Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Pola Komunikasi terhadap Remaja yang Dominan Digunakan oleh Ibu Single Parent T1 132010002 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Pelaksanaan Penelitian 4.1.1. Persiapan Penelitian

Dalam penelitian ini, persiapan penelitian dilakukan dengan membuat rancangan penelitian. Rancangan penelitian ini dimulai dengan langkah menetapkan kancah penelitian yaitu penerapan pola komunikasi ibu single parent pada remaja.

Pada awal bulan Maret 2014 peneliti mencari subjek dengan mendatangi PPA IO-975 yang peneliti gunakan sebagai PPL Konseling, berdasar laporan PPL Konseling peneliti bahwa salah satu remaja yang dilayani oleh peneliti merupakan remaja yang memiliki ibu single parent. Berdasar pada laporan hasil PPL Konseling, peneliti mengidentifikasi pola komunikasi yang dibangun oleh ibu single parent dengan remaja. Pada tanggal 20 Maret 2014 (pukul 16.00 WIB), peneliti mengadakan pertemuan pertama dengan calon subjek I yaitu remaja berinisial MR dan kemudian dilanjutkan bertemu dengan ibu SS yang merupakan ibu dari remaja. Dalam pertemuan tersebut, peneliti ingin memastikan bahwa ibu SS dan remaja MR adalah subjek yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah dipastikan bahwa ibu SS dan remaja MR memenuhi kriteria yang ada, ibu SS dan remaja MR menandatangani informed consent, yang menyatakan bahwa ibu SS dan remaja MR bersedia menjadi subjek. Dari pertemuan dengan subjek I, subjek I menginformasikan bahwa subjek I memiliki teman yang juga mempunyai ibu single parent sehingga subjek yang peneliti harapkan menjadi berkembang. Menurut informasi subjek I, peneliti kemudian pada tanggal 3 April 2014 melanjutkan menemui calon subjek II yaitu remaja PP dan ibu P.


(2)

Hal ini juga yang dilakukan oleh ibu P dan remaja PP yang merupakan subjek II. Setelah menetapkan ibu SS dan remaja MR sebagai subjek I serta ibu P dan remaja PP sebagai subjek II dalam riset ini, dilanjutkan peneliti kemudian meminta kesediaan dari kedua subjek untuk melakukan wawancara. Peneliti disambut dengan sangat baik dan kedua subjek sangat terbuka serta bersedia kapan saja peneliti akan melakukan wawancara.

Selanjutnya melalui informasi dari remaja PP, bahwa PP memiliki teman yang juga memiliki kriteria yang peneliti butuhkan, bahwa peneliti melanjutkan bertemu dengan remaja SV yang kemudian bersama ibu EN bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini, dengan menandatangani informed consent serta bersedia untuk diwawancarai.

Tabel 4.1.1. Karakteristik Subjek Ibu Single Parent

Karakteristik Subjek I Subjek II Subjek III

Nama subjek Ibu SS P EN

Tingkat Pendidikan

SD SD SMA

Umur 49 tahun 39 tahun 37 tahun

Pekerjaan Single Parent Karyawan Damatex Swasta (Momong anak tetangga) Swasta (tukang masak di Kantin

Yonif 411) Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Kristen Protestan Alamat Ds. Ngaglik Rt.

01/ Rw. 11

Perum Mekar Elok Rt. 04/06 Tingkir

Tengah Salatiga

Jl. Tirtoning III Rt. 3/3 Tegalrejo

Salatiga Lama single

parent 14 tahun

2 tahun 10 tahun

Penyebab single parent Meninggal karena kecelakaan Meninggal karena sakit Perceraian


(3)

Tabel 4.1.1. Karakteristik Remaja

Karakteristik Subjek I Subjek II Subjek III

Nama Subjek Remaja

MR PP SV

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan

Sekolah SMK N 1 Salatiga SMK Negeri 1 Salatiga

SMP Negeri 6 Salatiga

Umur 15 tahun 15 tahun 14 tahun

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Kristen Protestan Alamat Ds. Ngaglik Rt.

01/ Rw. 11

Perum Mekar Elok Rt. 04/06 Tingkir

Tengah Salatiga

Jl. Tirtoning III Rt. 3/3 Tegalrejo

Salatiga

4.1.2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dilakukan di rumah subjek dan berlangsung dari bulan Maret 2014 sampai dengan awal bulan April 2014. Selama pengambilan data peneliti menggunakan pedoman wawancara dengan menggali informasi dari ibu single parent serta data akan dilengkapi dengan melakukan wawancara dengan remaja.

Dari ketiga subjek sangat terbuka dan bersedia kapan saja melakukan wawancara, dan subjek menawarkan melakukan wawancara usai menandatangani informed consent. Sehingga setelah usai menandatangani informed consent, kemudian dilanjutkan wawancara kepada subjek ibu single parent I yaitu ibu SS pada tanggal 19 Maret 2014 dan subjek ibu single parent II yaitu ibu P dilaksanakan pada tanggal 2 April 2014. Wawancara kedua remaja subjek dilakukan pada saat remaja usai mengikuti kegiatan PPA bertempat di PPA IO-975, yaitu remaja MR pada 20 Maret dan remaja PP pada tanggal 3 April. Sedangkan peneliti membuat janji untuk melaksanakan wawancara


(4)

dengan remaja SV seusai remaja SV pulang sekolah yaitu pada tanggal 22 Maret 2014 pada pukul 14.00 WIB, wawancara dilanjutkan dengan ibu EN yang sebelumnya peneliti bertemu dengan ibu EN terlebih dahulu sehingga pada tanggal 7 April 2014 seusai ibu EN pulang dari bekerja yaitu pada pukul 18. 00 WIB, ibu EN menyatakan bersedia untuk menjadi subjek III dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent. Selanjutnya pada bulan awal Juni, peneliti datang kembali menemui ketiga subjek ibu single parent untuk melengkapi data dalam penelitian ini.

4.1.2.1. Wawancara

Wawancara yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan wawancara terbuka dan tertutup. Peneliti lakukan pada tahap pendahuluan karena peneliti belum mendapat informasi secara mandalam tentang subjek. Pada tahap pendahuluan ini peneliti memperoleh informasi awal tentang berbagai isu atau permasalahan yang ada pada subjek. Wawancara dilakukan dalam suasana yang santai sehingga tidak terasa kaku. Dalam pelaksanaannya peneliti banyak menggunakan menggunakan bentuk wawancara terbuka untuk menggali informasi lebih lanjut tentang pola komunikasi yang dibangun oleh subjek. Pada saat wawancara dilaksanakan peneliti menggunakan pedoman wawancara, kertas kosong, alat perekam dan alat tulis.

Jenis pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ada lima aspek yang akan diungkap serta disesuaikan dengan kedalaman data yang harus penulis peroleh pada setiap aspek komunikasi interpersonal antara orangtua dan remaja.

4.1.2.2. Dokumentasi

Dari hasil wawancara, peneliti kemudian membuat transkrip wawancara sebagai dokumentasi dari penelitian selain itu peneliti memperoleh


(5)

latarbelakang penyebab ibu menjadi single parent dengan meminta fotokopian atau surat akta perceraian dari ibu single parent untuk melengkapi data.

4.1.2.3. Observasi non Partisipan

Dari data hasil observasi peneliti mengidentifikasi perilaku komunikasi subjek terkait dengan pola komunikasi yang diterapkan oleh ibu single parent terhadap remaja. Observasi non partisipatif dilakukan pada saat peneliti mengadakan wawancara untuk melengkapi data dan mengikuti kegiatan di rumah subjek. Peneliti menggunakan alat bantu observasi yaitu daftar cek observasi sebagai pedoman observasi untuk mendeskripsikan perilaku komunikasi yang nampak pada ibu single parent dan remajayang teridentifikasi oleh peneliti.

4.1.2.4. Kuesioner

Pada tanggal 12 Juni 2014, peneliti menggunakan kuesioner pola komunikasi keluarga untuk mengetahui pola komunikasi yang dominan digunakan oleh ibu single parent terhadap remaja. Peneliti meminta subjek untuk mengisi 64 pernyataan sesuai dengan intruksiSetelah subjek selesai mengisi, peneliti menanyakan kembali kepada subjek pernyataan-pernyataan yang mempunyai skor tinggi dan pernyataan yang jawabannya tidak konsisten antara pernyataan yang satu dengan yang lainnya. Hal ini peneliti lakukan untuk menambah pemahaman peneliti mengenai gambaran pola komunikasi subjek yang sebenarnya.


(6)

4.2. Gambaran Umum Subjek 4.2.1. Subjek I

Wawancara dilakukan di rumah ibu SS yang terlihat sangat sederhana. Wawancara tepatnya dilakukan di ruang. Ruangan berdinding tembok dan terdapat kursi tamu seadanya.

Saat wawancara berlangsung, suasana tempat wawancara tenang dan sepi karena rumah yang terletak jauh dari jalan raya, dan rumah yang berada dekat dengan kebun- kebun. Subjek sangat ramah dan terbuka dengan peneliti, wawancara dilakukan berdua antara subjek dengan peneliti, sedangkan remaja sedang menonton TV di dalam rumah.

Ibu SS memiliki rambut hitam dan sudah memiliki uban, rambut yang diikat serta kulit sawo matang. Pada saat wawancara berlangsung subjek mengenakan kaos dan celana pendek, terlihat telah melakukan beberapa aktivitas pekerjaan ibu rumah tangga. Sedangkan remaja MR memiliki rambut panjang yang ngombak dan kulit sawo matang mengenakan kaos dan celana panjang. Padaa saat wawancara, subjek duduk disebelah kiri peneliti, dengan tangan yang diletakan di bahu kursi dan badannya disandarkan pada kursi.

Pada saat wawancara akan berlangsung, peneliti meminta izin untuk bertanya kepada subjek tentang kehidupan subjek kepada anaknya dan komunikasi yang terjalin antara subjek kepada anaknya. Dengan senang hati subjek mengijinkan peneliti untuk mencari tahu tentang informasi yang ingin diketahui. Subjek terlihat tenang ketika diwawancarai, hal ini terlihat dari jawaban yang diberikan kepada peneliti dengan suara yang jelas dan keras. Ketika subjek menceritakan kisah kehidupannya, dan pandangan mata subjek tetap tertuju ke arah peneliti.


(7)

Ibu SS menikah dengan suaminya, dan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik yaitu MR, namun ketika MR berusia 2 tahun, pada suatu hari suaminya ketika perjalanan pulang dari bekerja mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Pada waktu itu ibu SS sangat terpukul karena sedang merasakan pernikahan yang bahagia karena baru saja memiliki anak pertamanya. Semenjak suaminya meninggal, ibu SS dibantu oleh keluarganya untuk mengasuh MR dan sejak itu pula ibu SS menumpang dirumah orangtuanya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harin dengan anaknya , ibu SS mencari nafkah seorang diri yaitu dengan bekerja sebagai karyawan Damatex dan mengontrakkan rumah yang dimilikinya dengan suami.

Ibu SS dengan mandiri dan bekerja keras mencoba mencukupi kebutuhan anaknya yang semakin hari semakin bertumbuh dewasa. Hingga pada suatu hari orangtuanya meninggal dunia dan rumah yang ibu SS tempati akan dikontrakan untuk setiap bulannya, hasilnya akan dibagi dengan saudara-saudaranya, sehingga akhirnya ibu SS harus kembali kerumah miliknya sendiri. Semenjak saat itu, ibu SS semakin giat bekerja untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang saat ini beranjak remaja. Setiap harinya ibu SS harus menyisihkan uang agar supaya ada persediaan uang sewaktu-waktu apabila ada kebutuhan mendesak atau sehari-harinya seperti untuk uang saku dan uang praktek sekolah anaknya. Ibu SS terkadang harus berhutang kepada tetangga-tetangganya ketika harus mendaftarkan sekolah anaknya.

Sebagai anak tunggal yang berada pada usia remaja, MR merupakan anak yang baik. MR selalu membantu ibunya untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. MR sangat dekat dengan ibunya, sehingga tidak jarang


(8)

sering menceritakan permasalahannya dengan ibunya. Untuk menjaga putri satu-satunya itu, ibu SS membiasakan diri untuk dapat menjadi teman untuk MR, sehingga kebiasaan atau pola perilaku komunikais yang demikian membuat MR merasa betah dirumah. Ibu SS juga membiasakan MR untuk mengajak teman-temannya bermain dirumah dengan begitu menurut ibu SS, ibu SS bisa memantau pergaulan anaknya.

