IPM Kota Bogor

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Esensi suatu proses pembangunan adalah terciptanya pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang lebih merata, baik secara kuantitas yaitu perubahan dalam bentuk sejumlah angka/bilangan maupun kualitas yaitu perubahan dalam bentuk berwujud (in kind) pada struktur/tatanan kehidupan. Secara kronologis proses pembangunan meliputi adanya ; endowment factors (sumber daya alam & sumber daya manusia), proses politik, modal sosial-ekonomi, pendapatan, konsumsi dan kualitas manusia. Upaya pembangunan tersebut pada akhirnya untuk mensejahterakan masyarakat diantaranya dengan jalan adanya pro growth, pro poor dan pro job.

Perubahan dalam kehidupan masyarakat perlu dipantau, terutama yang berhubungan dengan kemajuan setelah suatu periode, dalam konteks pembangunan berarti mengevaluasi kinerja pembangunan disuatu wilayah.


(2)

Bidang kehidupan yang perlu dipantau meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik yang berkaitan dengan individu, maupun yang berkaitan dengan wilayah seperti kependudukan, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang telah dilakukan di suatu wilayah. Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan manusia, namun mampu mengukur semua dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah umur panjang dan sehat yang diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir, berpengetahuan dan berketerampilan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran konsumsi.

Pembangunan merupakan suatu upaya serius yang bersifat multidimensional dan berkesinambungan untuk mewujudkan hasil yang optimal. Untuk lebih mengarahkan pembangunan, Pemerintah Kota Bogor menempatkan pembangunan manusia sebagai salah satu pusat perhatian dalam pembangunan daerah, yang direfleksikan dengan keterkaitan dan keterpaduan pembangunan yang mengarah kepada upaya pencapaian IPM Kota Bogor dengan tiga komponen utama yaitu Indeks Pendidikan, Kesehatan dan Indeks Daya Beli.


(3)

United Nations Development Programme(UNDP), 1990 menyatakan bahwa Pembangunan Manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.

Target IPM berkaitan erat dengan target MGDs. Target dan sasaran MDGs yang dicapai oleh suatu negara merupakan salah satu alat yang dipakai untuk melihat bagaimana pemerintah suatu bangsa memakmurkan rakyatnya sekaligus memelihara lingkungannya dengan mengaktifkan slogan membangun dengan sistem go green. Begitu juga dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), merupakan salah satu alat yang dipakai untuk melihat bagaimana pemerintah daerah memakmurkan dan memberdayakan rakyatnya, walaupun tanpa melihat bagaimana pemerintah daerah memelihara lingkungannya. Yang jelas sasaran keduanya adalah sama yaitu pemberdayaan manusia. Manusia adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan manusia yang sesungguhnya adalah menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan sebagai alat pembangunan. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati hidup sehat, panjang umur dan menjalankan kehidupan yang produktif. Pembangunan manusia merupakan proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan penduduk


(4)

(enlarging the choice of people). Di antara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang di butuhkan agar dapat hidup secara layak.

Pembangunan manusia perlu dipantau perubahannya terutama yang berkaitan dengan kemajuan dalam suatu periode di suatu wilayah, dalam konteks pembangunan berarti mengevaluasi kinerja pembangunan. Pengukuran pembangunan manusia membutuhkan alat ukur yang biasa disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional dapat dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga komponen itu berkaitan dengan capaian umur panjang dan sehat yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur kinerja pembangunan bidang pendidikan; dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan menjadi paritas daya beli masyarakat.

Cakupan pembangunan manusia begitu luas, maka peningkatan dari IPM sebagai manifestasi dari pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Untuk meningkatkan IPM, tidak hanya semata tergantung pada


(5)

pertumbuhan ekonomi. Agar pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pembangunan manusia, maka pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan diperlukan untuk menjamin semua penduduk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Diketahui, beberapa faktor penting dari hasil pembangunan yang sangat efektif bagi pembangunan manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Dua faktor penting ini merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang perlu dimiliki agar mampu meningkatkan potensinya. Umumnya, semakin tinggi kapabilitas dasar yang dimiliki suatu bangsa, semakin tinggi peluang untuk meningkatkan potensi bangsa itu. Di tengah peningkatan persaingan global, tuntutan terhadap kapabilitas dasar itu dirasakan semakin tinggi, agar mampu bersaing dengan bangsa lain yang lebih maju. Berdasarkan pengalaman pembangunan di berbagai negara, diperoleh pembelajaran bahwa untuk mempercepat pembangunan manusia, antara lain dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu distribusi pendapatan yang merata dan alokasi belanja publik yang memadai untuk pendidikan dan kesehatan.

Berbagai kegiatan pembangunan telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bogor melalui berbagai penyempurnaan, khususnya yang menyangkut peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, perlu dilihat pencapaian pembangunan manusia yang telah dilakukan selama ini. Selain itu, menarik pula untuk dilihat perkembangan masing-masing komponen dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan IPM.


(6)

1.2. Tujuan dan Sasaran

Adapun tujuan dan sasaran penyusunan buku Indeks Pembangunan Manusia adalah sebagai berikut ;

1.2.1. Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulisan buku ini bertujuan :

1. Menyajikan data dan informasi tentang konsep penduduk dan permasalahannya, sebagai dampak dari pembangunan yang telah dilaksanakan di Kota Bogor.

2. Melakukan analisis pembangunan manusia di Kota Bogor berdasarkan pencapaian angka IPM tahun 2010.

3. Manganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat pencapaian IPM tahun 2010.

4. Menganalisis upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah KotaBogor dalam rangka peningkatan IPM tahun 2010.

5. Selanjutnya kesimpulan dan saran diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan sumber daya manusia di Kota Bogor.


(7)

1.2.2. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini meliputi:

1. Teridentifikasinya kondisi beberapa dimensi variabel sektoral dalam pembangunan manusia, meliputi dimensi : kesehatan, pendidikan dan ekonomi di Kota Bogor

2. Memberikan gambaran permasalahan yang ada di bidang pembangunan manusia di Kota Bogor

3. Diperolehnya gambaran tentang perkembangan ukuran pembangunan manusia (IPM) tahun 2010 dan indikator-indikator sosial lainnya di Kota Bogor.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup materi meliputi:

1. Identifikasi kondisi variabel kunci dalam pengukuran besaran IPM yang meliputi lamanya hidup (longevity), Pengetahuan/tingkat pendidikan (knowledge) dan Standar Hidup (decent living)

2. Identifikasi permasalahan mendasar pada sektor-sektor kunci yang terkait dengan IPM, meliputi indikator kesehatan, pendidikan dan ekonomi


(8)

4. Lokasi analisis mencakup wilayah Kota Bogor pada kurun waktu tahun 2010.

Lokasi

1.4. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan secara garis besar diuraikan sebagai berikut;

1.4.1. Sumber Data

Dalam analisis IPM diperlukan berbagai data dan informasi dari berbagai sumber. Sumber data berasal dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional/Daerah (Susenas 2010/Suseda 2011). Hal-hal lain yang berkaitan dengan kualitas penduduk, digunakan pula data dari survei lain seperti Sakernas 2010 dan Sensus Penduduk 2010.

1.4.2. Teknik Pengumpulan Data


(9)

2. Studi Kepustakaan

1.4.3. Teknik Analisis Data

Dalam penulisan ini digunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif yang dimaksudkan adalah untuk memberikan gambaran persentase atau pembobotan sehingga dapat dilakukan suatu perbandingan atau komparatif dari suatu aspek atau wilayah.Sementara analisis kuantitatif dimaksudkan untuk memperjelas dan mendukung analisis deskriptif.


(10)

BAB II

KONSEP DAN METODOLOGI

Menurut UNDP (1990:1), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (“a process of enlarging people’s choices”). Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa fokus pembangunan suatu negara adalah penduduk, karena penduduk adalah kekayaan nyata suatu negara. Konsep atau definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas) manusia tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktifitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan; dan pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.


(11)

Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) merupakan kelanjutan program pembangunan dunia untuk peningkatan Kesejahteraan penduduk dunia pada era milenium (tahun 2000-an). Dalam rangka peningkatan kesejahteraan, diperlukan adanya pembangunan secara sungguh-sungguh. Seiring dengan dinamika masyarakat, paradigma pembangunan telah mengalami pergeseran, yaitu dari pembangunan yang berorientasi pada produksi tahun 60-an menjadi pembangunan yang lebih menekankan pada distribusi hasil-hasil pembangunan selama tahun 70-an. Selanjutnya pembangunan berorientasi pada kebutuhan dasar masyarakat di tahun 80-an, dan akhirnya menuju paradigma pembangunan yang terpusat pada manusia yang muncul pada tahun 90-an. Dan terakhir, issue pemanasan global akibat lingkungan yang semakin memburuk karena pembangunan yang sangat pesat tanpa memperhatikan akibatnya kepada lingkungan serta keinginan PBB mengurangi jumlah penduduk miskin dengan sangat signifikan (pengurangan 50% penduduk miskin) menjadi sentral target pembangunan era milenium ini yang disebut sebagai target MDGs.

