Peran Pemulung Dalam Pengelolaan Sampah dan Timbulan Sampah di TPA Terjun Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah

2.1.1 Pengertian sampah

Sampah merupakan segala sesuatu yang dibuang karena dianggap tidak berguna lagi seperti fungsi awalnya, dan berasal dari aktivitas manusia. Menurut Undang-undang Nomor 18 tahun 2008, sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan / atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah juga diartikan sebagai material-material yang bukan cairan ataupun gas yang keberadaannya tidak diinginkan dan dibuang oleh manusia (Miller, 1997).

Menurut Dara (2007), sampah merupakan segala benda yang dibuang dan tidak terpakai yang berasal dari berbagai sumber, yakni berasal dari aktivitas rumah tangga, daerah komersial, industri, pertambangan dan pertanian yang menyebabkan lingkungan bermasalah.

2.1.2 Karakteristik sampah A. Garbage

Sampah yang terdiri dari bahan organik, sifatnya mudah busuk jika dibiarkan dalam keadaan basah. Misalnya sisa makanan, sayuran, buah-buahan dan dedaunan. Sampah jenis ini banyak ditemukan di area berpenduduk.

B. Rubbish

Sampah yang terdiri dari atas bahan anorganik yang sebagian besar atau seluruh bagiannya sulit membusuk. Menurut Suryati (2009), sampah ini digolongkan lagi menjadi tiga jenis, yakni: sampah kering logam (kaleng, pipa


(2)

besi tua), sampah kering nonlogam (kertas, karton, kayu, kain bekas, kulit) dan sampah kering yang sulit terbakar (noncombustible rubbish) misalnya pecahan gelas, botol, dan kaca.

C. Ashes

Merupakan sampah yang terdiri dari debu atau abu hasil pembakaran, baik pembakaran bahan bakar maupun sampah, yang biasanya tidak membusuk. Misalnya, debu hasil pembakaran kayu bakar.

D. Street Sweeping

Sampah dari aktivitas pembersihan di jalan raya, seperti dedaunan atau sampah plastik maupun kotoran yang dibuang sembarangan di jalan.

E. Dead Animal

Sampah yang berasal dari bagian tubuh binatang yang sudah mati, bisa diakibatkan karena bencana alam, penyakit ataupun kecelakaan.

F. Household Refuse

Sisa yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat di perumahan, biasanya merupakan campuran berbagai jenis sampah seperti garbage, ashes dan rubish.

G. Abandonet Vehicles

Sisa kerangka kendaraan bermotor (mobil, truk, kereta api, pesawat, dan lain-lain) yang tidak dapat digunakan lagi karena telah mengalami oksidasi atau pengkaratan sehingga dianggap sampah.


(3)

H. Sampah Industri

Sisa dari aktivitas Industri atau pekerja dalam suatu pabrik, biasanya berbentuk padat (bukan limbah cair dan gas), misalnya sisa makanan atau kemasan makanan para pekerja di suatu industri.

I. Demolation and Constrution Waste

Merupakan sampah sisa penghancuran suatu bangunan ataupun wilayah tertentu. Misalnya, beton dan kayu sisa dari bangunan yang terkena ledakan bom atau gempa bumi.

J. Specially Waste

Sampah yang dalam penanganannya diperlukan perlakuan khusus karena mengandung zat beracun dan/atau mikroorganisme yang berbahaya, maupun bersifat radioaktif. Biasanya sampah jenis ini berupa kaleng cat bekas, film bekas, atau sisa aktivitas pembangkit listrik tenaga nuklir.

Menurut Basriyanta (2007), jenis sampah berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut:

a. Sampah yang bersifat anorganik

Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan non-hayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik, sampah kertas, sampa kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian besar anorganik tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara keseluruhan (unbiodegradable). Sementara, sebagian


(4)

lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik dan kaleng.

b. Sampah yang bersifat organik

Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui prose salami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan, pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit buah, daun dan ranting.

Menurut Sirait (2009), sampah memiliki waktu tertentu untuk dapat didaur ulang ataupun dihancurkan, di bawah ini merupakan penggolongan sampah berdasarkan waktu hancurnya :

1) Sampah organik :

a) Kulit pisang : 3-5 minggu b) Kulit jeruk : 6 bulan

c) Kertas : 2-5 bulan

d) Kayu balok : 10-20 tahun 2) Sampah anorganik :

a) Kaus kaki katun : 5-6 bulan b) Kaus kaki wol : 1-5 tahun c) Kain nilon : 30-40 tahun d) Gelas/piring Styrofoam : tidak dapat hancur e) Kotak minuman : 5 tahun


(5)

f) Kaleng aluminium : 200-500 tahun g) Botol plastik : tidak dapat hancur h) Botol kaca : tidak dapat hancur i) Popok bayi/diaper : 500-800 tahun j) Pembalut wanita : 500-800 tahun k) Permen karet : 50 tahun l) Punting rokok : 1-12 tahun 2.1.3 Faktor-faktor yang memengaruhi jumlah sampah

Menurut Sumantri (2010) ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi jumlah sampah, yakni:

a. Jumlah Penduduk

Semakin padat penduduk, sampah semakin menumpuk karena tempat atau ruang untuk menampung sampah semakin berkurang. Demikian dengan semakin meningkatnya aktivitas penduduk, sampa yang dihasilkan juga semakin banyak.

b. Sistem Pengumpulan atau Pembuangan Sampah yang dipakai

Pengumpulan dengan menggunakan gerobak lebih lambat dibandingkan dengan truk, oleh sebab itu di daerah yang menggunakan gerobak sebagai pengangkut sampah akan menumpuk lebih banyak sampah dibandingkan dengan daerah yang menggunakan sistem angkut sampah lewat truk.

c. Pengambilan Bahan-Bahan pada Sampah untuk dipakai Kembali

Metode ini dilakukan karena bahan tersebut masih memiliki nilai ekonomi bagi golongan tertentu. Frekuensi pengambilan dipengaruhi oleh


(6)

keadaan, bila harganya tinggi, tinggi pula tingkat pemakaiannya kembali, sehngga sampah yang tertinggal pun semakin sedikit.

d. Faktor Geografis

Lokasi tempat pembuangan apakah di daerah pegunungan, lembah, pantai atau di dataran rendah. Biasanya jumlah sampah lebih banyak ditemukan di daerah dataran rendah yang padat penduduk.

e. Faktor Waktu

Jumlah sampah per hari bervariasi menurut waktu. Jumlah sampah pada siang hari lebih banyak daripada di pagi hari. Namun, sampah di daerah pedesaan tidak bergantung terhadap waktu.

f. Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya

Keberagaman budaya di suatu negara juga memengaruhi jumlah sampah yang dihasilkan. Beberapa suku di Indonesia contohnya, sering melaksanakan upacara adat yang memakai sesajen atau seserahan. Sisa dari acara adat tersebut tentunya menghasilkan lebih banyak sampah dibandingkan dengan beberapa suku yang tidak menggunakan sesajen.

g. Faktor Musim

Pada musim hujan sampah tersangkut pada selokan pintu air. Contoh lainnya, pada musim buah tertentu yang menghasilkan sisa juga akan menghasilkan jumlah sampah yang lebih banyak dibandingkan saat tidak musim buah apapun.


