Analisis Dinamik dari Model Matematika pada Penjernihan Air yang Terkontaminasi Logam Berat dengan Menggunakan Bakteri Bacillus subtilis.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dewasa ini pencemaran air menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian lebih dari segala pihak. Pencemaran air dapat terjadi karena kesengajaan maupun karena kesalahan operasional. Keberadaan air bersih menjadi dambaan setiap manusia, baik untuk keperluan sehari-hari, untuk keperluan industri, keperluan pertanian dan lain sebagainya. Namun, kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, terutama air sangatlah kurang.
Di berbagai kota di Indonesia masih ada warga yang membuang sampah ke sungai. Seperti yang diabadikan oleh Armin Abdul Jabbar pada laman Pikiran Rakyat tanggal 26 Januari 2016 di Jln.PU Pengairan kota Bandung, sampah yang dibuang oleh warga tersangkut di pepohonan pinggir sungai. Selanjutnya di bantaran Sungai Buun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sampah-sampah mengambang di sepanjang Sungai (Borneonews, 2016) serta di Solo Jawa Tengah (Satria Utama, 2016). Membuang sampah sembarangan masih menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Menurut Cecep Dani Sucipto (2012:1) Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah terpakai. Sampah merupakan bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran, rumah
(2)
2
penginapan, hotel, rumah makan, industri, puing bahan bangunan dan besi-besi tua bekas kendaraan bermotor.
Kasus pencemaran air yang terjadi karena kesalahan operasional diantaranya adalah seperti yang terjadi di Sungai Mahakam. Pada laman daerah.sindonews.com tanggal 28 Oktober 2014 dinyatakan bahwa Sungai Mahakam tercemar limbah dari kapal pengangkut bahan berbahaya yang terguling karena kelebihan muatan. Akibat pencemaran itu, warga di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sanga-sanga, Kutai Kartanegara, kesulitan mendapatkan pasokan air bersih. Contoh lain kasus yang disebabkan oleh kesalahan operasional adalah lumpur panas Sidoarjo.
Hasil penelitian Drilling Engineers Club mengungkapkan, luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, diakibatkan oleh kesalahan operasional pengeboran yang disengaja atau intentional default (Aditya Revianur, 2012). Lumpur ini terus menerus keluar dari lubang hasil pengeboran permukaan tanah yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas pada bulan Mei 2006. Hingga sekarang lumpur tersebut telah merendam pemukiman warga, sawah, bangunan dan jalan, sehingga mengakibatkan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Hal yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah adalah dengan mengalirkan lumpur tersebut ke Sungai Porong. Upaya tersebut pastinya akan mempengaruhi muara Kali Porong, karena untuk menuju laut lumpur Sidoarjo akan melewati muara. Muara sungai merupakan bagian daerah pesisir yang memainkan peranan penting
(3)
3
secara ekonomi, ekologi dan juga merupakan kawasan dengan ekosistem komplek (Gita Angraeni, Suntoyo dan Muhammad Zikra, 2014).
Gangguan kesehatan mulai dirasakan oleh warga di sekitar pembuangan lumpur Lapindo, gangguan kesehatan tersebut seperti mudah lelah, mual, nyeri pada perut, dan diare (Tika Arifani Putri dan Ririh Yudhastuti, 2013). Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005). Riset yang telah dilakukan oleh Walhi dengan memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 menemukan jumlah Cd dan Pb ribuan kali di atas ambang baku (Catur Nusantara, 2015).
Tabel 1.1 Kandungan Logam Berat Lumpur Lapindo
(4)
4
Demi menangani kondisi air di sungai Porong tersebut, diperlukan teknologi penjernih air sehingga air dapat digunakan kembali oleh warga. Penelitian mengenai desain penjernih air telah dilakukan oleh Faisal Aziz P. dkk (2013). Pada penelitian tersebut sampel air yang diambil dari Sungai Porong diberi bakteri Bacillus subtilis dan dilihat pengaruhnya terhadap lumpur yang ada di dalam air. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa bakteri Bacillus subtilis dapat mengurangi logam berat pada air sampel.
Penjernihan air dengan bakteri Bacillus subtilis menggunakan sistem bioakumulasi. Dimana logam berat diikat pada dinding sel B.subtilis dan digunakan untuk pertumbuhannya. Hasil pengikatan logam berat akan membentuk gumpalan partikel yang ukurannya dapat memungkinkan untuk dipisahkan dengan sedimentasi atau filtrasi yang biasa disebut sebagai flok sehingga akan terpisah antara air, bakteri dan logam berat. Berikut skema yang didapatkan berserta ilustrasinya (Faisal Aziz P dkk, 2013:8):
Air mengandung logam berat + Mikroorganisme Mikroorganisme + Flok + Air bersih
(5)
5
Gambar 1.1 Ilustrasi Penjernihan Air
Mekanisme penjernihan air ini berlangsung saat bakteri pada jumlah tertentu dan air kotor pada jumlah tertentu. Namun, saat konsentrasi logam berat pada air pada jumlah tertentu, bakteri akan sulit menjernihkan air dan mati (Faisal Aziz P dkk, 2013:9). Dalam kasus ini logam berat yang terkandung dalam air yaitu Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu). Bacillus subtilis resisten terhadap logam Cu dan Pb dikarenakan logam tersebut merupakan logam yang esensial bagi bakteri. Namun, tingkat toleransi bakteri terhadap logam Cd akan semakin menurun saat konsentrasi logam Cd tersebut meningkat (Tutut Arinda, Maya Shovitri, Enny Zulaika, 2012). Sehingga saat logam berat pada jumlah tertentu daya predasi bakteri terhadap logam berat semakin berkurang.
Bakteri Bacillus subtilis yang dimasukan ke dalam air yang mengandung logam berat akan menyerap logam tersebut. Sehingga
Penambahan Bacillus subtilis
Logam berat
Pengendapan Flok
Pembentukan flok
(6)
6
penjernihan air yang terkontaminasi logam berat dapat dipandang sebagai kasus predator-prey dengan bakteri Bacillus subtilis sebagai predator dan logam pencemar sebagai prey. Pada skripsi ini akan dibahas mengenai pemanfaatan bakteri Bacillus subtilis dalam penjernihan air dengan menggunakan pemodelan matematika dan menganalisis kestabilan model matematika yang telah dibentuk.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana model matematika pada penjernihan air yang terkontaminasi logam berat dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis?
2. Bagaimanakah analisis kestabilan dari model matematika pada penjernihan air yang terkontaminasi logam berat dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membentuk model matematika pada penjernihan air yang terkontaminasi logam berat dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis.
2. Menganalisis kestabilan dari model matematika pada penjernihan air yang terkontaminasi logam berat dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis.
(7)
7 D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Bagi penulis, peneliti, dan masyarakat pada umumnya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat menjadi referensi mengenai model predator-prey pada penjernihan air dengan mikroorganisme khususnya bakteri Bacillus subtilis.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam rangka mendukung proses penjernihan air yang tercemar logam berat dengan memanfaatkan bakteri Bacillus subtilis.
(8)
8 BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yangmendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi dan teorema. Adapaun materi-materi yang digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik ekuilibrium, linearisasi sistem persamaan nonlinear, nilai eigen, vektor eigen, analisis kestabilan dan orbit periodik.
A. Persamaan Differensial Definisi 2.1 (Ross, 1989:1)
Persamaan differensial adalah suatu persamaan yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.
Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang disertakan dalam persamaan, persamaan differensial diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu persamaan differensial biasa dan persamaan differensial parsial.
Definisi 2.2 (Ross, 1989:2)
Persamaan differensial biasa adalah suatu persamaan differensial yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.
(9)
9 Contoh 2.1
Contoh dari persamaan differensial biasa.
+ ( ) − = . + + = sin .
Persamaan (2.1) merupakan persamaan differensial orde dua dan persamaan (2.2) merupakan persamaan differensial orde tiga. Variabel y pada Persamaan (2.1) merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x merupakan variabel bebas tunggal sedangkan pada persamaan (2.2) variabel y merupakan variabel tak bebas dan variabel t merupakan variabel bebas.
Definisi 2.3 (Ross, 1989:2)
Persamaan differensial parsial adalah persamaan differensial yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas.
Contoh 2.2
Contoh dari persamaan differensial parsial,
� � +
�
� = . �
� + � � +
�
(10)
10
Persamaan 2.3 merupakan persamaan differensial orde satu dan persamaan 2.4 merupakan persamaan differensial orde dua. Pada persamaan (2.3) dan (2.4) variabel v merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x dan y pada persamaan (2.3) variabel x,y dan z pada persamaan (2.4) merupakan variabel bebas.
B. Sistem Persamaan Differensial
Kumpulan dari beberapa persamaan differensial disebut sistem persamaan differensial. Diberikan suatu sistem persamaan differensial sebagai berikut:
̇ = , , , … , � , ̇ = , , , … , � ,
̇ = , , , … , � , .
̇� = � , , , … , � Sistem (2.5) dapat ditulis menjadi
̇ = .
dengan,
vektor = , , , … , � � ∈ , ⊆ ℝ�. : → ℝ�dengan =
, , , … , � � dan ∈ ′ . Sistem persamaan differensial pada dasarnya terbagi menjadi sistem persamaan differensial linear dan sistem persamaan differensial nonlinear.
(11)
11
Secara umum bentuk sistem persamaan differensial orde satu dengan variabel tak bebas , , , … , � serta variabel bebas t dapat dinyatakan sebagai berikut,
̇ = + + + � �+
̇ = + + + � �+
̇ = + + + � �+
̇� = � + � + + �� �+ � . Jika dengan = , , , … bernilai nol maka sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear homogen, sedangkan jika ≠ maka sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear nonhomogen (Ross, 1989:285). Sitem (2.7) dapat ditulis dalam bentuk
̇ = + .
dengan = [ �
], = [
… �
� �
… ⋱ …
� ��
] dan = [ �
].
