MENGKAJI TAFSIR DI BEBERAPA WILAYAH Cata

MENGKAJI TAFSIR DI BEBERAPA WILAYAH: Catatan Pengalaman di Indonesia, Mesir, Jerman, dan Yordania 1

Wardani

A. Pendahuluan

Seiring dengan datang era globalisasi, kini ASEAN menjadi suatu wilayah ekonomi tunggal, yaitu suatu kondisi di mana negara-negara di Asia Tenggara akan mempertimbangkan mata uang tunggal (single currency), seperti negara-negara Eropa menggunakan Euro sebagai mata uang tunggal sejak 1 Januari 1999. Globalisasi segala aspek di Asia Tenggara menguat kembali ketika pada pertemuan seluruh pemimpin negara-negara ASEAN di Bali pada 2003 menyepakati pemberlakuan pasar tunggal ASEAN yang dilaksanakan secara bertahap, dari sektor pariwisata, transportasi, barang manufaktur, elektronik, hingga otomotif. 2

Di era globalisasi seperti sekarang ini, perguruan tinggi diharuskan fokus melakukan perbaikan kurikulum dan peningkatan komptensi para mahasiswa dengan mempertimbangkan penerimaan di pasar kerja ASEAN. Tuntutan baru ini seiring dengan perjanjan di Bali pada Oktober 2015 yang menetapkan mulai berlakunya free flow service. Dengan perjanjian ini, sepuluh negara ASEAN, termasuk Indonesia, menjadi pasar tunggal bagi para sarjana berbagai perguruan tinggi ASEAN. Implikasi dari pergeseran global ini adalah perlunya merancang ulang perguruan tinggi dari berbagai aspek yang memungkinkan sarjana-sarjana lulusannya bisa diterima di seluruh negara ASEAN. Keadaan ini yang meniscayakan adanya universitas berkelas dunia (World Class University). 3

Di antara aspek penting dalam sebuah perguruan tinggi berkelas internasional ini adalah karya-karya penelitian dosen. Begitu juga, keterlibatan mahasiswa dalam penelitian. Ini menjadi indikator penting keunggulan sebuah perguruan tinggi, agar

1 Disampaikan pada The Second Borneo Undergraduate Academic Forum (BUAF), kerja sama UIN Antasari Banjarmasin, IAIN Samarinda, dan IAIN Palangkaraya, di Auditorium Mastur

Jahri UIN Antasari Banjarmasin pada 18-20 Juli 2017. 2 Dede Rosyada, “Research University”, dalam http://www.uinjkt.ac.id/research-university/

(3-7-2017). 3 Ibid.

memperoleh pengakuan internasional. Keadaan ini meniscayakan untuk tidak lagi memperkuat posisi perguruan tinggi sebagai universitas pembelajaran (teaching university), melainkan menggesernya menjadi universitas riset (research university). Dengan cara begitu, pembelajaran yang dilaksanakan memang bertolak dari hasil- hasil penelitian mutakhir, karena pada hakikatnya, ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku kuliah adalah hasil akumulasi riset-riset terdahulu yang tak terhitung jumlahnya. Begitu juga, dengan asumsi bahwa dosen adalah “ilmuwan yang mengajar”, ilmu yang diajarkan bertolak dari riset-riset mutakhir yang berakar secara faktual di lapangan. 4 Salah satu implikasi tuntutan ini adalah bahwa untuk memberi waktu yang lebih banyak bagi dosen untuk penelitian, pembelajaran diformat lebih banyak dalam bentuk penugasan-penugasan, dibandingkan pengajaran di kelas, kepada mahasiswa, dalam bentuk penelitian-penelitian dengan skala yang relevan.

Beberapa universitas yang telah mendapat predikat World Class University, seperti Universitas Harvard, Universitas Oxford, Universitas Stanford, dan Universitas UC Berkeley, memiliki kualitas terbaik, antara lain, mendorong, memberi fasilitas mahasiswa untuk meneliti. Menurut Quachquarelli Symonds (QS), sebuah lembaga yang bergerak dalam penelitian perguruan tinggi, salah satu kriteria akreditasi internasional adalah produktivitas dari universitas riset berdasarkan jurnal

nasional dan internasional. 5 Jurnal menjadi cerminan sejauh mana dosen dan mahasiswa melakukan penelitian-penelitian yang menjadi indikator kualitas perguruan tinggi.

Penelitian sebenarnya adalah sebagian kecil adalah penguasaan teori, dan sebagian besar adalah aplikasi, baik kajian literatur maupun kajian empiris di lapangan. Oleh karena itu, profesionalitas meneliti yang dituntut kepada dosen dan mahasiswa lebih banyak ditempa dengan berbagai pengalaman-pengalaman penelitian.

Tulisan ini merupakan catatan tentang sedikit pengalaman selama merancang dan proses melakukan penelitian di beberapa tempat. Seperti kata pepatah yang sudah sering kita dengar, “pengalaman adalah guru terbaik”, pengalaman yang dituangkan di sini semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk melaksanakan penelitian- penelitian.

Pengalaman penelitian ini meliputi (1) pengalaman dan sebagiannya merupakan persepsi secara akademis dalam melakukan penelitian, (2) pengalaman

4 Ibid. 5 Irukawa Elisa, “Syarat Akreditasi Universitas Terbaik di Dunia Tarik Mahasiswa Sadar

Meneliti”, dalam https://www.duniadosen.com/universitas-terbaik-di-dunia/ (4-7-2017).

kultural berinteraksi dengan budaya berbeda di berbagai tempat, agar pembaca tidak terkejut menghadapi kultur berbeda (culture shock), atau menghadap kultur akademik berbeda (academic culture shock). 6 Pengalaman penelitian tersebut adalah (1) pengalaman selama menulis disertasi di jenjang pendidikan doktor di UIN Sunan Ampel Surabaya (2006-2010) dengan mendapat fasilitas sambil mengikuti Pendidikan Kader Mufassir (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ) di Tangerang selama enam bulan di Tangerang (2009), dilanjutkan dengan penyelesaian penulisan disertasi selama dua bulan di Cairo (2010), dan dengan kursus singkat (short course) menulis akademik di Universitas Leipzig, Jerman (2010); (2) pengalaman melakukan pengayaan terhadap penelitian tentang trend perkembangan pemikiran kontemporer tentang metodologi tafsir al-Qur`an di Indonesia selama mengikuti postdoc melalui Postdoctoral Fellowship Program for Islamic Higher Education (Posfi) yang diselenggarakan Subdit Ketenagaan, Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama di Universitas Âl al-Bayt di Provinsi al-Mafraq, Yordania (2016).