Paradigma pembangunan manusia memandang pembangunan sebagai sarana untuk memperluas peluang melalui peningkatan kemampuan dasar dan daya beli penduduk. Indeks Pembangunan Manusia merupakan alat ukur yang memberikan gambaran tentang pencapaian pembangunan yang dicapai oleh suatu wilayah yang dapat berarti menilai kinerja pembangunan dalam mencapai tujuan pembangunan.


(12)

2.1. Pengertian Indikator

Petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut disebut juga sebagai Indikator. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: (1) sahih (valid), indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut; (2) objektif, untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda; (3) sensitif, perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator; (4) spesifik, indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat.

Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri dari satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak (indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3


(13)

indikator yaitu angka melek huruf (AMH), angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan hidup dari anak usia 1 tahun (e1).

Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu:

(a) Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang

pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program, seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio

puskesmas.

(b) Indikator Proses, yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun.

(c) Indikator Output/Outcome, yang menggambarkan

bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SMTA ke atas, AKB, angka harapan hidup, TPAK, dan lain-lain.

2.2. Indikator Pembangunan Manusia

Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu usia hidup


(14)

(longetivity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup layak (decent living). Indikator ini, disamping mengukur kualitas fisik; tercermin dari angka harapan hidup; juga mengukur kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah itu; tercermin dari nilai purcashing power parityindex (ppp).

2.3. Metode Penghitungan IPM

Untuk menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan diperlukan satu set indikator komposit yang cukup representatif. IPM adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan UNDP pada tahun 1990. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah serta angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritasdaya beli dalam rupiah).

Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) yang biasa dinotasikan dengan e Karena Indonesia


(15)

tidak memiliki sistem vital registrasi yang baik maka e0 yang dihitung

menggunakan metode tidak langsung (indirect estimation). Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup (ALH) dan rata-rata anak yang masih hidup (AMH). Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung angka harapan hidup berdasarkan input data ALH dan AMH. Selanjutnya dipilih metode Trussel dengan model West, yang sesuai dengan histori kependudukan Indonesia.

Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf adalah persentase penduduk 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Sedangkan indikator rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani sekolah formal, dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Angka melek huruf diberi bobot dua pertiga dan rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga.

Dimensi ketiga dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut :


(16)

♦ Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A)

♦ Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota propinsi yang sesuai (=B).

♦ Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara.

♦ Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul (Tabel 2.1).

♦ Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C).

♦ Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C.

Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :

dimana,

E( i, j ) : pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i

P( 9, j ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan)


(17)

Tabel 2.1. Daftar Komoditi TerpilihUntuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)

Komoditi Unit Sumbangan thd

total konsumsi (%*)

(1) (2) (3)

1. Beras lokal Kg 7,25

2. Tepung terigu Kg 0,10

3. Ketela pohon Kg 0,22

4. Ikan tongkol/tuna/cakalang Kg 0,50

5. Ikan teri Ons 0,32

6. Daging sapi Kg 0,78

7. Daging ayam kampong Kg 0,65

8. Telur ayam Butir 1,48

9. Susu kental manis 397 gram 0,48

10.Bayam Kg 0,30

11.Kacang panjang Kg 0,32

12.Kacang tanah Kg 0,22

13.Tempe Kg 0,79

14.Jeruk Kg 0,39

15.Pepaya Kg 0,18

16.Kelapa Butir 0,56

17.Gula pasir Ons 1,61

18.Kopi bubuk Ons 0,60

19.Garam Ons 0,15

20.Merica/lada Ons 0,13

21.Mie instant 80 gram 0,79

22.Rokok kretek filter 10 batang 2,86

23.Listrik Kwh 2,06

24.Air minum M3 0,46

25.Bensin Liter 1,02

26.Minyak tanah/gas Liter/kg 1,74

27.Sewa rumah Unit 11,56

Total 37,52


(18)

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Unit kualitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal yang diperoleh dari Susenas. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :

♦ Lantai : keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0

♦ Luas lantai per kapita : > 10 m2 = 1, lainnya = 0

♦ Dinding : tembok = 1, lainnya = 0

♦ Atap : genteng, kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0

♦ Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0

♦ Fasilitas air minum : leding, air kemasan = 1, lainnya = 0

♦ Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0

♦ Skor awal untuk setiap rumah = 1

Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit.


(19)

Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

C (i)* = C(i) jika C(i)< Z = Z

+ 2(C(i) – Z) (1/2) jika Z < C(i)< 2Z = Z + 2(Z) (1/2)+ 3(C

(i) – 2Z) (1/3) jika 2Z < C(i)< 3Z = Z + 2(Z) (1/2)+ 3(Z) (1/3)+4(C

(i) – 3Z) (1/4) jika 3Z < C(i)< 4Z di mana,

C(i)= Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan

PPP/unit (hasil tahapan 5) Z

=

Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari.

2.4. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM

Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998;129) dapat disajikan sebagai berikut :

dimana,

X1: Indeks harapan hidup X2:


(20)

Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan.Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut :

dimana,

X(i) : Indikator ke-i (i = 1,2,3)

X(i)maks : Nilai maksimum X(i)

X(i)min : Nilai minimum X(i)

Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Indikator

Komponen IPM (=X(i))

Nilai maksimum Nilai Minimum

(1) (2) (3)

Angka Harapan Hidup 85 25

Angka Melek Huruf 100 0

Rata-rata lama sekolah 15 0

Konsumsi per kapita yang disesuaikan

732.720 a) 300.000 b)

Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018.

b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.


(21)

2.5. Ukuran Perkembangan IPM

Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) dapat dirumuskan sebagai berikut :

dimana,

IPM t : IPM pada tahun t

IPM t+n : IPM pada tahun t + n

IPM ideal : 100

Untuk melihat perkembangan tingkatan status IPM di kabupaten, dibedakan 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti di bawah ini:

Tabel 2.3. Klasifikasi Nilai IPM menurut Statusnya

No Nilai IPM Status Pembangunan Manusia

(1) (2) (3)

1 < 50 Rendah

2 50 ≤ IPM < 66 Menengah bawah

3 65 ≤ IPM < 80 Menengah atas

4 IPM ≥ 80 Tinggi


(22)

Jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia daerah tersebut masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu juga jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria menengah, hal ini berarti pembangunan manusia masih perlu ditingkatkan.

Jika daerah tersebut mempunyai status pembangunan manusia tinggi berarti kinerja pembangunan manusia daerah tersebut sudah baik/optimal, maka perlu dipertahankan supaya kualitas sumber daya manusia tersebut lebih produktif sehingga memiliki produktivitas yang tinggi.

Gambar 2.1. Diagram Teknis Penghitungan IPM

2.6. Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih

Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah :


(23)

Indikator ini dipergunakan untuk mengetahui komposisi penduduk menurut jenis kelamin. Angka rasio jenis kelamin diperoleh dari perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100.

2.6.2. Rasio Ketergantungan (RK)/Dependency Ratio

Indikator ini untuk menunjukkan total rasio ketergantungan penduduk usia tidak produktif dibagi penduduk usia produktif. Angka ini diperoleh dari perbandingan antara jumlah penduduk usia < 15 tahun ditambah usia > 65 tahun terhadap penduduk usia 15 - 64 tahun, dikalikan 100.

2.6.2.1. Rasio Ketergantungan Anak (RKA)

Digunakan untuk menunjukkan besarnya beban beban tanggungan anak bagi penduduk usia produktif di suatu daerah pada suatu waktu tertentu.

2.6.2.2. Rasio Ketergantungan Usia Lanjut (RKL)

Digunakan untuk menunjukkan besarnya beban tanggungan penduduk usia lanjut bagi penduduk usia produktif di suatu daerah pada suatu waktu tertentu.


(24)

Indikator ini untuk mengukur kecepatan perubahan jumlah penduduk. Angka ini menunjukkan rata-rata tahunan laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah selama periode waktu tertentu.

dimana:

r = Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun P0 = Jumlah penduduk pada tahun dasar

Pt = Jumlah penduduk pada tahun t

n = Tahun t – tahun dasar

2.6.4. Kepadatan Penduduk (Kp)/Population Density

Indikator ini untuk mengukur konsentrasi populasi penduduk di dalam suatu wilayah. Angka ini diperoleh dari jumlah penduduk di suatu daerah dibagi dengan luas daratan daerah tersebut, dan biasanya dinyatakan sebagai penduduk per km².

2.6.5. Angka Partisipasi Kasar (APK)

Indikator ini mengukur proporsi anak sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum tentang banyaknya anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu.


(25)

APK biasanya diterapkan untuk jenjang pendidikan SD (usia 7 – 12 tahun), SLTP (usia 13-15 tahun) dan SLTA (usia 16-18 tahun).

2.6.5.1. Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar (APK SD)

Angka partisipasi kasar SD diperoleh dengan membagi jumlah murid SD pada suatu waktu dengan penduduk usia 7-12 tahun pada waktu yang sama. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (kotor) penduduk pada jenjang pendidikan SD.

2.6.5.2. Angka Partisipasi Kasar SLTP (APK SLTP)

Angka partisipasi kasar SLTP diperoleh dengan membagi jumlah murid SLTP pada suatu waktu dengan penduduk usia 13-15 tahun pada waktu yang sama. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (kotor) penduduk pada jenjang pendidikan SLTP.

