KEPUASAN HIDUP ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

KEPUASAN HIDUP ABDI DALEM

KERATON KASUNANAN SURAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

Oleh:

Monica Inung Prawesti

  

039114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

  

KEPUASAN HIDUP ABDI DALEM

KERATON KASUNANAN SURAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

Oleh:

Monica Inung Prawesti

  

039114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  Aja Dumeh... Mulat Sarira, Hangrasa Wani

  Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orangtuaku

yang selalu sabar membimbing, memberi nasehat, dan menanti

kelulusanku. Dipersembahkan pula untuk Emy

yang bersedia memberi masukan dan mendengarkan keluh kesah

mengenai skripsiku

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 14 Januari 2010 Penulis

  Monica Inung Prawesti

  

Kepuasan Hidup Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta

Monica Inung Prawesti

  

ABSTRAK

Sikap pengabdian abdi dalem sudah sangat jarang ditemukan di kalangan masyarakat

modern. Abdi dalem bekerja dengan pengabdian walaupun secara materi kurang dapat mencukupi

kebutuhan, mereka juga masih setia memegang nilai budaya Jawa demi mencapai kepuasan batin.

Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran lengkap mengenai kepuasan hidup abdi dalem

Keraton Kasunanan Surakarta, mengetahui sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses

pencapaian kepuasan hidup abdi dalem, serta bagaimana jika kepuasan hidup abdi dalem

dibandingkan dengan enam aspek kesejahteraan psikologis Ryff yang sering disamaartikan dengan

kepuasan hidup. Subjek penelitian ini adalah tiga orang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta

dengan kriteria batas usia minimal 65 tahun, sudah mengabdi minimal selama 20 tahun, dan telah

berkeluarga. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi deskriptif. Proses

pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan catatan lapangan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ketiga subjek mampu mencapai kepuasan hidup. Kepuasan yang dirasakan

bukan perwujudan material, melainkan ketenteraman batin. Sistem nilai budaya Jawa yang

berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup abdi dalem yaitu nilai rukun, nilai hormat,

kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan kepada raja dan keraton, budi luhur, rame ing gawe,

nunggak semi , dan mupus. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua aspek

kesejahteraan psikologis Ryff sesuai dengan kepuasan abdi dalem. Aspek-aspek tersebut adalah

aspek penguasaan lingkungan pada poin kemampuan mengontrol kegiatan yang kompleks dan

aspek pertumbuhan pribadi pada poin terbuka terhadap pengalaman baru. Kata kunci: abdi dalem, kepuasan hidup, sistem nilai budaya Jawa

  

Life Satisfaction of Keraton Kasunanan Surakarta’s Abdi Dalem

Monica Inung Prawesti

ABSTRACT

  The dedicated attitude of abdi dalem has very rare found among modern society. They work

with devotion to their duties, even though they get less sufficient for living. They also still faithful

in Javanese culture point to achieve spiritual satisfaction. The purpose of this research is to obtain

a comprehensive image of abdi dalem’s life satisfaction, to understand about Javanese cultural

value system which play important role in abdi dalem’s life satisfaction attainment processes, and

to try to compare between the life satisfaction of the abdi dalem and six Ryff psychological well-

being aspects that often being generalized as life satisfaction.

  The subject of this research is three abdi dalem’s of Keraton Kasunanan Surakarta that

aging over 65 years. They have been serving more than 20 years, and are married. This is a

qualitative research with descriptive study method. Data collecting processes was done by

interviewing and field note taking.

  The result of the research shows that all subjects can achieve life satisfaction, not about

material realization but spiritual tranquility. Javanese cultural points system which play role in

abdi dalem’s life satisfaction attainment processes are harmonious value, respectful value, faithful

to God, faithful to king and kingdom, budi luhur, rame ing gawe, nunggak semi, and mupus. The

result also shows that not all of Ryff psychological well-being aspects are appropriate with abdi

dalem life satisfaction. Those aspects are environmental mastery in the point of capability in

managing of the complex activities and personal growth in the point of open to new experiences. Key words: abdi dalem, life satisfaction, Javanese cultural points system

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma Nama : Monica Inung Prawesti Nomor Mahasiswa : 039114038

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : Kepuasan Hidup

  

Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta berserta perangkat yang diperlukan

  (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal 14 Januari 2010 Yang menyatakan (Monica Inung Prawesti)

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis haturkan kepada Yesus Kristus atas kasih dan uluran tangan-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan perjuangan yang sangat panjang dalam menyusun skripsi ini. Syukur dan terimakasih pula penulis haturkan untuk Bunda Maria atas doa dan pertolongan yang telah diberikan.

  Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak, yaitu: 1.

  Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah memberi ijin untuk mengadakan penelitian.

2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, S.Psi., M.Si, selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik, yang selalu memberi semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

  4. Bapak Victorius Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk penulis selama proses penulisan skripsi ini. Tidak hanya bimbingan yang penulis dapatkan, namun banyak pelajaran berharga yang bapak berikan.

