PROSPEK PERTUMBUHAN DAN INOVASI BISNIS T
PROSPEK PERTUMBUHAN DAN INOVASI BISNIS TELEPON SELULAR DI INDONESIA MASA DEPAN BISNIS TELEKOMUNIKASI NIRKABEL DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN PERANG TARIF MURAH
oleh: Haery Sihombing @ Ian Pieter
([email protected]) Manufacturing Management Dept., Manufacturing Engineering Faculty of
Universiti Teknikal Malaysia Melaka
Abstrak
Bisnis penyediaan layanan telekomunikasi bergerak atau nirkabel, kini berada pada persimpangan jalan sebagai akibat tekanan persaingan yang begitu sengit untuk menghasilkan keuntungan yang memadai bagi perusahaan dalam mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan bisnisnya. Persaingan yang timbul sebagai akibat banyaknya operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel yang melibatkan diri dengan penawaran harga dan tarif (pulsa) yang murah kepada konsumennya, mengarahkan para operator penyedia layanan telekomunikasi tersebut berjuang untuk mempertahankan keberlangsungan bisnis mereka dalam jumlah raihan marjin keuntungan yang kurang menarik atau kecil bila hanya mengandalkan tarif murah tersebut sebagai satu- satunya strategi dalam merebut pasar. Padahal pasar telekomunikasi nirkabel di Indonesia pada masa kini, dari segi demografi dan potensi pasar, belumlah jenuh.
Para operator penyedia layanan jasa telekomunikasi nirkabel menghadapi kesulitan di dalam mengembangkan bisnis layanan mereka ketika pasar sangat dinamis, di mana karakter konsumen sebagai pengguna layanan adalah dengan cepat dan mudah beralih ke penyedia layanan lainnya. Oleh karenanya, para operator layanan telekomunikasi nirkabel harus melakukan tindakan dan inisiatif dalam berbagai cara melalui inovasi- inovasi yang dihasilkan sebagai fokus utama dalam layanan untuk dapat mempertahankan keberadaannya di pasar yang begitu kompetitif dewasa ini.
Inovasi terhadap produk, proses, teknologi, dan pasar adalah dipergunakan oleh perusahaan untuk mengetahui posisi diri atau lawannya dalam pengertian sebagai penopang/penyokong (sustainer) atau pengganggu (disruptor) terhadap pasar. Inovasi ini bekerja dan dipergunakan sebagai radar, melalui pengertian dua sisi pasar (two-sided market) dan/atau lokalisasi (localization) terhadap konsumen, untuk membuat operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel dapat berhasil lolos dari tekanan persaingan pasar dan muncul sebagai pemenang dengan melakukan pengganguan (disruption) terhadap produk dan layanan yang ada melalui nilai yang ditawarkan kepada konsumen sebagai keuntungan persaingan.
Kata kunci : inovasi, radar inovasi, keuntungan persaingan, pasar 2 sisi, dan lokalisasi.
1.0 PENDAHULUAN
Dalam satu dekade terakhir ini, perkembangan pasar penyedia layanan telepon selular atau nirkabel di Indonesia tumbuh semakin semarak bersamaan dengan tumbuhnya pasar permintaan akan jasa telekomunikasi bergerak atau nirkabel, yang bukan hanya di masyarakat perkotaan terutama di pulau Jawa dan Sumatera saja, namun juga hingga ke pelosok daerah. Bermula dengan semakin banyaknya konsumen yang Dalam satu dekade terakhir ini, perkembangan pasar penyedia layanan telepon selular atau nirkabel di Indonesia tumbuh semakin semarak bersamaan dengan tumbuhnya pasar permintaan akan jasa telekomunikasi bergerak atau nirkabel, yang bukan hanya di masyarakat perkotaan terutama di pulau Jawa dan Sumatera saja, namun juga hingga ke pelosok daerah. Bermula dengan semakin banyaknya konsumen yang
Selain dengan tawaran melalui berbagai fitur yang dapat dipergunakan dan diakses melalui perangkat nirkabel tersebut, para operator penyedia layanan telekomunikasi juga memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk memiliki perangkat handset telepon maupun registrasi nomer telepon atau aksesnya. Di sisi lain, inovasi- inovasi yang dilakukan oleh penyedia layanan telekomunikasi nirkabel tersebut, juga saling berjuang dalam memperebutkan pasar dengan memberikan tarif murah bagi setiap kali layanan yang mereka berikan untuk ditanggung oleh penggunanya. Tarif murah tersebut dilakukan untuk fasilitas pesan singkat maupun suara, termasuk juga bebas biaya untuk beberapa kondisi yang diisyaratkan penyedia layanan tersebut terhadap penggunanya (berlaku untuk sesama pengguna layanan produk dari operator yang sama) untuk lebih aktif mempergunakan fasilitas yang disediakan tersebut dengan cara mengundang pengguna baru atau yang ada, untuk memiliki layanan dari operator nirkabel yang sama.
Ketika pasar semakin selektif untuk memilih di antara keragaman pilihan yang tersedia dan semakin bervariatifnya layanan yang diberikan, maka beban yang ditanggung oleh para penyedia layanan telekomunikasi nirkabel ini semakin berat. Apalagi, konsumen dengan sangat mudahnya beralih ke operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel lainnya, dikarenakan kode atau nomer akses yang disyaratkan dalam hal bertelekomunikasi ini sangat mudah dan murah untuk didapatkan daripada di masa- masa awal peluncuran layanan telekomunikasi nirkabel.
Upaya- upaya yang dilakukan melalui berbagai inovasi terhadap produk, proses, maupun pemasarannya adalah dimaksudkan untuk mempertahankan jumlah pengguna atau konsumen yang diklaim oleh para operator penyedia tersebut sebagai persentase pangsa pasar mereka. Namun pada kenyataannya, inovasi yang direalisasikan oleh para penyedia layanan nirkabel tadi, tidaklah cukup sebagai bukti yang kuat untuk mendukung dan menunjukkan keuntungan yang menarik dan sepadan dengan potensi pasar yang masih cukup besar ini.
Pertanyaan yang timbul sebagai akibat persaingan yang begitu sengit di antara para operator penyedia layanan telekomonikasi nirkabel ini adalah, apakah keuntungan yang dapat diperoleh dari bisnis ini sepadan dengan biaya dan usaha yang dikeluarkan? Apakah pasar dan peluang bisnis ini masih menarik dari segi keuntungan untuk dapat diperoleh? Apakah keuntungan- keuntungan yang diperoleh dengan inovasi- inovasi yang sudah dilakukan tersebut adalah optimal? Apakah bisinis di bidang ini masih memiliki prospek keuntungan yang menarik di masa mendatang?