(7)

h. Kebiasaan Masyarakat

Bila suatu kelompok masyarakat suka mengonsumsi satu jenis makanan atau tanaman, maka sampah dari makanan itu akan meningkat.

i. Kemajuan Teknologi

Akibat kemajuan teknologi, jumlah sampah dapat meningkat. Contoh, plastik, kardus, rongsokan AC, TV, kulkas dan sebagainya.

j. Jenis Sampah

Makin tingkat kebudayaan suatu masyarakta, maka semakin kompleks pula macam dan jenis sampah yang dihasilkan.

2.1.4 Komposisi sampah

Komposisi sampah sangat bervariasi tergantung dari sumbernya, dari yang berbentuk sangat padat (seperti besi) hingga yang berbentuk gabus atau busa. Selain itu, volume sampah juga bervariasi dari yang besar seperti bangkai kendaraan hingga yang berbentuk abu.

Komposisi sampah suatu daerah yang ingin diketahui bergantung pada rencana pengelolaan sampah yang akan dipakai. Atau sebaliknya, komposisi sampah suatu daerah harus diketahui lebih dahulu untuk perencanaan pengelolaan sampah selanjutnya.

Para ahli mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menentukan komposisi sampah suatu daerah. Komposisi sampah dihitung dengan menjumlah bahan/materi sampah dalam garam/% dari sampah. Menurut McKinney dan Schoch (1996 ), komposisi sampah dibedakan menjadi beberapa jenis yang terdiri dari bahan-bahan berikut ini:


(8)

a. Logam: beberapa logam dapat digunakan lagi tanpa melewati proses penghancuran. Ada juga yang dapat didaur ulang dengan cara meleburkan logam dengan api bersuhu tinggi sehingga menciptakan perkakas baru. Waktu paruh atau degradasinya lebih lama dibanding bahan lain. Jadi,sangat disayangkan apabila logam dibuang sembarangan ke lingkungan. Contohnya kaleng, besi, paku, stainless steels bekas dan sejenisnya.

b. Kertas: terbuat dari serat tumbuhan khususnya batang pohon yang bersifat organik. Kertas lebih mudah untuk diuraikan oleh mikroba daripada logam. Hingga saat ini, daur ulang kertas masih terus berjalan. Namun tidak dapat dibandingkan dengan daur ulang material lainnya karena hanya bisa didaur ulang dari 6-8 kali (McKinney dan Schoch, 1996). Contohnya kertas cetakan, koran, majalah dan karton bekas.

c. Plastik: umumnya plastik terbuat dari polimer sintetis yang mengandung hidrogen, karbon dan oksigen hasil pengolahan minyak bumi. Tipe plastik masa kini cenderung sulit diuraikan dan bahkan tidak mudah menyatu dengan alam. Pencemaran lingkungan oleh sampah plastik tidak hanya merusak komponen lingkungan tapi juga menghasilkan beberapa zat pencemar yang berbahaya bagi lingkungan biotik dan abiotik. Namun, sifatnya sulit diuraikan ini memberikan keuntungan, yakni benda-benda plastik tersebut dapat digunakan kembali dan didaur ulang menjadi produk baru. Contohnya plastik kemasan makanan/minuman, perkakas masak bekas, plastik kresek, dan sebagainya.

d. Karet: terbuat dari getah pohon karet dan campuran beberapa bahan yang teksturnya elastis dan mudah melebur apabila dibakar. Karena sifatnya sulit


(9)

diuraikan di lingkungan, banyak orang melakukan pembakaran. Walaupun mudah melebur, ternyata pembakaran karet ini menghasilkan asap yang hitam pekat yang dapat mengganggu kesehatan. Namun, beberapa komunitas menyadari bahwa karet ini dapat digunakan kembali dan didaur ulang menjadi produk baru yang bernilai ekonomis. Contohnya adalah ban bekas, sandal karet, karet penghapus dan sebagainya.

e. Kain/tekstil: terbuat dari susunan helai benang. Benang ini berasal dari serat tumbuhan dan juga serat kepompong ulat sutra. Karena pada proses pembuatannya, benang-benang tersebut sudah diberikan tambahan zat pewarna dan pengawet. Penambahan itu membuat serat kain sulit diuraikan di lingkungan. Namun, kain bekas dapat dipergunakan kembali atau didaur ulang. Contohnya adalah sobekan kain, gorden, dan lain-lain.

f. Kaca: merupakan senyawa yang dapat didaur ulang 100%. Pecahan cangkir dan piring kaca dapat dileburkan dan dijadikan produk baru, dan proses ini dapat berulang-ulang tanpa ada batasan waktu. Kaca atau gelas ini sendiri terbuat dari pasir silica dan beberapa bahan tambahan yang dibentuk dalam temperatur dan tekanan tinggi. Walaupun daur ulang kaca/gelas secara langsung tidak dapat menghasilkan produk yang sama persis, kaca/gelas ini tetap dapat diubah menjadi fibergla ss. Selain itu pecahan kaca juga dapat digunakan untuk membuat tembok pembatas yang aman. Contohnya adalah gelas/piring kaca, lampu, pecahan jendela kaca dan lain-lain.

g. Kayu: mengandung serat dan bahan organik yang dapat diuraikan, bahkan beberapa serangga mengambil bahan organik itu sebagai bahan


(10)

makanannya, seperti rayap. Selain itu, kayu bekas juga dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar alternatif untuk memasak dan menghangatkan ruangan. Kayu yang dibuang di lingkungan tidak terlalu mengkhawatirkan perubahan keseimbangan lingkungan. Contohnya kayu, ranting, bekas kursi atau meja.

h. Sampah mudah busuk/Garbage: terdiri dari sisa-sisa makanan, sayuran, buah-buahan yang merupakan bahan organik, sehingga lingkungan masih dapat menguraikannya.

i. Bebatuan: sampah jenis ini mengandung beberapa jenis bebatuan ataupun material yang berasal dari tanah. Seringkali ditemukan dalam bentuk material bangunan ataupun sisa pengukiran bongkahan batu. Contohnya adalah beton yang hancur, serpihan ukiran perhiasan dan pernak-pernik dari batu.

