PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH PROBLEM B
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI SISWA KELAS X SMA LABORATORIUM MALANG SKRIPSI OLEH DWI PUTRA LELANA 105431481656 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS EKONOMI JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN EKONOMI JANUARI 2010
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI SISWA KELAS X SMA LABORATORIUM MALANG
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Negeri Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Ekonomi
Oleh Dwi Putra Lelana NIM 105431481656
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS EKONOMI JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN EKONOMI JANUARI 2010
Skripsi oleh Dwi Putra Lelana telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Malang, Januari 2010 Pembimbing I
Drs.Prih Hardinto, M.Si NIP. 195606221982031003
Malang, Januari 2010 Pembimbing II
Drs. Mardono, M.Si NIP. 195709071986011001
Skripsi oleh Dwi Putra Lelana ini telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 18 Januari 2010
Dewan Penguji
Drs.Prih Hardinto, M.Si
(Ketua)
NIP. 195606221982031003
Drs. Mardono, M.Si
(Anggota)
NIP. 195709071986011001
Dra. Lisa Rokhmani, M.Si
(Anggota)
NIP. 19621231986012002
Mengetahui, Mengesahkan, Ketua Jurusan Ekonomi
Dekan Fakultas Ekonomi
Dr. Hari Wahyono, M.Pd
Dr. Ery Tri Djatmika RWW, M.A, M. Si
NIP. 195712261986031002
NIP. 196106111986011001
ABSTRAK
Putra Lelana, Dwi. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas X-1 SMA LABORATORIUM MALANG. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (UM). Pembimbing : (I) Drs. Prih Hardinto, M. Si (II) Mardono, M. Si.
Kata Kunci : Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning),
Kemampuan Berpikir Kritis, Hasil Belajar
Model pembelajaran yang sering dipakai dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah sangat mempengaruhi kondisi siswa. Dari hasil observasi di SMA LABORATORIUM Malang, dalam proses belajar mengajar seringkali terlihat siswa pasif. Terlihat bahwa banyak siswa yang hanya mendengarkan pada waktu guru menerangkan, banyak siswa yang sibuk membuka catatan dan mengobrol dengan teman sebangkunya apabila guru mengajukan pertanyaan. Hal ini dikarenakan dalam proses belajar mengajar, siswa hanya menerima materi pelajaran dari guru saja. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi kondisi siswa dalam menanggapi permasalahan- permasalahan yang diberikan oleh guru. Hal ini juga berpengaruh pada hasil belajar siswa, dapat dilihat bahwa presentase rata-rata nilai kelas masih di bawah standar kelulusan minimum sebesar 58,28. Dengan keadaan siswa yang seperti itu, maka dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa tersebut masih rendah. Sehingga perlu adanya suatu model pembelajaran yang bisa membuat siswa mampu menanggapi dan mengatasi permasalahan yang diberikan oleh guru. Salah satu model pembelajaran yang bisa dipakai dalam upaya meningkatkan kondisi siswa agar mampu menanggapi dan mengatasi masalah-masalah yang diberikan oleh guru adalah Pembelajaran Berbasis Masalah. Pembelajaran dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan salah satu penerapan pembelajaran yang menghadirkan suatu permasalahan dunia nyata ke dalam kelas.
Latar belakang tersebut memunculkan permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut.(1) bagaimanakah penerapan model pembelajaran berbasis masalah untuk menigkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi di SMA LABORATORIUM Malang, (2) bagaimanakah penerapan model pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi di SMA LABORATORIUM Malang.
Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X SMA LABORATORIUM Malang setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran ekonomi, (2) untuk mendeskripsikan hasil belajar siswa kelas X SMA LABORATORIUM Malang setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
i
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan kondisi yang sebenarnya di dalam kelas. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purpossive sampling. Analisis data dilakukan secara deskriptif prosentase, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa kelas X SMA LABORATORIUM Malang.
Hasil penelitian menunjukkan persentase ketercapaian guru dalam menerapkan langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah pada siklus I sebesar 83,33, sedangkan ketercapaian guru dalam menerapkan langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah pada siklus II yaitu sebesar 90,91. Hal ini dapat terlihat adanya peningkatan prosentase sebesar 7,58. Sedangkan dari observasi kegiatan siswa pada siklus I dalam ketercapaian siswa dalam menerapkan langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah sebesar 75, dan pada siklus
II ketercapaian siswa dalam menerapkan langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah sebesar 87,5. Tampak bahwa ketercapaian siswa dalam menerapkan langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah mengalami peningkatan sebesar 12,05. Pada data kemampuan berpikir kritis pada siklus I prosentasenya sebesar 46,05, sedangkan pada siklus II sebesar 73,09. Dapat dilihat bahwa kemampuan berpikir kritis siswa meningkat sebesar 27,04 dari siklus
I ke siklus II. Hasil belajar siswa berdasarkan lembar penilaian hasil belajar siklus I sebesar 76,58 dan siklus II sebesar 79,21. Hal ini mengalami peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 2,63.