Remaja MR yang mengambil jurusan pemasaran/ penjualan sehinggamemiliki bakat yaitu pada bidang enterpheunership. Untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang MR mencari uang jajan sendiri melalui berdagang gorengan atau sembako. Dengan begitu, MR terkadang tidak perlu meminta uang saku pada ibunya. Melihat bakat yang dimiliki oleh MR, ibu SS sangat mendukung, sehingga terkadang ketika melihat MR mengalami kesulitan dalam berdagang, maka ibu SS akan membantu dengan memberi sedikit modal sehingga selain melatih MR dapat mencari uang saku sendiri, ibu SS juga melatih MR untuk mengembangkan bakat berdagangnya.

Dalam hal mendidik anak, ibu SS selalu memperlakukan MR seperti teman, sehingga ketika dirumah tidak jarang MR mengajukan pendapat bahkan memberi masukan kepada ibu SS, begitupun dengan MR yang sering meminta solusi ketika sedang memilii masalah dengan teman sebaya seperti sahabat atau pacar.

Ibu SS dan MR sering menghabiskan waktu bersama, bercerita dan bercanda ketika akan menjelang tidur dan tidur bersama-sama. Melalui kebiasaan seperti itu, hubungan ibu SS dan MR semakin dekat dan ibu SS dapat mengikuti perkembangan anaknya dengan baik, walau mungkin


(9)

dikarenakan pekerjaan ibu SS memiliki tidak banyak waktu untuk bertemu dengan anaknya. Namun menurut ibu SS komunikasi bisa dilanjutkan dengan mengirimkan pesan atau telepon melalui handphone.

4.2.2. Subjek II

Wawancara dilakukan di rumah ibu P yang terlihat sederhana. Wawancara dilakukan di ruang tamu, berdinding tembok berwarna hijau dan terdapat 2 kursi yang biasa digunakan menerima tamu. rumah ibu P berada pada komplek perumahan sehingga saat wawancara sedikit bising dikarenakan aktivitas tetangga sekitarnya dan subjek memiliki anak berusia 4 tahun yang bermain dirumah.

Subjek berambut lurus pendek serta memiliki kulit putih bersih. Ketika subjek bertemu dengan peneliti, subjek tersenyum dan dengan ramah mempersilahkan peneliti untuk masuk rumah. Pada saat wawancara subjek duduk di sebelah kanan peneliti, dengan posisi duduk berhadapan dengan peneliti.

Pada saat wawancara, peneliti meminta izin untuk bertanya kepada subjek kehidupan subjek kepada anaknya dan komunikasi yang terjalin antara subjek dengan anaknya. Ibu P sangat terbuka sehingga ibu P bersedia dengan terbuka menceritakan kehidupan dan komunikasi yang terjalin antara ibu P dengan anaknya. Subjek terlihat tenang ketika diwawancarai, hal ini terlihat dari jawaban yang diberikan kepada peneliti dengan suara yang jelas. Ketika subjek menceritakan kisah kehidupannya. Pandangan mata subjek tetap tertuju ke arah peneliti, namun sesekali subjek melihat kedua anaknya yang sedang duduk menonton televisi diruang tamu.


(10)

Ibu P menikah dengan seorang yang memiliki pekerjaan yang berprofesi di proyek bangunan. Ibu P menikah dengan berbeda keyakinan, namun ibu R dan suami telah sepakat untuk tetap melaksanakan keyakinan masing-masing, yaitu ibu P memiliki keyakinan Kristen Protestan dan suaminya Islam. Selama menjalani kehidupan berumah tangga, ibu P di karuniai dua orang anak yaitu perempuan dan laki-laki. Anak pertama di beri nama PP (15 tahun) dan anak ke dua di beri nama M (4 tahun). Ibu P dan suaminya hidup bahagia. Dalam menjalani rumah tangga, mereka sepakat untuk anak perempuan akan megikuti keyakinan ibu P dan anak laki-lakinya akan mengikuti keyakinan suaminya. Dan mereka membagi tugas untuk mengasuh anaknya.

Sebagia orang tua, ibu P dan suami memiliki hubungan yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Hal ini ditunjukkan, walau suami berbeda keyakinan dengan ibu P dan remaja PP , namun suaminya memberikan kebebasan kepada istri dan anaknya untuk menjalankan kewajiban ibadah, dan suami ibu P sering mengantarnya ke gereja.

Masalah pendidikan anak, ibu P dan suami sepakat untuk menyekolahkan remaja PP sesuai dengan minatnya dan mendukung remaja PP untuk terlibat dalam PPA, sedangkan anak keduanya yaitu M disekolahkan di Madrasah. Hal itu dengan tujuan agar kebutuhan rohani anak-anaknya dapat berkembang dengan baik.

Namun pada tanggal 17 Oktober 2012, suami ibu P meninggal dunia dikarenakan penyakit Trombositopenia yang baru diketahui oleh keluarga 3 bulan sebelum suami ibu P meninggal dunia. Sejak saat itu ibu P menjadi single parent bagi anak-anaknya. Saat ibu P harus menghadapi suaminya


(11)

meninggal, ibu P sangat terpukul dan sempat mengalami stress karena ibu P bingung bagaimana harus menghidupi kedua anaknya. Selain itu, ibu P kuatir dalam mengasuh anaknya seorang diri, dan merasa takut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang pendidikan yang tinggi. Sebagai sumber penghasilan, ibu P mengasuh anak tetangga dan menjadi tukang masak apabila ada tetangga yang sedang memiliki hajatan. Ibu P juga semakin kuatir, apabila anak-anaknya tidak mencapai cita-cita yang diharap hanya karena masalah perekonomian yang saat ibu P dan anak-anaknya alami.

Remaja PP merupakan anak yang aktif dan terlibat menjadi pengurus kelas disekolahnya. Ibu P sangat menyanyangi kedua anaknya, dan selalu bersemangat bekerja setiap melihat kedua anaknya dan mengingat suaminya.

Ibu P sangat dekat dengan kedua anaknya. PP sering menceritakan permasalahan yang dialaminya kepada ibu P, dan ibu P sering memberikan nasihat dan solusi kepada remaja PP. Kedekatan yang dibangun oleh Ibu P membuat remaja PP merasa nyaman dirumah. ibu P dan remaja PP sering menghabiskan waktu bersama dengan memasak bersama.

Ibu PP memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam berteman dan bergaul namun tetap dalam pantauan atau pengawasan. Selain itu, ibu P berserah diri kepada Tuhan untuk membimbing dan mengasuh anaknya sampai berhasil.

4.2.3. Subjek III

Wawancara dilakukan di rumah ibu EN yang terlihat sederhana. Wawancara dilakukan di ruang tamu, dan terdapat 1 set kuris tamu yang biasa digunakan menerima tamu. Semenjak ibu EN berpisah dengan suaminya, ibu EN menumpang dan tinggal bersama dengan orangtua, adik dan anak-anaknya


(12)

sehingga pada saat wawancara sedikit bising dan ibu EN merasa kurang nyaman dikarenakan aktivitas keluarganya dan subjek memiliki anak berusia 3 tahun yang bermain dirumah. Sehingga perhatian ibu EN ketika diwawancarai kurang fokus, sebab memperhatikan ketiga anak-anaknya yang juga duduk bersama subjek.

Subjek berambut lurus pendek serta memiliki kulit putih bersih. Subjek merupakan sosok pribadi yang lemah lembut. Ketika subjek bertemu dengan peneliti, subjek tersenyum dan dengan ramah mempersilahkan peneliti untuk masuk rumah. Pada saat wawancara subjek duduk di sebelah kanan peneliti, dengan posisi duduk berhadapan dengan peneliti.

Pada saat wawancara, peneliti meminta izin untuk bertanya kepada subjek kehidupan subjek kepada anaknya dan komunikasi yang terjalin antara subjek kepada anaknya. Ibu EN sangat terbuka sehingga ibu EN bersedia dengan terbuka menceritakan kehidupan dan komunikasi yang terjalin antara ibu EN dengan anaknya. Subjek terlihat sedikit tidak nyaman ketika diwawancarai, hal ini terlihat dari jawaban yang diberikan kepada peneliti dengan suara yang sangat pelan dikarenakan subjek yang tinggal bersama orangtuanya sering mengalami pertengkaran masalah anak-anaknya. Ketika subjek menceritakan kisah kehidupannya pandangan mata subjek selalu tertuju kearah anak dan sesekali melihat kedalam rumah.

Ibu EN menikah dengan seorang pria yang memiliki pekerjaan berprofesi TNI AD. Ibu EN menikah pada tahun 2000, pada saat itu karena suaminya yang berprofesi sebagai TNI AD maka ibu EN harus tinggal bersama dengan suaminya di asrama Yonif 411. Pada saat itu, ibu EN merasa sangat bahagia karena ketika tidak lama menikah langsung dikarunia seorang


(13)

anak perempuan yang cantik, memasuki usia pernikahan yang 2 tahun ibu EN kembali dikarunia seorang ank perempuan. Ibu EN merasa bahagia dan sepakat dengan suminya untuk membesarkan bersama-sama anak mereka. Suami ibu EN sangat dekat dengan kedua anaknya, setiap suami ibu EN bekerja, suaminya sering membawa anaknya untuk ikut, dan setiap sore selalu ada kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan anak-anaknya seperti jalan-jalan disekitar asrama Yonif 411. Selama menjalani kehidupan berumah tangga, ibu EN dan suaminya merasa sangat bahagia.

Memasuki usia pernikahan tahun ke enam, suami ibu EN pergi ke Ambon untuk melaksanakan tugas, tugas tersebut akan harus dilaksanakan selama 2 tahun. Selama suami bertugas di Ambon, komunikasi yang ibu EN lakukan dengan suami sangat lancar, suami ibu EN sering menanyakan keadaannya dan kabar anak-anaknya. Ibu EN juga sering memberikan informasi tentang perkembangan anak-anaknya. Memasuki menjelang suaminya selesai menyelesaikan tugasnya di Ambon, ibu EN selalu melakukan komunikasi, namun permasalahan rumah tangganya terjadi ketika seluruh anggota TNI AD yang ditugaskan di Ambon pulang kembali ke asrama Yonif 411, tetapi suami ibu EN tidak ikut pulang bersama anggota yang lainnya. Menurut informasi dari salah satu teman dari suaminya bahwa suami ibu EN hanya kembali ke kapal untuk menaruh seragam, barang dan perlengkapannya sebagai TNI AD namun tidak bersedia ikut pulang bersama anggota lainnya.

Informasi itu pula diperjelas oleh atasan suami ibu EN bahwa sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku di tempat pekerjaan suami ibu EN, suami ibu EN dinyatakan dipecat secara tidak hormat dan meminta ibu EN


(14)

untuk meninggalkan asrama Yonif 411 dikarenakan sudah tidak memiliki keterikatan tugas tanggungjawab sebagai Persatuan Istri Tentara (Persit).

Sejak itu, ibu EN dan anak-anaknya pulang kembali kerumah orang tuanya yang tidak jauh dari asrama Yonif 411. Semenjak suaminya yang tidak kembali pulang, ibu EN berusaha untuk menghubungi suami dan keluarga suaminya yang berada di Ambon, namun ibu EN tidak pula mendapatkan jawaban yang pasti. Suami ibu EN hanya memberitahukan bahwa tidak dapat kembali lagi pulang kerumah tanpa memberikan alasan yang jelas. Semenjak itu, ibu EN mengalami kesulitan untuk menghubungi suaminya, ibu EN juga kekurangan informasi tentang suaminya dan pekerjaan suaminya saat ini. Sampai saat ini ibu EN hidup menumpang bersama orang tua dan adiknya.

Semenjak ibu EN ditinggalkan oleh suaminya, ibu EN sering mengalami pertengkaran dengan orangtuanya karena orangtuanya merasa ibu EN dan anak-anaknya menjadi beban. Tidak jarang ketika orangtua ibu EN marah, ibu EN dan anak-anaknya sering diusir dari rumah. Untuk membiayai anka-anaknya, ibu EN bekerja serabutan yaitu seperti menjadi tukang masak di kantin Yonif 411, menyetrika atau mencuci baju tetangga, mengambil jahitan dari pabrik garmen. Semua pekerjaan dilakukan ibu EN agar dapat membiayai anak-anaknya dan tidak merepotkan orangtuanya. Suami ibu EN sempat pulang menemui ibu EN dan anak-anaknya, dan ibu EN hamil anak ketiganya yang saat ini berusia 4 tahun.