2.6.5.3. Angka Partisipasi Kasar SLTA (APK SLTA)

Angka partisipasi kasar SLTA diperoleh dengan membagi jumlah murid SLTA pada suatu waktu dengan penduduk usia 16-18 tahun pada waktu yang sama. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (kotor) penduduk pada jenjang pendidikan SLTA.


(26)

2.6.6. Angka Partisipasi Murni (APM)

Indikator ini mengukur proporsi anak yang bersekolah pada kelompok umur tertentu pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umur tersebut. APM selalu lebih rendah dibandingkan dengan APK karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. Nilai APM yang mendekati 100 persen menunjukkan hampir semua penduduk bersekolah dan tepat waktu sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikannya. APM biasanya diterapkan untuk jenjang pendidikan SD (usia 7-12 tahun), SLTP (usia 13-15 tahun) dan SLTA (usia 16-18 tahun)

2.6.6.1. Angka Partisipasi Murni Sekolah Dasar (APM SD)

Angka Partisipasi Murni SD diperoleh dengan membagi jumlah murid SD usia 7-12 tahun pada suatu waktu dengan penduduk usia 7-12 tahun pada waktu yang sama.

Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (murni) penduduk pada jenjang pendidikan SD.

2.6.6.2. Angka Partisipasi Murni SLTP (APM SLTP)

Angka Partisipasi Murni SLTP diperoleh dengan membagi jumlah murid SLTP usia 15 tahun pada suatu waktu dengan penduduk usia 13-15 tahun pada waktu yang sama.


(27)

2.6.6.3. Angka Partisipasi Murni SLTA (APM SLTA)

Angka Partisipasi Murni SLTA diperoleh dengan membagi jumlah murid SLTA usia 18 tahun pada suatu waktu dengan penduduk usia 16-18 tahun pada waktu yang sama. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (murni) penduduk pada jenjang pendidikan SLTA.

2.6.7. Angka Melek Huruf (AMH)

Angka melek huruf adalah persentase penduduk yang memiliki kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan/atau lainnya. Indikator ini menggambarkan mutu sumber daya manusia yang diukur dalam aspek pendidikan. Semakin tinggi nilai indikator ini semakin tinggi mutu sumber daya manusia suatu masyarakat. Untuk mempertajam analisis, batasan usia bisa diubah sesuai kebutuhan.

2.6.8. Persentase Penduduk Berpendidikan SLTP ke Atas (TP SLTP)

Indikator ini merupakan persentase penduduk usia 16 tahun ke atas yang minimal berpendidikan SLTP. Angka yang diperoleh digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan penduduk dengan menggunakan pendidikan dasar menengah sebagai batasan minimal. Angka ini merupakan perbandingan perbandingan antara jumlah penduduk usia 16


(28)

tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas dengan jumlah penduduk usia 16 tahun ke atas, dan biasanya dinyatakan dengan persen.

2.6.9. Rata-rata Lama Sekolah (RLS)

Rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Rata-rata lama sekolah dihitung dari data penduduk 15 tahun ke atas menurut jenjang pendidikan tinggi yang ditamatkan dan penduduk 15 tahun keatas yang masih sekolah.Langkah pertama adalah memberi bobot pada variabel yang digunakan seperti dibawah ini :

Tabel 2.4. Tahun Konversi dari Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Tahun Konversi

(1) (2)

1. Tidak pernah sekolah 0

2. Sekolah Dasar 6

3. SLTP 9

4. SLTA/SMU 12

5. Diploma I 13

6. Diploma II 14

7. Akademi/Diploma III 15

8. Diploma IV/Sarjana 16

9. Magister (S2) 18


(29)

Sumber: BPS

Secara sederhana prosedur penghitungan tersebut dapat dirumuskansebagai berikut :

dimana

RLS : Rata-rata lama sekolah

fi : frekuensi penduduk pada jenjang pendidikan i

Si : bobot masing-masing jenjang pendidikan i

LSi : 0 (bila tidak/belum pernah sekolah)

LSi : Si (bila tamat)

LSi : Si + kelas yang diduduki – i

(bila masih bersekolah dan pernah sekolah)

2.6.10. Angka Harapan Hidup waktu lahir

Indikator ini menunjukkan perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka harapan hidup sangat dipengaruhi oleh tingkat kematian bayi dan anak, karena kematian pada saat itu berarti hilangnya peluang untuk hidup yang lebih panjang. Makin rendah angka kematian bayi, makin tinggi rata-rata angka harapan hidup. Sebaliknya, makin tinggi tingkat kematian bayi, makin rendah angka harapan hidup.


(30)

Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan per seribu kelahiran hidup.

2.6.12. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

Indikator ini menunjukkan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah. Menunjukkan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (labour supply) yang tersedia untuk produksi barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Indikator ini diperoleh dari perbandingan antara jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja, dan biasanya dinyatakan dalam persen.

2.6.13. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Indikator ini memberi indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Angka ini merupakan perbandingan penduduk yang mencari kerja terhadap angkatan kerja, dan biasanya dinyatakan dalam persen.

2.6.14. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Air Bersih (Pab)


(31)

Indikator ini menunjukkan tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi persentase rumahtangga yang menggunakan air bersih di suatu wilayah menunjukkan semakin baiknya kondisi kehidupan rumahtangga di daerah tersebut. Indikator ini juga berkaitan dengan kesehatan. Angka ini merupakan perbandingan antara jumlah rumahtangga yang menggunakan sumber air minum ledeng, pompa, sumur dan mata air terlindung dengan jumlah rumahtangga seluruhnya, dan biasanya dinyatakan dalam persen.

2.6.15. Persentase Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga untukMakanan per Bulan (Pmak)

Indikator ini digunakan sebagai indikator kesejahteraan rakyat. Hal ini didasarkan pada teori bahwa pada umumnya semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat maka proporsi persentase pengeluaran untuk makanan semakin turun. Angka ini diperoleh dari perbandingan antara rata pengeluaran rumahtangga untuk makanan sebulan dengan rata-rata total pengeluaran rumahtangga sebulan. Dan biasanya dinyatakan dalam persen.


(32)

Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar. Garis kemiskinan adalah suatu batas dimana penduduk dengan pengeluaran kurang dari batas tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan (GKM), dan komponen batas kecukupan non makanan (GKNM)

2.6.17. Persentase Penolong Persalinan

Adalah suatu indikator yang digunakan untuk menggambarkan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan reproduksi.

2.6.18. Rata-rata Lama Sakit

Adalah indikator yang menggambarkan tingkat intensitas penyakit yang diderita penduduk. Indikator ini juga menggambarkan besarnya kerugian materiil yang dialami penduduk karena penyakit yang diderita. Semakin besar nilai indikator ini, semakin besar kerugian yang dialami.

2.6.19. Fasilitas kesehatan per 100.000 penduduk

Adalah indikator yang menggambarkan fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk.


(33)

Dapat digunakan sebagai petunjuk kondisi bangunan tempat tinggal dan tingkat kesejahteraan penduduk pada umumnya. Kualitas bangunan yang dilihat adalah: lantai, dinding dan atap.

2.6.21. Fasilitas Perumahan

Persentase rumahtangga yang menggunakan listrik, persentase menggunakan leding dan air bersih umumnya digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rumahtangga secara umum.


(34)

BAB III

GAMBARAN UMUM WILAYAH

3.1. Kondisi Geografis

Luas wilayah Kota Bogor tercatat 118.50 km2 atau 0,27 persen dari luas Provinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sareal, yang meliputi 68 Kelurahan.

Selain memiliki obyek wisata yang cukup terkenal, Kota Bogor juga merupakan wilayah penunjang yang potensi dan strategis khususnya merupakan jalur utama pada kawasan-kawasan obyek wisata yang ada di Jawa Barat.Dengan letak wilayah yang strategis dengan obyek wisata serta jarak tempuh dengan Ibukota Negara Jakarta yang tidak terlau jauh, sehingga berimflikasi pada pesatnya pembangunan serta adanya pertambahan penduduk yang cepat. Hasil Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk yang mendiami wilayah Kota Bogor sebanyak 950.433 jiwa.


(35)

Kota Bogor terletak diantara 106043’30”BB – 106051’00”BT dan

6030’30”LS – 6041’00”LU serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal

190 meter, maksimal 350 meter dari permukaan laut dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 km. Batas wilayah Kota Bogor adalah :

1. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan

Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.

2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan

Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

3. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan

Bojong Gede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.

4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

Kota Bogor memiliki udara yang sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 260 C dan suhu udara terendah 210 C, dengan

kelembaban udara kurang lebih 70% disebut sebagai Kota Hujan, Kota Bogor dialiri beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan kota, yaitu sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok, maka secara umum Kota Bogor aman dari bahaya banjir. Banyaknya hujan dengan jumlah terbesar umumnya terjadi pada bulan Desember dan Januari.

Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0 – 15 derajat dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15 – 30 derajat. Sebagian


(36)

besar jenis tanah adalah Lotosit coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Jenis tanah ini sebagian besar mengandung tanah liat (clay) serta bahan-bahan yang berasal dari letusan gunung berapi, sehingga kekuatan tanah di daerah ini bisa mencapai 2 sampai 5 kg per cm2, sedangkan pada tempat yang tidak berbatu masih

menahan 1,50 kg per cm2.