2.0 STRATEGI LAYANAN TARIF & HARGA MURAH SEBAGAI PERSAINGAN.
Dalam menjawab pertanyaan dan tantangan terhadap persaingan pasar yang sengit, maka para penyedia layanan berpijak secara teoritis kepada pengertian inovasi terhadap keuntungan persaingan dalam kaitannya sebagai sumber kreatif di dalam mempertahankan dan meningkatkan pasar, sekaligus meningkatkan perolehan dan membuka keuntungan- keuntungan baru yang dapat diraih. Sawhney (2006) melihat pengertian persaingan kepada peluang inovasi dengan dasar:
1. Apa tawaran yang perusahaan ciptakan ?
2. Siapa konsumen yang mereka layani ?
3. Apa proses yang mereka jalankan ?
4. Di mana posisi kehadiran mereka dengan tawaran terhadap pasar yang dituju ?.
Apa yang dilakukan oleh para operator penyedia layanan dengan memusatkan perhatiannya pada dasar- dasar peluang (melalui gagasan kreatif yang diberlakukan kepada setiap inovasi yang diluncurkan ke pasar), dengan fokus pada produk yang dijual (dalam pengertian bahwa konsumen sebagai pengguna dan sumber dari keuntungan perusahaan) adalah ternyata berpola sama, yaitu konsumen merupakan ‘mata air’ keuangan dan keuntungan perusahaan. Sebagai misal: Excelcomindo. Sebagai penyedia layanan telekomunikasi nirkabel yang mula- mula dikenal dengan tawarannya sebagai operator layanan nirkabel dengan jaminan terhadap mutu suara jernih dan jelas dalam layanan mereka dengan fokus pasarnya di masyarakat perkotaan (sekalipun tarif layanannya adalah relatif lebih mahal dari operator GSM lainnya) , kemudian terjun untuk bersaing dengan meluncurkan produk layanan telekomunikasi dengan sangat murah kepada para penggunanya. Dengan harga Rp.1 untuk per tiap detik layanan telekomunikasi suara di antara sesama penggunanya, mereka melakukan suatu terobosan untuk mengangkat dan mempertahankan pangsa pasar mereka. Dengan kata lain, mereka hanya membebankan biaya kepada konsumen terhadap per tiap detik layanan suara yang dipergunakan untuk memberikan konsumen kepuasan, sehingga konsumen akan merasa bahwa uang yang dikeluarkan adalah sesuai dengan lamanya layanan yang diterima. Tidak seperti penyedia lainnya (sekalipun mereka memberikan beban tarifnya lebih murah untuk tiap menit layanan yang konsumen terima), konsumen bisa jadi merasa bahwa uang mereka ‘dicuri atau dirampok’ ketika mereka mempergunakan layanan tersebut kurang atau lebih dari batasan waktu terhadap tarif yang dikenakan oleh sebab penyedia layanan membebankan tarifnya melalui pembulatan waktu. Pertanyaan terhadap kondisi ini adalah, apakah konsumen dalam melakukan telekomunikasi suara dengan mitranya tersebut adalah selalu menatapkan matanya tertuju kepada jarum jam yang sengaja mereka tempatkan dihadapan mereka untuk mereka dapat lihat terus menerus, detik demi detik, ketika melakukan telekomunikasi? Kalaupun ada, jenis konsumen seperti ini, tentu perlu dipertanyakan potensinya terhadap keuntungan perusahaan.
Terhadap suatu kasus, misalnya dalam layanan tarif murah terhadap tiap menit layanan yang dipergunakan di mana konsumen melakukan telekomunikasi dengan jangka waktu kurang dari 1 menit, maka biaya yang dikenakan adalah terhadap tarif 1 menit, atau bila konsumen malakukannya dalam 1 menit 35 detik, maka konsumen harus membayarnya untuk 2 menit layanan. Bila kita ilustrasikan dari keadaan tersebut, maka beban biaya yang ditanggung sesuai dengan lama waktu layanan yang dipergunakan Terhadap suatu kasus, misalnya dalam layanan tarif murah terhadap tiap menit layanan yang dipergunakan di mana konsumen melakukan telekomunikasi dengan jangka waktu kurang dari 1 menit, maka biaya yang dikenakan adalah terhadap tarif 1 menit, atau bila konsumen malakukannya dalam 1 menit 35 detik, maka konsumen harus membayarnya untuk 2 menit layanan. Bila kita ilustrasikan dari keadaan tersebut, maka beban biaya yang ditanggung sesuai dengan lama waktu layanan yang dipergunakan
Pada kasus lain, bila harga murah tadi tidak menjamin kualitas suara dan akses serta keberlangsungan proses bertelekomunikasi, sehingga layanan suara terhadap konsumen ketika menggunakan telekomunikasi tersebut sering terputus atau mengulang- ulang pembicaraannya (yang menyebabkan kosumsi waktu yang dipergunakan semakin lama), bukankah tarif murah tadi menjadi penghalang dan kendala bagi mereka, serta menjadikan pengeluaran biaya yang ditanggung konsumen menjadi lebih mahal? Contoh, bila satu telekomunikasi dapat dilakukan dengan efektif dalam 1 menit 35 detik, namun karena ketika akses mula- mula atau pertama yang dilakukan ternyata ‘berjeda atau kosong’ (oleh sebab derajat mutu jaringan layanan kurang baik sehingga suara tidak jelas dan jernih) untuk segera mulai terdengar balasan dari panggilan yang dituju setelah nada ‘koneksi’ terjadi dan setelah dilakukan beberapa kali pengulangan panggilan suara, “Hallo, Hallo, Hallo…”, di mana dibutuhkan beberapa detik untuk memulai terjadinya pembicaraan dua arah, bukankah konsumen dirugikan karena biaya atas waktu untuk “berjeda” yang dibebankan kepada konsumen tersebut sebagai hasil mutu jaringan penyedia layanan yang bukan menjadi tanggungjawab konsumen? Apalagi bila terjadi putus hubungan (disconnected) ketika proses bertelekomunikasi berlangsung, sehingga perlu dilakukan ‘dial’ ulang untuk menyambung proses telekomunikasi kembali dan memulai pembicaraan dengan basa- basi, ”Maaf Pak, tadi putus. Maksud saya adalah…….” yang membutuhkan waktu beberapa saat, yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan untuk ditanggung konsumen. Sehingga total waktu pembicaraannya, misalnya menjadi 2 menit 1 detik, di mana konsumen harus menanggung biaya (3XRp.49) Rp.147 untuk layanan per-menit dan Rp. 121 untuk layanan per-detik dari masing- masing operator tersebut. Apakah konsumen akan melihat keuntungan dalam bertelekomunikasi tadi melalui perbandingan hematnya uang yang dikeluarkan sebagai tarif dari antara kedua operator tersebut?
Sekalipun tarif murah adalah sebagai bentuk tawaran untuk memuaskan konsumen, namun dalam kondisi ketika anda melakukan telekomunikasi untuk bisnis atau kepada atasan anda, maka harga murah bukan berarti mengorbankan kenyamanan anda, bukan? Bagaimana pula jadinya, bila ketika bertelekomunikasi tadi, ternyata panggilan yang dituju menyahut,”Maaf, telepon yang anda tuju sedang sibuk atau tidak aktif.”, namun pulsa yang anda miliki berkurang sebagai beban yang harus ditanggung dalam melakukan upaya telekomunikasi tersebut? Dari ilustrasi cerita ini, tarif murah dapat membuat kondisi psikologis konsumen terganggu dan kehilangan perspektifnya bisnisnya sebagai strategi persaingan, karena tarif murah dalam kondisi tersebut adalah bersaing terhadap kelancaran, keberlangsungan, suara jernih dan jelas, dan tidak terhambatnya telekomunikasi yang dilakukan.