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran melalui metode Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sebesar 27,04 , dan hasil belajar siswa sebesar 2,63, dalam proses belajar mengajar siswa menjadi lebih tertarik karena guru memberikan variasi-variasi dalam proses belajar mengajar sehingga siswa tidak lagi merasa bosan. Selain itu, dalam proses pembelajaran siswa lebih berperan aktif dalam menanggapi permsalahan-permasalahan yang diberikan oleh guru. Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan : (1) Guru mata pelajaran Ekonomi disarankan untuk menerapkan model pembelajaran melalui metode Pembelajaran Berbasis Masalah sebagai alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. (2) Dalam pelaksanaan masing-masing fase pembelajaran, hendaknya guru perlu mempertimbangkan pembagian waktu secara efektif dan efisie. (3) Bagi peneliti yang berikutnya ingin meneliti hal yang sama, bisa mencobakan pembelajaran melalui metode Pembelajaran Berbasis Masalah untuk materi Ekonomi lainnya yang lebih melibatkan aktivitas siswa sehingga menuntut adanya kreatifitas siswa yang lebih.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya, sehingga penulisan skripsi yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PROBLEM BASED LEARNING) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Kelas X SMA LABORATORIUM Malang”, dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam tetap tercurahkan keapada Nabi Muhammad, SAW.
Penulis menyadari, bahwa penyelesaian skripsi ini tidak luput dari beberapa dorongan dan bantuan dari semua pihak. Maka dari itu, ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada:
• Bapak Drs. Prih Hardinto, M. Si. selaku pembimbing I, terimakasih atas
kesabarannya yang tak hanya memberikan saran dan bimbingan, tetapi juga semangat.
• Bapak Drs. Mardono, M. Si. selaku pembimbing II, terimakasih atas saran dan
bimbingannya. • Dra. Hj, Lisa Rokhmani, M.Si selaku dosen penguji skripsi, terimakasih atas
saran dan kritiknya yang sangat membantu. • Drs. Ridwan Joharmawan, M.Si selaku kepala sekolah SMA
LABORATORIUM Malang yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
• Ibu Heni Wardati, S.Pd. selaku guru ekonomi SMA LABORATORIUM
Malang, yang telah membantu penulis dengan sepenuh hati. • Siswa kelas X-1 SMA LABORATORIUM Malang, terimakasih atas
kerjasamanya. • Bapak Hariyanto dan Ibu Sumarlik selaku orang tua tercinta, yang
memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa-doa yang terus mengalir.
• Semua teman-teman terbaikku, terima kasih atas motivasi, semangat, nasehat,
dan semua yang telah kalian berikan kepadaku • Teman-temanku di EKP’05, terimakasih buat kebersamaannya selama ini. • Wilis Dian Renandya, yang selalu memberikan semangat dan motivasi selama
penulisan skripsi ini • Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.
Bagai gading yang tak retak, demikian juga skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.
Malang,18 Januari 2010
Penulis
20. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari SMA Laboratorium Malang
21. Format Kegiatan Konsultasi Skripsi kepada Pembimbing I
22. Format Kegiatan Konsultasi Skripsi kepada Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik (Nurkolis, 2004). Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup, inilah sebenarnya arah Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu pendidikan berbasis keterampilan (life skill) dan perluasan fungsi dasar pendidikan (broad based education). Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dolar Amerika, master 40 juta dolar Amerika, dan sarjana 33 juta dolar Amerika. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpenghasilan rata-rata 19 juta dolar Amerika per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-
rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas Rp 3,5 juta, akademi Rp 3 juta, SLTA Rp 1,9 juta , dan SD hanya Rp 1,1 juta.
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa banyak perubahan di segala segi kehidupan manusia, baik yang berdampak positif maupun negatif. Hal tersebut tentunya harus didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berkompeten. “Berdasarkan catatan Human Development Report Tahun 2003 versi UNDP, peringkat Human Development Index (HDI) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada pada urutan 112 di dunia”, (Nurhadi,dkk. 2004:1).
Rendahnya kualitas SDM Indonesia lebih dikarenakan mutu dan kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencetak SDM yang berkualitas dan berkompeten di bidang masing-masing. SDM yang dihasilkan diharapkan mampu bertahan dan menang dalam menghadapi persaingan global. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu “secara mikro pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar
(maju, cakap, cerdas, kreatif, inovatif, dan bertanggungjawab), dan berkemampuan komunikasi sosial” (Mulyasa, 2004:21).
Perlunya perbaikan mutu pendidikan di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai strategi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan perubahan kurikulum, yaitu dari Kurikulum 1994 GBPP 1999 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau krikulum 2004 dan berubah lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006.
