Keterpaparan Pemulung Sampah Dapat Menimbulkan Penyakit Kulit Akibat Kerja di TPA Terjun Kota Medan

(1)

KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT

MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT

KERJA DI TPA TERJUN MEDAN

TESIS

Oleh

ASWIN SOEFI LUBIS

067004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K O L

A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT

MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT

KERJA DI TPA TERJUN MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASWIN SOEFI LUBIS

067004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT KERJA DI TPA TERJUN KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Aswin Soefi Lubis Nomor Pokok : 067004004

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp. FK Ketua

)

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) (Dr. Heru Santoso, MS Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp. FK Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc

2. Dr. Heru Santoso, MS


(5)

KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT KERJA DI TPA TERJUN MEDAN

ABSTRAK

Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah keragaman kota Medan dan mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan. TPA Terjun merupakan salah satu tempat pembuangan akhir sampah di Kota Medan yang menjadi tempat bekerja para pemulung. Pemulung setiap harinya berkontak langsung dengan sampah yang mengandung bahan-bahan yang berisiko terhadap terjadinya penyakit kulit akibat kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterpaparan pemulung sampah sehingga menimbulkan penyakit kulit akibat kerja. Desain studi yang digunakan case study dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling yang berjumlah 61 orang dan yang mengikuti tes tempel 10 orang yang mengalami penyakit dermatitis kontak. Metode pengumpulan data adalah kuisioner dan tes tempel untuk penyakit kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja adalah mencuci tangan setelah bekerja

(p=0.000), memakai pelindung tangan saat bekerja (p=0.003), memakai sepatu

pelindung (p=0.002), dan memakai krim pelindung wajah saat bekerja (p=0.001). Sedangkan faktor usia, jenis kelamin, lama bekerja, membersihkan diri setelah bekerja, memakai pelindung pakaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja. Hasil dari tes tempel menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji coba, 7 orang positif mengandung zat cobalt chloride dan 4 orang

positif mengandung zat nickel sulphate. Kedua logam tersebut merupakan zat

berbahaya yang biasanya berasal dari limbah industri. Oleh karena itu untuk pemulung dianjurkan untuk selalu menggunakan Alat Pelindung Diri saat bekerja dan

memperhatikan personal hygiene. Kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Kebersihan

bersama–sama meninjau kembali jenis-jenis sampah yang dibuang di TPA Terjun, karena ditemukannya zat–zat berbahaya yang berasal dari limbah industri.


(6)

THE EXPOSURE OF GARBAGE COLLECTORS CAN CAUSE OCCUPATIONAL DERMATOSE AT THE SITE

WASTE DISPOSAL TERJUN MEDAN

ABSTRACT

Urbanization is unavoidable phenomenon that increased every year. This phenomenon supports the diversity of Medan and creates a new problem especially related to waste production. In the end site of waste disposal Terjun is one of the places for some people who work as waste collector. The waste collector contacted with the waste everyday which contains contaminated goods that could give those chances for occupational dermatose. This is a quantitative case study, aims to explore the exposure of waste collector to the waste that could possibly give those chances for occupational dermatose. Sixty one samples obtained with purposive sampling of which 10 of them having contact dermatitis and given skin test. Data`s was collected using questioner and skin test for skin disease. The result of analysis shows that factors significantly associated with occupational dermatose are washing hands after work (p= 0.000), wearing gloves (hands cover) while working (p= 0.003), wearing shoes (p= 0.002), and using face cream (sun block) while working (p= 0.001). But age, sex, duration of work, having shower after work, wearing specific clothing while working did not show a significant association with occupational dermatose. Skin test showed that 7 of 10 tested were positive having cobalt chloride and 4 of those positive having nickel sulphate. Both materials are dangerous things that commonly produced in industry. The study recommended the waste collector to wear personal protection devices while working and taking a good care of personal hygiene. District Health Office and District Cleanses are proposed to discuss and providing solution to the variety of waste dumped in TPA Terjun as there are found dangerous material from industry waste.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena atas pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul:

Keterpaparan Pemulung Sampah Dapat Menimbulkan Penyakit Kulit Akibat Kerja di TPA Terjun Kota Medan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir

penyelesaian program pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp.FK., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang

telah banyak memberikan perhatian, nasehat, arahan dan waktu secara sabar untuk berdiskusi dengan memberikan semangat secara terus-menerus sejak perencanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan tesis ini,

2. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. dan Dr. Heru Santoso, MS., selaku Anggota

Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, waktu serta tenaga dalam berdiskusi mulai dari perencanaan penelitian sampai terselesaikannya tesis ini

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan untuk tetap bertahan dalam menyelesaikan studi ini.

4. Bapak Drs. Chairuddin, MS selaku Sekretaris Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan dalam menyelesaikan studi ini.


(8)

5. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH. dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Penguji yang telah memberikan koreksi, masukan, saran peraikan dan semangat dalam menyelesaikan studi.

6. Istriku Hj. Enizar dan anak–anakku dr. Siska Anggreni Lubis, SpKK, Nadia

Arimbi Lubis, dan dr. Tiffani Tantina Lubis yang dengan setia dan sabar mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Teman-teman yang telah banyak membantu dan berdiskusi selama menuntut

ilmu dan penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ibu dan Bapak dengan berlipat ganda. Akhirnya kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya.

Medan, Februari 2011

Aswin Soefi Lubis NIM : 067004004


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh, pada tanggal 7 September 1949. Penulis merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara sebagai putera dari Bapak H. Bahrum Lubis (Alm) dan Ibu Hj. Ratna Mala Nasution (Alm).

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: 1. Tahun 1956, memasuki SR 4 Kabanjahe.

2. Tahun 1962, memasuki SMP Negeri 1 Kabanjahe. 3. Tahun 1965, memasuki SMA Negeri 2 Bandung.

4. Tahun 1970, memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. 5. Tahun 2006, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ………... KATA PENGANTAR ………... RIWAYAT HIDUP ………... DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... ii iii v vi viii ix x I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Sampah ... 7

2.1.1. Pengertian Sampah ... 7

2.1.2. Klasifikasi Sampah ... 8

2.2. Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 12

2.2.1. Struktur dan Fungsi dari Kulit ... 12

2.2.2. Epidemiologi Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 13

2.2.3. Bentuk Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 14

2.2.4. Bentuk Lain dari Kelainan Kulit yang Diinduksi Lingkungan .... 18

2.2.5. Bentuk Lain Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 19

2.2.6. Prognosis Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 19


(11)

III METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Jenis Penelitian ... 24

3.2. Tempat dan Waktu ... 24

3.3. Populasi dan Sampel ... 24

3.4. Instrumen Penelitian ... 25

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 25

3.6. Variabel Penelitian ... 27

3.7. Definisi Operasional ... 28

3.8. Jalannya Penelitian ... 29

3.9. Analisis Data ... 30

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Gambaran Sampah di Kota Medan ... 31

4.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 32

4.3. Hasil Penelitian ... 36

4.3.1. Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 38

4.3.2. Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri ... 39

4.3.3. Riwayat Alergi ... 42

4.3.4. Analisis Bivariat ... 43

4.3.5. Hasil Tes Tempel ... 45

4.4. Pembahasan ... 47

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan ... 55

5.2. Saran ... 56


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Daftar Bahan Alergen pada Tes Tempel ... 26

2 Data Mengenai Kondisi TPA Terjun Kecamatan Medan Marelan... 33

3 Distribusi Jenis Kelamin pada Responden ... 36

4 Distribusi Kelompok Umur pada Responden... 37

5 Distribusi Tahun Terkena Penyakit pada Responden ... 37

6 Distribusi Lama Bekerja pada Responden ... 38

7 Distribusi Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden ... 38

8 Data Jenis Kelamin dan Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden... 39

9 Distribusi Melakukan Upaya Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah Bekerja pada Responden ... 40

10 Distribusi Memakai Pelindung Tangan Saat Bekerja pada Responden ... 40

11 Distribusi Memakai Sepatu Pelindung Saat Bekerja pada Responden ... 41

12 Distribusi Memakai Pelindung Pakaian Saat Bekerja pada Responden ... 41

13 Distribusi Membersihkan Diri dan Mandi Setelah Bekerja pada Responden ... 42

14 Distribusi Memakai Krim Pelindung Saat Bekerja pada Responden ... 42

15 Distribusi Responden dan Keluarga Sering Pilek/Sesak/Eksema ... 42

16 Distribusi Responden Pernah Mengobati Penyakit Alergi ... 43

17 Hasil Analisis Identitas Diri dengan Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden ... 44

18 Hasil Analisis Bivariat Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri dengan Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden ... 45


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Peta Lokasi TPA Terjun ... 34 2 Lokasi TPA Terjun ... 35 3 Aktivitas Pemulung di TPA Terjun ... 35


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Daftar Kuesioner ………... 60


(15)

KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT KERJA DI TPA TERJUN MEDAN

ABSTRAK

Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah keragaman kota Medan dan mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan. TPA Terjun merupakan salah satu tempat pembuangan akhir sampah di Kota Medan yang menjadi tempat bekerja para pemulung. Pemulung setiap harinya berkontak langsung dengan sampah yang mengandung bahan-bahan yang berisiko terhadap terjadinya penyakit kulit akibat kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterpaparan pemulung sampah sehingga menimbulkan penyakit kulit akibat kerja. Desain studi yang digunakan case study dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling yang berjumlah 61 orang dan yang mengikuti tes tempel 10 orang yang mengalami penyakit dermatitis kontak. Metode pengumpulan data adalah kuisioner dan tes tempel untuk penyakit kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja adalah mencuci tangan setelah bekerja

(p=0.000), memakai pelindung tangan saat bekerja (p=0.003), memakai sepatu

pelindung (p=0.002), dan memakai krim pelindung wajah saat bekerja (p=0.001). Sedangkan faktor usia, jenis kelamin, lama bekerja, membersihkan diri setelah bekerja, memakai pelindung pakaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja. Hasil dari tes tempel menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji coba, 7 orang positif mengandung zat cobalt chloride dan 4 orang

positif mengandung zat nickel sulphate. Kedua logam tersebut merupakan zat

berbahaya yang biasanya berasal dari limbah industri. Oleh karena itu untuk pemulung dianjurkan untuk selalu menggunakan Alat Pelindung Diri saat bekerja dan

memperhatikan personal hygiene. Kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Kebersihan

bersama–sama meninjau kembali jenis-jenis sampah yang dibuang di TPA Terjun, karena ditemukannya zat–zat berbahaya yang berasal dari limbah industri.