Jika = , maka didapatkan sistem persamaan linear homogen
̇ = .
dengan vektor = , , , … , � � dan A adalah matriks ukuran × yang entri-entrinya adalah bilangan real.
Contoh 2.3
Contoh dari sistem persamaan diferensial linear homogeny,
(12)
12
= − + .
= − +
2. Sistem persamaan differensial nonlinear
Sistem persamaan differensial dikatakan nonlinear jika ada persamaan penyusunnya yang merupakan persamaan differensial nonlinear.
Persamaan diferensial dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut ini (Ross, 1984: 6):
a. Memuat variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya berpangkat selain satu. Contoh: ��
�� = −
b. Terdapat perkalian pada variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya. Contoh : ��
�� = + −
c. Terdapat fungsi yang memuat vaiabel tak bebas dan tidak dapat diperoleh melalui behingga operasi penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian (fungsi transedental dari variabel tak bebas) dan turunan-turunannya. Contoh: ��
�� = + sin Contoh 2.4
Contoh sistem persamaan differensial nonlinear,
= −
(13)
13
C. Model Matematika Predator-Prey Lotka-Voltera dan Fungsi Respon Persamaan Lotka-Volterra, juga dikenal sebagai sistem persamaan predator-prey karena persamaan ini menyatakan interaksi antara satu jenis predator dan satu jenis prey. Bentuk persamaan ini berupa sepasang persamaan differensial orde pertama dan non-linear. Persamaan ini adalah persamaan yang masih sederhana dengan asumsi dasar dari persamaan Lotka-Voltera yaitu populasi mengalami pertumbuhan dan peluruhan secara exponensial. Berikut sistem persamaan Lotka-Voltera (Verhulst,1990:180 ):
= − 2.12
= − 2.13
Dalam dinamika populasi, fungsi respon mengacu pada peningkatan populasi pemangsa atau pengurangan populasi mangsa saat terjadi interaksi. Fungsi respon predator adalah tingkat predasi (daya makan) predator terhadap jumlah makanan/mangsa (Holling, 1959:293-230). Sehingga fungsi respon berkaitan erat dengan peningkatan populasi predator atau pengurangan populasi prey saat saling berinteraksi. Pada tahun 1913, Michaelis dan Menten memperkenalkan sebuah fungsi respon dan pada tahun 1959, Holling menggunakan fungsi respon ini sebagai salah satu fungsi respon predator. Holling memperkenalkan 3 fungsi respon, yaitu fungsi respon tipe I, fungsi respon tipe II dan fungsi respon tipe III (Ruan,S dan Xiao,D, 2001).
(14)
14
Fungsi respon tipe I terjadi pada predator dengan karakteristik pasif, dimana ketika populasi mangsa meningkat maka daya konsumsi predator pun meningkat. Contoh predator fungsi respon tipe I adalah laba-laba dengan serangga sebagai mangsa. Misal fungsi respon dinotasikan dengan � maka persamaan fungsi respon tipe I adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
� = .
Fungsi respon tipe II terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam mencari mangsa dan predator memerlukan waktu untuk mencerna mangsa. Contoh predator fungsi respon tipe II adalah serigala dengan karibu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe II adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
� = + .
Fungsi respon tipe III terjadi pada predator yang cenderung akan mencari populasi prey lain ketika populasi prey yang dimakan mulai berkurang. Contoh predator fungsi respon tipe III adalah rusa tikus (mice deer) dengan kepompong kupu-kupu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe III adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
� =
+ .
Ketiga fungsi respon tersebut merupakan fungsi monoton naik. Berikut grafik dari ketiga fungsi respon tersebut (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
(15)
15
Gambar 2.1 Grafik Tiga Fungsi Respon Holling
Selain ketiga fungsi respon monoton yang telah dikemukakan oleh Holling, menurut S. Ruan dan D. Xiao (2001), Monod dan Haldane menambahkan satu fungsi respon hasil penelitiannya. Fungsi respon ini didasari oleh adanya Interaksi antara predator dan prey yang tidak monoton, yaitu saat jumlah populasi mangsa meningkat, daya predasi pemangsa berkurang karena adanya sifat bertahan dari mangsa. Contoh interaksi seperti ini adalah singa dan banteng, ketika jumlah banteng sedikit maka tingkat konsumsi singa cenderung meningkat, namun ketika jumlah banteng meningkat sehingga pertahanan hidup kelompok banteng pun meningkat maka tingkat predasi singa menurun.
Contoh lainnya adalah proses pada penjernihan air. Salah satu cara menjernihkan air adalah dengan memasukkan tawas ke dalam air tersebut membunuh sejumlah bakteri dalam air. Ketika bakteri dalam jumlah tertentu tawas dengan jumlah tertentu, dapat dengan mudah membunuh (memangsa) bakteri tersebut. Namun, ketika bakteri semakin banyak tawas akan semakin sulit membunuh bakteri, dan saat bakteri mencapai jumlah tertentu daya predasi tawas
type 2 �
type 3 type 1
(16)
16
terhadap bakteri cenderung semakin menurun. Persamaan fungsi respon tipe Monod-Haldane adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
� = + +
Menurut Shigui Ruan dan Dongmei Xiao, Sokol dan Howell (1980) juga meneliti tentang predator-prey yang bersifat tak monoton. Dalam penelitiannya, Sokol dan Howell menyatakan fungsi Monod-Haldane dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
� = +
Sokol dan Howell menyatakan bahwa model fungsi respon mereka secara signifikan lebih baik dan lebih sederhana karena hanya melibatkan dua parameter. Berikut grafik fungsi respon tak monoton (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
Gambar 2.2 Grafik Fungsi Respon Tak Monoton. D. Titik Ekuilibrium
Titik ekuilibrium atau titik kritis merupakan solusi dari sistem ̇ = yang tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Definisi tentang titik ekuilibrium akan dijelaskan pada Definisi (2.5) berikut ini,
(17)
17 Definisi 2.5 (Perko, 2001: 102)
Titik ̅ ∈ ℝ� disebut titik ekuilibrium atau titik kritis dari sistem ̇ = jika
̅ = .
Contoh 2.5
Akan dicari titik ekuilibrium dari sistem berikut ini,
̇ = −
̇ = − + .
Penyelesaian:
Misalkan ̅ = ̅ , ̅ � adalah titik ekuilibrium dari Sistem (2.15) maka
− = . − + = .
Dari persaaan (2.16) didapatkan
− =
⇔ ̅ = atau ̅ =
Substitusi ̅ = ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan
+ =
⇔ ̅ = atau ̅ = −
Substitusi ̅ = ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan
− + = ⇔ =
(18)
18
Jadi sistem (2.15) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu , �, , − �,
(−√ , )�dan (√ , )�.
E. Nilai Eigen dan Vector Eigen Definisi 2.6 (Anton, 1991: 277)
Jika A adalah matriks × , maka vektor tak nol x didalam ℝ� dinamakan vektor eigen dari A jika Ax adalah kelipatan skalar dari x, yakni
= .
untuk suatu skalar . Skalar dinamakan nilai eigen dari A dan x dikatakan vektor eigen yang bersesuaian dengan .
Selanjutnya untuk mencari nilai-nilai eigen dari matriks A, Persamaan (2.18) dapat ditulis menjadi
= ⟺ = ⟺ − =
⟺ − = .
dengan I adalah matriks identitas. Menurut Howard Anton (1991: 278) supaya menjadi nilai eigen maka harus ada pemecahan tak nol dari Persamaan (2.19). Persamaan (2.19) akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika
− = . .
Persamaan (2.20) disebut persamaan karakteristik dari A, sedangkan skalar yang memenuhi persamaan (2.20) adalah nilai eigen dari A.
(19)
19 Contoh 2.6
Akan dicari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A berukuran × berikut,
= [− − ]
akan dicari nilai-nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A. a. Nilai eigen dari matriks A
− = [− − ] − [ ]
= [− − ] − [ ] = [− − −− ]
Sehingga diperoleh persamaan karakteristik dari yaitu,
− =
⇔ |− − −− | =
⇔ − − − − − = ⇔ − − =
⇔ + − =
⇔ = − ∨ =
Jadi nilai-nilai eigen dari matriks A yaitu = − dan = . b. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai-nilai eigen matriks A.
Untuk = −
[− − −− ] [ ] = [− − ][ ] =
(20)
20
{− −+ ==
Persamaan − − = ekuivalen dengan = − , misalkan = maka = − . Sehingga
= [ ] = [− ]
jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan = − adalah [− ]. Untuk =
[− − −− ] [ ] = [− − ][ ] = {− + =− =
Persamaan + = ekuivalen dengan = − , misalkan = maka
= − . Sehingga
= [ ] = [− ]
jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan = adalah [− ]. F. Linearisasi Sistem Persamaan Nonlinear
Linearisasi merupakan proses mengubah suatu sistem persamaan diferensial nonlinear menjadi sistem persamaan diferensial linear. Menurut Perko (2001, 102), jika diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear
(21)
21
dengan ∈ ⊆ ℝ�, : → ℝ�, f merupakan fungsi nonlinear dan kontinu maka sistem linear linear ̇ = dengan matriks = ̅ disebut sebagai linearisasi dari ̇ = di ̅.
Sebelum ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan differensial nonlinear, akan dibahas terlebih dahulu matriks Jacobian yang dijelaskan dalam Teorema 2.1.
Teorema 2.1 (Perko, 2001: 67)
Jika : ℝ� → ℝ� terdiferensial di maka turunan parsial��
�� , , = , , , … , , di ada untuk semua ∈ ℝ� dan
= ∑�� . � = Bukti: ∑�� � = = [ � � � � � � � ] + [ � � � � � � � ] + + [ � � � � � � � � � � � � �] = [ � � � � … � � � � � � � � � � … � � � ⋱ � � � … � � � � ] [ � ] =
Matriks disebut matriks Jacobian dari fungsi : ℝ� → ℝ� yang terdiferensial di ∈ ℝ�. dapat dinotasikan dengan .
