ANALISIS YURIDIS NOVUM DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM CHAMBALI ALIAS KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA

(1)

commit to user

ANALISIS YURIDIS NOVUM SEBAGAI DASAR PERM PERKARA PEMBUNUHA

KEMAT UNTUK MEMPERO (STUDI KASUS DALA

Disusun dan D Guna Mempero

Pada Fakult

PAND

F

UNIVER

M DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA MOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN HAN DENGAN TERPIDANA IMAM CHAMBA AT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA EROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI

ALAM PUTUSAN NOMOR 89 PK/PID/2008)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat eroleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum ultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta Oleh :

DE MADE RISTYA YUNITYA NIM. E.1107194

FAKULTAS HUKUM

ERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

A KORBAN AN KEMBALI MBALI ALIAS GI


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS YURIDIS NOVUM DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM CHAMBALI ALIAS

KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA UNTUK MEMPEROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN

NOMOR 89 PK/PID/2008)

Disusun Oleh :

Pande Made Ristya Yunitya NIM : E.1107194

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 21 Maret 2011 Dosen Pembimbing

Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP.196202091989031


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS YURIDIS NOVUM DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM CHAMBALI ALIAS

KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA UNTUK MEMPEROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN

NOMOR 89 PK/PID/2008)

Disusun Oleh :

Pande Made Ristya Yunitya NIM : E. 1107194

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada

Hari : Selasa

Tanggal : 29 Maret 2011

DEWAN PENGUJI

1. Kristiyadi,S.H,M.Hum ( ...) Ketua

2. Muhammad Rustamaji,S.H,M.H ( ...) Sekretaris

3. Bambang Santoso,S.H,M.Hum ( ... ) Anggota

Mengetahui Dekan,

(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum) NIP. 19610930198601100


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama :Pande Made Ristya Yunitya

NIM :E1107194

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum(skripsi)berjudul: ANALISIS YURIDIS NOVUM DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM CHAMBALI ALAS KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA UNTUK MEMPEROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NOMOR 89 PK/PID/2008) adalah betul-betul karya sendiri.Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum(skripsi)ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum(skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 21 Maret 2011 Yang membuat pernyataan

Pande Made Ristya Yunitya NIM.E1107194


(5)

commit to user

v ABSTRAK

Pande Made Ristya Yunitya,E1107194, ANALISIS YURIDIS NOVUM DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM

CHAMBALI ALIAS KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA UNTUK

MEMPEROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI(STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NOMOR 89 PK/PID/2008) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,2011.

Tujuan dari penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui novum dalam bentuk error in persona korban dapat dijadikan dasar pengajuan Peninjauan Kembali.

Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian hukum doktrinal. Pendekatan yang digunakan menggunakan metode pendekatan preskriptif.. Jenis data yang dipergunakan ialah data sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan cara kasus mengenai Peninjauan Kembali sesuai dengan permasalahan yang diteliti

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan bahwa salah satu alasan pengajuan peninjauan kembali menurut Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat beru[a novum.Dan dalam hal kasus ini novum dalam bentuk error in persona korban dapat dijadikan salah satu dasar pengajuan peninjauan kembali.Serta upaya yang dapar ditempuh oleh terpidana untuk mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi adalah dengan mengajukan gugatan perdata kepengadilan mengajukan

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan baru bahwa dasar pengajuan PK tidak hanya dapat berupa novum dalam bentuk error persona saja melainkan juga dapat berupa error in persona korban.


(6)

commit to user

vi ABSTRACT

Pande Made Ristya Yunitya, E1107194, ANAYLIS ON JURIDICAL NEW EVIDENCES IN THE FORM OF THE VICTIM OF ERROR IN PERSONA AS A BASIS OF PROPOSING A JUDICIAL REVIEW OF A MURDER CASE WITH IMAM CHAMBALI A.K.A. KEMAT AS THE CONVICTED PERSON AND THE LEGAL EFFORT OF THE CONVICTED PERSON IN GETTING REHABILITATION AND COMPENSATION (A CASE STUDY ON VERDICT NUMBER 89 PK/PID/2008). Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret, 2011.

This research aims at identifying whether the new evidence of the victim of error in persona can be made the basis of proposing a judicial review.

According to the type, this research is a doctrinal legal research. The research applied the perspective approach and used secondary data, which are library materials including books, literatures, laws and regulations, legal documents, research results in the form of reports, and some other sources related to this research. The collected data were analyzed by a case study on judicial reviews in accordance with the problem researched.

Based on the research result and discussion, one of the reasons of proposing a judicial review, according to Article 263 Section (2) Code of Criminal Justice (KUHAP), can be new evidences. In this case, new evidences in the form of the victim of error in persona can be made a basis in proposing a judicial review. An effort which can be taken by the convicted person to get compensation and rehabilitation is proposing a civil complaint to court.

This research is useful in providing new knowledge that a judicial review is not only new evidences in the form of error persona but also can be the victim of error in persona.

Keywords: new evidences of error in persona, compensation, rehabilitation, proposing a civil complaint to court.


(7)

commit to user

vii MOTTO

Bersyukur adalah hal yang mudah untuk diucapkan tapi sangat sulit untuk dilakukan,Think and thanks pikirkan sesuatu dari sisi positif dan menguca[ syukurlah.

Ketekunan mahal harganya.Tak banyak orang yang bisa menjalaninya.begitupun dengan kemuliaan dan harga diri.tak banyak orang yang menyadari bahwa kedua hal itu tak berasal dari pa yang kita sandang hari

ini.Ketekunan adalah titian jalan panjang yang licin berliku.

Cintailah dirimu,walaupun seberat apapun masalah yang menimpamu,karena bagaimanapun keadaannya,anda tetaplah berharga dimata Tuhan dan anda dapat menjadi alat-nya untukn memberikan manfaat bagi sesama.

Mari kita belajar menghargai dan mensyukuri hidup ini bagaimanapun cara Tuhan mengemasnya untuk umatnya.Yang penting sikapi anugrah kehidupan dengan baik serta mengisinya dengan hal yang benar dan


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima kasih kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia, rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya;

2. Alm.Ayahanda Pande Putu Cemara.,S.H dan Ibunda Christina Sri Purwaningsing yang telah memberikan kasih sayang yang tiada duanya kepada penulis.

3. Kakakku serta adik adikku yang selalu menyemangati penulis

4. My bittersweet memories terimakasih atas dukungan selama 4(empat tahun ini) serta semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

5. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini dan juga untuk kekompakan selama ini (siska,mita,hana,Dimaz ageng,nabila,nora,astri,paulina,);

6. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007;

7. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeleseikan penulisan hukum ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS NOVUM DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM CHAMBALI ALIAS KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA UNTUK MEMPEROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI(STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NOMOR 89 PK/PID/2008)” , penulisan hukum ini merupakan syarat untuk memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak.Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Moh Yamin, S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Edi Herdyanto, S.H,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Bambang Santoso, S.H,M.Hum selaku pembimbing penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Rustamaji,S.H,M.H selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.