Apakah inovasi yang dilakukan dengan strategi tarif murah tersebut meningkatkan keuntungan atau imbal yang diperoleh, serta akan menarik banyak konsumen baru atau konsumen dari layanan operator pesaing lainnya untuk beralih kepada mereka, sehingga persentase pangsa pasar mereka semakin besar? Bukankah penyedia layanan nirkabel lainnya, juga menawarkan layanan telekomunikasi suara dengan bebas biaya (untuk kondisi tertentu yang disyaratkan), selain layanan pesan singkatnya. Kita tahu, bahwa pesaing Excelcomindo baru- baru ini meluncurkan tawaran Rp. 0 terhadap biaya layanan mereka, atau biaya untuk jenis telekomunikasi interlokal yang lebih murah, dan berbagai tarif murah tertentu lainnya. Dalam kondisi demikian, apakah dengan strategi tarif murah tersebut, membawa perusahaan- perusahaan yang bersaing tadi dapat meraih keuntungan yang signifikan melalui program tawaran seperti itu? Atau sekedar dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar yang telah mereka miliki dan menghindarkan diri dari kebangkrutan bisnis mereka masing- masing? Bukankah persaingan ini diikuti pula oleh operator layanan nirkabel lainnya, operator dengan teknologi CDMA, untuk melakukan hal yang sama dengan memberikan harga yang murah terhadap biaya tarif layanan mereka?
Menurut Raynor & Christensen (2003), optimasi suatu produk atau layanan untuk dimensi- dimensi yang berbeda dari kinerja dengan mempertahankan dasar- dasar dari
persaingan di dalam satu pasar pada satu kurun waktu tertentu, memerlukan satu usaha dari perusahaan untuk mengendalikan elemen- elemen yang berbeda dari rantai nilai industri. Perusahaan- perusahaan yang menampilkan dirinya sesuai dengan konfigurasi- konfigurasi dasar dari persaingan di dalam satu pasar, biasanya adalah mendominasi pasar setidaknya untuk sementara, dengan dominasi yang menjadikannya sebagai ‘porsi macan’ dari satu keuntungan industri.
Gambar 1: Pyramid dari tahapan Persaingan (sumber: Raynor & Christensen, 2003)
Raynor & Christensen menggambarkan bahwa, dasar persaingan dari produk atau layanan yang ditawarkan kepada pasar adalah bermula dari segi fungsionalitasnya (funsionality), dan kemudian pasar akan bergerak untuk melihat segi kelayakannya (reliability) setelah kosumsi terhadap fungsi tersebut dapat diterima dan terbangun, untuk kemudian memicu permintaan pasar akan kemudahan/ kenyamanan (convienient) dan Raynor & Christensen menggambarkan bahwa, dasar persaingan dari produk atau layanan yang ditawarkan kepada pasar adalah bermula dari segi fungsionalitasnya (funsionality), dan kemudian pasar akan bergerak untuk melihat segi kelayakannya (reliability) setelah kosumsi terhadap fungsi tersebut dapat diterima dan terbangun, untuk kemudian memicu permintaan pasar akan kemudahan/ kenyamanan (convienient) dan
Melalui gambaran pyramid di atas, kita dapat segera dengan mudah meramalkan dan mengetahui bahwa satu perusahaan penyedia layanan telekomunikasi nirkabel hanya sekejap saja atau bahkan tidak dapat menikmati buah hasil dari inovasi mereka ketika mereka hanya menawarkan kepada pasar terhadap sesuatu yang dapat segera ditiru oleh para pesaingnya, terutama dalam persaingan dengan tawaran harga murah. Sir John Bond sebagai chairman HSBC mengatakan bahwa hal ini berlaku kurang dari 3 bulan (Mehta, 2006). Sebab menurut David Rickard dari Boston Consulting (Rickard, 2006), perusahaan- perusahaan secara fundamental menyeting strategi mereka terhadap parameter harga untuk pasarnya melalui:
x Obyektif perusahaan dalam menawarkan layanannya x Penawaran nilai terhadap konsumennya x Dasar dari keuntungan persaingan x Lingkungan persaingan x Biaya keseluruhan untuk melayani
Dengan maksud dan tujuan: x Untuk meningkatkan kinerja dari produk inti perusahaan dan promosi untuk pembelian berulang x Untuk mencapai keuntungan yang berdiri sendiri pada layanan- layanan itu sendiri x Untuk merangsang penjualan berdasarkan ketertarikan pasar dari perangkat yang
ditawarkan Padahal, konsumen beranjak dengan motivasi yang berbeda terhadap nilai layanan yang
ditawarkan perusahaan, yakni sebagai berikut:
Tabel 1. Konsumen Terhadap Perusahaan
Konsumen Dampaknya Terhadap Perusahaan
Harga yang fleksibel untuk ditawarkan ke pasar akan menghadapi keterbatasan. Sebab harga yang ditawarkan
Yang mencari hemat biaya
tersebut harus lebih rendah dari harga yang konsumen dapat lakukan terhadap layanan suatu produk atau yang didapatkan dari alternatif yang ada.
Tersedianya kesempatan untuk menyetel harga- harga yang
Yang mencari kinerja
mencerminkan nilai sebenarnya yang ditawarkan bagi masing- masing konsumennya
Sehingga pertanyaan yang muncul bagi perusahaan penyedia layanan dalam mempertahankan dan mengembangkan bisnisnya, adalah sebagai berikut:
a. Apakah pendekatan melalui harga yang sekarang ini dilakukan adalah sepadan
dengan obyektif secara keseluruhan dari organisasi servis/layanan tersebut? dengan obyektif secara keseluruhan dari organisasi servis/layanan tersebut?
c. Apakah pemahaman terhadap biaya yang dikeluarkan terhadap layanan yang
diberikan kepada pelbagai segmen dan pasar konsumen benar- benar jelas?
d. Apakah organisasi servis/layanan yang terjun untuk bersaing terhadap skala atau kemampuan dan struktur biayanya adalah sebagai cerminan dasar aktual dari persaingan yang ada?
e. Apakah harga layanan yang diberikan telah diperhitungkan terhadap perbedaan dari karakteristik- karakteristik pembelian, seperti frekuensi atau keperluan pembelian atau ukurannya?
f. Apakah perusahaan membedakan harga atas daur hidup dari masing- masing hubungan konsumen?