B. Dari Surabaya, Jakarta, Mesir, Hingga Jerman: Pengalaman Menulis Disertasi tentang “Ayat Pedang” (Ayat al-Sayf)

1. Tentang Disertasi

Sebagai syarat akhir menyelesaikan studi di program doktor (S3) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, penulis menulis disertasi berjudul “Kontroversi Penganuliran Ayat-ayat Damai dengan Ayat Pedang dalam al-Qur`an: Kajian Analitis Kritis”. Disertasi ini mulai ditulis pada 2008 dan selesai, serta dipertahankan dalam ujian promosi pada 2010. Disertasi ini kemudian terpilih dalam program penerbitan disertasi-disertasi terbaik se-Indonesia pada 2011 oleh Litbang Kementerian Agama untuk diterbitkan, dengan judul Ayat Pedang versus Ayat Damai: Menafsir Ulang Teori Naskh dalam al-Qur`an. 7

6 Lihat “Academic Culture Shock”, dalam http://quic.queensu.ca/students/academic-culture- shock-2/ (4-7-2017).

7 Buku ini bisa diunduh di: (1) http://idr.iain-antasari.ac.id/7604/; (2) https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=IuR3lJYAAAAJ&cstart=2

0&btnA=1&citation_for_view=IuR3lJYAAAAJ:bEWYMUwI8FkC; (3) https://www.academia.edu/32265468/AYAT_PEDANG_VERSUS_AYAT_DAMAI_MENAFSIR_U LANG_TEORI_NASKH_DALAM_AL-QURAN; (4) https://www.researchgate.net/publication/315784315_AYAT_PEDANG_VERSUS_AYAT_DAMAI_ MENAFSIR_ULANG_TEORI_NASKH_DALAM_AL- QURAN?_iepl%5BviewId%5D=6GoZvfgiXFdRHRXk7fs2qhM9&_iepl%5BprofilePublicationItemV

Ide untuk menulis tema ini muncul di benak pikiran muncul ketika penulis melihat problem relasi antaragama di Indonesia yang diwarnai dengan ketegangan- ketegangan berupa rentetan pemboman, seperti peristiwa Bom Bali dan Bom Kuningan. Uniknya, memang bahwa penganuliran (naskh) “ayat-ayat damai” (âyât al-silm, peace-verses) yang jumlah dalam kajian ini mencapai 135 ayat, bahkan Yûsuf al-Qarâdhâwî mengklaim sampai 140 ayat, dan ada penulis mengklaim sampai 200 ayat, dengan “ayat pedang” (âyat al-sayf, sword-verse) yang hanya satu atau sedikit ayat, tidak hanya dianut oleh para mufassir klasik, melainkan ternyata juga masih kuat menggema dalam argumentasi pelaku pemboman untuk memerangi non- Muslim, meski mereka tidak bersalah.

Imam Samudra, salah seorang pelaku pemboman di Bali, ketika ditanyakan kepadanya, “tampaknya Anda sangat terpengaruh dengan konflik di Afganistan, dan juga mungkin di Palestina, apakah Anda akan berhenti kalau konflik itu selesai?”, menjawab dengan berargumentasi begini:

“Saya menjawab ini dengan mengutip firman Allah Swt., ‘Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah.’ 8 Hanya ada satu jalan, yaitu jihâd. Ada tafsir dari Ibn Katsîr soal fitnah itu. Pertama, kemusyrikan. Kedua, tidak menegakkan hukum Allah. 9 Jadi, untuk mengeliminasi fitnah itu, hanya ada satu cara, dengan jihâd. Bukan lewat pemilihan umum, bukan dengan demokrasi. Itu konsep Barat dan yang sekarang menjadi dîn atau agama baru. Lalu banyak umat Islam sekarang yang pengecut. Mereka menyembunyikan hadîts shahîh. Dalam satu hadîts yang diriwayatkan Bukhârî-Muslim disebutkan, ‘Aku diutus oleh Allah menjelang hari

kiamat dengan membawa pedang.’ 10 Itu hadîts shahih.” 11

ariant%5D=default&_iepl%5Bcontexts%5D%5B0%5D=prfpi&_iepl%5BtargetEntityId%5D=PB%3A 315784315&_iepl%5BinteractionType%5D=publicationTitle.

8 Yang dimaksud oleh Imam Samudra adalah "Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah (penindasan) dan agama bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari menindasmu), tidak ada lagi

permusuhan, kecuali terhadap orang-orang aniaya" (Q.2/87:193). 9 Ibn Katsîr juga mengemukakan penafsiran yang menekankan konteks hukum timbal-balik

(reciprocity) dengan mengemukakan riwayat lain. Penafsiran ini didasarkan pendapat Ibn ‘Abbâs, Abû al-‘Âliyah, Mujâhid, al-Hasan al-Bashrî, Qatâdah, al-Rabî’, Muqâtil, al-Suddî, dan Zayd bin Aslam. Sebenarnya, Q.2/87:193, sebagaimana dikutip, berada dalam kelompok ayat-ayat lain (ayat 190-193), sebagaimana dikelompokkan oleh Ibn Kathîr, yang harus dipahami dalam korelasi (munâsbah) ayat- ayat tersebut. Ibn Katsîr mencatat bahwa kebolehan berperang didasarkan perlakuan yang sama terhadap umat Islam, karena mereka diperangi (asas timbal-balik, qishash, mu’âwadhah, reciprocity), seperti dalam Q.2/87:191. Oleh karena itu, fitnah dipahami dalam konteks seperti pembunuhan, penindasan, atau pengusiran yang dilakukan oleh kaum musyrik Arab kepada umat Islam ketimbang karena shirk mereka. Lihat Ibn Kathîr, Tafsîr Ibn Katsîr, vol. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 227-229.

10 Hadîts yang dimaksud oleh Imam Samudera tersebut tercantum dalam Musnad Ahmad bin Hanbal. Lihat al-Musnad, edisi Ahmad Muhammad Syâkir, vol. 7 (Mesir: Maktabat al-Turâts al-Islâmî,

t.th.), 121-122, hadîth nomor 5.115. Hadîth tersebut berbunyi:

aᓫ˸ 䙕a ama ᓫ �ᓫΣ � �b

䙕�ᓫ ᓫa a aᓫ ᓫ

Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa agama, dalam hal ini teks-teks ayat al-Qur’an yang “ditafsirkan”, menjadi lokomotif sebuah tragedi kemanusiaan, yaitu pemboman yang menyebabkan tewasnya banyak orang yang tidak berdosa, dengan dalih menghapuskan “fitnah” (syirk) dengan jihâd sebagai kekerasan. Ibn Katsîr sebagai otoritas yang dikutip oleh Imam Samudera adalah nama mufassir yang cukup terkenal dengan tafsir al-Qur’annya, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm atau dikenal dengan Tafsîr Ibn Katsîr. Pengutipan sumber pendapat oleh Imam Samudra dari tafsir tersebut memang benar. Akan tetapi, persoalan sesungguhnya adalah penafsiran Ibn Katsir, seorang murid Ibn Taymiyah, juga dipengaruhi mindset masa lalu yang sudah tertanam kuat, baik terkait dengan penafsiran kata fitnah tersebut, maupun teori lain yang juga turut memback-upnya, yaitu teori penganuliran (naskh) ayat-ayat damai dengan ayat pedang.