5. Bapak Harjono,S.H,M.H selaku ketua program Non Reguler Fakultas Hukum UNS.

6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H, M.Hum dan anggota PPH Bapak yang banyak membantu penulis dalam konsultasi judul skripsi.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini.


(10)

commit to user

x

8. Ayah disurga yang menjadi penyemangat utama bagi penulis untuk selalu semangat menjalani kehidupan dan Ibu di rumah yang selalu menyayangi dan membimbing penulis dalam menjalani hidup.

9. Bapak Sutoto,S.H,motivator dan penyemangat penulis yang selalu memberikan kritik,saran yang membangun dan energi positif bagi penulis untuk selalu mensyukuri hidup ini.

10.Bapak YB.Irpan,SH.MH dan staff kantor advokat YB.Irpan,SH.MH. yang telah memberikan ilmu pengetahuan bagi penulis saat menjalani proses magang.

11.Semua cobaan hidup yang selalu datang silih berganti terimakasih engkau membuat penulis menjadi semakin kuat dan bertambah dewasa dalam berpola fikir dan dalam menyelesaikan suatu masalah.

12.K.A.S cinta dan benciku terima kasih untuk manis pahitnya selama 4(empat) tahun ini yang selalu menyemangati.

13.Sahabat-sahabatku Siska,Mita,Hana yang selalu membuat hari hari kuliahku bewarna,terimakasih atas semangatnya dan solidaritasnya selama ini.

14.Sahabat-sahabatku Dimaz ageng,Abil,Dedi yang selalu ada disaat aku senang dan susah sekalipun yang masih tetap setia menemani dan menyemangati ku.

15.Sahabat-sahabatku Nora,Astrek,Oneng terimakasi atas waktu yang sudah diluangkan untuk menghibur penulis disaat jenuh.

16.Teman-teman satu lokasi magang,ninik,Sri,Yuko,Gita,Dewi,Reno terimakasih atas semangat dan kerjasamanya selama ini.

17.Anak-anak FH angkatan’07 senang bisa mengenal kalian semuanya.

18.Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,terima kasih atas bantuannya.

Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua, terutama untuk penulisan, akademisi, praktisi serta masyarakat umum.

Surakarta,21 Maret 2011

Penulis


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 15

1. Tinjauan Tentang Peninjauan kembali ... 15

a). Pengertian Peninjauan kembali ... 15

b). Dasar Peninjauan Kembali ... 15

c). Pihak Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali ... 16

d). Asas asas yang ditentukan dalam upaya hukum peninjauan Kembali ... 17

e). Tata Cara Peninjauan Kembali ... 19

f). Tata Cara Pemeriksaan Peninjauan Kembali ... 20

g). Putusan Pradilan Peninjauan Kembali ... 21


(12)

commit to user

xii

2. Tinjauan Tentang Novum ... 23

a). Pengertian Novum ... 23

b).Jenis-jenis Novum ... 24

3. Tinjauan Tentang Error In Persona ... 25

4. Tinjauan Tentang Upaya Hukum ... 26

a) Pengertian Upaya Hukum ... 26

b) Macam-Macam Upaya Hukum ... 27

5. Tinjauan Tentang Rehabilitasi ... 37

a) Pengertian Rehabilitasi ... 37

b) Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Rehabilitasi ... 40

6. Tinjauan Tentang Ganti Rugi ... 41

B. Kerangka Pemikiran ... 44

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Novum Dalam Bentuk Errror In Persona Korban Dapat Dijadikan Dasar Pemeriksaan PK Dalam Perkara Pembunuhan Dengan Terpidana Imam Chambali Alias Kemat. ... 46

B. Upaya Hukum Yang Bisa Dilakukan Oleh Terpidana Untuk Memperoleh Rehabilitasi Dan Ganti Rugi Jika Permohonan Peninjauan Kembalinya Dikabulkan ... 66

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 70

B. Saran-Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR


(14)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Negara hukum atau “Rule of Law” dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal, seperti : Pengakuan dan

Perlindungan terhadap hak-hak asasi, legalitas dari tindakan

Negara/pemerintahan dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas. Adapun mengenai hak-hak asasi itu sendiri, dalam pemberian interprestasi atau maknanya selalu diletakkan dalam kerangka pandangan hidup dan budaya serta cita-cita hukum dari bangsa dan Negara yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia hak asasi manusia atau yang disebut hak dan kewajiban warga Negara telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang bersumber pada Pancasila.

Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam tindak pidana dibuktikan dengan adanya proses peyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, pra peradilan, pemeriksaan sidang, pembuktian, kemudian putusan pengadilan yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Semua proses tersebut dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan demi tetap tegaknya hukum.

Terhadap putusan pengadilan yang tidak memuaskan terdakwa atau penuntut umum, maka dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak


(15)

commit to user

terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

Berbagai upaya hukum tersebut diadakan untuk menjamin hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karena hakim adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dan juga kekhilafan.

Jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan dan pembagian kekuasaan dalam Negara, serta pemerintahan berdasarkan hukum tersebut harus dijamin dalam suatu konstitusi. Selain itu, konstitusi tersebut harus pula menjamin kemerdekaan warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan sebagainya, dengan kata lain harus menjamin kehidupan berdemokrasi. Untuk itu semua harus ada lembaga yang bertugas menegakkan

konstitusi, demokrasi dan hukum, yaitu :lembaga kekuasaan

kehakiman.Menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang.

Upaya hukum dapat dilakukan terdakwa maupun penuntut umum terhadap putusan hakim pada tingkat Pengadilan Negeri dengan mengajukan banding, kecuali terhadap putusan bebas. Apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi, maka dapat mengajukan kasasi. Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa, yang diatur dalam KUHAP Bab XVII. Upaya hukum yang dapat ditempuh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah peninjauan kembali. Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, karena sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa


(16)

commit to user

putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (gezag van gewijsde)

tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum itu disebut neb is in idem,

artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama.

Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi.

Namun terhadap seorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya setelah diputus bersalah oleh suatu pengadilan tidaklah seketika tertutup jalan keadilan baginya. Keadilan dalam konteks apapun merupakan suatu hak bagi siapapun juga yang ingin mendapatkannya sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak hanya bagi mereka yang merasa dirugikan sebagai korban atas suatu kejahatan tetapi juga bagi mereka yang diputuskan bersalah oleh pengadilan atas suatu kejahatan.

Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dikenal adanya istilah bukti baru atau keadaan hukum baru lebih lazim disebut dengan istilah

novum.Pengertian novum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dilihat dalam pasal 263 ayat (2) huruf (a) :

Keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Dengan adanya novum tersebut maka bagi seorang terpidana yang sedang

menjalani hukumannya dapat melakukan suatu upaya hukum tertentu. Dari

pengertian novum atau keadaan baru tersebut dapat disimpulkan bahwa novum


(17)

commit to user

berkekuatan hukum tetap (In Krach Yan Gewijsde). Yakni suatu putusan

paling akhir dari pengadilan dan bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang divonis dalam putusan tersebut Mereka sudah tidak memiliki pilihan apapun kecuali menjalakan putusan pengadilan tersebut dan jika menolak penegak hukum memiliki wewenang untuk secara paksa mereka menjalani isi dalam vonis tersebut.

Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk menemukan kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun demikian, demi kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat dilakukan satu kali saja.Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar :

1. Terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa

jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

2. Dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,

akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

3. Putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau

suatu kekeliruan yang nyata.

Dari ketiga alasan tersebut diatas, keadaan baru (Novum) mempunyai

peranan yang sangat menentukan, yaitu apabila novum tersebut dapat diterima oleh Mahkamah Agung, maka dapat menghasilkan putusan diantaranya :putusan bebas;

1. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

2. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;


(18)

commit to user

Dari putusan yang dapat dijatuhkan oleh Mahkamah Agung seperti yang

telah diuraikan diatas, karena ditemukannya Novum. Maka Novum mempunyai

peranan yang sangat penting dalam pemeriksaan Peninjauan kembali (PK). Dengan demikian seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat menempuh upaya hukum luar biasa apabila dikemudian hari ditemukan suatu

novum atau bukti baru yang kuat. Bukti baru ini bisa bermacam-macam sepanjang bukti atau keadaan baru tersebut menimbulkan dugaan kuat apabila sudah diketahui ketika persidangan perkaranya masih berlangsung akan dapat

menghasilkan putusan yang berbeda. Salah satunya yang bisa menjadi novum

adalah apabila terjadi kesalahan dalam proses mengidentifikasikan korban kejahatan . Kesalahan dalam proses mengidentifikasikan korban kejahatan (

Error In Persona korban) akibatnya akan menyebabkan terjadinya salah menuntut orang yang pada akhirnya berujung pada salah menghukum orangnya.

Permasalahan kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini terkait dengan novum dalam bentuk error in persona korban sebagai dasar pengajuan peninjauan kembali dan upaya hukum bagi terpidana untuk mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi.

Dalam kasus ini kesalahan yang dilakukan oleh penyidik Polri bermula dari proses penyidikan dan penangkapannya. Penyidik melakukan tindakan penangkapan terhadap Imam Chambali meskipun yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap bukanlah dia namun penyidik tetap menangkapnya. Penyidik menduga bahwa Imam Chambali yang telah membunuh korban bernama Moch. Asrori yang dilakukan bersama dua orang rekannya. Namun setelah proses perkara dilimpahkan ke pengadilan dan telah diputus oleh hakim, belakangan diketahui bahwa korban pembunuhan atau mayat yang dinyatakan oleh polisi bernama Moch. Asrori itu ternyata bukan mayat Asrori melainkan mayat orang lain telah


(19)

commit to user

KebunTebu,”< http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/.html>,9 September 2008).

Dengan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap mayat korban kemudian berakibat fatal pada kesalahan penangkapannya pula. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru ini dimana bahwa polisi telah melakukan kesalahan dalam penangkapannya, maka fakta ini dapat digunakan sebagai

bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat dijadikan alasan kuat bagi

terpidana ini untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan. Sebab apabila bukti baru tersebut diketahui sebelum putusan majelis hakim dijatuhkan maka akan mengubah isi dari putusan tersebut secara signifikan.

Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1970-an yang

menimpa Sengkon dan Karta (Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu

Perkara Pidana,” <apakabar@clark.net> 13 September 2008).Kedua orang ini terpaksa harus menjalani pidana penjara bertahun-tahun atas suatu kejahatan pembunuhan yang tidak pernah mereka kerjakan. Secara kebetulan didalam sel penjara tempat kedua orang ini dihukum mereka bertemu dengan pembunuh yang asli. Singkat cerita Saat itu sewaktu Sengkon sedang sekarat hampir meninggal dunia di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, salah seorang narapidana bernama Gunel merasa kasihan kepada Sengkon. Kemudian dengan jujur karena merasa berdosa Gunel meminta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Gunel kemudian mengakui bahwa dirinya bersama teman-temannyalah yang telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta. Pengakuan terpidana Gunel yang masuk LP Cipinang karena kasus lain itu akhirnya diketahui media massa. Waktu itu para petinggi hukum dan para pelaksana di lapangan sigap menyikapi kasus tersebut. DPR juga ikut campur tangan, Media masa berpartisipasi aktif,dan akhirnya Kejaksaan Agung lalu mengajukan penangguhan pelaksanaan menjalani kukuman bagi Sengkon dan

Karta(Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu Perkara Pidana,”


(20)

commit to user

Kisah dari Sengkon dan Karta ini ternyata berdampak besar terhadap pembangunan Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia karena telah

menghidupkan kembali lembaga peninjauan kembali (Herziening). Dimana

timbul masalah pada waktu itu saat Gunel akhirnya dihukum sebagai pembunuh yang sebenarnya sedangkan nasib Sengkon dan Karta tidak jelas, meskipun sudah cukup jelas bahwa mereka tidak bersalah namum ironis mereka masih tetap harus menjalani pidana penjara. Saat itu dirasakan perlu

ada peraturan tentang lembaga Herziening atau peninjauan pembali yang

sekaligus melengkapi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang waktu itu juga sedang masih dibahas(Hakikat Peninjauan

Kembali atas Suatu Perkara Pidana,”<apakabar@clark.net>13 September 2008).

Kasus yang menimpa terpidana Imam Chambali tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bagi para terpidana, selain dia dapat mengajukan Peninjauan kembali dan menuntut pembebasannya karena terpaksa menjalani hukuman atas tuduhan kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Para terpidana ini juga dapat melakukan upaya hukum untuk memperoleh Ganti kerugian dan Rehabilitasi jika PK nya dikabulkan.

Dengan berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut diatas merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan. Oleh karena itu penulis menuangkan sebuah penulisan yang

berbentuk penulisan hukum dengan judul : “ANALISIS YURIDIS NOVUM

DALAM BENTUK ERROR IN PERSONA KORBAN SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI

PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN TERPIDANA IMAM

CHAMBALI ALIAS KEMAT DAN UPAYA HUKUM TERPIDANA UNTUK MEMPEROLEH REHABILITASI DAN GANTI RUGI(STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NOMOR 89 PK/PID/2008)”.


(21)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:

1. Apakah novum dapat bentuk error in persona korban dapat dijadikan dasar

permohonan pemeriksaan peninjauan kembali perkara pembunuhan dengan terpidana Imam Chambali ?

2. Upaya hukum apakah yang bisa dilakukan oleh terpidana untuk

memperoleh rehabilitasi dan ganti rugi jika permohonan PKnya dikabulkan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam suatu penelitian dirumuskan dalam bentuk pernyataan mengenai ruang lingkup dari kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan pokok permasalahan yang telah ditentukan. Perumusan dari tujuan Tujuan penelitian dalam suatu penelitian dirumuskan dalam bentuk pernyataan mengenai ruang lingkup dari kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan pokok permasalahan yang telah ditentukan. Perumusan dari tujuan penelitian terbagi menjadi tujuan secara umum dan secara khusus.