3.0 INOVASI SEBAGAI KOMPETENSI
Dalam menjawab ke-6 pertanyaan di atas (melalui inovasi yang harus dilakukan oleh perusahaan), menurut Raynor (2003), maka suatu organisas bisnisi harus mengerti bagaimana dasar dari persaingan untuk menjadi berbeda dari apa yang telah ada pada pasar yang telah terbentuk. Caranya adalah dengan melihat keterkaitan dari dasar- dasar baru persaingan yang mendorong kesuksesan inovasi dalam bisnis perusahaan dan aktiftas- aktifitas di dalam rantai nilai yang dapat diharapkan untuk disediakan terhadap dimensi dari kinerja layanan atau produk untuk lebih efektif daripada para pesaingnya, serta dengan mengambil daerah (pangsa) yang paling berharga dalam rantai nilai inovasi sehingga posisi organisasi dapat menangkap sejumlah keuntungan- keuntungan.
Untuk itu, menurut Kandampully (2002), suatu perusahaan servis/layanan haruslah memfungsikan dirinya secara interaktif dan terlibat dengan hampir semua aktifitas atau komponen di dalam perusahaan, yakni: orang, proses atau bukti- bukti fisik (representasi bukti yang tangible atau intangible dari perusahaan terhadap perspektif konsumen), konsumen internal dan eksternal, pelbagai ragam jaringan usaha, aliansi, dan para mitranya untuk menghindari kesalahan- kesalahan terhadap pemahaman produk atau layanan yang ditawarkan kepada pasar yang menurut Cagan (2006), bahwa selama ini produser/ penyedia terjebak dalam kebingungan terhadap:
x persyaratan- persyaratan konsumen dengan persyaratan- persyaratan produk/ layanan. x inovasi dan nilai
x diri sendiri dengan konsumen anda x konsumen dan pengguna x fitur- fitur dan keuntungan- keuntungan yang ditawarkan x pembangunan suatu produk yang benar daripada membangun dengan benar suatu
produk/layanan. x Satu produk/ layanan yang baik daripada satu model bisnis yang baik. x Fitur- fitur yang emosional dengan fitur- fitur yang tidak penting. x Meningkatkan funsionalitas daripada meningkatkan produk/layanan x Produk yang diluncurkan dengan sukses.
3.1 DEFINISI
Menurut Robertson (1974), inovasi adalah serangkaian tahapan dari teknikal, industrial dan komersialisasi. Sedangkan menurut Marquis (1969), inovasi adalah satu unit dari perubahan- perubahan teknologi yang mendorong perubahan- perubahan teknikal suatu perusahaan di dalam menghasilkan produk- produk/ layanan- layanan atau penggunaan suatu metode atau input yang dikenakan terhadapnya. Menurut Cumming (1998), jika kita mempertimbangkan inovasi yang berkaitan dengan satu produk/layanan yang dapat dipasarkan, maka haruslah jelas terlihat terhadap orang lain, berhubungan dengan pasar, dan faktor- faktor yang memainkan satu bagian dalam mengadopsi keberhasilan. Faktor- faktor tersebut, contohnya, adalah pengiklanan yang efektif dan dampak- dampak dari branding merek produk.
Oleh karenanya, menurut Urabe (1988), inovasi haruslah terdiri dari pengembangan dari satu gagasan baru dan diimplementasikan ke dalam satu produk baru, proses atau layanan, serta mengarah kepada pertumbuhan yang dinamis dari ekonomi nasional dan peningkatan dari ketenagakerjaan, maupun penciptaan keuntungan murni untuk bisnis perusahan yang inovatif. Di mana inovasi sebagai proses dari gagasan- gagasan adalah diambil secara efektif dan menguntungkan melalui kepuasan pelanggan (DTI, 1996), selain sebagai satu proses melalui yang mana bangsa ciptakan dan transformasikan pengetahuan dan teknologi baru ke dalam produk- produk dan layanan- layanan yang berdaya guna, serta proses- prosesnya untuk pasar nasional dan global melalui penciptaan nilai terhadap stakeholdernya (Milbergs). Oleh karenanya, inovasi merupakan penciptaan, pengembangan dan pengenalan yang berhasil dari produk- produk, layanan, atau proses yang baru (Urabe, 1988), bila berangkat dari kreatifitas untuk membentuk sesuatu dari yang tidak ada sebelumnya dan kemudian dibentuk melalui gagasan yang berkenaan dengan produk- produk atau layanan- layanan (Kuhn, 1985), atau dari kreatifitas yang membawa sesuatu yang baru terhadap sesuatu yang ada dan dibawakan melalui inovasi yang dikenakan terhadap sesuatu yang baru untuk digunakan (Badawy, 1988) sebagai gagasan bahwa, satu inovasi yang dihasilkan adalah harus berhasil di pasar (Twiss, 1992) sehingga , menurut Drucker (2002), sebagai jantung dari aktifitas perusahaan dalam upaya- upaya untuk menciptakan kedayagunaan dan berfokus pada perubahan di dalam ekonomi perusahaan dan potensi sosial. Untuk itu, menurut Mehta (2006) dengan mencuplik tulisan dari Deloitte Consultan, bahwa inovasi perlu dipisahkan antara fungsinya sebagai penggangguan (disruptive) dan penopangan (sustaining) dalam perspektif produk, proses, dan strategi.
Gambar 2: Inovasi Dalam Perspektif: Produk, Proses, dan Strategi
3.2 ORIENTASI PASAR DAN INOVASI
Menurut Assink (2006), karena inovasi lebih merupakan upaya revolusioner ketimbang evolusioner, maka diperlukan satu prasyarat bagi perusahaan untuk mampu bertahan terhadap pasar yang dinamis dan kompleks di dalam lingkungan ekonomi tertentu. Dengan isu- isu terpenting ini, menurut Hamel (2002), bisnis dewasa ini adalah difokuskan dalam menemukan satu cara untuk membangun perusahaan- perusahaan melalui inovasi yang radikal dan sistematik. Sebab inovasi adalah satu faktor kunci bagi satu perusahaan untuk lolos dan berkembang dalam jangka panjang (Tidd,2001). Inovasi merupakan pembangkitan, pengembangan, dan adaptasi dari satu gagasan atau perilaku dan sesuatu yang baru untuk diadposi oleh organisasi (Higgins,1995), di mana inovasi ditangkap sebagai pengertian dari perubahan satu organisasi, baik sebagai tanggapan terhadap perubahan dalam lingkungan eksternal, maupun tindakan- tindakan awal yang mempengaruhi lingkungan (Damapour,1996).