Pada tanggal 14 Januari 2009, ketika ibu EN mendapat informasi bahwa suaminya telah berkeluarga di Ambon dan kemudian ibu EN memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Selama 5 tahun bercerai, mantan suami ibu EN terkadang datang menjenguk ibu EN dan anak-anaknya, mantan suami ibu


(15)

EN juga bersedia memberikan biaya pendidikan dan keperluan untuk ketiga anaknya. Namun bantuan finansial dari mantan suaminya juga tidak cukup, sehingga ibu EN harus bekerja keras untuk mencukupinya. Tidak jarang ibu EN harus meminta bantuan dari orangtua dan adiknya, namun ketika ibu EN meminta bantuan, ibu EN sering mendapatkan kata-kata yang kurang enak didengar dari orangtua dan adiknya. Dan tidak sering orangtuanya mengatakan bahwa ibu EN adalah anak yang selalu merepotkan orang tua.

Ibu EN yang merupakan single parent bagi anak-anaknya. Ibu EN sempat mengalami stress karena ibu EN bingung bagaimana harus menghidupi ketiga anaknya. Selain itu, ibu EN kuatir dalam mengasuh anaknya seorang diri, dan merasa takut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang pendidikan yang tinggi. Sebagai sumber penghasilan ibu EN yang tidak tetap dan tekanan dari keluarga yang sering mengusirnya.

Remaja SV yang merupakan anak pertama dari ibu EN merupakan anak yang sangat mandiri. Remaja R selain mengikuti kegiatan PPA, SV juga memiliki bakat dalam bidang olahraga yaitu lempar takram. SV sangat dekat dengan ayahnya sehingga SV memiliki cita-cita menjadi KOWAD. Cita-cita SV sangat didukung oleh ibu EN. Hubungan SV yang sangat dekat ayahnya, membuat SV menjadi tertutup semenjak SV kehilangan ayahnya. Hubungan SV dengan ibu EN kurang dekat, sehingga ibu EN berusaha keras untuk membuat SV untuk mau terbuka. SV lebih sering bercerita dengan teman-teman ayahnya yang dirasa dekat dengannya, sehingga SV lebih senang menghabiskan waktu diluar rumah dan senang bermain di lingkungan asrama Yonif 411. Ibu EN tidak jarang bertanya dengan teman-teman mantan suaminya yang dekat dengan SV untuk mendapatkan informasi apa saja


(16)

tentang anaknya. Selain itu karena ibu EN yang harus bekerja, maka intensitas pertemuan dengan anak- anaknya terutama SV sangat kurang dan SV merasa tidak nyaman berada dirumah karena sering bertengkar dengan neneknya.

4.3.Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mengungkapkan penerapan pola komunikasi ibu single parent pada remaja dengan menggunakan indikator-indikator dari Pola Komunikasi yang diungkapkan oleh Devito (2009). Selain wawancara dilakukan kepada ibu single parent untuk mengetahui penerapan pola komunikasi ibu single parent terhadap remaja, peneliti juga melakukan wawancara kepada remaja untuk menggali informasi lebih lanjut dan mengungkapkan penerapan pola komunikasi ibu single parent terhadap remaja di kehidupan sehari-hari. Teknik ini membantu peneliti dalam mendapatkan informasi mendalam tentang penerapan pola komunikasi yang dilakukan oleh ibu single parent terhadap remaja dalam kegiatan kehidupan sehari-hari yang mencakup indikator diatas.

4.3.1. Deskripsi Penemuan

4.3.1.1.Data Hasil Wawancara A. Subjek I

1) Indikator Kesetaraan Antar Anggota Keluarga

Subjek juga memiliki tingkat kesetaraan komunikasi yaitu menjadikan anak seperti teman. Remaja merasa nyaman sehingga remaja merasa tidak ada keraguan untuk menceritakan permasalahnnya kepada ibu single parent.

“nganu ok mbak, masalahe udah terbiasa gitu lho cerita sama ibu, cerita pacar gitu udah biasa, udah kayak temen gitu lho mbak.. trus kalo aku ada temen gitu yang maen


(17)

kerumahku, cewek atau cowok gitu disuruh ibu dirumah daripada ketemuan dijalan, gak bagus gitu.. maksud’e cerita ke ibu “ buk, iki temenku, gini-gini”. Itu mesti cerita nek ada masalah sama cowokku atau gimana gitu tu mesti aku cerita sama ibu”. (A.2.4)

Perbedaan pendapat ditanggapi oleh ibu single parent dan remaja dengan saling mendengarkan pendapat masing-masing.

“pernah mbak, ya nanti ibu pendapatnya gimana, nanti aku pendapatnya kayak gimana nanti kalo udah kayak gitu nanti dipikirkan to mbak, gimana ben pendapat’e kita tu bisa sama. Mesti kayak gitu” (A.2.26)

“ya, biasane kalo aku cerita “buk, aku gini-gini”.. trus nanti ibu jawab,” yawis to rak sah pacaran sek wae, sekolah sek, nek nganu gek pacaran meneh”. Ibu suka terbuka mbak gitu lho mbak, trus ibu biasane cerita pengalaman – pengalamane dulu-dulu kayak gimana gitu” (A.2.10)

“ya pernah mbak, kan aku gimana ya mbak.. aku kan udah pernah punya pacar trus ibuk gak suka sama pacarku, trus jelek-jelekin, aku juga gak suka caranya ibu gitu, apa maksude orang tu gak ada yang sempurna git lho mbak. Lha aku trus bentak ibu, “ kabeh wong ki rak podo buk, saiki ndeknen carane kayak ngono, padahal nek seumpamane meh ngapik’i aku kan yo bedho to buk, ora podho karo ibu, ra iso sing koyok ibu”. Aku mesti kayak gitu mbak. mbantah ibu gitu lho mbak..kan aku juga bener


(18)

gitu to, mesti kayak gitu sih mbak.. ibu ya tau diri lah, kalo udah tak bantah gitu, aku kan gimana ya mbak, aku jarang ngamuk ibu, atau bantah ibu tu jarang tapi kao ibu bener-bener salah, aku mesti bantah gitu ok mbak.. gak pandang itu ibukku, tapi kan aku bener gitu lho mbak..aku orangnya gitu mbak..hehehe” (A.1.12)

Mendengarkan pandangan-pandangan dari remaja dilakukan sambil duduk bersantai dan melakukan aktivitas yang menyenangkan secara bersama-sama.

“ya nonton tv berdua gitu.. “bu, temenku tu disekolah gini..gini..” “tenane? Nopo ek dek?” “lha aku kan pas gi sakit gondongen ndisik kae kan ra’ omong bu..” “wah nek ra’ eneng MR ki sepi” terus temen-temennya pada kesini, “buk, MR tu lho buk..disekolahan nakal..” hehehehe..wah, rame sekali gitu mbak.. ya itu, kalo ada masalah gitu curhat, TVnya dimatiin, terus berdua gitu” (A.1.30)

“ iyaa mbak, kemarin itu dek MR sini, saya sini. Terus kok gak bisa curhat, terus “ adem ek yo buk?” he’em thoo” saya ya gitu.. “buk’e ngono anget, nganu guling” “ihh, yo enak..ono guling ok buk..” “yo kene, bobok karo buk’e opo piye?” “pareng to buk?” “yo wis kenee..” terus bercerita gitu mbak”. (A.1.24)


(19)

2) Indikator Pembagian Tugas pada Tiap Anggota Keluarga

Keseteraan yang dilakukan oleh ibu single parent dengan remaja nampak pada kesediaan untuk bekerjasama antara ibu single parent dengan remaja yaitu dengan melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama.

“ada mbak, ya itu.. kalo bersih-bersih, “dek, nganu..sepatunya udah berapa…” “ya besok bu, tak kumbahi sek yo buk..” “yo sesok wae..” saya bilang gitu.. trus “dek, sesuk buk’e prei” “ngopo ek buk?” “bar soko gereja, nganu yaa dek.. ngresik’i kaca” saya bilang gitu.. “apa kowe sing ngeresik’i kaca, buk’e sing bubut- bubut suket?” “yon ngene wae tho buk, ibuk’e ngresiki’i kaca sebalah kono, aku kono. Lek bareng-bareng, engko nek wis bar, gek bubut-bubut suket”.. “oww yooo” saya bilang gitu .. (A.1.23)

“iyaa.. ya gini mbak, kalo banyak kegiatan, “udah dek, sing ngerjake bu’e”.. gitu.. tapi kalo ibu masuk siang, saya sms “dek, kumbahane iseh nganu.. sing loro..engko dilebok’ke”, apa gini “dek, engko nek arep maem, ono lauk mau wis tak tukok’e iwak, engko nek dianu tikus” “ow, iya buk”.. “nanti nganu ya dek, nganu..lampu belakang dinyalakan” gitu mbak.. kalo sekolah, udah capek gitu to satu hari, saya ya nyadari gitu mbak, tapi kalo dirumah, “dek, mbok ibuk dibantu to dek..disapu” dia nyapu mbak.. kemarin lak liburan, ibu masuk malam, dia bangun pagi-pagi, ibu pulang


(20)

udah bersih.. “buk, wis tak sapu” udah nyuci, udah mandi, udah nanak nasi, “buk, nasine nganu ik buk..lembek” “dah, gak apa-apa” saya bilang gitu.. “ora opo-opo, yo dimaem. Dihabisin ayo, mengko nek kurang ngliwet neh”. Saya bilang gitu ok mbak.. ndak usah “nganuu..nganu..” ndak usah.. “besok, kalo masak dek, berase semene, banyune semene iki”.. “ow iya buk” gitu..udah” (A.1.41)

3)Indikator Pengambilan Keputusan di dalam Keluarga

Dalam mengambil keputusan ibu single parent sering meminta pertimbangan dari remaja.

“ ya sering, “dek nganu..nek seumpamane ibuk sok..nganu ee dek, magicjar’e wis ra nganu..wis rusak e dek. Nek sok utang gono piye? “sok wae to buk, nek bayaran ben ora usah utang. Sok nek nduwe rejeki, gi mundhut sing cilik wae buk”.bilang gitu.. “beli sing dingo satu liter buk” gitu.. “ow yoo”..saya bilang gitu.. terus gini, “buk sok nek wis kerjo, engko tak cet’e, terus iki diganti”.. “ow iyaaa” ya saya bilang gitu mbak.. “yo nek ibu’e dhewe, ibuk’e wis ra kuat nek ning sok bantu kowe, ibuk iso yak’e dek” (A.1.44).

Dalam aspek ini, remaja juga melibatkan ibu single parent dalam mengambil keputusan secara bersama-sama.