Komposisi dari bahan-bahan tersebut penting untuk diketahui dalam perencanaan pengelolaan sampah selanjutnya, mulai dari cara pengangkutan, pengumpulan, dan pembuangan/pemusnahan sampah suatu daerah. Selain itu, dengan diketahuinya komposisi sampah tersebut, dapat diupayakan daur ulang dari bahan-bahan sampah yang masih dapa terpakai (Sumantri, 2010). Berikut komposisi sampah yang sering dijumpai di negara Amerika Serikat serta persentasinya.


(11)

Sumber: McKinney, M.L., Schoch, R.M., 1996

Gambar 1. Diagram Komposisi Sampah di Amerika tahun 1996 2.1.5 Dampak sampah

2.1.5.1 Terhadap kesehatan

Sampah yang tidak dikelola dengan baik dan benar akan menimbulkan beberapa fungsi baru yang berdampak bagi kesehatan masyarakat yang dijelaskan oleh Suprapto (2005), di antaranya :

a) Sebagai sarana penularan penyakit

Sampah yang sewajarnya mengandung mikroorganisme pathogen dan zat kimia yang berbahaya dapat menjadi sarana penularan penyakit, baik itu terjadi secara langsung maupun tidak.

b) Sebagai tempat perkembang biakan vektor penyakit

Sampah yang dibiarkan tanpa pengelolaan yang berkelanjutan akan menjadi sarang perkembang biakan dan habitat vektor penyakit, seperti nyamuk, lalat, kecoa, tikus, cacing dan lain-lain.


(12)

c) Mengganggu atau menyebabkan kecelakaan

Selain menimbulkan penyakit, sampah juga mengganggu pemandangan dan penciuman kita. Sampah yang dibiarkan berserakan tidak hanya mengurangi estetika lingkungan, sampah seperti sampah organik menghasilkan gas Sulfur dan Methan dari proses pembusukan sampah tersebut. Sampah juga dapat menimbulkan kecelakaan apabila kita menyentuh ataupun menginjaknya, seperti pecahan kaca atau paku bekas.

2.1.5.2 Terhadap lingkungan

Tidak hanya membahayakan manusia, keberadaan sampah yang tidak tertangani secara tepat juga menimbulkan perubahan keseimbangan dalam lingkungan. Sampah anorganik yang sulit terurai dan sifatnya toksik dalam jumlah berlebih di lingkungan akan merusak struktur tanah, perairan dan bahkan udara. Karena itulah sampah juga sering diartikan sebagai pencemar lingkungan. Kerusakan pada lingkungan ini mengakibatkan banyak perubahan yang tidak diinginkan baik kepada makhluk hidup maupun komponen lingkungan yang berujung pada bencana alam, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan lain-lain. 2.1.6 Manfaat sampah

Walaupun sampah di pandangan masyarakat tidak berguna lain, bukan berarti sampah tidak memiliki manfaat. Beberapa kalangan masyarakat yang peduli lingkungan memilih untuk memanfaatkan sampah tersebut menjadi benda yang dapat difungsikan kembali, baik sebagai barang baru maupun barang pengganti. Berikut beberapa manfaat sampah menurut Warsidi (2009) yakni :


(13)

1. Sampah dapat dikreasikan menjadi mainan anak

Tidak semua jenis sampah organik hanya dibuat menjadi kompos, kulit buah-buahan misalnya, bisa dijadikan mainan baru yang tentunya tidak kalah seru dibandingkan mainan modern masa kini. Kulit jeruk bali misalnya, kita dapat membuat mobil-mobilan tradisional yang unik dan tentunya tidak beracun bagi anak-anak. Karton ataupun kardus bekas juga dapat diubah menjadi dapur mainan untuk anak-anak.

2. Sampah dapat dibuat/difungsikan menjadi barang fungsional yang baru Kaleng bekas bisa menjadi tempat perkembangbiakan vektor penyakit jika dibuang sembarangan di lingkungan, namun hal itu tidak akan terjadi bila kita memakainya kembali sebagai barang baru dengan fungsi berbeda. Kaleng bekas tersebut dapat kita jadikan sebagai celengan/tabungan bagi anak ataupun bagi orang dewasa, dan bisa juga dipergunakan sebagai wadah penyimpanan barang-baranng lain agar tidak berantakan di ruang rumah kita. Masih banyak sampah atau barang bekas yang dapat dimanfaatkan kembali, seperti membuat tempat tisu gulung dari kardus bekas, membuat tas atau keranjang dari sampah plastik, mengubah minyak jelantah menjadi sabun, mendaur ulang kertas menjadi bubur kertas, dan lain-lain.

3. Sampah organik dijadikan kompos

Sampah organik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan sampah yang mudah membusuk dan terurai di lingkungan. Keuntungan dari proses pembusukan sampah organik ini dapat kita manfaatkan menjadi pupuk, yang sering kita sebut kompos.


(14)

2.2 Pemulung

Pemulung adalah orang-orang yang pekerjaannya mengumpulkan barang-barang bekas. Barang-barang-barang bekas yang bisanya mereka kumpulkan berasal dari tempat-tempat sampah. Sebagian pemulung mengumpulkan sampah dari tempat sampah pemukiman penduduk, sedangkan yang lainnya lebih memilih mengumpulkan sampah atau brang-barang bekas di tempat pembuangan akhir sampah yang berada di luar pemukiman warga. Mereka memilah sampah menurut harganya, sampah organik atau sampah yang mudah membusuk tidak diambil karena tidak bernilai lagi, melainkan memungut sampah yang masih bisa didaur ulang seperti sampah plastik, sampah kertas, pecahan kaca hingga beberapa jenis logam. Setelah semua sampah atau barang bekas yang diinginkan terkumpul, mereka lalu menjualnya (Sutidja, 2001).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemulung adalah orang yg mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas (seperti puntung rokok) dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas; atau disebut juga orang yg memulung. Sedangkan menurut Saratiri (2005), pemulung adalah orang yang kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang bekas yang masih memiliki nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas.

Kehadiran para pemulung menjadi fenomena di masyarakat saat ini, di mana kebanyakan mereka berasal dari status sosial, ekonomi dan pendidikan yang rendah yang memungkinkan keterampilan untuk bersaing di tengah-tengah masyarakat juga kurang. Oleh sebab itu, sebagian besar dari mereka mengaku


(15)

bahwa mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai sehingga memilih menjadi pemulung.

Keberadaan pemulung tidak terjadi begitu saja, ada faktor penyebab menjadi pemulung. Hal ini berangkat dari latar belakang masalah kesenjangan penghasilan antara masyarakat desa dan kota. Pendapatan masyarakat desa dari hasil pertanian dengan jumlah lahan yang semakin menyempit, akan semakin jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan beragam pekerjaan di kota (Marpaung, 2012).

