tujuan yang sama.

Sedangkan mengenai pengelompokkan dalam model pembelajaran kooperatif, Lie (2010:41) mengemukakan sebagai berikut:


(15)

Pengelompokkan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran Cooperative Learning. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran Cooperative Learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari latar belakang yang berbeda baik jenis kelamin, agama, sosio-ekonomi, suku dan kemampuan akademik. Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif berbeda dengan model pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru saat ini. Pembelajaran sering dilakukan secara langsung atau lebih dikenal dengan direct instruction dan pengelompokkan siswa dilakukan secara homogen. Sedangkan Pembelajaran kooperatif dengan pengelompokkan siswa secara heterogen ini akan memiliki banyak kelebihan karena mereka dapat memiliki kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain, saling betukar pengetahuan dan memudahkan dalam pengelolaan kelas. Secara lengkap mengenai kelebihan dengan pengelompokkan heterogen, Lie (2010:43) mengemukakan sebagai berikut:

Pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antarras, agama, etnik, dan gender. Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang.

Mengingat dalam model pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, maka model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model


(16)

pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament), yaitu suatu model pembelajaran yang dalam pelaksanaannya meliputi beberapa komponen, seperti dikemukakan Slavin (2005:170) sebagai berikut: ”Pengajaran; Belajar Tim; Turnamen, dan Rekognisi Tim”.

Pengajaran yaitu penyampaian materi berupa pengajaran langsung seperti yang sering dilakukan oleh guru. Belajar tim, yaitu para siswa mengerjakan kegiatan belajar bersama dalam tim mereka untuk berdiskusi, saling membantu dalam menguasai materi pelajaran. Turnamen adalah sebuah struktur dimana game tersebut berlangsung, yaitu para siswa memainkan game akademik (keterampilan) dalam kemampuan yang homogen. Turnamen biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit pembelajaran. Rekognisi tim, yaitu memberikan penghargaan pada tim yang menjadi pemenang yang didasarkan perolehan skor turnamen.

Melalui langkah-langkah pembelajaran tersebut, akan memungkinkan terciptanya suasana pembelajaran yang menjadikan siswa saling berinteraksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Di dalam interaksi yang terjadi itulah diharapkan akan terbinanya kemampuan moral siswa terutama kemampuan empati, sehingga siswa yang kemampuannya tinggi dapat memahami dan mau bekerja sama untuk membantu siswa yang kemampuannya sedang dan rendah. Dan sebaliknya siswa yang kemampuannya sedang atau rendah akan merasa bahwa dirinya diperhatikan sehingga mau belajar dari mereka yang mempunyai kelebihan, tanpa ada rasa minder. Sebagaimana dikemukakan Bahri Djamarah dan Zain (2002:64) bahwa:


(17)

Anak didik dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok, akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan. Yang mempunyai kelebihan dengan ikhlas mau membantu mereka yang mempunyai kekurangan. sebaliknya mereka yang mempunyai kekurangan dengan rela hati mau belajar dari mereka yang mempunyai kelebihan, tanpa ada rasa minder.

Selain itu, dengan adanya pelaksanaan turnamen, maka akan lebih menuntut siswa untuk bekerja sama dalam mempersiapkan timnya sebaik mungkin, mengingat keberhasilan dalam belajarnya tidak hanya diukur dan ditentukan dengan kemampuan individu saja, tetapi kemampuan kelompok juga turut diperhitungkan. Hal tersebut diharapkan akan memberikan kesadaran kepada mereka bahwa sebagai makhluk hidup tidak bisa selamanya dapat dilakukan seorang diri tanpa bantuan dan keterlibatan orang lain, tetapi disadari atau tidak selalu ada keterlibatan orang lain dalam kehidupannya sehingga menjadikan mereka saling ketergantungan. Sebagaimana Bahri Djamarah dan Zain (2002:64) yang mengemukakan bahwa:

Hidup ini saling ketergantungan, seperti ekosistem dalam mata rantai kehidupan semua makhluk hidup didunia. Tidak ada makhluk hidup yang terus menerus berdiri sendiri tanpa keterlibatan makhluk lain, langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, makhluk lain itu ikut ambil bagian dalam kehidupan makhluk tertentu.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pembelajaran kooperatif yang ingin dikembangkan tidak hanya aspek akademik saja, tetapi juga aspek sosial dan moral siswa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ibrahim (2000:7) yang mengemukakan bahwa “Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting, yakni: prestasi akademik, penerimaan terhadap keragaman atau perbedaan yang ada, dan pengembangan ketrampilan sosial”. Begitu juga Mercier (1993; dalam Metzler,


(18)

2000:231) mengemukakan bahwa “Cooperative Learning model, and reports excelent result in the improvement of social skills in her diverse, …”. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Grinseki (1996; dalam Metzler, 2000:231) bahwa “Cooperative Learning’s ability to promote fitness improvement and positive social interactions in young children and a reduction in negative social interaction”. Dari beberapa kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kebugaran, ketrampilan atau hubungan sosial yang positif dan mengurangi interaksi sosial yang negatif.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas berkaitan dengan pengembangan kemampuan empati siswa melalui model pembelajaran kooperatif yang diintegrasikan ke dalam Pendidikan Jasmani, maka diperlukan pengkajian yang lebih lanjut sehingga diperoleh suatu bukti empirik di lapangan. Untuk itu, penulis merasa tergugah dan tertarik untuk meneliti bagaimana pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) dalam meningkatkan kemampuan empati siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu dicobakan suatu model pembelajaran dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan empati siswa sehingga mempunyai kesadaran untuk mau bekerja sama dan membantu dalam mencapai keberhasilan belajar. Seperti dijelaskan dalam latar belakang masalah bahwa model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament). Oleh karena itu di lapangan perlu bukti yang nyata mengenai


(19)

pengaruh dari penerapan model pembelajaran tersebut. Adapun upaya untuk mengumpulkan informasi tersebut dilakukan melalui suatu penelitian, dimana yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan empati siswa.

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat dirinci dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan kemampuan empati siswa ?

2. Bagaimana pengaruh model direct instruction terhadap peningkatan kemampuan empati siswa ?

3. Mana yang lebih besar pengaruhnya dalam meningkatkan kemampuan empati siswa antara model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model direct instruction ?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi objektif tentang pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap kemampuan empati siswa. Adapun secara khusus tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengungkap pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan kemampuan empati siswa.

2. Untuk mengungkap pengaruh model direct instruction terhadap peningkatan kemampuan empati siswa.


(20)

3. Untuk mengungkap mana yang lebih besar pengaruhnya dalam meningkatkan kemampuan empati siswa antara model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model direct instruction.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah pengetahuan yang berkaitan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam meningkatkan kemampuan empati siswa. Adapun kegunaan penelitian, yaitu :

1. Secara teoretis dapat dijadikan sumbangan keilmuan mengenai pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap peningkatan kemampuan empati siswa.

2. Secara praktis dapat dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran alternatif bagi para guru pendidikan jasmani dalam melaksanakan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan empati dan mempersatukan perbedaan karakteristik siswa sehingga memungkinkan proses belajar mengajar dapat berhasil.