Konsep KBK berbeda dalam banyak hal dengan Kurikulum 1994. Pertama, KBK menggunakan pendekatan kompetensi (competency based approach) untuk memperoleh pemahaman dan kemampuan tertentu yang terkait dengan kehidupan di masyarakat (life skill). Sedangkan Kurikulum 1994 menggunakan pendekatan isi atau materi (content based approach) untuk menguasai bidang ilmu pengetahuan tertentu (learning to know). Itu sebabnya dalam praktik pengajaran di kelas, guru acap kali memberikan hafalan atau latihan soal dan mengesampingkan kompetensi individual. Dengan begitu, konsep KBK sejalan dengan konsep pembelajaran menurut UNESCO (Delors, 1999) yang mengarahkan pendidikan pada empat pilar: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Karena kurikulum konvensional berbasis pada isi (content based), maka proses pembelajarannya berorientasi pada buku teks (textbook-oriented) dimana dalam praktiknya amat tergantung pada guru (teacher-centered), sedang pada KBK bahan ajar yang dipilih menggunakan bantuan multimedia. Dari sini KBK diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih efektif dan
efisien sekaligus menyenangkan karena berupaya memadukan antara pendidikan (education) dengan hiburan (entertainment) atau edutainment. Adapun peranan guru dalam konsep KBK adalah sebagai fasilitator atau nara sumber dimana guru memberi bimbingan seperlunya pada siswa yang aktif terlibat dalam proses pembelajaran (active learning).
Konsep KBK menerapkan orientasi student centered atau berpusat pada siswa, yang dilaksanakan tidak harus di ruang kelas, sehingga peserta didik aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Adapun Kurikulum 1994 cenderung bersifat teacher centered atau berpusat pada guru, yang pelaksanaannya terbatas hanya di ruang kelas secara konvensional. Selain itu evaluasi KBK berbasis kelas dan menekankan pada proses dan produk pendidikan, bukan berorientasi pada pencapaian target tujuan kurikulum, seperti dalam Kurikulum 1994, yang tidak menyentuh aspek kepribadian peserta didik. Evaluasi pada kurikulum konvensional didasarkan pada kecepatan kelompok, sementara KBK melihat kecepatan individual. Itu sebabnya, kemajuan siswa dalam KBK berprinsip pada penghargaan atas kemajemukan siswa dalam satu kelas, bukan upaya penyeragaman perlakuan. Feed back atau umpan balik dalam kurikulum konvensional dilakukan tidak secara langsung setelah satu unit pembelajaran selesai dilaksanakan, melainkan ditunda dalam tahapan waktu tertentu, seperti dalam satu catur wulan, semester atau tingkat. Berbeda dengan itu, KBK menerapkan umpan balik seketika setelah satu unit pembelajaran selesai dilakukan.
Akibatnya, penerapan KBK akan merubah banyak hal tentang sistem pendidikan kita. Dalam KBK, guru secara administratif membuat persiapan
mengajar dengan orientasi kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator prilaku siswa, bukan berupa penjabaran tujuan pengajaran yang kaku. Di lingkungan sekolah jenjang SLTA, di samping diadakan pengkhususan Program Studi IPA, IPS, dan Bahasa, seperti yang masih berlaku sampai saat ini, juga disediakan kurikulum non-pengkhususan Program Studi, dimana peserta didik diberi kebebasan memilih sejumlah mata pelajaran yang sesuai dengan potensi, bakat dan minatnya. Struktur kurikulum non-pengkhususan Program Studi ini mencakup seluruh bidang studi pengkhususan Program Studi di atas.
Selain beberapa hal di atas, kurikulum konvensional berbasis waktu, sedangkan KBK menerapkan kurikulum berbasis kinerja, kurikulum konvensional berorientasi pada mata pelajaran, sementara KBK pada moduler yang menekankan pada belajar tuntas (mastery learning) dan belajar kerkelanjutan (continous learning), dimana sebelum satu modul mampu dikuasai, seorang siswa belum bisa pindah ke modul berikutnya. KBK menjabarkan kompetensi dasarnya melalui hasil belajar beserta indikatornya (learning outcomes) yang dibuat secara objektif melalui acuan kriteria penilaian yang jelas.
Betapa pun di atas kertas, konsep KBK dipandang memberi alternatif atas kelemaham kurikulum konvensional, dalam realisasinya belum tentu menampakkan hasil yang sama antara satu lembaga dengan lainnya, mengingat bahwa kurikulum merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor pendidikan yang mempengaruhi keseluruhan proses pendidikan. Asumsinya, penerapan KBK secara konsisten akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita. Secara teoritik-konseptual asumsi demikian adalah sah, meskipun dalam praktiknya belum tentu membawa akibat yang sama antara satu lembaga dengan lembaga
lain yang sama-sama menerapkan konsep tersebut, masih tergantung pada kesiapan dan kemampuan masing-masing lembaga pendidikan. Sebab, apa yang dinyatakan di atas kertas baik, belum tentu dalam pelaksanaannya demikian. Seperti itu pula halnya dengan penerapan konsep KBK, efektifitasnya belum tentu sama pada tiap lembaga.