“ya pernah mbak, kan aku gimana ya mbak.. aku kan udah pernah punya pacar trus ibuk gak suka sama pacarku, trus jelek-jelekin, aku juga gak suka caranya ibu gitu, apa maksude orang tu gak ada yang sempurna git lho mbak. Lha


(21)

aku trus bentak ibu, “ kabeh wong ki rak podo buk, saiki ndeknen carane kayak ngono, padahal nek seumpamane meh ngapik’i aku kan yo bedho to buk, ora podho karo ibu, ra iso sing koyok ibu”. Aku mesti kayak gitu mbak. mbantah ibu gitu lho mbak..kan aku juga bener gitu to, mesti kayak gitu sih mbak.. ibu ya tau diri lah, kalo udah tak bantah gitu, aku kan gimana ya mbak, aku jarang ngamuk ibu, atau bantah ibu tu jarang tapi kao ibu bener-bener salah, aku mesti bantah gitu ok mbak.. gak pandang itu ibukku, tapi kan aku bener gitu lho mbak..aku orangnya gitu mbak..hehehe” (A.2.11)

“ya responnya mesti, “yawislah, terserah kowe. Nek sing gawe apik go kowe yo iku karepmu, ibu si isone mung ngomongi tok”. Mesti kayak gitu.. aku yaa, tau sendirilah mbak, aku kayak piye, tapi aku kan, yaudahlah, nanti marahan sebentar, nanti baikan lagi.. ibu gitu mesti ok mbak”. (A.2.12)

“ya nanti ibu pendapatnya gimana, nanti aku pendapatnya kayak gimana nanti kalo udah kayak gitu nanti dipikirkan to mbak, gimana ben pendapat’e kita tu bisa sama. Mesti kayak gitu”. (A.2.26)


(22)

“pernah mbak, aku tu kalo buat keputusan gini ok mbak, keputusan atau punya cita-cita bareng sama ibu tu gini, rumahku tu dibelakang masih ada lahan gitu lho mbak, lha sama ibu punya cita-cita “ sok nek ibu wis pensiun, kowe wes kerjo sok iki dibangun neh yoo, digawe warung opo kost-kostan ben ono penghasilan ben nek ning omah, ben oran ning omah tok”. Gitu.. ya ibu pengennya kayak gitu, ya muga-muga aku bisa ndang lulus dan bisa bantuin ibu seko sithik-sithik sing tak klumpuk’e gitu lho mbak.. itu sih mbak” (A.2.39)

4) Indikator Keleluasaan dan Keterbukaan dalam Keluarga

Subjek menyatakan bahwa komunikasi yang terjalin dengan remaja sangat terbuka, hal ini nampak dari kesediaan remaja untuk menyampaikan permasalahan-permasalahan yang dialaminnya, kesediaan remaja menyampaikan pendapat. Subjek dari remaja merasa tidak ada keraguan dalam menyampaikan perasaan-perasaan yang dimilikinya. Ini seperti yang dinyatakan oleh subjek:

“kalo malam, tidur berdua, saya dulu “ibuk, ki ndisek gek cilik rekoso, ket cilik, wis arep nduwe bojo, gek nduwe bojo dipenak’e, pak’mu wis ra’ ono. Kowe ojo nglanggar wong tua ya dek”. Saya bilang gitu, koyo ibuk’e”. (A.1.1)

iya, pengalaman saya sendiri. Gak lain-lain lho mbak..gitu..terus dia kalo kok ada apa, masalah apa, dia curhat sama saya. Gitu.. (A.1.2)


(23)

“iya, dibiasakan. ada masalah, saya pun kalo punya hutang, nganu ya curhatnya sama ini (MR) mbak, “dek, nganu ik..wis ra’ nduwe sangu . sesok ngge sangu opo yo dek? Ibu utang tanggane e dek, ning sesuk ada jagane lho mbak.. ning sesuk ibuk bayaran”. Gitu..saya bilang gitu.. ini ya nyadari ibu, “yawis buk, gak po-po”. Gitu” (A.1.4)

“ya gini..curhat sama ini (MR), “dek, kamu punya uang ndak?” saya bilang gitu.. “eeeemm, punya buk, 10 ribu”.. “ ibu pinjem dulu, besok pas ibu bayaran, nanti saya tambahi lagi” gitu..saya bilang gitu, apa dapat sisa gitu uang dari mana, “ayo dek yoo, jalan-jalan, beli sego goreng”gitu saya.. tapi nanti saya ya bicara suk nek ini “dek anu.. nek berteman, jangan milih-milih semua itu bagus.. tapi satu jangan kau langgar”. Ibu bilang gitu.. (A.1.11)

ya, kayak masalah kakak saya. kalo ada apa-apa, pasti.. ada masalah, utang wae pasti saya cerita ke MR. Ndak rahasia-rahasianan. MR kadang kalo jajan gitu “buk’e kok nduwe duit soko endi buk?” Kalo belum bayaran, “kok ibu kok nduwe duit ki soko ngendi”.. bilang gitu ok mbak.. dia sebelum melangkah keluar, itu dia pasti tanya. “buk’e tu uange darimana? Kalo utang, mending gak usah to buk..


(24)

wong buat jajan kok utang, besok aja kalo udah punya bu” gitu.. (A.1.45)

Indikator keleluasaan dan keterbukaan dalam komunikasi keluarga juga dirasakan oleh remaja, yaitu remaja tidak memiliki keraguan untuk bercerita kepada ibu serta membagikan pengalaman dan permasalahan yang dimilikinya.

“iya.. ya maksud’e cerita nek ada masalah atau bertengkar sama pacare gitu, mesti cerita kok mbak”. (A.2.5)

“ ya tergantung ada masalah apa gak gitu mbak, kalo ada masalah apa ya nanti maksude kalo ada masalah sama pacar gitu yaa mbak, pagi nanti rebut, biasane aku ngomel-ngomel dulu gitu lho mbak, nanti ibu “ opo meneh?”, nanti siang ngomel-ngomel lagi, nanti ibu Tanya lagi, trus aku cerita lagi, nanti kalo mau tidur ya cerita lagi mbak..hehehe..gitu ok mbak” (A.2.41)

“ya kalo ketemu ya gitu mbak, cerita terus.. gak ada spasinya..hehehe” (A.2.42)

B. Subjek II

1) Indikator Kesetaraan antar anggota Keluarga

Ibu single parent dengan remaja sering memiliki beda pendapat dalam sehari-harinya, perbedaan pendapat terjadi dikarenakan remaja yang menurut ibu single parent berubah-ubah dalam membuat keputusan.


(25)

ya sering mbak. Sering sekali..hahahaha.. ya kadang tu dek PP kepengennya begini, ibu kepengennya begini kan suka ada perbedaan gitu lho mbak. Ibu pengennya ini, tapi kok Putri kepengennya itu. Putri itu keras kepala lho mbak. Pokoknya kalo udah A ya A, nggak mau berubah lagi. Gitu lho.. jadine ibu sebagai orang tua ya harus ngalah wae lah. “yawis, sakarpemu. Ibu manut wes”. Daripada marah-marah to mbak. “wis sakarepmu wis, manut.. ayoo”. Tapi nek udah, bar ya bar mbak. Nggak ada ngambek sampe lama tu nggak ada. Itu nggak bisa, ibu nggak bisa. (B.1.20)

Perasaan nyaman dan terbuka juga dirasakan oleh remaja yaitu terbukti remaja merasa tidak ragu-ragu untuk menceritakan permasalahnnya kepada subjek dan mendiskusikannya bersama-sama.

“sering.. lha dirumah adanya ibu, jadi sering cerita to mbak”. (B.2.1)

“ganti- gantian.. kadang aku dulu yang cerita, kadang ibu. masalah keuangan disekolah, terus ekonomi dirumah juga”. (B.2.2)

biasanya kalo mau tidur gitu.. diajak cerita-cerita dulu, terus biasanya “kenapa beda?” kan biasanya aku dirumah gak pernah diem ya mbak, terus kalo ada masalah aku kan diem.. mesti ibuk udah tau.. terus kalo masalah..masalah, paling masalah sama teman kalo sama cowok, gak pernah.. ya jarang lah.. (B.2.4)


(26)

kalo aku sih biasane tak Tanya ya mbak.. “ ibu nopo kok gini..gini..gini..” terus nanti ibu cerita.. “yo iku to, masalah biasa.. “ udah terbuka sih mbak dari dulu, tapi sebelum bapak nggak ada, aku ceritanya mesti sama bapak.. iya, semuanya sama bapak.. (B.2.5)

ibu Tanya dulu.. sampai dalam-dalamnya banget, ibu Tanya dulu “ada apa?” gitu.. pokoknya sampe aku jujur dulu, baru ibu ngasih tau.. “jangan gini..gitu.. harusnya kamu gini..gini..gini..” pokoknya ibu yang jarang apa ya mbak, jarang nuntut gitu lho mbak.. “ kamu tu ginilah.. gitulah..”.. (B.2.14)

“gimana ya mbak, misalnya ke temen, kalo dipikir-pikir masalah apapun kalo dibilang deket, ya lebih deketnya sama ibu, kalo sama pacar juga sesayang-sayangnya sama pacar kan tetep lebih sayang sama ibu mbak.. jadi ya di ibu”. (B.2.18)

2) Indikator Pembagian Tugas Pada Setiap Anggota Keluarga

Kesediaan ibu single parent untuk bekerjasama dengan remaja yaitu dengan melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama.

iya, ya kita masak bareng-bareng gitu lho mbak. Seandainya PP kepengennya masak ya ibu yang bersih-bersih. Kalo seandainya ibu masak ya dia yang bersih-bersih. Tapi kalo seandainya PP baru males, keset gitu ya kadang dia yang


(27)

asah-asah nanti ibu yang masak. Tapi seringnya dia yang masak. Pokoknya ibu Cuma beli, belanja taruh dirumah nanti tau-tau udah mateng. Tinggal menikmati..hahahaha.. kalo seumpamanya nggak enak ya ibu kritik. “Iki kurang gini..gini..gini..” “ibuk ki mesti ngono” “lho aku kan koyo jurine, aku masterchef’e ” hahahaha..kadang ibu bilang, “nek ibu ngeritik, ora entuk nesu” wong nyambel aja kan kelihatan mbak, enak atau nggak enak, gitu ya “Put, kie nyambel’e kurang asin sithik”. Ya ibu bilang mbak. Jadinya kita saling terbuka gitu lho mbak. Seandainya ini..ini kan kadang ada yang ora wani mengutarakan tapi karo ibu ndak, “pokok’e nek PPi durung pinter masak ya ibu kritik” jadine dia kalo praktek kan bisa belajara sendiri gitu lho mbak. “yo dikira-kira segini pas’e”. kan gitu bisa. (B.1.18)

“apa ya mbak, selain masak itu.. nonton TV, santai.. kalo ke warung belanja gitu ya setahun..hehehe. ini (PP) itu nggak bisa kalo nggak sama ibu. Kalo kemanapun ibu tu lho mesti ikut ok mbak. Jadine dia itu kalo bisa mandiri kalo retreat dari PPA, acara PPA atau kemah gitu baru mandiri. Kan nggak boleh diikutin sama ibuknya. Setiap warung belakang itu lho mbak, itu aja ikut. Setiap mau jalan itu lho kesitu, cuman maen ya ngintil mbak. Lawange tutupi kabeh, TVne dipateni. “kowe jane ki nopo to Put? Ibu ki yo pengen dolan dhewe mosok kok yo diintili anak’e terus. Ibu ki yo pengen


(28)

refresing barang”. “masalahe nek ning omah nggak ono ibu

ki sepi”. “halah, lha wong ni omah mbok jak padhu wae”.

Setiap ibu keluar rumah, dia mesti ikut. Apalagi M, sama PP itu sama mbak. Nggak bisa kalo ibuknya nggak kelihatan dirumah. Itu pasti nggak bisa. Dicari pasti ya dapat mbak. “ibu ki ngelimpek’ke” “lha pancen aku ngelimpe kok” hahahaha..” (B.1.25)

“ya kadang kalo pas ada apa gitu, ya kami kerjain bareng -bareng ntah njemur kasur ntah njemur apa gitu. Pokoknya kita selalu bareng-bareng gitu mbak.. “pokok’e nek kowe ora gelem yo ora usah bobok”. Ya itu.. terus ada apa, ada cucian, yang seharusnya dikeluarke, tapi nggak dikeluarke, ibu suruh gitu.. kadang “wek’e sopo ek?” “Yawis, saiki wek’mu, wek’ku. Itung-itung yaa.. sekolah bayar dhewe, sangu dhewe” “yo ojo ngono to bu, “yowis ayo bareng -bareng”..hahahahaha.. dia ketakutan mbak kalo udah gitu”. (B.1.27)

Aktivitas yang dikerjakan bersama dengan ibu, remaja lebih sering melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah secara bersama-sama,

“apa yaa, tidur itu kan juga bareng ya mbak yaa.. ya mungkin nonton tv bareng.. kalo mau kewarung gitu bareng. Ya itu masak sama ibu.. terus bantuin ibu dirumah”. (B.2.30)


(29)

3) Indikator Pengambilan Keputusan di dalam Keluarga

Ibu sering melibatkan remaja dalam mengambil keputusan bersama-sama, dalam bentuk aktivitas apapun ibu single parent sering meminta penapat dari remaja yang kemudian disepakati bersama-sama.