E. Asumsi

Penelitian mengenai kemampuan empati yang dikembangkan melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan diintegrasikan dalam pembelajaran pendidikan jasmani didasarkan pada beberapa asumsi yang digunakan sebagai titik tolak pemikiran dan penelaahan dalam keseluruhan proses penelitian ini. Asumsi itu lahir dari penganalisisan teoretis dan empiris di lapangan mengenai


(21)

perilaku moral terutama empati. Adapun asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Sekolah sebagai lembaga pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam pembinaan moral termasuk empati. Oleh karenanya perlu diajarkan agar mampu membentuk manusia yang bermoral. Sebagaimana dikemukakan Budiningsih (2008:7) bahwa “Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, perasaan moral perlu diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati”.

Pendidikan jasmani sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah sangat berpotensi dalam mengembangkan kemampuan moral (empati) siswa. Hal ini tercermin dari karakteristik pendidikan jasmani sebagai pendidikan menyeluruh yang sasaran pengembangannya tidak hanya pada psikomotor saja, tetapi aspek kognitif dan afektif termasuk sosial dan moral siswa. Sebagaimana dikemukakan Siedentop (1990:253) sebagai berikut “The generally accepted goals of physical education are to promote physical fitness, selft esteem and cognitive and social development”. Hal serupa dikemukakan Rusli Lutan (1998:1) bahwa ”Tujuan yang ingin dicapai bukan saja perkembangan aspek fisik tetapi juga aspek mental, sosial dan moral”. Meskipun demikian kemampuan empati seseorang tidak serta merta muncul begitu saja, tetapi perlu dibina dan dikembangkan dalam pembelajaran melalui pemilihan dan penerapan model pembelajaran yang sesuai dengan aspek yang ingin dikembangkan. Adapun model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran kooperatif.


(22)

Model pembelajaran kooperatif berbeda dengan model direct instruction. Dalam pembelajaran kooperatif segala keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran sebagian besar ditentukan oleh siswa dibandingkan dengan gurunya. Melalui langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari pengajaran, belajar tim, turnamen dan rekognisi tim, akan memungkinkan dapat berkembangnya kemampuan empati para siswa, seperti yang diuraikan dalam dimensi empati yaitu fantasy, perspektif taking, empathic concern dan personal distress. Kemungkinan tersebut dapat terjadi, terutama ketika melakukan belajar tim dan turnamen.

Setelah tahap pengajaran yang diisi dengan penjelasan guru mengenai segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran, termasuk penjelasan tujuan, maka tahap selanjutnya adalah belajar tim. Pada saat belajar tim dengan anggota yang terdiri dari siswa dengan latar belakang yang berbeda akan memungkinkan saling berinteraksi, saling bertatap muka dan saling mengidentifikasi sehingga terjadinya proses komunikasi yang menimbulkan mereka saling mengenal satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan Slavin (2005:103) bahwa:

Pembelajaran kooperatif adalah solusi ideal terhadap masalah menyediakan kesempatan berinteraksi secara kooperatif dan tidak dangkal kepada para siswa dari latar belakang etnik yang berbeda. … Pembelajaran kooperatif pada setiap harinya memberikan kesempatan untuk terjadinya kontak personal yang intens di antara para siswa dengan latar belakang ras yang berbeda.

Dari proses interaksi dan komunikasi ini akan timbulnya suatu pemahaman mengenai kondisi mereka masing-masing baik dari siswa berkemampuan tinggi ataupun siswa yang kemampuannya sedang atau kurang.


(23)

Pemahaman dari siswa yang kemampuannya tinggi, yaitu membayangkan akan adanya kesulitan yang dihadapi oleh teman sekelompoknya berkaitan dengan penyelesaian yang menjadi tugas belajarnya. Upaya dalam membayangkan ini dikenal dengan fantasy, yaitu suatu kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasi dengan benar karakter samaran di dalam buku, film, atau permainan. Selanjutnya setelah membayangkan / memfantasikan kesulitan teman-temannya, maka dalam belajar timnya, siswa yang kemampuannya tinggi akan berusaha menempatkan sudut pandangnya pada sudut pandang teman-temannya atau lebih dikenal perspektif taking, yaitu mencerminkan kecenderungan atau kemampuan seseorang untuk mengambil perspektif atau sudut pandang dari orang lain. Dari upaya menempatkan sudut pandangnya ke dalam kerangka internal teman-temannya, akan timbul suatu perasaan kasihan, keramahan, simpati dan peduli kepada teman-temannya sehingga timbul keinginan untuk mau membantunya. Perasaan ini disebut dengan empathic concern, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan kehangatan/keramahan, perasaan kasihan dan kepedulian/simpati terhadap orang yang lain yang mengalami pengalaman negatif. Perasaan ini muncul karena siswa yang kemampuan tinggi dapat merasakan apa yang dirasakan teman-temannya seolah-olah dirasakan oleh dirinya sendiri dan apabila tidak membantu mereka, dirinya akan merasa cemas dan gelisah kalau teman-temannya tidak dapat menyelesaikan tugas belajarnya. Perasaan ini disebut dengan personal distress, yaitu menunjukkan pengalaman perasaan responden dari kegelisahan dan kecemasan ketika menyaksikan pengalaman negatif dari orang lain. Melalui proses tersebut


(24)

akan timbul suatu perasaan yang ditunjukkan dengan perilaku untuk mau bekerja sama, saling berbagi, saling membantu, berdiskusi, saling menghormati dan saling menghargai agar dapat mencapai keberhasilan dalam belajarnya. Selain itu, perilaku kerja sama tersebut timbul karena keberhasilan belajar dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya ditentukan oleh seorang saja, tetapi ditentukan oleh seluruh anggota dalam kelompok. Kriteria ini secara langsung akan menjadikan mereka saling ketergantungan satu sama lain, sehingga menimbulkan suatu kerja sama bagaimana dapat berhasil secara bersama-sama.

Selain belajar tim, kemampuan empati siswa juga akan memungkinkan dapat berkembang pada saat dilaksanakannya turnamen. Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan oleh kriteria keberhasilan dalam turnamen tidak hanya ditentukan dan tergantung kepada siswa yang kemampuannya tinggi saja, tetapi juga ditentukan oleh siswa yang kemampuannya sedang atau kurang. Adanya kriteria ini akan menimbulkan suatu usaha yang maksimal dari seluruh anggota kelompok agar dapat memberikan sumbangan yang terbaik bagi kelompoknya. Melalui cara ini juga, setiap anggota dari kelompoknya masing-masing akan saling memperkuat dan saling ketergantungan di antara mereka sehingga dapat memperbaiki rasa sosial dan menimbulkan upaya untuk saling membantu dalam mencapai keberhasilan dalam belajarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mercier (1993; dalam Metzler, 2000:231) yang mengemukakan bahwa “Cooperative Learning model, and reports excelent result in the improvement of social skills in her diverse, …”. Sedangkan Grinski (1996; dalam Metzler, 2000:230) mengemukakan bahwa ”Cooperative Learning’s ability to promote fitness


(25)

improvement and positive social interactions in young children and a reduction in negative social interaction”. Dari kedua kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa belajar kooperatif mampu meningkatkan kebugaran dan memperbaiki hubungan sosial yang positif serta dapat mengurangi hubungan sosial yang negatif pada anak. Siswa yang kemampuannya tinggi akan berusaha agar teman-teman yang kemampuannya sedang atau kurang dapat menyelesaikan tugas belajarnya. Begitupun dengan siswa yang kemampuannya sedang atau kurang akan berusaha untuk memberikan sumbangan yang terbaik buat kelompoknya. Dengan demikian, di antara mereka akan saling mendukung dan saling ketergantungan agar dalam turnamen bisa menjadi pemenang.