(16)

THE EXPOSURE OF GARBAGE COLLECTORS CAN CAUSE OCCUPATIONAL DERMATOSE AT THE SITE

WASTE DISPOSAL TERJUN MEDAN

ABSTRACT

Urbanization is unavoidable phenomenon that increased every year. This phenomenon supports the diversity of Medan and creates a new problem especially related to waste production. In the end site of waste disposal Terjun is one of the places for some people who work as waste collector. The waste collector contacted with the waste everyday which contains contaminated goods that could give those chances for occupational dermatose. This is a quantitative case study, aims to explore the exposure of waste collector to the waste that could possibly give those chances for occupational dermatose. Sixty one samples obtained with purposive sampling of which 10 of them having contact dermatitis and given skin test. Data`s was collected using questioner and skin test for skin disease. The result of analysis shows that factors significantly associated with occupational dermatose are washing hands after work (p= 0.000), wearing gloves (hands cover) while working (p= 0.003), wearing shoes (p= 0.002), and using face cream (sun block) while working (p= 0.001). But age, sex, duration of work, having shower after work, wearing specific clothing while working did not show a significant association with occupational dermatose. Skin test showed that 7 of 10 tested were positive having cobalt chloride and 4 of those positive having nickel sulphate. Both materials are dangerous things that commonly produced in industry. The study recommended the waste collector to wear personal protection devices while working and taking a good care of personal hygiene. District Health Office and District Cleanses are proposed to discuss and providing solution to the variety of waste dumped in TPA Terjun as there are found dangerous material from industry waste.


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah

keragaman Kota Medan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, namun di sisi lain juga mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan.

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Setiap aktivitas manusia pada umumnya menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi terhadap barang/material yang digunakan sehari-hari. Demikian juga, jenis sampah sangat tergantung dari jenis material yang dikonsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan gaya hidup masyarakat (Ginting, 2004).

Ketika jumlah manusia masih sedikit dan sampah bersifat organik dalam mengatasi sampah cukup dengan membuangnya jauh-jauh dan alam masih dapat

melakukan self purification. Namun ketika terjadi revolusi industri dan telah

ditemukannya bahan-bahan baru dari proses sintesis kimia yang sulit diuraikan oleh alam, dan manusia berkembang sangat pesat serta berkembangnya pola konsumerisme, sampah mulai bermasalah. Prinsip membuang jauh-jauh tidak dapat dilaksanakan lagi karena tempat yang jauh sudah tidak ada lagi sudah penuh dengan manusia, dan tidak ada satu tempat pun yang dihuni manusia mau menerima sampah. Setuju tidak setuju sampah akan dibuang pada satu tempat yang jauh dari pemukiman


(18)

sebagai pembuangan akhir yang disebut sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) (Ginting, 2004).

Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh dilakukan beberapa alternatif meminimalisasi sampah diantaranya beberapa jenis industri mendisain ulang produk-produk yang dirancang berasal dari bahan yang dapat didaur ulang. Dengan adanya sampah yang dapat diproses daur ulang ini, timbul mata pencaharian baru bagi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah yang beroperasi di lokasi penampungan sampah sebagai pemulung. Di Indonesia tercatat

angka pemulung sampah pada tahun 1998 sebanyak 9,96% dari total penduduk di Indonesia dan setiap tahun terjadi penambahan. Angka tersebut tersebar paling

banyak di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Purwokerto, Menado (BPS, 2004). Untuk Kota Medan belum ada angka perolehan yang pasti, namun diperkirakan tidak jauh berbeda dengan persentase dari pemulung di Indonesia.

Kota Medan sebagai kota metropolitan, memiliki luas 265,1 km2, yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Jumlah timbunan sampah pada 2009 mencapai 887,75 ton/hari dengan komposisi 47,2% organik dan 52,8 non organik. Untuk mengoptimalkan dan memperbaiki tingkat pelayanan sampah di Kota Medan maka Kota Medan dibagi dalam 3 (tiga) wilayah pelayanan. Pada setiap daerah pelayanan terdiri dari 7 kecamatan (Badan Lingkungan Hidup, 2009). Sampah dari wilayah pelayanan Medan I dan Medan II dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


(19)

Kabupaten Deli Serdang, berjarak 16 km dari pusat kota yang luasnya 18,5 Ha, dapat

menampung sampah sebanyak 550.000 m3

TPA Terjun merupakan TPA yang baru. Luas TPA Terjun adalah 13,8 Ha, dengan daya tampung 500.000 m

dan telah dioperasikan sejak tahun 1988, sedangkan wilayah pelayanan III dibuang ke TPA Terjun, yang terletak di Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan, berjarak 9 km dari pusat Kota Medan (Setyowati, 2007).

3

Jumlah pemulung di TPA Terjun bervariasi antara 200-300 orang. Pada saat sekarang ini jumlah pemulung diperkirakan ada 200 orang. Pemulung setiap harinya bergelut dengan sampah dari seluruh pelosok daerah. Sampah-sampah ini berasal dari buangan kegiatan produksi dan konsumsi manusia baik dalam bentuk padat, cair maupun gas merupakan sumber pencemaran lingkungan hidup dan merupakan sumber penyakit jika tidak dikelola dengan baik karena bisa menjadi sarang penyakit, menjijikkan dan menimbulkan bau tidak sedap (Hadiwiyoto, 1983).

dan telah beroperasi sejak tahun 1993 yang menampung seluruh jenis sampah termasuk sampah dari kawasan industri (Badan

Lingkungan Hidup, 2009). Sistem pembuangan di TPA ini adalah open dumping, di mana sampah ditaburkan pada suatu lahan, kemudian diratakan dan dipadatkan.

Ketinggian tumpukan sampah saat ini sudah mencapai kira-kira 7-8 meter tanpa pemilahan sampah, dengan air lindi yang tidak terolah dan tidak ada penanganan terhadap gas (Damanhuri, 1995).

Salah satu masalah kesehatan pada masyarakat pemulung di TPA yang memerlukan perhatian serius adalah Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK). PKAK


(20)

merupakan salah satu bentuk dari penyakit akibat kerja yang menggambarkan berbagai keadaan yang terjadi pada kulit yang terpapar karena pekerjaan langsung atau faktor lingkungan. Walaupun tidak menimbulkan kematian, Penyakit Kulit Akibat Kerja dapat merugikan pekerja, menurunkan produktivitas, menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan biaya kerja (Rofiq, 2007).

Penyakit Kulit Akibat Kerja sebagai salah satu bentuk penyakit akibat kerja yang paling sering terjadi pada sebagian besar negara. Insiden PKAK berkisar dari 5 sampai 19 kasus per 10.000 pekerja setiap tahun (Taylor, 2008). Biro statistik tenaga kerja Amerika Serikat tahun 2003 mendapatkan angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja yang terdaftar menderita PKAK. Penyakit kulit tersering adalah dermatitis kontak, sebesar 21,3% yang merupakan terbanyak kedua (Taylor, 2008). Di Swedia dilaporkan PKAK sekitar 50% dari seluruh penyakit akibat kerja. Diperkirakan 20-25 laporan tentang PKAK mengakibatkan berhenti bekerja dan kehilangan sebagian hari pekerjaannya. Kesulitan melaporkan disebabkan faktor lingkungan kerja, faktor genetik dan faktor lain dari keadaan kulit seseorang seperti hygiene, ketrampilan pekerja dan adanya penyakit kulit yang berhubungan dengan dermatosis itu sendiri (Rofiq, 2007).

Pemulung setiap harinya bergelut dengan sampah dari seluruh pelosok daerah. Risiko sebagai pemulung tentunya sangat besar sekali karena sampah tentunya mengandung banyak sekali bakteri-bakteri patogen akibat pembusukan zat-zat organik yang bisa masuk ke tubuh melalui pori–pori, kulit dan pernafasan. Jika


(21)

menyebabkan berbagai macam penyakit (Triyanto, 2009). Untuk ini perlu satu kajian sejauhmana sampah tersebut memberikan akibat pada kulit mereka yang setiap harinya kontak dengan sampah.