  5. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya dan bapak Y. Heri Widodo, M.Psi selaku dosen penguji, yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun dan bermanfaat demi hasil yang lebih baik dalam skripsi ini.

  6. Bapak dan Ibu dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bimbingan belajarnya selama ini.

  7. Seluruh staf sekretariat dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gie, yang banyak membantu dalam kelancaran studi, praktikum, dan skripsi.

  8. Bapak dan ibuku yang selalu memberi dorongan, dukungan, dan mendampingi dengan setia dalam menjalani hidup. Bapak dengan kesabarannya dan ibu yang pekerja keras. Bapak dan ibuk adalah anugerah terindah dari Tuhan untukku. ”Nyuwun pangapunten pak.. buk.. lulusipun dangu.”

  9. Eplik dan mas Mono yang selalu memberi dukungan, saran, dan contoh yang baik. ”Nuwun ya Plik nggo sa’kabehe..”

  10. Pak Bejo Prasetyo, Pak Trisno Sewaka, dan Bu Sartinah, yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan kesediaannya untuk diwawancarai.

  11. Keraton Kasunanan Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian, informasi-informasi, dan kerjasama selama proses penelitian.

  12. Mbak Yemi selaku staf sekretariat Sasana Wilapa, terimakasih atas kesediaannya memberikan informasi dan bantuan kepada penulis.

  13. Karyawan Sasana Pustaka yang sabar melayani dan memberikan informasi kepada penulis.

14. CoemiQiu, “Thanks ya Cum.. selama ini mau mendengarkan keluh kesahku,

  jadi sasaran amarahku, dan selalu ngeyem-yem’i aku hehehe..” 15.

  Uwiek yang selalu menjadi tempat curhatku. “Thanks banget ya Wiek.. Inunk

  cayank Uwiek..” 16.

  Adit, Samuel, Pii, Bono, dan Nug. “Thanks banget atas canda tawa dan

  pertolongan-pertolongannya saat aqiu membutuhkan bantuan kalian.” 17.

  Denok, Jane, dan Ellen. ”Makasih ya.. untuk setiap dorongan, semangat,

  saran, dan kritik yang kalian berikan untukqiu.” 18.

  Mellissa, Mitha, Natnat, Oqix, Nana, dan Oid. ”Makasih atas semangat,

  dorongan, dan penghiburan saat aku sedang putus asa hehe..” 19.

  C’mon, ”Nuwun ya Mon, wis ngancani nggarap nganti isuk hehe hehe..” 20. Bedo yang selalu setia menemaniku bermain dan memberi penghiburan, meskipun kamu sedang capek dan ngantuk. ”Kamu benar-benar anak yang

  lucu dan pintar.” 21.

  Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

  Yogyakarta, 14 Januari 2010 Monica Inung Prawesti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

  “Wah, kalau dukanya itu nggak ada, hatinya selalu senang, pokoknya hidupnya tenteram”, tutur Honggo Budoyo (51), abdi dalem juru kunci Keraton Surakarta selama 22 tahun yang digaji Rp 55.000,00 setiap bulan. Honggo mengatakan bahwa ia hanya mencari ketenteraman batin, ia juga berharap bisa menjadi abdi dalem juru kunci sampai akhir hayatnya.

  Sedangkan Daldiri (64), dari awal bekerja yakni tahun 1963 hanya digaji sebanyak Rp 1.250,00. Seiring bertambahnya tahun, gajinya juga naik sedikit demi sedikit. Gaji atau blanjan tidak menjadi orientasi hidup mereka, ia juga mencari ketenteraman sebagai abdi dalem. Menurutnya, yang membahagiakan

menjadi juru kunci jika bisa berjabat tangan dengan para pejabat dan orang-

orang terkenal. Pengabdian yang tinggi membuat Daldiri masih bertahan menjadi juru kunci makam keraton di usianya yang sudah berkepala enam (Syahranny, 2007).

  Bekerja merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia secara fisik yang meliputi sandang, pangan, dan papan, serta psikologis yang meliputi berafiliasi, berprestasi, berkuasa, dan kebutuhan untuk memenuhi eksistensi

diri (Purnamasari, 2003). Manusia pada umumnya bekerja untuk berlomba-

lomba meraih kesuksesannya masing-masing. Madjid (dalam Bastaman, 1996)

  mengatakan bahwa definisi “sukses” dalam perbendaharaan kata manusia terbatas pada seberapa jauh orang yang bersangkutan menampilkan dirinya secara lahiriah dalam kehidupan material.

  Zaman modern seperti sekarang ini ternyata masih ada sekelompok orang yang bersedia mengabdikan dirinya kepada kerabat keraton meskipun dengan penghasilan yang kecil. Sekelompok orang yang bersedia mengabdikan dirinya kepada kerabat keraton disebut abdi dalem. Sikap pengabdian ini sudah sangat jarang ditemukan di kalangan masyarakat modern. Banyak orang bekerja karena termotivasi oleh materi saja, lain halnya dengan

  

abdi dalem yang bekerja dengan pengabdian walau secara materi kurang dapat

mencukupi kebutuhannya.