Suasana dalam pembelajaran kooperatif yang diuraikan di atas berbeda dengan model direct instruction. Dalam model ini, sejak permulaan sampai berakhirnya proses pembelajaran tidak menunjukkan adanya upaya yang secara langsung diarahkan kepada pengembangan afektif (kemampuan empati siswa). Sebagai contoh tujuan pembelajaran, yang menjadi tujuan pembelajaran dalam model ini tertuju pada tiga prioritas dengan urutan yaitu psikomotor, kognitif dan afektif. Sebagaimana dikemukakan Metzler (2000:167) yaitu “First priority: Psychomotor learning; Second priority: Cognitive learning; Third priority: Affective learning”. Namun prioritas ketiga, yaitu aspek afektif dalam penyampaiannya tidak ditujukan secara langsung, akan tetapi diharapkan dapat berkembang melalui usaha yang dilakukan dengan tekun, pengalaman sukses yang teratur dan membuat kemajuan yang terus menerus yang mengarah pada


(26)

pencapaian tujuan pembelajaran. Hal ini sebagaimana dikemukakan Metzler (2000:167) yaitu:

The affective domain is not directly addressed in this model. It is assumed that students will achieved positive affective outcomes through the processes of working diligently, experiencing regular succes, and making steady progress toward learning goals.

Sedangkan mengenai pelaksanaan pembelajaran, semua kegiatan para siswa berkenaan dengan perencanaan manajerial kelas, aturan kelas, kebiasaan rutin, pola latihan, alokasi waktu dan besarnya kelompok, semua ditentukan oleh guru. Tugas siswa hanya mengikuti apa yang menjadi instruksi dari gurunya (Metzler, 2000:170). Pengaturan pembelajaran dengan cara ini akan membuat terbatasnya kesempatan bagi siswa untuk melakukan interaksi. Kalaupun ada pengelompokkan siswa, namun pengelompokkan dibentuk hanya kelompok biasa tidak dikondisikan dan tidak dilandasi oleh unsur-unsur seperti dalam pembelajaran kooperatif. Selain itu, pengelompokkan yang dilakukan hanya kebetulan berkaitan dengan pengaturan formasi mengenai tugas belajar yang harus dilakukan. Di dalam kelompok, mereka tidak tergantung pada siswa lain sehingga meskipun belajar dengan sistem kelompok, tetapi tetap pada hakekatnya mereka belajar sendiri-sendiri tidak dikondisikan untuk membantu orang lain.

Demikian juga dalam penilaian, meskipun penilaian bersifat kompetitif, tetapi mereka berkompetisi untuk dirinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Keberhasilan seseorang tidak akan berpengaruh terhadap keberhasilan/kekalahan orang lain, bahkan berusaha mengalahkan orang lain.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif menunjukkan adanya upaya yang disengaja agar


(27)

kemampuan empati para siswa dapat berkembang. Upaya ini dilakukan melalui sistem belajar kelompok dengan latar belakang yang berbeda yang dilandasi unsur-unsur saling ketergantungan, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antaranggota dan evaluasi proses kelompok. Sedangkan dalam pelaksanaan direct instruction tidak terlihat adanya upaya yang diakukan secara langsung berkaitan dengan pengembangan empati para siswa. Pengembangan kemampuan empati hanya diharapkan dapat berkembang melalui usaha-usahanya yang dilakukan secara tekun, pengalaman sukses yang teratur dan membuat kemajuan yang terus menerus yang mengarah pada pencapaian tujuan pembelajaran

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian asumsi yang dikemukakan di atas, maka hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan empati siswa.

2. Penerapan model direct instruction memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan empati siswa.

3. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan model direct instruction


(28)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekpserimen dengan menggunakan Pretest-Posttest Control Group Design. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket berupa skala empati yang di sadur dari Interpersonal Reactivity Index (Davis, 1980), yang terbagi ke dalam 4 dimensi, yaitu fantasy, perspective taking, empathic concern, personal distress. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan melalui tes angket skala empati yang berisi 40 pernyataan. Tes angket skala empati ini dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu tes awal dan tes akhir. Tes awal diberikan sebelum kelompok ekpserimen dan kelompok kontrol memperoleh perlakuan. Sedangkan tes akhir diberikan setelah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperoleh perlakuan.

H. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

Lokasi yang dijadikan penelitian ini adalah SMP Negeri 3 Banyuresmi Kabupaten Garut. Populasi penelitian di ambil dari siswa kelas 8 yang berjumlah 180 orang. Dari populasi tersebut dengan cara random acak sederhana di ambil sampel penelitian sebanyak 64 orang. Selanjutnya, sampel yang berjumlah 64 orang secara random dikelompokkan lagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sehingga masing-masing kelompok berjumlah 32 orang. Karakteristik sampel yaitu meliputi siswa kelas 8 dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan dalam melakukan teknik dasar permainan bola voli dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Selain itu,


(29)

mereka bertempat tinggal di lingkungan pegunungan dan pesawahan dengan kebiasaan mereka bercocok tanam baik pertanian maupun perkebunan.

Pemilihan sampel dari kelas 8 ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: pertama, siswa kelas 8 heterogenitasnya masih tinggi, tergantung pembawaan mereka dari sekolah dan kebiasaan di tempat tinggalnya masing-masing. Kedua, siswa kelas 8 merupakan pendatang baru yang pengalaman belajarnya masih rendah, sehingga relatif lebih mudah dalam mengelola kebiasaan belajarnya.


(30)

DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri (2008). Pembelajaran Moral. Berpijak Pada Karakteristik siswa dan Budayanya. PT. Rineka Cipta.

Davis, MH (1983). Davis, MH (1983). Measuring individual differences in empathy: Evidence for a multidimensional approach. Journal of Personality and Social Psychology , 44 , 113-126. Mengukur perbedaan individu dalam empati: Bukti untuk pendekatan multidimensional. Journal of Personality and Social Psychology, 44, 113-126.

Eisenberg, N., & Fabes, R.A. (1990). Empathy: conceptualization, measurement, and relation to prosocial behavior. Motivation and Emotion, 14, 131-149. Goldman, A. (1993). Ethics and cognitive science. Ethics, 103, 337-360.

Hoedaya. (2009). Empati Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Tinjauan Potensi Pendidikan jasmani Dalam pendidikan Watak. Fakultas pendidikan olahraga dan kesehatan. Universitas Pendidikan Indonesia.

Johnson. j. A Chek, j. M. Smither. R. (1983). The structure of Empathy. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 45 No. 6 1299-1312.

Lie, Anita. (2010). Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative learning di Ruang-Ruang kelas.PT. Gramedia, Jakarata.

Lutan, Rusli. (1997). Strategi Pembelajaran pendidikan Jasmani dan kesehatan. Jakarta. Depdikbud Ditjen Dikti.

Lutan, Rusli. (1998). Pembaharuan Proses agogik dan optimalisasi fungsi sosial Olahraga dan pendidikan Jasmani: Sebuah refleksi Dalam masa krisis. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap, bandung. FPOK IKIP Bandung.

Mansyur. (1996). strategi Belajar Mengajar. Direktorat Jenderal pendidikan Kelembagaan Agama Islam. Universitas terbuka.

Metzler, Michael W. (1999). Intructional Models for Physical Education. Georgia State University.

Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta Bandung

Siedentop. (1991). Developing Teaching Skills in physical Education. California: Field.


(31)

Slavin, Robert E. (2009). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Nusa Media, Bandung.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri (2008). Pembelajaran Moral. Berpijak Pada Karakteristik siswa dan Budayanya. PT. Rineka Cipta.