1. Tujuan secara umum (obyektif) yaitu :

a. Untuk memperoleh data tentang novum dalam bentuk error in persona

dapat di jadikan dasar permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pembunuhan dengan terpidana Imam Chambali

b. Untuk memperoleh data tentang upaya hukum yang dapat dilakukan

untuk mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi atas pengajuan PK nya.

2. Tujuan secara khusus (subyektif) antara lain :

a. Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum Fakultas Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(22)

commit to user

b. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman arti

pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek, khususnya Hukum Acara

c. Untuk memperkaya pemahaman dan wasasan hukum acara pidana

dalam prakteknya di Indonesia terutama bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum terutama

hukum acara pidana di Indonesia, khususnya terkait permasalahan dapat tidaknya novum dijadikan dasar dalam permohonan peninjauan kembali dan upaya-upaya hukum yang bisa dilakukan oleh para pencari keadilan untuk memperoleh ganti rugi serta reabilitasi atas penhajuan PK yang telah dikabulka.

b. Lebih khusus lagi adalah bagi mereka yang telah dilanggar haknya

oleh aparat penegak hukum yang lalai menjalankan tugasnya seperti korban salah tangkap oleh Polri, salah tuntut oleh jaksa maupun korban salah vonis oleh hakim di pengadilan padahal mereka tidak sekalipun melakukan satu kesalahan atau kejahatan.

2. Secara praktis

a. Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diteliti

b. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan ataupun rujukan yang

bisa diterapkan dalam hukum acara atau hukum formil di Indonesia.

c. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi sebagai bahan acuan


(23)

commit to user

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menyediakan suatu penampilan yang sistematis menyangkut aturan yang mengatur kategori sah tentang undang-undang tertentu, meneliti hubungan antara aturan, serta meneliti bahan pustaka atau sumber data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier

(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 32). Dalam hal ini adalah putusan

Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No.89 PK/POD/2008 bahan

tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian diatarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat preskriptif. Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22)

3. Jenis Bahan Hukum

Jenis Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan,bahan hukum internet ,dokumen resmi, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang.


(24)

commit to user

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam

penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,

2006: 93). Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (case approach)

5. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian normatif adalah bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2) Kitab Undang- Undang Pidana (KUHP)

3) Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan KUHAP, Nomor 27


(25)

commit to user

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah dan internet.

6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum sekunder. Penulis mengumpulkan bahan hukum sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta pengumpulan bahan hukum melalui media internet.

7. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Setelah bahan hukum terkumpul maka tahap selanjutnya yang digunakan adalah tahap analisis bahan hukum. Tahap ini dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian yaitu untuk mendapatkan jawaban dari penelitian yang diteliti.

Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud metode deduktif sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Marzuki, 2006: 47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernand arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari


(26)

commit to user

hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2008: 249).

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan tinjauan mengenai dasar permohonan peninjauan

kembali,novum dalam bentuk error in persona korban,upaya

hukum,rehabilitasi,dan ganti rugi.Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam hal ini penulis membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya: mengenai apakah novum dapat dijadikan dasar pemeriksaan peninjauan kembali dan upaya hukum yang bisa dilakukan oleh terpidana untuk


(27)

commit to user

memperoleh rehabilitasi dan ganti kerugian jika PK nya dikabulkan.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.


(28)

commit to user

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka teori

1. Tinjauan tentang peninjauan kembali

a. Pengertian peninjauan kembali

Kata Peninjauan Kembali diterjemahkan dari kata herziening. Mr.M.H.Tirtaamidjaja menjelaskan herziening, antara lain sebagai berikut.

Itu adalah suatu jalan untuk memperbaiki suatu keputusan yang telah menjadi tetap jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan Hakim, yang merugikan si terhukum….Kalau perbaikan itu hendak dilakukan, maka ia harus memenuhi beberapa syarat, yakni bahwa ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, tidak diketahui oleh hakim itu……jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan keputusan lain

b. Dasar pengajuan peninjauan kembali

Peninjauan kembali dapat diajukan atas dasar alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan

kuat novum, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada

waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa

sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu sama lain.

3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


(29)

commit to user

tersebut maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan oleh terdakwa atau ahli warisnya sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan seperti dalam Pasal 266 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut :

1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan bahwa

permintaan Peninjauan Kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.

2) Apabila Mahkamah Agung mambenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dinyatakan Peninjuauan Kembali itu dan menyatakan putusan yang dapat berupa:

a) Putusan bebas;

b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

c) Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

d) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan.

c. Pihak yang dapat mengajukan peninjuan kembali

Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai orang yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, maka dibuka kemungkinan bagi terdakwa atau ahli warisnya untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, terhadap suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan


(30)

commit to user

hukum tetap, dengan pengecualian putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh penasehat hukum tanpa ada kuasa dari terpidana sendiri harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena diajukan oleh orang yang tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak dapat diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris berhubung terpidana masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa dari terpidana sehingga belum berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:298 ).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya dan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak memuat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jadi hak ini tidak diberikan kepada Jaksa Agung.

d. Asas-asas yang ditentukan dalam upaya hukum Peninjauan

Kembali.

Asas-asas yang melekat dalam upaya hukum Peninjauan Kembali ada beberapa macam, asas-asas tersebut masih perlu peningkatan dan dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam proses dan pelaksanaan Peninjauan Kembali ( M.Yahya Harahap, 2002:639 ).

1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

Asas tersebut diatur dalam Pasal 266 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Mahkamah Agung tidak


(31)

commit to user

boleh menjatuhkan putusan yang melebihi putusan pidana semula, yang diperkenankan adalah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ( M.Yahya Harahap, 2002:639).

Asas pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula ini sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam lembaga upaya Peninjauan Kembali yaitu membuka

kesempatan kepada terpidana untuk membela

kepentingannya agar terlepas dari ketidakbenaran

penegakan hukum

2) Permintaan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan

pelaksanaan putusan.

Asas tersebut tidak mutlak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjauan Kembali tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus

pelaksanaan pelaksanaan putusan sehingga proses

permohonan Peninjauan Kembali dapat berjalan namun pelaksanaan putusan juga tetap berjalan Kembali ( M.Yahya Harahap, 2002: 640 ) .

Dalam hal-hal yang eksepsional dapat dilakukan

penangguhan penghentian pelaksanaan putusan sehingga ketentuan Pasal 268 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat sedikit diperlunak menjadi permintaan Peninjauan Kembali tidak secara mutlak

menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan

putusan. Anjuran Pasal 268 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut banyak yang menyalahgunakan sehingga sikap yang seperti itu dapat menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan penegakan hukum, yang dikehendaki dalam pasal tersebut ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta mengkaitkan dengan jenis pidana maupun sifat dan kualitas yang menjadi landasan permintaan Peninjauan.


(32)

commit to user

3) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu

kali.