“pernah..keputusan kalo mau pergi gitu.. keputusan bareng-bareng..misalnya, rumahnya mau dicat ini gitu, “iyaa” gitu”. (B.2.43)

“dipancing-pancing.. “piye? Enak’e piye?” terus nanti kalo kiranya keputusannya tepat, ya ibu manut.. terus kalo nggak tepat nanti diralat dikit sama ibu” (B.2.44)

4) Indikator Keleluasaan dan Keterbukaan dalam Keluarga

Riset pasrtisipan menyatakan bahwa sangat terbuka dengan remaja, sehingga remaja sering menceritakan permasalah yang dialaminya.

“ya cerita mbak..hehehe.. kalo ada apa-apa ya mesti cerita.. tapi dia itu cuek, cueknya minta ampun, seandainya aja ada sampah gitu ya mbak yaa, ya adeknya, ya punya ibu, gitu tu ya yang diambil, yang dibuang ya punyanya dia, punya ibu sama adek, ya nggak dibuang.. memang anaknya cuek, kalo punyanya dia sendiri, ya dia sendiri..gitu..” (B.1.3)

ya tentang apa ya mbak..hehehe.. ya saya kan juga sambil momong, kan kemarin-kemarin juga bicara ya tentang semuanya mbak.. tentang ibu punya ini, kerja juga ini, penghasilan Cuma segini.. gitu.. ya ibu cerita, “kamu ya maem seadane” ibu kan bilang gitu, terus “adek juga gitu,


(30)

nggak boleh nakal, nek jajan ndak usah banyak-banyak” ibu kan bilang gitu, soalnya ibu kan nggak ada yang nyariin duit to mbak, kan Cuma cari sendiri, bisa buat sekolah, bisa buat sangu sekolah, buat jajan, kan gitu.. ya ibu cerita, kan ibu tu kerjanya nggak tetap, ibu kan Cuma momong anaknya orang kan, sewaktu-waktu anak itu diambil kan, ibu kan juga nggak kerja, berarti nggak ada pengasilan, kan gitu.. (B.1.7)

C. Subjek III

1)Indikator Kesetaraan antar Anggota Keluarga

Perbedaan pendapat sering dialami oleh ibu single parent dengan remaja dikarenakan remaja yang memiliki banyak aktivitas diluar rumah dan permasalah dengan keluarga besar.

“sering.Kalo lagi pas ada masalah sama mbah’e, itu sering. Seringnya karena saya kan selalu bilang, “dek SV, walau mbah salah sek SV harus tetap hormat, itukan orang tua”. “mamah tu selalu gitu, mamah mau kita di injak-injak terus” gitu.. “ya nggak gitu dek, dek SV ngalah aja kalo ada masalah sama mbah” “mamah tu selalu gitu, ngak pernah mau ngelawan mbah”. Ya seringnya gitu. Ya tapi yam au gimana lagi mbak, mosok didepan orang tua saya, saya bilang gitu.. kayak gitu kan ya nggak mungkin, Cuma nanti saya nasihati SV, SVnya yang nggak terima. Nanti SV ngiranya saya nggak sayang mbak. “aku tu nggak mau diinjak-injak terus mah”. Itu.. “ya sama, tapi kita cara


(31)

menghadapinya nggak kayak gitu”. Saya bilangnya gitu. Tapi memang anaknya gitu mbak, mungkin baru masa mencari jati diri. Jadi emosinya tok yang dijok’ke. Ya repotnya disitu mbak. Kan dia baru masa transisi to mbak. Jadi saya serba salah ngadepinya, di lus, nggak mudeng, nanti nek dikasar ya salah”. (C.1.13)

“Jujur mbak, dibanding sama adik-adiknya, saya lebih kesulitan ngadepin SV mbak” (C.1.31)

Perbedaan pendapat dirasakan pula oleh remaja, yaitu perbedaan pendapat dalam menanggapi aktivitas yang dimiliki oleh remaja.

“tau. Mama bilang gini, “kamu itu kalo mau ikut kegiatan sebaiknya kamu ngatur waktu. Nanti kalo kamu nggak bisa ngatur waktu, kamu keteteran. Keteteran, capek, akhirnya sakit semuane nanti buyar semua belajarmu. Jadi nek kamu ngapa-ngapa mbok yo milih mana sing paling pokok. Sakjane, kamu ikut ekstrakurikuler itu dula ah, soale kamu udah latihan..gini..gini..” gitu.. mamah sebenere itu batasi apalagi kalo ekstrakurikuler tapi akune kan nggak mau. Nek disuruh diem tok nggak ikut ekstra kurikuler sing bisa bikin seneng itu kan ndak mau. Contohne Pramuka kan didik itu bikin seneng, terus Paskibra, terus Jurnaslistik, itu kegiatanku” (C.2.19)


(32)

“ya bilang sama mama, “aku tu nggak suka mah kalo misale dibatasi gini. Aku tu anak’e mamah sendiri, aku tu nggak bisa diem. Saat aku punya keinginan dan aku pengen nyoba itu ya harus meskipun itu bercabang-cabang kesana kesini..kesana kesini.. supaya aku bisa belajar, aku juga ya ndak main-main. Kalo ikut disana, apa apa apalah nek aku nggak serius tu sama aja, aku tu serius mah. Aku tu pengen belajar supaya aku bisa itu nggak disatu bidang, tapi diberbagai bidang” aku bilang gitu. “kamu tu nek dibilangin mesti ngeyel. Satu-satu dulu, nanti nek wis baru yang lain. Kamu tu susah bagi jadwale, ya belajarmu, latihanmu, terus PPAmu, kegiatan gereja, ini..itu”. (C.2.20)

Dalam indikator ini remaja sering menyampaikan pendapat kepada ibu single parent tentang permasalahn yang dihadapi oleh ibu single parent yaitu masalah keluarga.

ya sering mbak. Biasanya tu kalo ada masalah sama mbahnya. Kan ya wong namanya dalam lingkup keluarga besar ya mbak ya, pasti kan sering terjadi masalah. Jadi kalo ada apa-apa sedikit, semua tau dan semua jadi kena. Ntah itu masalah si kecil, kadang ya masalah SV. Kan disini itu kan sama saja seperti numpang mbak, jadi kadang kalo SV itu buat mbahnya marah, saya sering bilang, “dek SV itu mbok ya nurut” “aku tu suntuk mah, setiap hari selalu aja ada masalah sama mbah”. Kadang saya itu ya


(33)

stress sendiri mbak gitu mbak. Pusing sendiri. Serba salah. Karena saya juga nggak bisa nungguin SV terus, karena saya ya harus kerja. Tapi kalo ditinggal, ya sering nggak cocoknya. Nanti kalo saya nggak kerja ya piye. Ya serba salah lah mbak saya ini. Sering terjadi konflik gitu mbak. Tapi ya SV udah mudeng mbak, jadi kadang ya ngasih masukan juga ke saya, “udah mah yang sabar”. Kan biasanya saya sama anak-anak ngumpul bareng, tidur bareng, saya pernah bilang gini, “piye kalo nanti ibu cari kost aja, kita hidup berempat ngekost aja, biar mbah nggak marah-marah terus”. Terus SV bilang, “nggak usah mah, nggak apa-apa kok. Kasihan mamah kalo nanti sewa kost pasti uangnya banyak. Belum sekolahku sama adek. Buat sementara dibetahke aja disini sama mbah”. (C.1.30)

Namun salah satu faktor penghambat komunikasi ibu single parent dan remaja dikarenakan ibu single parent beserta remaja yang menumpang dirumah nenek dan berkumpul dengan keluarga besar sehingga membuat remaja merasa tidak nyaman berada dirumah.

“hehehehe.. tapi aku pengennya begitu. Pengen jarang dirumah. Ya karena itu, kan aku numpang jadinya aku tu nggak enak, terus dirumah itu orangnya banyak, dan punya tekanannya masing-masing. Terus nanti nek belum mereka marah, kalo satu marah satu rumah kena, dan marah’e sampe kemana-mana. Jadine aku nggak suka dirumah. Yang buat


(34)

aku nggak nyaman dirumah tu itu. Terus kurang komunikasi itu tadi sama mama”. (C.2.23)

2) Pembagian Tugas Pada Tiap Anggota Keluarga

Ibu single parent menerapkan pembagian tugas pada remaja, hanya saja remaja memberikan respon balik yang kurang sehingga pembagian tugas diberikan ketika remaja bersedia saja.

“nggak ada sama sekali”. (C.1.22)

“nggak ada mbak, kalo saya ya paling nyuruh ngerapiin tempat tidurnya. Udah gitu tok. Tiap harinya ya itu, “dilipet selimute” ya Cuma gitu tok. Nek harus gini gitu, anak’e nanti terus marah mbak. Jadi Cuma nginget-ngingetke. Karena kalo dia baru nggak mood, nanti malah anak’e nesu sampe seharian mbak, nanti malah berantem”. (C.1.29)

“kalo saya sering mbak, Cuma anaknya itu kadang nggak mau. Kadang saya minta buat dibantuin. Paling gitu.. ya kadang, “Nok bantuin ibu cuci piring yuk” nanti saya yang nyuci, nanti dia yang ngurep-ngurepke piring gitu. Misale kalo nyuci, “sing nyucike mamah, kamu sing njemur”. Cuma kadang anak’e sing susah mbak”. (C.1.28)

Pembagian tugas kurang terlihat jelas pada Subjek III dikarenakan anak banyak memiliki kegiatan diluar rumah.

“nggak ada sih mbak May..kalo diluar rumah ya itu bantuin kerja tadi. Kalo ngerjain sesuatu dirumah itu paling nyelesein jahitan, karena mamahku kan selain di Yonif, jadi


(35)

kerjanya nyabang gitu lho mbak May. Pagi sampe sore masak, nanti kalo pulang itu jahitan. Mamah ngambil jahitan, paling aku bantuin satu atau dua jam. Terus nanti kalo capek ya tidur. Nanti mamahku nyelesein sampe jam 12, gitu.. kayak bersihke benang gitu lho Mbak, satu baju tu sekitar 50rupiah atau 100 rupiah gitu.. kadang ya mamah ambil 15, nggak mesti sih. Kadang ya satu karung”. (C.2.53) 3) Pengambilan Keputusan di dalam Keluarga

Ibu dan remaja sering melakukan kesepakatan dan berdiskusi bersama-sama serta saling mendengarkan masing-masing pandanganya.

“sering mbak, masalah sama embahnya mbak. Kan kami disini numpang terus sering terjadi masalah gitu lho mbak. Terus saya bilang, “apa kita pindah aja. Ibu tak cari kost-kostan? Tapi nek nanti kita ngekost, adek nggak bisa sangu. Piye?” “jangan to mah, nanti nek mamah jadi susah piye?”

“nggak apa-apa, sing penting bareng-bareng”. Ya

seringnya ya pas gitu tok” (C.1.30)

“ya misale kayak mau piknik gitu, butuh biaya sing banyak. Kayak kemarin itu ke Bali, “Nok, misale kalo nggak ke Bali piye?” “harus a mah” “yaudah, nanti tak coba telepon papah” kan kalo telepon papahe jarang bisa gitu mbak, biasanya harus sana dulu sing ngebel. Terus saya bilang sama adik saya, “yawis tak bayari, ning kowe sing sanguine yo kowe dhewe yo mbak” “iyo” terus saya bilang di SV,


(36)

“bayare bisa, tapi sanguine nek nggak ada piye?” saya bilang gitu “Kalo mau berangkat ya monggo, tapi kalo ada pilihan lain, ya pilih sing lain wae”. Maksude kan yang nggak bisa ke Bali, mungkin ke Jogja atau gimana gitu.

