Analisa Usaha Pemanfaatan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Sebagai Subsitusi Tepung Ikan Dalam Ransum Terhadap Itik Lokal
TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Usaha
Analisa usaha ternak merupakan kegiatan sangat penting karena dalam hal
ini akan dinilai apakah pantas atau layak dilaksanakan didasarkan kepada
beberapa kriteria tertentu yang ada.
Layak bagi suatu usaha
menguntungkan dari berbagai aspek. Analisia usaha
artinya
adalah upaya untuk
mengetahui tingkat kelayakan atau kepantasan untuk dikerjakan dari suatu jenis
usaha, dengan melihat beberapa parameter atau kriteria kelayakan tertentu.
Dengan demikian suatu usaha dikatakan layak kalau keuntungan yang diperoleh
dapat menutup seluruh biaya yang dikeluarkan, baik biaya yang langsung maupun
yang tidak langsung (Arto, 2013).
Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994) gambaran mengenai usaha
ternak yang memiliki prospek cerah dapat dilihat dari analisis usahanya. Analisis
dapat juga memberikan informasi lengkap tentang modal yang diperlukan,
penggunaan modal, besar biaya untuk bibit (bakalan), ransum dan kandang,
lamanya modal kembali dan tingkat keuntungan yang diperoleh.
Ternak itik mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan
ternak ayam. Dibandingkan dengan ayam ras nilai jual telur itik adalah lebih
tinggi karena dijual dengan harga per butir, dan ternak itik lebih mampu mencerna
ransum dengan serat kasar yang lebih tinggi sehingga harga pakan bisa lebih
murah. Dibandingkan dengan ayam kampung, itik memiliki produktivitas telur
yang lebih tinggi dan lebih menguntungkan jika dipelihara secara intensif
terkurung sepenuhnya. Akan tetapi masih ada beberapa anggapan yang salah
tentang ternak itik, yaitu bahwa produk itik mempunyai bau anyir dan untuk
Universitas Sumatera Utara
beternak itik perlu adanya kolam sebagai tempat bermain itik sehingga membatasi
ketersediaan lahan (BALITNAK, 2010)..
Usaha peternakan itik petelur semakin banyak diminati sebagai salah satu
alternatif usaha peternakan unggas penghasil telur yang cukup menguntungkan,
khususnya dengan pemeliharaan secara intensif. Namun demikian, perlu diingat
bahwa beternak itik tidaklah semudah beternak ayam ras petelur dimana
semuanya telah tersedia dalam paket-paket tertentu (BALITNAK, 2010).
Biaya Produksi
Biaya produksi menurut Harih (2010), adalah semua pengeluaran
perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk
menghasilkan barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut.
Biaya produksi dalam pengertian ekonomi produksi dibagi atas biaya tetap
dan biaya tidak tetap. Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan ada
atau tidak ada itik di kandang, biaya ini harus tetap keluar. Misalnya : gaji pekerja
bulanan, penyusutan, bunga atas modal, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain.
Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan berhubungan dengan
jumlah produksi itik pedaging yang diusahakan. Semakin banyak itik semakin
besar pula biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam produksi peternakan secara
total. Pada pemeliharaan itik pedaging, biaya pakan mencapai 60%-70% dari total
biaya produksi (Rasyaf, 1996) dan Prawirokusumo (1991), menyatakan bahwa
besarnya biaya pakan berkisar antara 60-80% dari total biaya produksi.
Menurut (Lipsey et al., 1995) biaya tetap adalah jumlah biaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah output tertentu sedangkan biaya yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan langsung dengan output yang bertambah besar dengan meningkatnya
produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi disebut biaya tidak tetap.
Biaya produksi setiap periode dari peternak skala kecil dan menengah
selalu mengalami perubahan biaya tiap periodenya. Biaya yang paling
berpengaruh pada biaya variabel pada masing-masing peternak yaitu pada
pembelian pakan. Dimana konsumsi pakan pada tiap periodenya selalu berubah,
semakin banyak konsumsi pakan maka akan semakin banyak pula biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian pakan tersebut. Selain itu yang berpengaruh
selanjutnya adalah pada pembelian bibit yang juga cukup mengalami fluktuasi
harga (Rohani, 2011).
Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan yang
tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan dan dapat diukur untuk menghasilkan
sesuatu produk. Biaya bagi perusahaan adalah nilai dari faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk menghasilkan output (Budiono, 1990).
Total biaya produksi atau total pengeluaran yaitu biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk, diperoleh dengan cara menghitung
biaya pembelian bibit, sewa kandang dan peralatan, biaya pakan, biaya obatobatan dan biaya tenaga kerja (Suharto, 1990).
Hasil Produksi
Penerimaan merupakan total nilai produk usaha tani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual (Soekartawi et al. 1986).
Sedangkan menurut Kadarsan (1995), menyatakan bahwa penerimaan yang
diperhitungkan ialah nilai output yang dikonsumsi peternak atau yang
dihadiahkan. Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan
Universitas Sumatera Utara
hasil usaha seperti panen tanaman dan hasil olahannya serta panen dari peternakan
dan hasil olahannya.