Ibn Katsir mengaitkan tafsir kata fitnah ini dengan “ayat pedang” dengan mencantumkan riwayat Sufyân bin ‘Uyainah dari perkataan ‘Alî bin Abî Thâlib “Nabi Muhammad saw diutus dengan empat pedang….” untuk memerangi kaum musyrik Arab, Ahl al-Kitâb, para munafiq, dan pemberontak (bughâh). 12 Bahkan, Ibn Kathîr meriwayatkan adanya naskh (penghapusan) oleh “ayat pedang” tersebut,

Tidak seperti klaim Imam Samudera, kitab hadîts koleksi al-Bukhârî dan Muslim tidak memuat hadîts ini, kecuali hanya potongan (tharf) yang berbunyi “ju’ila rizqî tahta zhill rumh î wa ju’ila al-dhillah wa al-saghâr ‘alâ man khâlafa” yang terdapat dalam Shahih al-Bukhârî secara mu’allaq karena al-Bukhârî menyebut sanad secara langsung dari ‘Abdullâh bin ‘Umar. Lihat al- Bukhârî, Shahih al-Bukhârî bi Syarh al-Kirmânî, vol. 12 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), 172. Menurut keterangan Ibn Hajar al-‘Asqalânî, semua rawi hadîts ini dinilai thiqah, kecuali Ibn Tsawbân yang masih diperdebatkan, namun pada umumnya kritikus rijâl menilainya juga tsiqah. Lihat Ibn Hajar al- ‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), vol. 2, 219-220, vol. 6, 136-137, vol. 12, 18-19, 271. Atas dasar ini, Ahmad Muhammad Syâkir berkesimpulan bahwa sanad hadîts ini adalah shahîh. ‘Abd al-Rahmân bin Tsâbit bin Tsawbân, meskipun dinilai oleh sebagian kritikus rijâl sebagai rawi yang tidak kredibel, seperti Ahmad bin Hanbal yang menilai hadîts-hadîts yang diriwayatkannya munkar, dan Yahyâ bin Ma’în yang menilainya dha’îf, sebagian kritikus lain tetap memandang sebagai rawi yang kredibel, seperti ‘Alî ibn al-Madînî, Abū Hatim, dan Ibn Hibbân. Perlu dijelaskan bahwa istilah munkar yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal hanya menunjukkan bahwa hadîts tersebut tidak didukung (tafarrud) oleh hadîts lain. Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalânî, al-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn al- Shalâh (Beirut: Dâr al-kutub al-‘Ilmîyah, 1994), h. 274. Hadîts ini juga tercantum dalam al-Fath al- Kabîr, vol. 3, 8 yang berasal dari Musnad Ahmad bin Hanbal tersebut. Penulis al-Fath al-Kabîr mempersoalkan kredibilitas Ibn Tsawbân yang masih kontroversial. Lihat catatan Ahmad Muhammad Syâkir dalam Musnad, vol. 5, 96, vol. 7, 121. Di kalangan muhadditsūn, ada salah satu dari dua kaedah yang bisa digunakan untuk menyikapi kontroversi penilaian tersebut, yaitu “al-jarh muqaddam ‘alâ al-ta’dîl” dan “al-ta’dîl muqaddam ‘alâ al-jarh. Kaedah pertama tampak lebih hati-hati, apalagi

h adîth tersebut tidak ditopang oleh hadîts lain (syâhid), kecuali hadîth yang mursal. Dengan demikian, hadîts tersebut dari segi sanad adalah dha’îf. 11 http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/09/10/nrs,20040910-08,id.html

(14 September 2004). 12 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz 2, h. 336-337. Periwayatan bahwa Nabi Muhammad diutus dengan pedang, selain ditemukan dalam koleksi-koleksi tafsir Sunnî seperti Tafsir Ibn Katsîr, juga ditemukan dalam koleksi tafsir Syî’ah, lihat misalnya Sayyid Hâsyim H usayn al- Bahrânî, al-Burhân fî Tafsîr al-Qur`ân (Qom: Mu’assasat al-Bi’tsah, 1413), juz 2, h. 738-741.

terhadap ayat-ayat lain tentang hubungan dengan non-muslim yang lebih lunak dan konsiliatif.

Sebenarnya mana ayat yang disebut oleh para mufassir sebagai “ayat pedang” itu yang katanya secara unik menganulir (dikatakan sebagai kasus “naskh unik, luar biasa”, ‘ajîb al-naskh, karena satu ayat menganulir ratusan ayat lain)? Begitu juga, ayat-ayat mana saja yang disebut sebagai “ayat-ayat damai” itu? Persoalan yang lebih krusial adalah: bagaimana argumentasi klaim penganuliran itu? Apakah faktor sosio- politis, seperti momen perang Salib yang berlangsung lama itu, berperan dalam mengkondisikan kesadaran mufassir hingga mengklaim penganuliran tersebut? Sejumlah pertanyaan muncul di benak penulis yang melihat permasalahan ini krusial untuk dikaji, karena masalah membentang dari mindset mufassir, bahkan fuqaha`, klasik hingga pemikir-pemikir dan kaum Muslim yang hidup di era kontemporer sekalipun.

2. Dari Surabaya ke Jakarta: Mendesain Proposal Disertasi (2008)

Bagi penulis, memperluas wawasan pengetahuan dengan memahami isu-isu klasik hingga kontemporer tentang tafsir berikut literatur-literatur terkait dan mengenal tradisi akademik distingtif merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu, meskipun UIN Sunan Ampel adalah tempat studi penulis, saya ketika itu berpikir bahwa kajian kitab kuning berupa karya-karya naskh dan tafsir seperti ini meniscayakan hunting literatur yang harus sungguh-sungguh, karena memerlukan kajian analitis-historis tidak hanya terhadap literatur-literatur yang ditulis belakangan, melainkan literatur-literatur yang ditulis pada fase formatif ilmu-ilmu al-Qur`an, sejak abad ke-2 H, seperti karya Ibn Syihâb al-Zuhrî, berikut karya-karya sesudahnya, seperti karya Abû ‘Ubayd al-Qâsim bin Sallâm, Abû Ja’far al-Nahhâs, dan sebagainya. Oleh itu, penulis memutuskan untuk melacak literatur, membuka wawasan metodologi, dan konsultasi pakar di beberapa tempat. Upaya hunting literatur serupa sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan dengan meminta bantuan Muhammad Khairuddin, seorang mahasiswa magister di Universitas Cairo (Jâmi’at al-Qâhirah) untuk menelusuri literatur-literatur naskh klasik di beberapa maktabah (toko buku) di Cairo. Sejumlah literatur penting telah penulis peroleh. Namun, kini penelusuran literatur juga dilakukan di perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko kitab di Jakarta.

Pada 2008, pilihan pertama saya untuk tujuan ini adalah Jakarta. Mengapa? Untuk skop nasional, Jakarta, di samping Yogyakarta, adalah pilihan yang tepat, karena ia memiliki vitalitas keilmuan yang kuat. Di sini, berdiri UIN Syarif Hidayatullah (lebih tepatnya, sekarang disebut berada di wilayah Tangerang) sebagai perguruan tinggi Islam yang tidak hanya berdiri di fase awal, di samping UIN Sunan Kalijaga, melainkan juga perguruan tinggi berkembang drastis, baik dari segi SDM maupun fasilitas, termasuk perpustakaan. Di samping itu, di sini juga berdiri, perguruan tinggi dan lembaga yang patut diperhitungkan untuk pengembangan kajian

Islam umumnya maupun tafsir khususnya, seperti Islamic College for Advanced Studies (ICAS) di Universitas Paramadina, Islamic Cultural Center (ICC) al-Huda di Pejaten yang didirikan oleh Syi’ah dengan perpustakaanya yang lengkap, baik berbahasa Arab maupun Parsi, perpustakaan Imam Jama’ di Lebak Bulus, dan Pusat Studi al-Qur`an (PSQ) di Jalan Kertamukti, Pisangan, Ciputat, Tangerang yang tidak hanya menyediakan perpustakaan yang representatif dengan koleksi klasik dan mutakhir, melainkan juga menyediakan program-program kajian tafsir, termasuk Pendidikan Kader Mufassir (PKM) untuk menyahuti kebutuhan mahasiswa magister dan doktor yang sedang menulis karya akademisnya.

Dengan tekad kuat untuk memperoleh informasi lengkap dan mutakhir dalam kajian tafsir dengan fasilitas yang lengkap dan kesempatan konsultasi dengan pakar, penulis memutuskan hijrah sementara dari kota Surabaya menuju Jakarta. Selama dua bulan lamanya penulis habiskan di Jakarta, dengan nge-kost di Jl. Semanggi, untuk menyusun proposal disertasi. Beruntung sekali, penulis memperoleh kesempatan mengakses literatur-literatur di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang tidak didapatkan di perpustakaan lain. Memang, universitas Islam negeri ini sedang giat-giatnya, dengan visinya untuk menjadi universitas kelas dunia, membenahi segala aspek. Kesempatan ini juga penulis gunakan untuk konsultasi dengan pakar, antara lain, Dr. Yusuf Rahman, MA. (yang menulis disertasi tentang hermeneutika Abu Zayd) dan Kusmana (yang menulis tesis di Universitas McGill tentang konsep naskh menurut Imam al-Syâfi’î).

Alhamdulillah, dengan kesungguhan yang penuh, akhir waktu selama dua bulan menghasilkan proposal disertasi tentang “ayat pedang” (ayat al-sayf) siapkan untuk diujikan. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, waktu tersebut juga digunakan untuk menyusun proposal penelitian kompetitif kolektif (bersama Dr. Saifuddin, M.Ag.) untuk diajukan ke Kementerian Agama Jakarta dengan judul “Tafsir Relasi Gender di Nusantara: Perbandingan Tarjumân al-Mustafîd Karya ‘Abd al-Ra`uf Singkel dan Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab” yang kini pada 2017 telah diterbitkan oleh Penerbit LKiS dengan judul, Tafsir Nusantara: Analisis Isu-isu Gender dalam al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab dan Tarjuman al- Mustafid Karya ‘Abd al-Ra`uf Singkel.

3. Menulis Disertasi sambil Mengikuti “Pendidikan Kader Mufassir” (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ), Tangerang (2009)

Setelah proposal disertasi diujikan, kini tugas berat berikutnya adalah menulisnya bab demi bab. Pada 2009, penulis berangkat kembali ke Jakarta untuk mengikuti program Pendidikan Kader Mufassir (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ).

Pusat Studi al-Qur`an (PSQ) yang terletak di Jl. Kertamukti, No. 63, Ciputat, Tangerang adalah lembaga yang didirikan pada 2004 oleh Prof. Dr. M. Quraish

Shihab, M.A., dengan tujuan “untuk ‘membumikan’ al-Qur`an kepada masyarakat yang pluralistik” dan “ingin menciptakan kader mufasir al-Qur`an yang profesional”.

Pusat Studi al-Qur`an (PSQ), di bawah nanungan Yayasan Lentera Hati

Selain mendirikan gedung utama di Jl. Kertamukti sebagai kantor Yayasan Lentera Hati yang menanungi PSQ dan penerbit Lentera Hati dan tempat kegiatan dan pertemuan-pertemuan, Quraish juga mendirikan Bayt al-Qur`an di Pondok Cabe untuk menjadi tempat kegiatan pesantren pasca-tahfîzh al-Quran. Belakangan, pada

23 Februari 2016 yang lalu, PSQ resmi memiliki gedung baru di Komplek South City Pondok Cabe, Tangerang Selatan dengan diresmikan oleh Grand Syekh al-Azhar, yaitu Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyeb.

Program Pendidikan Kader Mufassir merupakan salah satu di antara program- program andalan yang bertujuan untuk melahirkan kader-kader penafsir (mufassir) yang handal. Kegiatan yang diikuti berlangsung selama 6 bulan, sejak Maret-Agustus 2009.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sejumlah kegiatan dirancang: bimbingan penulisan tesis dan disertasi yang diasuh oleh Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A., pertemuan rutin khusus tanya-jawab isu-isu tafsir yang diasuh oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Pendekatan Studi Tafsir yang diasuh oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A.., halaqah tafsir dengan mengkaji kitab-kitab tafsir klasik standar, seperti Jâmi’ al-Bayân karya al-Thabarî dan al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubî, yang diasuh oleh Dr. Sahabuddin (asal NTB, doktor almunus

Universitas al-Azhar), kajian balâghah al-Qur`an dengan referensi Lamsât Bayâniyyah fî Nushûsh min al-Tanzîl karya Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ`î yang diasuh oleh Dr. Basyiri Abdul Mu’thi (pengajar asal Mesir), telaah buku (qira`at al-kutub) ensiklopedi akhlaq al-Qur`an, Mawsû’at Akhlâq al-Qur`ân (6 volume) karya Ahmad al-Syarbâshî yang diasuh oleh Dr. A. Wahib Mu’thi, M.A. (almarhum), Membentuk Kemampuan Menafsirkan (takwîn malakat al-tafsîr) yang diasuh oleh Dr. Mukhlish M. Hanafi, MA., dan pengembangan diri, seperti sistem berpikir, kerja kelompok, dan pemecahan problema yang diasuh oleh Najelaa Syihab, S.Psi. (salah seorang putri M. Quraish Shihab). Di samping menulis disertasi dan mengikuti PKM, saya juga berinisiatif menerjemahkan sebuah buku berbahasa Inggris tentang nazhm, yaitu Coherence in the Qur`an karya Mustansir Mir.

Banyak ilmu yang diperoleh selama mengikuti program ini. Di samping wawasan tentang literatur-literatur tafsir yang sudah tidak lagi tersekat sunni, melainkan lebih beragam “sunni-syi’i”, “klasik-modern”, saya juga memperoleh wawasan yang luas dan lebih pluralistik, sesuai dengan visi PSQ sendiri.

4. Menyelesaikan Penulisan Disertasi di Cairo (2010) 13

Pendidikan Kader Mufassir (PKM) sebenarnya menawarkan pendidikan dua jenjang. Pertama, pendidikan intensif selama enam bulan di PSQ dengan mengikuti berbagai kegiatan dan menulis tesis/ disertasi yang kemudian dilaporkan secara berkala setiap bulan. Kedua, memberikan fasilitasi berupa kesempatan untuk menulis disertasi secara lebih intensif dengan kesempatan mendapatkan literatur lebih memadai dan bimbingan dari profesor mitra PSQ di Cairo, yaitu Prof. Hassan Hanafi (intelektual dan penulis terkenal, dosen Universitas Cairo). Program kedua ini berlangsung selama 2-3 bulan. Peserta kegiatan kedua ini diseleksi dari peserta kegiatan pertama yang dianggap berprestasi dan sangat membutuhkan program kedua ini.

Setelah diadakan seleksi terhadap para peserta program pertama dengan melalui wawancara tentang perkembangan penulisan tesis/ disertasi dan kesiapan (proposal berbahasa Arab, dan alasan akademik mengikuti program) di hadapan pewawancara, Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A. dan Dr. H. Mukhlish M. Hanafi, M.A., akhirnya saya terpilih sebagai satu-satunya peserta yang dianggap layak mendapat program tersebut.