“piye Nok, ditimbang-timbang sek, mumpung belum

berangkat. Kan kira-kira yang bisa kamu berangkat dan punya sangu juga. Nek mamah nyaranke kie nek iso sing cedhak wae jadi mamah bisa bayarke dan bisa nyangoni” “yawis mah, keputusane sesuk, tak pikir-pikir dulu”. Terus akhirnya, “yawislah mah, tak ke jogja wae”. Terus pernah mbak, mau diajak pulang papahnya ke Ambon, ya saya sebenernya berat mbak, tapi saya mikir kalo mungkin aja kalo dia sama bapaknya jadi mau terbuka. Terus saya Tanya, “apa kamu ikut papa kesana? Piye nggak apa-apa ya nok, nanti kalo SMA balik sini lagi, disana mung ngehabiske SMP tok” terus dia, “tak pikir-pikire meneh mah”. Terus setelah itu anaknya udah mau, selang beberapa hari saya malah jadi kepikiran mbak, nanti kalo disana diopeni tenan opo nggak, wong namanya dari kecil ya mbak ya, kan dia juga cewek to mbak, lingkungan di Ambon kan lingkungannya nggak kayak disini gitu lho mbak, takute nanti kalo baru ken apa sama bapak’e takute lari ke hal-hal sing negative, apalagi disana bapake juga udah ada istri dan takutnya nanti istrine ora gemati malah nanti nggak diopeni. Dia bilang, “aku malah bingung ik mah” “lha nek bingung


(37)

yo dimantepke dulu” saya bilang gitu. “udah ah mah, aku nggak mau disana” “yaudah nek disini, ya disini wae. Besok-besok kalo papahmu kesini, ya ngomong aja kamu nggak mau kesana”. Dia ya bilang ke saya, “besok pokoknya kalo aku lulus SMP, aku masuke di SMA Kartika yo mah ya di Ambarawa itu?” “iya, yang penting kamu prestasinya apik kan bisa membantu, kalo masalah biaya kamu kan tau dhewe dibagi-bagi sama adik’e. siapa tau nanti papahmu mau bantu opo piye, yang penting kan kalo kamu punya prestasi kan masuk’e gampang sek” saya bilang gitu”. (C.1.31)

4) Indikator Keleluasaan dan Keterbukaan dalam Keluarga

Ibu single parent merasa kesulitan untuk terbuka dengan remaja, dikarenakan remaja memiliki latarbelakang merasa lebih dekat dengan ayahnya serta pekerjaan ibu single parent yang membuat intensitas pertemuan dengan remaja sangat sedikit.

“susah mbak, SV itu keras orangnya.. ya dibilangin pelan -pelan, kadang ya ibu Tanya pelan-pelan. Gitu mbak. Kadang ya dia cerita duluan. Tapi kadang kalo saya lihat kok sikapnya SV kayak gimana , ada perubahan ya saya yang dekati terus saya Tanya. Tapi ya itu susah.” (C.1.3)

“nggak tau mbak, tapi kadang ya sama om Hasan itu. Orang 411, tapi ya kurang tau, kalo cerita-cerita malah sama Hasan itu. Kalo dirumah dia nggak terbuka mbak, padahal saya itu


(38)

ya udah usaha supaya saya itu bisa temenne, sahabat’e ya sebagai mamahe juga tapi ya mungkin dia belum mempercayai saya atau mungkin merasa takut. Tantene juga jarang cerita”. (C.1.4)

ya itu mbak, paling pas nonton tv bareng, tapi akhir-akhir ini kami bobo bareng gitu tu tak tanya’i mbak. Tapi yo tiap kali saya Tanya, “kamu kenapa dek? Mbok kalo ada apa-apa tu mbok cerita ke mamah to dek, mamah kan orangtuamu, ya pengen tau juga tentang masalahmu dek”. Kadang saya bilang gitu mbak, sampe nggak tau harus gimana lagi. Tapi memang anak’e gitu, jarang mau terbuka” (C.1.5)

“kalo Tanya sama Pak Hasan belum mbak, tapi kadang saya Tanya di yang lainnya, kadn dia deket sama banyak tentara yang dulu temennya papahnya. Kadang ya saya minta ke dia untuk dikenalin sama temen tentaranya mbak, karena kan saya nggak begitu paham yang mana aja. Kadang nanti kalo saya udah tau orangnya gitu, nanti saya Tanya-tanya mbak. Kan maksudnya kalo udah saling kenal, atau punya nonya kan bisa saling sharing gitu mbak. Mungkin kalo sama dia lebih terbuka, atau mungkin kalo SV punya ganjelan sama saya, nanti cerita ke dia atau gimana. Nanti kan saya biar tau, gimana carane menemukan solusi biar bisa deket sama SV.


(39)

Tapi sampe sekarang belum nemu solusinya mbak. SV itu kaku orangnya mbak, sering sendiri mbak”. (C.1.8)

“iya mbak. Saya tu kalo ngobrol sama dia itu nyambung sih mbak, enak. Cuma ya itu, dia tu kalo ada masalah-masalah apa gitu susahnya minta ampun. Nggak mau cerita. Apalagi kalo ada masalah sama keluarga gini, nanti dia “mamah itu lho..” nanti daripada dia tambah ngotot, nanti berantem, semuanya jadi keikut-ikut mbak. Jadi saya itu ya bingung mbak, yang satu keluarga yang satu ya anak, malah mentok sendiri. Terus terang bingung sendiri mbak, mau gimana. Nanti kalo belain ibu, yang satu ini ya kasihan, nanti kalo bela anak ya yang ibu malah marahnya sampe kemana-mana. Malah piye mbak. Serba salah mbak” (C.1.9)

“kalo sama temene, dia pernah cerita, terus saya bilang gini “ya jangan gitu harusnya dek, diomongin baik-baik” saya bilang gitu. “Ya puji Tuhan udah kelar mah, ini karena salah paham ok mah”. Cuma kalo masalah cowok, nggak tau dia punya pacar atau nggak mbak..hehehe.. setau saya, nggak punya kayak’e mbak. Kalo dulu tu sempat mbak, tapi ngak sampe berlanjut gitu lho mbak. Kan tak kasih tau, “dek SV, masih kecil nggak boleh pacaran dulu ya”. Waktu masih kelas 1 malah mbak, dulu itu sama kakak kelasnya. Kan sering ngehubungi di HP saya juga, terus ya saya kasih tau juga sama


(40)

anaknya itu “maaf ya mas, SV masih kecil wong baru aja masuk sekolah. Mikir sekolah dulu aja” saya bilang gitu. Ya treus SV nurut itu mbak. Ya nggak tau kalo mungkin masih bertemen atau gimana. Cuma nggak pernah nyinggung-nyinggung. Saya taunya malah dari adik’e. (C.1.15)

Remaja mengaku jarang terbuka dengan ibu single parent dikarenakan hubungan antara remaja dan ibu single parent kurang dekat sebab sebelum ibu single parent bercerai, remaja merasa lebih dekat dengan ayah. Selain itu remaja merasa tidak ingin membebani ibu single parent tentang masalahnya, karena remaja melihat ibu single parent penuh dengan tekanan ekonomi dan keluarga yang harus dihadapinya, sehingga remaja semakin kurang untuk terbuka.

“jarang banget.. kalo sharing itu paling Cuma masalah rutinitas latihan. Udah. Kalo rutinitas disekolah, sama temen-temenku tu nggak pernah cerita” (C.2.7)

“karena kalo aku cerita sama mama, kan mama itu single jadi kalo aku cerita itu.. soalnya aku mesti kalo punya masalah itu yang berat-berat. Sampe berantem, sampe ini.. sampe ini.. kalo aku bilang mamaku kan mamaku tambah repot. Gitu.. mamahku jadi tambah kayak pikirannya terbebani. Jadine aku jarang cerita sama mama itu karena itu, pikirane mamah itu kan udah numpang, gimana carane ngasih makan, nyari nafkah. Nanti kalo aku bilang gitu, tambah susah lagi. Kedepane masalahku tambah panjang.


(41)

Nanti mamah bisa-bisa sakit, soale mamahku tu kalo ada pikiran sedikit nanti mesti sakit. Jadi aku nggak pernah bilang sama mama” (C.2.8)

“Ya seneng, tapi nggak nyaman karena aku dekete sama papah”. (C.2.11)

“jarang banget.. mamah itu banyak pikiran, juga mesti capek. Jadi nggak enaklah cerita sama mama, jadine cerita ke temene papah. Apalagi yang belum keluarga, mereka masih bisa beri aku ruang buat aku cerita nanti mereka ngasih solusi. Gitu.. kalo sama mama kan udah banyak pikiran. Jadi nggak enak”. (C.2.33)

Untuk mendapatkan informasi tentang remaja, ibu single parent sering sekali mencari informasi dengan bertanya orang-orang yang dekat dengan remaja dan sesekali bertanya kepada remaja.

“kalo untuk SV, ini.. saya ya sering nanya-nanya temannya SV yang ada di HP saya. Sama dia kan punya temen yang pak tentara-tentara di Yonif itu, ya saya sering pantau, cari-cari info. Ya saya Cuma tau jadwalnya dia setiap hari, dia pulang sekolah jam segini, terus nanti habis itu latihan sampe jam segini, terus nanti pulang, yaudah taunya Cuma segitu tok. Cuma pas kalo jadwalnya latihan, tapi kok nggak


(42)

latihan ya saya Tanya, “kenapa kok nggak latihan? Kamu kenapa dek?”gitu”. (C.1.10)

Remaja merasa ibu single parent tidak begitu memahaminya perasaan serta permasalahan yang dimiliki oleh remaja. Remaja merasa ibu single parent kurang memahaminya secara mendalam karena remaja mengaku lebih sering mengungkapkan perasaan kepada orang lain dibanding dengan ibu single parent.

“sebenernya mamah tu tau gimana parasaanku Cuma mamah tu taunya nggak detail. Soalnya tu aku ada masalah, ya ceritanya malah sama orang lain bukan sama mamahku. Mamah hanya sekedar taulah gimana perasaanku, perasaan yang bener-bener tak rasain itu mamah tau Cuma nggak secara detail”. (C.2.41)

“pernah.. ya masalah temen, jadi temen ngerebut temen, aku kan nggak terima terus masuk kamar,marah-marah, “kamu kenapa to?” terus cerita, “temenku gini..gini” “yawis itu berarti harus mbok selesaike dengan deawasa, kalo kamu dari dulu nyelesaike pake emosi kapan ketemune titik terange. Berarti Tuhan mau mendewasakan kamu.” selalu jawabane itu.. “kamu nyelesaikene jangan pakai emosi”. Itu sing jelas”. (C.2.34)


(43)

“ada. Ya kalo pas aku emosi gitu, ya itu mama sing ngeredam emosiku, nanti beliin aku.. misalnya aku kepengen baju nanti mama usaha beliin aku baju. Terus kalo aku suka makanan ini, ya mama buatin terus nganterin sekolah, ngajak cerita.. gitu”

“ya sambil gojek gitu.. gojek-gojek waktu kerja. Atau pas lihat acara TV. Waktu itu lihat acara TV yang itu lho wartawan sakit parah karena kebanyakan kerja sekian puluh jam, terus dari situ mamahku bilang, “kamu mau kayak gitu? Kebanyakan jadine sakit” “yo nggak mau, tapi aku kan nggak mau nek diem terus to mah”. “ahh, terserah”.. (C.2.10)

Ketika remaja mengalami permasalah, remaja enggan menceritakan dan meminta bantuan kepada ibu single parent.

“kadang.. jarang banget.. soale aku nggak suka. Aku tu udah besar, dan misale kalo aku bisa nyelesaike sendiri kenapa harus aku cerita ke mamaku. Gitu” (C.2.29)

Remaja merasa lebih dekat dengan teman-teman ayahnya, sehingga remaja merasa lebih terbuka dengan teman-teman ayahnya dibandingkan dengan ibu.

“banyak tanya. Selalu Tanya kayak, “tadi kamu disekolah ada masalah apa ndak?” ya diperhatiin. Mama tu perhatian, “udah belajar belum? Disekolah kamu piye? Kamu ada


(44)

masalah ndak? Kamu kalo pake kaos kaki gimana?

Seragammu udah lengkap belum?” gitu.. tapi ya umpamane

aja nggak deket sama mama, ya nggak pernah cerita”. (C.2.9)

“eee….diajak cerita tentang tentara, “tadi kamu ketemu siapa? Kamu ketemu sama orang yang mbok jengkelin nggak? Kamu tadi mainnya sama siapa?” gitu.. kalo aku mau terbuka itu diajakin cerita tentang tentara itu bisa terbuka. Soale 60% kegiatanku tu sama mereka. Misalnya jogging, atau senam sama mereka, sharing ya sama mereka jadi mama tau “oh mungkin lewat orang ini, aku bisa terbuka sama mama”. Gitu caranya”. (C.2.13)

“ya aku sama temen-temene papahku... aku dekete sama tentara-tentara karena mereka udah tau problemku, problem keluargaku dan dari awal sampe keluargaku keluar dari asrama itu kan mereka udah tau jadine aku lebih deket sama mereka. Terus mereka itu kayak’e nggak merasa terbebani meskipun mereka terbebani. Ya enak aja, dinasihatin “Kamu tu seharusnya gini..gini..gini..” ya nyaman aja. Kalo sama mama kan mungkin karena mamaku terlalu lembut jadinde aku kasihan” (C. 2.12)


(45)

“he’e.. karena ya kegiatanku tadi kan kebanyakan ketemunya sama mereka. Dan mereka itu ramah-ramah. Jadine sharing, kadang mereka Tanya, “kamu gini..gini kenapa? Tumben kamu semangat, tumben kamu kamu wangi rapi kenapa? Kok kamu diem dari tadi biasanya cerewet banyakan tingkah kenapa?” gitu”. (C.2.31)

4.3.1.2. Data Hasil Observasi non Partisipan

No Indikator Deskripsi Observasi

SUBJEK I

1.