(22)
22
Selanjutnya akan ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan diferensial nonlinear (2.21) ke dalam sistem persamaan diferensial linear namun sebelumnya akan diberikan teorema mengenai deret Taylor, berikut teorema Deret Taylor:
Teorema 2.2 (Purcell, 1987:57)
Andaikan sebuah fungsi yang memiliki turunan dari semua tingkatan dalam suatu selang − , + . Syarat yang perlu dan cukup agar deret
+ ′ − + ′′
! − + +
�
! − �+ ��
menggambarkan fungsi pada selang itu, ialah
�→∞�� =
dengan �� suku sisa dalam Rumus Taylor, yaitu
�� = �+
+ ! − �+
dengan suatu bilanga dalam selang − , + .
Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear seperti pada sistem (2.21) dan misalkan ̅ = ̅ , ̅ , … , ̅� � adalah titik ekuilibrium dari sistem (2.21).
Deret Taylor dari fungsi =
, , … , � , , , … , � , … , � , , … , � � disekitar titik ekuilibrium ̅ adalah sebagai berikut,
(23)
23
, , … , � � = ̅ , ̅ , … , ̅� �+�� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ + +��
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� + ![�� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ +�
� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ + + �
� � ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� +� �� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ − ̅ +
+� �
�− � � ̅ , ̅ , , … , ̅� �
�− − ̅�− �− ̅� ] + + ![���� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ �
+���� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ �+ +���
�� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� �] + ��
� , , … , � � = � ̅ , ̅ , … , ̅� �+�� � ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +�� � ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +
+�� �
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� + ![�� � ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ +� �
(24)
24 +�� �
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
� − ̅� +� �� � ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ − ̅ + +� � �
�− � � ̅ , ̅ , , … , ̅� �
�− − ̅�− � − ̅� ] + + ![����� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ �
+����� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ �+ +��� �
�� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� �] + ���
Karena dicari bentuk linier terdekat dari fungsi =
, , … , � , , , … , � , … , � , , … , � � dan karena , , … , � ada disekitar ̅ , ̅ , … , ̅� sehingga nilai dari − ̅ , − ̅ , … , �− ̅� sangat kecil maka penurunan pada deret Taylor hanya hingga turunan pertama dan deret Taylor dari fungsi =
, , … , � , , , … , � , … , � , , … , � � disekitar titik ekuilibrium ̅ berubah menjadi
, , … , � � = ̅ , ̅ , … , ̅� �+�� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ +�� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ +
+��
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� + ��
, , … , � � = ̅ , ̅ , … , ̅� �+�� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ +�� ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +
(25)
25 +��
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� + ��
� , , … , � � = � ̅ , ̅ , … , ̅� �+�� � ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +�� � ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +
+�� �
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
� − ̅� + ���
dengan ��, ��, … , ��� disebut bagian nonlinear atau sisa yang nilainya mendekati nol sehingga nilai dari ��, ��, … , ��� dapat diabaikan dan karena ̅ , ̅ , , … , ̅� � adalah titik ekuilibrium sistem (2.21) maka ̅ , ̅ , … , ̅� � =
̅ , ̅ , … , ̅� � = = � ̅ , ̅ , … , ̅� � = . Sehingga diperoleh ̇ =�� ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +�� ̅ , ̅ , , … , ̅� � − ̅ +
+ �
� � ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅�
̇ =�� ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +�� ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ + +��
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅�
̇� = �� � ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ +�� � ̅ , ̅ , … , ̅� � − ̅ + +�� �
� ̅ , ̅ , … , ̅� �
�− ̅� . . Sistem (2.22) dapat ditulis ke dalam bentuk matriks berikut:
(26)
26 [ ̇ ̇ ̇� ] = [ �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � … �� ��� ̅ , ̅ , … , ̅� � �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � ��� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � … �� ��� ̅ , ̅ , … , ̅� � ⋱ ��� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � … ��� ��� ̅ , ̅ , … , ̅� � ] [ − ̅ − ̅ �− ̅� ]
Misalkan = − ̅ , = − ̅ , … , � = �− ̅�, dan didapatkan
[ ̇ ̇ ̇ � ] = [ �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � … �� ��� ̅ , ̅ , … , ̅� � �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � ��� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � �� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � … �� ��� ̅ , ̅ , … , ̅� � ⋱ ��� �� ̅ , ̅ , … , ̅� � … ��� ��� ̅ , ̅ , … , ̅� � ] [ � ] .
dari Sistem (2.23) didapatkan matriks Jacobian
( ̅ ) = [ � � ̅ , ̅ , … , ̅� � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � … � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � … � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � ⋱ � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � … � � � � ̅ , ̅ , … , ̅� � ]
dan sistem hasil linearisasi dari sistem (2.21) adalah
̇ = ( ̅ ) . .
Jika tidak ada bagian real dari nilai eigen-nilai eigen matriks ̅ yang bernilai nol, maka sifat kestabilan Sistem (2.21) dapat dilihat dari Sistem (2.24) dan titik ̅
(27)
27
disebut sebagai titik ekuilibrium hiperbolik. Definisi resmi mengenai titik ekuilibrium hiperbolik dapat dilihat pada Definisis 2.7 berikut.
Definisi 2.7 (Perko, 2001: 102)
Titik ekuilibrium ̅ ∈ ℝ� disebut titik ekuilibrium hiperbolik dari Sistem (2.21) jika bagian real nilai eigen dari matriks ̅ tidak ada yang bernilai nol.
Contoh 2.7
Akan dicari matriks Jacobian dari sistem (2.15) serta akan dilakukan identifikasi untuk masing-masing titik ekuilibrium. Pencarian titik ekuilibrium telah dilakukan pada Contoh 2.5 dan didapatkan titik ekuilibrium untuk sistem (2.15) adalah
, �, , − �, (−√ , )�dan (√ , )�. Matriks Jacobian dari Sistem (2.25) adalah
( ̅ ) = [
� −
�
� −
�
� − +
�
� − +
� ]
= [ −− + ]
Untuk ̅ = , �
, � = [ ] Didapatkan nilai eigen dari , � yaitu
| − − | =
⇔ − − =
⇔ = ∨ =
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium ̅ = , � adalah titik ekuilibrium hiperbolik.
(28)
28 Untuk ̅ = , − �
, − � = [
− ]
Didapatkan nilai eigen dari , − � yaitu
| − − − | =
⇔ − − − =
⇔ = ∨ = −
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium ̅ = , − � adalah titik ekuilibrium hiperbolik.
Untuk ̅ = (−√ , )�
(−√ , )� = [ − √
√ ]
Didapatkan nilai eigen dari (−√ , )� yaitu
| − − √
√ − | =
⇔ − − − − √ √ =
⇔ − + =
⇔ − − √ − + √ =
⇔ = + √ ∨ = − + √
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium ̅ = (−√ , )� adalah titik ekuilibrium hiperbolik.
(29)
29
(√ , )� = [ √
− √ ]
Didapatkan nilai eigen dari (√ , )� yaitu
| − √
− √ − | =
⇔ − − − − √ √ =
⇔ − + =
⇔ − − √ − + √ =
⇔ = + √ ∨ = − + √
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium ̅ = (√ , )� adalah titik ekuilibrium hiperbolik.
G. Analisis Kestabilan
Kestabilan titik ekuilibrium dari sebuah sistem persamaan differenssial secara umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu stabil, stabil asimtotik dan tidak stabil. Kestabilan titik ekuilibrium ini akan dijelaskan dalam definisi-definisi dan teorema berikut.
Definisi 2.8 (Olsder, 2004:57)
Diberikan sistem persamaan differensial ̇ = dengan ∈ ℝ�, penyelesaan dengan keadaan awal = dinotasikan oleh , .
Suatu titik ekuilibrium dikatakan stabil bila untuk setiap > ada > dan � sedemikian hingga bila ‖ �� − ‖ < maka ‖ , �� − ‖ <
(30)
30
Suatu titik ekuilibrium dikatakan stabil asimtotik bila titik stabil dan ada > sedemikian hingga
�→∞‖ , − ̅‖ = untuk semua ℎ ‖ − ̅‖ < .
Suatu titik ekuilibrium dikatakan takstabil bila tidak memenuhi definisi stabil.
Ilustrasi pada ℝ dari Definisi 2.9 disajikan pada Gambar 2.3 berikut ini,
Gambar 2.3 Ilustrasi Kestabilan
Secara intuisi, stabil untuk nilai awal yang cukup dekat dengan titik ekuilibrium maka untuk nilai t yang cukup tinggi, penyelesaian sistem sangat dekat dengan titik ekuilibrium dalam suatu persekitaran. Sedangkan stabil asimtotik berarti penyelesaian konvergen ke titik ekuilibrium (asalkan titik awal adalah cukup dekat ke titik ekuilibrium). Takstabil artinya selalu ada penyelesaian yang dimulai dari manapun dekatnya dengan titik ekuilibrium tapi akhirnya menjauh dari titik ekuilibrium.
Analisis kestabilan berdasarkan definisi masih terlalu sulit dilakukan, oleh karena itu terdapat cara analisis kestabilan berdasarkan nilai eigen dari sistem persamaan differensial. Teorema berikut memberikan syarat kestabilan dari persamaan differensial ̇ = , dimana matriks mempunyai peranan penting
(31)
31
khususnya nilai eigen ( ) dari matriks yaitu bagian real dari yang dinotasikan oleh � .
Untuk suatu sistem persamaan differensial linear ̇ = dengan adalah matriks berukuran × dan titik ekuilibrium yang diambil sebagai titik asal adalah
= (meskipun mungkin ada titik ekuilibrium yang lainnya saat determinan matriks sama dengan nol). Untuk selanjutnya dikatakan bahwa persamaan differensial ̇ = atau bahkan matriks itu sendiri adalah stabil asimtotik, stabil atau takstabil bila titik asal = sebagai titik ekuilibrium adalah stabil asimtotik, stabil atau takstabil (Olsder,2004:58).
