Hubungan Antara Neutrophil – Lymphocyte Count Ratio Dengan Kadar Procalcitonin Pada Pasien Sepsis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. SEPSIS
2. 1.1 Definisi

Defenisi sepsis pertama sekali diperkenalkan oleh American college Of Chest
Physicians (ACCP) dan The Society Of Critical Care Medicine (SCCM) Consensus
Conference padea tahun 1991, dimana sepsis diartikan sebagai suatu respons inflamasi
sisemik (systemic inflammatory response) terhadap infeksi3. Tabel 2.1. Kriteria diagnostik
untuk sepsis.
Tabel 2. 1 Kriteria Diagnostik
Sepsis (

Beberapa tahun terakhir ada usaha untuk mengambarkan status imunologi pasien
sepsis. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), untuk menerangkan proses non-

spesifik, sistemik aktifasi dari system imun bawaan dan respons sitokin pro-inflamasi selama
terjadinya sepsis. Manifestasi SIRS dapat berupa dua atau lebih dari gejala berikut : 1) Suhu
> 38⁰C atau < 36⁰C; 2) Takikardia (HR > 90 kali/menit; 3) Takipneu (RR > 20 kali/menit)
atau PaCO2 < 32 mmHg; 4) Lekosit darah > 12.000/µL,

10%.
Sebaliknya istilah Compensatory Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS)
telah digunakan untuk mendefenisikan status imunologi pasien pasien sepsis yang manifestasi
utamanya berupa gambaran deaktifasi dari sel makrofag, jumlah dari sel antigen presenting
yang berkurang, anergy dari sel-T, dan perubahan T-helper yang didominasi menjadi TH-2
respons. Pasien sepsis yang status imunologiknya memiliki gambaran yang lebih heterogen
disebut Mixed Anti-Inflammatory Response Syndrome (MARS), meskipun defenisi ini
belum sering digunakan oleh para ahli sepsis36.
Adanya infeksi merupakan dasar dari patofisiologi dari sepsis, dan sepsis hanya
ditegakkan pada keadaan SIRS bila infeksi dapat dipastikan (kultur kuman positif) atau
diduga secara kuat. Namun terdapat 30% pasien sepsis yang tidak dapat dipastikan infeksi
penyebabnya. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak
harus terdapat bakteremia36-39. Secara klinis sepsis dapat bertambah berat atau memburuk,
yaitu menjadi sepsis berat atau syok sepsis. Derajat keparahan sepsis dapat mempengaruhi
prognosis secara independen40.
Sepsis berat adalah sepsis yang berhubungan dengan adanya disfungsi organ (satu
atau lebih) hipoperfusi jaringan atau hipotensi. Hipoperfusi termasuk asidosis laktat, oligouria
dan perubahan status mental3. Adapun pertanda spesifik dari disfungsi organ adalah : 1)
Renal : urine output < 0.5 ml/kg/bb/jam yang menetap setelah resusitasi cairan, atau
peningkatan kreatinin serum > 2 mg/dl atau memerlukan dialysis akut; 2) pernafasan :

PaCO2/FiO2 ≤ 200; 3) hematologi : trombosit < 100.000/mm3 atau penurunan > 50% dalam
72 jam atau adanya keadaan koagulopati, yang ditandai dengan Prothrombin time dan partial
thromboplastin time memanjang, FDP meningkat, atau juga terjadinya suatu disseminated
intravascular coagulation (DIC); 4) asidosis metabolik; kombinasi PH≤ 7.30 atau deficit basa
≥ 5 mmol/L yang berhubungan dengan kadar laktat serum > 1x mmol/L 5) perubahan status
mental; 6) gangguan hepatic; adanya jaundice atau hiperbilirubinemia, peningkatan
transminase serum, alkaline phosphatase, peningkatan nilai INR > 1,53,41. Tabel 2.2 Kriteria
Sepsis Berat.

Tabel 2.2 Kriteria diagnostik Sepsis Berat

Sedangkan syok sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi (TDs < 90 mmhg, atau
penurunan ≥ 40 mmhg dari tekanan darah sebelumnya) tanpa ada penyebab hipotensi lainnya
yang menetap walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat3,41,42.