Boyatzis, R. E. Goleman, D., and Rhee, K. (2000). Clustering Competence in Emotional Intelligencce: Insights From The Emotional Competencies Inventory (ECI). Dalam Bar-On, R. and Parker, J. D. A (eds). ‘Handbook of Emotional Intelligence’, San Fransisco. Jossey-Bass.

Decety, J., & Meyer, M. (2008). From emotion resonance to empathic understanding: A social developmental neuroscience account. Development and

Edwards, A.L. (1957). Techniques of Attitudes Scale Construction. Appleton-Century- Crofts. New York.

Eisenberg, N., & Fabes, R.A. (1990). Empathy: conceptualization, measurement, and relation to prosocial behavior. Motivation and Emotion, 14, 131-149.

Gerwitz, Kurtines. (1992). Moralitas, Perilaku Moral, dan perkembangan Moral. Universitas Indonesia.

Goldman, A. (1993). Ethics and cognitive science. Ethics, 103, 337-360.

Hoedaya. (2009). Empati Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Tinjauan Potensi Pendidikan jasmani Dalam pendidikan Watak. Fakultas pendidikan olahraga dan kesehatan. Universitas Pendidikan Indonesia.

Hoffman, Martin (2000). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. New York.: Cambridge University Press.

Johnson. j. A Chek, j. M. Smither. R. (1983). The structure of Empathy. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 45 No. 6 1299-1312.

Koestnerr, R. dan Franz, C. (1990). The family Origins of Empathic Concern. A-26 Year Longitudinal Study. Journal Of personality and Social Psichology. Vol 58, No. 4 709-717.

Kurtines, William M. dan Gerwitz, Jacob L. (1992). Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral. Universitas Indonesia.

Lutan, Rusli. (1997). Strategi Pembelajaran pendidikan Jasmani dan kesehatan. Jakarta. Depdikbud Ditjen Dikti.


(33)

Lutan, Rusli. (1998). Pembaharuan Proses agogik dan optimalisasi fungsi sosial Olahraga dan pendidikan Jasmani: Sebuah refleksi Dalam masa krisis. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap, bandung. FPOK IKIP Bandung.

Mansyur. (1996). strategi Belajar Mengajar. Direktorat Jenderal pendidikan Kelembagaan Agama Islam. Universitas terbuka.

Metzler, Michael W. (1999). Intructional Models for Physical Education. Georgia State University.

Rink, Judith E. (1985). Teaching Physical Education For Learning. ST. Louis-Toronto. Santa Clara.

Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta Bandung

Siedentop. (1991). Developing Teaching Skills in physical Education. California: Field.

Whittaker, J.O. (1970). Intruction to Psycology. W.B. Saunders Company, Philadelpia.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Berangkat dari permasalahan dan tujuan penelitian yang dikemukakan pada bagian sebelumnya yaitu untuk mengungkap pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap kemampuan empati siswa, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode true eksperimen dengan desain yang digunakan adalah randomized pretest-posttest control group design, sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1

Randomized Pretest-Posttest Control Group Design (Fraenkel dan Wallen, 1993:248)

Keterangan:

R : Pemilihan kelompok yang masing-masing dilakukan secara random O1 : Tes awal terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

X1 : Perlakuan terhadap kelompok eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT

X2 : Perlakuan terhadap kelompok kontrol dengan model direct instrcution O2 : Tes akhir terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

Treatment group R O1 X1 O2 Control group R O1 X2 O2


(35)

Penggunaan metode ini dilakukan karena untuk menguji pengaruh perlakuan yang dalam penelitian ini berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model direct instruction kemudian secara sistematis mengamati apa yang terjadi berkaitan dengan kemampuan empati siswa. Seperti dikemukakan Fraenkel dan Wallen (1993:242) yaitu: ”... experimental research is really quite simple: try something and systematically observe what happens”. Selain itu menurut Sugiono (2009:72) mengatakan bahwa metode eksperimen digunakan untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan kepada variabel bebas terhadap variabel terikat, sebagaimana dikemukakannya bahwa ”Metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan”.

Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan berupa pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction. Perlakuan terhadap masing-masing kelompok berlangsung selama ± 5 minggu, dengan jumlah perlakuan sebanyak 13 kali pertemuan atau setara ± 21,7 jam. Frekuensi perlakuan dilaksanakan 3 kali dalam seminggu. Penetapan lamanya perlakuan tersebut didasarkan kepada rujukan dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara lain yaitu :

1. Wilkes et al. (2002), meneliti mengenai cara untuk meningkatkan empati perawat medis ditinjau dari perspektif pasien. lama perlakuan 24 sampai 30


(36)

jam. Hasilnya signifikan, perawat memiliki perasaan lebih empati terhadap pasien.

2. Shapiro, Morrison dan Boker (2004), meneliti efektivitas dari suatu kursus latihan empati mahasiswa kedokteran tahun pertama. Perlakuan diberikan sebanyak 8 pertemuan. Hasil signifikan, yaitu mahasiswa kedokteran memiliki rasa empati yang tinggi, sehingga lebih perhatian terhadap pasiennya.

3. Lonie, J.M. dkk. (2005), meneliti kecenderungan empati pegawai apoteker Dalam penelitiannya, pegawai apoteker diberi perlakuan selama 20 jam. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya peningkatan kemampuan empati pada pegawai apoteker.

Sedangkan frekuensi perlakuan diberikan sebanyak tiga kali didasarkan pada pendapat Hoffman (2000: 62) yang mengemukakan bahwa “Empathy is more likely to occur between individuals whose interaction is more frequent”. Maksudnya adalah empati akan lebih memungkinkan terjadi dalam suasana interaksi antara individu yang dilakukan secara intensif.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Berkenaan dengan kedua variabel tersebut, Sugiono (2009:39) mengemukakan sebagai berikut:

Variabel independen: variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, prediktor, antecendent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai


(37)

variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel dependen: sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa variabel bebas merupakan variabel stimulus yang akan mempengaruhi atau menyebabkan perubahan terhadap variabel terikat. Sedangkan variabel terikat merupakan variabel hasil yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel bebas. Variabel bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model direct instruction. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan empati siswa.

2. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang perlu dijelaskan sebagai pedoman dalam operasionalnya sehingga tidak terjadi penafsiran-penafsiran yang keliru dan mengaburkan pengertian yang sebenarnya. Adapun variabel tersebut yaitu:

a. Model Pembelajaran.

Joyce dan Weil (1980; dalam Metzler, 2000:12) mendefinisikan model sebagai ”a plan or pattern that can be used to shape curriculums (long-term courses of studies), to design instructional materials, and to guide instruction in the classroom and other settings”. Maksudnya model adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk menyusun kurikulum (program pelajaran jangka


(38)

panjang), merancang perangkat pembelajaran, dan sebagai pedoman pengajaran di kelas dan situasi lainnya ".

b. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT

Metzler (2000:221) mengartikan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: It is a set of teaching strategies that share key attributes, the most important being the grouping of students into learning teams for set amounts of time or assigments, with the expectation that all students will contribute to the learning process and outcomes.

Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah seperangkat strategi pengajaran yang memberikan atribut kunci, yang paling penting untuk pengelompokan siswa ke dalam kelompok belajar dalam jumlah waktu dan tugas-tugas tertentu, dengan harapan bahwa semua siswa akan berkontribusi terhadap proses dan hasil belajar.