Inovasi dalam bidang kurikulum ini dimaksudkan untuk mengubah paradigma lama yang selama ini melekat dalam dunia pendidikan Indonesia, yaitu pada kurikulum sebelum KBK dan KTSP proses belajar mengajar di sekolah cenderung berpusat pada guru (Teacher Centered). Sehingga dengan diterapkannya KBK dan KTSP diharapkan peranan guru di kelas bergeser sebagai fasilitator bagi siswa, sementara siswa dituntut untuk bisa lebih aktif dan mandiri dalam belajar. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahwa kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip: a) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, b) tanggap terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, kepentingan peserta didik dan lingkungannya (Depdiknas, 2006:5). Jadi dalam kurikulum 2006, lebih menekankan pada pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun kemampuan bekerja ilmiah, pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru (Depdiknas, 2006:1).
Beberapa hal yang mendukung keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, yaitu kemampuan guru dalam menguasai dan menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan mampu menjadikan siswa untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, karena akan mendorong siswa untuk lebih tanggap dan kreatif terhadap permasalahan
yang ada. Model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk tujuan tersebut adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yaitu suatu pendekatan pembelajaran melalui upaya-upaya mengahadapkan siswa dengan permasalahan riil yang memancing proses belajar mereka (Mukhlis, dkk.2005:11). Problem Based Leraning memberikan kebebasan kapada siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan perhatiannya, sehingga dalam Problem Based Learning siswa akan terlibat intensif dan aktif, yang pada akhirnya bisa membuat siswa untuk terus belajar dan terus mencari tahu meningkat.
Dalam proses pembelajaran berbasis masalah, kegiatan yang dilakukan oleh guru adalah menghadirkan permasalahan dunia nyata di dalam kelas yang tentunya berkaitan dengan materi atau indikator yang akan dicapai, sehingga siswa akan terlibat langsung dalam memecahkan masalah yang ada dengan menggunakan keterampilan serta pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Permasalahan dalam pendekatan ini menjadi komponen yang sangat penting, karena tema-tema permasalahan yang dirancang harus mencakup semua tuntutan kurikulum, Barrows dan Myers (dalam Mukhlis, dkk. 2005:13). Peran guru dalam proses ini adalah mamacu siswa untuk berpikir kritis dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.”PBL dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri” (Nurhadi, dkk. 2004:58).
Berdasarkan tujuan dari pembelajaran berbasis masalah, siswa nantinya diharapakan mampu untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang
diberikan oleh guru dikelas. Nurhadi, dkk (2004:58) menyatakan bahwa “berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar inferensi atau pertimbangan yang seksama”. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa “berpikir kritis merupakan kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi dan mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain” (Johnson, 2002:183). Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam, karena dengan pemahaman akan dapat mengungkapkan makna dari suatu kejadian atau masalah.
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru mata pelajaran ekonomi kelas X SMA LABORATORIUM Malang diperoleh informasi bahwa dalam proses belajar mengajar, siswa masih kurang berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Hal ini terlihat dari pasifnya siswa-siswa dalam proses pembelajaran, banyak siswa yang sibuk membuka catatannya di saat guru menerangkan atau memberikan pertanyaan. Beberapa siswa juga terlihat mengobrol dengan teman sebangkunya disaat proses belajar mnegajar. Selain itu, dari kondisi yang pasif tersebut berpengaruh pada hasil belajar siswa. Terlihat bahwa presentase nilai rata-rata kelas masih di bawah standar kelulusan minimum sebesar 58,28 .Dari kondisi siswa yang sperti ini maka dapat dilihat bahwa tingkat kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa tersebut masih rendah. Maka dari itu, peneliti beranggapan perlu adanya suatu model pembelajaran yang tepat yang mampu membuat siswa memahami materi sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Maka dari itu, peneliti beranggapan perlu adanya suatu model pembelajaran yang tepat yang mampu membuat siswa menjadi aktif dan mampu memahami materi sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selain itu, agar siswa dapat mengaplikasikan materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari, serta tanggap terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan sekitarnya.
Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa, maka diperlukan usaha untuk memperbaiki proses belajar mengajar dikelas. Hal ini yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa dengan menerapkan pembelajaran ekonomi berbasis masalah. Penelitian ini diberi judul “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Kelas X SMA LABORATORIUM Malang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah penerapan model pembelajaran berbasis masalah untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis di kelas X pada mata pelajaran ekonomi SMA LABORATORIUM Malang ?
2. Bagaimana penerapan model pembelajaran berbasis masalah untuk
meningkatkan hasil belajar siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi SMA LABORATORIUM Malang ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X SMA
LABORATORIUM Malang setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran ekonomi
2. Untuk mendeskripsikan hasil belajar siswa kelas X SMA LABORATORIUM
Malang setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran ekonomi
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi pengajar
Sebagai bahan masukan bagi guru ekonomi untuk memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran khususnya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar ekonomi siswa di kelas X SMA LABORATORIUM Malang.
2. Bagi Siswa
Memberi kesempatan pada siswa untuk mempelajari ekonomi melalui permasalahan yang ada di sekitar mereka dan berusaha untuk memecahkannya, sehingga akan membuat siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap permasalahan serta mudah dalam belajar.
3. Bagi peneliti
Sebagai bekal untuk menjadi guru dan sebagai dasar penelitian lebih lanjut.