Dari kajian ini tentunya dapat diharapkan diperolehnya suatu cara preventif dalam pekerjaan mereka untuk melindungi dari penyakit kulit yang berkepanjangan sehingga merugikan kesehatan para pemulung.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana keterpaparan pemulung sampah di TPA Terjun dapat menimbulkan penyakit kulit akibat kerja.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

Untuk mengetahui paparan pemulung sampah sehingga menimbulkan penyakit kulit akibat kerja.

Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin, usia, dan lama terpapar terhadap

penyakit kulit akibat kerja.

b. Untuk mengetahui hubungan personal hygiene (mencuci tangan dengan sabun

setelah bekerja, membersihkan diri dan mandi setelah bekerja) dan alat pelindung diri (memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai pelindung pakaian saat bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, menggunakan krim pelindung saat bekerja) terhadap penyakit kulit akibat kerja.


(22)

1.4. Hipotesis

a. Ada hubungan jenis kelamin, usia, dan lama terpapar terhadap penyakit kulit

akibat kerja.

b. Ada hubungan personal hygiene (mencuci tangan dengan sabun setelah

bekerja, membersihkan diri dan mandi setelah bekerja) dan alat pelindung diri (memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai pelindung pakaian saat bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, menggunakan krim pelindung saat bekerja) terhadap penyakit kulit akibat kerja.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Memberikan masukan pada masyarakat khususnya para pemulung yang

beroperasi di TPA Terjun terhadap risiko penyakit kulit akibat kerja.

b. Untuk mencari solusi pencegahan dan perlindungan terhadap pekerja yang

berhubungan dengan sampah.

c. Memberi masukan bagi pemerintah terkait khususnya Dinas Kesehatan Kota

Medan dalam rangka mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja pada pemulung.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah

2.1.1. Pengertian Sampah

Sampah adalah bahan buangan padat atau semi padat yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau hewan yang dibuang karena tidak diinginkan atau tidak digunakan lagi oleh pemakai tersebut. Sampah adalah suatu limbah yang bersifat padat terdiri dari sampah organik, sampah anorganik dan sampah bahan berbahaya beracun (B3) yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (Dep. PU, 1990).

Penanganan sampah yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran sebagai berikut (Hadiwiyoto, 1983):

1. Sampah dapat menimbulkan pencemaran pada udara, akibat gas-gas yang

terjadi dari penguraian sampah terutama menimbulkan bau yang tidak sedap. Selain itu sampah mengakibatkan mengganggu penglihatan yaitu suatu area yang kotor yang mencemari rasa estetika.

2. Tumpukan sampah yang menggunung dapat menimbulkan kondisi lingkungan

fisik dan kimia yang tidak sesuai dengan dengan kondisi lingkungan normal. Pada umumnya hal tersebut menimbulkan kenaikan suhu dan perubahan pH menjadi asam atau basa. Kondisi ini mengakibatkan terganggunya kehidupan manusia dan makhluk lain di lingkungan sekitarnya.


(24)

3. Kadar oksigen di area pembuangan sampah menjadi berkurang akibat proses penguraian sampah menjadi senyawa lain yang memerlukan oksigen yang diambil dari udara sekitarnya. Berkurangnya oksigen di daerah pembuangan sampah menyebabkan gangguan terhadap makhluk sekitarnya.

4. Dalam proses penguraian sampah dihasilkan gas-gas yang dapat

membahayakan kesehatan, berupa gas-gas yang beracun dan dapat mematikan.

5. Sampah sangat berpotensi menjadi sumber penyakit yang berasal dari bakteri

patogen dari sampah sendiri serta dapat ditularkan oleh lalat, tikus, anjing dan binatang lainnya yang senang tinggal di areal tumpukan sampah.

2.1.2. Klasifikasi Sampah

Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah didefinisikan menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam berlangsung. Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat dibagi menurut jenis-jenisnya. Sampah dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria menurut sumber, tipe, dan sifatnya (www.wikipedia.org, 2010).

1. Klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya.

Sumber-sumber sampah atau lokasi-lokasi penghasil sampah pada umumnya berkaitan dengan tata guna lahan, misalnya daerah pemukiman, perkantoran,


(25)

pertokoan, industri, reaktor, pertambangan, rumah sakit, pasar, hutan, pertanian dan lain-lain.

2. Klasifikasi sampah berdasarkan tipenya.

Menurut tipenya sampah dibagi atas sampah padat, sampah cair, dan sampah debu. Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia, urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga; sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas, dan lain-lain. Sampah cair adalah berbentuk cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan lagi dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.

3. Klasifikasi sampah berdasarkan sifatnya.

Dilihat dari sifatnya, sampah di sini dibagi atas:

a. Sampah organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa

organik yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan lain-lain. Yang termasuk sampah organik adalah daun-daunan, kayu, kertas, karton, sisa-sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan, potongan-potongan kayu, ranting, daun-daunan, rumput-rumputan pada waktu pembersihan kebun atau halaman yang mudah diuraikan mikroba.

b. Sampah anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi, gelas atau logam lain yang tersusun oleh senyawa-senyawa anorganik. Sampah ini tidak dapat diuraikan oleh mikroba.

Berdasarkan kemampuan diuraikan oleh alam (biodegradability) dapat dibagi menjadi: (www.wikipedia.org, 2010)


(26)

1. Biodegradable, yaitu sampah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh proses biologi baik aerob atau anaerob seperti sampah dapur, sisa-sisa hewan, sampah pertanian dan perkebunan.

2. Non-biodegradable, yaitu sampah yang tidak bisa diuraikan oleh proses

biologi, seperti plastik, kertas, kain dan lainnya.

Dari klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya yaitu: sampah dari rumah sakit dan balai pengobatan, dan berdasarkan tipenya yaitu sampah yang berbahaya seperti sampah patogen dari rumah sakit, sampah beracun dari sisa-sisa pestisida, insektisida serta berdasarkan sifatnya yaitu sampah organik yang dapat diuraikan oleh mikroba, serta kandungan bakteri yang sering dijumpai pada sampah yaitu bakteri heterotrof yaitu bakteri yang memanfaatkan sampah organik atau sisa-sisa makhluk hidup sebagai sumber energinya diantaranya bakteri nitrit (Nitrosococcus), bakteri nitrat (Nitrobacter) dan jenis Clostridium di samping organisasi pembusuk utama, yang berperan dalam menguraikan asam amino dalam protein makhluk hidup, baik dari sampah tumbuhan maupun hewan menjadi senyawa amoniak maka sampah sangat cenderung menimbulkan penyakit terutama manusia yang berhubungan erat dengan sampah tersebut diantaranya yang paling dekat adalah pemulung sampah di TPA (Alcamo, 2001).

Pemulung adalah orang yang kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang bekas yang masih memiliki nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas (Saratri, 2005). Pemulung dengan sampah sangat erat


(27)

hubungannya karena ketergantungan hidup para pemulung dengan sampah sedemikian tingginya (Abidin, 2011).

Pekerjaan ini banyak dilakukan oleh masyarakat miskin di kota-kota besar saat ini. Para pemulung ini dijumpai paling banyak di TPA-TPA kota besar di samping para pemulung yang bergerak antara TPS yang satu ke TPS yang lain. Pemulung yang berada di TPA sebagian besar sudah menjadikannya sebagai pekerjaan tetap dan kesehariannya tetap kontak dengan sampah, malah ada yang mendirikan gubuk-gubuk di sekitar TPA sebagai tempat tinggalnya. Pemulung biasanya menumpuk hasil pungutannya di dekat tempat tinggalnya (Abidin, 2011).

Tidak sedikit hambatan yang dialami oleh para pemulung dalam melakukan pekerjaannya. Mulai dari ancaman dalam kesehatan karena bekerja ditempat yang kotor, hingga soal stigma negative seperti tidak teratur, kumuh, tidak bersih dan dekat dengan tindakan kriminal (Rachmannur, 2009). Pada kenyataannya peran para pemulung dalam menjaga lingkungan sangatlah besar. Bila sampah-sampah yang tidak bisa diuraikan atau yang tidak bisa dihancurkan oleh bakteri (sampah anorganik) tidak dipunguti oleh pemulung akan mengakibatkan rusaknya ekosistem di tempat tersebut. Peran pemulung dalam hal stabilitas sosial merupakan salah satu cara mengatasi pengangguran karena mereka bekerja mandiri, kreatif, pekerja keras dan tidak menggantungkan diri pada orang lain (Rachmannur, 2009).


(28)

2.2. Penyakit Kulit Akibat Kerja 2.2.1. Struktur dan Fungsi dari Kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan, mempunyai tiga lapisan terdiri dari epidermis, dermis dan lapisan subkutis (Suhariyanto, 2007). Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,5-1,75 m2

Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau lapisan tanduk. Meskipun ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit (Wasitaatmadja, 2002).

, rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (16mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis (Harahap, 2000).

Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit, demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya berbagai penyakit kulit (Rofiq, 2007).


(29)

Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap bahan atau material yang ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kulit dikenal, pada individu atau pekerja tertentu baik yang berada di negara berkembang maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit akibat pekerjaannya. Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) dikenal secara populer karena berdampak langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PKAK dapat diartikan sebagai peradangan kulit yang diakibatkan oleh lingkungan kerja (Siregar, 2002).