Mengenai pengelompokkan siswa dalam model pembelajaran kooperatif, Lie (2010:41) mengemukakan sebagai berikut:

Pengelompokkan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran Cooperative Learning. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran Cooperative Learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.

Sedangkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, Slavin (2005:170) mengemukakan bahwa ”TGT terdiri dari siklus reguler dari aktivitas pengajaran, sebagai berikut: Pengajaran; Belajar Tim; Turnamen; Rekognisi Tim”.

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah model pembelajaran yang membagi


(39)

siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari latar belakang yang berbeda baik gender, agama, sosio-ekonomi, etnik dan kemampuan akademik yang pelaksanaannya dilakukan dengan langkah-langkah: pengajaran, belajar tim, turnamen dan rekognisi tim.

c. Model Direct Instruction

Mengenai model direct instruction, Arends (2001:264) mendefinisikan sebagai berikut “A teaching model that is aimed at helping student learn basic skills and knowledge that can be taught in a step-by-step fashion. For our purposes here, the model is labeled the direct instruction model”. Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa model direct instruction adalah Sebuah model pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan pengetahuan yang dapat diajarkan dengan cara selangkah demi langkah.

d. Empati.

Pearson, J.C (1983:41) mengartikan empati sebagai ”... the process of detecting and identifying the immediate afective state of another and responding in an appropiate manner”. Maksudnya adalah empati merupakan suatu proses untuk memahami orang lain dengan mengidentifikasi perasaannya. Sedangkan Davis (1983:1) mengemukakan bahwa “Empathy can be defined as one individual's reactions to the observed experiences of another”. Maksudnya empati sebagai reaksi seseorang terhadap pengalaman orang lain yang teramati.

Tokoh lain Eisenberg, N dan Fabes R.A (1990:1) mengartikan empati sebagai “An affective response that stems from the apprehension or


(40)

comprehension of another’s emotional state or condition, and that is similar to what the other person is feeling or would be expected to feel”. Maksudnya adalah empati merupakan suatu respon afektif yang berasal dari pengertian atau pemahaman terhadap pernyataan atau kondisi emosional orang lain, dan itu sama dengan apa yang sedang dirasakan orang lain.

Goldman, A (1993:1) mengartikan bahwa “Empathy means the ability to put oneself into the mental shoes of another person to understand her emotions and feelings”. Maksudnya, empati adalah kemampuan untuk menempatkan dirinya ke dalam mental orang lain untuk memahami emosi dan perasaannya".

Sementara Ickes, W (1997; dalam Wikipedia, 2010:2) mengartikan empati sebagai ”A complex form of psychological inference in which observation, memory, knowledge, and reasoning are combined to yield insights into the thoughts and feelings of others”. Maksudnya, empati merupakan bentuk penyimpulan psikologis yang kompleks dalam mengamati , memori, pengetahuan, dan penalaran yang dikombinasikan untuk memberikan hasil ke dalam pikiran dan perasaan orang lain. Adapun Carkhuff (1969; dalam Budiningsih, 2008:47) mengartikan empati sebagai ”Kemampuan untuk mengenal, mengerti dan merasakan perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku”.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat dijelaskan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti, memahami ke dalam pikiran, perasaan, emosi dan pengalaman orang lain yang dinyatakan dengan ungkapan verbal dan perilaku.


(41)

Untuk kepentingan pengukuran dalam penelitian ini, empati didasarkan pada Interpersonal Reactivity Index (IRI) yang meliputi empat dimensi sebagaimana pendapat Davis (1983:6) sebagai berikut:

These four groupings of items may be described as follows: fantasy items, which denoted a tendency of the respondent to identify strongly with fictitious characters in books, movies, or plays. Many of items, these items originally came from other instruments. Second, there were perspective-taking which reflected a tendency or ability of the respondent to adopt the perspective, or point of view, of other people. Third, there was a set of empathic concern items; these items assessed a tendency for the respondent to experience feelings of warmth, compassion and concern for others undergoing negative experiences. Finally, a set of items which can be described as personal distress items were identified, which indicated that the respondent experienced feelings of discomfort and anxiety when witnessing the negative experiences of others.

Dalam sumber lain, Davis (1983; dalam Tapus, A dan Mataric, M.J, 2006:2-3) menjelaskan pula sebagai berikut:

The IRI consists of four scales, each composed of 7 item subscales, measuring a distinct components of empathy: Empathic Concern: feeling emotional concern for others (i.e., feeling sympathy, compassion, warmth, and concern). Perspective Taking: cognitively taking the perspective of another. It measures the tendency to spontaneously adopt the psychological point of view of others. Fantasy: emotional identification with characters in books, film, etc. Personal Distress: negative feelings in response to the distress of others. It measures the feelings of personal anxiety and unease in tense interpersonal settings.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pengukuran empati terdiri atas empat dimensi, yaitu: (1) fantasi, yaitu: skala yang mengukur kecenderungan responden untuk mengidentifikasi betul-betul dengan karakter samaran di dalam buku, film, atau permainan. (2) Pengambilan perspektif, yaitu: skala yang mengukur kecenderungan atau kemampuan responden untuk mengadopsi spontan terhadap perspektif atau sudut pandang psikologis orang lain. (3) Kepedulian empatik, yaitu: skala yang mengukur kecenderungan responden untuk mengalami


(42)

perasaan kehangatan/keramahan, rasa kasihan, simpati dan kepedulian kepada orang yang lain yang mengalami pengalaman negatif, (4) kesedihan pribadi, yaitu: skala yang mengukur kecemasan dan kekhawatiran responden ketika menyaksikan pengalaman negatif orang lain.

Dalam penelitian ini kemampuan empati seseorang dilihat dari jumlah skor empati yang diperoleh subyek dalam menjawab skala empati yang terdiri dari empat dimensi, seperti dikemukakan Davis (1983) yaitu: fantasy (fantasi), perspective-taking (pengambilan perspektif orang lain), empathic concern (kepedulian empatik) dan personal distress (kesedihan pribadi).

C. Instrumen Penelitian

Bertolak dari tujuan dan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka instrumen yang digunakan adalah skala empati. Skala ini disadur dari Interpersonal Reactivity Index (IRI) versi kedua yang dikembangkan oleh Davis (1980). Untuk lebih jelasnya mengenai skala empati akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Deskripsi Instrumen Skala Empati Yang Diadaptasikan

Skala empati yang digunakan dalam penelitian ini disadur dari Interpersonal Reactivity Index (IRI) versi kedua yang dikembangkan oleh Davis (1980). Skala ini terdiri dari 45 butir pernyataan yang terbagi ke dalam empat dimensi, yaitu: fantasy, perspektif taking, empathic concern dan personal distress. Dimensi fantasy terdiri dari 9 pernyataan, dimensi perspektif taking terdiri dari 9 pernyataan, dimensi empathic concern terdiri dari 14 pernyataan, dan dimensi


(43)

personal distress terdiri dari 13 pernyataan. Sebenarnya, versi kedua ini merupakan versi yang sudah bisa digunakan, namun untuk memperoleh butir-butir pernyataan yang lebih handal, Davis melakukan analisis terhadap butir pernyataan atas dasar muatan faktor (faktor loading) dari setiap pernyataan.

Dari hasil analisis tersebut, Davis memperoleh 28 butir pernyataan terpilih yang terbagi ke dalam empat dimensi yaitu: fantasi, pengambilan perspektif orang lain, kepedulian empati dan kesedihan pribadi yang masing-masing dirumuskan oleh 7 butir pernyataan.