Jenis-jenis pemulung berdasarkan beberapa pengamatan di lapangan sangat variatif, di antaranya pengais langsung di lokasi tertentu, pengais yang bergerak (mobile), pengepul (kolektor barang bekas yang di dapat dari para pengais/pemulung), dan pendaur ulang barang bekas (Rohman, 2011).

2.3 Timbulan Sampah

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (PU), timbulan (kuantitas) sampah merupakan volume sampah atau berat sampah yang dihasilkan dari jenis sumber sampah di wilayah tertentu per satuan.

Menurut Kisyafah (2013), timbulan sampah biasanya dinyatakan dalam satuan seperti berikut ini :

1. Satuan berat : kilogram per orang per hari (kg/o/h), kilogram per meter-persegibangunan per hari (kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur per hari (kg/bed/h).


(16)

2. Satuan volume : liter per orang per hari (l/o/h), liter per meter-persegi bangunan perhari (l/m2/h) atau liter per tempat tidur per hari (kg/bed/h).

Menurut Pemerintah Kota Medan (2013), sumber-sumber timbulan sampah dibagi menjadi beberapa bagian yakni :

1. Sampah permukiman, yaitu sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain, sampah kebun/halaman, dan lain-lain.

2. Sampah pertanian dan perkebunan. Sampah kegiatan pertanian tergolong bahan organik, seperti jerami dan sejenisnya. Sebagian besar sampah yang dihasilkan selama musim panen dibakar atau dimanfaatkan untuk pupuk. Untuk sampah bahan kimia seperti pestisida dan pupuk buatan perlu perlakuan khusus agar tidak mencemari lingkungan. Sampah pertanian lainnya adalah lembaran plastik penutup tempat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk mengurangi penguapan dan penghambat pertumbuhan gulma, namun plastik ini bisa didaur ulang

3. Sampah dari sisa bangunan dan konstruksi gedung. Sampah yang berasal dari kegiatan pembangunan dan pemugaran gedung ini bisa berupa bahan organik maupun anorganik. Sampah organik, misalnya: kayu, bambu, triplek. Sampah anorganik, misalnya: semen, pasir, batu bata, ubin, besi dan baja, kaca, dan kaleng.

4. Sampah dari perdagangan dan perkantoran. Sampah yang berasal dari daerah perdagangan seperti: toko, pasar tradisional, warung, pasar swalayan ini


(17)

terdiri dari kardus, pembungkus, kertas, dan bahan organik termasuk sampah makanan dan restoran. Sampah yang berasal dari lembaga pendidikan, kantor pemerintah dan swasta biasanya terdiri dari kertas, alat tulis-menulis (bolpoint, pensil, spidol, dll), toner foto copy, pita printer, kotak tinta printer, baterai, bahan kimia dari laboratorium, pita mesin ketik, klise film, komputer rusak, dan lain-lain. Baterai bekas dan limbah bahan kimia harus dikumpulkan secara terpisah dan harus memperoleh perlakuan khusus karena berbahaya dan beracun.

5. Sampah dari industri. Sampah ini berasal dari seluruh rangkaian proses produksi (bahan-bahan kimia serpihan/potongan bahan), perlakuan dan pengemasan produk (kertas, kayu, plastik, kain/lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan). Sampah industri berupa bahan kimia yang seringkali beracun memerlukan perlakuan khusus sebelum dibuang.

Tabel 2.1 Laju Timbulan Sampah menurut penelitian Puslitbang Permukiman tahun 2013

Laju timbulan sampah permukiman (liter/org/hari)

Total sampah permukiman

(%)

Sampah non permukiman

(%)

Kota kecil 2,0 75-80 20-25

Kota sedang 2,25 65-75 25-35

Sumber:Pemerintah Kota Medan, Tahun 2013

Timbulan sampah ini dapat diukur dengan menggunakan metode pengelolaan sampah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-3964-1994 mengenai Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah. Metode pengukuran contoh timbulan sampah, yaitu sampah terkumpul diukur volumenya dengan wadah pengukur 40 liter dan ditimbang beratnya, kemudian sampah disebar dan dibedakan berdasarkan jenisnya untuk ditimbang


(18)

beratnya, dan dicari karakteristik dari kandungan sampah pada lokasi tersebut (Harahap, 2011).

Menurut Pemerintah Kota Medan tahun 2013 tentang spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan sedang di Indonesia berdasarkan komponen-komponen sumber sampah adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Besaran Timbulan Sampah berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Timbulan tahun 2013

No. Komponen Sumber

Sampah Satuan

Volume

(liter) Berat (Kg) 1 Rumah permanen per org/hari 2,25-2,50 0,35-0,40 2 Rumah semi permanen per org/hari 2,00-2,25 0,30-0,35 3 Rumah non permanen per org/hari 1,75-2,00 0,25-0,30 4 Kantor per peg/hari 0,50-0,75 0,025-0,10 5 Toko/Ruko per ptgs/hari 2,50-3,00 0,15-0,35 6 Sekolah per mrd/hari 0,10-0,15 0,01-0,02 7 Jalan Arteri per mtr/hari 0,10-0,15 0,02-0,10 8 Jalan kolektor per mtr/hari 0,10-0,15 0,10-0,05 9 Jalan local per mtr/hari 0,50-0,1 0,005-0,025 10 Pasar per mtr/hari 0,20-0,60 0,10-0,30 Sumber: Pemerintah Kota Medan, Tahun 2013

Sedangkan besaran timbulan sampah berdasarkan klasifikasi kota dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini:

Tabel 2.3 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota tahun 2013

No Klasifikasi Kota

Satuan

Volume (L/org/hari) Berat (Kg/org/hari)

1 Kota sedang 2,75 - 3,25 0,70 - 0,80

2 Kota kecil 2,5 - 3,75 0,625 - 0,75


(19)

2.4 Pengelolaan Sampah

2.4.1 Latar belakang pengelolaan sampah

Catatan sejarah mengungkapkan bahwa manusia sudah berupaya untuk membuat strategi menangani sampah. Dimulai dari masyarakat purba yang sering berkelompok dan melakukan perburuan, sederhananya mereka meninggalkan sampah yang jatuh di tanah dan kemudian berpindah tempat. Berbeda lagi di awal zaman pra-industri, pemukiman, kelompok masyarakat dan pabrik-pabrik letaknya berdekatan dengan saluran air. Perairan dan sungai tidak hanya menyuplai air bersih dari hulu, tapi juga memberikan sebuah cara yang cocok untuk mengelola sampah, yakni menggunakan saluran air dan sungai sebagai sarana membuang sampah yang nantinya menuju ke laut. Dua ratus tahun berikutnya, kondisi lingkungan semakin lama kehilangan udara segar dsan air bersih karena polusi dari aktivitas industri. Di beberapa kasus mengenai perlindungan lingkungan, yang tidak hanya gagal melakukan kesepakatan dengan masyarakat menghasilkan sampah, tapi juga memberikan fakta bahwa sampah yang sebenarnya dapat dipergunakan lagi secara efektif dan efisien tidak ditunjukkan (McKinney, 1996).