Kesetaraan antar anggota keluarga

Indikator kesetaraan nampak dari ibu secara terbuka menceritakan tentang pekerjaan dan aktivitas yang dikerjakan oleh ibu single parent kepada remaja, serta remaja tanpa ragu memberikan respon yang sama dengan menceritakan kegiatan belajar dan soial disekolah maupun diluar sekolah.

Ibu memberikan kebebasan kepada remaja untuk menyampaikan pendapat secara terbuka. dari pengamatan peneliti, komunikasi yang terjadi sangat terbuka serta ibu sempat meminta pendapat kepada remaja ketika memiliki permasalahan seperti masalah pekerjaan ibu.

2.

Pembagian tugas pada tiap anggota keluarga

Ibu sangat melibatkan remaja ketika melaksanakan tugas pekerjaan rumah serta pekerjaan banyak dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, remaja secara sadar melaksanakan tugas pekerjaan rumah seperti menyapu , memasak nasi, membersihkan tempat idur dan membereskan perlengkapan pribadinya.

3.

Pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan nampak dipecahkan bersama-sama walau dalam skala yang kecil seperti menyangkut kebutuhan remaja yaitu membeli perlengkapan pribadi


(46)

remaja.

4.

Keleluasaan dan keterbukaan

didalam komunikasi keluarga.

Peneliti mengidentifikasi bahwa subyek memiliki tingkat keterbukaan yang tinggi. Subjek duduk bersama dengan remaja serta secara terbuka saling menyampaikan pandangan. Komunikasi yang terjadi cukup reflektif, sehingga pengalaman atau permasalahn yang dialami oleh ibu single parent maupun remaja diceritakan secara bebas, langsung dan terbuka.

Remaja juga secara terbuka menceritakan permasalahan pribadi seperti hubungan dengan teman sebaya atau pacar.

No Indikator Deskripsi Observasi

SUBJEK II

1.

Kesetaraan antar anggota keluarga

Kesetaraan nampak dari komunikasi yang terjadi antara ibu dengan remaja yaitu dengan menjadikan remaja sebagai rekan diskusi seperti mendiskusikan masalah pekerjaan ibu. Konflik dalam berkomunikasi karena remaja sering mengganggu adik laki-lakinya sehingga konflik yang terjadi berupa perkelahian yang ditanggapi oleh ibu merupakan suatu hal yang wajar terjadi setiap harinya karena adik laki-laki remaja yang masih balita serta remaja yang dirasa sering berbuat usil. Perbedaan pendapat muncul ketika berkomunikasi antara ibu single parent dengan remaja karena ibu merasa remaja sering bersikap cuek terhadap adiknya.

2.

Pembagian tugas pada tiap anggota keluarga

Remaja secara sadar melakukan tugas pekerjaan rumah seperti mencuci baju sendiri yang menurut remaja, rutin dilakukannya setiap hari seusai mandi. Selain itu keterampilan memasak yang dimiliki oleh remaja, menjadikan pekerjaan memasak juga merupakan kegiatan rutin yang dilakukannya.


(47)

keputusan remaja dalam kegiatan apapun. Seperti pembagian tugas atau melaksanakan pekerjaan rumah diputuskan secara bersama-sama dengan remaja.

4.

Keleluasaan dan keterbukaan

didalam komunikasi keluarga.

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, komunikasi yang dilakukan oleh remajadengan ibu single parent cukup terbuka. Remaja komunikasi cukup aktif dalam memberikan respon timbal balik kepada ibu single parent. Remaja tidak sungkan untuk menceritakan pengalaman yang dialaminya saat berada disekolah serta permasalahan yang dialaminya dengan pacarnya.

No Indikator Deskripsi Observasi

SUBJEK III

1.

Kesetaraan antar anggota keluarga

Kesetaraan dalam berkomunikasi terlihat tidak adanya batas pemisah antara orang tua dengan remaja, nampak dari komunikasi yang berlangsung terjadi dengan melakukan aktivitas bersama-sama ketika bertemu yaitu hanya menonton tv atau mengobrol dikamar. Dalam berkomunikasi ibu lebih sering mendengarkan pandangan serta pendapat dari remaja disbanding memberikan wejangan.

2.

Pembagian tugas pada tiap anggota keluarga

Remaja merupakan anak yang mandiri sehingga remaja selalu melakukan aktivitas dan keperluan-keperluan remaja sendiri seperti mencuci baju dan menyiapkan perlengkapan sekolahnya secara mandiri.

3.

Pengambilan keputusan

Ibu melibatkan remaja dalam mengambil keputusan seperti masalah keluarga yang seringkali dialami oleh remaja. Pengambilan keputusan juga dilakukan dalam rangka menyangkut kebutuhan remaja seperti kebutuhan pendidikan.


(48)

4.

Keleluasaan dan keterbukaan

didalam komunikasi keluarga.

Berdasar pengamatan peneliti, remaja jarang berada dirumah dikarenakan banyaknya aktivitas diluar rumah. Ibu single parent memiliki waktu yang terbatas untuk bertemu dengan remaja. Dalam percakapan, ibu yang lebih aktif bertanya kepada remaja tentang permasalahan atau kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh remaja. Sesekali remaja menceritakan tentang teman-temannya yang dominan berprofesi tentara, sehingga ibu sering menggunakannya untuk memberikan stimulus kepada remaja agar bersedia terbuka.

4.3.1.3. Data Hasil Kuesioner

Tabel 4.3.1.3. Hasil Kuesioner

POLA KOMUNIKASI SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

Equality Pattern 62 46 49

Balance Pattern 37 43 42

Unbalance Pattern 37 44 47

Monopoly Pattern 19 40 28

Berdasarkan hasil pada tabel diatas, ketiga subjek penelitian menunjukkan skor yang lebih tinggi pada pola komunikasi yaitu pada pola komunikasi persamaan (Equality Pattern) dibanding pada pola komunikasi yang lainnya. Subjek I menujukkan skor paling tinggi yaitu sebesar 62, selanjutnya Subjek II menunjukkan sebesar 46, serta Subjek III yang menunjukkan sebesar 49. Maka berdasarkan pada hasil kuesioner yang diberikan oleh peneliti kepada subjek penelitian menunjukkan bahwa ketiga ibu single parent dominan menggunakan pola komunikasi Persamaan (Equality Pattern).


(49)

4.4. Analisis Data

Analisis penulis lakukan mulai dari pengumpulan data sampai data yang terkumpul telah jenuh dan kredibel. Setelah data-data terkumpul penulis mengorganisasikannya dengan menggubah hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip wawancara. Berikut ini langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini, yaitu:

4.4.1.Reduksi Data

Penulis memberi kode pada setiap pasang percakapan antara penulis dengan subyek berupa huruf kapital A untuk data hasil wawancara dengan ibu single parent I (A.1.1 untuk wawancara pada data pertama, A.1.2 untuk wawancara kedua data pertama, dst). Kemudian kode yang diberikan untuk hasil wawancara dengan remaja I menggunakan kode A.2.1. Selanjutnya untuk ibu simgle parent II data wawancara pada data pertama, B.1.1, untuk data kedua B.1.2 , dan seterusnya. Setelah itu data dipilah-pilah, memilih yang penting dan membuang yang tidak perlu. Kemudian penulis mengkategorikan data-data tersebut dengan memasukkan setiap data ke masing-masing indikator yang terdapat pada empat pola komunikasi keluarga pada umumnya menurut Devito (2009).

Tabel 4.4.1. Kategorisasi dan Klasifikasi Data

Variabel Indikator Bagian Transkrip

Subjek I Ibu Single Parent Remaja

Pola Komunikasi

1. Kesetaraan antar anggota keluarga

A.1.6, A.1.24, A.1.25, A.1.27, A.1.28, A.1.10, A.1.26

A.2.24, A.2.25, A.2.27, A.2.28, A.2.29, A.2.12, A.2.13, A.2.26 2. Pembagian tugas pada

setiap anggota keluarga

A.1.23, A.1.29, A.1.41, A.1.42,

A.2.23, A.2.37 A.2.38,


(50)

3. Pengambilan keputusan didalam keluarga

A.1.43, A.1.44, A.2.39, A.2.40

4. Keleluasaan dan keterbukaan didalam komunikasi keluarga

A.1.30, A.1.33, A.1.1, A.1.2, A.1.11, A.1.45, A.1.3, A.1.4, A.1.8, A.1.16

A.2.31, A.2.32, A.2.4, A.2.5, A.2.41, A.2.42, A.2.45, A.2.33

Variabel Indikator Bagian Transkrip

Subjek II Ibu Single Parent Remaja

Pola Komunikasi

1. Kesetaraan antar anggota keluarga

B.1.27, B.1.18, B.1.19, B.1.22

B.2.25, B.2.32, B.2.21, B.2.22, B.2.23, B.2.28, B.2.29, B.2.48, B.2.49

2. Pembagian tugas pada setiap anggota keluarga

B.1.23, B.1.25, B.1.29, B.1.30

B.2.20, B.2.30, B.2.39, B.2.40, B.2.41, B.2.42, 3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

B.1.24, B.2.43. B.2.44

4. Keleluasaan dan keterbukaan didalam komunikasi keluarga

B.1.3, B.1.7, B.1.4, B.1.8, B.1.9, B.1.10, B.1.6, B.1.20, B.1.21

B.2.1, B.2.3, B.2.2, B.2.4, B.2.17, B.2.18, B.2.7, B.2.19, B.2.24, B.2.26, B.2.27

Variabel Indikator Bagian Transkrip

Subjek III Ibu Single Parent Remaja

Pola Komunikasi

1. Kesetaraan antar anggota keluarga

C.1.11, C.1.23, C.1.26, C.1.27

C.2.22,C.2.55,

C.2.16, C.2.17, C.2.45, C.2.48, C.2.49, C.2.50,


(51)

C.2.51, C.2.52, C.2.61, C.2.72

2. Pembagian tugas pada setiap anggota keluarga

C.1.22, C.1.28, C.1.29.

C.2.43, C.2.53, C.2.64, C.2.65, C.2.66, C.2.71

3. Pengambilan keputusan didalam keluarga

C.1.30, C.1.31. C.2.67, C.2.70

4. Keleluasaan dan keterbukaan didalam komunikasi keluarga

C.1.3, C.1.4, C.1.5, C.1.7, C.1.9, C.1.32, C.2.8, C.2.9, C.2.10, C.2.11, C.2.13, C.2.15, C.2.32, C.2.69, C.1.8, C.1.10, C.1.9, C.1.13

C.2.5, C.2.6, C.2.7, C.2.24, C.2.25, C.2.30, C.2.31, C.2.33, C.2.41, C.2.47, C.2.56, C.2.57

4.4.2. Penyajian Data

Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2011), menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Peneliti menyajikannya dalam bentuk naratif di mana semua data yang diperoleh dimasukkan ke dalam setiap indikator-indikator pola komunikasi menurut Devito (2009) sebagaimana ditunjukkan pada lampiran. 4.5. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Data

Dari uraian data diatas dan analisis data dari tiap- tiap indikator pola komunikasi keluarga, maka peneliti menarik kesimpulan serta mengklasifikasikan pola komunikasi apa saja yang digunakan oleh ibu single parent terhadap remaja.


(1)

besar, serta ibu single parent berdiskusi dengan remaja untuk mencari solusi secara bersama-sama. Ibu single parent nampaknya harus lebih proaktif dan kreatif untuk memberikan rangsangan kepada remaja, sehingga kepekaan remaja atas rangsangan untuk berkomunikasi dengan baik menjadi semakin baik.