E. Asumsi penelitian
1. Siswa mampu mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning dengan baik
2. Siswa mengerjakan soal tes hasil belajar dengan sungguh-sungguh dan sesuai
dengan kemampuan sendiri
F. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Ruang Lingkup Penelitian
a. Ruang linkup penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas
dan variabel terikat. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran berbasis maslah, sedangkan variabel terikatnya. kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa.
b. Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA
LABORATORIUM Malang.
c. Banyaknya kelas yang diambil sebagai sampel penelitian ada 1 kelas.
2. Keterbatasan Penelitian
a. Penelitian ini hanya dilakukan pada mata pelajaran ekonomi kelas X SMA
LABORATORIUM Malang dengan pokok bahasan perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi.
b. Penelitian ini hanya dilakukan dalam dua siklus selama 4 kali pertemuan,
hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dideskripsikan beberapa istilah sebagai berikut.
1. Metode pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang berusaha untuk mengahdirkan kehidupan nyata dalam kelas dengan memberikan masalah-masalah yang terkait dengan materi pelajaran di sekolah, sehingga siswa akan lebih tanggap terhadap permasalahan yang ada di sekitar mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan memberikan suatu permasalahan yang ada di buku-buku pelajaran maupun permasalahan melalui artikel yang dikutip melalui internet.
2. Kemampuan berpikir kritis adalah adalah kemampuan siswa dalam
memberikan solusi pemecahan terhadap masalah yang diberikan oleh guru dengan memperhatikan indikator-indikator yang sesuai dengan kriteria berpikir kritis. Untuk menilai kemampuan berpikir kritis siswa, dapat diketahui dengan melihat kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan yang ada di lembar permasalahan yang telah diberikan oleh guru.
3. Hasil belajar adalah perubahan-perubahan tingkah laku siswa baik berupa aspek kognitif setelah mengalami proses belajar mengajar. Dalam penilaian hasil belajar siswa, dapat kita lihat dari hasil tes yang diberikan oleh guru.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Hakekat Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan di segala aspek kehidupan manusia. Belajar merupakan proses otak atau pikiran mengadakan reaksi terhadap kondisi-kondisi di luar, dan reaksi tersebut dapat dimodifikasi dengan pengalaman-pengalaman yang dialaminya setiap hari.
Secara definitif terdapat sejumlah pengertian tentang belajar. Pada umumnya orang mengartikan belajar sebagai proses perubahan tingkah laku atau perubahan dari yang tidak tahumengerti menjadi tahumengerti. Menurut Yoto (1992:2) “belajar adalah usaha untuk mengubah tingkah laku dalam rangka pemuasan kebutuhan berdasarkan pemikiran, pengalaman, dan latihan”. Sedangkan Winkel (1996:53) mengemukakan bahwa “belajar sebagai suatu aktivitas mentalpsikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan- pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”.
Chaplin, 1972 (dalam Syah, 2006:64) membatasi belajar dengan dua rumusan sebagai berikut.
Rumusan pertama berbunyi: “………acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience” (belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Rumusan keduanya adalah: “process of acquiring responses as a result of special practice” (belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus)
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulakan yaitu belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan yang baru yang mengakibatkan perubahan tingkah laku pada individu yang bersangkutan, dimana kegiatan tersebut bisa diperoleh berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Proses belajar yang dilakukan oleh individu tentunnya tidak akan terlepas dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu proses dimana dapat mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan proses belajar dengan berdasrkan prinsip-prinsip pembelajaran dalam upaya untuk meningkatkan mutu dan kualitas belajar siswa. Menurut Romiszowski (dalam Dimyati, 2002) pembelajaran merupakan proses pengajaran yang berpusat pada tujuan atau goal directed teaching process yang dalam banyak hal dapat direncanakan sebelumnya (pre planned). Saputra, dkk (2003:5) berpendapat bahwa “pembelajaran adalah tindakan yang dirancang untuk menghasilkan terjadinya proses belajar”. Dimasa lampau peran guru yang utama adalah penyebar informasi. Tindakan yang dilakukan oleh guru adalah berceramah kepada sejumlah anak di kelas, memelihara disiplin kelas, mengevaluasi tiap-tiap siswa secara hati-hati melalui tanya jawabtes, tetapi seiring dengan perkembangan pengetahuan dan semakin kompleksnya pengetahuan manusia sekarang ini, tindak pembelajaran yang
diperankan guru tidak sekedar penyebar informasi tetapi juga memegang berbagai peran antara lain sebagai fasilitator, orang sumber, organisator, moderator, maupun evaluator. Walaupun demikian dalam kegiatan pembelajaran peran guru sangatlah penting, karena tugas dari seorang guru adalah mampu mengelola pembelajaran dengan efektif sehingga proses belajar-mengajar akan mendapatkan hasil yang maksimal.