Pengelolaan sampah di Indonesia sendiri didukung oleh adanya pada kebijakan yang sah yakni Undang Nomor 18 tahun 2008. Undang-undang ini dibuat agar pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien. Pengelolaan sampah ini diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Pengelolaan sampah ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan


(20)

kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Adapun pengelolaan sampah dengan paradigma baru berdasarkan UU No. 18 tahun 2008 tersebut dilakukan dengan 2 jenis kegiatan di antaranya :

1) Pengurangan sampah dengan cara pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang.

2) Penanganan sampah., yakni meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.

Pengelolaan sampah pada dasarnya mengacu pada Undang-Undang nomor 18 tahun 2008, yakni melakukan, pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah biasanya dapat dimulai dari masing-masing individu di masyarakat. Sedangkan penanganan sampah merupakan sistem yang dilakukan terus-menerus dan teratur, serta diperlukan adanya pengawasan secara berkala.

Usaha pengelolaan sampah baik skala besar maupun kecil, sebaiknya dapat mencapai tujuannya, yakni lingkungan dan masyarakat yang sehat. Maka faktor penting yang harus diperhatikan adalah peran serta masyarakat. Masyarakat harus mengerti dan mau berpasrtisipasi bila perlu berubah sikap sehingga sedia membantu mulai dari pengurangan volume sampah, perbaikan kualitas sampah, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan tempat sampah sampai pada penyediaan lahan dan pemusnahan sampah (Slamet,2009). Oleh sebab itu, usaha pengelolaan sampah perlu didasarkan atas berbagai pertimbangan, yaitu :

1. Untuk mencegah terjadinya penyakit. 2. Konservasi sumber daya alam. 3. Mencegah gangguan estetika.


(21)

4. Memberi insentif untuk daur ulang atau pemanfaatan. 5. Kuantitas dan kualitas sampah akan meningkat. 2.4.2 Tahapan pengelolaan sampah

2.4.2.1 Pengurangan sampah

Jumlah sampah yang dikelola dengan benar, presentasenya masih sangat kecil; sebagian besar masih dibuang begitu saja (disposal). Menurut Basriyanta (2007), sampah masih bisa dioptimalkan fungsi dan kegunaannya, dengan cara melakukan pengurangan jumlah sampah yang sering dikenal dengan metode 3R+1D yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Reduce (Membatasi) : proses meminimalisasi jumlah timbunan sampah dari sumbernya, contohnya menggunakan keranjang saat berbelanja untuk menghindari pemakaian plaastik kresek yang pada akhirnya bisa menjadi sampah.

b. Reuse (Menggunakan kembali) : memilih dan memilah serta mengoptimalkan fungsi sampah yang masih bisa dimanfaatkan, contohnya memakai kaleng bekas sebagai wadah penyimpanan barang-barang penting.

c. Recycle (Mendaur ulang) : proses mengolah kembali sampah yang masih bisa diproses ulang menjadi barang lain yang bermanfaat, layak pakai, serta layak jual, contohnya menjual tumpukan koran dan buku bekas ke pemulung.

d. Disposal (Membuang) : proses pembuangan akhir sampah yang memang sudah tidak bisa dimanfaatkan kembali.

2.4.2.2 Penanganan sampah

Penanganan sampah menurut Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 terdiri dari pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan


(22)

akhir. Proses ini diuraikan dalam berbagai versi, misalnya oleh Notoatmodjo, Mukono dan Chandra. Berikut merupakan penjelasan mengenai 3 versi penanganan sampah :

Menurut Notoatmodjo (2007), tahapan pengelolaan sampah meliputi 2 bagian, yakni sebagai berikut.

1. Pengumpulan dan Pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah adalah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka ini harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA).

Mekanisme, sistem, atau cara penangkutannya untuk di daerah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing keluarga, tanpa memerlukan TPS, maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk.

2. Pemusnahan dan Pengolahan sampah

Pemusnahan dan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain :

1) Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.


(23)

2) Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incinerator).

3) Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik dan daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah biasa, sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik, kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah organik dibuang, dan segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian maka masalah sampah dapat berkurang.

Sedangkan menurut Mukono (2006), tahapan pengelolaan sampah padat meliputi 3 tahap, yaitu:

1. Tahap Pengumpulan dan Pengangkutan, di mana pada tahap ini pengumpulan sampah dimulai di tempat sumber sampah dihasilkan. Lalu sampah diangkut dengan alat angkut dari lokasi sumber sampah tersebut. Sebelum sampai ke tempat pembuangan akhir, terkadang sampah ditempatkan di tempat penampungan sementara.

2. Tahap pengolahan, meliputi 4 teknik untuk meningkatkan efisiensi operasional dalam pengelolaan sampah di antaranya, teknik reduksi secara mekanik (pemadatan), kimiawi (pembakaran), mekanik (mencincang), dan pemisahan komponen sampah baik secara manual maupun mekanik.


(24)

3. Tahap pembuangan akhir, meliputi 2 metode antara lain, metode yang tidak memuaskan (pembuangan sampah secara terbuka/open dumping, pembuangan sampah dalam air/dumping in water, dan pembakaran sampah di rumah-rumah/burning on premises) dan metode yang memuaskan (pengomposan/composting, pembakaran sampah melalui insenerator, dan pembuangan sampah dengan menutup tanah secara sanitair/sanitary landfill).

Menurut Chandra (2005), tahapan pengelolaan sampah secara rinci dijelaskan seperti berikut:

1. Tahap Pengumpulan dan Penyimpanan di Tempat Sumber

Sampah yang ada di lokasi sumber (kantor, rumah tangga, hotel, dan sebagainya) ditempatkan dalam tempat penyimpanan sementara, dalam hal ini tempat sampah. Sampah basah dan sampah kering sebaiknya dikumpulkan dalam tempat yang terpisah untuk memudahkan pemusnahannya. Adapun tempat penyimpanan sementara (tempat sampah) yang digunakan harus memenuhi persyaratan berikut ini:

a) Konstruksi harus kuat dan tidak mudah bocor.

b) Memiliki tutup dan mudah dibuka tanpa mengotori tangan. c) Ukuran sesuai sehingga mudah diangkut oleh satu orang.