Dalam pembagian tugas di dalam keluarga, ibu memberikan tugas kepada remaja, namun ibu mengalami kendala karena remaja lebih banyak memiliki kegiatan diluar rumah, serta remaja yang cenderung tidak mau melaksanakan tugas yang diberikan ibu. Dari ketiga subjek ibu single parent, latarbelakang terjadinya single parent memiliki dampak pada pola komunikasi yang dibangun. Faktor perpisahan orangtua yang terjadi karena perceraian, yang menurut Hurlock (1990) lebih merusak hubungan anak dengan orang tua. Periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi remaja daripada penyesuaian remaja yang kehilangan orangtuanya karena kematian. Faktor lain adalah karena kedekatan antara ayah dengan remaja SV memberikan dampak perasaan kehilangan yang sangat dalam sehingga ketika perceraian terjadi membuat hubungan antara remaja dengan ibu single parent mengalami kendala. Hal ini nampak dari pernyataan ibu EN yang mengalami kesulitan membuat remaja SV untuk memiliki keleluasaan dan keterbukaan dengan remaja SV yang kurang dapat terbuka dengan ibu EN, sehingga ibu EN harus lebih proaktif agar pola komunikasi yang sudah terbangun menjadikan hubungan antara ibu EN dan remaja SV lebih erat lagi.


(2)

4.6. Uji keabsahan Data

Tabel 4.6. Uji Keabsahan Data dengan Triangulasi Sumber

Indikator Pola Komunikasi Hasil Wawancara

Ibu Single Parent I Remaja I 1. Kesetaraan antar anggota

keluarga

A.1.6, A.1.24, A.1.25, A.1.27, A.1.28, A.1.10, A.1.26

A.2.24, A.2.25, A.2.27, A.2.28, A.2.29, A.2.12, A.2.13, A.2.26

2. Pembagian tugas pada tiap anggota keluarga

A.1.23, A.1.29, A.1.41, A.1.42,

A.2.23, A.2.37 A.2.38,

3. Pengambilan keputusan didalam keluarga

A.1.43, A.1.44, A.2.39, A.2.40

4. Keleluasaan dan keterbukaan di dalam komunikasi keluarga

A.1.30, A.1.33, A.1.1, A.1.2, A.1.11, A.1.45, A.1.3, A.1.4, A.1.8, A.1.16

A.2.31, A.2.32, A.2.4, A.2.5, A.2.41, A.2.42, A.2.45, A.2.33

Indikator Pola Komunikasi Hasil Wawancara

Ibu Single Parent II Remaja II 1. Kesetaraan antar anggota

keluarga

B.1.27, B.1.18, B.1.19, B.1.22

B.2.25, B.2.32, B.2.21, B.2.22, B.2.23, B.2.28, B.2.29, B.2.48, B.2.49 2. Pembagian tugas pada tiap

anggota keluarga

B.1.23, B.1.25, B.1.29, B.1.30

B.2.20, B.2.30, B.2.39, B.2.40, B.2.41, B.2.42, 3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

B.1.24, B.2.43. B.2.44

4. Keleluasaan dan

keterbukaan di dalam komunikasi keluarga

B.1.3, B.1.7, B.1.4, B.1.8, B.1.9, B.1.10, B.1.6, B.1.20, B.1.21

B.2.1, B.2.3, B.2.2, B.2.4, B.2.17, B.2.18, B.2.7, B.2.19, B.2.24, B.2.26, B.2.27


(3)

Indikator Pola Komunikasi Hasil Wawancara

Ibu Single Parent III Remaja III 1. Kesetaraan antar anggota

keluarga

C.1.11, C.1.23, C.1.26, C.1.27

C.2.22,C.2.55, C.2.16, C.2.17, C.2.45, C.2.48, C.2.49, C.2.50, C.2.51, C.2.52, C.2.61, C.2.72 2. Pembagian tugas pada tiap

anggota keluarga

C.1.22, C.1.28, C.1.29. C.2.43, C.2.53, C.2.64, C.2.65, C.2.66, C.2.71 3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

C.1.30, C.1.31. C.2.67, C.2.70

4. Keleluasaan dan keterbukaan di dalam komunikasi keluarga

C.1.3, C.1.4, C.1.5, C.1.7, C.1.9, C.1.32, C.2.8, C.2.9, C.2.10, C.2.11, C.2.13, C.2.15, C.2.32, C.2.69, C.1.8, C.1.10, C.1.9, C.1.13

C.2.5, C.2.6, C.2.7, C.2.24, C.2.25, C.2.30, C.2.31, C.2.33, C.2.41, C.2.47, C.2.56, C.2.57

4.7. Pembahasan Hasil Penelitian

Pengungkapan indikator-indikator dalam pola komunikasi keluarga pada umumnya menurut Devito (2009). Berdasar hasil penelitian terdapat satu pola komunikasi yang paling dominan digunakan oleh ketiga subjek ibu single parent, yaitu pola komunikasi persamaan (Equallity Pattern). Pada pola komunikasi ini, anak dapat menyampaikan keinginan dan pendapatnya secara terbuka dan leluasa. Anak diberikan kesempatan untuk berperan serta dalam memutuskan sesuatu dalam porsi yang seimbang dan setara dengan orang tua. Dalam pola ini, komunikasi yang berjalan berlangsung secara merata, jujur, terbuka, langsung dan bebas serta interaksi yang terjadi secara aktif dan rekflektif dari ibu single parent dan remaja. Dalam pola ini menuntut terjadinya timbal balik dari kedua arah serta frekuensi komunikasi non verbal sering terjadi.


(4)

Dalam pola komunikasi persamaan (Equallity Pattern) antara orang tua dan remaja akan terjadi interaksi. Interakasi yang muncul pada pola komunikasi yang berlangsung,yaitu dengan tercipatnya kesetaraan serta tidak adanya batas komunikasi didalam keluarga seperti berbicang-bincang dengan remaja secara pribadi, duduk santai, bersenda gurau dalam suasana akrab akan nampak pada pola komunikasi persamaan (Equallity Pattern). Keinginan remaja untuk berbicara dengan ibu single parent dari hati ke hati yang dilandasi rasa kepercayaan, dengan kepercayaan tersebut remaja akan berusaha membangun keyakinan untuk membuka diri pada orang tuanya. Dari ketiga ibu single parent, dua diantaranya memiliki latarbelakang dikarenakan kematian dan satu ibu single parent dikarenakan perceraian. Peneliti menganalisis bahwa latarbelakang dari ketiga ibu single parent memberikan dampak pola komunikasi yang dibangun dengan remaja. Menurut Djiwandono (2005) perceraian mengakibatkan anak akan menderita kekurangan dukungan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang sehat karena terdapat perasaan kehilangan yang dalam. Wallerstein (dalam Djiwandono, 2005) merumuskan bahwa perceraian orangtua secara emosional dapat dibandingkan dengan kematian orang tua. Anak tidak hanya sedih karena kehilangan kontak sehari-hari dengan ayah serta juga sedih karena kehilangan rasa aman dan nyaman dengan keluarga yang utuh atau lengkap. Sedangkan faktor yang lain seperti perpisahan orang tua yang dikarenakan kematian memberikan dampak bahwa remaja tidak akan pernah bertemu denga ayahnya kembali, sehingga menurut Hurlock (1991) remaja akan mengalihkan kasih sayang mereka pada orang tua yang masih ada.

Ketiga subjek pada penelitian ini, merupakan bersuku jawa serta beragama Kristen Protestan, peneliti menganalisis faktor kebudayaan memberikan pengaruh pada penerapan pola komunikasi yang diterapkan oleh ibu single parent. Kecenderungan remaja dalam mengeskpresikan serta berkomunikasi dengan lawan dialog dalam bentuk mengedepankan


(5)

penanaman nilai-nilai suku jawa seperti gotong royong sehingga pembagian tugas serta pengambilan keputusan di dalam keluarga dilakukan secara bersama-sama. Serta keleluasaan dan keterbukaan di dalam komunikasi merupakan bentuk dari penanaman nilai-nilai jawa dalam mengelola konflik komunikasi dengan mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan.

Serta dari sudut pandang faktor spiritualitas, peneliti memberikan analisis bahwa ketika remaja menghadapi keadaan kematian salah satu orangtuanya, remaja cenderung

mempercayai dalam sudut pandang sebagai “kehendak Tuhan” yang merupakan rencana baik

bagi kehidupan keluarga, membuat penyesuaian diri remaja dalam menghadapi ketiadaan peran salah satu orangtuanya berbeda dengan remaja yang harus menghadapi perceraian orangtuanya. Hal berbeda terlihat dari respon remaja yang menghadapi orangtuanya karena disebabkan perceraian, remaja merasa menjadi “korban” dari sebuah keadaan yang dialami oleh orangtuanya yaitu perceraian sehingga remaja cenderung kurang dapat menerima perceraian sebagai keadaan dimana remaja dipaksa berpisah dengan salah satu orangtuanya. Hal ini nampak dari respon timbal balik yang diberikan oleh remaja kepada ibu single parent ketika berkomunikasi yaitu remaja yang merasa lebih dekat dengan ayah sehingga memberikan kendala kepada ibu single parent dalam menerapkan pola komunikasi tertentu terhadap remaja. Kondisi ini didukung dengan remaja yang lebih nyaman menyampaikan permasalahan yang dialaminya kepada orang lain bukan kepada ibu single parent.

Selain dari kedua faktor diatas, peneliti memberikan analisis bahwa selain faktor kebudayaan dan spiritualitas, terdapat faktor gender yang mempengaruhi pada penerapan pola komunikasi keluarga. Anak memilih untuk meniru model dari jenis kelamin yang sama dari lingkungan terdekat yaitu keluarga. Mengamati dan meniru model dilihat sebagai bentuk usaha remaja dalam menyerap nilai gender. Pengembangan nilai gender yang dialami remaja berkaitan dengan pola komunikasi yang terjadi dalam keluarganya, karena konsep gender itu


(6)

sendiri dipahami oleh anak melalui suatu pola komunikasi. Karena pola komunikasi pada tiap keluarga berbeda, maka penanaman dan pengembangan nilai gender pada remaja tentunya akan berlainan pula cara dan penerimaannya.

Hubungan antara orang tua dengan remaja akan sangat ditentukan oleh pola komunikasi yang dibangun, apabila pola komunikasi yang dibangun baik, maka baik pula hubungan yang tercipta di dalam keluarga. Kondisi keluarga yang tidak utuh, menjadikan ibu ketiga subjek sebagai single parent harus dapat bersikap fleksible terhadap pola komunikasi yang diterapkan mengingat remaja memasuki masa yang membutuhkan banyak perhatian dan tumbuhkembang yang pesat dalam rangka memasuki usia dewasa serta tantangan dalam pengasuhan yang hanya dilakukan oleh satu orang tua yaitu ibu single parent.

Pola komunikasi yang terganggu, dapat mengganggu komunikasi antara ibu single parent dengan remaja sehingga dapat memicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan negatif yang dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya. Djamarah (2004) menjelaskan bahwa pola komunikasi memegang peranan yang sangat penting, didalam pola komunikasi terbangun hubungan antara orang tua dengan remaja untuk pembinaan kepribadian dan pengembangan bakat remaja.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Pemenuhan Gizi Anak pada Orang Tua Single Parent di Cabean Mangunsari Salatiga T1 462011024 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Pemenuhan Gizi Anak pada Orang Tua Single Parent di Cabean Mangunsari Salatiga T1 462011024 BAB IV

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Simbolik Dalam Komunitas Vespa Kasoos T1 362009014 BAB IV

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kemandirian antara Remaja yang Memiliki Keluarga Utuh dan Keluarga Single Parent

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kemandirian antara Remaja yang Memiliki Keluarga Utuh dan Keluarga Single Parent

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Pola Komunikasi terhadap Remaja yang Dominan Digunakan oleh Ibu Single Parent

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Pola Komunikasi terhadap Remaja yang Dominan Digunakan oleh Ibu Single Parent T1 132010002 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Pola Komunikasi terhadap Remaja yang Dominan Digunakan oleh Ibu Single Parent T1 132010002 BAB II

0 1 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Pola Komunikasi terhadap Remaja yang Dominan Digunakan oleh Ibu Single Parent T1 132010002 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Pola Komunikasi terhadap Remaja yang Dominan Digunakan oleh Ibu Single Parent

0 0 98