Lebih lanjut, Assink (2006) mengatakan bahwa inovasi merupakan proses dari suksesnya penciptaan sesuatu yang baru, yang harus memiliki nilai yang signifikan terhadap bagian yang relevan dari adopsinya, dimana inovasi tersebut menurut Edquiest (1997) dibedakan dengan derajat pemilahan melalui satu derajat individu (improvement), fungsi (process improvement atau adaptasi), perusahaan sebagai satu rantai nilai (produk radikal dan layanan inovasi, model bisnis baru), dan industri (terobosan teknologi) sebagai sistem- sistem dari inovasi. Sekalipun, menurut Christensen (1997), ternyata hanya sedikit saja perusahaan yang memahami apa yang diperlukan dan diimplementasikan dari inovasi tersebut untuk berhasil. Oleh karena itu, menurut Johne (1999), dalam memahami persaingan terhadap pasar yang cepat berubah, maka perusahaan harus melihatnya pada:
a. Inovasi Produk untuk membangun pendapatan/penghasilan (revenue), dengan cara memperbaharui produk dan secara lengkap memperbaharui keseluruhan produk (up-dated and renew) untuk mempertahankan kedudukan bisnisnya yang kuat di tengah pasar melalui peningkatan dari campuran tawaran (improving the mix of offers). (Mehta,2006: difokuskan pada cara suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan membuatnya lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah)
b. Inovasi Proses untuk menjaga dan meningkatkan mutu serta menghemat biaya (safeguarding, improving quality, saving cost), dengan cara tetap mempertahankan produktifitas kerja dan membuat produk- produk yang kinerjanya sama dengan biaya lebih murah melalui peningkatan campuran dari operasional internal (improving mix of internal operations). (Mehta,2006: difokuskan pada pengalaman konsumen, membawa satu perusahaan lebih dekat terhadap konsumennya dan menggunakan keintiman untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik)
c. Inovasi Pasar untuk meningkatkan campuran dari target- target pasar dan bagaimana memilih pasar yang sebaiknya dilayani melalui identifikasi potensi pasar dan cara (baru) melayani pasar dengan lebih baik melalui peningkatan dari campuran pasar dan bagaimana melayaninya (improving the mix of markets and how these are served). (Mehta,2006: difokuskan pada komitmen pemimpin perusahaan dan pendukungnya, memimpin pemikiran rancang bangun dan matriknya, mendorong pengambilan resiko, mentoleransi kesalahan, merubah struktur, menciptakan sistem inovasi penghargaan, memperluas talenta rancang bangun, dan mempengaruhi jaringan kerja inovasi dari luar dan dalam organisasi)
Untuk itu, menurut Mehta (2006), perusahaan setidaknya harus mempertimbangkan jangka waktu 3 tahun dalam strategi terhadap pertumbuhan bisnisnya terhadap upaya- upaya perusahaan dalam melakukan:
x Fokus terhadap servis atau produk intinya. x Perubahan strategi harganya x Peningkatan rancang ulang prosesnya (misal: melalukan sesuatu dengan lebih
baik, lebih cepat, dan lebih efisien)
terhadap strategi yang berkenaan dengan (Johanssen,2001): x Produk baru
x Layanan baru x Metode- metode baru dari produksi/ operasional x Membuka pasar- pasar baru x Sumberdaya- sumberdaya baru dari pasokan x Cara- cara baru dari organisasi
Sehingga ketika tarif murah dalam kaitannya sebagai inovasi pasar, menurut Manzaro (2006), maka harus ditempatkan pada pilar- pilar pemasaran itu sendiri, yaitu berupa: konsumen yang difokuskan, koordinasi pemasaran, dan keuntungan melalui orientasi pemasaran dan komponen perilaku dalam satu organisasi.
Tabel 2. Orientasi Pasar dan Budaya Organisasi
ORIENTASI PASAR BUDAYA ORGANISASI
1.Informasi pasar dari perusahaan mengga- 1.Orientasi Konsumen bungkan faktor- faktor konsumen dan lainnya
(orientasi meningkatkan komersialisasi dari produk baru) 2.Penyebaran dari informasi pasar ke seluruh 2.Orientasi Persaingan
bagian perusahaan (orientasi pesaing mengurangi peluncuran dari perluasan 3.Rancangan dan implementasi dari satu tang- terhadap produk dan lini- lini produk- produk baru) gapan terhadap informasi
3. Koordinasi AntarFungsi (meningkatkan komersialisasi perluasan terhadap lini- lini produk/layanan)
4.0 TEKANAN EKONOMI PADA INOVASI DAN MODEL BISNIS
Menurut Chesbrough (2007), bahwa untuk mendapatkan sistem inovasi baru, maka perusahaan haruslah membuka model bisnis mereka secara aktif dengan mencari dan menggali gagasan- gagasan dari luar dan dengan membolehkan teknologi internalnya yang tidak terpakai tersebut mengalir ke luar. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan nilai dan menangkap satu bagian dari nilai. Fungsi yang pertama (dalam menciptakan nilai), memerlukan pendefinisian satu rangkaian aktifitas yang menghasilkan satu produk atau layanan baru dengan nilai yang ditambahkan kepada seluruh ragam aktifitasnya, dan fungsi yang kedua (dalam menangkap satu bagian dari nilai), memerlukan penetapan sumber- sumber daya yang unik, aset atau posisi dalam serangkaian aktifitas yang membuat perusahaan tersebut menikmati keuntungan persaingannya.
Hal ini dilakukan agar biaya- biaya pembangunan dari inovasi dikurangi dengan penggunaan yang lebih besar dari teknologi ekternal di dalam perusahaan yang memiliki proses R&D-nya sendiri. Sekalipun demikian, maka perusahaan seharusnya melakukan perubahan mendasar terhadap model bisnisnya dengan suatu komitmen yang jelas dan
Dengan semakin meningkatnya biaya dari pengembangan teknologi, maka akan berakibat bahwa hanya perusahaan yang besar saja yang akan menjadi lebih besar dengan meninggalkan yang lainnya jauh ke belakang. Namun tekanan yang kedua, memainkan peranan dalam hal memperpendek daur hidup dari produk- produk baru. Dengan demikian, maka kecenderungan untuk meningkatkan biaya pengembangan dan memperpendek siklus hidup produk akan menghadapkan perusahaan kepada meningkatnya justifikasi penanaman modal terhadap inovasi.
Gambar 3. Model Bisnes Tertutup Menjadi Model Bisnis Terbuka (diadopsi dari Chesbrough, 2007) Gambar 3a. (sebelah kiri)
Gambar 3b (sebelah kanan) Balok sebelah kiri dari model bisnis tertutup ini Dengan kecenderungan- kecenderungan
menunjukkan bahwa pendapatan yang diharap- (trends) dari kenaikan biaya- biaya pengem- kan adalah sebagai ekses dari biaya pengem- bangan dan daur hidup produk yang semakin bangan. Namun sejalan dengan dengan mening- pendek (pada balok kiri), mendorong peru- katnya biaya pengembangan dan semakin sahaan untuk bereksperimen atau mencoba pendeknya daur hidup produk, maka hasil bersih dengan cara- cara yang kreatif untuk membu- yang perusahaan temukan (pada balok kanan) ka model bisnis mereka dengan memper- adalah menghasilkan semakin sulitnya bagi gunakan gagasan- gagasan dari luar dan model bisnis ini untuk menjustifikasi investasi teknologi pengembangan produk internalnya. dalam inovasi yang dilakukan.
Pada model bisnis terbuka (open business), sisi pendapatan diserang karena kombinasi dari biaya- biaya yang saling berkaitan dan waktu yang dihemat dengan peluang- peluang pendapatan untuk menghasilkan keuntungan- keuntungan berdayaguna. Dengan cara ini, akan menghemat waktu dan juga uang, serta perusahaan tidak lagi menutup dirinya terhadap pasar yang dilayaninya secara langsung.