Meskipun demikian, untuk kepentingan pengukuran dalam penelitian ini, peneliti tetap mengambil skala empati dari versi kedua yang terdiri dari 45 butir pernyataan. Hal ini dilakukan berdasarkan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:

1) Butir pernyataan dalam skala versi akhir adalah butir pernyataan yang belum teruji secara empirik dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia, karena sangat berbeda konteksnya baik dilihat dari bahasa yang digunakan, karakteristik sampel, kebiasaan dan juga nilai-nilai budayanya. Oleh karena itu terhadap skala tersebut perlu diadaptasikan sesuai dengan karakteristik dan tingkat kemampuan sampel terlebih dahulu sebelum diujicobakan.

2) Dengan menyadur dan mengadaptasikan skala versi kedua ini, akan terbuka peluang untuk melakukan seleksi dan pengkajian ulang terhadap seluruh butir pernyataan yang terdapat dalam skala empati tersebut.


(44)

Setelah menentukan skala empati versi kedua, langkah selanjutnya adalah menyusun kisi-kisi instrumen penelitian yang didasarkan pada dimensi empati sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1

Kisi-kisi Instrumen Skala Empati Siswa

VARIABEL DIMENSI INDIKATOR

NO. ITEM PER NYATAAN

KEMAMPUAN EMPATI

A. Fantasi (fantasy)

a. Buku

b. Film/sinetron c. Permainan

3,9,41. 12, 8,33,44. 19, 23. B. Pengambilan

perspektif orang lain (perspective taking)

a. Pengambilan

perspektif atau sudut pandang terhadap orang lain

8, 13, 16, 21, 26, 29, 31, 36, 39

C. Kepedulian empatik (empathic concern)

a. Perasaan ramah b. Perasaan kasihan c. Simpati atau peduli

kepada orang lain yang kesulitan

14, 32. 4, 7, 25, 27, 34.

6, 10, 11, 20, 28, 37, 43.

D. Kesedihan peribadi (personal distress)

a. Gelisah terhadap ketidakberuntungan orang lain

b. Cemas terhadap ketidakberuntungan orang lain

c. Sedih terhadap ketidakberuntungan orang lain

5, 22, 30, 45. 2, 15, 17, 35, 38. 1, 24


(45)

2. Prosedur Adaptasi Instrumen Skala Empati

Adaptasi skala empati ini dilakukan melalui berbagai tahapan sebagai berikut:

a. Menerjemahkan Butir Pernyataan

Skala empati versi kedua yang berbahasa Inggris dan terdiri dari 45 pertanyaan tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan bantuan orang yang berkompeten di bidangnya. Penterjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini di lakukan sesuai dengan konteks bahasa aslinya. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar hasil terjemahan sesuai dengan maksud/isi dari setiap pernyataan.

b. Menerjemahkan Hasil Saduran

Hasil terjemahan dalam Bahasa Indonesia, selanjutnya diterjemahkan kembali ke dalam bahasa aslinya (Bahasa Inggris). Penerjemahan kembali ini dimaksudkan untuk menguji tingkat kecocokan isi antara hasil terjemahan dengan bahasa aslinya. Penerjemahan ini dilakukan oleh pihak yang mempunyai kemampuan Bahasa Inggris. Dari hasil terjemahan ulang, setelah dikaji, ditemukan beberapa butir pernyataan yang tidak cocok. Hal ini disebabkan oleh ketidak tepatan rumusan saduran. Oleh karenanya terhadap butir pernyataan ini dilakukan penyaduran ulang.

c. Menyederhanakan Hasil Terjemahan

Hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia, selanjutnya dengan bantuan guru yang mengajar Bahasa Indonesia pada tingkat sekolah menengah pertama


(46)

dilakukan proses penyederhanaan dalam susunan kalimatnya yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan sampel penelitian.

d. Menguji Cobakan Instrumen Skala Empati.

Skala empati yang diuji cobakan tetap berbentuk summated rating dengan menggunakan skala 0 – 4 sebagaimana aslinya. Uji coba dilakukan terhadap 40 orang siswa kelas 8 sekolah menengah pertama, dan analisisnya dilakukan dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menguji validitas butir pernyataan. Dengan menggunakan program SPSS 17.0. Dari hasil pengujian validitas terhadap 45 butir pernyataan diperoleh 32 butir pernyataan yang memenuhi kriteria valid dan 13 pernyataan tidak valid. Setelah dikonsultasikan dengan pembimbing, dari 13 pernyataan yang tidak valid terdapat 8 item pernyataan yang skornya mendekati tingkat validitas. Oleh karena itu terhadap item pernyataan tersebut dilakukan perbaikan, sehingga instrumen kemampuan empati seluruhnya berjumlah 40 item pernyataan. Sebagaimana dapat di lihat pada Tabel 3.2.


(47)

Tabel 3.2

Hasil Uji Validitas Instrumen Skala Empati

No. Pearson Correlation

Sig.

(2-tailed) Ket. No.

Pearson Correlation

Sig.

(2-tailed) Ket.

1. 0,346 0,029 valid 24. 0,328 0,039 valid

2. 0,041 0,803 tdk valid 25. 0,652 0,000 valid

3. 0,522 0,001 valid 26. 0,335 0,034 valid

4. 0,361 0,022 valid 27. 0,358 0,024 valid

5. 0,077 0,637 tdk valid 28. 0,452 0,003 valid

6. 0,439 0,005 valid 29. 0,557 0,104 valid

7. 0,574 0,000 valid 30. 0,261 0,104 revisi 8. 0,401 0,010 valid 31. -0,303 0,057 revisi 9. 0,448 0,004 valid 32. 0,131 0,420 revisi 10. 0,179 0,268 revisi 33. 0,530 0,000 valid 11. 0,364 0,021 valid 34. 0,438 0,005 valid 12. -0,025 0,880 tdk valid 35. 0,058 0,722 tdk valid 13. 0,539 0,000 valid 36. 0,547 0,000 valid 14. 0,255 0,113 revisi 37. 0,602 0,000 valid 15. 0,204 0,206 revisi 38. 0,401 0,010 valid 16. 0,591 0,000 valid 39. 0,416 0,008 valid 17. 0,355 0,024 valid 40. 0,161 0,322 revisi 18. 0,317 0,046 valid 41. 0,378 0,016 valid 19. 0,364 0,021 valid 42. 0,526 0,000 valid 20. 0,384 0,015 valid 43. 0,518 0,001 valid 21. -0,025 0,881 tdk valid 44. 0,477 0,002 valid 22. 0,569 0,000 valid 45. 0,569 0,000 valid 23. 0,276 0,084 revisi

Keterangan :

- Jika koefisien korelasi (Pearson correlation) > 0,3 dinyatakan valid - Jika koefisien korelasi (Pearson correlation) < 0,3 dinyatakan tidak valid - Jika nilai Sig. (2-tailed) > 0,05 maka item tes tidak valid

- Jika nilai Sig. (2-tailed) < 0,05 maka item tes valid

Secara lebih lengkap mengenai hasil uji validitas instrumen dapat di lihat pada Lampiran 7 halaman 172.


(48)

2) Menguji reliabilitas skala empati. Setelah diketahui berapa item pernyataan yang valid, selanjutnya dilakukan pengujian mengenai tingkat reliabilitasnya. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach.