B. Pembelajaran Kontesktual
Pembelajaran kontekstual merupakan sesuatu yang banyak dibicarakan di dunia pendidikan saat ini. Pembelajaran kotekstual adalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan cara mengahadirkan konsep dunia nyata kedalam kegiatan pembelajaran dikelas dan memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan kejadian-kejadian yang ada disekitar mereka. Pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada keaktifan siswa dalam menggunakan seluruh pengetahuannya untuk memahami dan menerapkan konsep- konsep yang diberikan oleh guru. Hal ini bertujuan agar nantinya siswa mampu menerapkan pengetahuan yang mereka miliki sehingga bisa memecahkan masalah yang meraka hadapi dikehidupan sehari-hari. Nurhadi, dkk (2004:19-20) menyatakan bahwa “pembelajaran kontekstual” harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut.
1. Belajar berbasis masalah, yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran.
2. Pengajaran autentik, yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna.
3. Belajar berbasis inquiri yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4. Belajar berbasis proyektugas yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dengan cara mendesain lingkungan belajar siswa (kelas) agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya.
5. Belajar berbasis kerja yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja.
6. Belajar berbasis layanan yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut.
7. Belajar kooperatif yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
Nurhadi, dkk (2004:31) dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, menjelaskan “tujuh komponen utama yang menjadi ciri dalam penerapan pembelajaran kontekstual di dalam kelas yaitu: kontruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), Menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment) . Suatu pembelajaran di kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika menggunakan tujuh komponen tersebut”. Selengkapnya mengenai komponen- komponen tersebut, diuraikan sebagai berikut.
a) kontruktivisme Dalam kontruktivisme belajar siswa akan lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b) menemukan Kegiatan menemukan pada intinya adalah suatu siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis dan menemukan teori, baik perorangan maupun kelompok. Dengan siklus tersebut siswa nantinya diharapkan dapat berpikir secara kritis dalam menemukan sendiri jawaban dan solusi dari suatu permasalahan.
c) bertanya Kemampuan guru dalam mendorong siswa untuk lebih aktif dalam bertanya sangatlah penting untuk mengarahkan siswa memperoleh informasi serta dapat digunakan untuk menilai dan melatih kamampuan siswa berpikir kritis.
d) masyarakat belajar Dalam mayarakat belajar hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain, sharing antar teman, anatar kelompok, dan antar mereka yang tahu dengan mereka yang tidak tahu.
e) pemodelan Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswinya melakukan.
f) refleksi Refleksi merupakan cara-cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari, menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas, dan pengalaman, serta mencatat apa yang telah kita pelajari serta bagaimana kita merasakan ide-ide baru.
g) penilaian yang sebenarnya Menilai tentang yang seharusnya kita nilai, menilai dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber dengan sebenarnya. Mengukur keterampilan dan pengetahuan siswa serta penerapannya dan tugas-tugas yang konteks dan relevan.
Dari uraian di atas maka pembelajaran kontekstual merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam KTSP, yang mungkin bisa mengurangi kejenuhan siswa dalam menerima pelajaran di kelas serta bisa membuat suasana belajar lebih menyenangkan dan bermakna bagi siswa.
C. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Problem Based Learning, yang dikembangkan oleh Barrows, merupakan suatu model pembelajaran yang populer dalam dunia kedokteran sejak tahun 1970-an. “Pada dasarnya, PBL hampir sama dengan cased-based learning, salah
satu model pembelajaran dalam bidang hukum; goal-based scenario model; dan just-in-time training model dalam pembelajaran manajemen dan bisnis; project- based learning model dalam pembelajaran MIPA di sekolah dasar dan menengah. Semuanya berfokus pada penyajian suatu permasalahan (nyata ataupun simulasi) kepada siswa, kemudian siswa diminta mencari pemecahannya melalui serangkaian penelitian dan investigasi berdasarkan teori, konsep, prinsip yang dipelajarinya dari berbagai bidang ilmu (multiple perspective)” (Pannen, dkk. 2001:85). Nurhadi, dkk (2004:56) mengemukakan bahwa “pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran”.
Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) memberikan kebebasan kepada siswa dalam proses pembelajaran. Problem based learning memberikan kendali kepada individu untuk belajar sesuai dengan minat dan kemampuan serta pengetahuan yang dimilikinya. Dalam PBL diharapkan siswa mampu untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data, dan menggunakan data tersebut untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Akhirnya guru berperan dalam menyajikan masalah serta lebih sebagai narasumber dibanding sebagai pemberi informasi, guru meluruskan alur pikir dan prinsip-prinsip yang telah digunakan siswa dalam belajar.
Menurut Nurhadi, dkk (204:57) ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.
1) Pengajuan pertanyaan atau masalah Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin Masalah yang dipilih untuk diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3) Penyelidikan autentik Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan siswa untuk melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang ada.
4) Menghasilkan produkkarya dan memamerkannya Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Selain itu tujuan dari pembelajaran berbasis masalah menurut Mukhlis, dkk (2005:11) adalah sebagai berikut.