Oleh karenanya, Linder (2006) mengusulkan, agar perusahaan memperhatikan proporsi dari penjualan yang dihasilkan dari produk- produk atau layanan- layanan yang diperkenalkan kepada pasar (dalam pertimbangan perhitungan 3 tahun terakhir) berdasarkan pertumbuhan dalam pengeluaran, pendapatan, dan nilai harga di masa mendatang dengan pemikiran (seperti yang digunakan oleh perusahaan 3M sebagai perusahaan yang paling berinovasi), yaitu : x Pengukuran yang hanya dilakukan terhadap penjualan, bukan pada keuntungan-
keuntungan atau investasi yang diperlukan untuk menciptakan produk- produk, bukanlah suatu target peningkatan yang menguntungkan. Oleh karenanya, maka penilaian (scorecard) harus dilakukan terhadap pendapatan dan biaya yang diinvestasikan.
x Pengukuran yang melihat ke arah belakang, hanyalah menangkap dampak dari inovasi masa silam, tidak dialamatkan terhadap investasi- investasi masa kini dan apakah mereka dapat atau tidak dapat membayarnya di masa mendatang.
x Pengukuran agaknya berfokus pada diri sendiri (self-centered), sehingga untuk menentukan apakah suatu organisasi pada kenyataannya dapat menciptakan nilai, maka sebaiknya mempertanyakan apakah hasil yang diperoleh akan menempatkan perusahaan sebagai pemimpin atau sekedar menjaga kedudukannya terhadap pesaing lainnya di dalam industri tersebut.
x Pengukuran yang mengasumsikan bahwa semua unit- unit organisasi menciptakan inisiatif yang mencerminkan penjualan produk- produknya adalah mungkin benar terhadap inovasi untuk brand-merek produk, rantai distribusi, dan harga. Namun, hal ini tidaklah berpengaruh terhadap inovasi dalam struktur finansial, model bisnis atau bahkan servis atau layanannya.
Hal ini dikarenakan bahwa perusahaan, yang bahkan telah mapan sekalipun menurut Valikangas (2005), sering kali terjebak secara internal dengan: x Kinerja (performance trap), di mana mereka menekankan pemotongan biaya (cost
cutting) dan pengukuran mendadak lainnya, yang menghasilkan keuntungan sesaat atau jangka pendek daripada mencari peluang- peluang baru untuk pertumbuhan di masa mendatang. Sebab perusahaan- perusahaan yang sekarang ini melakukan kerjanya dengan baik dan nyaman dengan pertumbuhan yang sesuai di dalam bisnis inti mereka, cenderung mengabaikan peluang- peluang jangka panjang yang mungkin penting bagi mereka.
x Komitmen (commitment trap), di mana terjadi ketika komitmen mereka terlalu besar dan terlalu kecil terhadap satu inovasi tertentu. Jika satu mind-set ‘tetap mencoba’ berlaku, maka manajamen malu mengakui beberapa komitmen nyata terhadap inovasinya. Sehingga mereka tetap mempertahankan tahapan- tahapan awal seperti sebuah gagasan, percobaan- percobaan (experiments) atau prototype dengan cara melakukan terlebih dahulu riset pasar, menganalisa lengkap dahulu teknikalnya, atau tidak mau menjadi korban dalam hal tepat waktu untuk berinvestasi terhadap suatu peluang karena resiko yang belum diketahui.
x Model Bisnis (business model trap), di mana terjadi ketika perusahaan yang mencari inovasi tersebut berbenturan dengan model bisnis perusahaan di dalam hal strategi dan kompetensinya. Padahal, jika inovasi tadi memerlukan perubahan yang benar- benar berbeda dari strategi dan kompetensi perusahaan terhadap persyaratan- persyaratan bisnis perusahaan yang dijalankan, maka potensi terhadap inovasi tersebut hilang atau terkubur.
Gambar 4. Jebakan Kinerja, Komitmen, dan Model Bisnis (sumber: Linder, 2006)
5.0 STRATEGI BISNIS & KEUNTUNGAN PERSAINGAN
Knight (2001) mengatakan, “Jika anda ingin berhasil dalam berinovasi, maka harus dipastikan bahwa anda mengalokasikan sumber- sumber daya dalam satu konteks organisasi di mana proses- prosesnya menfasilitasi dan nilai-nilainya memprioritaskan inovasi.” Inovasi ini bisa dikatakan berhasil, terhadap produk atau layanan yang ditawarkan kepada konsumen, bila dengan inovasi tersebut perusahaan dapat meningkatkan pertumbuhan bisnisnya dalam perspektif keuntungan persaingan (competitive advantage) melalui nilai yang ditangkap oleh masyarakat konsumen sebagai pembeda. Sebab menurut Porter (1996), keuntungan persaingan adalah tentang menjadi pembeda, di mana esensinya dilakukan melalui strategi (gambar 5.) dengan melakukan aktifitas-aktifitas secara berbeda daripada para pesaingnya.
Gambar 5. Strategi Generik Porter
Namun, menurut Kandampuly (2002), keuntungan persaingan terhadap segmen produk atau layanan telah menjadi suatu bukti yang kuat bahwa hal tersebut memberikan pengaruh yang sedikit terhadap pembedaan dari persaingan produk- produk dari perpektif kacamata konsumennya. Untuk itu, maka berlomba dan bersaing dengan harga murah dalam hal produk jasa dan layanan sebagai suatu strategi, kini bukanlah keuntungan persaingan. Begitu pula untuk menjadi inovasi yang menguntungkan, bila nilai yang ditawarkan adalah terbatas kepada harga dan konsumen sebagai pengguna. Sebab keadaan
Hofstede (2002) mengatakan, bahwa identifikasi dari segmen- segmen dari pasar seringkali dipengaruhi oleh tanggapan dari konsumen terhadap harga. Padahal gol dari segmentasi pasar, menurut Wedel (1999), adalah untuk mengidentifikasikan individu- individu konsumen terhadap suatu produk atau layanan, yang menghasratkan mereka terhadap keuntungan- keuntungan yang serupa dengan menampilkan perilaku- perilaku yang sama. Oleh karenanya, bentuk segmen- segmen yang secara relatif homogen demikian haruslah digerakkan menjadi sebuah persilangan segmen yang heterogen.