Selama dua bulan (9 Maret-9 Mei 2010), penulis menghabiskan waktu untuk menulis disertasi. Kesempatan ini sangat berharga, karena penulis bisa memperoleh literatur-literatur langka yang selama ini dicari. Meskipun even penting, yaitu

13 Sebagian kecil dari catatan perjalanan saya ke Cairo untuk menyelesaikan penulisan disertasi sebelumnya pernah dimuat di Bulletin Silaturahmi, yang diterbitkan oleh Keluarga Alumni

Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari (Kafusari) dengan judul, “Catatan Perjalanan Ilmiah di Kota Seribu Menara, Cairo”.

pameran (ma’radh) buku internasional telah berlalu, toko-toko buku (maktabah) di Cairo masih menyimpan koleksi berharga. Dengan menginap di kawasan Darmalak (Dir al-Malak), perjalanan dengan hanya menaiki bus kota dalam beberapa menit, saya bisa mendatangi kawasan toko buku. Berbeda dengan toko-toko di Indonesia, di Mesir setiap toko buku biasanya juga menjadi penerbit. Kita bisa menemukan jejeran tokok-toko buku di sekitar Masjid Hussein, seperti al-Maktabah al-Tawfiqiyyah dan Dâr al-Salâm. Begitu juga, di sekitar Masjid al-Azhar yang yang terletak hanya bersebarangan jalan dengan Masjid Hussein, juga berjejer sejumlah toko buku, seperti Maktabat Ibn ‘Affan.

Di samping melengkapi pembahasan disertasi dengan literatur-literatur standar yang diperoleh di Cairo, penulis juga berkesempatan pada 4 Mei 2010 berkonsultasi dengan Prof. Hassan Hanafi. Meskipun ia tinggal masih di sekitar Cairo, yaitu di kota Nashr (madînat Nashr, Nashr City), di perkampungan depan (hayy tsâmin), terasa agak agak jauh perjalanan saya menuju tempat ini dari Darmalak. Kedatangan saya ke rumahnya didampingi oleh Saifuddin, Lc., seorang mahasiswa master di Universitas al-Azhar asal Indonesia. Kami diterima di rumah yang merupakan sebuah gedung megah (satu ‘imârah) miliknya yang menampung seluruh keluarga dan anak-anaknya. Kami diterima di ruang perpustakaan pribadi di lantai 1. Meskipun ia adalah seorang pemikir besar, namun terasa kehangatannya sebagai orang biasa ketika menyambut kami. Ia sendiri, tanpa bantuan istri atau pembantu, yang membawakan minuman berupa jus jeruk kaleng dan menuangkannya ke gelas di hadapan kami.

Sambil beramah-tamah, saya membuka pembicaraan dan menceritakan garis besar isi proposal disertasi dengan ringkasannya dalam bahasa Arab dalam beberapa lembar kertas. Pandangan saya bahwa tidak terjadi naskh dalam al-Qur`an ditentang keras oleh Prof. Hassan Hanafi. Bahkan, dengan tegas, ia bertanya, “a anta salafî, yâ ustâzd? (apakah kamu seorang salafi, Mas?)”. Menurut informasi Saifuddin, Lc., ternayata ada trend kajian-kajian yang berupaya keberadaan naskh dalam al-Qur`an di kalangan pengikut salafisme. Dari pengamatan saya, memang juga, orang bisa saja meniliti objek yang sama dengan maksud berbeda. ‘Abd al-Muta`âl al-Jabrî yang menulis beberapa karya tentang tema ini, seperti Lâ Naskh fî al-Qur`ân, bertolak dari semangat kritiknya terhadap kajian orientalis yang menganggap al-Qur`an tidak otentik, karena keberadaan naskh di dalamnya menunjukkan telah terjadi revisi, dan banyak ayat yang “tercecer”, atau sebaliknya, banyak ungkapan bukan al-Qur`an yang terselipkan dalam al-Qur`an, seperti kasus ayat-ayat Setan (satanic verses). 14

14 Lihat, misalnya, John Burton, “Those Are The High-Flying Cranes”, dalam The Qur`an: Formative Interpretation, ed. Andrew Rippin (USA, Singapura, Sydney: Ashgate/ Variorum, 1999),

347-366; Arthur Jeffery, “Abu ‘Ubaid on the Verses Missing from the Koran”, dalam The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, ed. Ibn Warraq (New York: Prometheus Books, 1998), h. 150-153; William Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur`ân (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991), h. 86-107.

Tapi, tidak semua penulis menulis dengan semangat ideologis dan pembelaan yang menggebu-gebu. Di sisi lain, satu hal yang perlu direvisi bahwa seorang semisal al- Jabrî yang menunjukkan bukti-bukti valid, ketika membela otentisitas al-Qur`an, selalu cenderung dinilai di mata Barat, sebagai seorang apologetis.

Prof. Hassan Hanafi memang, di mata saya, “dibesarkan” dalam kajian ushûl al-fiqh, sehingga wajar ia mengakui adanya naskh, bukan dikenal kepakarannya dalam ‘ulûm al-Qur`ân, meskipun ia juga menulis di bidang ini. Dalam kenyataannya, naskh adalah diskursus yang disikapi berbeda dalam konteks pembicaraan ushûliyyûn dan pakar ‘ulûm al-Qur`ân. Tidak hanya naskh dilihat secara lebih luas (naskh membentang dari naskh al-Qur`an, sunnah, ijmâ’, dan akal) di mata ushûliyyûn, melainkan juga perbedaan cara pandang mereka yang berbeda dengan pakar ‘ulûm al- Qur`ân. Ternyata, berdasarkan cerita Saifuddin, Lc., setiap orang Indonesia yang berdiskusi dengannya juga mengalami hal yang sama. 15

15 Prof. M. Amin Abdullah pernah menceritakan kejengkelannya di hadapan mahasiswa S2 di UIN Sunan Kalijaga tentang pengalamannya berdialog dengan Prof. Hassan Hanafi di seminar

internasional tentang humanisme Islam dan humanisme sekular di IAIN (sekarang: UIN) Walisongo, Semarang, pada 2000. Prof. M. Zurkani Jahja, penulis buku Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, pernah mengatakan bahwa bahwa “menulis (yang baik) membentuk pola pikir”. Itu artinya bahwa menulis bukan sekadar menukil pendapat orang lain, melainkan pendapat-pendapat orang lain yang dikutip tersebut harus bermuara pada pendapat, atau tesis apa yang ingin dipertahankan. Atau dengan kata lain, menulis berarti berpendapat, atau berarti menyatakan pendirian penulis, meski bertolak dari data milik orang. Ibarat rumah, bagian-bagiannya bisa jadi diambil dari orang lain dengan berbagai sumber, tapi konstruksi rumah secara keseluruhan merupakan representasi pendirian orang yang membangunnya. Dalam konteks inilah, bisa dipahami bahwa menulis yang baik idealnya memang membentuk opini atau pikir. Bahkan, menurut Abû Bakr ibn al-’Arabî (w. 543 H), sebagaimana saya kutip dalam pengantar dalam disertasi, “Tidak sepatutnya bagi orang yang ingin menulis tidak menghiraukan salah satu dari dua hal: adakalanya ia harus menemukan makna baru (reinterpretasi), atau justeru membangun konstruksi pemikiran baru (rekonstruksi). Jika tidak, hal yang dilakukannya hanya mencoret-coret kertas, atau berhias dengan hiasan pemborosan”. Sebagai seorang penulis yang baik, tentu saja, Prof. Hassan Hanafi memiliki opini, tesis, atau pola pikir yang terbentuk dari pembacaan kritisnya terhadap sumber-sumber. Pola pikir itu bisa jadi seiring dengan waktu dan seiring dengan spesifikasi keilmuan yang ditekuninya akan mengkristal dan “mengeras” menjadi klaim kebenaran yang pantang menyerah. Jika seorang penulis berada dalam batas disiplin ilmunya yang tersekat, maka bisa jadi opini, tesis, atau pola pikir tersebut akan mengeras menjadi klaim kebenaran yang rigid. Ini di satu sisi, di mana menulis dengan batas keilmuannya menjadikan rigid dengan opininya, atau memegang kuat tesis. Namun, di sisi lain, sebaliknya, juga ada penulis yang tidak punya “jati diri keilmuan”, tidak memiliki tesis, atau pola pikir. Kondisi terakhir ini yang sering dijumpai dalam penelitian (skripsi) mahasiswa S1. Idealnya, menulis yang baik adalah mempertahankan tesis tanpa menjadi klaim kebenaran yang rigid sambil menoleh kemungkinan kebenaran di luar.