2.2.2. Epidemiologi Penyakit Kulit Akibat Kerja

Di Amerika Serikat pada tahun 2003 dilaporkan dari 4,4 juta pekerjaan berisiko kecelakaan dan penyakit diperkirakan 6,2% (269.500 kasus) disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Taylor, 2008). Dari suatu penelitian epidemiologik di luar negeri mengemukakan, PKAK dapat berdampak pada hilangnya hari kerja sebesar 25% dari jumlah hari kerja. Secara umum, tampaknya hingga kini kelengkapan data PKAK masih menjadi salah satu tantangan, karena PKAK seringkali tidak teramati atau tidak teridentifikasi dengan baik akibat banyaknya faktor yang harus dikaji dalam memastikan jenis penyakit (Rofiq, 2007).

Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya pelaporan tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya variasi besar antar negara adalah karena sistem pelaporan yang dianut berbeda. Laporan insiden dermatitis kontak


(30)

akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9 persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta (Suryani, 2008).

2.2.3. Bentuk Penyakit Kulit Akibat Kerja

Terjadinya PKAK dipengaruhi oleh jenis PKAK dan faktor individual pekerja, seperti kekeringan kulit, keringat, pigmentasi, integritas epidermis, penyakit kulit yang sudah ada, faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan gesekan (Suhariyanto, 2007).

Dermatitis kontak merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan dan merupakan lebih dari 85% dari Penyakit Kulit Akibat Kerja, berupa dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan. Kasus lain seperti miliaria, folikulitis, dermatosis fiberglas dan urtikaria kontak. Di samping itu terdapat kasus-kasus yang sangat jarang dilaporkan seperti kerusakan pigmen dan keganasan kulit (Taylor, 2008).

Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan, barang atau unsur yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit, menyebabkan alergi kulit, menyebabkan infeksi kulit, maupun menyebabkan perubahan pigmen kulit jika menempel pada kulit. Bahkan, masih ada bahan atau unsur yang bersifat memicu terjadinya keganasan pada kulit (Sood, 2008).

Dermatitis

Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis. Pengertian dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal, dapat


(31)

bersisik, berair dan lainnya (Rofiq, 2007). Akibat permukaan kulit terkena bahan atau unsur-unsur yang ada di lingkungannya (faktor eksogen). Namun demikian, untuk terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala dermatitis, kadang-kadang dipengaruhi pula oleh faktor kerentanan kulit seseorang atau faktor endogen (Taylor, 2008).

Bahan-bahan kimia yang berpengaruh untuk terjadinya Dermatitis adalah

Arsen, Merkuri, Garam kromium, Resin venil dan akrilik, Dikromat, Heksaklorofen,

Parafenildiamin, Cobalt dan Nickel (Suhariyanto, 2007). Dermatitis kontak adalah reaksi peradangan kulit yang terjadi akibat kulit kontak langsung dengan bahan yang bertindak sebagai alergen maupun iritan. Bahan tersebut kontak dengan kulit sering ditemukan dalam kehidupan senari-hari misalnya detergen, kosmetik, logam, karet tekstil, obat, bahkan bahan-bahan yang dijumpai dalam lingkungan pekerjaannya (Sukanto, 2008). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik.

Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) yang diperantai sel, akibat antigen spesifik yang menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan mediator protein akan menuju ke dermis, di mana sel limfosit T menjadi tersensitisasi. Pada pemaparan selanjutnya dari antigen akan timbul reaksi alergi.

Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PKAK, terbanyak bersifat non-alergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat menimbulkan


(32)

dermatitis. Dermatitis kontak iritan

Dermatitis kontak alergi

merupakan jenis PKAK yang paling sering terjadi di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak Alergika (Odom, 2000).

Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan reaksi inflamasi kulit yang berhubungan dengan proses imunologik pada kulit yang terpapar dengan bahan alergen. Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, reaksi inflamasi yang timbul melalui proses imunologik setelah melalui beberapa kali paparan (Rofiq, 2007). Seseorang umumnya tidak terjadi reaksi pada paparan awal dengan bahan alergen, setelah paparan berulang seseorang menjadi tersensitisasi dengan bahan alergen. Seorang pasien akan mendapat kepekaan (hipersensitivitas) terhadap suatu bahan (fase sensitisasi) dalam waktu 10-14 hari. Pemaparan berikutnya (fase elisitasi) dalam waktu 12-48 jam. (Fitzpatrick, 2008)) Sering seseorang mengatakan sudah berbulan-bulan saya bekerja seperti ini tidak menyebabkan kelainan pada kulit saya (Taylor, 2008).

Bahan alergen yang berbeda mempunyai potensial sensitisasi yang berbeda dan juga pada kerentanan setiap individu oleh bahan alergen. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV di mana mediator kimiawi yang keluar akan menyebabkan dermatitis. Dermatitis yang terjadi bisa akut, sub-akut atau kronis tergantung sensitivitas para pekerja. Alergi pada bahan yang spesifik umumnya akan selamanya terjadi pada para pekerja (Baratawidjaja, 2002). Berbeda dengan pekerja dengan


(33)

sehingga sangat penting untuk membedakan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Seseorang dengan kecurigaan bahan alergen tertentu dianjurkan untuk menghindari bahan tersebut selamanya (Rofiq, 2007).

Dermatitis kontak iritan

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan bahan toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis. Umumnya setiap orang dapat terkena, bergantung pada kapasitas toleransi kulitnya. Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu kerusakan diikuti dengan penyembuhan (Taylor, 2008).

Berbeda dengan DKA, perubahan kulit pada DKI dapat terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah kontak dengan bahan iritan (Trihapsoro, 2002). DKI dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan terhadap keratinosit

dan kerusakan sawar kulit. Efek langsung iritan pada keratinosit, pada DKI akut, penetrasi iritan melewati sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang pengeluaran mediator inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi akumulasi sel T dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut dapat menerangkan kesamaan jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI dan DKA. Peradangan hanya merupakan salah satu aspek sindrom DKI. Apabila terjadi pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang terjadi langsung kronik (Baratawidjaja, 2004).

Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif terhadap berbagai bahan iritan karena pembaharuan sel terjadi secara


(34)

berkesinambungan dan proses penyembuhan berlangsung cepat. Apabila waktu pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga sel-sel keratinosit tidak sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI kumulatif (Taylor, 2008). Kerusakan sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya kohesi antar korneosit dan deskuamasi diikuti dengan peningkatan trans-epidermal water loss (TEWL). Hal tersebut merupakan rangsangan untuk memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit dan hiperkeratosis sewaktu transient sehingga dapat terbentuk sawar kulit dalam keadaan baru (Taylor, 2008).

2.2.4. Bentuk Lain dari Kelainan Kulit yang Diinduksi Lingkungan Dermatitis kontak fototoksik dan fotoalergik

Bahan fototoksik sebagai bahan yang diserap sinar ultraviolet dan menyebabkan reaksi inflamasi pada kulit. Sebagai contoh bahan yang bersifat fototoksik termasuk obat-obatan yaitu golongan fenotiazin dan tetrasiklin, bahan industri kimia seperti tars dan golongan resin. Dermatitis fototoksik tidak melalui proses imunologik, berhubungan dengan kadar/dosis Bahan fototoksik mempunyai kecendrungan mengenai semua individu yang terpapar (Taylor, 2008). Dermatitis kontak fotoalergi, seperti halnya dermatitis kontak alergi melalui proses imunologi. Alergen hanya menjadi aktif bila ada sinar ultraviolet. Contoh dari fotoalergen ialah obat-obatan, parfum, krim pelindung matahari dan antiseptik (Rofiq, 2007).

Urtikaria kontak


(35)

kontak, di mana cenderung meluas beberapa hari setelah kontak kulit. Urtikaria kontak meluas dengan segera setelah kulit kontak dengan kontaktan. Manifestasi klinisnya biasanya berupa terjadinya erupsi urtikaria segera (dalam waktu 30 menit setelah kontak) dan pada waktu yang lama menjadi dermatitis (Kaplan, 2008).

Penyebab terjadinya urtikaria kontak meliputi bahan makanan seperti daging, telur, seafood dan sayuran, bulu dan sekresi dari hewan seperti ulat dan artropoda

yang lainnya, tumbuhan dan bumbu-bumbu seperti rumput laut, thyme dan cabai

rawit, parfum dan bahan penyedap seperti balsam dari Peru dan minyak kayu manis, beberapa jenis obat-obatan seperti antibiotik, logam, bahan pengawet seperti formalin dan asam benzoat, dan karet lateks sarung tangan (Kaplan, 2008).

2.2.5. Bentuk Lain Penyakit Kulit Akibat Kerja

Bahan atau alergen dari lingkungan lain, termasuk agen fisik seperti radiasi ion, faktor mekanik, sinar ultraviolet, panas dan dingin dapat merusak kulit. Beberapa bahan kimia diserap secara perkutaneus dan dapat menyebabkan toksik sistemik seperti dioksin yang menyebabkan klorakne. Minyak dan lemak dapat menyebabkan

oilakne. Campuran fenol seperti para tertiary butyl phenol formaldehyde resins dapat menyebabkan depigmentasi kulit. Gejalanya jarang terjadi, hanya 10% dari semua kasus DAK (Rofiq, 2007). Keganasan pada kulit akibat bahan karsinogen yang berasal dari lingkungan seperti sinar ultraviolet, hidrokarbon aromatik polisiklik dan arsenik seringkali tercetus setelah terpapar selama beberapa tahun (Rofiq, 2007).