3.2. Potensi Sosial Ekonomi Daerah.

Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang didalamnya terdapat Istana Bogor di Pusat Kota, merupakan tujuan wisata, serta kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan wisata Puncak-Cianjur juga merupakan potensi yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan didaerah ini lebih diarahkan pada pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, dengan memprioritaskan pembangunan sektor perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh sektor industri.

Indikator yang dapat memberikan “sinyal” kepada pemerintah daerah/kota, tentang fundamental ekonomi yang dapat digunakan sebagai bahan kajian penyusun kebijakan perencanaan pembangunan atau yang


(37)

biasa digunakan untuk gambaran atau mengevaluasi variable ekonomi riil adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, angka pengangguran, IPM, pertumbuhan penduduk dsb.

Tabel 3.1. menyajikan indikator sosial ekonomi Kota Bogor 2007-2010.Data pada Tabel 3.1 memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan tahun 2000 di Kota Bogor pada tahun 2010 adalah 6.07 persen, sedikit di bawah angka provinsi yang sebesar 6.09 persen. Dilihat sejak tahun 2007, perekonomian Kota Bogor memiliki laju pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 6,07 persen atau mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan tahun 2009 yang hanya sebesar 6,01 persen. Namun demikian, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari aspek pertumbuhan ekonomi semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah seberapa jauh pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berarti tingginya tingkat kesejahteraan penduduknya. Kota Bogor yang memiliki Laju Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini tercermin dari masih tingginya jumlah penduduk miskin dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Data tahun 2010 menunjukkan bahwa Persentase penduduk miskin Kota Bogor mencapai 9.47 persen dari total penduduk sebesar 950,334 jiwa. Pada kurun waktu yang sama, TPT Kota Bogor adalah 17.20 persen. Nilai PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2010 sebesar Rp. 14.070.351,- juta sedangkan tahun 2009 sebesar Rp.


(38)

11.904.599,- juta. Nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010 sebesar Rp. 4.782.307,- juta, sedangkan tahun 2009 sebesar Rp. 4.782.307,- juta.

Tabel 3.1. Indikator Sosial-Ekonomi Kota Bogor Tahun 2007 - 2010

Indikator 2007 2008 2009 2010

[1] [2] [3] (4) (5)

PDRB ADH Konstan 2000 (juta rupiah) 4.012.743,18 0 4.252.484,58 4.508.601,05 4 4,782,307.18

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,14 5,98 6,01 6,07

PDRB ADH Berlaku (juta rupiah) 8.558.035,70 10,089,943.9 6

11.904.599,6 6

14,070,351.2 6 PDRB Perkapita ADH Berlaku

(rupiah) 9.455.013,97 11.634.895,1 5 13.464.067,0 1 15.626.396,5 8

Persentase penduduk miskin 9.47 9.72 8.82 9.47

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

18,00 18,52 19,04 17,20

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

74.73 75.16 75,47 75,75

Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2,46 2,22 2,39 2,38

Jumlah Penduduk(jiwa) 905.132 942.204 946.204 950,334

Sumber : BPS Kota Bogor


(39)

Penduduk dalam suatu daerah merupakan potensi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam proses pembangunan, disamping juga sebagai konsumen dalam pembangunan. Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Penanganan masalah penduduk tidak saja mengarah pada upaya pengendalian penduduk, tapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2010 tercatat sebanyak 950.334 jiwa terdiri dari laki-laki 484.791 jiwa dan perempuan sebanyak 465.543 jiwa. Selama kurun waktu 2005-2010 telah terjadi penambahan penduduk sekitar 95 249 jiwa yang terdiri dari 52 829 laki-laki dan 42 320 perempuan. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui komposisi penduduk menurut jenis kelamin adalah rasio jenis kelamin (sex ratio), yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan di suatu daerah pada waktu tertentu.Rasio jenis kelamin laki-laki terhadapperempuan di Kota Bogor menurut hasil Sensus penduduk adalah 104 yang berarti untuk setiap 100 penduduk perempuan rata-rata terdapat 104 penduduk laki-laki (lihat Tabel 3.2).

Tabel 3.2. Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun 2005-2010

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Sex ratio

(1) (2) (3) (4) (5)

2005 431.862 423.223 855.085 102


(40)

2007 457.717 447.415 905.132 102

2008 476.476 465.728 942.204 102

2009 481.559 464.645 946.204 104

2010 484.791 465.543 950.334 104

Sumber : BPS Kota Bogor, Hasil Proyeksi dan Sensus Penduduk 2010

Tabel 3.3 menyajikan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan menurut jenis kelamin. Tampak di sini bahwa jumlah penduduk terbesar di Kota Bogor adalah di kecamatan Bogor Barat (211.084 jiwa), disusul kemudian dengan Kecamatan Tanah sereal (190.919 jiwa), dan Kecamatan Bogor Tengah (181.392 jiwa). Jika dilihat dari sex rationya, seluruh kecamatan di Kota Bogor memiliki jumlah penduduk laki-laki yang lebih besar daripada jumlah penduduk perempuan. Hal ini tercermin dari sex ratio di seluruh kecamatan yang di atas 100.

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin per Kecamatan Tahun 2010

Kecamatan Laki-laki Perempuan Total Sex

Ratio

(1) (2) (3) (4) (5)

Bogor Selatan 93,442 87,950 181,392 106

Bogor Timur 48,350 46,748 95,098 103

Bogor Utara 86,962 83,481 170,443 104

Bogor Tengah 51,296 50,102 101,398 102

Bogor Barat 107,465 103,619 211,084 104

Tanah Sareal 97,276 93,643 190,919 104

Kota Bogor 484,791 465,543 950,334 104


(41)

Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi akan berdampak dalam penyediaan infrastruktur yang besar, lapangan pekerjaan yang cukup, kebutuhan akan perumahan, kesehatan, dan keamanan di masa mendatang. Kenyataan ini merupakan tantangan bagi Pemerintah dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya terutama yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak. Untuk itu diperlukan adanya komitmen yang tinggi untuk lebih konsisten menerapkan kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan, agar tingkat kesejahteraan dan kualitas penduduk semakin lebih baik di masa yang akan datang.

Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa selama periode 2000-2010, Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor mencapai rata-rata 2,38 persen per tahun. Tergolong dalam kategori pertumbuhan yang cukup tinggi. Pada Tabel 3.4 tampak bahwa rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk per tahun pada jangka waktu 2000-2010 per kecamatan sangat bervariasi. Laju pertumbuhan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Bogor Tengah ( 1.06%), sedangkan Kecamatan Tanah Sereal tercatat memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi (3,35%).

Tabel 3.4.Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP), Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk

Kota Bogor menurut Kecamatan Tahun 2010 No

.

Kecamatan LPP (%) Luas Wilayah (Km2)

Kepadatan (jiwa/km2)

(1) (2) (3) (4) (5)


(42)

2 Kota Bogor Timur 2,11 10,15 9.369

3 Kota Bogor Utara 2,55 17,72 9.619

4 Kota Bogor Tengah 1,06 8,13 12.472

5 Kota Bogor Barat 2,38 32,85 6.426

6 Tanah Sareal 3,35 18,84 10.134

Kota Bogor 2,36 118,50 8.020

Sumber : BPS Kota Bogor, Hasil SP2010

Persebaran penduduk antar kecamatan tampak ada ketimpangan, sehingga menyebabkan kepadatan penduduk di masing-masing kecamatan sangat tidak merata. Tabel 3.3 juga menunjukkan gambaran tersebut, di mana Kecamatan Bogor Tengah (12.472 jiwa/ km2) dan Kecamatan Tanah

Sereal (10.134 jiwa/km2) merupakan daerah terpadat dengan tingkat

kepadatan yang lebih tinggi jika dibandingkan tingkat kepadatan Kota Bogor secara umum (8.020 jiwa per km2 ). Sementara itu tingkat

kepadatan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Bogor Selatan (5.887 jiwa/km2 )

Dampak keberhasilan pembangunan bidang kependudukan diantaranya terlihat pada perubahan komposisi penduduk menurut umur yang tercermin dengan semakin rendahnya proporsi penduduk usia tidak produktif, khususnya kelompok umur 0-14 tahun, yang berarti semakin rendahnya angka beban ketergantungan. Semakin kecilnya angka beban ketergantungan akan memberikan kesempatan bagi penduduk usia produktif (kelompok umur 15-64 tahun) untuk meningkatkan kualitas


(43)

dirinya. Data mengenai Angka Beban Ketergantungan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Dari Tabel 3.5 terlihat bahwa angka beban ketergantungan penduduk di Kota bogor adalah 45.96, artinya setiap 100 orang usia produktif (usia 15-64 tahun) harus menanggung sekitar 46 penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Keadaan ini mengindikasikan kondisi yang cukup baik dengan asumsi secara ratar-rata seorang yang tidak produktif ditanggung oleh 2 orang penduduk produktif. Angka beban ketergantungan sering dihitung untuk memberikan indikasi angka beban ketergantungan lansia (rasio penduduk usia 65 tahun ke atas terhadap penduduk usia 15-64 tahun) dan angka beban ketergantungan anak (rasio penduduk usia 0-14 tahun terhadap penduduk usia 15-64 tahun. Data hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa angka beban ketergantungan lansia Kota Bogor adalah 5.6 artinya, setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 6 lansia. Sementara untuk angka beban ketergantungan anak adalah 40.36 atau setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 40 anak usia 0-14 tahun.