Dari tempat penyimpanan ini, sampah dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam dipo (rumah sampah). Dipo ini berbentuk bak besar yang digunakan untuk menampung sampah rumah tangga.


(25)

Pengumpulan sampah dapat dilakukan dengan dua metode, yakni sistem duet (tempat sampah kering dan tempat sampah basah) dan sitem trio (tempat sampah basah, sampah kering, dan tempat sampah tidak mudah terbakar).

2. Tahap Pengangkutan

Dari dipo, sampah diangkut ke tempat pembuangan akhir atau pemusnahan sampah dengan menggunakan truk pengangkut sampah yang disediakan oleh Dinas Kebersihan Kota.

3. Tahap Pemusnahan

Di dalam tahap ini, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, yakni Sanitary landfill, Incineration, Composting, Hot feeding, Discharge to sewers, Open dumping, Dumping in water, Individual incenaration, Recycling, Reduction, Salvaging.

2.4.3 Teknologi pemusnahan sampah

Teknik pengelolaan sampah pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yakni menghindari gangguan baik itu terhadap makhluk biotik dan abiotik dan bahkan lingkungan hidup. Menurut Permadi (2011), teknik pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan, atau pembuangan dari material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampak terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Hal ini bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian khusus untuk masing-masing jenis zat. Metode pengelolaan sampah


(26)

di tahap pemusnahan berbeda-beda tergantung banyak hal, diantaranya tipe zat sampah, tanah yang digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.

2.4.3.1 Pengomposan

Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol prose salami tersbut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi; membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator (Permadi, 2011).

Pengolahan sampah garbage dilakukan secara biologis dan berlangsung dalam keadaan aerobik dan anerobik. Proses dekomposisi sampah secara anaerobik berlangsung sangat lambat dan menghasilkan bau, sedangkan secara aerobik relative lebih cepat dan kurang menimbulkan bau.

Jenis kompos ada 3 yakni; kompos cacing (vermicompost) yang terbuat dari bahan organik yang dicerna oleh cacing sehingga kotorannya menjadi pupuk, kompos bagse yang terbuat dari ampas tebu sisa penggilingan tebu di pabrik gula, dan kompos bokashi (Permadi, 2011).


(27)

a) Secara Alami

Proses pembuatan kompos secara alami dapat dilakukan baik secara tradisional (anaerobik) maupun secara aerobik. Metode tradisional ini menghancurkan bahan organik tanpa bantuan udara, yaitu dengan meletakkan tumpukan sampah di dalam lubang tanpa udara di tanah dan dibiarkan beberapa saat. Pembuatan kompos dengan metode ini memakan waktu yang lama untuk menghasilkan kompos selain dapat menimbulkan pembentukan gas H2S dan NH3. Pembuatan kompos dengan metode sederhana ini dilakukan dengan cara mengaduk atau membolak-balikkan sampah atau dengan menambahkan nutrient yang berupa lumpur atau kotoran hewan ke dalam sampah.

b) Secara Mekanis

Pembuatan kompos secara mekanis dilakukan di pabrik untuk menghasilkan kompos dalam waktu singkat. Sampah organik yang teah dipisahkan dari sampah anorganik dipotong kecil-kecil dengan alat pemotong. Potongan tersbut dimasukkan ke dalam digester stabilizator agar terjadi dekomposisi. Dalam digester ini perlu dilakukan pengaturan suhu, udaram dan pengadukan sampah. Setelah 3-5 hari, kompos sudah dapat dihasilkan dan ke dalamnya dapat pula ditambahkan zat kimia tertentu untu keperluan tanaman (contohnya, karbon, nitrogen, fosfor, sulfur).

2.4.3.2 Gas bio

Gas Bio merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari proses fermentasi dan proses pembusukan oleh bakteri anaerobik terhadap bahan-bahan organik pada alat yang dinamakan penghasil gas bio. Agar efektif, proses tersebut harus


(28)

berlangsung dalam kondisi yang baik, dengan tingkat kelembaban yang sesuai, suhu yang tetap, dan pada pH yang netral. Karena termasuk bahan bakar, gas bio memiliki nilai ekonomis ting sebagai sumber energi alternatif, di samping dapat mengurangi dampak akibat pembuangan sampah yang tidak diolah.

Komposisi gas bio terdiri dari gas metan, karbon dioksida, nitrogen, monoksida, oksigen, dan hydrogen sulfida. Konsentrasi gas metan cukup tinggi dan bila bercampur dengan udara akan menghasilkan gas bakar. Karakteristik gas metan murni antara lain, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Nilai kalor panasnya cukup tinggi antara 4.000-6.700 kkal/m atau hampir sama dengan energi yang diperlukan untuk mendidihkan 130 kg air pada suhu 200C atau energi yang diperlukan untuk menyalakan lampu ukuran ekitar 60-100 watt selama 5-6 jam. 2.4.3.3 Insenerasi

Insenerator (incinerator) adalah alat untuk membakar sampah secara terkendali melalui pembakaran suhu tinggi. Insenserator merupakan salah satu metode pembuangan sampah yang dapat diterapkan di daerah perkotaan atau di daerah yang sulit mendapatkan lahan untuk membuang sampah. Keuntungan metode ini adalah bahwa pembakaran dapat dilakukan pada semua jenis sampah kecuali batu atau logam dan pelaksanaannya tidak dipengaruhi iklim. Suhu tinggi dalam insenerator dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan generator atau mengeringkan lumpur pada pengolahan air limbah. Residu pembakaran berupa abu dapat dimanfaatkan untuk menimbun tanah. Namun, kerugian dari metode ini adalah membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu, jenis sampah logam


(29)

yang tidak dapat dimusnahkan dapat mengakibatkan pencemaran udara jika insenerator tidak dilengkapi dengan air pollution control

2.4.3.4 Sanitary Landfill

Sanitary Landfill adalah sistem pemusnahan sampah dengan cara menimbun sampah melalui cara menimbun sampah dengan tanah yang dilakukan selapis demi selapis. Dengan demikian, sampah tidak berada di ruang terbuka dan tentunya tidak menimbulkan bau atau menjadi sarang binatang pengerat (Chandra, 2005).

Semua jenis sampah dapat diangkut dan dibuang dalam Sanitary Landfill ini yang biasanya jauh dari lokasi permukiman warga. Lokasi Sanitary Landfill yang lama dan sudah tidak terpakai dapat dimanfaatkan kembali sebagai tempat permukiman, perkantoran, dan sebagainya. Menurut Miller Jr (1997), 61 % sampah campuran di Amerika Serikat pada tahun 1994 dimusnahkan dengan teknik sanitary landfill. Adapun negara lain yang juga menggunakan teknik ini adalah Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Swedia, Swiss, dan Jepang.