Bersama Prof. Hassan Hanafi di rumahnya di Perkampungan Delapan, Kota Nashr, Mesir

Namun, Prof. Hassan Hanafi juga memberikan saran-saran perbaikan untuk disertasi saya. Kedatangan kami, di samping bermaksud untuk berkonsultasi, juga ingin membeli sebagian karya-karyanya. Memang, ia adalah seorang penulis yang produktif yang menulis karya-karya besar yang berisi pembaruan, seperti Min al- ’Aqîdah ilâ al-Tsawrah (Dari Akidah ke Revolusi) dan Muqaddimah fî ‘Ilm al- Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Kali ini, ia menunjukkan karya barunya, Tashawwuf Iqbal, yang cukup tebal. Karya-karyanya umumnya diterbitkan oleh Maktabat Madbûlî, Mesir, yang sering menerbitkan karya-karya liberal. Namun, karena fokus saya pada kajian tafsir, akhirnya, saya tertarik membeli Min al-Naql ilâ al-’Aql: Juz I: ‘Ulûm al-Qur`ân min al-Mahmul ilâ al-Hâmil (sebuah karya yang meringkas bahasan-bahasan inti dalam ‘ulûm al-Qur`ân), Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi’: Juz I Takwîn al-Nash (tentang formasi teks), Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi’: Juz II Bun- yat al-Nash (tentang struktur teks), dan Ta`wîl al-Zhâhiriyyât: al-Hâlah al-Râhinah li al-Manhaj al-Zhâhiriyyâtî wa Tathbîquh fî al-Zhâhirah al-Dîniyyah (tentang fenomenologi untuk mengkaji fenomena keagamaan). Tampak dari judul-judulnya, “Dari..ke…”, bahwa ia memiliki pola pikir oposisi binner, selalu melihat pertentangan, dan memang dari kondisi sekarang, ia selalu menginginkan perubahan secara radikal.

Kesempatan selama di Cairo ini juga penulis gunakan untuk mempresentasikan ide-ide pokok disertasi pada 5 April 2010 di Forum Studi al-

Qur`an (Fordian) yang beralamat di Madînat Nashr, yaitu sebuah forum diskusi tentang al-Qur`an di kalangan mahasiswa-mahasiswa Universitas al-Azhar asal Indonesia. Forum ini diketuai oleh Rais Fata, seorang mahasiswa asal Madura, dan beranggotakan, antara lain, Thoyib Arifin, Agus Salim, dll. Saya beruntung bisa berhadir di tengah mereka untuk berdiskusi. Di samping sebagai narasumber, saya juga berperan sebagai peserta dalam diskusi bertema: “Naskh al-Tilâwah” yang dipresentasikan oleh Rais Fata (19 April 2010) dan diskusi bertema “Gugatan terhadap Qira`at Tujuh” oleh Agus Salim (26 April 2010).

Keunggulan mereka adalah kuatnya akses ke sumber-sumber primer dan penguasaan mereka terhadap kitab kuning. Di samping itu, mereka juga hapal al- Qur`an, bahkan sebagian dari mereka menghapal qira`at sepuluh, seperti yang dilakukan oleh Agus Salim (Jawa) dan Agus Salim (dengan nama yang sama, asal Makassar). Namun, kelemahannya yang sering dikonsultasikan kepada saya adalah tata cara penulisan makalah dan metodologi, karena mahasiswa-mahasiswa S1 Universitas al-Azhar tidak diwajibkan menuliskan makalah, seperti halnya di Indonesia. Perkuliahan di sini lebih banyak dilaksanakan dengan metode ceramah, bahkan di hadapan ratusan mahasiswa (biasanya di aula, qâ’ah), kondisi yang hampir sama terjadi di Universitas Âl al-Bayt, Yordania, bahkan mungkin menjadi ciri umumnya perkuliahan di Timur Tengah.

Kesempatan berharga ini juga penulis gunakan untuk mengenal objek-objek wisata di Mesir. Pertama, pada 2 Mei 2010 mengunjungi museum yang terletak di sekitar Tahrir Square (Maidân Tahrir). Dengan menaiki kereta api bawah tanah berkecepatan tinggi, Metro, yang konon seperti di Perancis, saya berangkat sendirian, tanpa guide, dari Darmalak. Kereta api tepat berhenti di perhentian bawah tanah yang muaranya tepat di Tahrir Square, dan saya langsung menuju museum berwarnai orange tua yang di halamannya berjejer patung dan benda sejarah lain. Setelah membeli tiket, saya masuk melewati pintu penjagaan. Penjaga bertanya, “min nîn (min aina) (dari mana)?”. Saya jawab: “Indonesia”. Mendengar jawaban saya, sang penjaga, cepat mempersilakan saya dengan ramah. Dari beberapa kasus hampir sama, saya berkesimpulan, nama Indonesia, di samping sebagai negara mayoritas, juga barangkali dan reputasi baiknya, menjadikan mereka welcome. Khusus di kalangan Universitas al-Azhar, menurut keterangan sebagian mahasiswa Indonesia, nama Indonesia memiliki reputasi baik, antara lain, karena jasa duta besarnya, A. M. Fakhir, dalam mendorong mahasiswa-mahasiswa Indonesia agar sukses belajar di universitas ini. Pada waktu ujian, duta besar ini sering blusukan ke kamar-kamar kost mahasiswa mendorong mahasiswa belajar serius.

Museum dua lantai ini berisi penuh dengan benda-benda peninggalan sejarah, baik berupa batu besar bertulisan hieroglif (tulisan gambar), papirus, dan koin, baik koin Mesir, Yunani, maupun Romawi. Juga dijumpai patung, meja, dan peti mati (sarkofagus), bahkan masih ada yang berisi mumi. Terdapat jua topeng Tutankhamun Museum dua lantai ini berisi penuh dengan benda-benda peninggalan sejarah, baik berupa batu besar bertulisan hieroglif (tulisan gambar), papirus, dan koin, baik koin Mesir, Yunani, maupun Romawi. Juga dijumpai patung, meja, dan peti mati (sarkofagus), bahkan masih ada yang berisi mumi. Terdapat jua topeng Tutankhamun

Mengunjungi museum ini tidak lengkap jika kita tidak masuk ke ruang khusus berisi mumi-mumi keluarga Fir`aun yang terbagi ke dalam dua ruangan. Dengan bayar 100 pound Mesir (junaih mishrî, gineih mashrî), saya bisa melihat dari dekat mumi-mumi tersebut, di antaranya deretan beberapa orang Ramses dan istri- istrinya. Di satu ruangan, saya bisa menyaksikan mumi Ramses II, yaitu Fir`an yang hidup dan berseteru dengan Nabi Musa as. Memang, sesuai dengan janji Allah swt, bahwa Dia akan menjadikan jasad Ramses II yang tenggelam di Laut Merah itu awet sehingga menjadi pelajaran bagi manusia. Jasadnya kini bisa disaksikan di kaca dalam keadaan utuh, bahkan dengan rambutnya yang memutih, meski tentu saja kulitnya menyusut.