Pasal 283 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membenarkan atau memperkenankan Peninjauan Kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja.

Asas ini disebut sebagai asas Nebis In Idem yang

dikemukakan dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedang dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 1918 BW( M.Yahya Harahap, 2002:640 ).

Asas ini juga berlaku terhadap permintaan Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Dalam Peninjauan Kembali, asas ini lebih menyentuh rasa keadilan karena asas ini merupakan suatu tantangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan dan dengan berani mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum.

e. Tata Cara Peninjauan Kembali.

Tata cara pengajuan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Permintaan Peninjauan Kembali diajukan kepada panitera

Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.

2) Permintaan Peninjauan Kembali disertai alasan-alasannya.

Alasan-alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan yang dicatat oleh panitera yang menerima Peninjauan Kembali tersebut.

3) Permintaan Peninjauan Kembali oleh panitera ditulis dalam

surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon, dicatat dalam daftar dan dilampirkan pada berkas perkara.

4) Ketua Pengadilan Negari menunjuk hakim yang tidak


(33)

commit to user

Kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali itu memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

5) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan penuntut umum ikut

hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

6) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan

yang ditandatangani oleh hakim, penuntut umum, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani hakim dan panitera.

7) Ketua pengadilan melanjutkan permintaan Peninjauan

Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada pemohon dan penuntut umum.

f. Tata cara pemeriksaan peninjauan kembali

1) Setelah perkara PK diterima Direktorat Perdata MA, maka

berkas PK tersebut diteliti dan ditelaah oleh Hakim Tinggi Raportir pada MA untuk mengetahui kelengkapan formalnya.

2) Apabila kelengkapan formal ini tidak terpenuhi, seperti

terlambat mengajukan, atau tanpa surat kuasa/surat kuasa tidak khusus, maka akan menyebabkan permohonan PK tersebut tidak dapat diterima.

3) Kemudian setelah Hakim Tinggi Raportir menerima berkas

perkara perdata PK lalu dikembalikan kepada Direktorat Perdata dengan model B.B. kemudian dicatat dalam buku penerima berkas Hakim Tinggi Raportir. Setelah itu dibuat resume perkara, usul pendapat Hakim Tinggi Raportir dan Net konsep putusan.

4) Kemudian berkas perkara PK tersebut diteruskan oleh


(34)

commit to user

yang mendapat wewenang, untuk ditetapkan team yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dan dalam waktu 1 bulan Direktur Perdata sudah mengirim kembali berkas perkara PK kepada Hakim Tinggi Raportoir.

5) Kemudian Hakim Tinggi Raportoir segera menyerahkan

berkas perkara PK kepada Ketua Tim, yang dilengkapi dengan resume dan Pendapat Hakim Tinggi Raportir serta penetapan Majelis Hakim untuk mengadili perkara itu, dan setelah ketua Tim menunjuk Majelis Hakim maka Hakim Tinggi Raportir menghubungi ketua Majelis untuk menetapkan hari sidang perkara tersebut.

6) Apabila diperlukan, maka MA berwenang memerintahkan

Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan tersebut dan kemudian setelah melaksanakan perintah MA maka PN/PT segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan kepada MA.

g. Putusan peradilan peninjauan kembali

1) Putusan yang menyatakan bahwa permohonan PK tidak dapat

diterima.

2) Dapat Terjadi karena Pengajuan PK tidak memenuhi syarat

formal seperti:

a) Pemohon terlambat mengajukan PK;

b)permohonan PK tanpa adanya surat kuasa/surat kuasa tidak

khusus dibuat untuk PK;

c) Dikarenakan PK diajukan untuk kedua kalinya; serta

d)PK dimohonkan terhadap putusan pengadilan yang belum


(35)

commit to user

3) Putusan yang menyatakan bahwa permohonan PK ditolak.

Terjadi apabila MA berpendapat bahwa permohonan PK yang diajukan tidak beralasan. Alasan ini dapat dikarenakan permohonan PK tidak didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan menjadi dasar permohonan PK, atau dapat pula dikarenakan alasan-alasan permohonan PK tidak sesuai dengan alasan-alasan yang ditetapkan secara limitatif oleh UU.

4) Putusan yang menyatakan bahwa permohonan PK dikabulkan.

Terjadi apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan permohonan PK karena sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU MA. Dalam hal MA mengabulkan permohonan PK maka MA akan membatalkan putusan yang dimohonkan PK tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.

h. Proses penyelesaian perkara.

1) Permohonan PK di teliti kelengkapan berkasnya oleh

Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan di beri nomor register PK

2) Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan

Termohon PK bahwa perkaranya telah di registerasi

3) Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya

Ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara PK

4) Menyerahkan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor)

kepada Penitera Pengganti yang membantu menangani perkara tersebut

5) Panitera Pengganti mendistribusikan berkas perkara ke

Majelis Hakim Agung masingmasing (Pembaca 1,2 dan 3) untuk di beri pendapat.


(36)

commit to user

6) Majelis Hakim Agung memutus perkara

7) Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para

pihak melalui Pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan PK.

2. Tinjauan tentang novum

a. Pengertian Novum

Menurut Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Novum didefinisikan sebagai berikut :

keadaan baru yang menimbulkan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Menurut Yusril Ihza Mahendra novum menurut hukum acara

pidana adalah fakta baru yang tidak terungkap di persidangan, tapi hakim telah memutuskan lain. Kalau hukum berubah sebenarnya

bukan novum.

Pengajar hukum acara pidana dari Fakultas Hukum UI, T. Nasrullah, berpendapat bahwa apapun yang terkait dengan keadaan

baru itu bisa diajukan sebagai novum. Karena itu, menurut

Nasrullah, perubahan hukum atau undang-undang dapat dijadikan

novum.

Sebagai contoh adalah orang dulu dipidana karena perbuatan kriminal, kemudian berubah menjadi dekriminalisasi, perbuatan pidana itu bukan lagi perbuatan pidana. Ia bisa ajukan PK dengan alasan dekriminalisasi perbuatannya. Hukum harus selalu memberikan yang menguntungkan bagi seorang pelaku kejahatan, tidak boleh membuat ia semakin sulit keadaannya (Nasrullah).


(37)

commit to user

Luhut MP Pangaribuan (pengamat dan praktisi hukum pidana) membenarkan bahwa putusan MK dapat dijadikan sebagai

novum untuk mengajukan PK. Pasalnya, putusan MK tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Jenis-Jenis Novum

Mengenai jenis-jenis novum ada 3 macam, yaitu Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK), Saksi fakta, Putusan bebas terdakwa

lainnya dalam kasus yang sama.

1) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan sebagai

novum karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2) Saksi fakta

Suatu keadaan baru, yang berupa keterangan saksi yang belum pernah diajukan dalam persidangan baik di tingkat pertama, banding dan kasasi.