(36)

Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) umumnya mempunyai prognosis buruk. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja logam dan pekerja konstruksi menemukan 70 persen tetap menderita dermatitis meskipun telah dilakukan upaya penghindaraan terhadap alergen penyebab dan perubahan jenis pekerjaan (Odom, 2000).

Meski PKAK tidak memerlukan rawat inap, ringan, dan umumnya dianggap sebagai risiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial psikologi harus diperhitungkan. Dampak PKAK terhadap ekonomi sangat besar. Ini meliputi biaya langsung atas pengobatan, kompensasi kecacatan dan biaya tidak langsung yang meliputi kehilangan hari kerja dan produktivitas, biaya pelatihan ulang serta biaya yang menyangkut efek terhadap kualitas hidup (Rofiq, 2007).

Dengan penelitian ini dapat diharapkan apakah kedua hal tersebut dapat terjadi pada para pemulung di TPA sehingga dapat disimpulkan apakah pekerjaan yang mereka lakukan berisiko atau dapat dilakukan dengan tanpa kekhawatiran akan menderita penyakit kulit di samping itu tentunya akan diperoleh suatu sistem perlindungan terhadap rakyat kecil berupa pencegahan agar mereka dapat terlindungi dari penyakit sesuai dengan rencana pemerintah Indonesia Sehat 2010 karena pemulung juga adalah rakyat Indonesia (Suryani, 2008).

2.3. Landasan Teori

Sumber dan komposisi sampah kota yang terbanyak adalah dari pemukiman dan pasar tradisional. Sampah pasar khusus seperti pasar sayur mayur, pasar buah dan


(37)

pasar ikan jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari dari sampah organik dan sisanya anorganik.

Hasil survei di Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya pada tahun 1987 menunjukkan komposisi sampah rata-rata sebagai berikut:

Volume sampah : 2 – 2,5 lt/kapita/hari Berat sampah : 0,5 kg/kapita/hari Kerapatan : 200 – 300 kg/m Kadar air : 65 – 75 %

3

Sampah organik : 75 – 95 %

Komponen lain : * Kertas : 6 % * Kayu : 3 % * Plastik : 2 % * Gelas : 1 %

* Lain-lain : 4 % (Sudradjat,2006)

Sampah–sampah ini berasal dari buangan kegiatan produksi dan konsumsi manusia baik dalam bentuk padat, cair maupun gas merupakan sumber pencemaran lingkungan hidup dan merupakan sumber penyakit jika tidak dikelola dengan baik karena bisa menjadi sarang penyakit (www.wikipedia.org, 2010).

Dari sampah organik yang jumlahnya terbesar terjadi pembusukan oleh organisme pembusuk utama yaitu bakteri. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan sampah organik atau sisa makhluk hidup terutama asam amino dalam proteinnya sebagai


(38)

sumber energi dan bakteri ini juga akan mengakibatkan proses penyakit kulit yang timbul pada pemulung yang setiap hari berkontak dengan sampah tersebut. Di samping itu dari hasil penguraian sampah dapat juga menghasilkan gas methan yang berbahaya juga untuk kulit, tidak tertutup kemungkinan sampah buangan dari rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan pembuangan sampah medis dan non medis terbuang juga ke TPA dan dapat menimbulkan beberapa penyakit termasuk penyakit kulit. Yang paling berbahaya adalah sampah buangan industri yang termasuk golongan B3 yang dapat langsung mengiritasi permukaan kulit (Alcamo, 2001).

Penghasil limbah B3 yang memiliki potensi menghasilkan limbah B3 antara lain Industri farmasi, industri logam dasar, industri karoseri, industri baterai kering, industri tekstil dan kulit seperti penggunaan zat warna yang mengandung Chrom, pabrik kertas dan percetakan, industri kimia besar meliputi pabrik pembuatan resin, bahan pengawet, cat, tinta, industri gas, pupuk dan sabun (Sastrawijaya, 1991).

Penyakit kulit merupakan penyakit yang sering ditemukan pada penyakit akibat kerja, diperkirakan mencapai 10% dari penyakit akibat kerja. Hal ini bisa disebabkan karena komponen atau proses yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Pada pemulung yang selalu berkontak dengan sampah yang mengandung bahan-bahan kontaktan seperti rubber, kertas, beberapa bahan kayu, dan kaca sangat berisiko untuk menderita Penyakit Kulit Akibat Kerja (Suryani, 2008). Berdasarkan jenis organ tubuh yang dapat mengalami kelainan akibat pekerjaan seseorang, maka kulit adalah merupakan organ yang paling sering terkena, yakni 50% dari jumlah


(39)

Bahan-bahan organik bisa terurai oleh mikroba sehingga sampah dapat hancur mengalami degradibilitasi namun mikroba patologis seperti bakteri, virus dan parasit dapat tumbuh di dalam sampah tersebut bercampur dengan sampah yang degrabilitasnya lebih lama dibanding dengan sampah organik sehingga ini yang dapat menyebabkan penyakit kulit bila kontak dengan manusia sebagai inang yang baru (Suryani, 2008).


(40)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan case study (studi kasus). Studi kasus, merupakan sebuah metode yang mengacu pada penelitian yang mempunyai unsur how dan why pada pertanyaan utama penelitiannya dan meneliti masalah-masalah kontemporer (masa kini) serta sedikitnya peluang peneliti dalam mengontrol peristiwa (kasus) yang ditelitinya (Yin, 2008).

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di TPA Terjun, Desa Terjun, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan. Penelitian dilakukan selama 2 bulan (Oktober–November 2010.)

3.3. Populasi dan Sampel Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pemulung di TPA Terjun, Desa Terjun, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, Sumatera Utara.

Sampel Penelitian

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu subyek

yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pemulung yang menderita penyakit kulit akibat kerja.


(41)

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 61 orang. Dari 61 jumlah responden ditemukan 17 responden yang mengalami dermatitis kontak, selanjutnya dipilih 10 responden untuk melakukan tes tempel. Pemilihan responden yang diuji dengan tes tempel dilihat dari tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh responden, diagnosa dilakukan oleh dokter spesialis kulit.

3.4. Instrumen Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat ukur kuesioner dan pemeriksaan penyakit kulit akibat kerja pada pada pemulung.

3.5. Metode Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer didapat langsung dari:

a. Diagnosis dari dokter penyakit spesialis kulit. b. Melakukan tes tempel pada responden. Cara melakukan tes tempel adalah:

1. Bahan alergen yang digunakan adalah The European Standart Patch Test

Allergens, produksi Trolab Hermal Jerman.

2. Lembaran uji tempel diberi nomor dan Finn Chamber diisi bahan alergen.

3. Lembaran uji tempel dilekatkan di daerah punggung, secara vertikal di antara scapula kiri dan kanan terkecuali kulit diatas vetebra.

4. Lama penempelan adalah 48 jam.


(42)

6. Pembacaan hasil uji tempel dilakukan 2 jam setelah pelepasan lembaran uji tempel, dan pembacaan dilakukan kembali setelah 72 jam.

7. Alat bantu yang dipakai adalah:

a. Tempat duduk penderita.

b. Kapas pembersih dan alkohol 70%.

c. Plester micropore untuk fiksasi unit uji tempel. d. Spidol.

e. Kaca pembesar

Berikut adalah daftar alergen yang diujicobakan pada tes tempel:

Tabel 1. Daftar Bahan Alergen pada Tes Tempel No Bahan Alergen Konsentrasi Terdapat dalam 1. Neomycin sulphate 20% Antibiotik topical 2. Benzochain 5% Anestesi topikal

3. Cobalt chloride 1% Logam, cat, semen, sendi buatan 4. Potassium dichromat 0,5% Semen, kulit, cat, anti karat, logam 5. Nickel sulphate 5% Logam, koin, kunci,

6. P. Phenylene diamine 0,1% Cat rambut, kain, tinta, kosmetik 7. Colophony 20% Plester, kosmetik, lem, kertas 8. Mercaptobenzothiazole 1% Sepatu karet, sarung tangan, plastik 9. Quaternium-15 1% Pemoles, pembersih alat-alat 10. Epoxy resin 1% Plastik, lem cat, pelapis

Hasil uji tempel positif ditunjukkan dengan adanya reaksi alergi berupa eritema dengan indurasi, disertai papula, vesikel, bulla (tergantung intensitas reaksi). Pembacaan hasil yang positif diberi skor sesuai dengan derajat reaksi yang terlihat.

Salah satu sistem skoring ini adalah dari The International Contact Dermatitis


(43)

? : Reaksi meragukan, hanya makula eritema

+ : Reaksi positif lemah (non vesikuler), eritema, infiltrasi, mungkin, papula ++ : Reaksi positif kuat (vesikuler), eritema, infiltrasi, papula, vesikula +++ : Reaksi positif sangat kuat, ulseratif atau bulla

- : Reaksi negatif

IR : Reaksi iritan

NT : Not testes, tidak diuji

a. Wawancara langsung dengan subyek penelitian dengan panduan

kuesioner.

b. Observasi langsung yang dilakukan oleh peneliti pada waktu subyek

melakukan pekerjaan. 2. Data sekunder

Data sekunder di dapat dari dinas-dinas/instansi terkait.

3.6. Variabel Penelitian

Variabel bebas:

1. Lama pemaparan

2. Jenis kelamin

3. Umur

4. Alat pelindung diri 5. Personal hygiene


(44)

Variabel tergantung: 1. Penyakit kulit akibat kerja

3.7. Definisi Operasional

1. Lama pemaparan: lamanya bekerja dan banyaknya waktu yang dialami oleh

pemulung dalam bekerja sehingga dapat menyebabkan penyakit kulit akibat kerja.