Dari hasil pengujian reliabilitas pada uji coba ke-1 yang berjumlah 32 item pernyataan diperoleh reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,884. Berdasarkan kriteria keputusan bahwa apabila Alpha Cronbach > 0,6 maka instrumen dinyatakan cukup reliabel. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Skala Empati Ke-1 Reliability Statistics

Alpha Cronbach Jumlah Pernyataan

0,884 32

Namun karena diadakan perbaikan terhadap 8 item pernyataan yang skornya mendekati valid, instrumen secara keseluruhan berjumlah 40 item pernyataan. Selanjutnya dilakukan pengujian reliabilitas ulang. Dengan menggunakan teknik alpha Cronbach yang pengolahannya dengan SPSS 17.0, koefisien reliabilitas diperoleh sebesar 0,865 dengan ketentuan, jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,06 maka instrumen dinyatakan cukup reliabel. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Skala Empati Ke-2 Reliability Statistics

Alpha Cronbach Jumlah Pernyataan


(49)

Dengan demikian didasarkan pada ketentuan tersebut menunjukkan bahwa skala empati hasil uji coba termasuk dalam kategori reliabel sehingga dapat digunakan dalam pengumpulan data penelitian. Secara lebih lengkap mengenai hasil uji reliabilitas instrumen dapat di lihat pada Lampiran 7 (lanjutan) halaman 180.

3. Bentuk Akhir Instrumen Skala Empati

Setelah melalui proses adaptasi yang dilakukan dalam beberapa tahapan, maka bentuk akhir dari skala empati yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bentuk Pernyataan

Bentuk akhir skala empati ini berupa angket tertutup dengan menggunakan skala 0 – 4 dan alternatif jawabannya meliputi: sangat menggambarkan dirinya (SM), menggambarkan keadaan dirinya (M), kurang menggambarkan dirinya (KM), tidak menggambarkan dirinya (TM), dan sangat tidak menggambarkan dirinya (STM).

b. Cara Pengerjaan

Dalam menjawab skala empati ini, responden diminta merefleksikan keadaan dirinya terhadap setiap butir pernyataan dengan cara memberi tanda cheklis (√) pada kolom alternatif jawaban yang dinyatakan dalam bentuk:

SM : Jika pernyataan itu sangat menggambarkan dirinya. M : Jika pernyataan itu menggambarkan keadaan dirinya.


(50)

KM : Jika pernyataan itu kurang menggambarkan dirinya. TM : Jika pernyataan itu tidak menggambarkan dirinya. STM : Jika pernyataan itu sangat tidak menggambarkan dirinya.

c. Cara Penyekoran

Skor untuk skala empati ini merupakan jumlah skor dari setiap butir pernyataan. Pemberian skor untuk setiap butir pernyataan didasarkan pada patokan: SM = 4, M = 3, KM = 2, TM = 1, dan STM = 0. Patokan ini berlaku sebaliknya untuk butir pernyataan negatif.

Pemberian skor bisa dilakukan untuk setiap dimensi maupun untuk keseluruhan. Skor setiap dimensi diperoleh dengan menjumlahkan skor responden atas butir-butir pernyataan untuk dimensi tersebut. Sedangkan skor keseluruhan diperoleh dengan menjumlahkan skor dari keempat dimensi empati.

D. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2009:80). Lebih lanjut dikatakan bahwa: “Populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu”


(51)

Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa populasi merupakan obyek atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti.

Populasi yang menjadi sasaran penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 8 SMP Negeri 3 Banyuresmi yang berjumlah 180 orang. Pengambilan populasi dari kelas 8 didasarkan pada beberapa alasan antara lain: pertama, siswa kelas 8 tingkat heterogenitasnya sudah kelihatan berdasarkan hasil proses belajar di kelas 7. Kedua, siswa kelas 8 pengalaman belajarnya masih relatif rendah sehingga akan lebih mudah dalam mengelola kebiasaan belajarnya.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian merupakan bagian dari seluruh populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian. Sebagaimana dikemukakan Sugiono (2009:81) yaitu: Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah berjumlah 64 orang siswa. Penentuan jumlah ini didasarkan pada rumus dari Taro Yamana yang dikutip Rahmat (1998:82) sebagai berikut:

1 . 2 +

=

d N

N n

dimana :

n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi

2


(52)

1 1 , 0 . 180 180 2 + = n , 1 ) 01 , 0 ).( 180 ( 180 + = n , 1 80 , 1 180 + = n , 80 , 2 180 = n , 28 , 64 =

n , dibulatkan menjadi 64.

Setelah diketahui jumlah sampel yang harus dipilih dalam penelitian, selanjutnya melalui teknik random sederhana di ambil sebanyak 64 orang. Dari 64 orang sampel tersebut, kemudian secara random pula dikelompokkan kembali ke dalam dua kelompok, sehingga menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang masing-masing berjumlah 32 orang. Mengenai karakteristik sampel yang terlibat dalam penelitian ini, mereka memiliki usia antara 13 - 14 tahun, Jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan perempuan dan memiliki kemampuan ketrampilan dalam penguasaan teknik dasar permainan bola voli dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Selain itu, mereka bertempat tinggal di lingkungan pegunungan dan pesawahan dengan kebiasaan mereka bercocok tanam baik pertanian maupun perkebunan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan melalui tes berupa angket skala empati yang berisi 40 pernyataan. Tes angket ini digunakan untuk mengungkap seberapa besar kemampuan empati siswa.

Tes angket skala empati dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu tes awal dan tes akhir. Tes awal dilaksanakan sebelum kelompok ekpserimen dan kelompok kontrol memperoleh perlakuan, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan empati siswa sebelum proses pembelajaran. Tes akhir dilaksanakan


(53)

setelah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperoleh perlakuan, yang tujuannya untuk mengetahui tingkat perubahan kemampuan empati siswa.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menyusun instrumen penelitian dan program penelitian. Penyusunan instrumen penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menentukan jenis skala empati yang akan digunakan, yaitu skala empati versi kedua.

b. Menyusun kisi-kisi instrumen sesuai dengan skala empati yang ada. c. Melakukan pengadaptasian instrumen dengan prosedur sebagai berikut:

1) Menerjemahkan butir pertanyaan dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

2) Hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia, selanjutnya diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan untuk menguji tingkat kecocokan isi antara hasil terjemahan dengan bahasa aslinya.

3) Menyederhanakan hasil terjemahan yang sudah dalam bahasa Indonesia, untuk disesuaikan dengan tingkat pemahaman sampel dengan bantuan guru yang berkompeten di bidangnya.


(1)

penelitian lanjutan yang melibatkan aspek psikomotor atau kognitif, sehingga hasilnya lebih komprehensif.

2. Penelitian yang dilakukan ini, ruang lingkupnya masih terbatas pada siswa dari lingkungan pedesaan. Oleh karena itu masih terbuka untuk dilakukan penelitian dengan mengambil sampel dari siswa yang ada di perkotaan.

3. Ruang lingkup penelitian ini baru pada tingkat sekolah menengah pertama, sehingga masih terbuka untuk diadakan penelitian lanjutan yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau lebih rendah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al Ghazali, M. (1993). Akhlaq Seorang Muslim. Semarang. CV. Adi Grafika Allen, Sea. (2003). Know Yourself and the Communication Climate. [Online].

Tersedia: www.allenshea.com/knowyourself.html. [3 Agustus 2010]. Allend, E. Ivey. (1993). Counseling and Psychotherapy. A Multidimentional

Perspective. Third Edition. Boston.