1) Memotivasi belajar siswa
2) Mengembangkan kemampuan siswa mengambil keputusan
3) Meningkatkan kesadaran siswa terhadap kompleksitas permasalahan dunia nyata
4) Mengembangkan kemampuan self-directed learning siswa
5) Memperluas area belajar siswa lebih dari yang disajikan kepadanya
6) Mengembangkan cara berpikir holistik dan mendalam pada diri siswa
7) Menumbuhkan antusiasme belajar berdasarkan pengalaman pribadi dan perkembangan yang ada disekitarnya
8) Mendorong minat siswa melakukan investigasi melampaui prekonsepsi yang dimiliki siswa sehingga menjadi leih inovatif dan kritis.
Menurut Nurhadi, dkk (2004:60) “pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahapan utama yaitu dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja”. Secara lengkap lima tahapan dalam pembelajaran bebasis masalah disajikan dalam tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Tahap-tahap Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan
Tingkah Laku Guru
Tahap 1:
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
Orientasi siswa kepada
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi
masalah
siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 :
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
Mengorganisasi siswa
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
untuk belajar
dengan masalah tersebut
Tahap 3 :
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
Membimbing
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen,
penyelidikan individual
untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
dan kelompok
masalah
Tahap 4 :
Guru membantu siswa merencanakan dan
Mengembangkan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
menyajikan hasil karya
video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan teman
Tahap 5 :
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau
Menganalisa dan
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-
mengevaluasi proses
proses yang mereka gunakan
pemecahan masalah
Sumber : Nurhadi, dkk (2004:60)
Menurut Aini (2006:15-16) mengelompokkan tingkah laku guru dan siswa berdasarkan tahapan-tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah. Pengelompokan tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2. Tingkah laku guru dan siswa dalam Problem Based Learning
No.
Tingkah Laku Guru
Tingkah Laku siswa
1 Guru menjelaskan tujuan
Siswa memperhatikan penjelasan dari
pembelajaran, menjelaskan
guru tentang tujuan pembelajaran dan
logistik yang dibutuhkan,
logistik yang dibutuhkan serta
memotivasi siswa terlibat pada
memahami pemicu masalah yang
aktivitas pemecahan masalah
diberikan oleh guru yang berupa
yang dipilihnya.
deskripsiartikellembar kerja ataupun cerita peristiwa nyata yang diberikan oleh guru, dapat juga siswa secara langsung melakukan observasi lapangan
2 Guru membantu siswa
Siswa secara berkelompok
mendefinisikan dan
merumuskan masalah, membuat
mengorganisasikan tugas belajar hipotesis, dan merencanakan proses yang berhubungan dengan
pemecahan masalah
masalah tersebut
3 Guru mendorong siswa untuk
Siswa mengumpulkan informasi
mengumpulkan informasi yang
melalui berbagai cara dan berbagai
sesuai, melaksanakan
sumber, misalnya dengan menggali
eksperimen, untuk mendapatkan informasi dari buku, pengamatan penjelasan dan pemecahan
lapangan, mencari informasi dari
masalah
ahlinarasumber
4 Guru membantu siswa dalam
Siswa membuat karya yang sesuai
merencanakan dan
dengan masalah yang bersangkutan,
menyampaikan karya yang
dapat berbentuk seperti laporan,
sesuai seperti laporan, video dan poster, majalah dinding dan model, dan membantu mereka
mempresentasikan di depan kelas
untuk berbagi tugas dengan temannya
5 Guru membantu siswa untuk
Siswa menyimpulkan tentang materi
melakukan refleksi atau evaluasi yang telah dipelajari dan bertanya terhadap penyelidikan mereka
kepada guru jika ada yang kurang
dan proses-proses yang mereka
jelas
gunakan
Sumber : Aini (2006 : 15-16)
Sebagaimana metode pembelajaran yang lain, Problem Based Learning juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Pannen, dkk (2001:99-102) mengemukakan kelebihan dan kekurangan Problem Based Learning sebagai berikut :
1. Kelebihan model pembelajaran Problem Based Learning
• Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang
menemukan masalah tersebut • Guru dapat melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan
menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi • Pengetahuan tertanam berdasarkan skema yang dimiliki siswa, sehingga
pembelajaran lebih bermakna
• Pembelajaran menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, mampu
memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa
• Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang
diselesaikan dikaitkan langsung dengan kehidupan sehari-hari • Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok akan mempermudah
pencapaian ketuntasan belajar yang diharapkan
2. Kekurangan model pembelajaran Problem Based Learning • Waktu yang diperlukan untuk implementasi lebih lama • Tidak semua materi bisa diajarkan dengan metode pembelajaran berbasis
masalah • Membutuhkan faislitas dan perangkat pembelajaran yang memadai • Menuntut guru membuat perencanaan pembelajaran yang lebih matang • Menuntut siswa lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti proses
pembelajaran
D. Kemampuan Berpikir Kritis
Sizzer (dalam Johnson, 2002:181) “Sekolah artinya belajar menggunakan pikiran dengan baik, berpikir kreatif mengahdapi persoalan-persoalan penting, serta menanamkan kebiasaan untuk berpikir”. Selanjutnya, De Bono (1992:36) mengemukakan bahwa “berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan., dimana tujuan tersebut mungkin berbentuk pemahaman, pengambilan keputusan, perencanaan, pemecahan masalah, penilaian, tindakan, dan sebagainya”.