2. Jenis kelamin: pembagian ciri-ciri seorang berdasarkan aspek biologis yaitu

laki-laki atau perempuan.

3. Umur: lama waktu antara tanggal kelahiran dan saat penelitian dilakukan,

diukur dalam satuan tahun dan dihitung dari ulang tahun terakhir.

4. Alat pelindung diri: alat yang digunakan untuk melindungi diri dari kontak

langsung dengan sampah seperti pakaian, sarung tangan, sepatu, dan krim wajah.

5. Personal hygiene: kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk melindungi

diri dari penyakit kulit akibat kerja seperti mencuci tangan dengan sabun dan membersihkan diri dan mandi.

6. Penyakit kulit akibat kerja: segala kelainan pada kulit yang diakibatkan

pekerjaan dan lingkungan kerja seperti dermatitis kontak, dermatitis fotokontak, dermatitis fotoalergi, urtikaria kontak dan infeksi kulit.

7. Makula eritema: kelainan kulit yang sama tinggi dengan permukaan kulit,


(45)

8. Papula: kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, padat, berbatas jelas, dan ukurannya tidak lebih dari 1 cm.

9. Vesikula: kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, berisi cairan dan ukurannya tidak lebih dari 1 cm.

10. Bula: sama dengan vesikula tetapi ukurannya lebih dari 1cm.

3.8. Jalannya Penelitian

1. Persiapan penelitian

a. Studi pendahuluan dengan melakukan observasi ke lokasi penelitian.

b. Melakukan studi kepustakaan.

c. Melakukan penyusunan rancangan penelitian, meliputi penetapan populasi

dan sampel penelitian, variabel, definisi operasional variabel, instrumen penelitian dan analisis data.

2. Pelaksanaan penelitian

a. Menyampaikan surat izin penelitian pada pengelola TPA Terjun.

b. Menyebarkan kuisioner dan pemeriksaan penyakit kulit akibat kerja pada

subyek yang akan diteliti.

c. Melakukan tes tempel pada responden.

d. Mencek dan mengolah data sesuai dengan kebutuhan.

3. Penyelesaian penelitian


(46)

3.9. Analisis Data

Rancangan analisis data dilakukan dengan menggunakan program statistik melalui beberapa analisa yaitu univariat dan bivariat. Pada penelitian ini akan dilakukan analisa data sebagai berikut:

1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik dari variabel yang diteliti, ukuran yang digunakan adalah distribusi frekuensi dari masing-masing variabel, baik variabel pengaruh maupun variabel tergantung. Hasil dari analisis univariat ini akan disajikan dalam bentuk tabular dan tekstular, selanjutnya dilakukan interpretasi secara deskriptif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan

software SPSS. 2. Analisis Bivariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel (variabel bebas dan variabel terikat). Analisis data dilakukan dengan menggunakan software

SPSS. Jika nilai p < 0,05 maka variabel memiliki hubungan yang bermakna dan hipotesis diterima.


(47)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Sampah di Kota Medan

Pengelolaan kebersihan di Kota Medan dilakukan oleh Dinas Kebersihan Kota Medan yang meliputi penyapuan jalan-jalan protokol dan kolektor, pengumpulan sampah dari sumber ke TPS, pengangkutan sampah dari TPS ke TPA, pemusnahan sampah dan pengelolaan TPA, penyedotan septitank dan retribusi kebersihan. Metode yang diterapkan dalam pengelolaan kebersihan Kota Medan (Dinas Kebersihan Kota Medan) antara lain meliputi pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pemusnahan

Sumber-sumber sampah di Kota Medan dapat dikelompokkan berdasarkan sampah domestik, yaitu sampah yang bersumber dari lokasi pemukiman penduduk, sampah non domestik, yaitu sampah yang berasal dari pasar, pertokoan, plaza, perkantoran, industry, dan fasilitas umum, misalnya rumah sakit, pendidikan, jalan, hotel, tempat rekreasi, terminal, stasiun kereta api,

Mekanisme operasional persampahan di Kota Medan adalah meliputi pemukiman, perkantoran, pertokoan, jalan umum, rumah makan dan perguruan tinggi, fasilitas umum seperti terminal, taman, stasiun KA, tempat hiburan, halte dan lain-lain kegiatan pengumpulan sampah dilakukan oleh gerobak sampah dan becak sampah dan pengangkutannya menggunakan armroll truck. Daerah yang dapat dilalui

kendaraan pengangkut, pengumpulan dan pengangkutan dilakukan oleh typer truck


(48)

pengumpulan dan pengangkutan sampahnya dilakukan langsung oleh amroll truck

dan typer truck.

Mekanisme operasional persampahan seperti penyapuan jalan protokol dan kolektor dilakukan oleh kelompok melati, yang dibentuk oleh Dinas Kebersihan Kota

Medan dengan menggunakan alat sweeper. Untuk penanganan sampah di TPA

dilakukan dengan menggunakan metode open dumping, yang dilengkapi dengan

peralatan buldozer, scopel, dan excavator.

4.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

TPA Terjun merupakan TPA yang terletak di Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan, berjarak 9 km dari pusat Kota Medan. Luas TPA Terjun adalah 10

ha, dengan daya tampung 500.000 M3 dan telah beroperasi sejak tahun 1993 dan

menampung seluruh jenis sampah termasuk sampah dari kawasan industri. Sistem pembuangan di TPA ini adalah open dumping, di mana sampah ditaburkan pada suatu lahan, kemudian diratakan dan dipadatkan. Ketinggian tumpukan sampah saat ini sudah mencapai kira-kira 7-8 meter tanpa pemilahan sampah, dengan air lindi yang tidak terolah dan tidak ada penanganan terhadap gas. Data mengenai kondisi TPA terjun dapat dilihat pada Tabel 2.


(49)

Tabel 2. Data Mengenai Kondisi TPA Terjun Kecamatan Medan Marelan

No Uraian Keterangan

1. Lokasi

Kelurahan Terjun

Kecamatan Medan Marelan

Dati II Kota Medan

2. Kepemilikan Lahan Pemko Medan

3. Jarak lokasi TPA dari

Sungai 5 km (Sei Deli)

Pantai 6 km (Belawan)

Lapangan Terbang 23 km (Polonia)

Pusat Kota 14 km

4. Kondisi tanah

Areal Tanah lempung

Lapisan dasar Tanah liat

5. Topografi Relatif datar

6. Mulai dioperasikan 7 januari 1993

7. Fasilitas lain

Incenerator Tidak ada

Instalasi pengolahan limbah tinja (IPLT) Tidak ada

Komposting Tidak ada

8. Sampah yang masuk perhari 50% dari sampah

terangkut


(50)

Sumber: Badan Lingkungan Hidup, 2009


(51)

Sumber: Badan Lingkungan Hidup, 2009 Gambar 2. Lokasi TPA Terjun

Sumber: Badan Lingkungan Hidup, 2009


(52)

4.3. Hasil Penelitian

Sampel penelitian yang diperoleh berjumlah 61 orang. Responden sejumlah 61 orang diperoleh dengan membuat kriteria inklusi terhadap jumlah populasi yang berjumlah sekitar 200 orang. Dari jumlah 61 orang tersebut, dipilih 10 orang untuk melakukan tes tempel.

Dari 61 orang yang dijadikan sampel dapat dilihat untuk jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan (70,5%) dan laki-laki (29,5%). Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Distribusi Jenis Kelamin pada Responden

No Jenis Kelamin Jumlah %

1 Laki-laki 18 29,5

2 Perempuan 43 70.5

Total 61 100.0

Untuk kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 30-40 tahun (34,4%), lalu kelompok umur > 50 tahun (26,2%), kelompok umur 41-50 tahun (19,7%) dan terkecil kelompok umur < 30 tahun (19,4%). Dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.


(53)

Tabel 4. Distribusi Kelompok Umur pada Responden

No Kelompok Umur Jumlah %

1 < 30 tahun 12 19,4

2 30-40 tahun 21 34,4

3 41-50 tahun 12 19,7

4 > 50 tahun 16 26,2

Total 61 100,0

Untuk tahun terkena penyakit yang terbanyak adalah kurang dari 5 tahun

(77%) dan lebih dari 5 tahun (23%). Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Distribusi Tahun Terkena Penyakit pada Responden

No Tahun Terkena Penyakit Jumlah %

1 Kurang dari 5 tahun 47 77,0

2 Lebih dari 5 tahun 14 23,0

Total 61 100,0

Untuk lama bekerja sehari yang terbanyak adalah < 8 jam (60,7%) dan > 8 jam (39,3). Data lama bekerja pada responden dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.