Allport, G. (1968). The Historical Background of Modern Social Psychology. In G. Lindzey & E. Arronson, Handbook of Social Psychology. New York: Addison Wessley.

Amirin, T.M. (2009). Cooperative Learning: STAD (Student Teams-Achievement Divisions). Artikel. [Online]. Tersedia:

http://www.tatangmanguny.wordpress.com. [20 Agustus 2010]

Anderson, C and Keltner, D. (2001). The role of Empathy in The Formation and Maintenance of Social Bonds. Department of Northwestern University, Evanston, Psychology, University of California, Berkeley, Berkeley, CA94720. c-anderson2@kellogg.nwu.edu keltner@socrates.berkeley.edu Arends, R.I. (2001). Learning to Teach. New York: Mc graw Hill Companies, Inc. Bahri Djamarah, S dan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Asdi

Mahasatya.

Baron-Cohen, S. (2008). Mindblindness, and Theory of Mind Psychology Today. [Online]. Tersedia:

www.psychologytoday.com/.../empathy-mindblindness-and-theory-mind. [23 Agustus 2010].

Barret-Lennard, G.T. (1981). The Empathy Cycle. Refinement of a Nuclear Concept. Rehabilitation Institute, Southern Illinois University. Journal of Counseling Psychology, 1981, Vol. 28, No. 2, 91 -100

Batson, C.D et al. (1981). Is Empathic Emotion a Source of Altruistic Motivation?. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 40, No. 2, 290-302.

Budiningsih, A. (2008). Pembelajaran Moral. Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Rineka Cipta. Jakarta.


(3)

Copp, D. (2001). Morality, Normality and Society. Oxford University Press. Crabb, W., Moracco, J. and Bender, R. (1983). A comparative Study of Empathy

Training with Programmed Instruction For Lay Helpers. Journal of Counseling Psychology, 30 (2), 635-653.

Davis, M.H. (1980). A Multidimentional Approach to Individual Differences in Empathy. Austin. University of Texas

Davis, M.H. (1983). Measuring Individual Differences in Empathy: Evidence for a Multidimensional Approach. Journal of Personality and Social Psychology, 44 , 113-126.

Dovidio, J.F et al. (1990). Specificity of Empathy-Induced Helping: Evidence for Altruistic Motivation. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 59, No. 2, 249-260.

Echols, J.M dan Shadily, H. (2005). Kamus Inggris Indonesia. An English-Indonesian Dictionary. Jakarta. PT. Gramedia.

Egan, G. (1994). The Skilled Helper: A Problem-Management Approach. Monterey, CA: Brooks/Cole.

Eisenberg, N. dan Fabes, R.A. (1990). Empathy: Conceptualization, Measurement, and Relation to Prosocial Behavior. Motivation and Emotion, 14, 131-149.

Exquisite Learning. (2002). Empathy in Schools and How Exquisite Learning Can Help. http:// www.mysharmin.com/exquisite/empathy.html.

Fraenkel dan Wallen. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. NewYork: San Francisco State University: Mc. Graw-Hill Inc. Goldman, A. (1993). Ethics and Cognitive Science. Ethics, 103, 337-360.

Hojat, M. et al. (2001). Empathy in Medical Education and Patient Care (letter). Acad Med 2001; 76:669

Hoedaya, D. (2009). Empati Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Tinjauan Potensi Pendidikan Jasmani Dalam Pendidikan Watak. Makalah. Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. Universitas Pendidikan Indonesia. Hoffman, Martin. (2000). Empathy and moral development: Implications for

caring and justice. New York.: Cambridge University Press. Ickes, W. (1997). Empathic accuracy. New York: The Guilford Press.


(4)

Johnson, J., A Chek, J.M. and Smither. R. (1983). The Structure of Empathy. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 45 No. 6 1299-1312. Ketelle, D. (2005). Self-Efficacy Development in School Leaders: An Alternate

Paradigm, Journal of Scholarship and Practice, 2(1), 3-6.

Ketelle dan Pete Mesa, R. (2006) “Empathetic Understanding and School Leadership Preparation,” Kravis Leadership Institute, Leadership Review, Vol. 6., pp. 144-154.

Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Lie, A. (2010). Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. PT. Gramedia. Jakarta.

Lonie, J. M. et. al. (2005) Assessing Pharmacy Student Self-Reported Empathic Tendencies. Am J Pharm Educ. 69 (2): Artikel 29.

Mansyur. (1996). Strategi Belajar Mengajar. Direktorat Jenderal Pendidikan Kelembagaan Agama Islam. Universitas Terbuka.

Metzler, M. W. (2000). Instructional Models For Physical Education. Georgia State University.

Noddings, N. (1992). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. New York: Teachers College Press.

Pearson, J.C. (1983). Interpersonal Communication: Clarity, Confidence and Concern. Illionois: Scott, Forresman & Co.

Ramadhan, A. (2010). Fakta Dunia Pendidikan. Artikel. [Online]. Tersedia: http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/05/fakta-dunia-pendidikan-indonesia/

Rubiyanto, R. (1993). Uji Coba Pelatihan Empati Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tesis. Tidak Diterbitkan.

Rusli Lutan. (1998). Pembaharuan Proses Agogik dan Optimalisasi Fungsi Sosial Olahraga dan Pendidikan Jasmani: Sebuah Refleksi Dalam Masa Krisis. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap. Bandung. FPOK IKIP Bandung.

Sarwono, Sarlito. W. (2002). Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta. Balai Pustaka.


(5)

Shapiro, J., Morrison, E.H., and Boker, J.R. (2004). Teaching Empathy to First Year Medical Students: Evaluation of an Elective Literature and Medicine Course. Education for Health: Change in Learning & Practice, 17, 73-84. Siedentop. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. California:

Field.

Sisdiknas. (2006). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung. Citra Umbara.

Sherry L. Hatcher dkk. (1994). The Teaching of Empathy for High School and College Students: Journal Testing Rogerian Methods with the

Interpersonal Reactivity Index. Adolescence, Vol. 29, 1994

Slavin, R.E. (2005). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Nusa Media Ujung Berung. Bandung.

Slote, Michael. (2007). The Ethics of Care and Empathy. Routledge Taylor and Francis Group. London and New York.

Smith, A. (2006). Cognitive Empathy and Emotional Empathy in Human Behavior and Evolution. The Psychological Record, 56(1), 3-21.

Sobur, A. (2009). Psikologi Umum. Dalam Lintas Sejarah. Bandung. CV Pustaka Setia.

Sugiono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta Bandung.

Suherman, A. (1998). Revitalisasi Keterlantaran Pengajaran dalam Pendidikan Jasmani. IKIP Bandung Press.

Tapus, A dan Mataric, M.J. (2006). Emulating Empathy in Socially Assistive Robotics. Los Angeles. University of Southern California

Wagstaff, L. dan Fusarelli, L. (1995). The Racial Minority Paradox: New Leadership Academic Citation:

Wikipedia. (2009). Simulation Theory of Empathy. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Simulation_theory_of_empathy. [14 Juni 2010].

Wikipedia. (2010). Empathy. [Online]. Tersedia:


(6)

Wilkes, M., Milgrom, E. and Hoffman J.R. (2002). Towards More Empathic Medical Students: a Medical Student Hospitalization Experience. Med Educ. 2002; 36:528–33.

Zillmann. (2006). Empathy Theory: The International Encyclopedia of Communication. [Online]. Tersedia:

www.blackwellreference.com/public/tocnode?. [23 Agustus 2010]