  Pada perubahan jaman seperti sekarang, masyarakat Jawa tengah menghadapi suatu dilema, mengikuti kehidupan modern atau mempertahankan dan memegang nilai budaya yang telah diwariskan. Tetapi pada kenyataannya

  

abdi dalem masih memegang nilai budaya Jawa demi mencapai kepuasan

  batin yang biasanya diperoleh setelah mendapatkan gelar atau nama dari raja yang sedang berkuasa di keraton. Selain itu, kepuasan batin biasanya juga diperoleh setelah abdi dalem mendapatkan paringan dalem (gaji) berupa uang yang besarnya Rp 2.000,00 – Rp 20.000,00 setiap bulan tergantung pangkat yang dimiliki (Lugito dan Ramelan, 2008).

  Menurut Kamus Bausastra Jawa, kata “abdi” diterjemahkan sebagai hamba atau sahaya, dan kata “dalem” berarti patik atau abdi raja. Oleh karena itu, menjadi abdi dalem berarti menjadi hamba raja di dalam istana, yang selalu mundhi dhawuh dalem atau mengemban titah raja (dalam Soebhan,

  2007). Dari abdi dalem itulah, kita ingin mempertahankan nilai kultural keraton.

  Komunitas kecil para sesepuh ini masih memiliki orientasi yang jelas terhadap tradisi dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menjadi abdi dalem, mereka belajar tentang kesetiaan, belajar setia untuk kemanusiaan, serta berusaha memaknai hidup masing-masing. Ada juga yang berharap, dengan menjadi abdi dalem, mereka dapat menggunakan kesempatan ini sebagai sarana mobilitas sosial, atau memanfaatkannya sebagai tempat mengolah batin antar komunitas mereka. Pilihan-pilihan seperti itu bisa relevan, tetapi bisa juga dianggap tidak sejaman dan tidak rasional. Namun, pencarian yang mereka lakukan di masa senja kehidupannya jelas bukan demi materi melainkan kepuasan batin dan berkah yang melimpah di kemudian hari dalam hidupnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Hardjowirogo (1983), bahwa orang Jawa tidak bisa melepaskan diri dari lilitan tradisinya. Manusia Jawa digambarkan sebagai makhluk yang tidak begitu tertarik terhadap materi, dan merasa bangga akan gambaran mengenai dirinya.

  Konsep abdi tidak terlepas dari konsep Javaisme yang mengandung pengertian agama serta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketenteraman batin, keselarasan, dan keseimbangan. Kaidah-kaidah moril Javaisme juga menekankan sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri),

  

andap asor (rendah diri), dan prasaja (sahaja), serta mengatur dorongan-

  dorongan dan emosi-emosi pribadi (Mulder, 1984). Berawal dari konsep ini seorang abdi diharapkan memiliki kesetiaan, taat, dan amanah yang memandang kerja sebagai panggilan jiwa, bahkan kerja merupakan ibadah yang menuntut kesalehan. Hal yang menjadi kunci dalam pengabdian adalah melayani dengan baik dan setia, sehingga pelayanan diberikan bukan karena diminta melainkan memang sudah menjadi tugasnya.

  Mereka beranggapan bahwa raja bukan orang biasa, melainkan wakil Tuhan di dunia, sehingga seorang raja memiliki kemampuan untuk mengayomi dan memberi berkah pada rakyatnya. Mereka juga menganggap bahwa keraton merupakan pusat kehidupan yang memberikan ketenteraman dan ketenangan (Hastjarja, 1984). Anggapan ini membuat mereka percaya bahwa dengan mengabdi kepada raja dan keraton, mereka akan mendapatkan ketenteraman dan ketenangan.

  Setiap orang tentu ingin agar hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram, serta dapat merasakan kepuasan hidup. Beberapa orang beranggapan bahwa kepuasan hidup terletak pada harta kekayaan yang melimpah, serta memiliki pangkat dan kedudukan yang tinggi. Maka, untuk memperoleh kepuasan hidup, mereka berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, serta mengejar pangkat dan kedudukan (Sholeh, 2008). Apabila seseorang tidak mampu mencapai kepuasan hidup, maka orang tersebut akan merasa kecewa, putus asa, dan marah, terlebih lagi jika melihat kondisi ekonomi pada saat ini yang semakin sulit.

  Pada prakteknya tidak sedikit orang yang memiliki harta melimpah, rumah megah, kendaraan mewah, memiliki pangkat dan kedudukan yang tinggi, tetapi batinnya merasa kosong dan jiwanya gelisah. Sebaliknya, tidak sedikit pula orang dapat merasakan kepuasan hidup, pikirannya selalu tenang, jiwanya tenteram, padahal secara lahiriah selalu dalam keadaan kekurangan, tidak memiliki harta yang melimpah dan pangkat yang tinggi (Sholeh, 2008). Permasalahan inilah yang membuat peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai kepuasan hidup khususnya pada abdi dalem, karena abdi dalem secara materi kurang dapat terpenuhi namun dapat merasakan kepuasan batin.