Teorema 2.3 (Olsder, 2004:58)
Diberikan persamaan differensial ̇ = dengan matriks A berukuran × dan mempunyai nilai karakteristik yang berbeda ,· · · , ≤ .
Titik asal = adalah stabil asimtotik bila dan hanya bila � < untuk semua = ,· · · , .
Titik asal = adalah stabil bila dan hanya bila � ≤ untuk semua
= ,· · · , dan untuk semua dengan � = multisiplisitas aljabar sama dengan mutiplisitas geometrinya.
Titik asal = adalah takstabil bila dan hanya bila � > untuk beberapa = ,· · · , atau ada dengan � = dan multisiplisitas aljabar lebih besar dari mutiplisitas geometrinya.
Analisis kestabilan juga dapat dilakukan dengan melihat potret fase sistem. Potret fase dari persamaan differensial menurut Hale dan Kocak (1991) merupakan
(32)
32
kumpulan dari semua orbit, sedangkan orbit merupakan proyeksi dari grafik solusi pada bidang- dengan kata lain potret fase juga merupakan proyeksi dari grafik solusi pada bidang- . Pada potret fase juga diberi panah berarah. Potret fase dari sebuah sistem hampir seluruhnya berdasarkan nilai eigen ( ). Desinisi dari bentuk-bentuk potret fase dapat dilihat pada Definisi 2.9.
Definisi 2.9 (Verhulst, 1990:28)
Diberikan sebuah sistem persamaan linear dimensi dua ̇ = dengan nilai eigen dan .
1. Sistem dikatakan Node pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real dan bertanda sama. Stabil Node jika , < dan tidak stabil Node jika
, > .
2. Sistem dikatakan Saddle pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real dan berbeda tanda. Saddle bersifat tidak stabil.
3. Sistem dikatakan Focus pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai kompleks, , = ± dengan ≠ . Stabil Focus jika < dan tidak stabil Focus jika > .
4. Sistem dikatakan Center pada titik ekuilibrium jika kedua nilai eigen bernilai imajiner murni. Jika sistem linear dikatakan focus maka sistem stabil namun jika sistem hasil linearisasi bernilai Center maka kestabilan sistem asli tidak dapat ditentukan.
Contoh potret fase untuk setiap kasus dapat dilihat pada Gambar 2.4a, 2.4b, 2.4c, 2.4d, 2.4e dan 2.4f.
(33)
33
Gambar 2.4a Stabil Node
Gambar 2.4b Tidak Stabil Node
(34)
34
Gambar 2.4d Stabil Focus Gambar 2.4e Tidak Stabil Focus
(35)
35 H. Orbit Periodik
Pada model matematika Predator-prey, untuk mengetahui apakah mangsa dan pemangsa akan selalu ada dalam sistem maka digunakan orbit periodik. Jika sistem memiliki orbit periodik maka mangsa dan pemangsa akan selalu ada secara bersama-sama. Definisi orbit periodik secara formal dapat dilihat pada Definisi 2.10.
Definisi 2.10 (Hale, 1991:179)
Suatu solusi � , dari sistem ̇ = disebut sebagai solusi priodik jika � + �, = � , untuk semua ∈ ℝ dan � > . Orbit =
{� , , ∈ ℝ} dari sebuah solusi priodik disebut orbit priodik (orbit tertutup). Keberadaan orbit periodik dapat ditunjukkan dengan menggunakan kriteria Dulac. Teorema 2.4 Kriteria Dulac (Hale, 1991:373)
Misal , adalah fungsi bernilai real pada daerah ⊆ � . Jika � ��
�� +
� ��
�� tidak bernilai nol dan tidak terjadi perubahan tanda di maka ̇ = tidak memiliki orbit periodik.
I. Lumpur Lapindo dan Bacillus subtilis
Sekitar November 2006, lumpur Sidoarjo mulai dibuang melalui Kali Porong melalui outlet sekitar 20 km dari hulu sungai, dengan harapan debit air Sungai Porong dapat mengalirkan buangan lumpur Sidoarjo ke laut dalam di Selat Madura (BAPEL –BPLS dalam Gita Anggraeni, Suntoyo, Muhammad Zikra, 2014). Kali
(36)
36
Porong (Sungai Porong) merupakan salah satu cabang dari sungai Brantas yang berhulu di Mojokerto. Lumpur panas dibuang melalui Sungai Porong dengan menggunakan pompa dimana debit lumpur yang dibuang antara 0.5 m3/s - 4,5 m3/s
atau sekitar 1.8 juta L/Jam – 16.2 juta L/Jam. Hal ini berakibat pada penurunan kualitas air Sungai Porong.
Menurut Kep.Menkes. No. 907/2002, air layak dikonsumsi jika kadar logam berat di air tidak lebih dari 0,003 ppm untuk Cd (Kadmium), 1 ppm untuk Cu (Tembaga), 0,05 ppm untuk Pb (Timbal) dan 0,05 ppm untuk Cr (Kromium). Namun air Lumpur Sidoarjo mengandung logam berat antara lain Pb 0,05 ppm, Cr 0,65 dan Cu 0.0144 ppm dan air Sungai Porong mengandung Cd 0.0271 ppm (Faisal Aziz P dkk, 2013:1) sehingga air Sungai Porong tidak layak konsumsi.
Pada tahun 2013, Faisal Aziz P,dkk telah melakukan penelitian guna mengurangi kandungan logam berat pada air Sungai Porong dengan menggunakan bakteri Bacillus Subtilis. Menurut penelitian tersebut, kemampuan B. subtilis untuk menurunkan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sebesar 211,7 – 752 mg/L dari semula 6.438,1 mg/L atau sebesar 88,41 % - 96,73 %. COD merupakan kadar limbah anorganik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan untuk memecah limbah anorganik. Jika nilai COD sungai porong pada awalnya adalah 20,2 mg/L, maka dengan teknologi B. subtilis COD menurun menjadi 0,66 – 2,34 mg/L. Sedangkan kemampuan untuk dapat mengikat logam berat seperti Cd, Pb dan Cu masing – masing sebesar 87%, 77% dan 54%. Berikut tabel kemampuan reduksi B. subtilis (Faisal Aziz P dkk, 2013:9):
(37)
37
Tabel 2.1 Reduksi Logam Berat oleh B.subtilis
Penggunaan mikrobia dalam penurunan kadar logam berat pada air telah banyak digunakan. Secara umum mikrobia mengurangi bahaya pencemaran logam berat dengan cara: detoksifikasi (biopresipitasi), biohidrometalurgi, bioleaching dan biokumulasi. Detoksifikasi atau biopresipitasi pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat tonsik menjadi senyawa bersifat tidak tonsik. Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air. Bioleaching merupakan aktivitas mikrobia untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Bioakumulasi merupakan cara yang paling umum digunakan oleh mikrobia untuk menangani logam berat. Pada prinsipnya bioakumulasi merupakan pengikatan ion-ion logam dalam struktur sel mikrobia (David Ariono, 1996).
Salah satu mikrobia yang dapat digunakan dalam pengurangan kadar logam berat pada air adalah bakteri Bacillus subtilis. Bakteri Bacillus subtilis memiliki potensi untuk menjernihkan sumber air. Kemampuan bakteri tersebut dalam menghasilkan asam poliglutamat (PGA) dapat berperan sebagai flokulan, dimana zat ini dapat mengikat polutan dalam air. Bakteri B. subtilis memiliki laju pertumbuhan dan waktu generasi secara berturut - turut sebagai berikut 1,15/jam
(38)
38
dan 33,43 menit. Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat jumlah semula (Doddi Yudhabuntara, 2013). Berikut mekanisme bakteri Bacillus subtilis dalam menjernihkan air (Faisal Aziz P dkk, 2013:8):
1. B.subtilis sebagai bioflokulan
Mekanisme penjernihan air menggunakan B.subtilis didasarkan bahwa mikroorganisme ini mampu memproduksi bioflokulan sehingga mampu mengikat zat polutan. Proses penjernihan air kotor karena zat polutan ialah sebagai berikut.
Air kotor+Mikroorganisme+O2 mikroorganisme + Flok + Air bersih +CO2
Prinsip teknik ini adalah menginteraksikan mikroorganisme dengan air kotor yang mengandung polutan-polutan. Mikroorganisme mengikat polutan dan akan membentuk gumpalan partikel yang ukurannya dapat memungkinkan untuk dipisahkan dengan sedimentasi atau filtrasi (flok). Di dalam air kotor oksigen yang ada hanya sedikit karena polutan akan mengubah kondisi COD dan BOD tetapi bakteri tetap mampu berkembang dan berperan. Flok-flok bakterien menyebabkan air kotor tersebut mengendap di dasar, sehingga akan terpisah antara polutan, air dan mikroorganisme.
2. B.subtilis sebagai penghasil asam Poliglutamat (PGA)
Proses penjernihan air dapat dilakukan dengan memanfaarkan asam poliglutamat (PGA), dimana PGA tersebut juga dihasilkan oleh B.subtilis, proses penjernihan digambarkan dalam skema berikut ini
(39)
39
Asam poliglutamat (PGA) + Air mengandung polusi Flok +Air bersih Prinsip teknik ini adalah asam poliglutamat dicampur dengan air yang mengandung polusi dan akan menghasilkan flok yang mengendap di dasar, sehingga akan terpisah antara polutan dan air. Hal ini diakibatkan PGA mengandung anion yang mengikat polutan yang mengandung kation sehingga akan mengakibatkan endapan di dasar.
3. B.subtilis untuk mengikat dan menyerap logam berat
Proses penjernihan air yang mengandung logam berat dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme, yang terdiri dari dua tahap yaitu aktif uptake dan pasif uptake.