Tabel 3.5. Jumlah Penduduk Menurut Rasio Ketergantungan Tahun 2010.

No Kecamatan

Rasio Ketergantung

an

Rasio Ketergantungan Penduduk Muda

Rasio Ketergantungan


(44)

(1) (2) (3) (4) (5)

00

1 Bogor Selatan 50,33 44,32 6,00

00

2 Bogor Timur 45,68 39,93 5,75

00

3 Bogor Utara 44,91 40,50 4,41

00

4 Bogor Tengah 40,30 32,56 7,74

00

5 Bogor Barat 45,07 39,34 5,72

00

6 Tanah Sareal 47,15 42,23 4,92

Kota Bogor 45,96 40,36 5,60

Sumber: BPS Kota Bogor

Jika dilihat menurut kecamatan, angka beban ketergantungan penduduk secara umum yang tertinggi adalah di Kecamatan Bogor Selatan (50.33), diikuti kemudian oleh Kecamatan Tanah Sereal (47.15), sebaliknya angka beban ketergantungan terendah terdapat di Kecamatan Bogor Tengah (40.30). Untuk angka beban ketergantungan anak, yang tertinggi sebesar 44.32 untuk Kecamatan Bogor Selatan dan 42.23 untuk Kecamatan Tanah Sereal. Yang menarik, untuk angka beban ketergantungan lansia yang tertinggi justru terdapat di Kecamatan Bogor Tengah (7.74) yang memiliki angka beban ketergantungan yang terendah dibanding kecamatan lainnya. Kecamatan Bogor Tengah sebagai pusat pemerintahan Kota Bogor dan sebagai pusat perekonomian, memungkinkan terjadinya hal tersebut karena penduduk yang berusia diatas 65 tahun masih banyak yang tinggal di Kecamatan ini untuk mencari nafkah.


(45)

Penyajian data penduduk menurut kelompok umur untuk tujuan tertentu seringkali disederhanakan hanya menjadi 3 kelompok yaitu kurang dari 15 tahun (0-14 tahun), 15-64 tahun dan 65 tahun ke atas. Penggolongan seperti ini antara lain untuk melihat struktur penduduk “tua” atau “muda”. Struktur umur penduduk termasuk kategori “muda” apabila proporsi penduduk usia di bawah 15 tahun sekitar 40 persen, sebaliknya dikatakan “tua” jika proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas telah mencapai 10 atau lebih. Dilihat dari struktur umur, penduduk kota Bogor berada pada tahap transisi dari penduduk muda menjadi penduduk tua. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun sebesar 28 persen, dan penduduk usia 65 tahun ke atas sudah mencapai 4 persen. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota Bogor Tahun 2010

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Total

(1) (2) (3) (4)

0 – 14

135 617 (28%) 126 327 (27%) 262 944 (28%) 15 – 64

255 836 (68%) 318 736 (69%) 651 572 (68%)

65 + 16,338

(4%) 19,480 (4%) 35,818 (4%)

Kota Bogor 484,791

(100%)

465,543 (100%)

950,334 (100%) Sumber: BPS Kota Bogor


(46)

Piramida Penduduk Kota Bogor Tahun 2010 Sumber data: BPS Kota Bogor, SP2010.

Cara lain yang biasa digunakan untuk menggambarkan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin adalah dengan piramida pendudk. Bentuk piramida penduduk dari suatu wilayah pada tahun tertentu dapat mencerminkan dinamika

kependudukan di wilayah tersebut, seperti kelahiran, kematian, dan migrasi. Suatu wilayah dengan tingkat kelahiran, kematian yang tinggi biasanya ditandai dengan bentuk piramida yang alasnya besar berangsur Gambar 3.1 menyajikan piramida penduduk Kota Bogor tahun 2010. Jika dilihat dari bentuknya, maka dapat disimpulkan tingkat kelahiran dan kematian di Kota Bogor sudah dalam kategori rendah, sehingga alas dari piramida sudah mulai menyempit. Piramida pnduduk juga menunjukkan bahwa komposisi terbesar untuk penduduk laki-laki maupun perempuan berada pada kelompok umur 25-29 tahun.


(47)

BAB IV

ANALISIS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR

Manusia merupakan unsur utama dari seluruh kepentingan pembangunan yang menempatkan posisinya pada dua peran yaitu sebagai subyek dan sekaligus juga sebagai obyek pembangunan.Oleh karenanya tuntutan kearah terciptanya manusia yang berkualitas sebagai modal pembangunan semakin besar.

Meningkatnya kepedulian terhadap upaya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas dimulai sejak tahun delapan puluhan, yaitu dengan munculnya paradigma yang berorientasi pada kebutuhan dasar masyarakat (basic need development) untuk mengukur keberhasilan pembangunan dengan melalui Indeks Mutu Hidup (Physical Quality of Life Index).

Pada tahun sembilan puluhan muncul suatu paradigma baru yaitu pembangunan yang terpusat pada manusia (human centered development).UNDP kependekan dari United Nation Development Programe telah menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai pengukur keberhasilan pembangunan manusia.

Pembangunan manusia merupakan proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (enlarging the choices of people). Untuk mengukur


(48)

pilihan-pilihan tersebut digunakan indeks komposit berdasarkan 3 dimensi parameter, yaitu :

1. Derajat kesehatan dan usia hidup (longetivity) yang diukur dengan

angka harapan hidup (life expectancy rate).

2. Pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kombinasi antara melek

huruf dan tingkat partisipasi sekolah.

3. Standar hidup layak (decent living) penduduk dilihat dari daya beli

masyarakat (purchasing power parity), dimana dalam penghitungannya menggunakan ukuran GDP (Gross Domestic Product) riil per kapita yang telah disesuaikan (adjusted GDP real per capita). Pemilihan parameter tersebut sejalan dengan definisi pembangunan manusia sebagai suatu proses memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk ( a process of enlarging the people’s choice).

4.1. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bogor

Perkembangan IPM Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.1. Dari gambar tersebut nampak bahwa pembangunan manusia di Kota Bogor selama periode 2006-2010 mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 pencapaian IPM Kota Bogor menurut angka sementara adalah 75.75 atau meningkat sebesar 0,28point dari tahun 2009 (74,47). Daerah dengan IPM tinggi memang cukup sulit meningkatkan angka IPM (hardcore). Sebaliknya lebih mudah bagi daerah yang masih memiliki angka IPM tergolong rendah


(49)

untuk meningkatkan kecepetan peningkatan IPM (softcore). Jika dibandingkan dengan angka provinsi maka IPM Kota Bogor jauh melampaui IPM Provinsi Jawa Barat (angka sementara adalah 72,29 pada tahun 2010), dan jika dilihat peringkat selama 2 tahun terakhir, yaitu tahun 2009 dan 2010, IPM Kota Bogor selalu menduduki peringkat ke empat (4) se Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten/kota se Indonesia maka peringkat IPM Kota Bogor dalam periode 2006-2009 selalu mengalami penurunan, Pada tahun 2006, IPM Kota Bogor berada pada peringkat ke 46, tetapi pada tahun 2009 berada pada peringkat 60 dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini harus menjadikan perhatian yang sungguh-sungguh agar IPM Kota Bogor tidak terus menerus menurun peringkatnya secara nasional.

Gambar 4.1.Grafik Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun 2006-2010

Capaian angka IPM akan menentukan peringkat antardaerah. Meskipun demikian, untuk menilai keberhasilan pembangunan manusia di suatu daerah tidak mutlak dilihat dari urutan peringkatnya akan tetapi dapat juga


(50)

berdasarkan besaran nilai reduksi shortfall. Berdasarkan ukuran itu terlihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia dalam satu tahun. Kecepatan peningkatan IPM tertinggi terjadi pada periode 2006-2007 sebesar 1,71. Namun sayang pada periode selanjutnya, yaitu 2009-2010 reduksi shortfall Kota Bogor sedikit mengalami penurunan menjadi 1,11. Hal ini menunjukkan kecepatan pembangunan di Kota Bogor relatif mulai melambat.

Gambar 4.2. Grafik Perkembangan IPMKota Bogor Tahun 2006 – 2010

Sumber : BPS Kota Bogor

Gambar 4.3Grafik Perkembangan Reduksi shortfall Kota Bogor, 2006-2010

4.2. Perkembangan Komponen IPM

Dalam prakteknya, peningkatan indikator sosial seperti kesehatan dan pendidikan tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek. Hal ini berbeda dengan komponen daya beli yang dapat bertambah secara nyata dalam waktu yang relatif singkat seiring dengan keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Untuk melihat lebih jauh hasil yang telah dicapai selama 2009-2010 pada proses pembangunan manusia perlu kiranya kita


(51)

telaah satu persatu kemajuan yang didapat untuk masing-masing komponen IPM.