  Selain itu, karena kepuasan hidup merupakan kondisi yang bersifat khas pada orang yang mempunyai semangat hidup, dan setiap orang mempunyai pengalaman, atau kondisi yang berbeda dalam mencapai kepuasan hidup. Banyak perbedaan pula dalam cara seseorang memandang kehidupan hingga ia berhasil atau tidak berhasil mencapai kepuasan hidup, dan perbedaan tersebut dipengaruhi oleh budaya. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta mampu mencapai kepuasan hidup dengan penghasilan yang begitu kecil, mengingat kepuasan hidup merupakan dambaan setiap orang. Masih jarang ditemukan pula penelitian mengenai abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.

  Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1999) menggambarkan, mereka yang puas akan hidupnya adalah orang yang mampu menerima dirinya sendiri serta menikmati keadaan dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan antara harapan dan prestasi. Dalam penelitian mengenai kepuasan hidup, Neugarten dkk menggunakan struktur dasar kesejahteraan psikologis (psychological well-being) untuk mengungkap kepuasan hidup, karena istilah kesejahteraan psikologis sering disamaartikan dengan kepuasan hidup (dalam Ryff, 1989). Selain itu, Purnamasari (2003) juga menggunakan enam aspek kesejahteraan psikologis Ryff yang meliputi penerimaan diri, relasi positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi untuk mengungkap kepuasan hidup. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan enam aspek kesejahteraan psikologis Ryff untuk mengungkap kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.

  Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif, harapannya dapat memperoleh hasil yang lebih mendalam, begitu juga dalam khasanah ilmu psikologi pada umumnya masih jarang mengungkapkan dinamika kehidupan psikologis abdi dalem.

B. Rumusan Masalah

  Hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta? C.

   Tujuan Penelitian 1.

  Memperoleh gambaran yang lengkap mengenai kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.

2. Mengetahui sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat teoretis : a.

  Penelitian ini memberikan sumbangan informasi mengenai cara sebuah kultur tertentu memandang dan mengusahakan sebuah kondisi ideal.

  b.

  Sumbangan informasi terhadap penelitian-penelitian yang mengkaji tentang kaum minoritas, khususnya abdi dalem sebagai sekelompok orang yang seharusnya tidak selalu dipandang irasional dan tidak sejaman.

2. Manfaat praktis : a.

  Memberikan informasi terhadap Keraton Kasunanan Surakarta dan Pemerintah Daerah Surakarta mengenai pengabdian, kondisi kehidupan, dan kepuasan hidup abdi dalem, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi untuk lebih memperhatikan kesejahteraan abdi dalem dengan tidak menunda pemberian gaji setiap bulannya, karena abdi

  dalem merupakan sekelompok orang yang masih bersedia mempertahankan nilai kultural keraton.

  b.

  Memberikan informasi mengenai kepuasan hidup abdi dalem dan sistem nilai budaya Jawa yang digunakan abdi dalem untuk mencapai kepuasan hidup atau mengatasi ketidakpuasannya. Dengan demikian dapat menjadi masukan bagi abdi dalem yang lain dan masyarakat untuk meningkatkan kepuasan hidup.

BAB II LANDASAN TEORI A. Abdi Dalem Keraton 1. Pengertian Abdi dalem keraton adalah siapa saja yang bekerja di keraton atau

  mengabdi kepada raj2006). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), kata abdi berarti pegawai, hamba, atau orang bawahan. Menurut Kamus Bausastra Jawa, kata “abdi” diterjemahkan

  sebagai hamba atau sahaya, dan kata “dalem” berarti patik atau abdi raja. Oleh karena itu, menjadi abdi dalem berarti menjadi hamba raja di dalam istana, yang selalu mundhi dhawuh dalem atau mengemban titah raja (dalam Soebhan, 2007). Sedangkan menurut Soebhan (2007), abdi dalem adalah sekelompok warga masyarakat yang diberi prestise tinggi oleh pihak keraton sebagai pihak yang menduduki posisi antara lapisan golongan bangsawan dengan orang kebanyakan.

  Namun, penulis tidak mendapatkan pengertian abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, oleh karena itu penulis mengadopsi pengertian abdi

  dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengatakan bahwa abdi dalem adalah abdinya budaya Yogyakarta yang adiluhur ikut melestarikan

  kebudayaan dalam lingkungan agung Keraton Dalem, Daerah Istimewa Yogyakarta dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

  Jadi abdi dalem adalah siapa saja yang mau menjadi abdi budaya serta ditetapkan menggunakan surat kekancingan Sih Dalem (Anonim, 2006).

  Surat kekancingan Sih Dalem yaitu sejenis surat keputusan pengangkatan jabatan dari keraton (Nis, 2009).

  Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Yogyakarta GBPH H. Joyokusumo mengatakan Keraton Yogyakarta tidak memandang

  abdi dalem sebagai pembantu, tetapi petugas birokrasi keraton sekaligus

  abdi budaya. Abdi dalem yang tinggal di tengah masyarakat menjadi penyangga budaya keraton, karena mereka yang memberitahukan kepada masyarakat tentang kultur dalam keraton (Anonim, 2006).