Semua jenis sampah baik yang padat maupun semi-padat dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang besar pada tanah yang sudah digali dan sampah dipadatkan di dalam lubang tersebut. Kemudian, sampah ditutupi dengan lapisan tanah dengan ketebalan tertentu setiap harinya. Sampah tersebut diisolasi dari lingkungan sekitar oleh lapisan tanah secara periodik. Selama sampah berada dala lubang isolasi, sampah menghasilkan air lindi dan gas methan yang dapat menimbulkan kerusakan pada lahan sanitary landfill ataupun lingkungan di sekitarnya. Oleh sebab itu, sanitary landfill modern telah dilengkapi dengan parit


(30)

sebagai saluran pengeluaran air lindi dan pipa-pipa sebagai pengumpul dan pengolah gas methan (McKinney and Schoch, 1996).

Menurut Sumantri (2010) ada 3 metode yang dapat digunakan dalam menerapkan teknik Sanitary Landfill ini, yaitu:

a) Metode Galian Parit (trench method)

Sampah dibuang ke dalam galian parit yang memanjang. Tanah bekas galian digunakan untuk menutupi parit tersebut. Sampah yang ditimbun dan tanah penutup dipadatkan dan diratakan kembali. Setelah satu parit terisi penuh, dibuat parit baru di sebelah parit terdahulu.

b) Metode Area

Sampah dibuang di atas tanah seperti pada tanah rendah, rawa-rawa, atau pada lereng bukit kemudian ditutup dengan lapisan tanah yang diperoleh dari tempat tersebut.

c) Metode Ramp

Metode Ramp merupakan metode gabungan dari kedua metode sebelumnya. Prinsipnya adalah bahwa penaburan lapisan tanah dilakukan setiap hari dengan tebal lapisan sekitar 15 cm di atas tumpukan sampah.

2.4.3.5 Pengomposan metode Keranjang Takakura

Metode ini tidak jauh berbeda dengan metode pengomposan lazimnya. Yang membedakannya adalah jenis sampah yang diolah. Sampah yang diolah menjadi kompos umumnya adalah semua jenis sampah organik yang berasal dari berbagai sumber sampah, sedangkan metode Takakura ini berfokus kepada sampah organik skala rumah tangga.


(31)

Metode ini ditemukan oleh seorang ahli yang berasal dari Jepang yang bernama Mr. Koji Takakura. Mr. Takakura menjalin kerjasama dengan Kota Surabaya dalam menangani sampah di lingkungan khususnya sampah rumah tangga. Sebelumnya sampah rumah tangga dipilah dan mencari jenis bakteri yang sesuai yang bias menghasilkan kompos yang kering dan tak berbau. Beliau membiakkan bakteri untuk membusukkan bahan organik di dalam sampah, jenis bakteri inilah yang dijadikan starter kit bagi keranjang Takakura.

Proses pengomposan yang terjadi melalui keranjang Takakura ini adalah proses aerob, di mana dibutuhkan udara sebagai asupan penting dalam proses pembusukan bahan organik yang dilakukan mikroorganisme. Media yang dibutuhkan dalam proses pengomposan adalah keranjang berlubang. Proses yang dilakukan adalah dengan cara memasukkan sampah organik yang sudah diperkecil ukurannya ke dalam keranjang setiap hari dan kemudian melakukkan pengontrolan suhu dengan cara mengaduk dan menyiram sampah dengan air (Irlianti, 2013).

2.5 Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA)

Setelah sampah dari berbagai sumber dikumpul dan diangkut oleh para petugas, sampah akan diberi perlakuan seperti daur ulang, pengomposan dan sebagainya, dan proses ini dapat berlangsung di satu tempat tertentu. Tempat tersebut adalah tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sampah yang tidak dapat ditangani dengan cara apapun dapat dikubur atau dibiarkan begitu saja di TPA.


(32)

Pemerintah Kota Medan (2013) mendefenisikan tempat pembuangan sampah akhir (TPA) sesuai dengan SK SNI T-11- 1991-03 sebagai sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah, tempat menyingkirkan/mengkarantinakan sampah kota sehingga aman. Dari 46 kota di seluruh Indonesia yang memiliki TPA terdapat 3 jenis sistem pembuangan akhir yang dilakukan yaitu Open Dumping (33 kota), Sanitary landfill (1 kota) dan controlled landfill (12 kota).

Pertimbangan penentuan Lokasi TPA, mengacu kepada Standar Nasional Indonesia dengan penekanan pada beberapa hal sebagai berikut:

a. Keberadaan dan letak fasilitas publik, perumahan, b. Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan

c. Kondisi hidrogeologi d. Kondisi klimatologi e. Jalur jalan

f. Kecepatan pengangkutan

g. Batas pengangkutan (jalan, jembatan, underpass) h. Pola lalu lintas dan kemacetan

i. Waktu pengangkutan

j. Ketersediaan lahan untuk penutup (jika memakai sistem sanitari landfill) k. Jarak dari sungai

l. Jarak dari rumah dan sumur penduduk

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur teknis tempat pembuangan akhir sampah (TPA) adalah:


(33)

a. volume riil yang masuk ke dalam TPA, b. pemadatan sampah oleh alat berat,

c. volume sampah yang diangkut oleh pemulung, d. batas ketinggian penumpukan sampah,

e. ketinggian tanah urugan dan f. susut alami sampah

Membangun dan mengelola suatu TPA perlu banyak sumberdaya, karena itu seringkali perlu dilaksanakan bersama, membangun kemitraan antara komunitas, pemerintas setempat, dan lembaga lainnya. Sebuah TPA dapat menjaga kesehatan masyarakat hanya bila TPA dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik biasanya meliputi pelatihan dan dukungan bagi pekerja TPA, dan bekerja sama dengan pusat-pusat pemanfaatan ulang sumberdaya, lapak-lapak sampah beracun, dan pemerintah daerah setempat (Conant, 2008).


(34)

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Volume Sampah yang

masuk Harian di TPA Terjun

Volume Timbunan Sampah Sisa Harian

di TPA Terjun

Peran Pemulung

- Jumlah sampah - Komposisi sampah - Waktu

- Lama bekerja - Alat


(1)

yang tidak dapat dimusnahkan dapat mengakibatkan pencemaran udara jika insenerator tidak dilengkapi dengan air pollution control

2.4.3.4 Sanitary Landfill

Sanitary Landfill adalah sistem pemusnahan sampah dengan cara menimbun sampah melalui cara menimbun sampah dengan tanah yang dilakukan selapis demi selapis. Dengan demikian, sampah tidak berada di ruang terbuka dan tentunya tidak menimbulkan bau atau menjadi sarang binatang pengerat (Chandra, 2005).