Kedua, di kesempatan lain, pada 3 Mei 2010, saya juga mengunjungi Piramida di Giza (al-Jîzah). Lagi-lagi, keberangkatan kali ini juga sendiri, tanpa guide, untuk memberanikan berinteraksi dengan orang-orang Mesir dengan bahasa Arab, adakalanya dengan fushhâ atau ‘âmiyah. Di sini, ditemukan piramida-piramida yang merupakan tumpukan batu-batu berukuran besar dengan tinggi ratusan meter. Ada beberapa piramida: piramida Khufu (Great Pyramid of Giza), piramida Khafre, dan piramida Menkaure. Piramida-piramida tersebut adalah tempat kuburan para raja dan permaisurinya. Selain piramida, juga ada Spinx, yaitu patung manusia berkepala singa).

Ketiga, mengunjungi makam-makam ulama tokoh Islam. Pada 1 Mei 2010, saya berkesempatan menziarahi makam Imam al-Syafi’i (w. 204 M/ 820 H) di kota al-Qarafah al-Shugra. Dari Darmalak, saya menaiki bus dan turun persimpangan yang dikenal dengan persimpangan Sayyidah ‘A`isyah, karena di pinggir jalan di persimpangan ini berdiri sebuah mesjid yang di dalamnya dimakamkan Sayyidah ‘A`isyah. Saya menyempatkan ziarah ke makam ini. Dari sini, saya menaiki bus menuju makam al-Syafi’i melalui jalan yang sempit. Akhirnya, saya sampai di sebuah masjid al-Imam al-Syafi’i, di mana di dalamnya dimakamkan beliau dan seorang imam pengikut madzhabnya, yaitu Syekh Zakariyyâ al-Anshârî (w. 1520 M/926 H) yang merupakan penulis produktif yang menulis sejumlah karya, seperti Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Rawdhat al-Thâlib dan Syarh Îsâghûjî. Saya juga sempat berziarah pada 30 April 2010 ke makam Ahmad al-Dardiri (w. 201 H). Makam ini terletak tidak jauh dari area sekitar mesjid al-Azhar.

Keempat, mengunjungi sejumlah bangunan bersejarah pada 24 Maret 2010. Yang paling fenomenal adalah Benteng (qal’ah, citadel) Shalahuddin al-Ayyubi. Benteng dengan nama serupa ditemukan juga di Yordania dan Suriah. Benteng ini dibangun pada 1183 M untuk membentengi kota Cairo dari serangan luar, khusus pada masa Perang Salib. Benteng ini sebenarnya merupakan komplek yang tidak hanya terdiri dari benteng, melainkan ada Mesjid Muhammad ‘Alî yang dibangun Keempat, mengunjungi sejumlah bangunan bersejarah pada 24 Maret 2010. Yang paling fenomenal adalah Benteng (qal’ah, citadel) Shalahuddin al-Ayyubi. Benteng dengan nama serupa ditemukan juga di Yordania dan Suriah. Benteng ini dibangun pada 1183 M untuk membentengi kota Cairo dari serangan luar, khusus pada masa Perang Salib. Benteng ini sebenarnya merupakan komplek yang tidak hanya terdiri dari benteng, melainkan ada Mesjid Muhammad ‘Alî yang dibangun

Benteng Shalahuddin al-Ayyûbî dengan Di teras samping Masjid Muhammad Ali mesjid di dalamnya

di komplek Benteng Shalahuddin al- Ayyubi

3. Short Course Menulis Akademik di Universitas Leipzig untuk Menopang Penulisan Disertasi (2010)

Sejalan dengan penulisan disertasi yang menghajatkan cara penulisan secara akademis, penulis beruntung berkesempatan pada 2010 selama sebulan untuk mengikuti short course menulis akademik (academic writing) yang difasilitasi oleh Subdit Ketenagaan Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama. Program ini dirancang untuk membekali Sejalan dengan penulisan disertasi yang menghajatkan cara penulisan secara akademis, penulis beruntung berkesempatan pada 2010 selama sebulan untuk mengikuti short course menulis akademik (academic writing) yang difasilitasi oleh Subdit Ketenagaan Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama. Program ini dirancang untuk membekali

Secara keseluruhan, pada tahun 2010 program ini bertempat di beberapa universitas luar negeri yang mewakili Timur Tengah, Eropa, dan Asia Tenggara, yaitu: Universitas Leipzig (Jerman), Universitas Göttingen (Jerman), Universitas al- Azhar (Mesir), Universitas Melbourne (Australia), dan National University of Singapore (Singapura).

Penulis berkesempatan mengikuti short course ini di Universitas Leipzig (Jerman), sebuah universitas yang cukup tua. Univeritas ini berdiri pada 1409, jadi hingga ketika itu (2010) sudah berusia 601 tahun. 16 Universitas ini konon telah melahirkan tokoh-tokoh pemikir kaliber dunia, seperti Habermas, dan pernah dipimpin oleh rektor Hans-George Gadamer, penulis terkenal hermeneutika Truth and Method, dan pernah melahirkan setidaknya 30 orang peraih hadiah Nobel. Dalam kancah kajian al-Qur`an, universitas ini telah melahirkan sejumlah orientalis terkenal seperti Theodor Nöldeke, sang pemenang lomba penulisan “sejarah kritis teks al- Qur`an” yang disponsori oleh the Parisian Academie des Incriptions et Belles-Lettres pada 1857, yang hasilnya kemudian diterbitkan di Göttingen dengan judul Geschichte des Qorans.

Rombongan short course ke Jerman sebenarnya terdiri dari dua kelompok, yaitu satu kelompok ditempatkan di Universitas Leipzig dan satu kelompok lainnya di Universitas Göttingen. Masing-masing rombongan terdiri dari guru besar, doktor, dan calon doktor.

Rombongan peserta ke Universitas Leipzig berjumlah 12 orang: 3 guru besar,

3 doktor, dan 6 calon doktor. Memang, pada tahun ini, penyelenggaraan short course ini masih memasukkan guru besar sebagai peserta yang sebenarnya pada kenyataannya lebih difokuskan pada studi banding untuk pengembangan keilmuan dan kelembagaan, sehingga lebih banyak dengan kunjungan.

Rombongan dengan Prof. Dr. Nur Kholis Setiawan, seorang alumnus universitas Bonn (Jerman) sebagai pendamping, terbang dari bandara Soekarno-Hatta, Tangerang menuju bandara Frankfurt am Main (disebut juga bandara Rhein-Main). Setibanya di bandara Frankfurt, saya bersama rombongan dijemput oleh Dr. Fritz Schulze (Adjunct Professor di Goethe Universität) untuk menuju ke kota Leipzig dengan naik kereta api cepat. Setibanya di stasiun kereta api Leipzig (Leipziger Volkszeitung), kami diterima oleh sepasang suami istri yang kelak menemani kami dalam perjalanan dan kegiatan, yaitu Dr. Thoralf Hanstein dan Esie Hartiyanty (asal Palangka Raya).

16 Lihat buku tentang peringatan 600 tahun uiniversitas ini, yang diterbitkan dengan dua bahasa (Jerman dan Inggris), 600 Jahre Universität Leipzig: Aus Tradition Greenzen Überschreiten

(600 Years of Leipzig University: A Tradition of Crossing Boundaries) (Göttingen: Verlag, 2009).

Kami diterima di Universitas Leipzig (Universität Leipzig), tepatnya di Fakultät für Geschichte, Kunst- und Orientalwissenschaften (Fakultas Sejarah, Seni, dan Kajian Ketimuran).