2.1.2. Epidemiologi
Sepsis dalam 20 tahun terakhir meningkat di Amerika Serikat, diperkirakan jumlah
kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data di Amerika Serikat menunjukkan pada
tahun 1979 tercatat 164.000 kasus sepsis (87,2/100.000 populasi), sedangkan pada tahun
2000 tercatat 600.000 kasus (240,4/100.000 populasi) sehingga terjadi peningkatan insiden

pertahun 8,7%. Sepsis merupakan penyebab terbanyak kematian di ruang rawat intensif pada
seluruh dunia dengan angka mortalitas 28.6% untuk sepsis, 32.2% sepsis berat dan 54%%
syok sepsis. Di Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian utama pada pasien
jantung yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU)1,43 .

2.1.3. Etiologi
Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, virus, atau benda
asing yang masuk kedalam system sirkulasi. Selama periode 1979 – 2000 di Amerika Serikat
angka sepsis terus meningkat sampai 13,7% per tahun. Dari hasil biakan kuman yang
tumbuh, 52,1% diantaranya adalah gram positif, 37,5% gram negative, 4,7% polimikrobial,
4,6% jamur, dan 1% bakteri anaerob. Infeksi bakteri gram positif terus meningkat disebabkan
oleh peningkatan infeksi nosokomial dari berbagai sumber seperti kateterisasi atau terapi
imunosupresif. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya kasus MRSA (Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus) dari 29% menjadi 45%. Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas

(40-44%), diikuti oleh infeksi saluran genitourinarius (9-18%) dan infeksi intra abdominal (914%)43.
2.1.4. Patogenesis dan patofisiologi sepsis
Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara organism penyebab
infeksi dan host imun. Kedua hal yakni respon host dan karakteristik dari organisme
penyebab infeksi mempengaruhi outcome sepsis44.

Pada sepsis diawali dengan aktifasi sistem imun bawaan, sebagai respons terhadap
infeksi, melalui pengenalan terhadap benda asing yakni lipopolisakarida bakteri(endotoksin
atau LPS). Mekanisme ini antara lain pelepasan sitokin, aktifasi neutrofil, monosit dan
makrofag dan sel endotel serta aktifasi komplemen, koagulasi, fibrinolitik, dan system
kontak38,45,62.
Gambar2.1. Respons Imun Terhadap Infeksi Organisme

(Dikutip dari : Annane D., Bellissant E., Cavaillon J-M. Septic Shock, The Lancet, 2005)

Toll-like receptors(TLR) mengatur mekanisme pertahanan tubuh dan berperan penting dalam
aktifasi imun bawaaan. TLR adalah reseptor pada permukaan sel yang mengenali komponen
molekuler dari mikroorganisme. Pada fase awal dari infeksi, TLR mengaktifasi system imun
bawaan dan menghancurkan pathogen dari makrofag, natural killer cells dan system
komplemen. Pada fase kedua, TLR mengaktifasi system imun didapat dengan mengaktifasi
limfosit T dan B. Disini produksi sitokin berperan penting. Makrofag dan monosit yang

teraktifasi adalah sel yang utama yang menghasilkan sitokin, tapi fibroblast, neutrofil dan sel
endotel juga dapat menghasilkan sitokin37,46.
TLR-4 mengenali LPS bakteri gram negatif, TLR-2 mengenali peptidoglycan bakteri
gram positif. Ikatan TLR dengan epitop pada mikroorganisme akan mengaktifkan

intracellular signal transduction pathway yang mengaktifkan cytosolic nuclear factor kB (NFkB). NF-kB meningkatkan transkripsi sitokin.Sitokin akan mengaktifkan sel endotel dengan
meningkatkan ekspresi molekul permukaan dan memperkuat adhesi neutrofil dan endotel di
tempat infeksi. Sitokin juga menyebabkan injuri sel endotel melalui induksi neutrofil,
monosit, makrofag dan trombosit yang melekat pada sel endotel.
Sitokin melepaskan mediator seperti protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrine.
Protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrien, akan merusak sel endotel, menimbulkan
peningkatan pemeabilitas, vasodilatasi dan perubahan keseimbangan prokoagulan dan
koagulan. Sitokin juga mengaktifasi kaskade koagulasi. Selain itu endotel yang teraktifasi
akan melepaskan nitric oxide (NO), suatu bahan vasodilator poten yang berperan pada shock
sepsis 42,44,45,47.
Sitokin dibedakan menjadi proinflamsi dan anti inflamasi, tergantung fungsinya.
TNF-α, IL-1ß, IL-6, Il-8, Il-12 adalah sitokin proinflamasi utama yang berperan dalam
aktifasi awal dari respons inflamasi sistemik pada sepsis. TNF-α terutama diproduksi oleh
monosit dan makrofag, dan bekerja merangsang produksi molekul adhesi pada sel endotel
serta system koagulasi dan komplemen38.
IL-1 terutama dihasilkan oleh monosit dan makrofag. IL-1ß dan TNF-α mempunyai
efek sinergik. IL-1ß merangsang produksi IL-6, IL-8 dan TNF-α dan dapat menyebabkan
perubahan hemodinamik sama seperti shock sepsis. Pada banyak penelitian didapat bahwa
kadar IL-1ß tidak berhubungan dengan beratnya penyakit, sedangkan TNF-α berhubungan
dengan beratnya penyakit pada beberapa studi.