Gambar 2.5 Proses Penjernihan Air
Prinsip teknik ini ialah mengontakkan mikroorganisme dengan air yang tercemar polutan dan terjadi dua proses yaitu proses aktif uptake dan proses pasif uptake. Proses pasif uptake terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent dan divalent seperti Na+, Ca2+ dan Mg+ pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat Cd2+ dan Ni2+ dan yang kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion
Mikroorganisme dikontakkan Air yang tercemar logam berat
Proses pasif uptake
Proses aktif uptake Pertukaran
ion
Menyerap logam berat Pengurangan logam berat
(40)
40
logam berat dengan functional groups seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl, phosphate dan hydroxyl-carbonyl yang berada pada dinding sel. Sedangkan pada proses aktif uptake, mikroorganisme memakan logam berat untuk pertumbuhan mikroorganisme. Logam berat dapat diendapkan dan ekskresi pada tingkat ke dua. Pada tahap tertentu mikroorganisme ini dapat mati, sehingga dari kedua proses tersebut menyebabkan terjadi pengurangan polutan ion logam berat.
(41)
41 BAB III PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas dua buah model matematika. Model pertama digunakan pada sistem penjernihan air dengan keadaan air tidak mengalir dan pemberian bakteri hanya dilakukan sekali namun ada pencemar logam yang terus menerus ditambahkan. Model ini yang selanjutnya akan disebut sebagai model matematika penjernihan air tabung tertutup. Model kedua digunakan pada sistem penjernihan air dengan keadaan air mengalir (sungai) dan penambahan bakteri dapat dilakukan sesuai kebutuhan yang dapat disebut sebagai model matematika penjernihan air tabung terbuka.
A. Model Matematika Penjernihan Air Tabung Tertutup dengan Fungsi Respon Tak Monoton
Untuk mengkonstruksi model predator-prey penjernihan air tabung tertutup dengan fungsi respon tak monoton pada populasi B.subtilis (predator) dan Logam berat (prey) maka diperlukan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Di dalam model ini hanya ada dua populasi yakni logam berat sebagai prey dan bakteri Bacillus subtilis sebagai predator.
2. Laju populasi logam berat dengan tidak adanya B.subtilis akan terus bertambah mendekati eksponensial dan tak terbatas dengan angka pertambahan intrinsik dari logam berat 9 juta L/jam.
(42)
42
4. Populasi logam berat di air akan menurun dan populasi B.subtilis akan meningkat pada saat terjadinya interaksi antara logam dengan B.subtilis karena logam berat akan diserap oleh B.subtilis untuk kebutuhan pertumbuhannya dan kemudian diendapkan.
5. Laju pertumbuhan B.subtilis adalah 1.15 kali/jam.
6. Gerakan dan kontak B.subtilis dan logam berat berlangsung secara acak sehingga setiap logam berat memiliki peluang yang sama untuk dimangsa. 7. Besar peningkatan populasi B.subtilis dengan adanya interaksi dengan logam
berat berbanding lurus dengan tingkat penurunan populasi logam berat akibat interaksi dengan B.subtilis
8. Pada konsentrasi tertentu logam berat dapat menurunkan tingkat toleransi B.subtilis terhadap logam berat sehingga mengakibatkan kematian bakteri. Dari asumsi-asumsi di atas akan dibentuk model matematika predator-prey pada kasus penjernihan air dengan menggunakan bakteri B.subtilis yang berperan sebagai predator (pemangsa) dan logam berat sebagai prey (mangsa).
1. Pemodelan Dasar Predator-Prey Lotka Voltera Kasus B.subtilis-Logam Berat
Berdasarkan asumsi 1 maka, dimisalkan
: populasi B.subtilis pada saat waktu t (mg/L) : populasi logam berat pada saat waktu t (mg/L)
(43)
43
a. Sesuai dengan asumsi ke-2 dimana laju populasi logam berat dengan tidak adanya B.subtilis akan terus bertambah mendekati eksponensial dan tak terbatas dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
�
� = 3.1
b. Laju populasi B.subtilis dengan tidak adanya mangsa akan menurun (berdasarkan asumsi 3) sehingga dapat ditulis dengan bentuk sebagai berikut:
�
� = 3.2
dengan adalah angka kematian bakteri (juta L/jam).
c. Seperti asumsi ke-4, setiap interaksi antara kedua populasi tersebut akan mengurangi populasi logam berat dengan laju sebesar � dan meningkatkan populasi B.subtilis dengan laju sebesar . �.
Oleh sebab itu pengurangan logam berat sebanyak � dan penambahan populasi B.subtilis sesuai dengan asumsi ke-5 dan ke-7 yaitu sebanyak
. � . sehingga persamaan (3.1) dan (3.2) berubah menjadi �
� = − �
3.3 �
(44)
44
2. Pemodelan Logam Berat-B.subtilis dengan Fungsi Respon Tak Monoton Dari persamaan (3.3), � menyatakan representasi dari banyaknya mangsa (logam berat) yang ditangkap pemangsa (B.subtilis). Jika merupakan fungsi respon mangsa, yaitu fungsi yang menyatakan banyaknya mangsa yang ditangkap pemangsa dengan memperhatikan banyaknya populasi mangsa, maka dapat ditulis sebagai berikut,
= �
Dan kemudian jika merupakan fungsi respon predator (B.subtilis), yaitu fungsi yang menyatakan banyaknya logam berat (mangsa) yang dapat dikonversi untuk pertumbuhan B.subtilis (pemangsa) dengan memperhatikan banyaknya populasi , berikut :
= . � = .
Diasumsikan bahwa memenuhi asumsi berikut:
a. Ketika jumlah populasi mangsa (logam berat) sama dengan nol, maka banyak mangsa yang ditangkap pemangsapun (B.subtilis) nol.
b. Ketika jumlah mangsa lebih dari nol, maka selalu ada mangsa yang dapat ditangkap oleh pemangsa.
= , =
> ,∀ >
Berdasarkan asumsi ke-8 yaitu pada konsentrasi tertentu logam berat dapat menurunkan tingkat toleransi B.subtilis terhadap logam berat sehingga
(45)
45
mengakibatkan kematian bakteri, maka diasumsikan ada M > 0, dengan M merupakan batas pertahanan logam berat sehingga daya serap B.subtilis menurun. Sehingga
a. Ketika banyak populasi logam berat kurang dari M maka banyak logam berat yang dapat diserap oleh B.subtilis terus meningkat.
b. Ketika banyak populasi logam berat lebih besar dari M maka banyak logam berat yang dapat diserap oleh B.subtilis terus menurun.
secara matematis dapat ditulis: ′ > ,
′ < ,
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, dapat dilihat bahwa fungsi respon yang lebih cocok digunakan adalah jenis fungsi respon tak monoton yaitu fungsi respon tipe IV, sehingga
=
+ 3.4
dan
= . = .
+ 3.5
dengan menyatakan tingkat pertumbuhan maksimal mangsa (logam berat) dan menyatakan konstanta half-saturation.
Sehingga dari persamaan (3.4) dan (3.5) diperoleh sistem persamaan predator-prey dengan fungsi respon tak monoton
(46)
46 �
� = − +
3.6 �
� = − +
. +
Untuk mengurangi banyaknya parameter maka dengan menskalakan nilai , yaitu = ̃, = ̃, = ̃, ̇ = ̃̇ dan ̇ = ̃̇ diperoleh
�
� = ̃ − . ̃. ̃
̃ + ̃
= ̃ − . ̃̃
( ̃ + ̃ )
= ̃ − ̃̃
̃ + ̃̃
= ̃ − ̃̃
( ̃ + ̃ ) �
� = − ̃ + , . ̃. ̃
̃ + ̃
= − ̃ + , . ̃̃
( ̃ + ̃ )
= − ̃ + , ̃̃
( ̃ + ̃ )
= − ̃ + , ̃̃
(47)
47 Dari perhitungan di atas, didapatkan
�
� = ̃ −
̃̃ ( ̃ + ̃ )
3.7 �
� = − ̃ +
, ̃̃ ( ̃ + ̃ )
Dengan menghilangkan tanda bar pada masing-masing variabel dan Karena tingkat pertumbuhan maksimal mangsa (logam berat) adalah 16 juta L/jam maka konstanta half-saturation pada kasus ini adalah = . juta L/jam maka diperoleh sistem persamaan predator-prey baru yaitu
�
� = − . +
3.8 �
� = − +
. . + 3. Titik Ekuilibrium
Berdasarkan definisi (2.5), titik ekuilibrium sistem (3.8) adalah nilai dan yang memenuhi
�
� = dan �
� = 3.9
Sehingga didapatkan persamaan
= ( − . + ) 3.10
= (− + .
(48)
48 Dari persamaan (3.11) diperoleh
= 3.12
atau
− + . + = .. 3.13
Selanjutnya, substitusi persamaan (3.12) ke persamaan (3.10), sehingga diperoleh
− . + = − =
= . Karena ≠ maka
= , 3.14
dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium � yaitu
� = , �.
Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan (3.13) maka diperoleh − + . + =.
. + =. . = . +
(49)
49
− . + . = , sehingga diperoleh
= . +√ . − . = . +√ . − . 3.15
= . −√ . − . = . −√ . − . . 3.16
Untuk mendapatkan nilai untuk titik ekuilibrium selanjutnya, substitusi persamaan (3.15) ke persamaan (3.10).
= +
= . + ( . + √ . − . )
Substistusi persamaan (3.16) ke persamaan (3.10)
= +
= . + ( . − √ . − . ) .
Diperoleh 2 titik ekuilibrium yaitu
� = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
� = ( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
� .
(50)
50
Sehingga sistem persamaan (3.8) memiliki 3 titik ekulibrium yaitu
� = , �
� = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
� = ( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
� .
Karena nilai populasi bakteri dan logam berat tidak mungkin negatif maupun imajiner, sehingga dan haruslah positif, maka
. − .
⟺ . .
sehingga nilai dan ada jika √ .