Christensen & Raynor (2003) menawarkan strategi inovasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan melalui pengertian sebagai penyokong (innovation sustainer) dan pengganggu (innovation disruptor). Inovasi penyokongan ditargetkan pada permintaan terhadap konsumen- konsumen untuk produk/ layanan ‘high-end’ dengan kinerja yang lebih baik daripada apa yang sebelumnya tersedia. Sedangkan inovasi penggangguan, tidak mencoba membawa produk- produknya lebih baik terhadap konsumen- konsumen yang telah terbentuk di dalam pasar yang ada (misal, antara produk 3G vs. produk yang telah ada). Di dalam inovasi penggangguan, produk- produk dari penggangguan ‘new market’ (pasar baru) bersaing dengan bukan kosumsi, sebab produk/layanan yang dibuat adalah begitu pantas dimiliki dan sederhana untuk digunakan, yang memungkinkan satu keseluruhan populasi mulai memiliki dan menggunakan produk/ layanan (misal, kamus, chatting, dan games). Sedangkan inovasi penggangguan dengan produk/layanan ‘low- end’, dilakukan dengan cara sekedar menampilkan model bisnis berbiaya rendah dengan mengambil porsi yang kurang menarik dari konsumen- konsumen perusahaan yang telah terbentuk. (misal, mahasiswa)
Sekalipun pengganggu ‘new market’ semula adalah bersaing terhadap bukan kosumsi (non-consumption) dalam jaringan kerja nilai uniknya, maka sejalan dengan semakin meningkatnya kinerja mereka, maka mereka dapat cukup baik untuk menarik konsumen dari jaringan nilai aslinya semula kepada sesuatu yang baru dimulai dengan porsi permintaan yang sedikit. Dengan demikian, maka penggangguan pasar tadi akan membuat pemegang-tampuk (incumbent) mengabaikan penyerangnya, dan penggangguan ‘low-end’akan memotivasi pemegang tampuk untuk meninggalkan penyerangnya. Oleh karenanya, maka untuk itu perusahaan perlu melakukan penggangguan dengan cara kombinasi (hybrids) melalui pendekatan ‘new market’ dan ‘low-end’.
Tarif murah yang merupakan penggangguan produk/ layanan‘low end’ sebagai strategi persaingan adalah akan lebih mudah bagi suatu perusahaan dalam menghajar para pesaingnya jika para pesaingnya ini meninggalkan area ‘peperangan’ tersebut daripada melawannya. Namun pada kenyataannya, tarif murah kini menjadi tawaran yang hampir semua perusahaan lakukan, sehingga persaingan menjadi begitu sengit. Di dalam bersaing terhadap perang tarif murah seperti di dalam bisnis penyedia layanan telekomunikasi nirkabel ini, apakah yang sebaiknya perusahaan lakukan? Apakah operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel, seperti Excelcomindo, perlu dan harus lakukan di dalam arena persaingan ini?
5.1 LOKALISASI (LOCALIZATION)
Perusahaan- perusahaan terkemuka dalam jasa dan layanan, menurut Kandampully (2006), secara berhasil memperkenalkan produk- produk maupun layanan mereka terhadap pasar dengan cara memberikan dan menawarkan jauh melebihi apa yang konsumen harapkan. Lagipula, ini karena bahwa di dalam benak konsumen, suatu perusahaan memelihara posisi kepemimpinan pasarnya dengan terus menerus beroperasi pada bagian pangkal (‘cutting-edge’) dan memperpanjang parameter- parameter konvensionalnya.
Perusahaan- perusahaan jasa dewasa ini, diharapkan dapat menarik konsumen- konsumennya dengan kreatifitas dan inovasi. Sehingga dalam kaitannya dengan operasional perusahaan, inovasi diterjemahkan sebagai pandangan perusahaan terhadap “think for customer” (berpikir untuk konsumen) dengan menciptakan layanan- layanan yang menggerakkan (drive) pasar melalui nilai yang unggul terhadap konsumen. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah yang dapat ditawarkan kepada pasar dan konsumen dengan jauh melebihi apa yang mereka harapkan dari harga murah yang telah diberikan melalui produk atau layanan yang diberikan?
Menurut Rigby (2006), komunitas konsumen tumbuh lebih beragam dalam hal etnik, kesejahteraan, gaya hidup, dan nilai- nilai. Oleh karenanya, lokalisasi produk/
layanan akan secara berhasil bila diletakkan untuk mendapatkan kesimbangan yang tepat. Namun resikonya adalah, bila terlalu banyak lokalisasi, maka dapat mengurangi nilai brand-merek dan mengarah kepada penggelembungan biaya. Demikian pula jika terlalu banyak standarisasi, maka dapat membawa kemandegan (stagnation) dan menghantam perusahaan dengan mengecilnya pangsa pasar mereka dan berkurangnya keuntungan yang didapatkan. Dengan demikian, maka lokasisasi yang bagaimanakah yang menguntungkan dari pasar dan konsumen terhadap perusahaan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis mereka?
Sebagai contoh, pada masyarakat perkotaan - terutama di kota- kota besar, tidaklah menjadi sesuatu yang mengherankan bila satu konsumen secara individu memiliki lebih dari 1 buah telepon genggam. Apalagi bila memiliki lebih dari 1 nomer telepon dari operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel yang berbeda. Sekalipun demikian, biaya dan kosumsi terhadap layanan yang dipergunakan adalah keduanya saling dipersilangkan dalam pemakaiannya sehubungan dengan masa aktif untuk menelopon atau mengirimkan pesan keluar dan menerima telepon atau pesan dari luar. Seorang individu yang memiliki lebih dari 1 buah nomer telepon, tidak serta merta mengeluarkan biaya secara bersamaan untuk kedua nomer telepon yang dibelinya. Misalnya, pada bulan ini individu konsumen tadi mengeluarkan biaya untuk membeli pulsa telepon (pra-bayar) dari operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel A sehingga membolehkannya menerima dan melakukan panggilan atau pesan singkat, sementara nomer telepon dari operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel lainnya (misalnya B) untuk sementara di ‘standby’-kan hanya untuk menerima panggilan dan pesan singkat. Individu konsumen ini melakukan ‘cash flow’ dan pembagian biaya yang dikeluarkan terhadap teleponnya, untuk mendapatkan keuntungan dari banyaknya kemungkinan yang diperoleh bagi dia untuk mendapatkan panggilan dan informasi melalui pesan singkat, serta memungkinkan dia untuk membalasnya (1 aktif & 2 pasif). Untuk nomer telepon dari operator B, dilakukan pada bulan berikutnya seperti terhadap nomer telepon dari operator A, di mana nomer telepon A kemudian di-standby-kan seperti
1 buah nomer telepon yang terbatas hanya pada 1 saluran saja, dan pada kondisi melewati batas masa aktif untuk melakukan panggilan atau mengirimkan pesan, maka individu konsumen tadi menjadi bersifat pasif murni. Belum lagi bila individu konsumen membeli satu nomer telepon yang berharga diskon (untuk jenis pra-bayar), sehingga pulsa yang diperoleh melebihi harga jualnya, namun pemakaian nomer telepon ini hanya terbatas sampai pulsanya habis dan kemudian dibuang. Bukankah keadaan tadi menggiring operator penyedia layanan telepon nirkabel terbebani dengan pasifnya individu konsumen dalam melakukan telekomunikasinya dan juga alokasi nomer telepon yang harus disediakan (yang berkaitan dengan teknologi dan program dalam jaringannya), padahal proses operasional dan pemeliharan yang dilakukan adalah membutuhkan biaya yang ditanggung perusahaan?