2. Syarat menjadi Abdi Dalem Keraton

  Cara melamar supaya bisa mendapat posisi sebagai abdi dalem keraton mudah dan sederhana. Siapa saja bisa menjadi abdi dalem keraton, yang penting memiliki keinginan tulus dan ikhlas mengabdi kepada raja, serta ditetapkan menggunakan surat kekancingan Sih Dalem. Perekrutan

  abdi dalem baru biasanya dilakukan secara alamiah, yakni ketika ada abdi dalem yang meninggal, maka dilakukan secara gethok tular atau dari

  mulut ke mulut (Anonim, 2006).

  Peneliti menyimpulkan bahwa abdi dalem adalah semua orang yang bekerja dan mengabdikan dirinya di lingkungan keraton, yang disertai surat pengangkatan berupa surat kekancingan Sih Dalem dari keraton.

B. Kepuasan Hidup 1. Pengertian

  Datan dan Lohmann (dalam Purnamasari, 2003) mengatakan bahwa kepuasan hidup adalah suatu kondisi yang bersifat khas pada orang yang mempunyai semangat hidup dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi dalam diri maupun kondisi perubahan lingkungan. Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 1999) berpendapat bahwa kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan. Haditono (1984) menyatakan, hanya orang-orang yang aktif, yang dapat berprestasi, dan yang dapat berarti bagi orang-orang lain yang membutuhkannya, maka mereka itulah yang mencapai kepuasan.

  Seseorang yang tidak dibutuhkan lagi dalam kehidupan bersama, yang tidak mempunyai fungsi lagi, akan tidak puas dan tidak bahagia.

  Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1999) menggambarkan, mereka yang puas akan hidupnya adalah orang yang mampu menerima dirinya sendiri serta menikmati keadaan dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan antara harapan dan prestasi. Kepuasan hidup diartikan pula sebagai penilaian individu secara global mengenai kehidupannya. Definisi lain dari istilah kepuasan hidup ini adalah penilaian kognitif terhadap keseluruhan hidup individu (Diener, 2000).

  Kepuasan hidup atau yang biasanya disebut kebahagiaan adalah suatu keadaan sejahtera serta adanya kepuasan hati yang merupakan kondisi yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan tertentu individu terpenuhi (Hurlock, 1999). Menurut Santrock (1995), kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan. Kepuasan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pendapatan, kesehatan, gaya hidup yang aktif, serta adanya relasi dengan keluarga dan teman.

  Peneliti menyimpulkan bahwa kepuasan hidup merupakan suatu kondisi dimana seseorang dapat menikmati pengalaman yang baik dan buruk disertai rasa gembira, dan merasakan kepuasan hati bila kebutuhan dan harapannya terpenuhi, serta dapat berarti bagi orang lain yang membutuhkannya.

2. Aspek-aspek kepuasan hidup

  Istilah kesehatan mental atau well-being sering disamaartikan dengan kepuasan hidup. Dalam penelitian mengenai kepuasan hidup, Neugarten dkk menggunakan struktur dasar kesejahteraan psikologis (psychological well-being) untuk mengungkap kepuasan hidup (dalam Ryff, 1989).

  Dalam suatu penelitian, Ryff (1989) membuat suatu batasan mengenai kesejahteraan psikologis yang meliputi enam dimensi, yaitu penerimaan diri, relasi positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Dalam penelitian ini peneliti juga akan menggunakan struktur dasar psychological well-being untuk mengungkap kepuasan hidup, yaitu:

  a. Penerimaan diri

  Jung (dalam Ryff, 1989) mengartikan penerimaan diri sebagai kemampuan seseorang untuk menerima apa adanya sisi baik serta sisi buruk dari diri sendiri. Tahap perkembangan integritas ego dari teori Erikson (dalam Ryff, 1989) tidak hanya menitikberatkan pada penerimaan diri akan tetapi juga menerima kehidupan masa lalu dengan menyertakan segala keberhasilan dan kegagalan yang telah dilalui.

  Penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam diri meliputi kualitas baik dan buruk, serta kemampuan seseorang untuk memberikan pemahaman yang positif atas pengalaman masa lalunya.

  b. Relasi positif dengan orang lain

  Maslow (dalam Ryff, 1989) mendeskripsikan bahwa seseorang yang mengaktualisasikan diri adalah orang yang mampu menunjukkan ketertarikan sosial, yang tercermin dari kemampuan untuk memiliki perasaan empati yang kuat terhadap orang lain, mampu menjalin persahabatan yang mendalam, serta memiliki perasaan cinta yang sangat baik. Rogers (dalam Ryff, 1989) mengatakan bahwa orang yang berfungsi sepenuhnya adalah mereka yang memiliki kepercayaan kepada orang lain. Birren dan Renner (dalam Ryff, 1989) menjelaskan bahwa untuk memiliki mental yang sehat, setiap orang membutuhkan kemampuan untuk merespon sesama, untuk mencintai dan dicintai, dan berhasil menjalin relasi yang di dalamnya terdapat rasa saling memberi dan menerima.