. = . . Dengan demikian, pada titik ekuilibrium � dan � dimungkinkan terjadi bifurkasi saat =
. , yaitu jika > . hanya ada satu titik ekuilibrium � = , , saat = . terdapat dua titik ekuilibrium � = , � dan � = . , . dan saat < . terdapat tiga titik ekuilibrium � =
, , � = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
dan
� = ( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
� .
(51)
51 4. Analisis Kestabilan Titik Ekuilibrium
Sebelum menganalisis kestabilan titik ekuilibrium pada model matematika penjernihan air yang terkontaminasi logam berat perlu dilakukan beberarapa hal yaitu: linearisasi dengan matriks Jacobian, mencari persamaan karakteristik hingga didapatkan nilai eigen untuk setiap titik ekuilibrium dan terakhir analisis kestabilan sistem dari nilai eigen pada tiap titik ekuilibrium.
a. Linearisasi Sistem (3.8) Misal � = �
� dan � = �
� maka ��
� = −
. + −
. + = −
. −
. + . a ��
� = − . + . b ��
� =
. . + − .
. + =
. . −
. + . c ��
� = − + .
. + . d Berdasarkan (3.17a), (3.17b), (3.17c) dan (3.17d) diperoleh matriks Jacobian �| ∗, ∗ = [ �� � �� � �� � �� � ]
(52)
52 [ ̇̇] = [ − . +. − − . + . . − . + − + . . + ] [ ]
Sehingga sistem hasil linearisasi adalah
̇ = − . +. − − ( . + )
̇ = . . +. − + (− + .
. + ) }
… … … .
b. Persamaan Karakteristik dan Nilai Eigen
Dari sistem persamaan (3.8) dicari sistem persamaan karakteristiknya. Misalkan, = [ − ∗. +. −∗ ∗ − . +∗ ∗ . ∗ . − ∗ . + ∗ − + . ∗ . + ∗ ] − � = [
− ∗. +. −∗ ∗ − λ − . +∗ ∗
. ∗ . − ∗
. + ∗ − +
. ∗
. + ∗ − λ ]
.
Untuk model penjernihan air pipa tertutup, persamaan karakteristik dicari pada setiap titik ekuilibrium.
(53)
53
� − � =
[
− . +. − − λ − . +
. . −
. + − +
.
. + − λ ]
= [ − � − − �]
det � − � =
⇔ − � − − � − = ⇔ � + � − + − =
Didapatkan nilai � = atau � = − .
2) Pada � = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) ) �
Untuk memudahkan perhitungan, dimisalkan = . + √ . − . sehingga titik ekulibrium menjadi � = , . +
dan matriks A untuk � menjadi
� = . + [ . . − − . −+ − . ].
Persamaan karakteristik � − �
= . + [ . . − − . −+ − . ]
− [� �]
memiliki nilai eigen
(54)
54 dengan
= − − . + .
= − + . − . + .
= . + √ . − . .
3) Pada � = ( . −√ . − , . + ( . −√ . − ) ) �
Untuk mempermudah perhitungan misal . − √ . − = , sehingga titik ekulibrium menjadi � = , . + .
Dari persamaan karakteristik � − �
= . + [ . . − − . −+ − . ]
− [� �],
didapatkan nilai eigen
� , =− ± √ −. +
dengan
= − − . + .
= − + . − . + .
= . − √ . − . .
Nilai eigen tersebut digunakan untuk menganalisis kestabilan dari sistem persamaan (3.8).
(55)
55 c. Analisis kestabilan titik ekuilibrium
Selanjutkan dilakukan analisis kestabilan untuk sistem persamaan (3.8). Sebelumnya telah dicari nilai s agar titik ekuilibrium bernilai real, yaitu saat √ . . = . . Berdasarkan nilai s, jumlah titik ekuilibrium pada sistem dapat berbeda-beda yakni
1) Untuk > . hanya terdapat satu titik ekuilibrium yakni
� = , �.
Sebelumnya telah dibahas mengenai persamaan karakteristik dari � = , � dan didapatkan nilai � = atau � = − . Karena nilai > . maka nilai � pasti negatif. Dengan nilai � positif dan � negatif menyebabkan sistem bersifat tidak stabil pada titik ekuilibrium � = , �.
2) Untuk = . terdapat dua titik ekuilibrium yakni � = , � dan
� = . , . �
Kestabilan titik ekuilibrium � = , � pada = . bersifat tidak stabil karena salah satu nilai � dari persamaan karakteristik akan bernilai positif. Untuk mencari kestabilan titik ekuilibrium � = . , . � dengan mensubstitusi nilai s pada persamaan karakteristik didapatkan nilai eigen � = − . × − dan � = . dan diketahui bahwa sistem tidak stabil pada titik ekuilibrium � dengan = . .
(56)
56
3) Untuk < terdapat tiga titik ekuilibrium yakni � = , �,
� = ( , +√ , − . , . + ( , +√ , − . ) )
�
dan
� = ( , −√ , − . , . + ( , −√ , − . ) )
� . a) Titik ekuilibrium � = , �
Didapatkan � = , � = − karena terdapat nilai � poristif maka sistem pada titik ekuilibrium � = , tidak stabil.
b) Titik ekuilibrium � = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
Dari perhitungan sebelumnya didapatkan nilai eigen
� , = − ± √ −. +
dengan
= − − . + .
= − + . − . + .
= . + √ . − . .
Akan dicari kapan nilai eigen bernilai real dengan melihat nilai − pada grafik − = untuk � yang dapat dilihat pada gambar 3.1.
(57)
57
Gambar 3.1 Grafik − =
Dapat dilihat dari Gambar 3.1 bahwa nilai − untuk T2 selalu positif
untuk < . , maka nilai eigen untuk T2 bernilai real.
Selanjutnya dicari nilai eigen untuk T2 pada setiap nilai dengan
menggunakan grafik.
i. � = − +√ −
. + untuk � pada < .
(58)
58
Dari grafik di atas dapat di lihat bahwa nilai dari � dengan nilai yaitu < . untuk T2 selalu positif.
ii. � =− −√ −
. + untuk � pada < .
Gambar 3.3 � untuk T2 pada < .
Dari Gambar 3.3 dapat di lihat bahwa nilai dari � dengan nilai yaitu < . untuk T2 selalu negatif.
Karena � pada titik ekuilibrium � selalu bernilai positif dan � bernilai negatif saat < . maka � bersifat tidak stabil.
c) Titik ekuilibrium � = ( . −√ . − , . + ( . −√ . − ) ) �
Dari perhitungan sebelumnya didapatkan nilai eigen
� , =− ± √ −. +
dengan
= − − . + .
(59)
59
= . − √ . − . .
Akan dicari kapan nilai − untuk � bernilai positif sehingga nilai eigen bernilai real.
Gambar 3.4 Grafik − untuk � pada < .
Karena ada nilai s dimana < < . sedemikian hingga − < , yaitu saat < < . yang selanjutnya disebut
sebagai . Pencarian nilai dengan menggunakan metode bagi dua (Sintax Matlab dapat dilihat pada Lampiran 1). Sehingga nilai eigen pada � akan bernilai imajiner saat < < . Selanjutnya cek nilai dengan melihat grafik pada Gambar 3.5.
(60)
60
Gambar 3.5 Grafik untuk � pada < .
Nilai untuk T3 selalu negatif maka nilai eigen selalu bernilai positif
imajiner saat < < s , bernilai sama dengan nol saat = dan bernilai positif saat s < < . .
Selanjutnya dicari nilai eigen untuk T3
i. � =− +√ −
(61)
61
Gambar 3.6 Grafik � untuk � pada < .
Dari gambar dapat dilihat bahwa nilai dari � untuk � selalu positif.
ii. � =− −√ −
. + untuk �
Gambar 3.7 Grafik � untuk � pada < .
Dari gambar dapat dilihat bahwa nilai dari � untuk � selalu positif. Karena nilai dari � dan � selalu positif maka sistem pada titik ekuilibrium � dengan < . bersifat tidak stabil.
Untuk memastikan perubahan tanda �� (positif atau negatif) seiring dengan perubahan nilai untuk masing-masing titik ekuilibrium dapat dilihat pada tabel 3.1
dengan nilai = . , = . dan = . .
Tabel 3.1 Kestabilan Titik Ekuilibrium
No TE < = < < = < < = >
� � K � � K � � K � � K � � K � � K � � K
(62)
62
2 � + - TS + - TS + - TS + - TS + - TS
+ - TS Tidak ada 3 � + + TS + + TS + + TS + + TS + + TS
K: kestabilan, S: Stabil, TS: Tidak Stabil
Selanjutnya dilakukan simulasi berupa potret fase di sekitar ketiga titik ekuilibrium dengan nilai = dan memilih beberapa nilai yaitu = . , = . , = . , = . , = . dan = . . Simulasi potret fase dapat dilihat pada lampiran 2 . Potret-potret fase pada lampiran 2 digambarkan dengan menggunakan program Maple (script Maple dapat dilihat pada lampiran 3).
Berdasarkan Tabel 3.1 dan simulasi yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
a) Untuk � tidak terjadi perubahan keadaan dinamik, bentuk potret fase yang didapatkan disekitar � selalu berbentuk saddle untuk setiap sehingga � bersifat tidak stabil.
b) Untuk � tidak terjadi perubahan keadaan dinamik, bentuk potret fase yang didapatkan disekitar � selalu berbentuk saddle untuk setiap sehingga � bersifat tidak stabil.
c) Untuk � terjadi perubahan keadaan dinamik, yaitu pada .
bentuk potret fase disekitar � adalah unstable focus dan pada saat . < . berbentuk node. Sehingga pada � terjadi bifurkasi.