Akan berlainan halnya, bila nomer telepon dari operator penyedia layanan adalah disediakan bagi konsumen dengan suatu keterikatan dari identitas konsumen itu sendiri sebagai lokalisasi. Misalnya, untuk konsumen korporasi, di mana nomer telepon yang dialokasikan untuk korporasi tersebut adalah unik, dan kepemilikannya mengikutsertakan korporasi tersebut di dalam proses pemasaran dari operator penyedia layanan nirkabel beserta para pegawainya. Atau untuk konsumen mahasiswa, yang pemasarannya melibatkan pihak uiniversitas, di mana keterikatannya terjalin dengan cara memberikan layanan terhadap universitas, sementara pihak universitas mengikat dan melibatkan mahasiswa sebagai konsumennya. Selain dapat dipastikan bahwa mahasiswa tidak akan beralih kepada operator penyedia lain (sekalipun mereka memiliki nomer telepon dari operator lain), namun keterikatan terhadap informasi dari kampus tersebut menjadi bagian dari keseharian aktifitas mahasiswa tadi (terutama selama statusnya sebagai mahasiswa). Tinggal persoalannya adalah, apakah bagi mereka yang pasif (dengan cara men-standby- kan nomer teleponnya karena tidak membeli pulsa) akan berakibat pada diberikannya layanan infomasi melalui telepon genggam mereka dari pihak kampus atau tidak. Tentunya banyak ragam yang dapat dibuat untuk memformulasikan keadaan yang sejenis serupa hal ini, di mana pihak konsumen (dalam hal ini pihak universitas) secara tidak langsung turut bertanggungjawab dan terikat terhadap pertumbuhan bisnis operator penyedia layanan telekomunikasi nirkabel ini (selama keterikatan ini juga menguntungkan mereka).
5.2 PASAR DUA SISI (TWO-SIDED MARKET)
Eisenmann (2006) mengatakan bahwa, produk- produk dan jasa- jasa yang membawa kelompok- kelompok dari para pengguna secara bersama- sama di dalam
jaringan 2 sisi pasar merupakan platform dari inovasi untuk bersaing. Dengan menyediakan infrastruktur dan aturan- aturan yang memfasilitasi transaksi- transaksi dari
2 kelompok dari pasar dan konsumen, maka perusahaan dapat mengambil dan mengundang banyak ‘tamu’ sebagai keuntungan
Sebagaimana kita tahu, bahwa di dalam persaingan industri- industri, faktor harga adalah ditentukan secara luas melalui biaya marjinal dari hasil satu unit ekstra yang marjinnya cenderung menipis. Di dalam industri dengan penghalang (barrier) yang tinggi terhadap masuknya pengikut-serta (entrants), maka plafon harganya adalah ditentukan oleh kemauan konsumen untuk membayar harga yang ditawarkan, sehingga marjinnya adalah cenderung lebih ‘gemuk’. Namun, prospek dari peningkatan pendapatan terhadap skala dalam jaringan industri adalah dapat menggiring perusahaan kepada pemikiran
Sekalipun anda dapat melakukan satu pekerjaan yang besar dalam kaitannya terhadap harga dan sebagai pemenang yang mengambil semua tantangan, serta berhasil membangun platform baru, maka anda akan menghadapi bahaya yang besar karena platform anda dapat ‘dibungkus’ oleh platform penyedia yang masuk ke pasar anda. Oleh karenanya, menurut Kandampully (2002), jaringan kerja hubungan ekternal menjadi satu prasyarat inti bagi kemampuan satu perusahaan untuk dicapai, serta diperlukan pengetahuan untuk melayani kebutuhan konsumen secara holistik (misal, hubungan antara operator penyedia layanan nirkabel dengan pihak universitas dan mahasiswa, dan tawaran apa yang pihak universitas dan mahasiwa inginkan)
Dengan pasar dua-sisi ini, suatu penyedia layanan telekomunikasi melalui infrastrukturnya, dapat saling mensubsidikan harga layanan yang ditawarkan terhadap kedua kelompok penggunanya. (misal, universitas vs. mahasiswa dan/atau universitas vs. perbankan). Demikian pula terhadap biaya inovasi dan pengembangan, yang dapat saling dapat dipertukarkan antara penyedia dengan kelompok penggunanya, sekaligus juga memperkuat kemitraan yang terjalin diantara para perusahaan sebagai penyedia dan konsumennya.
5.3 INOVASI LAYANAN MEJADI INOVASI SOLUSI
Shepherd (2000) mengatakan bahwa, di dalam hal untuk menyediakan nilai dan memenangkan konsumen, maka perusahaan- perusahaan perlu secara cepat dan tepat mengidentifikasikan perubahan- perubahan dalam kebutuhan dan keinginan konsumennya dengan cara membangun produk- produk atau layanan- layanannya secara lebih kompleks untuk memuaskan kebutuhan tersebut melalui penyediaan derajat- derajat yang lebih tinggi dari dukungan konsumen dan layanan- layanan, yang juga menggunakan kekuatan teknologi informasi di dalam penyediaan lebih besar terhadap fungsionalitas, kinerja, dan kelayakan dari produk atau layanan yang ditawarkan (Misal, teknologi informasi di pihak universitas memungkinkan mahasiswa untuk dapat menerima dan mengakses nilai akademis sesuai dengan nomer induk dan nomer teleponnya). Hal ini terjadi karena pada saat yang bersamaan, para perusahaan di dalam suatu industri, melihat marjin- marjin dari produk atau layanan yang ditawarkan tersebut diperbandingkan terhadap komponen- komponen produk atau layanannya sehingga menjadi meningkatnya komoditisasi produk.
Di dalam satu lingkungan yang berpusat pada pemikiran tentang ‘produk’, tim- tim penjualan menjadi terbanjiri dengan pandangan pada satu dominasi perangkat keras dari target- target pendapatannya, yang tergandakan dengan peningkatan kompleksitas dari satu portofolio sebagai sebab karena perusahaan mencoba mempertahankan beberapa derajat dari pembedaan di dalam pasar yang mereka pilih.
Untuk itu, menurut Y.Doz (2004), maka keuntungan dari satu inovasi hendaknya dilakukan terhadap proses dalam perusahaan untuk dapat mengakses jenis- jenis yang
6.0 STRATEGI DALAM PERANG TARIF DAN INOVASI UNTUK PERTUMBUHAN BISNIS SERTA MEMENANGKAN PASAR
Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi pada masa mendatang, para perusahaan perlu memutuskan tali ‘lingkaran setan’ dari benchmark persaingan, peniruan (imitation) dan pengejaran untuk sama (pursuit). Menurut W. Chan Kim, hal ini memerlukan satu perubahan yang mendasar di dalam fokus strategi perusahaan, di mana para perusahaan perlu mendorong para manajer mereka untuk mengejar apa yang dikatakan sebagai ‘inovasi nilai’. Caranya adalah dengan memperhatikan terhadap apa yang sebenarnya konsumen inginkan.