Semua jenis sampah dapat diangkut dan dibuang dalam Sanitary Landfill ini yang biasanya jauh dari lokasi permukiman warga. Lokasi Sanitary Landfill yang lama dan sudah tidak terpakai dapat dimanfaatkan kembali sebagai tempat permukiman, perkantoran, dan sebagainya. Menurut Miller Jr (1997), 61 % sampah campuran di Amerika Serikat pada tahun 1994 dimusnahkan dengan teknik sanitary landfill. Adapun negara lain yang juga menggunakan teknik ini adalah Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Swedia, Swiss, dan Jepang.

Semua jenis sampah baik yang padat maupun semi-padat dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang besar pada tanah yang sudah digali dan sampah dipadatkan di dalam lubang tersebut. Kemudian, sampah ditutupi dengan lapisan tanah dengan ketebalan tertentu setiap harinya. Sampah tersebut diisolasi dari lingkungan sekitar oleh lapisan tanah secara periodik. Selama sampah berada dala lubang isolasi, sampah menghasilkan air lindi dan gas methan yang dapat menimbulkan kerusakan pada lahan sanitary landfill ataupun lingkungan di sekitarnya. Oleh sebab itu, sanitary landfill modern telah dilengkapi dengan parit


(2)

sebagai saluran pengeluaran air lindi dan pipa-pipa sebagai pengumpul dan pengolah gas methan (McKinney and Schoch, 1996).

Menurut Sumantri (2010) ada 3 metode yang dapat digunakan dalam menerapkan teknik Sanitary Landfill ini, yaitu:

a) Metode Galian Parit (trench method)

Sampah dibuang ke dalam galian parit yang memanjang. Tanah bekas galian digunakan untuk menutupi parit tersebut. Sampah yang ditimbun dan tanah penutup dipadatkan dan diratakan kembali. Setelah satu parit terisi penuh, dibuat parit baru di sebelah parit terdahulu.

b) Metode Area

Sampah dibuang di atas tanah seperti pada tanah rendah, rawa-rawa, atau pada lereng bukit kemudian ditutup dengan lapisan tanah yang diperoleh dari tempat tersebut.

c) Metode Ramp

Metode Ramp merupakan metode gabungan dari kedua metode sebelumnya. Prinsipnya adalah bahwa penaburan lapisan tanah dilakukan setiap hari dengan tebal lapisan sekitar 15 cm di atas tumpukan sampah.

2.4.3.5 Pengomposan metode Keranjang Takakura

Metode ini tidak jauh berbeda dengan metode pengomposan lazimnya. Yang membedakannya adalah jenis sampah yang diolah. Sampah yang diolah menjadi kompos umumnya adalah semua jenis sampah organik yang berasal dari berbagai sumber sampah, sedangkan metode Takakura ini berfokus kepada sampah organik skala rumah tangga.


(3)

Metode ini ditemukan oleh seorang ahli yang berasal dari Jepang yang bernama Mr. Koji Takakura. Mr. Takakura menjalin kerjasama dengan Kota Surabaya dalam menangani sampah di lingkungan khususnya sampah rumah tangga. Sebelumnya sampah rumah tangga dipilah dan mencari jenis bakteri yang sesuai yang bias menghasilkan kompos yang kering dan tak berbau. Beliau membiakkan bakteri untuk membusukkan bahan organik di dalam sampah, jenis bakteri inilah yang dijadikan starter kit bagi keranjang Takakura.

Proses pengomposan yang terjadi melalui keranjang Takakura ini adalah proses aerob, di mana dibutuhkan udara sebagai asupan penting dalam proses pembusukan bahan organik yang dilakukan mikroorganisme. Media yang dibutuhkan dalam proses pengomposan adalah keranjang berlubang. Proses yang dilakukan adalah dengan cara memasukkan sampah organik yang sudah diperkecil ukurannya ke dalam keranjang setiap hari dan kemudian melakukkan pengontrolan suhu dengan cara mengaduk dan menyiram sampah dengan air (Irlianti, 2013).

2.5 Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA)

Setelah sampah dari berbagai sumber dikumpul dan diangkut oleh para petugas, sampah akan diberi perlakuan seperti daur ulang, pengomposan dan sebagainya, dan proses ini dapat berlangsung di satu tempat tertentu. Tempat tersebut adalah tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sampah yang tidak dapat ditangani dengan cara apapun dapat dikubur atau dibiarkan begitu saja di TPA.


(4)

Pemerintah Kota Medan (2013) mendefenisikan tempat pembuangan sampah akhir (TPA) sesuai dengan SK SNI T-11- 1991-03 sebagai sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah, tempat menyingkirkan/mengkarantinakan sampah kota sehingga aman. Dari 46 kota di seluruh Indonesia yang memiliki TPA terdapat 3 jenis sistem pembuangan akhir yang dilakukan yaitu Open Dumping (33 kota), Sanitary landfill (1 kota) dan controlled landfill (12 kota).

Pertimbangan penentuan Lokasi TPA, mengacu kepada Standar Nasional Indonesia dengan penekanan pada beberapa hal sebagai berikut:

a. Keberadaan dan letak fasilitas publik, perumahan, b. Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan

c. Kondisi hidrogeologi d. Kondisi klimatologi e. Jalur jalan

f. Kecepatan pengangkutan

g. Batas pengangkutan (jalan, jembatan, underpass) h. Pola lalu lintas dan kemacetan

i. Waktu pengangkutan

j. Ketersediaan lahan untuk penutup (jika memakai sistem sanitari landfill) k. Jarak dari sungai

l. Jarak dari rumah dan sumur penduduk

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur teknis tempat pembuangan akhir sampah (TPA) adalah:


(5)

a. volume riil yang masuk ke dalam TPA, b. pemadatan sampah oleh alat berat,

c. volume sampah yang diangkut oleh pemulung, d. batas ketinggian penumpukan sampah,

e. ketinggian tanah urugan dan f. susut alami sampah

Membangun dan mengelola suatu TPA perlu banyak sumberdaya, karena itu seringkali perlu dilaksanakan bersama, membangun kemitraan antara komunitas, pemerintas setempat, dan lembaga lainnya. Sebuah TPA dapat menjaga kesehatan masyarakat hanya bila TPA dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik biasanya meliputi pelatihan dan dukungan bagi pekerja TPA, dan bekerja sama dengan pusat-pusat pemanfaatan ulang sumberdaya, lapak-lapak sampah beracun, dan pemerintah daerah setempat (Conant, 2008).


(6)

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Volume Sampah yang masuk Harian di TPA Terjun

Volume Timbunan Sampah Sisa Harian

di TPA Terjun

Peran Pemulung

- Jumlah sampah

- Komposisi sampah - Waktu

- Lama bekerja - Alat