(63)
63
5. Interpretasi Model pada Kasus Penjernihan Air
Dari penjelasan sebelumnya didapatkan bahwa sistem tidak pernah stabil pada setiap titik ekuilibrium dengan nilai = dan < . artinya saat banyak logam yang ditambahkan pada daerah observasi (Sungai Porong) sebanyak 9 juta L/jam dan kematian bakteri kurang dari . juta L/jam dengan asumsi tidak ada bakteri dan logam berat yang terbawa arus sungai maka tidak dapat dipastikan jumlah akhir dari banyaknya logam dan bakteri pada waktu tertentu sehingga air sungai tidak layak untuk dikonsumsi warga sekitar.
B. Model Matematika Penjernihan Air Tabung Terbuka dengan Fungsi Respon Tak Monoton
Untuk mengkonstruksi model predator-prey penjernihan air tabung terbuka dengan fungsi respon tak monoton pada populasi B.subtilis (predator) dan Logam berat (prey) maka diperlukan delapan asumsi yang sama dengan model sebelumnya namun dengan angka pertambahan intrinsik dari logam berat yaitu r dan tambahan 2 asumsi lain yaitu : (9) Adanya pengurangan jumlah logam berat dan bakteri karena terbawa arus sungai. (10) Penambahan jumlah bakteri dapat dilakukan berkali-kali.
1. Pemodelan Predator-Prey Lotka-Voltera Kasus B.subtilis-Logam Berat dengan Fungsi Respon Tak Monoton
Berdasarkan asumsi 1 maka, dimisalkan
b(t) : populasi B.subtilis pada saat waktu t (mg/L) l(t) : populasi logam berat pada saat waktu t (mg/L)
(64)
64
a. Sesuai dengan asumsi ke-2 maka laju populasi logam berat dengan tidak adanya B.subtilis akan terus bertambah mendekati eksponensial dan tak terbatas serta asumsi ke-9 yang meyatakan bahwa adanya pengurangan jumlah logam berat karena terbawa arus sungai sehingga dapat dinyatakan bahwa:
�
� = − 3.19
dimana merupakan angka pertambahan intrinsik dari logam berat (juta L/jam) dan merupakan banyaknya logam berat yang terbawa arus sungai (juta L/jam).
b. Laju populasi B.subtilis dengan tidak adanya mangsa akan menurun (berdasarkan asumsi 3) dan asumsi ke-9 yang menyatakan bahwa adanya pengurangan jumlah logam berat dan bakteri karena terbawa arus sungai serta asumsi ke-10 yang menyakatakan bahwa adanya penambahan jumlah bakteri sehingga dapat ditulis dengan bentuk sebagai berikut:
�
� = − − + 3.20
dengan merupakan angka kematian bakteri (juta L/jam), merupakan banyaknya bakteri yang terbawa arus sungai (juta L/jam) dan merupakan banyaknya bakteri yang ditambahkan (juta L/jam).
c. Seperti asumsi ke-4, setiap interaksi antara kedua populasi tersebut akan mengurangi populasi logam berat dengan laju sebesar � dan meningkatkan populasi B.subtilis dengan laju sebesar . �.
(65)
65
Oleh sebab itu pengurangan logam berat sebanyak � dan penambahan populasi B.subtilis sesuai dengan asumsi ke-5 dan ke-7 yaitu sebanyak . � . Dengan memisalkan angka pertambahan intrinsik dari logam berat sebagai = − dan angka kematian bakteri sebagai = + − untuk model matematika penjernihan air tabung tertutup, sehingga persamaan 3.19 dan persamaan 3.20 berubah menjadi:
�
� = − �
3.21 �
� = − + . � .
Dikarenakan bentuk persamaan (3.21) sama dengan bentuk persamaan (3.3) maka pembentukan model matematika tabung terbuka dengan fungsi respon tak monoton dapat menggunakan analogi dengan pemodelan tabung tertutup. Sehingga didapatkan persamaan akhir
�
� = − . +
3.22 �
� = − +
. . +
Asumsi awal yang menyatakan bahwa karena adanya arus sungai mengakibatkan pencemar (logam berat) dan bakteri dapat keluar dari daerah observasi serta adanya penambahan banyak bakteri pada daerah observasi. sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang nilai dan sebagai berikut:
i. Saat > maka > ii. Saat = maka =
(66)
66 iii. Saat < maka <
iv. Saat < + maka > v. Saat = + maka = vi. Saat > + maka < 2. Titik Ekuilibrium
Berdasarkan definisi (2.5), titik ekuilibrium sistem (3.22) adalah nilai dan yang memenuhi
�
� = dan �
� = 3.23
sehingga didapatkan persamaan
= − . + 3.24
= (− + .
. + ). 3.25
Untuk sistem (3.26), pencarian titik ekuilibrium dicari pada beberapa kondisi, yaitu:
a. Saat = dan ≠
Persamaan (3.24) menjadi
= − . + . 3.26
Dari persamaan (3.25) diperoleh
(67)
67 atau
− + .
. + = . 3.28
Selanjutnya substitusi persamaan 3.27 ke persamaan 3.26, sehingga diperoleh −8. + =
⇔ = . 3.29
Sehingga didapatkan nilai yang memenuhi persamaan 3.29 adalah ∈ ℝ & . Dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium � = ( , )� dengan ∈ ℝ & .
Selanjutnya gunakan persamaan (3.28). − + . + =. . + =. . = . +
− . + . = , sehingga diperoleh
= . +√ . − . 3.30
(68)
68
dengan nilai s adalah − . < dan < . . Substitusi persamaan (3.30 pada persamaan (3.26), didapatkan
− . + =
( . + √ . − . ) =
nilai b yang memenuhi yaitu = , sehingga didapatkan titik ekuilibrium
� = ( . +√ . − . , ).
Selanjutnya substitusi persamaan (3.31) pada persamaan (3.26), dan didapatkan
− . + =
( . − √ . − . ) =
nilai b yang memenuhi yaitu = , sehingga didapatkan titik � = ( . −√ . − . , ).
Dari perhitungan di atas, didapat 3 titik ekuilibrium yaitu 1) � = ( , )� dengan ∈ ℝ &
2) � = ( . +√ . − . , )
(69)
69
3) � = ( . −√ . − . , )
�
Karena � , � termasuk kedalam � maka untuk sistem (3.22) dengan nilai = dan ≠ didapatkan satu titik ekuilibrium yaitu � = ( , )� dengan ∈ ℝ & .
b. Saat ≠ dan =
Persamaan (3.25) berubah menjadi
= .
. + . 3.32
Dari persamaan (3.32) diperoleh
= 3.33
atau
= . 3.34
Gunakan persamaan (3.24) sehingga didapatkan
−8. + =
= . + 3.35
. + =
. + = . 3.36
(70)
70
. + =
. = ,
dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium � = , . �. Selanjutnya substitusi (3.34) ke persamaan (3.35) dan didapatkan
= .
Karena ≠ maka nilai = . Sehingga didapatkan titik ekuilibrium
� = , �.
Dari perhitungan di atas, untuk sistem (3.22) dengan nilai ≠ dan = didapatkan dua titik ekuilibrium yaitu � = , . � dan � = , �. c. Saat = dan =
Persamaan (3.24) dan (3.25) berubah menjadi
= − . + 3.37
= .
. + . 3.38
Dari persamaan (3.38) diperoleh
= 3.39
atau
= . 3.40
(71)
71
= . . + .
Sehingga nilai yang memenuhi adalah ∈ ℝ � maka didapatkan titik ekuilibrium � = ( , )� dengan ∈ ℝ � .
Selanjutnya sebstitusi persamaan (3.40) ke persamaan (3.38) dan diperoleh
= . . + ,
nilai yang memenuhi adalah ∈ ∀ Ν sehingga didapatkan titik ekuilibrium
� = ( , ) dengan ∈ ℝ � .
Dari perhitungan di atas, untuk sistem (3.22) dengan nilai = dan = didapatkan dua titik ekuilibrium yaitu � = ( , )� dengan ∈ ℝ �
dan � = ( , )� dengan ∈ ℝ � .
d. Saat ≠ dan ≠
Untuk titik ekuilibrium saat ≠ dan ≠ telah dicari pada model sebelumnya (model pipa tertutup) dan didapatkan tiga titik ekuilibrium, yaitu
� = , �
� = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
� = ( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
�
(72)
72 3. Analisis Kestabilan Titik Ekuilibrium
Analisis kestabilan dari sistem 3.22 akan dilakukan berdasarkan nilai dan . Sperti yang telah dilakukan saat menganalisis kestabilan pada model pipa tertutup penjernihan air yang terkontaminasi logam berat perlu dilakukan beberarapa hal yaitu: linearisasi dengan matriks Jacobian, mencari persamaan karakteristik hingga didapatkan nilai eigen untuk setiap titik ekuilibrium dan terakhir analisis kestabilan sistem dari nilai eigen pada tiap titik ekuilibrium.
a. Linearisasi Sistem (3.22)
Matriks Jacobian sistem (3.22) adalah
�| ∗, ∗ = [ ��
� ��
� ��
� ��
� ]
dengan � =�
� = −8. + dan � =
�
� = − +
. 8. + . Sehingga hasil linearisasi sistem (3.22) adalah
̇ = − . +. − − ( . + )
̇ = . . +. − + (− + .
. + ) }
.
b. Persamaan Karakteristik dan Nilai Eigen
Akan dicari persamaan karakteristik dari sistem (3.22). Misalkan,
(73)
73 = [ − ∗. +. −∗ ∗ − . +∗ ∗ . ∗ . − ∗ . + ∗ − + . ∗ . + ∗ ] − � = [ − ∗ . +. −∗ ∗ − . +∗ . ∗ . − ∗ . + ∗ − + . . + ∗ ] − [� �] − � = [
− ∗ . +. −∗ ∗ − λ − ∗
. + ∗
. ∗ . − ∗
. + ∗ − +
. ∗
. + ∗ − λ ]
Persamaan karakteristk dicari berdasarkan titik ekuilibrium dengan nilai a=8.1 1) Persamaan karakteristik pada sistem dengan = dan ≠
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan = dan ≠ adalah � = ( , )� dengan ∈ ℝ � . Persamaan karakteristik pada titik ekuilibrium � = ( , )� adalah
�− � =
[
− . − ( )
. + ( ) − λ − . +
. . − ( )
. + ( ) − +
. ( ) . + ( ) − λ ]
= [
−� − . +
− + . ( )
. + ( ) − λ]
(74)
74
⇔ −� − + . ( )
. + ( ) − λ − = ⇔ � � + −
. ( )
. + ( ) =
Didapatkan nilai � = atau � = − + . ( ) 8. +( ) .