3) Putusan bebas terdakwa lainnya dalam kasus yang sama

Hal ini berdasarkan pada teori Von Buri yaitu Teori

CONDITIO SINE QUANON, yang menyatakan bahwa semua

syarat, semua factor yang turut serta atau bersama-sama menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dihilangkan dari

rangkaian factor-faktor yang bersangkutan, adalah cause


(38)

commit to user

rangkaian factor-faktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat, tidak diberi nilai. Sebaliknya tiap-tiap factor yang umpamanya tidak dapat dihilangkan dari rangkaian factor-faktor tersebut yaitu yang adanya perlu untuk terwujudnya akibat, harus diberi nilai yang sama. Semua faktor-faktor tersebut adalah sama dan sederajat kalau saja factor tersebut dihilangkan maka akibatnya mungkin tidak ada atau lain dari apa yang terjadi.

Menurut Van Hamel, salah seorang penganut teori Van Buri, bahwa secara ilmiah teori Van Buri adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan (.Andi Abidin, 301-302).

3. Tinjauan tentang error in persona

Pengertian mengenai istilah error in persona tidak terdapat dalam

KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun

secara teori pengertian error in persona ini bisa ditemukan dalam

doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari error in

persona adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya. Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus serta kesalahan dalam mengidentifikasikan korbannya. Pengertian ini tersirat dalam pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai


(39)

commit to user

orangnya. Selain dalam KUHAP pengertian tersebut juga tersirat dalam pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 yang mengatur hal yang sama.

Menurut M.Yahya Harahap kekeliruan dalam penangkapan

mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person

yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap/ditahan (Yahya Harahap : 45).Sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut

sebagai error in subjectif (Putusan MA No. 89 PK/PID/2008, tanggal 3

Desember tahun 2008)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai macam istilah atau penyebutan terhadap kondisi atau keadaan dimana penegak hukum melakukan kesalahan atau kekeliruan pada saat melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.

4. Tinjauan tentang upaya hukum

a. Pengertian Upaya Hukum.

Menurut Pasal 1 butir 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pengertian upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau Banding atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.


(40)

commit to user

b. Macam-macam Upaya Hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

membedakan upaya hukum menjadi dua yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa diatur didalam Bab XVIII.

1) Upaya Hukum Biasa.

Upaya hukum biasa adalah upaya hukum terhadap keputusan yamg belum dilaksanakan dan penggunaan dari upaya hukum ini dapat menangguhkan eksekusi hukuman. Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian yaitu tentang pemeriksaan Banding dan pemeriksaan Kasasi.

a) Pemeriksaan Tingkat Banding.

Banding adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan Pengadilan Negeri (Pasal 67 jo 233 KUHAP ). Jika Pasal 233 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama ( Pengadilan Negeri ) dapat dimintakan Banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa perkecualiaan. Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 mengatakan bahwa terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dimintakan Banding kepada


(41)

commit to user

Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

Perkecualian untuk mengajukan Banding menurut Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah :

(1) Putusan bebas.

(2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut

kurang tepatnya penerapan hukum.

(3) Putusan pengadilan dalam acara cepat, kecuali dalam

hal perampasan kemerdekaan ( pasal 205 ayat (3) KUHAP ).

Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)terlihat sangat memperhatikan hak asasi terdakwa karena lebih membatasi permintaan Banding yaitu apabila putusan dan lepas dari tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum.

Tujuan Banding ada dua yaitu untuk menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya dan pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu, oleh sebab itu maka Banding sering disebut juga Revisi. Pemeriksaan tingkat Banding merupakan suatu

penilaian baru (judicial novum), jadi dapat diajukan

saksi-saksi baru, ahli-ahli dan surat-surat baru. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak melarang hal demikian, khususnya jika melihat dalam Pasal 238 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ( Andi Hamzah, 1996:301 ).

Acara pemeriksaan Banding diatur dalam Pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sampai Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Acara Banding ini awalnya diatur dalam Pasal 7


(42)

commit to user

sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951. Menurut Moch. Faisal Salam ( 2001:353-354 ), ketentuan yang tercantum dalam Pasal 233 sampai Pasal 243 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada beberapa hal yang sama seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.1 Drt Tahun 1951, misalnya :

(1) Tenggang waktu mengajukan Banding yaitu 7 hari

sesudah putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada terdakwa ( Pasal 233 KUHAP ).

(2) Pencabutan Banding selama perkara belum diputus dan

dalam hal demikian tidak boleh mengajukan permohonan lagi ( Pasal 235 KUHAP ).

(3) Pemeriksaan dalam tingkat Banding dilakukan oleh

sekurang-kurangnya 3 orang hakim atas dasar perkara yang diterima dari Pengadilan Negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan penyidik, berita acara pemeriksaan disidang Pengadilan Negeri, beserta surat yang timbul disidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan Pengadilan Negeri ( Pasal 238 KUHAP ).

(4) Jika Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pada

pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, Pengadilan Tinggi dengan keputusan dapat memerintahkan Pengadilan Negeri untuk memperbaiki. Jika perlu Pengadilan dapat membatalkan penetapan dari Pengadilan Negeri sebelum putusan pengadilan dijatuhkan ( Pasal 240 KUHAP ).


(43)

commit to user

b) Pemeriksaan Tingkat Kasasi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mamuat pengertian Kasasi adalah pembatalan atau pernyataaan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar dengan undang-undang, hak Kasasi hanyalah hak Mahkamah Agung( Leden Marpaung, 2000:3 ).

Pada kenyataaannya, tidak ada putusan Mahkamah Agung ( dalam perkara pidana ) yang menyatakan bahwa putusan hakim tidak sah kata ”pembatalan” telah tepat, tetapi yang dibatalkan bukan putusan hakim tetapi putusan pengadilan baik Pengadilan

Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Dengan

demikian, yang mungkin dibatalkan bukan putusan saja tetapi dapat juga terhadap penetapan. Selain itu, pemuatan hak Kasasi yang dicantumkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut merupakan kekeliruan karena Kasasi bukan hak melainkan kewenangan Mahkamah Agung

Dalam BAB XVII tentang Upaya Hukum Biasa, Kasasi dapat diartikan sebagai hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi karena tidak berwenang atau melampaui batas kewenangan, misalnya :

(1) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

(2) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh

peraturan perundang-undangan yang mengancam

kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai Kasasi, antara lain diatur dalam :

(1) Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 Kitab


(44)

commit to user

Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)berbunyi bahwa terhadap putusan bebas pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

(2) Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi terhadap putusan pengadilan dalam tingkat Banding dapat dimintakan Kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berkepentingan kecuali undang-undang menentukan lain.

Para pihak yang akan mengajukan Kasasi harus memiliki alasan yang kuat, karena jika tidak memiliki alasan yang kuat maka dapat dipastikan akan kalah dipersidangan. Alasan untuk permohonan Kasasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 253. Adapun alasan Kasasi adalah sebagai berikut :

(1) Apakah benar suatu putusan hakim tidak diterapkan

atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.

(2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan

menurut ketentuan undang-undang.

(3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batasan

wewenangnya.

Berdasarkan alasan tersebut, menurut Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka


(45)

commit to user

putusan pengadilan yang dimintakan Kasasi dapat dibatalkan karena :

(1) Peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak

sebagaimana mestinya, maka Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.