Sepsis juga mengaktifkan produksi dan pelepasan sitokin anti inflamasi. IL-1 receptor
antagonist (IL-1ra) menghambat IL-1, yang berikatan secara kompetitif dengan reseptor IL-1
dan menghambat kerja IL-1. IL-1ra dihasilkan terutama oleh makrofag, Beberapa studi gagal
membuktikan bahwa pemberian IL-1ra pada sepsis dapat memperbaiki mortalitas pada
sepsis.
IL-10 adalah sitokin anti inflamasi utama. Sitokin ini menghambat produksi TNF-α,
IL-1ß, IL-6, IL-8. Sitokin ini juga menekan pelepasan radikal bebas dan aktifitas NO serta
produksi prostaglandin. Beberapa sel yang dapat memproduksi IL-10 adalah CD-4, CD-8,
makrofag, monosit, limfosit B, sel dendrite dan sel epitel. Pada syok sepsis, monosit

merupakan sumber utama dari sitokin ini. IL-10 tidak hanya membatasi beratnya respons
imflamasi, tapi juga mengatur proliferasi sel T, sel B, natural killer cells, antigen precenting
cells, cel mast dan granulosit. Sitokin ini berperan dalam imun supresi, sebagai stimulator
imunitas bawaan dan imunitas TH-2. Beberapa studi mendapatkan bahwa pada keadaan
sepsis . kadar sitokin IL-10 meningkatdan lebih meningkat lagi pada syok sepsis.
IL-6 merupakan sitokin yang paling banyak diteliti pada sepsis dan paling sering
ditemukan meningkat.Kadarnya meningkat lebih lama dibandingkan TNF-α dan iIL-1ß.
Sitokin ini terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag dan sel indotel dan berhubungan
dengan derajat beratnya sepsis sehingga peningkatan yang persisten berhubungan dengan
perkembangan multiple organ failure (MOF) dan prognosis buruk. Sitokin ini mengatur

diferensiasi dari sel limfosit B dan T. Sitokin ini adalh pirogen endogen dan demam pada
pasien sepsis disebabkan oleh sitokin ini. Sitokin ini juga bersifat anti inflamasi yang
menghambat produksi sitokin pro-inflamasi lainnya dan respons yang adekuat dapat
mengaktivasi HPA pada critical illness38,42.
IL-8 berfungsi mengaktifasi dan sebagai kemotaksis netrofil ke tempat inflamasi.
Konsentrasi tinggi dari sitokin ini dapat merangsang infiltrasi netrofil, merusak endotel,
kebocoran plasma dan injuri jaringan lokal. Sebaliknya sitokin ini juga menghambat migrasi
netrofil apabila berada dalam sirkulasi, sehingga sitokin ini bersifat pro dan anti inflamasi.

2.1.5 Apoptosis pada sepsis.
Produksi yang berlebihan dari sitokin sitokin pro-inflamasi, seperti TNF-α dan
IL-1, merupakan faktor yang penting dalam perkembangan sepsis, namun beberapa studi
menunjukkan inhibitor sitokin pro-inflamasi seperti IL-1ra dan TNF reseptor antibody gagal
memperbaiki hasil akhir pasien sepsis7,48. System imun pasien sepsis akan menjadi anergi dan
tertekan setelah melewati masa hyper inflammatory respons10.
Hasil studi terbaru menunjukkan terjadinya mekanisme apoptosis dari sel
limfosit di limpa dan epitel saluran cerna pasien yang meninggal karena sepsis 14. Apoptosis
terjadi secara normal selama proses pertumbuhan dan penuaan dan sebagai mekanisme
homeostasis untuk mempertahankan jumlah sel dalam jaringan. Apoptosis juga terjadi
sebagai mekanisme reaksi imun atau oleh karena kerusakan yang disebabkan penyakit

maupun agen yang berbahaya bagi tubuh49. Ada dua alur utama yang terlibat dalam proses
apoptosis; alur reseptor apoptosis yang diinisiasi oleh caspase-8 pathway (extrinsic pathway)
dan alur mitochondria yang diiniasi oleh caspase-9 (intrinsic pathway)51,52. Baik caspase -8
dan caspase-9 dapat mengatikfasi capase-3 yang merupakan protease apoptosis yang penting

dalam alur akhir bersama dari program kematian sel-apoptosis. Caspase 8 yang merupakan
bagian dari alur ektrinsic dapat diaktifkan oleh beberapa ligand dari reseptor apoptosis yang
berbeda-beda termasuk oleh TNF-yang merupakan sitokin kunci yang meningkat pada pasien
sepsis, dan CD95L (juga dikenal sebagai FASL). Alur ekstrinsik (mitochondrial pathway)
dapat diaktifkan oleh berbagai macam rangsangan, termasuk reaktif oksigen species (ROS),
radiasi dan agen kemoterapi. Studi menunjukkan bahwa kedua alur ektrinsik (alur death
reseptor) maupun alur intrinsic (alur mitochondria) terlibat dalam apoptosis limfosit yang
disebabkan oleh sepsis. Studi yang dilakukan Hotchkiss dkk menunjukkan tikus yang
dipaparkan dengan B cell lymphoma 2 (BCL-2) yang merupakan protein anti apoptosis dalam
alur mitochondria terlibat mencegah apoptosis dari sel limfosit sel T dan sel B yang diinduksi
oleh sepsis

14

. Studi lain juga menunjukkan bahwa BCL-2 terlibat mencegah apoptosis sel


limfosit melalui alur ekstrinsik (death receptor pathway) oleh karena adanya komunikasi
tingkat sel diantara kedua alur tersebut52.
Gambar 2.,2 Respons Imun dan Kematian pada Sepsis

Gambar 2. 3. Alur Apoptosis Ekstrinsik dan Intrinsik

Meningkatnya apoptosis pada sel sel limfosit yang terjadi pada sepsis, berkontribusi
terhadap Multiple Organ dysfunction Syndrome (MODS). Ada dua mekanisme utama
mengapa apoptosis berkontribusi terhadap imun-paralisis pada pasien sepsis. Pertama,
Penurunan jumlah sel B dan sel T mengurangi kemampuan respon imun didapat maupun
bawaan dengan cara

penurunan jumlah sel dendritic, sel yang paling penting dalam

mempresentasikan antigen14. Supresi imun (Immunoparalysis) yang terjadi karena apoptosis
yang menyebabkan kehilangan dari sel limfosit berkontribusi terhadap infeksi sekunder.
Kedua fagositosis sel sel apoptosis sel limfosit oleh sel makrofag dan sel dendritic
juga menyebabkan supresi imun oleh karena proses fagositosis sel limfosit menyebabkan
pelepasan sitokin anti inflamasi seperti IL-10


24

. Hal ini menyebabkan supresi sitokin pro-

inflamasi dan juga inhibisi dari diferensisiasi sel Th-1. Hasil akhirnya berupa induksi anergy
dari system imun dan TH2 respons dari system imun.

Gambar 2.4. Dampak Apoptosis terhadap Imun sistem

Sementara sel sel limfosit mengalami apoptosis yang dipercepat, spontan apoptosis dari
neutrophil yang disebabkan sepsis tertunda hal ini disebabkan demarginasi neutrophil, dan
stimulasi oleh faktor pertumbuhan oleh G-CSF22,58.
Gambar 2.5. Hasil akhir dari Sepsis

(Dikutip dari : Oberholzer A, Shock. 2001;16:83-96)

Tingkat dari apoptosis limfosit berkorelasi dengan derajat beratnya sepsis. Oleh
karenanya memungkinkan untuk menentukan kondisi pasien sepsis apakah membaik atau
memburuk, dan jika perlu mengganti obat-obatan dengan melihat tingkat apoptosis limfosit

dari sirkulasi darah31.
Oleh

karenanya

respons

imun

terhadap

inflamasi,

secara

efektif

dapat

dikarakteristikkan dengan membandingkan relatif neutrophil count (%) dengan relatif
limfosit count (%) (NLCR). Dalam kondisi fisiologis, neutrophil limfosit count ratio kurang
dari 5 dianggap normal dengan asumsi nilai normal neutrophil kurang dari 75% dan hitung
relative dari limfosit paling tinggi 15% sehingga rationya menjadi 75%/15% = 5. Dalam
kondisi patologis seperti infeksi berat ratio ini dapat menigkat dimana neutrophilia menjadi
84% dan lymfositopenia menjadi 14%, sehingga NLCR nya = 6. Namun nilai cut-off ini juga
berbeda beda tergantung institusi dan rumah sakitnya.
Zahorec dkk menunjukkan nilai NLCR yang semakin meningkat dengan semakin
beratnya penyakit pada pasien critically ill28. LR. Ljungstorm dkk juga menemukan
penigkatan nilai NLCR yang bermakna pada sepsis berat oleh karena infeksi E coli53. Roser
dkk menggunakan NLCR sebagai prognostic petanda pada pasien sepsis bakteremia dengan
nilai cut-off > 7.Nilai cut-off >7 merupakan independent risk faktor terhadap mortalitas
pasien sepsis dengan bakteremia54. De jager dkk menyatakan lymphocytopenia dengan
NLCR >10 merupakan petanda yang lebih baik untuk memprediksi bakteremia dibandingkan
conventional petanda seperti CRP, WBC, dan neutrophil count32. Holub dkk menggunakan
nilai cut-off NLCR 6.2 untuk digunakan sebagai biopetanda terhadap infeksi bakteri dan
membedakannya dengan infeksi virus

33

. Holub menyatakan bahwa NLCR dengan cut-off

6.2 memiliki sensitifitas 0.91 dan spesifitas 0.96 untuk bakteremia.

2.1.6 Biosintesis dan patofisiologi procalcitonin
PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma. PCT adalah
protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM ±13 kDa, yang dikode dengan gen
Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai
prohormon dari calcitonin.
Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue-specific alternative
splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1 – 4 dari 6 exon yang merupakan kode untuk
prePCT, adalah sebuah rantai peptide yang terdiri dari 141 asam amino dimana memiliki
sebuah rantai peptide yang terdiri dari 25 asam amino signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar

tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA), calcitonin (32
AA), dan katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide membuat PCT disekresikan secara
intak setelah glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang
mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP), dimana CGRP dieskpresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah, dan
saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalan immunomodulasi, neurotransmitter, dan
mengontrol vaskuler56.
Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C
cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua produk-produk
biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenitas small cell carcinoma pada paru
manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear darah perifer manusia dan
bermacam-macam sitokin proinflamatory dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi.
Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit manusia yang tidak distimulasi mengandung protein
PCT yang dapat didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida
bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal yang
meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh lipopolisakarida.
Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolis spesifik gagal sehingga terjadi
konsentrasi yang tinggi dari protein precursor, begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi
dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi belum diketahui
dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini dianggap sumber utama
PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu menghasilkan PCT pada
keadaan sepsis.
Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi
lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah rendah. Peninggian konsentrasi PCT, pertama kali
terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu ± 12 jam. Setelah 2 – 3 hari,
kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat
akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien dengan infeksi berat atau
sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi PCT pada respon imun akut.
Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah, karena itu
kadar PCT tidak terdeteksi ( 2 ng/ml merupakan nilai yang paling sensitif dan
spesifik dalam mendiagnosis sepsis (87% dan 80% secara berurutan) 65,66.

2.1.7 Hal-hal yang mempengaruhi kadar procalcitonin
Kadar PCT sangat stabil baik secara in vivo atau ex vivo walaupun pada suhu ruangan.
Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak mempengaruhi konsentrasi PCT secara
signifikan. Konsentrasi PCT pada sampel arteri dan vena juga tidak berbeda. Tidak ada
perbedaan konsentrasi PCT dalam sampel serum dan plasma dengan anti koagulan yang
berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium-heparin. Bagaimanapun,
perbedaan ini sangat kecil dengan rata-rata perbedaan 8 ng/ml) dan kadar rendah (PCT 2 ng/ml 61.