  Individu yang memiliki relasi positif dengan orang lain adalah individu yang mampu menciptakan kehangatan dan memiliki kepercayaan kepada orang lain. Mereka juga memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu memahami, memiliki empati yang kuat, perasaan kasih dan keakraban, serta saling memberi dan menerima.

c. Otonomi

  Maslow (dalam Ryff, 1989) menjelaskan tentang aktualisasi diri sebagai kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan sosial dan berpikir untuk bertindak dengan cara yang diyakini. Sedangkan Jahoda (dalam Ryff, 1989) menitikberatkan otonomi pada kebebasan untuk menentukan apa yang akan dilakukan, serta kemampuan mengatur diri sendiri. Otonomi pada kesejahteraan psikologis mengarah pada kemampuan untuk menentukan pilihan bagi diri sendiri, kemerdekaan diri, dan mengatur perilaku diri sendiri.

  Otonomi diartikan sebagai kebebasan yang ada dalam diri individu untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri sendiri, serta mampu bertahan dalam menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara untuk mengatasinya.

  d. Penguasaan lingkungan

  Birren dan Renner (dalam Ryff, 1989) mengartikan penguasaan lingkungan dalam kesehatan mental sebagai besar kecilnya individu mengambil keuntungan dari kesempatan yang tersedia di lingkungan. Sedangkan Jahoda (dalam Ryff, 1989) mengartikan penguasaan lingkungan sebagai kemampuan individu memilih atau membuat lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik seseorang. Ryff (1989) menambahkan bahwa individu tersebut juga mampu menanggulangi aktivitas yang kompleks

  Kemampuan penguasaan lingkungan adalah kemampuan mengontrol aktivitas lingkungan yang kompleks, menggunakan kesempatan yang tersedia di lingkungan secara efektif, serta mampu memilih lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.

  e. Tujuan hidup

  Jahoda (dalam Ryff, 1989) memformulasikan tujuan hidup sebagai kemampuan individu untuk membentuk arah hidup yang di dalamnya terdapat tujuan serta makna hidup individu. Birren dan Renner (dalam Ryff, 1989) menjelaskan bahwa orang yang memiliki tujuan hidup adalah orang yang mampu menyatukan pengalaman- pengalaman pribadi menjadi makna yang penuh arti, karena pengalaman merupakan sesuatu yang harus dilalui untuk mencapai tujuan hidup. Ryff (1989) menambahkan bahwa individu tersebut juga memiliki keyakinan yang memberikan arah kehidupan.

  Individu yang memiliki tujuan hidup adalah individu yang memiliki keinginan atau cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup, percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan, dan mampu memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti.

f. Pertumbuhan pribadi

  Pertumbuhan yang optimal tidak saja melihat pada pencapaian kualitas hidup seseorang, akan tetapi melihat pada kemampuan seseorang untuk terus mengembangkan potensi yang dimiliki untuk bertumbuh dan mengembangkan diri sebagai manusia. Kemampuan beradaptasi pada setiap perubahan yang terjadi akan membuat diri individu menyediakan jalan bagi perubahan ke arah selanjutnya.

  Rogers (dalam Ryff, 1989) menekankan keterbukaan terhadap pengalaman sebagai sebuah karakteristik dari orang yang berfungsi sepenuhnya. Orang yang berfungsi sepenuhnya, selalu berkembang ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada satu tahap tertentu. Ryff

  (1989) menambahkan bahwa individu tersebut juga mampu menyadari potensi diri yang dimilikinya.

  Pertumbuhan pribadi merupakan kemampuan individu untuk menyadari potensi diri yang dimiliki, kemampuan membuka diri terhadap pengalaman baru, serta kemampuan untuk memproses diri ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu.

  Tabel 1. Ringkasan Aspek Kepuasan Hidup Aspek Kepuasan Hidup Keterangan Penerimaan Diri

   Mengetahui dan menerima segala kualitas baik dan buruk yang ada dalam diri

   Mampu memberikan makna yang positif atas pengalaman masa lalu Relasi Positif dengan Orang Lain  Mampu menjalin relasi yang dapat menciptakan kehangatan dan kepercayaan kepada orang lain

   Memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk di dalamnya kemampuan berempati, mengasihi, dan memahami orang lain

   Mampu menjalin keintiman dan kedekatan dengan orang lain, serta terdapat relasi saling memberi dan menerima Otonomi  Mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri sendiri

   Mampu bertahan menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara mengatasinya Penguasaan Lingkungan  Mampu mengontrol berbagai kegiatan yang kompleks

   Mampu memilih lingkungan yang sesuai kebutuhan dan nilai pribadi

   Mampu memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia di lingkungan secara efektif Tujuan Hidup  Memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup

   Percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan

   Mampu memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti Pertumbuhan pribadi

   Mampu menyadari potensi diri yang dimiliki

   Terbuka terhadap pengalaman baru

   Mampu berkembang ke arah yang lebih baik dan tidak

berhenti pada tahap pencapaian tertentu

C. Nilai Kejawen 1. Sistem Nilai Budaya

  Koentjaraningrat (1981) mengartikan sistem nilai budaya sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai dalam hidup dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Koentjaraningrat (1979) juga mengatakan bahwa sistem nilai budaya merupakan konsep-konsep yang abstrak, tanpa adanya perumusan yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya bisa dirasakan, tetapi sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Justru karena hanya bisa dirasakan dan tidak dirumuskan dengan akal yang rasional, maka konsep-konsep tersebut menjadi sangat mendarah daging pada mereka dan sulit dirubah atau diganti dengan konsep-konsep yang baru. Sedangkan Syukur (2007) menyatakan bahwa sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya juga sebagai wujud kebudayaan ideal paling abstrak yang berada dalam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup.

  Peneliti menyimpulkan bahwa sistem nilai budaya merupakan rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya, yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong tingkah laku manusia.

2. Peran Sistem Nilai Budaya dalam Proses Pencapaian Kepuasan Hidup

  Setiap individu memiliki cara berpikir dan cara hidup yang dipengaruhi oleh lingkungan, golongan, jaman, situasi, dan kondisi. Hal ini pada akhirnya membentuk susunan pandangan hidup yang merupakan hasil dari cara berpikir, serta interpretasi tentang pengalaman sosial dan budaya, sehingga pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman bagi pelaksanaan dan perbuatan di kemudian hari.

  Susunan pandangan hidup juga tidak dapat terlepas dari sistem nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat di mana kebudayaan tersebut hidup, karena sistem nilai budaya digunakan sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada tindakan manusia. Selain itu, sistem nilai budaya memberi kerangka kerja dalam pengambilan keputusan, serta dalam melaksanakan keputusan tersebut. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai budaya berkaitan erat dengan sikap, di mana keduanya menentukan pola tingkah laku manusia.

  Maka, sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah dan dorongan perilaku manusia.

  Proses pencapaian kepuasan hidup juga dipengaruhi sistem nilai budaya yang diyakini dan diterapkan oleh individu, karena kepuasan hidup merupakan kondisi yang bersifat khas dan setiap orang mempunyai pengalaman atau kondisi yang berbeda dalam mencapai kepuasan hidup.

  Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong, atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan sistem nilai budaya yang dipercayainya. Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini, terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik, atau diperbolehkan. Seperti pernyataan Koentjaraningrat (dalam Syukur, 2007) bahwa dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai budaya yang diyakininya.

  Dapat disimpulkan bahwa dalam proses pencapaian kepuasan hidup, individu berpikir, mengambil keputusan, serta bertindak sesuai dengan sistem nilai budaya yang mereka yakini. Hal ini disebabkan karena sistem nilai budaya merupakan pedoman tertinggi yang dianggap penting dan bernilai, sehingga sistem nilai budaya digunakan sebagai normatif mengenai sesuatu yang dianggap ideal oleh suatu masyarakat di mana sistem nilai budaya tersebut hidup. Pada akhirnya, individu menganut sistem nilai budaya yang diyakini untuk mencapai kepuasan hidup, karena mereka memiliki keyakinan bahwa kepuasan hidup akan tercapai apabila seseorang bertindak sesuai sistem nilai budaya yang dianggap ideal dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, sistem nilai budaya dijadikan sebagai preferensi dalam melakukan suatu tindakan, karena setiap individu ingin mencapai kepuasan hidup.

3. Sistem Nilai Budaya Jawa

  Budaya Jawa atau kebudayaan Jawa adalah suatu pola hidup yang terbentuk oleh sejarah, yang cenderung diikuti oleh seluruh, atau sebagian tertentu masyarakat Jawa (Sujamto, 1992). Menurut Koentjaraningrat (1979), sistem nilai budaya Jawa adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat Jawa, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Dengan demikian, sistem nilai budaya Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong tingkah laku manusia Jawa. Sistem nilai budaya Jawa yang dianut oleh masyarakat Jawa, yaitu: a.

   Pola Pergaulan Masyarakat Jawa

  Dalam kehidupan masyarakat Jawa ada bermacam-macam peraturan seperti kaidah-kaidah etiket Jawa yang mengatur kelakuan antar manusia yang tujuannya menjaga keselarasan dalam masyarakat. Geertz (dalam Suseno, 1996) menyebutkan ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama menyatakan bahwa dalam segala situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut prinsip rukun dan kaidah kedua disebut prinsip hormat.

  Dua prinsip tersebut menuntut bahwa dalam setiap bentuk interaksi, konflik-konflik terbuka harus dicegah dan dalam setiap situasi, pangkat dan kedudukan semua pihak yang bersangkutan harus diakui melalui sikap-sikap hormat yang tepat (Suseno, 1996). Prinsip hidup orang Jawa yang selalu berpijak pada sikap hormat dan rukun pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan keselarasan dan keharmonisan yang ada.

  Kedua prinsip tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai kerangka normatif dalam mengatur bentuk-bentuk interaksi dengan orang lain. Suseno (1996) mengatakan bahwa nilai rukun dan hormat secara turun-temurun telah mendasari pandangan-pandangan hidup orang Jawa, maka orang Jawa diharapkan dapat menginternalisasikan nilai rukun dan hormat dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika mereka harus berinterkasi dengan orang lain.

  Nilai rukun dan hormat juga merupakan keseluruhan ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan yang digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa sebagai pedoman dan pengendali tingkah laku mereka, serta menjadi sistem nilai dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan masyarakat Jawa (Suseno, 1996; Geertz, 1983). 1)

  Nilai Rukun Masyarakat Jawa sangat menekankan kehidupan rukun.

  Tujuan dari prinsip kerukunan adalah mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis dan selaras. Rukun menjadi karakteristik orang Jawa, sehingga keadaan rukun perlu dijaga dalam sebuah hubungan sosial, baik dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, ataupun bernegara (Suratno dan Astiyanto, 2005).

  Keadaan rukun dapat tercapai ketika semua pihak dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, terdapat suasana tenang dan sepakat, tanpa perselisihan dan pertentangan (Suseno, 1996). Maka prinsip kerukunan menuntut masyarakat untuk menyingkirkan apa saja yang bisa menimbulkan konflik-konflik, keresahan, perselisihan, atau apapun yang akan mengganggu keselarasan masyarakat yang telah ada (Suseno, 1983). Konflik-konflik terbuka baik konflik sosial ataupun pribadi dalam bentuk apapun harus dihindari. Pada dasarnya, kerukunan menuntut untuk mencegah apapun yang bisa mengancam keselarasan dan kerukunan dalam masyarakat (Geertz, 1983).

  Orang Jawa diharapkan juga mampu mengendalikan diri dan menyembunyikan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan orang lain. Apabila ada kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan, maka diperlunak dengan teknik-teknik kompromi tradisional, jangan sampai ambisi-ambisi pribadi diperlihatkan, sehingga tidak akan menimbulkan konflik (Suseno, 1996). Tiap individu diharapkan berusaha menahan diri dengan bertindak sareh yang artinya sabar dan alus yang artinya lembut (Bastomi, 1992).

  Rukun didasarkan pada nilai untuk mengendalikan hasrat hati sendiri, menjaganya agar tidak lepas dari kesadaran, atau setidaknya tidak terucapkan, sehingga terhindarkan dari tanggapan emosional yang berlawanan dari pihak lain (Geertz, 1983). Mereka diharapkan mampu mawas diri, mempunyai kontrol diri, dan kontrol emosi, sehingga konflik-konflik yang ada tidak menjadi kentara atau pecah di permukaan (Suseno, 1983).

  Kerukunan diwujudkan pula melalui tradisi gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Gotong royong merupakan kerjasama secara sukarela yang dilakukan untuk membantu seseorang atau dilakukan demi kepentingan bersama, gotong royong untuk meringankan beban seseorang misalnya diwujudkan dalam rewang, yaitu memberikan bantuan tenaga pada saat tetangga atau sanak saudara mempunyai hajat seperti pesta perkawinan, slametan, dan lain-lain. Bantuan secara spontan dan tanpa pamrih kepada tetangga yang mengalami peristiwa kematian disebut layatan. Sedangkan istilah gotong royong sendiri lazim diartikan sebagai kegiatan untuk kepentingan bersama, misalnya kerja bakti memperbaiki jalan.

  Kerukunan terungkap pula dalam kebiasaan rembug desa (musyawarah desa). Dalam rembug desa, semua suara dan pendapat diperdengarkan. Kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran dicapai berdasarkan pertimbangan, pemberian, dan penerimaan pendapat dari seluruh partisipan, karena semua pendapat dihormati, maka kerukunan dapat terwujud (Suseno, 1996).

  Dalam kebiasaan gotong royong dan rembug desa, idealnya harus termuat sikap-sikap sebagai berikut: rila (rela), yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil kerja dengan keikhlasan hati; nrima (menerima), yaitu menerima nasib dengan tenang, terima kasih, tanpa ada pemberontakan. Dengan menjalankan rila dan nrima maka seseorang bisa bersikap sabar yang berarti sanggup menunggu saatnya dengan tenang, dalam keyakinan bahwa apa yang akan terjadi sudah ditentukan dan tidak perlu didesak-desak. Orang yang sabar akan memiliki kontrol diri yang baik (De Jong, 1976). Sikap lain yang penting untuk mewujudkan kerukunan ialah sepi ing pamrih, rame ing gawe, yaitu sebuah sikap untuk bekerja keras secara tanggung jawab untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat tanpa menginginkan pamrih (imbalan), serta selalu menjalankan tugas, atau pekerjaannya yang telah diberikan oleh Tuhan (De Jong, 1976; Soetrisno, 1977).

  2) Nilai Hormat