4.2.1. Angka Harapan Hidup (AHH)

Angka Harapan Hidup atau AHH adalah rata-rata perkiraan banyaknya tahun yang dapat ditempuh seseorang selama hidupnya. Indikator ini sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya di bidang kesehatan. Tabel 4.1 memperlihatkan perkembangan AHH selama kurun waktu 2006-2010. Pada Tabel tersebut terlihat, selama periode 2006-2010 perkembangan AHH menunjukkan peningkatan. Pada Tahun 2006, AHH penduduk Kota Bogor mencapai 68,5 tahun dan meningkat menjadi 68, 87 tahun. Meskipun terus mengalami peningkatan, namun selama kurun waktu 2006-2010 kenaikan AHH kurang dari 0.5 tahun. Untuk itu perlu peningkatan kesehatan yang lebih komprehensif agar perbaikan derajat kesehatan melalui penurunan Angka Kematian Bayi dapat terlaksana. Tingkat kesehatan bayi juga dipengaruhi secara nyata oleh kondisi kesehatan ibu serta lingkungannya. Tidak sedikit anak yang terpaksa lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) karena dilahirkan oleh ibu yang menderita kekurangan gizi.

Tabel 4.1. Perkembangan Komponen IPM di Kota Bogor Tahun 2006 - 2010

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


(52)

Indeks Kesehatan 72.50 72.65 72.80 72.95 73.12 - Angka Harapan Hidup

(tahun)

68.50 68.59 68.68 68.77 68.87 Indeks Pendidikan 87.13 87.13 87.13 87.54 87.60 - Angka Melek Huruf (%) 98.70 98.70 98.70 98.75 98.77 - Rata-rata Lama Sekolah

(tahun)

9.60 9.60 9.60 9.77 9.79 Indeks Daya Beli 64.08 64.41 65.55 65.92 66.53 - Daya Beli (dalam ribu Rp) 637.28 638.6

9

643.6 5

645.2 2

647.8 9 Sumber : BPS Kota Bogor

Angka harapan hidup menggambarkan derajat kesehatan penduduk. Angka ini dipengaruhi oleh beberapa variabel yang diindentifikasi sangat erat kaitannya dengan masalah kesehatan penduduk. Untuk itu agar terciptanya derajat kesehatan yang lebih baik, maka beberapa variabel yang memiliki hubungan terhadap angka harapan hidup perlu lebih diperhatikan, seperti persentase penolong persalinan medis, jumlah dokter, persentase angka kesakitan, keadaan lingkungan perumahan dan penyediaan air bersih.


(53)

Tabel 4.2 IPM dan AHH Kabupaten/Kota dibandingkan dengan IPM dan AHH Jawa Barat Tahun 2009

• Kab.

Tasikmalaya • Kab. Sumedang

•Kab. Bandung •Kab. Bekasi

•Kab. Bandung Barat

•Kota Bogor •Kota Sukabumi •Kota Bandung

• Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi • Kota

Tasikmalaya • Kab. Bogor • Kab. Subang

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Garut • Kab. Ciamis • Kab. Kuningan

• Kab. Cirebon • Kab. Majalengka • Kab. Indramayu • Kab. Purwakarta • Kab. Karawang • Kota Banjar

Jika dibandingkan dengan capaian AHH Provinsi Jawa Barat secara umum, kota Bogor termasuk kabupaten/kota yang capaian AHH nya lebih tinggi dari AHH provinsi. Berdasarkan Tabel 4.2 terlihat bahwa terdapat 11 (sebelas) kabupaten/kota yang memiliki AHH dan IPM lebih tinggi dari capaian Jawa Barat atau dikategorikan berada pada kuadran I pada tahun 2009 dan 2010. Salah satu dari sebelas kabupaten/kotan tersebut adalah Kota Bogor.Tingginya capaian dari beberapa daerah ini menunjukkan


(54)

bahwa masyarakat di daerah inidapat lebih mudah mengakses sarana dan fasilitas kesehatan dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa Barat.

Tabel 4.2a IPM dan AHH Kabupaten/Kota dibandingkan dengan IPM dan AHH Jawa Barat Tahun 2010

• Kab. Sumedang •Kab. Bandung

•Kab. Bekasi

•Kab. Bandung Barat

•Kota Bogor •Kota Sukabumi •Kota Bandung

• Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi • Kota

Tasikmalaya

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Garut • Kab. Ciamis • Kab. Kuningan • Kab. Cirebon

• Kab. Majalengka • Kab. Indramayu • Kab. Purwakarta • Kab. Karawang • Kab.

Tasikmalaya • Kota Banjar

• Kab. Bogor • Kab. Subang

4.2.2. Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah

Pembangunan di bidang pendidikan akan membawa dampak positif yang cukup nyata di masa mendatang. Penuntasan buta huruf dan


(55)

penurunan angka rawan putus sekolah tampaknya harus terus ditingkatkan dan menjadi prioritas utama dengan diiringi pembangunan serta revitalisasi gedung-gedung sekolah sebagai upaya meningkatkan partisipasi murid secara berkelanjutan. Komposisi penduduk yang relatif besar diusia muda memerlukan persiapan sarana penunjang pendidikan yang memadai.

Pencapaian tingkat pendidikan yang cukup baik saat ini merupakan cermin dari keberhasilan perencanaan pembangunan di masa yang lalu. Yang perlu dilakukan saat ini adalah memelihara dan mempertajam upaya-upaya positif yang sudah dirintis di masa lalu sehingga dapat dihasilkan capaian pendidikan lebih baik. Jika aspek pendidikan tidak ditangani secara baik dan lebih dini dikhawatirkan pada rentang waktu yang akan datang berdampak cukup serius pada pencapaian angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

Indikator pendidkan yang merepresentasikan pengetahuan dalam IPM adalah angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Kedua indikator ini dapat dimaknai sebagai ukuran kualitas sumber daya manusia. Angka Melek Huruf (AMH) dapat dimaknai sebagai ukuran kualitas sumberdaya manusia. Angka melek huruf menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang mampu baca tulis, sedangkan Rata-rata Lama sekolah (RLS) menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani penduduk usia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal.


(56)

Selama periode 2006-2010 perkembangan AMH menunjukkan perlambatan kecepatan, AMH hanya meningkat sekitar 0.07 persen saja dari tahun 2006 sampai 2010. Bahkan selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2006-2008 AMH Kota Bogor tetap pada posisi 98.70 persen.

Tabel 4.3 IPM dan AMH Kabupaten/Kota dibandingkan dengan IPM dan AMH Jawa Barat Tahun 2009

• Kab. Bekasi

•Kab. Bandung •Kab. Tasikmalaya •Kab. Sumedang •Kab. Bandung

Barat •Kota Bogor •Kota Sukabumi

• Kota Bandung • Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi • Kota

Tasikmalaya

• Kab. Bogor • Kab. Kuningan • Kab. Cirebon • Kab. Majalengka

• Kab. Indramayu • Kab. Subang • Kab.

Purwakarta • Kab. Karawang

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Garut

• Kab. Ciamis • Kota Banjar


(57)

Jika dibandingkan dengan capaian Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan seperti halnya dengan AHH, posisi AMH Kota Bogor pada tahun 2009-2010 tetap pada kuadran I artinya, baik IPM maupun AMH Kota Bogor masih lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan. Secara lengkap capaian AMH kabupaten/kota menurut posisinya terhadap AMH provinsi dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.3a.

Tabel 4.3 aIPM dan AMH Kabupaten/Kota dibandingkan dengan IPM dan AMH Jawa Barat Tahun 2010

• Kab. Bekasi

•Kab. Bandung •Kab. Sumedang •Kab. Bandung

Barat •Kota Bogor •Kota Sukabumi

• Kota Bandung • Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi • Kota

Tasikmalaya

• Kab. Bogor • Kab. Kuningan • Kab. Cirebon • Kab. Majalengka

• Kab. Purwakarta • Kab.

Indramayu • Kab. Subang • Kab. Karawang

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Garut • Kab. Tasikmalaya

• Kab. Ciamis • Kota Banjar


(58)

Indikator pendidikan lainnya yang merupakan komponen IPM adalah rata-rata lama sekolah (RLS). Tabel 4.1 di atas menunjukkan RLS selama periode 2006-2008 tidak mengalami perubahan, tetap pada posisi 9.6 tahun. Kemudian pada tahun 2009 meningkat sekitar 0.17 tahun menjadi 9.77 tahun dan pada tahun 2010 meningkat kembali sekitar 0.02 tahun menjadi 9.79 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah bagi pemerintah untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk. Secara rata-rata penduduk umur 15 tahun ke atas di Kota Bogor berpendidikan sampai kelas 2 SLTA.

Relatif rendahnya peningkatan pencapaian RLS dimungkinkan karena masih cukup besarnya penduduk yang tingkat pendidikannya tidak tamat SD sehingga meskipun partisipasi sekolah penduduk muda sudah sedemikian dipacu peningkatannya namun belum terlihat secara nyata hasilnya.

Tabel 4.4 IPM dan RLS Kabupaten/Kota dibandingkan dengan IPM dan RLS Jawa Barat Tahun 2009.