(2) Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan

undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.

(3) Pengadilan atau hakim yang besangkutan tidak

berwenang mengadili perkara tersebut. Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.

2) Upaya Hukum Luar Biasa.

Upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa yang terdiri dari Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali. Baik Kasasi Demi Kepentingan Hukum maupun Peninjauan Kembali,

kedua-duanya tidak boleh merugikan pihak yang

berkepentingan atau terdakwa atau terpidana. Dengan demikian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjamin kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan atau terdakwa atau terpidana.


(46)

commit to user

Kasasi Demi Kepentingan Hukum pada umumnya sama saja dengan Kasasi biasa, kecuali dalam Kasasi Demi Kepentingan Hukum ini penasehat hukum tidak lagi dilibatkan ( Andi Hamzah, 2001:297 ). Kasasi Demi Kepentingan Hukum diatur dalam Pasal 259-262 Kitab Undang-Undang Hukum Aacra Pidana (KUHAP), yang antara lain berisi sebagai berikut :

1) Pasal 259 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) ayat :

(1)Demi kepentingan hukum tehadap semua putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan Kasasi oleh Jaksa Agung.

(2)Putusan Kasasi Demi Kepentingan Hukum tidak

boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan Pasal 259 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita ( 2003:294-295 ), maka dapat diperoleh perbedaan antara pemeriksaan tingkat Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum, yaitu :

(a) Yang Mengajukan.

(i.) Untuk Kasasi adalah para pihak baik

terdakwa atau penuntut umum atau dapat juga kedua-duanya dalam waktu yang sama.

(ii.) Untuk Kasasi Demi Kepentingan Hukum

adalah Jaksa Agung.

(b)Waktunya.

(i.) Kasasi waktunya sebelum putusan


(47)

commit to user

(ii.) Kasasi Demi Kepentingan Hukum setelah

putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.

(c) Akibat.

(i.) Kasasi bisa meringankan atau memberatkan

atau membebaskan atau melepaskan

terdakwa dari segala tuntutan hukum.

(ii.) Kasasi Demi Kepentingan Hukum tidak

boleh merugikan pihak yang

berkepentingan.

2) Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), ayat :

(1) Permohonan Kasasi Demi Kepentingan Hukum

disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung

kepada Mahkamah Agung melalui panitera

pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.

(2) Selain risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) oleh panitera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.

(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera

meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung.

3) Pasal 261 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), ayat :

(1)Salinan putusan Kasasi Demi Kepentingan Hukum

disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.


(48)

commit to user

4) Pasal 262 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), berbunyi :

”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260 dan Pasal 261 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku bagi cara Permohonan Kasasi Demi Kepentingan Hukum

terhadap putusan pengadilan dalam lingkup

Peradilan Militer”.

Demi tegaknya hukum dan kepastian hukum, maka pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum hanya boleh diajukan satu kali saja. Seandainya boleh diajukan tanpa batas, jaksa dapat mengajukan berulang kali, hal ini merupakan anarki sekaligus merobek prinsip kepastian hukum dan dapat menyebabkan siksaan bagi terdakwa. Jadi dalam hal ini berlaku prinsip bahwa kesalahan hanya dapat diperbaiki satu kali saja ( M.Yahya Harahap, 2002:611 ).

b) Peninjauan Kembali Putusan.

Disamping pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga diatur tentang Peninjauan Kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Peninjauan Kembali pertama kali diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana tetapi belum dapat dijalankan karena masih diperlukan peraturan lebih lanjut mengenai beberapa persoalan.

Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tujuannya agar pengadilan benar-benar menjalankan keadilan, agar sendi-sendi hukum yang asasi di masyarakat terlindungi (Usman Hamid, http://www.hukumonline.com).


(49)

commit to user

Peninjauan kembali dapat diajukan atas dasar alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

(1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan

dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

(2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan

bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu sama lain.

(3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan oleh terdakwa atau ahli warisnya sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(50)

commit to user

Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan seperti dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai berikut :

1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan

bahwa permintaan Peninjauan Kembali dengan

menetapkan bahwa putusan yang dimintakan

Peninjauan Kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.

2) Apabila Mahkamah Agung mambenarkan alasan

pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dinyatakan Peninjuauan Kembali itu dan menyatakan putusan yang dapat berupa :

a) Putusan bebas.

b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

c) Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut

umum.

d) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana

yang lebih ringan.

5. Tinjauan tentang rehabilitasi

a. Pengertian rehabilitasi

Definisi tentang Rehabilitasi yang diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 23 disebutkan sebagai berikut:

Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.


(1)

commit to user

menjalakan putusan pengadilan tersebut dan jika menolak penegak hukum memiliki wewenang untuk secara paksa mereka menjalani isi dalam vonis tersebut.

Dengan demikian seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat menempuh upaya hukum luar biasa apabila dikemudian hari ditemukan suatu novum atau bukti baru yang kuat. Bukti baru ini bisa bermacam-macam sepanjang bukti atau keadaan baru tersebut menimbulkan dugaan kuat apabila sudah diketahui ketika persidangan perkaranya masih berlangsung akan dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Salah satunya yang bisa menjadi novum adalah apabila terjadi kesasalahan dalam mengindentifikasikan korban.Kesalahan dalam mengidentifikasikan korban tersebut ( Error

In Persona Korban ) akibatnya akan menyebabkan terjadinya

kesalahan dalam melakukan penuntutan orang yang pada akhirnya berujung pada kesalahan dalam penjatuhan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.

Saat itu dirasakan perlu ada peraturan tentang lembaga Herziening atau peninjauan pembali yang sekaligus melengkapi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang waktu itu juga sedang masih dibahas.

B. Upaya hukum yang bisa dilakukan oleh terpidana untuk memperoleh

rehabilitasi dan ganti rugi jika permohonan Peninjauan Kembalinya dikabulkan

Mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang terpidana yang ternyata merupakan korban terjadinya error in persona korban dalam kesalahan mengidentifikaikan korban kejahatan , adalah ia dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Alasannya adalah dengan status sebagai terpidana maka cukup diketahui bahwa perkara yang menimpanya itu telah mendapatkan putusan dari


(2)

commit to user

mengadilan. Dan karena terpidana tersebut tidak menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum banding maupun kasasi namun menerima dan melaksanakan putusan tersebut maka secara otomatis putusan pengadilan menjadi berkekuatan hukum tetap (in krach van gewijsde).

Walaupun terpidana tersebut telah atau sedang menjalankan hukuman pidana yang dijatuhkan terhadapnya tidak berarti pintu keadilan sudah tertutup rapat untuknya. Upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dimungkinkan oleh Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepanjang memenuhi dasar-dasar atau alasan-alasan yang dipersyaratkan oleh Kitab Undang Undang Hukum Aacara Pidana (KUHAP) serta dengan memperhatikan tata cara yang telah ditentukan.