(54)

Tabel 6. Distribusi Lama Bekerja pada Responden

No Lama Bekerja Sehari Jumlah %

1 < 8 jam 37 60,7

2 > 8 jam 24 39,3

Total 61 100,0

4.3.1. Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja

Berdasarkan jenis penyakit kulit akibat kerja yang didapat adalah terbanyak dermatitis kontak alergi yaitu (26,2%), lain-lain (24,6%), tinea pedis (19,7%), tinea kruris (14,8%), skabies (9,8%), tinea korporis (3,3%) dan dermatitis kontak iritan (1,6%), daftar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden No

Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja

Jumlah %

1 Dermatitis Kontak Iritan 1 1,6

2 Dermatitis Kontak Alergi 16 26,2

3 Tinea Kruris 9 14,8

4 Tinea Pedis 12 19,7

5 Skabies 6 9,8

6 Tinea Korporis 2 3,3

7 Lain-lain 15 24,6

Total 61 100,0


(55)

Berdasarkan jenis kelamin dan jenis penyakit kulit akibat kerja dapat dilihat bahwa jenis kelamin terbanyak untuk dermatitis kontak iritan adalah laki-laki sebesar 100%, dermatitis kontak alergi adalah perempuan sebesar 62,5%, tinea kruris adalah perempuan sebesar 77,8%, tinea pedis adalah perempuan sebesar 83,3%, skabies adalah perempuan 100,0%, tinea korporis adalah perempuan 100,0% dan lain-lain adalah wanita sebesar 53,3%. Data tersebut dapat dilihat di Tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8. Data Jenis Kelamin dan Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden

No Jenis Penyakit Kulit Akibat

Kerja

Jenis Kelamin Total

Laki-laki Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Dermatitis

Kontak Iritan

1 100,0 0 0,0 1 100,0

2 Dermatitis

Kontak Alergi

6 37,5 10 62,5 16 100,0

3 Tinea Kruris 2 22,2 7 77,8 9 100,0

4 Tinea Pedis 2 16,7 10 83,3 12 100,0

5 Skabies 0 0,0 6 100,0 6 100,0

6 Tinea Korporis 0 0,0 2 100,0 2 100,0

4.3.2. Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri

Personal hygiene dan alat pelindung diri meliputi: melakukan upaya mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja, memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, memakai pelindung pakaian saat bekerja,


(56)

membersihkan diri dan mandi setelah bekerja, dan memakai krim pelindung saat bekerja.

Berdasarkan studi di lapangan didapatkan bahwa responden yang melakukan upaya mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja sebesar 34,4% dan yang tidak melakukan sebesar 65,6%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9. Distribusi Melakukan Upaya Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah Bekerja pada Responden

No Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah

Bekerja

Jumlah %

1 Ya 21 34,4

2 Tidak 40 65,6

Total 61 100,0

Responden yang memakai pelindung tangan saat bekerja sebesar 45,9% dan yang tidak memakai sebesar 54,1%. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini.

Tabel 10. Distribusi Memakai Pelindung Tangan Saat Bekerja pada Responden No Memakai Pelindung

Tangan Saat Bekerja

Jumlah %

1 Ya 28 45,9

2 Tidak 33 54,1


(57)

Responden yang memakai sepatu pelindung saat bekerja sebesar 44,3% dan

yang tidak memakai sebesar 55,7%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Distribusi Memakai Sepatu Pelindung Saat Bekerja pada Responden No Memakai Sepatu

Pelindung Saat Bekerja

Jumlah %

1 Ya 27 44,3

2 Tidak 34 55,7

Total 61 100,0

Responden yang memakai pelindung pakaian saat bekerja sebesar 59% dan yang tidak memakai sebesar 41%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini.

Tabel 12. Distribusi Memakai Pelindung Pakaian Saat Bekerja pada Responden No Memakai Pelindung

Pakaian Saat Bekerja

Jumlah %

1 Ya 36 59

2 Tidak 25 41

Total 61 100,0

Responden yang membersihkan diri dan mandi setelah bekerja sebesar 60,7%

dan yang tidak melakukan sebesar 39,35. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.


(58)

Tabel 13. Distribusi Membersihkan Diri dan Mandi Setelah Bekerja pada Responden

No Membersihkan Diri dan Mandi Setelah Bekerja

Jumlah %

1 Ya 37 60,7

2 Tidak 24 39,3

Total 61 100,0

Responden yang memakai krim pelindung saat bekerja sebesar 31,1% dan yang tidak memakai sebesar 68,9%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14. Distribusi Memakai Krim Pelindung Saat Bekerja pada Responden No Memakai Krim

Pelindung Saat Bekerja

Jumlah %

1 Ya 19 31,1

2 Tidak 42 68,9

Total 61 100,0

4.3.3. Riwayat Alergi

Data Riwayat Alergi yang diperoleh menunjukkan responden dan keluarganya sering mengalami pilek, sesak dan eksema/biduran sebesar 29,5% dan yang tidak sebesar 70,5%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 di bawah ini.


(59)

Tabel 15. Distribusi Responden dan Keluarga Sering Pilek/Sesak/Eksema

No Sering

Pilek/Sesak/Eksema

Jumlah %

1 Ya 18 29,5

2 Tidak 43 70,5

Total 61 100,0

Responden yang pernah mengobati penyakit alergi sebesar 82% dan yang tidak pernah mengobati sebesar 18%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini.

Tabel 16. Distribusi Responden Pernah Mengobati Penyakit Alergi No Pernah Mengobati

Penyakit Alergi

Jumlah %

1 Ya 50 82,0

2 Tidak 11 18,0

Total 61 100,0

4.3.4. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya tidak hubungan antara variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi dengan menggunakan analisis statistik bivariat serta menghitung nilai p yang mendukung terjadinya penyakit kulit akibat kerja pada pemulung di TPA Terjun. Jika nilai p < 0,05 maka variabel memiliki hubungan yang bermakna dan hipotesis diterima.

Hasil analisis bivariat antara identitas diri dengan penyakit kulit akibat kerja menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan


(60)

terjadinya penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0.170. Untuk lama bekerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,759. Untuk kelompok umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,680. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.

Tabel 17. Hasil Analisis Identitas Diri dengan Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden

No Variabel Signifikansi

P

1 Jenis Kelamin 0,170

2 Lama bekerja dalam sehari 0,759

3 Kelompok umur 0,680

Hasil analisis bivariat antara personal hygiene dan alat pelindung diri menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,000. Memakai pelindung tangan saat bekerja memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,003. Memakai pelindung pakaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,648. Memakai sepatu pelindung memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,002. Menggunakan krim pelindung memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,001. Membersihkan diri dan mandi setelah bekerja tidak memiliki hubungan


(61)

yang bermakna dengan terjadinya penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,998. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini.

Tabel 18. Hasil Analisis Bivariat Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri dengan Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden

No Variabel Signifikansi

P 1 Mencuci Tangan setelah bekerja 0,000 2 Memakai pelindung tangan saat bekerja 0,003 3 Memakai pelindung pakaian saat bekerja 0,648

4 Memakai sepatu pelindung 0,002

5 Memakai krim pelindung saat bekerja 0,001 6 Membersihkan diri dan mandi setelah bekerja 0,998

4.3.5. Hasil Tes Tempel

Tes tempel dilakukan pada 10 orang responden yang memiliki indikasi penyakit dermatitis kontak alergi. Tes tempel digunakan untuk menguji bahan-bahan anorganik dari sampah yang mempengaruhi penyakit kulit dermatitis kontak alergi.

Jenis-jenis alergen yang digunakan pada tes tempel dipilih berdasarkan hasil analisa kualitas air tanah/sumur bulan oktober tahun 2010 dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara yang menunjukkan bahwa ada bahan-bahan B3 yang

terkandung didalam air tanah/sumur yaitu Cu (cuprum), Cd (cadmiun) dan Pb

(plumbum). Hasil analisa laboratorium pada bulan Oktober 2010 terdapat 1 (satu) titik lokasi yang berada di atas baku mutu yaitu parameter Pb (Plumbum) yang terdapat pada air Sumur pantau TPA Terjun (Badan Lingkungan Hidup, 2010). Berdasarkan data tersebut, maka dipilihlah jenis alergen yang lebih khusus pada bahan-bahan B3 untuk melakukan tes tempel pada responden.


(62)

Menurut Rycroft dan Wilkinson alergen uji tersebut dapat dikelompokkan atau digolongkan menjadi:

1. Logam: cobalt chloride, nickel sulphate, potassium dichromat

2. Karet: para phenylene diamine 0,1%, mercapthobenzothiazole

3. Medikamentosa: neomycin sulphate, benzocaine,quartenium 15 4. Balsam: colophony

5. Lain-lain: Epoxy resin,

Hasil tes tempel yang dilakukan pada responden dapat dilihat pada Tabel 19 di bawah ini.

Tabel 19. Hasil Tes Tempel pada Responden Responden Jenis bahan yang positif Hasil

1 Nickel sulphate 5 % ++ vesikel

2 Cobalt Chloride 1 % + papula eritem

3 Cobalt Chloride 1 % + papula eritem

4 Cobalt Chloride 1 % + papula eritem

5 Cobalt Chloride 1 % + papula eritem

6 Cobalt Chloride 1 % + papula eritem

Nickel sulphate 5 % + papula eritem

7 Cobalt Chloride 1 % ++ vesikel

8 Hasil negatif -

9 Cobalt Chloride 1 % + papula eritem

Nickel sulphate 5 % ++ vesikel

10 Nickel sulphate 5 % + papula eritem


(63)

Dua alergen yang memberikan hasil positif adalah zat cobalt chloride 1% pada 5 orang, zat nickel suphate 5% pada 2 orang, dan kedua zat cobalt chloride 1% dan zat

nickel sulphate 5% pada 2 orang.