• Kab.

Tasikmalaya

•Kab. Bandung •Kab. Bekasi •Kab. Bandung

Barat •Kota Bogor •Kota Sukabumi

• Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi • Kota


(59)

•Kota Bandung • Kab. Sumedang

• Kab. Bogor • Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Garut • Kab. Ciamis • Kab. Kuningan

• Kab. Cirebon • Kab. Majalengka • Kab. Indramayu • Kab. Subang • Kab. Purwakarta • Kab. Karawang

• Kota Banjar

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2011

Jika capaian RLS dikaitkan dengan target yang diusulkan UNDP, maka rata-rata pendidikan penduduk di Kota Bogor relatif tertinggal. Masih perlu kerja keras untuk mengejar ketertinggalan sampai batas minimal pendidikan yang diusulkan UNDP yaitu 15 tahun. Komitmen pemerintah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya bersekolah perlu terus digalakkan dan disosialisasikan agar dalam jangka panjang dapat terwujud SDM berkualitas.

Tabel 4.4 dan Tabel 4.4a. menggambarkan posisi RLS Kota Bogor dan kabupaten / kota terhadap RLS Provinsi Jawa Barat secara umum. Baik tahun 2009 maupun tahun 2010 RLS Kota Bogor masih pada posisi kuadran I yang berarti baik IPM maupun RLS Kota Bogor lebih tinggi dibandingkan angka Provinsi Jawa Barat secara total.


(60)

Tabel 4.4a.IPM dan RLS Kabupaten/Kota dibandingkan dengan IPM dan RLS Jawa Barat Tahun 2010

• Kab. Sumedang •Kab. Bandung •Kab. Bekasi •Kab. Bandung

Barat •Kota Bogor •Kota Sukabumi

• Kota Bandung • Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi • Kota

Tasikmalaya • Kab. Bogor

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Garut • Kab. Ciamis • Kab. Kuningan • Kab.

Tasikmalaya

• Kab. Cirebon • Kab. Majalengka • Kab. Indramayu • Kab. Subang • Kab. Purwakarta • Kab. Karawang • Kota Banjar

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2011

4.2.3. Kemampuan Daya Beli.

Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentuk barang maupun jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-harga riil antarwilayah karena nilai tukar yang digunakan dapat menaikan atau menurunkan nilai daya beli. Dengan demikian kemampuan daya beli masyarakat antarwilayah masih belum terbanding, untuk itu perlu adanya standarisasi. Dengan demikian, satu rupiah di suatu wilayah memiliki daya beli yang sama dengan satu rupiah


(61)

di Jakarta. Dengan adanya standarisasi ini maka kemampuan daya beli masyarakat antarwilayah dapat dibandingkan.

Gambar 4.5. Grafik Indeks Daya Beli di Kota Bogor Tahun 2006-2010

Sumber: BPS Kota Bogor

Kemampuan daya beli masyarakat Kota Bogor sebagaimana ditunjukkan mengalami peningkatan selama periode 2006-2010, yaitu dari 637,28 ribu rupiah menjadi 847.89 ribu rupiah. Kenaikan tertinggi tercatat dari dari tahun 2007 ke tahun 2008, yaitu dari 638,69 ribu rupiah menjadi 647,89 ribu rupiah.

Tabel 4.5 dan Tabel 4.5a menggambarkan posisi Daya Beli Kota Bogor dan kabupaten / kota lainnya terhadap Daya Beli Provinsi Jawa Barat secara umum. Baik tahun 2009 maupun tahun 2010 RLS Kota Bogor masih pada posisi kuadran I yang berarti baik IPM maupun daya beli Kota Bogor lebih tinggi dibandingkan angka Provinsi Jawa Barat secara total.

Tabel 4.5 IPM dan PPP Kabupaten/Kota dibandingkan IPM dan PPP Jawa Barat Tahun 2009.

•Kab. Bandung •Kab. Tasikmalaya •Kab. Sumedang •Kab. Bekasi •Kab. Bandung

Barat

• Kota Bogor • Kota Bandung • Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota


(62)

•Kota Sukabumi •Kota Cimahi

Tasikmalaya

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Bogor

• Kab. Subang • Kota Banjar

•Kab. Cirebon •Kab. Majalengka •Kab. Purwakarta •Kab. Karawang

• Kab. Kuningan • Kab. Garut • Kab. Indramayu • Kab. Ciamis

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2011

Tabel 4.5a IPM dan PPP Kabupaten/Kota dibandingkan IPM dan PPP Jawa Barat Tahun 2010

• Kota

Tasikmalaya

•Kab. Bandung •Kab. Sumedang •Kab. Bekasi •Kab. Bandung

Barat •Kota Bogor

• Kota Sukabumi • Kota Bandung • Kota Cirebon • Kota Bekasi • Kota Depok • Kota Cimahi

• Kab. Sukabumi • Kab. Cianjur • Kab. Ciamis • Kab. Subang • Kab. Bogor

• Kab. Kuningan • Kab. Cirebon • Kab. Karawang • Kota Banjar

•Kab. Garut •Kab. Majalengka •Kab. Tasikmalaya

• Kab. Indramayu • Kab. Purwakarta


(63)

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2011

4.3. Perbandingan IPM Kota Bogor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2010

Capaian Indeks Komposit Pembangunan Manusia Kota Bogor yang pada tahun 2010 sebesar 75,75 berhasil menduduki urutan keempat di Provinsi Jawa Barat. Kecepatan untuk mencapai IPM 100 di kota Bogor pada tahun 2010 hanya 1,11persen(shortfall)tidak secepat pada tahun 2006-2007 yang mencapai 1,71 persen. Sementara daerah yang memiliki akselerasi kecepatan IPM untuk mencapai target IPM 100 pada tahun 2010 adalah Kabupaten Bogor yakni sebesar 2,85 persen, sedangkanProvinsi Jawa Barat sebesar 2,30 persen. Secara lengkap perbandingan angka IPM dan komponennya disajikan dalam Tabel 4.6.berikut ini :

Tabel 4.6.Perbandingan IPM Kota Bogor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

NO KOTA/KAB

Angka Harapan

Hidup (Tahun)

Angka Melek Huruf

(%)

Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)

Daya Beli (Ribu)

IPM

Short Fall (%)


(64)

1 Kota Depok 73.09 98.94 10.94 649.20 79.09 1.48 2 Kota Bekasi 69.64 98.51 10.53 643.92 76.36 1.07 3 Kota Bandung 69.72 99.67 10.44 636.89 76.06 1.71

4 Kota Bogor 68.87 98.77 9.79 647.89 75.75 1.11

5 Kota Cimahi 69.18 99.65 10.50 633.20 75.51 1.38 6 Kota Cirebon 68.50 97.05 9.47 647.96 74.93 0.97 7 Kota Sukabumi 69.44 99.66 9.32 634.82 74.91 1.34 8 Kota Tasikmalaya 69.86 99.55 8.83 630.24 74.40 1.71 9 Kab. Bandung 69.02 98.72 8.37 638.56 74.05 0.83 10 Kab Bandung

Barat 68.65 98.51 8.07 635.56 73.35 1.33

11 Kab. Bekasi 69.40 94.03 8.33 635.18 72.93 1.65 12 Kab. Sumedang 67.42 97.73 7.93 636.01 72.42 1.01 13 Kab. Bogor 68.86 95.02 7.98 629.62 72.16 2.85 14 Kab. Tasikmalaya 67.96 98.90 6.99 632.31 72.00 0.96 15 Kota Banjar 66.26 97.26 8.01 631.36 71.38 1.35 16 Kab. Ciamis 67.29 97.59 7.19 630.86 71.37 1.41 17 Kab. Garut 65.60 98.94 7.34 637.49 71.36 1.31 18 Kab. Purwakarta 67.06 95.71 7.42 633.15 71.17 1.30 19 Kab. Subang 69.39 92.45 6.92 630.09 71.14 0.95 20 Kab. Kuningan 67.47 95.45 6.95 631.73 70.89 1.60 21 Kab. Sukabumi 67.06 97.33 6.88 626.99 70.66 1.64 22 Kab. Majalengka 66.35 95.09 6.84 633.65 70.25 1.04 23 Kab. Karawang 66.70 93.21 6.95 629.62 69.79 1.05 24 Kab. Cianjur 66.00 97.55 6.82 614.83 69.14 1.53 25 Kab. Cirebon 65.29 92.33 6.85 631.55 68.89 1.65 26 Kab. Indramayu 66.82 85.65 5.73 635.67 67.75 1.09 JAWA BARAT 68.20 96.18 8.02 632.22 72.29 2.30 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat

BAB V


(65)

Salah satu tujuan penting dalam pembangunan adalah peningkatan kualitas hidup penduduk sehingga setiap individu mempunyai peluang untuk dapat berumur panjang dan sehat serta memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan

pendidikan. Untuk melihat sampai di mana pencapaian kapabilitas dasar penduduk Kota Bogor pada bab ini akan dibahas tentang kemajuan kapabilitas dasar yang dicapai dari pendidikan dan kesehatan. Aspek pendidikan yang akan dibahas mencakup indikator melek huruf, partisipasi sekolah, dan pendidikan yang ditamatkan. Sedangkan dari aspek kesehatan mencakup kematian bayi dan penolong kelahiran.