Di depan perpustakaan Fakultas Sejarah, Seni, Suasana Fakultas dilihat dari jauh, berbaur Kajian Ketimuran

dengan pertokoan

Universitas Leipzig meliputi beberapa fakultas dengan fasilitas yang lengkap. Salah satu yang menjadi jantung universitas ini adalah perpustakaan. Kami telah diperkenalkan dengan perpustakaan universitas dan perpustakaan Fakultas Kajian Ketimuran. Setiap peserta dari rombongan kami didaftarkan sebagai anggota perpustakaan Leipzig (Universität Bibliotik Leipzig). Dengan kartu identitas semacam kartu atm, setiap anggota bisa mengakses setiap koleksi, termasuk memfotokofi buku-buku dengan voucher yang tersimpan dalam kartu tersebut. Perpustakaan yang berlantai tiga ini memuat koleksi yang sangat kaya, baik buku maupun jurnal berbagai bahasa dari terbitan awal hingga modern. Para pengguna perpustakaan dimudahkan dengan tersedianya mesin fotokofi yang bisa dioperasikan sendiri kapan saja dengan mengisi voucher pada kartu anggota (10 Euro = 200 lembar). Selain itu, perpustakaan juga dilengkapi program digitalisasi yang memungkinkan setiap pengguna mengakses dengan mudah koleksi perpustakaan, serta dilengkapi jurnal- jurnal internasional berbagai disiplin hasil kerjasama perpustakaan ini dengan perpustakaan lain dan penerbit. Di samping perpustakaan milik Universitas, juga tersedia perpustakaan milik Institut Kajian Ketimuran. Perpustakaan ini tidak luas, tapi memiliki koleksi-koleksi literatur beberapa bahasa: Jerman, Inggris, Arab, China, India, dsb.

Selain perpustakaan milik universitas dan perpustakaan milik Institut Kajian Ketimuran, para peserta juga mengunjungi Perpustakaan Nasional di Leipzig. Karena perpustakaan ini terletak di pusat kota Leipzig, kami tidak kesulitan untuk mendatangi, cukup hanya dengan naik tram beberapa menit sampailah kami di tujuan.

Kedatangan kami disambut oleh pustakawan, Kerstin Kubitzky. Perpustakaan ini didirikan pada tahun 1912 M dengan nama “Deutsche Bibliothek” ini berisi koleksi tidak hanya literatur modern, melainkan juga literatur-literatur sejak tahun 1913 M., dan mengoleksi buku-buku terjemahan selain bahasa Jerman, di samping yang ditulis dengan bahasa Jerman.

Memang, harus diakui bahwa format kegiatan short course ini berbeda- beda antara yang diselenggarakan di Universitas Leipzig ini dengan beberapa universitas lain, baik di al-Azhar, di ANU, Melbourne, maupun di Singapura. Khusus di Universitas Leipzig, kegiatan diselenggarakan secara bersamaan antara kegiatan menulis akadamik bagi calon doktor dengan konsultasi dengan professor dengan pengembangan lembaga bagi doktor dan professor dengan pertemuan-pertemuan dan kunjungan-kunjungan untuk studi banding dan menjajagi kemungkinan memperluas jaringan ke berbagai tempat atau lembaga.

Bersama Prof. Eckehard Schulz di Di perpustakaan milik Institut Kajian Institut Kajian Ketimuran

Ketimuran Di antara pertemuan-pertemuan yang dilakukan adalah pertemuan dengan

Prof. Dr. Eckehard Schulz, seorang professor studi Arab di Institut Kajian Ketimuran (Schillerstr 6). Ia memperkenalkan diri dengan bahasa Arab, dengan intonasi cepat, fasih, dan disertasi logat khas Arab. Saya sempat takjub dengan kemampuannya, karena ia seroang Jerman yang bahasa Arab bukan bahasanya. Asumsi yang tertanam di pikiran saya bahwa bahasa harus dibentuk di lingkungan bahasa. Benar saja, ternyata dia lama tinggal di Yaman. Di samping fasih berbahasa Arab, sebagai professor bidang kajian Arab, ia juga mendesain pengajaran bahasa Arab untuk Prof. Dr. Eckehard Schulz, seorang professor studi Arab di Institut Kajian Ketimuran (Schillerstr 6). Ia memperkenalkan diri dengan bahasa Arab, dengan intonasi cepat, fasih, dan disertasi logat khas Arab. Saya sempat takjub dengan kemampuannya, karena ia seroang Jerman yang bahasa Arab bukan bahasanya. Asumsi yang tertanam di pikiran saya bahwa bahasa harus dibentuk di lingkungan bahasa. Benar saja, ternyata dia lama tinggal di Yaman. Di samping fasih berbahasa Arab, sebagai professor bidang kajian Arab, ia juga mendesain pengajaran bahasa Arab untuk

Kami beruntung diberi dua buku pegangan, yaitu karya Eckehard Schulz bersama Günter Krahl dan Wolfgang Reuschel, Standar Arabic: An Elementary Intermediate Course 17 dan karya Eckehard Schulz, Bahasa Arab Baku dan Modern: al-Lughah al-’Arabiyyah al-Mu’âshirah (dilengkapi dengan CD), versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Esie Hartianty, SS. dan suaminya, Dr. Thoralf Hanstein. 18

Kami juga berkesempatan mengikuti ceramah dan tanya-jawab bersama dengan Ibu Dr. Tuba Işik-Yigit (associate professor di Institut Teologi Islam, Universität Paderborn, Jerman). 19 Kehadirannya di Institut Kajian Ketimuran kali ini adalah dalam kapasitasnya sebagai seorang muslimah, atau lebih khususnya, sebagai ketua asosiasi muslimah Jerman. Ia berbicara di sini tentang Islam di Jerman. Banyak topik yang dibahas, seperti isu-isu yang pernah dimunculkan dalam Konferensi Islam Kedua yang dilaksanakan tentang institusionalisasi Islam (seperti tentang lembaga pendidikan Islam), kesetaraan gender, dan radikalisme Islam (munculnya Islam- Phobia di Jerman). Memang, sebagai minoritas, kalangan muslim masih mengalami kesulitan, sebagaimana kami saksikan sendiri, misalnya, mesjid-mesjid yang menjadi tempat ibadah Islam masih sangat sedikit. Mesjid-mesjid yang berdiri umumnya didirikan oleh komunitas muslim yang didominasi dari Turki.

17 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010). 18 (Yogyakarta: LKiS, 2009). Buku ini, sebelum diterbitkan, ditelaah ulang oleh beberapa

dosen di Indonesia yang dipercayakan oleh Kementerian Agama, antara lain: Dr. Sukamto, Drs. Muhbib Abdul Wahab, M.A., dan Prof. Dr. H.D. Hidayat.

19 Ia memperoleh gelar master di bidang hukum publik internasional dan bidang pendidikan di Georg-August Universität di Göttingen (Jerman), dan gelar doktor dari Universitas Paderborn, Jerman.

Ia memperoleh pelatihan tentang pendidikan Islam dalam bahasa Jerman di Universitas Osnabrück dan mengkaji

dan Ankara, Turki (www.hartsem.edu/macdonald-center/where-is-home-the-regugee-crisis-in-europe-and-the-us/keynote- speaker=dr-tuba-isik/, 30-6-2017).

teologi Islam

di

Fakultas

Ilahiyyat

di

Bursa

Sesi tanya-jawab dengan Ibu Tuba Işik- Foto bersama Ibu Tuba Işik-Yigit Yigit