Keadaan baru atau fakta baru misalnya baru diketahui terjadi error in persona korban dapat dijadikan alasan yang kuat bagi seorang yang telah diputus bersalah oleh pengadilan untuk mengajukan peninjauan kembali. Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dikenal adanya istilah bukti baru atau keadaan hukum baru lebih lazim disebut dengan istilah novum. Pengertian novum berdasarkan Undang-undang dapat dilihat dalam Pasal 263 ayat (2) huruf (a) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)adalah sebagai berikut :

Keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Dengan adanya novum tersebut maka bagi seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannya dapat melakukan suatu upaya hukum tertentu. Dari pengertian novum atau keadaan baru tersebut dapat disimpulkan bahwa novum itu hanya bisa diperuntukan terhadap suatu putusan dari pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (In Krach Yan Gewijsde). Yakni suatu putusan paling akhir dari pengadilan dan bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang divonis dalam putusan tersebut


(3)

commit to user

Mereka sudah tidak memiliki pilihan apapun kecuali menjalakan putusan pengadilan tersebut dan jika menolak penegak hukum memiliki wewenang untuk secara paksa mereka menjalani isi dalam vonis tersebut.

Dengan demikian seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat menempuh upaya hukum luar biasa apabila dikemudian hari ditemukan suatu novum atau bukti baru yang kuat. Bukti baru ini bisa bermacam-macam sepanjang bukti atau keadaan baru tersebut menimbulkan dugaan kuat apabila sudah diketahui ketika persidangan perkaranya masih berlangsung akan dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Salah satunya yang bisa menjadi novum adalah apabila terjadi kesalahan dalam mengidentifikasikan korban yang diduga menjadi korban kejahatan.

Kesalahan dalam mengidentifikasikan korban tersebut mengakibatkan terjadinya salah menuntut orang yang pada akhirnya berujung pada salah menghukum orang yang tidak bersalah atas kejahatan yang tidak dilakukannya seperti selama ini yang di alami oleh terpidana Imam Chambali alias kemat.Dan hal ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi para terpidana,selain dia dapat mengajukan Peninjauan kembali dan menuntut pembebasannya karena terpaksa menjalani hukuman atas tuduhan kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Para terpidana ini juga dapat menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Sebab Putusan PK yang diajukan oleh terpidana ini membuktikan secara nyata adanya kekeliruan dalam menghukum seseorang dan dengan adanya temuan baru (novum)berupa error in persona korban. Sehingga upaya hukum berikutnya yang dapat di tempuh oleh terpidana adalah pemulihan nama baik(rehabilitasi) dan ganti kerugian .Hal Itu diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam kasus ini terpidana dapat di mengajukan upaya hukum untuk mendapatkan rehabilitasi dan ganti kerugian dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan namun untuk permintaan rehabilitasi diajukan


(4)

commit to user dalam tahap praperadilan

Selanjutnya tentang Rehabilitasi dijelaskan dalan Pasal 97 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP )sebagai berikut :

seorang berhak memperoleh Rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sesuai bunyi Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHAP) sebagai berikut:

Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

Opsi lain yang bisa dilakukan sebagaimana diatur Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP) adalah tuntutan ganti kerugian Pasal 95 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan mengenai ganti kerugian sebagai berikut:

Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Dan Pasal 7 ayat (1) PP berbunyi:

Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.


(5)

commit to user

70 BAB IV P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :

1. Novum dalam bentuk error in persona korban sebagai dasar permohonan pemeriksaan peninjauan kembali perkara pembunuhan dengan terpidana Imam Chambali adalah pengakuan Very ldham Heryansyah alias Ryan pada tanggal 17 Agustus 2008 yang menyatakan bahwa mayat / korban ke 11(sebelas) (yang saat itu belum diketahui identitasnya (disebut Mr. X) yang dikubur di pekarangan belakang rumah orang tuanya di Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembeleng, Kabupaten Jombang adalah bernama Asrori dan dibunuh sekitar bulan Oktober 2007 atau setidaktidaknya dalam tahun 2007. Jadi Novum I yang dimaksud adalah Pengakuan dari Very ldham Heryansyah alias Ryan yang mengaku telah membunuh Asrori.

2. Upaya hukum yang bisa dilakukan oleh terpidana untuk memperoleh rehabilitasi dan ganti rugi jika permohonan Peninjauan Kembalinya dikabulkan adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Opsi ini yang bisa dilakukan oleh terpidana mengingat kasusnya sudah diperiksa dan diputusan oleh pengadilan.

B. Saran-Saran

Dengan demikian berdasarkan dari uraian simpulan yang disebutkan sebelumnya, maka ada beberapa saran yang hendak penulis kemukakan terkait penelitian ini.

1. Perlu adanya perubahan PP No. 27 Tahun 1983 khususnya yang mengatur tentang jumlah nominal untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud


(6)

commit to user

dalam Pasal 95 KUHAP. Sebab jumlah nominal ganti kerugian tersebut untuk saat ini dirasakan sangat minim dan sangat tidak layak apabila dibandingkan dengan besarnya kerugian sebenarnya yang dialami korban baik secara materiil maupun secara immaterial.

2. Penulis berpandangan seharusnya dilakukan suatu terobosan baru mengenai besarnya atau jumlah nilai ganti kerugian yang berhak diterima korban berdasarkan Pasal 9 PP No.27 Tahun 1983 tersebut.

3. Dalam membuat peraturan perundang-undangan khususnya mengenai Peninjauan Kembali harus dibuat dengan jelas termasuk mengenai pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan Peninjaun Kembali sehingga tidak menimbulkan penfsiran yang berbeda di berbagai kalangan.

4. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus disesuaikan dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sehingga tidak menimbulkan kekhilafan dan kekeliruan dalam menjatuhkan putusan yang merugikan para pihak yang berkepentingan.


Dokumen yang terkait

Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana

2 70 135

Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

1 12 92

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TERPIDANA DALAM HAL TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA

5 85 59

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TERPIDANA DALAM HAL TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA

0 6 86

ANALISIS YURIDIS PERANAN NOVUM DALAM DIKABULKANNYA PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERPIDANA DALAM PERKARA PENGGELAPAN

0 4 56

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG TELAH DIAJUKAN LEBIH DAHULU OLEH TERPIDANA DI MAHKAMAH AGUNG.

0 0 1

ARGUMENTASI HUKUM TERPIDANA MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS DASAR NOVUM DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA OLEH ANGGOTA MILITER (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 04 PK/MIL/2016.

0 0 14

Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali Terpidana Atas Dasar Novum dan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Dalam Memutus Perkara Penipuan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 PK/PID/2013).

0 0 12

TINJAUAN KEADAAN BARU SEBAGAI ALASAN TERPIDANA MENGAJUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI DAN ARGUMENTASI HUKUM HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN NOMOR : 167PK/PIDSUS/2011).

0 0 1

TINJAUAN YURIDIS KEADAAN BARU DAN KEKHILAFAN YANG NYATA SEBAGAI DASAR PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH TERPIDANA DALAM PERKARA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 99 PK/PID/2009).

0 0 12