2) Persamaan karakteristik sistem dengan ≠ dan =
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan ≠ dan = adalah � = , . � dan � = , �. Persamaan karakteristik pada setiap titik ekuilibrium adalah sebagai berikut:
a) Persamaan karakteristik sistem pada � = , . �
� − � =
[
− . . +. − − λ − . +
. . . −
. +
.
. + − λ ]
= [
− .. − λ
. .
. −λ]
= [ −λ. −λ]
det � − � =
⇔ � − = Didapatkan nilai � = .
(75)
75
� − � =
[
− . +. − − λ − . +
. . −
. +
.
. + − λ ]
= [ − λ −λ]
det � − � =
⇔ − � −� − =
Didapatkan nilai � = atau � = .
3) Persamaan karakteristik sistem dengan = dan =
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan = dan = Adalah � = ( , )� dengan ∈ ℝ � dan � = ( , )� dengan ∈ ℝ � . Persamaan karakteristik pada setiap titik ekuilibrium adalah sebagai berikut:
a) Persamaan karakteristik sistem pada � = ( , )�
� − � =
[
. −
. + − λ − . +
. . −
. +
.
. + − λ ]
= [
.
. − λ
. .
. −λ ]
= [
. − λ .
. −λ ]
det � − � = ⇔ . − λ −� − =
Didapatkan nilai � = atau � = 8. .
(76)
76
b) Persamaan karakteristik sistem pada � = ( , )�
� − � =
[
− . − ( )
. + ( ) − λ − . +
. . − ( )
. + ( )
. ( ) . + ( ) − λ ]
= [
−� − . + . ( ) . + ( ) − λ]
det � − � = ⇔ −� . ( )
. + ( ) − λ − =
Didapatkan nilai � = atau � = . ( ) 8. +( ) .
4) Persamaan karakteristik sistem dengan ≠ dan ≠
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan ≠ dan ≠ adalah � = , �, � = (. +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
, � =
( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
�
. Persamaan karakteristik pada setiap titik ekuilibrium adalah sebagai berikut:
a) Persamaan karakteristik pada Titik ekuilibrium � = , �
− � = [
− . +. − − λ − . +
. . −
. + − +
.
. + − λ ]
= [ − λ − − λ ]
det � − � = ⇔ − � − − λ − =
(77)
77
b) Persamaan karakteristik pada titik ekuilibrium
� = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
�
Untuk memudahkan perhitungan, dimisalkan = . + √ . − .
sehingga titik ekuilibrium menjadi � = , . +
�
dan matriks A menjadi
� = . + [ . − . − . −+ − . ].
Sehingga didapatkan nilai lambda
� , = − ± √ −. +
dengan
= − − . + .
= − + . − . + .
= . + √ . − .
c) Persamaan karakteristik pada Titik ekuilibrium
� = ( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
�
Untuk memudahkan perhitungan, dimisalkan = . − √ . − .
sehingga titik ekuilibrium menjadi � = , . +
�
dan matriks A menjadi
(78)
78
� = . + [ . − . − . −+ − . ].
Sehingga didapatkan nilai lambda
� , = − ± √ −. +
dengan
= − − . + .
= − + . − . + .
= . − √ . − . .
Nilai eigen tersebut digunakan untuk menganalisis kestabilan dari sistem persamaan (3.22)
c. Analisis kestabilan titik ekuilibrium
1) kestabilan sistem dengan = dan ≠
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan = dan ≠
adalah � = ( , )� dengan ∈ ℝ � dan didapatkan nilai � = atau � = − +8. +. . Karena terdapat nilai � = maka berdasarkan Teorema 2.3,
maka tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai kestabilan sistem pada nilai = dan ≠ . Potret Fase dan script Maple potret fase sistem (3.22) saat = dan ≠ dapat dilihat pada Lampiran 4.
2) Persamaan karakteristik sistem dengan ≠ dan =
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan ≠ dan = adalah � = , . � dan � = , �. Berdasarkan Teorema 2.3, kestabilan
(79)
79
setiap titik ekuilibrium pada sistem dengan nilai ≠ dan = tidak dapat dicari karena pada � = , . � dan � = , � terdapat nilai eigen � = . Potret Fase dan script Maple potret fase sistem (3.22) saat ≠ dan = dapat dilihat pada Lampiran 5.
3) Kestabilan sistem dengan = dan =
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan = dan = adalah � = ( , )� dengan ∈ ℝ dan dan � = ( , )� dengan ∈ ℝ � . Berdasarkan Teorema 2.3, kestabilan setiap titik ekuilibrium pada sistem dengan nilai = dan = tidak dapat dicari karena pada setiap titik
ekuilibrium terdapat nilai � = . Potret Fase dan script Maple potret fase sistem (3.22) saat = dan = dapat dilihat pada Lampiran 6.
4) Kestabilan sistem dengan ≠ dan ≠
Titik ekuilibrium yang didapat dari sistem (3.22) dengan ≠ dan ≠
adalah � = , �, � = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) )
� ,
� = ( . −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) )
�
. Kestabilan pada setiap titik ekuilibrium adalah sebagai berikut:
(80)
80
Dari persamaan karakteristik yang telah dicari sebelumnya, didapatkan nilai eigen pada � , � yaitu � = atau � = − sehingga berdasarkan Teorema 2.3 kestabilan sistem pada titik ekuilibrium di masing-masing nilai dan dapat dilihat pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Kestabilan pada � , �
No � = � = − Kestabilan
1 < < Tidak stabil
2 < > Stabil
3 > < Tidak stabil 4 > > Tidak stabil
Maka dapat dilihat bahwa sistem akan stabil pada titik ekuilibrium � , � dengan nilai < dan > . Untuk mendapatkan nilai < maka < atau pertambahan logam berat harus lebih kecil dari banyaknya logam berat yang terbawa arus sungai. Sedangkan untuk mendapatkan nilai > maka < + atau banyaknya bakteri yang ditambahkan lebih sedikit dari banyak bakteri yang mati ditambah banyak bakteri yang terbawa arus.
b) Kestabilan pada � = ( . +√ . − . , . + ( . +√ . − . ) ) �
Untuk memudahkan perhitungan, dimisalkan = . + √ . − . sehingga titik ekuilibrium menjadi � = , . +
�
(81)
81
� , = − ± √ −. +
dengan
= − − . + .
= − + . − . + .
= . + √ . − . .
Agar mendapatkan nilai eigen real maka nilai s adalah − . < dan < . . Untuk mempermudah analisis, pada Gambar 3.8 diperlihatkan grafik nilai eigen untuk � berdasarkan nilai r dan s yang selanjutnya akan diambil beberapa titik berdasarkan pembagian wilayah yang didapatkan dari Gambar 3. 8.
Gambar 3.8 Grafik Nilai Eigen untuk �
Dari gambar 3.8 dapat dilihat bahwa nilai dari lambda pada � terbagi menjadi beberapa wilayah. Selanjutnya dilakukan simulasi berupa potret fase dengan mengambil nilai dan pada setiap wilayah. Potret fase sistem persamaan
i ii
(82)
82
nonlinear 3.22 dapat dilihat pada lampiran 7 (script Maple dapat dilihat pada lampiran 10). Simulasi potret fase untuk � pada setiap wilayah pada gambar 3.8 dapat dilihat pada Lampiran 8. Potret-potret fase pada lampiran 7 dan 8 digambarkan dengan menggunakan program Maple. Untuk kestabilan dari masing masing wilayah dapat dilihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Kestabilan Titik Ekuilibrium � No Wilayah � � Kestabilan
1 i + - Tidak Stabil
2 ii - - Stabil
3 iii + - Tidak Stabil 4 iv + + Tidak Stabil
Dari potret fase pada lampiran 8 dan tabel 3.3 dapat diambil kesimpulan bahwa sistem akan stabil pada titik ekuilibrium � saat nilai < dan < <
. yang diambil.
c) Kestabilan pada � = (. −√ . − . , . + ( . −√ . − . ) ) �
Untuk memudahkan perhitungan, dimisalkan = . − √ . − . sehingga titik ekuilibrium menjadi � = , . +
�
dan nilai lambda
� , =− ± √ −. +
(1)
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
(2)
>
>
3. Script Gambar 5.25
> >
> >
> > > > > > > > > >
(3)
> > > > > > > > > > > > >
4. Script Gambar 5.26
> > >
(4)
>
> > > > > > > > > > > > > > > > >
(5)
> > > > > >
(6)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Sintax Matlab Metode Bagi 2 ... 92
Lampiran 2 Simulasi Kestabilan Titik Ekuilibrium untuk Model Pipa Tertutup.. 93
Lampiran 3 Script Matlab Simulasi Kestabilan Titik Ekuilibrium untuk Model Pipa Terbuka ... 105
Lampiran 4 Potret Fase dan Script Maple Potret Fase Sistem (3.22) saat = � dan ≠ � ... 115
Lampiran 5 Potret Fase dan Script Maple Potret Fase Sistem (3.22) saat ≠ � dan = � ... 119
Lampiran 6 Potret Fase dan Script Maple Potret Fase Sistem (3.22) saat = � dan = � ... 123
Lampiran 7 Potret Fase Titik Ekuilibrium untuk Model Pipa Terbuka ... 125
Lampiran 8 Potret Fase Sistem (3.22) pada Titik Ekuilibrium � ... 129
Lampiran 9 Potret Fase Sistem (3.22) pada Titik Ekuilibrium � ... 132