5.1. Dimensi Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu cara meningkatkan kualitas hidup. Untuk itu, di sejumlah negara pembangunan pendidikan memperoleh prioritas utama dibanding pembangunan sektor lain. Salah satu bukti pentingnya pembangunan pendidikan adalah besarnya proporsi anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan. Di Indonesia sejak tahun 1994 pemerintah mewajibkan semua penduduk usia sekolah mengikuti pendidikan sekolah dasar dan menengah yang dikenal dengan wajib belajar 9 tahun. Wajib belajar 9 tahun ini merupakan pengejawentahan dari salah satu pasal UUD’45 yang menyatakan bahwa”setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pengajaran”.


(66)

5.1.1. Angka Melek Huruf

Kemampuan baca tulis merupakan ketrampilan dasar yang sangat penting dalam kehidupan. Melalui kemampuan dasar ini setiap orang akan mampu berkomunikasi secara baik dan lebih luas serta dapat meningkatkan wawasannya. Dengan demikian kemampuan baca tulis merupakan kunci sukses pembangunan manusia menuju peningkatan kualitas hidup.

Tabel 5.1 menyajikan AMH menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Melihat data melek huruf akan lebih bermakna dan

menggambarkan ketimpangan jika dilihat menurut kelompok umur. Dalam pembahasan ini akan AMH dibagi menjadi 4 kelompok umur, yaitu 15 tahun ke atas, 15-24 tahun, 15-44 tahun, dan 45 tahun ke atas. AMH menurut kelompok umur ini biasanya diperlukan untuk prioritas program.

AMH kelompok usia 15 tahun ke atas merupakan indikator buta aksara yang digunakan secara nasional. Hal ini

dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pada kelompok ini

seseorang seharusnya menamatkan SMP dan bisa baca-tulis. AMH usia 15-24 tahun, merupakan indikator AMH Pemuda. Ini yang harus menjadi perhatian serius dan wajib dituntaskan karena

mereka yang tergolong di usia ini merupakan tulang punggung dan masa depan bangsa. AMH usia 15-44 tahun merupakan indikator


(67)

penuntasan buta aksara untuk kelompok sasaran program

keaksaraan fungsional (KF). AMH kelompok usia 45 tahun ke atas merupakan indikator yang dapat mencerminkan pendidikan

sebelum dan saat Indonesia baru merdeka.

Tabel 5.1.Penduduk Berumur 5 Tahun Keatas Menurut Kelompok Umur dan

Kemampuan Baca Tulis di Kota Bogor Tahun 2010

Kelompok Umur

Kemampuan Membaca dan Menulis Huruf Latin Huruf

Lainnya Buta Huruf Tidak Ditanyak an Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

5-9 73,328 408 15,877 6 89,619

10-14 84,221 78 431 24 84,754

15-19 86,771 26 311 158 87,266

20-24 87,846 14 235 429 88,524

25-29 92,935 17 232 526 93,710

30-34 85,052 29 245 265 85,591

35-39 77,886 58 315 190 78,449

40-44 66,464 136 527 131 67,258

45-49 53,201 211 753 105 54,270

50-54 43,223 289 886 68 44,466

55-59 31,119 238 780 39 32,176

60-64 18,699 277 855 31 19,862

65-69 13,595 288 926 11 14,820

70-74 8,840 293 1,025 7 10,165

75-79 4,861 209 781 2 5,853

80-84 2,411 152 507 2 3,072

85-89 875 73 247 3 1,198

90-94 275 41 140 0 456

95+ 138 26 90 0 254

Jumlah 831,740 2,863 25,163 1,997 861,763

Tabel 5.1 menggambarkan AMH penduduk Kota Bogor pada masing-masing kelompok umur. Dapat disimpulkan di sini bahwa


(1)

Dengan adanya prioritas pembangunan di bidang pendidikan, diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan asset pembangunan, yang akan meningkatkan status sosial ekonomi penduduk dan pada akhirnya akan memperbaiki kesejahteraan penduduk.

Selain daripada itu yang perlu diperhatikan adalah peningkatan daya beli masyarakat, yang mana komponen ini sangat besar pengaruhnya terhadap nilai IPM. Pemerintah Kota Bogor sudah memberi perhatian khusus pada masalah ini seperti yang dituangkan dalam Misinya yaitu :

“Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatn sumberdaya yang ada”

Pada pelaksanaannya program pembangunan tersebut mempunyai tujuan, sasaran, kebijakan dan program yang antara lain berguna untuk meningkatkan dukungan bagi penguatan usaha industri rumahtangga kecil dan menengah, pengembangan perdagangan dan system distribusi, pengembangan ekspor, pengembangan koperasi dan UKM dan memberdayakan kemampuan usaha masyarakat miskin. Dengan progam pembangunan ini diharapakan dapat meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus juga dapat meningkatkan nilai IPM.

7.2. Usulan Program

Menyadari pentingnya pembangunan di bidang pendidikan, Pemerintah Kota Bogor telah melakukan berbagai macam program,


(2)

diantaranya berwujud pengembangan dan peningkatan sarana serta prasarana pendidikan.Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah dan memperluas jangkauan dan mutu pelayanan serta kesempatan memperoleh pendidikan dalam rangka menunjang wajib belajar 9 tahun.Selain itu perlu dipikirkan untuk meningkatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, selain perlu dilakukan program pemberantasan buta huruf agar tercapai Kota Bogor yang bebas dari buta huruf.

Pemerintah dan masyarakat Kota Bogor telah berhasil membangun daerahnya dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan, ditandai dengan tingginya angka harapan hidup dan rata-rata konsumsi penduduk per kapita. Meskipun demikian pembangunan dalam bidang kesehatan harus terus dilakukan, terutama untuk mengantisipasi keadaan perekonomian yang masih belum menentu. Program pembangunan dalam bidang kesehatan ditujukan terutama untuk bayi dan balita. Karena merekalah yang akan menggantikan generasi saat ini.

Upaya menekan angka kematian bayi merupakan program yang utama, antara lain dengan pemberian makanan tambahan, pemberian imunisasi yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan penyuluhan yang intensif kepada masyarakat tentang pentingnya hidup sehat terutama dalam menjaga kelestarian.

Oleh sebab itu, program-program tersebut perlu terus dilakukan dengan konsisten dan berkesinambungan. Banyak program pembangunan


(3)

yang baik dalam perencanaan, tetapi tidak demikian dalam pelaksanaannya, sehingga hasil yang dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan program pembangunan perlu dilakukan pengawasan yang intensif, agar hasil yang dicapai dapat optimal dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.


(4)

BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan

1. IPM Kota Bogor pada tahun 2010 sebesar 75,75. Nilai ini menurut

UNDP termasuk ke dalam “Tingkat Pembangunan Manusia menengah atas”. Komponen pembentuk IPM pada tahun 2010 adalah:

Angka Harapan Hidup = 68,87 tahun

Angka Melek Huruf = 98,77 persen

Rata-rata Lama Sekolah = 9,79 tahun

Purchasing Power Parity = Rp. 647.890/kapita/tahun

2. Dilihat dari Indeksnya, maka pada tahun 2010:

Indeks Kesehatan = 73,12

Indeks Pendidikan = 87,60

Indeks Daya Beli = 66,53

3. Kecepatan kenaikan (shortfall) IPM Kota Bogor tahun 2010 sebesar

1,11 persen.

4. Dengan upaya yang sama seperti yang telah dilakukan oleh

pemerintah Kota Bogor selama ini, diharapkan nilai IPM Kota Bogor akan terus meningkat.


(5)

9.2. Saran

1. Perlu kebijakan dan program pembangunan yang terencana, dalam

menentukan dan memilih prioritas atas kebutuhan masyarakat, sehingga pembangunan manusia tepat sasaran. Berdasarkan indeks setiap komponen pembentuk IPM, terlihat bahwa pembangunan dengan tujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat menjadi prioritas utama, disusul dengan pembangunan dalam bidang kesehatan.Sedangkan pembangunan dalam hal pendidikan tetap diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan indeks pendidikan yang sudah cukup tinggi.

2. Perlu upaya yang lebih keras lagi, jika ingin mencapai nilai IPM Kota

Bogor menjadi lebih besar atau sama dengan 75,75 sebelum tahun 2010.

3. Perlu dukungan dari pemerintah untuk dapat memberikan fasilitas

sehingga Kota Bogor dapat melakukan kegiatan pendataan untuk mrnunjang tersediaanya data dasar yang diperlukan dalam


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Human Development Report (1990). Published for the United Nations Development Program (UNDP). New York, Oxford: Oxford University Press

Human Development Report (1995). Published for the United Nations Development Program (UNDP). New York, Oxford: Oxford University Press

BPS, Bappenas, dan UNDP (2001). Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2001: Menuju Konsensus Baru: Demokrasi dan Membangunan Manusia di Indonesia. Jakarta:BPS, Bappenas dan UND.

Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (1998). Manual Teknis Operasional Pengembangan dan Pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia dalam Perencanaan Daerah. Jakarta: Ditjen Bangda