Garder, 1993 (dalam Rofi’udddin, 2007:24) mendefinisikan “berpikir merupakan kombinasi dari sifat bawaan dan hasil bentukan lingkungan yang terangkum dalam kecerdasan majemuk, yang meliputi kecerdasan verbal- linguistik, logis-matematis, kinestetis, musical, visual, intrapersonal,
interpersonal, eksistensial, dan naturalistik. Jenis kecerdasan, baik secara sendiri- sendiri maupun secara serentak, mendasari kinerja aktivitas berpikir”. Selain itu, Nurhadi dkk (2004:56) memberikan definisi bahwa “berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama”. Ruggiero, 1988 (dalam Johnson, 2002:187) mengartikan “berpikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami; berpikir adalah sebuah pencarian jawaban, sebuah pencapaaian makna”.
Hamalik (2004:16) menyebutkan macam-mcam metode berpikir, yaitu:
1) Metode berpikir induksi, yaitu proses berpikir yang di mulai dari hal-hal yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan atau definisi umum.
2) Metode berpikir deduktif, yaitu proses berpikir dimulai dari kesimpulan perumusan tujuan menuju ke hal-hal yang khusus.
3) Metode berpikir generalisasi, yaitu proses berpikir dalam bentuk mengambil kesimpulan umum atas kejadian-kejadian yang sejenis.
4) Metode berpikir kausalitas, yaitu pola berpikir dimulai dari anggapan bahwa setiap sebab tentu menimbulkan sesuatu akibat, sebaliknya bahwa setiap akibat sudah tentu ada sebabnya.
5) Metode berpikir pemecahan masalah (Problem Solving), yaitu proses berpikir yang meliputi langkah-langkah perumusan masalah, mengajukan alternatif jawaban, mengumpulkan keterangan-keterangan dari berbagai sumber, mengetes kemungkinan-kemungkinan jawaban, menarik kesimpulan dan melaksanakan kesimpulan.
6) Metode berikir logis dan sistematis, yaitu proses berpikir yang berlandaskan pada metode berpikir pemecahan masalah, berpikir dengan pertanyaan-pertanyaan apa (what), mengapa(why), bagaimana (how), siapa (who), kapan (when), dan dimana (where).
Menurut R. Swartz dan D.N Perkin, 1990 (dalam Hassoubah, 2007:44) “terdapat empat jenis kemampuan berpikir, yaitu berpikir kreatif, berpikir kritis, membuat keputusan, dan menyelesaikan permasalahan. Dimana semua jenis kemampuan berpikir tersebut berguna untuk menjaga dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan”. Dalam hal berpikir kritis, siswa dituntut untuk menggunakan
strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan, Reber, 1988 ( dalam Syah, 2006:123).
Johnson (2002:183) mendefinisikan “berpikir kritis merupakan suatu proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan orang lain”. Selain itu, De Porter (1999) mendefinisikan bahwa “berpikir kritis adalah berlatihmemasukkan penilaian atau evaluasi yang cermat, seperti menilai kelayakan suatu gagasan atau produk”.
Chafee, 1994 (dalam Johnson, 2002:187) mendefinisikan “berpikir kritis sebagai berpikir untuk menyelidiki secara sistematis proses berpikir itu sendiri, maksudnya tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti dan logika”. Menurut Donosoepoetro (1983:4) “berpikir kritis merupakan analytic thinking, suatu cara berpikir yang titik beratnya ada pada proses analisis terhadap berbagai hal”.
Donosoepoetro (1983: 5-10) “tingkatan berpikir kritis yang diajukan oleh Bloom, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) mengetahui (knowling), 2) memahami (understanding), 3) menerapkan (application), 4) menganalisis (analysis), 5) mensintesis (synhesis), 6) mengevaluasi (evaluation)”. Seorang siswa sudah bisa dikatakan mencapai tingkatan pertama apabila siswa mampu menyebutkan definisi sebuah konsep tanpa memahami maknanya. Kemudian pada
tingkatan yang kedua siswa sudah mampu menjawab pertanyaan dari guru dengan kata-katanya sendiri. Sedangkan siswa pada tingkatan yang ketiga jika siswa sudah bisa menerapakan informasi yang diperoleh menjadi sesuatu hal yang baru, dan pada tingkatan yang keempat siswa mampu untuk menguraikan konsep atau prisip. Kemampuan siswa pada tingkatan yang kelima adalah siswa bisa membuat suatu kesimpulan dari berbagai konsep, dan pada tingkatan yang terakhir yaitu tingkatan keenam (evaluasi) siswa mampu untuk memutuskan atau menyimpulkan sesuatu yang benar dan salah serta yang baik dan buruk.
Berpikir kritis merupakan kegiatan manusia yang bisa dilihatdiamati (eksternal) maupun tidak dapat dilihat (internal). Dalam makalah yang berjudul Student-Centered Learning Berbasis ICT (Universitas Gajah Mada, 2004:8) menyatakan bahwa perilaku berpikir kritis dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain.