Hubungan Antara Neutrophil – Lymphocyte Count Ratio Dengan Kadar Procalcitonin Pada Pasien Sepsis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan masalah kesehatan dunia yang dihubungkan dengan tingginya angka
kematian yang dapat mencapai sampai 30%-60%1. Sepsis didefenisikan sebagai infeksi
(sangkaan atau terbukti) yang disertai dengan respon inflamasi sistemik/ SIRS (Systemic
Inflammation Response Syndrome). Keadaan ini berasal dari interaksi antara mikroorganisme
pathogen dan sistem kekebalan tubuh yang memicu respons peradangan /inflamasi yang
berlebihan dan tidak teratur yang bersifat merusak2. Sepsis berat didefenisikan sebagai
keadaan sepsis disertai dengan disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Sedangkan syok
sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi (TDs < 90 mmhg, atau penurunan ≥ 40 mmhg
dari tekanan darah sebelumnya) tanpa ada penyebab hipotensi lainnya yang menetap
walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat3. Diagnosis dan penanganan yang
tertunda dari sepsis menyebabkan perburukan penyakit yang dapat menyebabkan kolapsnya
sirkulasi, gagal organ multiple dan kematian. Oleh karenanya, diagnosis yang akurat dan
tepat waktu akan mencegah kematian, mengurangi beban biaya perobatan, dan memperbaiki
hasil akhir dari pasien. Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti berusaha mencari
parameter yang sederhana dan mudah tersedia yang merefleksikan intensitas/keparahan dari
stress/inflamasi sistemik dari pasien pasien yang mengalami sepsis.
Pertanda infeksi tradisional seperti hitung leukosit/white blood cell (WBC) count,
hitung neutrophil dan C-reactive protein (CRP) memiliki keterbatasan dalam mendeteksi
secara sepsis secara dini4. Petanda baru dari sepsis yaitu procalcitonin, memiliki nilai akurasi
yang lebih baik dari petanda sebelumnya5, namun dibatasi oleh harga yang relatif mahal dan
tidak semua sarana kesehatan mampu menyediakannya. Oleh karena itu masih perlu dicari
petanda yang dapat memprediksi sepsis dengan baik, secara sederhana, murah dan juga
mudah digunakan dalam praktek sehari hari tanpa ada biaya tambahan.
Teori yang utama mengenai sepsis adalah tentang adanya respons inflamasi yang
sangat berlebih yang mana sitokin sitokin inflamasi –sebagai bagian dari mekanisme
pertahanan tubuh menyebabkan kerusakan sel dan organ secara signifikan. Konsep ini berasal
dari studi studi tentang endotoxin atau injeksi bakteri dalam jumlah besar ke dalam vena yang
menggunakan Esheria coli sebagai sumber infeksi pada sepsis6. Kematian pada binatang
percobaan dalam studi ini berasal disebabkan oleh “badai sitokin” dan sitokin-spesifik terapi
memperbaiki harapan hidup. Namun beberapa studi tentang sitokin atau agen spesifik anti
inflamasi seperti tomour-necrosis factor (TNF) dan terapi spesifik interleukin-1(IL-1), gagal
memperbaiki angka keselamatan/survival pada pasien sepsis, bahkan dalam beberapa kasus
memperberat kondisi sepsis7. Kegagalan kegagalan dalam studi ini menuntun pada penilaian
ulang konsep bahwa kematian pada sepsis disebabkan oleh respons inflamasi yang sangat
berlebih (hyper-inflammatory response)8.
Pada model binatang maupun manusia yang secara klinis dinyatakan sepsis,
menunjukkan bahwa respon awal berupa respons inflamasi yang sangat berlebih (hyper –
inflammatory response) akan segera diikuti dengan berkembangnya anti inflamasi yang
menetap atau keadaan imunosupresive yang dinyatakan sebagai “immunoparalysis”9,10,11.
Besarnya dan lamanya keadaan respons fase awal inflamasi yang sangat berlebih (hyperinflammatory response) pada sepsis ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk jumlah dan
virulensi dari mikrorganisme, genetik dari pejamu dan keadaan penyakit penyerta/komorbid12. Hanya sebagian kecil pasien pasien dengan sepsis seperti meningococcemia atau
toxic shock syndrome akan meninggal pada fase awal yang disebabkan oleh infeksi yang
tidak terkontrol dan respons inflamasi yang berlebih (hyper-inflammatory response). Terapi
Anti inflamasi mungkin efektif pada fase awal dari sepsis ini. Namun kebanyakan pasien
pasien sepsis akan melalui fase awal tersebut dan mengembangkan keadaan respons inflamasi
yang rendah (hypo-inflammatory), immunosuppressive state, yang dimanifestasikan dengan
ketidak mampuan untuk mengeradikasi infeksi primer dan atau munculnya infeksi sekunder
yang baru13. Kenyataan bahwa banyak bakteri bakteri yang bertanggung jawab untuk skunder
infeksi, infeksi yang didapat dari rumah sakit tidak secara khusus berbahaya pada pasien
normal, system imun yang normal menunjukkan keadaan imunosupresi pada pasien sepsis.
Salah satu perkembangan yang paling penting dalam penelitian sepsis adalah peran
serta apoptosis dalam disfungsi imun pada pasien sepsis. Mekanisme utama dari respons anti
inflamasi pejamu selama sepsis adalah terjadinya apoptosis sel dari system imun didapat dan
bawaan yang hasil akhirnya adalah efek immunosuppressive. Autopsi dari pasien sepsis yang
meninggal dalam 30-90 menit menunjukkan apoptosis yang luas dari limfosit dan kerusakan
epitel sel saluran cerna14.Temuan ini sama dengan hasil dari studi pada binatang pada
beberapa penelitian15,16,17. Secara normal fisiologis sel limfosit mengalami apoptosis, namun
sepsis menyebabkan terjadinya apoptosis yang sangat cepat18. Studi yang dilakukan
Hotchkiss dkk menyatakan terjadi penurunan jumlah B sel dan CD4 T sel dari limpa pasien
sepsis dibandingkan pasien critically ill non sepsis19,20.
Ada dua mekanisme utama mengapa apoptosis berkontribusi terhadap imun-paralisis
pada pasien sepsis. Pertama, Penurunan jumlah sel B dan sel T mengurangi kemampuan
respon imun didapat maupun bawaan dengan cara penurunan jumlah sel dendritic, sel yang
paling penting dalam mempresentasikan antigen21,22. Kedua, terjadinya induksi dari anergi
respons T helper 2 pada sel imun yang selamat. Uptake dari sel sel yang mengalami apoptosis
oleh sel makrofag dan dendritik sel merangsang imun tolerans dengan pelepasan dari sitokin
anti inflamasi, IL10 dan transforming growth factor-B (TGFB) dan menekan pelepasan
sitokin pro inflamasi23,24,25,26,27.
Neutrophilia, fenomena yang berlawanan selama sepsis disebabkan oleh demarjinasi
sel neutrophil, penundaan apoptosis dari sel neutrophil, dan perangsangan stem sel oleh
factor pertumbuhan (G-CSF)28.
jilma dkk(1999) mendemonstrasikan dengan jelas tentang perubahan yang terjadi
terhadap monosit, limfosit, dan neutrophil pada darah tepi pada percobaan endotoxemia pada
manusia dengan menyuntikkan lipopolisakarida29. Dalam 2-4-6 jam terjadi perubahan
populasi sel darah putih : monositopenia (turun 96%), limfositopenia (turun 85%) dan
neutrophilia (naik 300%).
Le Tuzlo dkk menemukan peningkatan apoptosis yang nyata dari limfosit yang
bersirkulasi pada pasien syok sepsis dibandingkan pasien critically ill yang non sepsis30.
Hotchkiss dkk juga menemukan hal yang sama pada studi mereka, dimana tingkat apoptosis
dari limfosit berkorelasi dengan derajat beratnya sepsis31. Juga memungkinkan untuk menilai
kondisi pasien sepsis apakah membaik atu memburuk, dan jika perlu mengubah terapi dengan
mengevaluasi tingkat apoptosis limfosit pada sirkulasi darah.
Zahorec telah mendokumentasikan neutrophyl to lymphocyte count ratio (NLCR)
sebagai parameter yang mudah untuk mengukur keparahan dari 90 pasien sepsis28. Lebih lagi
de jager dkk menggunakan NCLR sebagai parameter yang berguna untuk memprediksi
adanya bakteremia pada pasien pasien di ICU32. Holub dkk juga menggunakan NLCR
sebagai biopetanda untuk membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus33.
Di bangsal penyakit dalam Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, angka kematian oleh
karena sepsis ternyata cukup tinggi yaitu 520 per tahun34. Namun apakah angka kematian
tersebut benar disebabkan oleh sepsis atau oleh sebab-sebab lain harus dibuktikan dengan
kultur yang ternyata hasilnya tidak selalu positif, sehingga diperlukan pemeriksaan lain
seperti Procalcitonin (PCT) untuk dapat digunakan sebagai petanda sepsis dan mengetahui
hubungan dengan derajat keparahan sepsis sehingga diagnosa dan penatalaksanaan sepsis
dapat lebih cepat dan tepat yang menyebabkan penurunan angka mortalitas. Namun hal ini
pun dibatasi oleh harga pemeriksaan yang mahal dan tidak semua sarana kesehatan mampu
memeriksakan procalcitonin untuk mendiagnosa sepsis.
Oleh karenanya peneliti berminat melakukan suatu penelitian untuk menilai apakah
NLCR memiliki hubungan dengan sepsis/ derajat keparahan. Selain itu, hingga saat ini
penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan.
Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi
hubungan nilai diagnostik NLCR dengan
sepsis/derajat keparahannya di RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.2.
Perumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan nilai NLCR dengan kadar Procalcitonin pada pasien
sepsis
1.3.
2. Apakah nilai NLCR dapat digunakan sebagai prediktor sepsis.
Hipotesis
1. Ada hubungan antara nilai NLCR dengan kadar Procalcitonin pada pasien
sepsis.
1.4.
2. Nilai NLCR dapat digunakan sebagai prediktor sepsis.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah nilai NLCR memiliki hubungan dengan kadar
procalcitonin dan dapat diigunakan sebagai prediktor secara cepat, tepat dan
sederhana pada pasien sepsis
1.5.
Manfaat penelitian
1.5.1. Di bidang akademik/Ilmiah : Meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang
Penyakit Tropik dan Infeksi (PTI), khususnya mengenai nilai NLCR yang
meningkat pada sepsis dan dapat digunakan sebagai prediktor sepsis
1.5.2. Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat : Dengan mengetahui bahwa nilai
NLCR dapat digunakan sebagai prediktor dan berhubungan dengan derajat
keparahan sepsis maka dapat digunakan sebagai petanda baru yang murah
yang tersedia dalam pemeriksaan darah lengkap sehingga diagnosa dan
penatalaksanaan sepsis menjadi lebih cepat dan tepat.
1.5.3. bidang pengembangan penelitian : memberi data awal kepada divisi PTI
tentang nilai NLCR sebagai prediktor dan hubungannya dengan derajat
keparahan sepsis.
1.6. KERANGKA TEORI
SIRS
Infeksi bakteri
SEPSIS
Pelepasan mediator
inflamasi
Delayed apoptosis neutrofil
Apoptosis limfosit
Neutrofil
Sel Parenkim
Serum procalcitonin
Limfosit
Rasio Neutrofil- Limfosit
Gambar 1.1 Kerangka Teori
1.7 KERANGKA KONSEPTUAL
Pasien infeksi dirawat
di bangsal Penyakit
Dalam dan ICU
Pasien infeksi
dengan sepsis
Pasien infeksi
nonsepsis
NIlai NLCR
Gambar 1.2 Kerangka konseptual
Keparahan sepsis
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan masalah kesehatan dunia yang dihubungkan dengan tingginya angka
kematian yang dapat mencapai sampai 30%-60%1. Sepsis didefenisikan sebagai infeksi
(sangkaan atau terbukti) yang disertai dengan respon inflamasi sistemik/ SIRS (Systemic
Inflammation Response Syndrome). Keadaan ini berasal dari interaksi antara mikroorganisme
pathogen dan sistem kekebalan tubuh yang memicu respons peradangan /inflamasi yang
berlebihan dan tidak teratur yang bersifat merusak2. Sepsis berat didefenisikan sebagai
keadaan sepsis disertai dengan disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Sedangkan syok
sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi (TDs < 90 mmhg, atau penurunan ≥ 40 mmhg
dari tekanan darah sebelumnya) tanpa ada penyebab hipotensi lainnya yang menetap
walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat3. Diagnosis dan penanganan yang
tertunda dari sepsis menyebabkan perburukan penyakit yang dapat menyebabkan kolapsnya
sirkulasi, gagal organ multiple dan kematian. Oleh karenanya, diagnosis yang akurat dan
tepat waktu akan mencegah kematian, mengurangi beban biaya perobatan, dan memperbaiki
hasil akhir dari pasien. Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti berusaha mencari
parameter yang sederhana dan mudah tersedia yang merefleksikan intensitas/keparahan dari
stress/inflamasi sistemik dari pasien pasien yang mengalami sepsis.
Pertanda infeksi tradisional seperti hitung leukosit/white blood cell (WBC) count,
hitung neutrophil dan C-reactive protein (CRP) memiliki keterbatasan dalam mendeteksi
secara sepsis secara dini4. Petanda baru dari sepsis yaitu procalcitonin, memiliki nilai akurasi
yang lebih baik dari petanda sebelumnya5, namun dibatasi oleh harga yang relatif mahal dan
tidak semua sarana kesehatan mampu menyediakannya. Oleh karena itu masih perlu dicari
petanda yang dapat memprediksi sepsis dengan baik, secara sederhana, murah dan juga
mudah digunakan dalam praktek sehari hari tanpa ada biaya tambahan.
Teori yang utama mengenai sepsis adalah tentang adanya respons inflamasi yang
sangat berlebih yang mana sitokin sitokin inflamasi –sebagai bagian dari mekanisme
pertahanan tubuh menyebabkan kerusakan sel dan organ secara signifikan. Konsep ini berasal
dari studi studi tentang endotoxin atau injeksi bakteri dalam jumlah besar ke dalam vena yang
menggunakan Esheria coli sebagai sumber infeksi pada sepsis6. Kematian pada binatang
percobaan dalam studi ini berasal disebabkan oleh “badai sitokin” dan sitokin-spesifik terapi
memperbaiki harapan hidup. Namun beberapa studi tentang sitokin atau agen spesifik anti
inflamasi seperti tomour-necrosis factor (TNF) dan terapi spesifik interleukin-1(IL-1), gagal
memperbaiki angka keselamatan/survival pada pasien sepsis, bahkan dalam beberapa kasus
memperberat kondisi sepsis7. Kegagalan kegagalan dalam studi ini menuntun pada penilaian
ulang konsep bahwa kematian pada sepsis disebabkan oleh respons inflamasi yang sangat
berlebih (hyper-inflammatory response)8.
Pada model binatang maupun manusia yang secara klinis dinyatakan sepsis,
menunjukkan bahwa respon awal berupa respons inflamasi yang sangat berlebih (hyper –
inflammatory response) akan segera diikuti dengan berkembangnya anti inflamasi yang
menetap atau keadaan imunosupresive yang dinyatakan sebagai “immunoparalysis”9,10,11.
Besarnya dan lamanya keadaan respons fase awal inflamasi yang sangat berlebih (hyperinflammatory response) pada sepsis ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk jumlah dan
virulensi dari mikrorganisme, genetik dari pejamu dan keadaan penyakit penyerta/komorbid12. Hanya sebagian kecil pasien pasien dengan sepsis seperti meningococcemia atau
toxic shock syndrome akan meninggal pada fase awal yang disebabkan oleh infeksi yang
tidak terkontrol dan respons inflamasi yang berlebih (hyper-inflammatory response). Terapi
Anti inflamasi mungkin efektif pada fase awal dari sepsis ini. Namun kebanyakan pasien
pasien sepsis akan melalui fase awal tersebut dan mengembangkan keadaan respons inflamasi
yang rendah (hypo-inflammatory), immunosuppressive state, yang dimanifestasikan dengan
ketidak mampuan untuk mengeradikasi infeksi primer dan atau munculnya infeksi sekunder
yang baru13. Kenyataan bahwa banyak bakteri bakteri yang bertanggung jawab untuk skunder
infeksi, infeksi yang didapat dari rumah sakit tidak secara khusus berbahaya pada pasien
normal, system imun yang normal menunjukkan keadaan imunosupresi pada pasien sepsis.
Salah satu perkembangan yang paling penting dalam penelitian sepsis adalah peran
serta apoptosis dalam disfungsi imun pada pasien sepsis. Mekanisme utama dari respons anti
inflamasi pejamu selama sepsis adalah terjadinya apoptosis sel dari system imun didapat dan
bawaan yang hasil akhirnya adalah efek immunosuppressive. Autopsi dari pasien sepsis yang
meninggal dalam 30-90 menit menunjukkan apoptosis yang luas dari limfosit dan kerusakan
epitel sel saluran cerna14.Temuan ini sama dengan hasil dari studi pada binatang pada
beberapa penelitian15,16,17. Secara normal fisiologis sel limfosit mengalami apoptosis, namun
sepsis menyebabkan terjadinya apoptosis yang sangat cepat18. Studi yang dilakukan
Hotchkiss dkk menyatakan terjadi penurunan jumlah B sel dan CD4 T sel dari limpa pasien
sepsis dibandingkan pasien critically ill non sepsis19,20.
Ada dua mekanisme utama mengapa apoptosis berkontribusi terhadap imun-paralisis
pada pasien sepsis. Pertama, Penurunan jumlah sel B dan sel T mengurangi kemampuan
respon imun didapat maupun bawaan dengan cara penurunan jumlah sel dendritic, sel yang
paling penting dalam mempresentasikan antigen21,22. Kedua, terjadinya induksi dari anergi
respons T helper 2 pada sel imun yang selamat. Uptake dari sel sel yang mengalami apoptosis
oleh sel makrofag dan dendritik sel merangsang imun tolerans dengan pelepasan dari sitokin
anti inflamasi, IL10 dan transforming growth factor-B (TGFB) dan menekan pelepasan
sitokin pro inflamasi23,24,25,26,27.
Neutrophilia, fenomena yang berlawanan selama sepsis disebabkan oleh demarjinasi
sel neutrophil, penundaan apoptosis dari sel neutrophil, dan perangsangan stem sel oleh
factor pertumbuhan (G-CSF)28.
jilma dkk(1999) mendemonstrasikan dengan jelas tentang perubahan yang terjadi
terhadap monosit, limfosit, dan neutrophil pada darah tepi pada percobaan endotoxemia pada
manusia dengan menyuntikkan lipopolisakarida29. Dalam 2-4-6 jam terjadi perubahan
populasi sel darah putih : monositopenia (turun 96%), limfositopenia (turun 85%) dan
neutrophilia (naik 300%).
Le Tuzlo dkk menemukan peningkatan apoptosis yang nyata dari limfosit yang
bersirkulasi pada pasien syok sepsis dibandingkan pasien critically ill yang non sepsis30.
Hotchkiss dkk juga menemukan hal yang sama pada studi mereka, dimana tingkat apoptosis
dari limfosit berkorelasi dengan derajat beratnya sepsis31. Juga memungkinkan untuk menilai
kondisi pasien sepsis apakah membaik atu memburuk, dan jika perlu mengubah terapi dengan
mengevaluasi tingkat apoptosis limfosit pada sirkulasi darah.
Zahorec telah mendokumentasikan neutrophyl to lymphocyte count ratio (NLCR)
sebagai parameter yang mudah untuk mengukur keparahan dari 90 pasien sepsis28. Lebih lagi
de jager dkk menggunakan NCLR sebagai parameter yang berguna untuk memprediksi
adanya bakteremia pada pasien pasien di ICU32. Holub dkk juga menggunakan NLCR
sebagai biopetanda untuk membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus33.
Di bangsal penyakit dalam Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, angka kematian oleh
karena sepsis ternyata cukup tinggi yaitu 520 per tahun34. Namun apakah angka kematian
tersebut benar disebabkan oleh sepsis atau oleh sebab-sebab lain harus dibuktikan dengan
kultur yang ternyata hasilnya tidak selalu positif, sehingga diperlukan pemeriksaan lain
seperti Procalcitonin (PCT) untuk dapat digunakan sebagai petanda sepsis dan mengetahui
hubungan dengan derajat keparahan sepsis sehingga diagnosa dan penatalaksanaan sepsis
dapat lebih cepat dan tepat yang menyebabkan penurunan angka mortalitas. Namun hal ini
pun dibatasi oleh harga pemeriksaan yang mahal dan tidak semua sarana kesehatan mampu
memeriksakan procalcitonin untuk mendiagnosa sepsis.
Oleh karenanya peneliti berminat melakukan suatu penelitian untuk menilai apakah
NLCR memiliki hubungan dengan sepsis/ derajat keparahan. Selain itu, hingga saat ini
penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan.
Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi
hubungan nilai diagnostik NLCR dengan
sepsis/derajat keparahannya di RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.2.
Perumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan nilai NLCR dengan kadar Procalcitonin pada pasien
sepsis
1.3.
2. Apakah nilai NLCR dapat digunakan sebagai prediktor sepsis.
Hipotesis
1. Ada hubungan antara nilai NLCR dengan kadar Procalcitonin pada pasien
sepsis.
1.4.
2. Nilai NLCR dapat digunakan sebagai prediktor sepsis.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah nilai NLCR memiliki hubungan dengan kadar
procalcitonin dan dapat diigunakan sebagai prediktor secara cepat, tepat dan
sederhana pada pasien sepsis
1.5.
Manfaat penelitian
1.5.1. Di bidang akademik/Ilmiah : Meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang
Penyakit Tropik dan Infeksi (PTI), khususnya mengenai nilai NLCR yang
meningkat pada sepsis dan dapat digunakan sebagai prediktor sepsis
1.5.2. Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat : Dengan mengetahui bahwa nilai
NLCR dapat digunakan sebagai prediktor dan berhubungan dengan derajat
keparahan sepsis maka dapat digunakan sebagai petanda baru yang murah
yang tersedia dalam pemeriksaan darah lengkap sehingga diagnosa dan
penatalaksanaan sepsis menjadi lebih cepat dan tepat.
1.5.3. bidang pengembangan penelitian : memberi data awal kepada divisi PTI
tentang nilai NLCR sebagai prediktor dan hubungannya dengan derajat
keparahan sepsis.
1.6. KERANGKA TEORI
SIRS
Infeksi bakteri
SEPSIS
Pelepasan mediator
inflamasi
Delayed apoptosis neutrofil
Apoptosis limfosit
Neutrofil
Sel Parenkim
Serum procalcitonin
Limfosit
Rasio Neutrofil- Limfosit
Gambar 1.1 Kerangka Teori
1.7 KERANGKA KONSEPTUAL
Pasien infeksi dirawat
di bangsal Penyakit
Dalam dan ICU
Pasien infeksi
dengan sepsis
Pasien infeksi
nonsepsis
NIlai NLCR
Gambar 1.2 Kerangka konseptual
Keparahan sepsis