4.4. Pembahasan

Pemulung sampah merupakan tenaga lapangan yang berada di lokasi pembuangan akhir. Mereka turut memainkan peran penting di dalam pengolahan sampah. Setiap hari mereka mengerumuni setiap truk sampah yang baru menurunkan muatan, mereka tidak peduli dengan alat berat yang harus mengangkut tumpukan sampah guna ditimbun begitu truk sampah tiba. Sampah golongan plastik disisihkan, demikian juga dengan sampah dari kertas, kaleng, botol dan lainnya harus dipilah-pilah. Berbagai barang bekas seperti plastik kotor, setelah disobek dengan gergaji besi, kemudian dipisahkan dengan barang bekas lainnya.

Pekerjaan ini dilakukan sepanjang hari dan sudah bertahun-tahun, tetapi jarang dari mereka yang memperhatikan bahaya paparan keselamatan dan kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Pemulung menggunakan peralatan keranjang di punggung, gancu di tangan, dan bersepatu atau sandal seadanya, ada pula yang melindungi kepala dengan topi, tanpa menghiraukan bau busuk, panas dan hujan. Para pemulung terdiri dari orang tua atau muda, bahkan ada yang masih anak-anak. Ketika truk sampah tidak datang, para pemulung berteduh dengan atap yang terbuat dari plastik atau kardus. Hal serupa juga dilakukan ketika panas terik atau hujan yang tiba-tiba turun. Pemulung merupakan orang yang mau dan terpaksa mengerjakan


(64)

sesuatu yang dibayar rendah, berbahaya bagi keselamatan dan kesehatannya, serta berstatus rendah, tetapi pemulung juga berperan besar dalam mengurangi volume sampah yang merupakan salah satu bentuk daur ulang yang dapat melestarikan sumber daya alam yang ada (Suryani, 2007).

Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) yang banyak diderita oleh responden adalah dermatitis kontak alergi yaitu (26,2%), lain-lain (24,6%), tinea pedis (19,7%), tinea kruris (14,8%), skabies (9,8%), tinea korporis (3,3%) dan dermatitis kontak iritan (1,6%). Dermatitis kontak memiliki jumlah penderita terbanyak dari keseluruhan penyakit kulit akibat kerja yang dialami oleh responden. Biro statistik tenaga kerja Amerika Serikat tahun 2003 mencatat angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja menderita penyakit kulit akibat kerja, penyakit yang sering terjadi berupa dermatitis kontak sebesar 21,3% sebagai terbanyak kedua (Taylor 2008). Hal ini menunjukkan bahwa pemulung juga banyak mengalami penyakit kulit akibat kerja khususnya dermatitis kontak.

Berdasarkan identitas responden, dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui ada tidak hubungan antara variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi dengan menggunakan analisis statistik bivariat serta menghitung nilai p yang mendukung terjadinya PKAK pada pemulung di TPA Terjun.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadi PKAK dengan nilai p= 0.170. untuk lama


(65)

nilai p= 0,759. Untuk kelompok umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan PKAK dengan nilai p= 0,681. Ketiga identitas diri tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan PKAK, artinya tidak ada perbedaan jenis kelamin untuk menimbulkan PKAK, lama bekerja juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya PKAK, begitu pula dengan umur yang tidak ada hubungan bermakna dengan PKAK. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, identitas diri dari pemulung atau faktor internal dari diri pemulung tidak mempengaruhi mereka dalam menimbulkan PKAK.

Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,000. Mencuci tangan merupakan hal yang penting dalam menjaga kebersihan diri dan menjaga diri dari kesehatan yang disebabkan oleh virus, bakteri, zat-zat kimia dan lain-lain yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mempengaruhi perkembangan kesehatan diri manusia. Pemulung yang sehari-harinya dalam pekerjaannya banyak akan terpaparnya tangannya oleh sampah akan sangat mempengaruhi status atau keadaan kesehatannya. Kebiasaan mencuci tangan dapat menyebabkan potensi penyebab dermatitis akibat kerja yang menempel setelah bekerja. Mencuci tangan juga merupakan salah satu usaha untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak (Setyowati, 2007).

Memakai pelindung tangan saat bekerja memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,003. Pelindung tangan yang seharusnya dipakai oleh pemulung adalah sarung tangan yang sesuai dengan kegiatan


(66)

dan aktivitas kerjanya. Sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung diri (APD) yang wajib digunakan oleh pemulung untuk melindungi dirinya dari masalah kesehatan khususnya penyakit kulit. Tangan yang tidak terlindung dari sarung tangan akan membuat mudahnya kuman-kuman, bakteri dan zat-zat berbahaya lainnya masuk ke dalam jaringan kulit dan dapat berdampak pada penyakit kulit akibat kerja bagi pemulung.

Berdasarkan hasil dari penelitian dijumpai hanya 45,9% pemulung yang memakai sarung tangan untuk bekerja. Rendahnya kesadaraan pemulung menggunakan pelindung untuk tangan sehingga tidak terproteksinya diri pemulung dari bahan-bahan berbahaya yang terkandung di dalam sampah menyebabkan munculnya PKAK yang banyak dijumpai

Memakai pelindung pakaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja dengan nilai p= 0,648. Pelindung pakaian dalam hal ini tidak mempengaruhi terjadinya penyakit kulit. Hal ini disebabkan tubuh dilindungi oleh pakaian yang tidak dapat masuknya kuman atau zat-zat berbahaya lainnya. Bila dilihat dari data distribusi frekuensi untuk variabel ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden yang memakai pelindung pakaian (59%) dengan yang tidak memakainya (41%) sehingga tidak ada hubungan antara memakai pelindung pakaian dengan PKAK.

Memakai sepatu pelindung memiliki hubungan yang bermakna dengan PKAK dengan nilai p= 0,002. Sepatu dapat melindungi pemulung dari resiko PKAK. Tidak


(67)

masuknya kuman-kuman dan zat-zat kimia membuat pemulung terhindar dari penyakit kulit akibat kerja.

Penggunaan APD adalah salah satu cara efektif untuk menghindarkan pekerja dari kontak langsung dengan bahan-bahan yang menyebabkan PKAK. APD yang sesuai akan sangat membantu pemulung dalam pengurangan resiko penyakit akibat kerja, sehingga perlu upaya terus menerus untuk melakukan promosi agar pemulung dapat terus memakai APD dengan tepat (Setyowati, 2007).

Menggunakan krim pelindung memiliki hubungan yang bermakna dengan PKAK dengan nilai p= 0,001. Kondisi lapangan TPA Terjun yang pada saat pemulung bekerja biasanya dalam cuaca yang cukup panas. Pemakaian krim pelindung wajah sangat membantu pemulung untuk mencegah penyakit kulit pada wajah karena dapat digunakan sebagai pertahanan terhadap sinar matahari yang bisa membuat sel- sel kulit rusak sehingga kulit mudah terserang penyakit

Membersihkan diri dan mandi setelah bekerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya PKAK dengan nilai p= 0,998. Hal ini disebabkan karena pemulung kurang memperdulikan personal hygiene seperti membersihkan diri dan mandi. Pemulung seharusnya memiliki kesadaran untuk menjaga dan merawat kebersihan dirinya masing-masing. Bila dilihat dari data distribusi frekuensi untuk variabel ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden yang membersihkan diri dan mandi setelah bekerja (60,7%) dengan yang tidak melakukannya (39,3%) sehingga tidak ada hubungan antara membersihkan diri dan mandi setelah bekerja dengan PKAK.


(1)

1 53.333(a) .184 .279

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v6 -2.453 .823 8.875 1 .003 .086

Constan

t 2.165 1.056 4.203 1 .040 8.719

a Variable(s) entered on step 1: v6

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 65.508(a) .003 .005

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v7 -.288 .631 .208 1 .648 .750

Constan


(2)

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 52.309(a) .197 .299

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v8 -2.549 .825 9.541 1 .002 .078

Constan

t 2.326 1.064 4.784 1 .029 10.240

a Variable(s) entered on step 1: v8. Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 52.704(a) .192 .291

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v9 -2.357 .698 11.394 1 .001 .095

Constan

t 2.462 1.059 5.408 1 .020 11.728


(3)

1 49.082(a) .239 .362

a Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v10

-20.706 8204.35

6 .000 1 .998 .000

Constan

t 20.210

8204.35

6 .000 1 .998

5985503 85.095 a Variable(s) entered on step 1: v10.

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 60.427(a) .083 .126

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v11 -1.997 1.081 3.411 1 .065 .136

Constan

t 1.161 1.225 .898 1 .343 3.192


(4)

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 59.962(a) .090 .137

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v12 -1.584 .661 5.751 1 .016 .205

Constan

t 1.451 1.114 1.697 1 .193 4.266

a Variable(s) entered on step 1: v12.

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 65.582(a) .002 .003

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.


(5)

t

a Variable(s) entered on step 1: v13.

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 59.785(a) .093 .141

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v14 .393 .169 5.415 1 .020 1.481

Constan

t -3.005 .892 11.349 1 .001 .050

a Variable(s) entered on step 1: v14. Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 62.140(a) .057 .086

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.


(6)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v15 .550 .301 3.334 1 .068 1.733

Constan

t -2.693 .916 8.637 1 .003 .068

a Variable(s) entered on step 1: v15.

Model Summary

Step

-2 Log likelihoo

d

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 65.626(a) .002 .002

a Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

v16 .189 .618 .094 1 .759 1.208

Constan

t -1.477 .927 2.537 1 .111 .228