Penerimaan adalah hasil penjualan (output) yang diterima produsen.
Penerimaan dari suatu proses produksi dapat dihitung dengan mengalikan jumlah
produksi yang dihasilkan dengan harga jual produksi tersebut (Budiono, 1990).
Penerimaan merupakan jumlah hasil peternakan seperti penjualan hasil ternak
dikalikan dengan harga merupakan jumlah yang diterima (Rasyaf, 1996).
Penerimaan atau nilai produksi (R atau S) yaitu jumlah produksi dikalikan dengan
harga produksi dengan satuan rupiah (Suratiah, 2009).
Total penerimaan merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual atau penerimaan dapat dimaksudkan sebagai pendapatan kotor
usaha, sebab belum dikurangi dengan keseluruhan biaya yang dikeluarkan selama
proses produksi berlangsung (Soekartawi, 2003).
Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh
seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir
periode seperti keadaan semula. Pengertian tersebut menitikberatkan pada total
kuantitatif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode. Dengan kata lain,
pendapatan adalah jumlah harta kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil
yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya yang dikonsumsi (Rohani, 2011).
Ucokaren (2011), menyatakan pendapatan dan keuntungan usahatani yang
besar tidak selalu mencerminkan tingkat efisiensi usaha yang tinggi. Total pendapatan
diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses
produksi (Soekartawi, 2003).
Pendapatan usaha ialah seluruh pendapatan yang diperoleh dalam suatu
usaha. Pendapatan dapat berupa pendapatan utama, seperti hasil penjualan telur
Universitas Sumatera Utara
itik dari kegiatan usaha dan pemeliharaan itik petelur dan pendapatan hasil ikutan,
misalnya pupuk kandang (Sudarmono dan Sugeng, 2003).
Menurut Boediono (2002), penerimaan (revenue) adalah penerimaan
produsen dari hasil penjualan output. Ada dua konsep penerimaan yang penting
untuk produsen (1) Total Revenue (TR), yaitu penerimaan total produsen dari
hasil penjualan outputnya. TR adalah output kali harga jual output; (2) Marginal
Revenue (MR), yaitu kenaikan dari TR yang disebabkan oleh tambahan penjualan
satu unit output.
Analisa Laba-Rugi
Keuntungan (laba) atau rugi suatu usaha akan diketahui setelah penerimaan
hasil penjualan produk dikurangi dengan harga pokok, biaya pemasaran, dan biaya
umum. Laba ini masih disebut laba kotor. Laba bersih baru didapat setelah
ditambahkan pendapatan di luar usaha (misalnya penjualan limbah) dikurangi biaya
di luar usaha (misalnya sumbangan ke pemda) dan pajak (Rohani, 2011).
Laba merupakan ukuran yang membedakan antara apa yang perusahaan
masukkan untuk membuat dan menjual produk dengan apa yang diterimanya.
Perhitungan laba jelas untuk keputusan manajemen. Bila laba konsisten positif,
perusahaan dapat tetap berada dalam bisnis tersebut, tetapi jika perusahaan
mengalami penurunan produksi pengusaha dapat mencari produk yang lain yang
akan diolah yang dapat mendatangkan keuntungan (Hansen dan Mowen, 2001).
Menurut Murtidjo (1995), keuntungan adalah tujuan setiap usaha.
Keuntungan dapat dicapai jika jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha
tersebut lebih besar daripada jumlah pengeluarannya. Bila keuntungan dari suatu
usaha semakin meningkat, maka secara ekonomis usaha tersebut layak
Universitas Sumatera Utara
dipertahankan atau ditingkatkan. Untuk memperoleh angka yang pasti mengenai
keuntungan atau kerugian, yang harus dilakukan adalah pencatatan biaya. Tujuan
pencatatan biaya agar peternak atau pengusaha dapat mengadakan evaluasi
terhadap bidang usaha
Keuntungan (laba) suatu usaha secara matematis dapat dituliskan sebagai
berikut : K = TR-TC
dimana :
K
= keuntungan
Total Revenue = total penerimaan
Total Cost
= total pengeluaran
Laporan laba rugi menggambarkan besarnya pendapatan yang diperoleh
pada suatu periode ke periode berikutnya. Kemudian juga akan tergambar jenisjenis biaya yang akan dikeluarkan berikut jumlahnya dalam periode yang sama
(Kasmir dan Jakfar, 2005).
Laporan rugi memperlihatkan hasil yang diperoleh dari penjualan jasa
barang dan jasa dan ongkos-ongkos yang timbul dalam proses pencapaian hasil
tersebut. Laporan ini juga memperlihatkan adanya pendapatan bersih atau
kerugian bersih sebagai hasil dari operasi perusahaan selama periode tertentu.
Besarnya laba ditentukan berdasarkan selisih antara nilai penjualan (total revenue)
dengan total biaya (biaya tetap ditambah biaya variabel) pada tingkat volume
produksi tertentu (Jumingan, 2006).
R/C Ratio
Pendapatan usaha yang besar tidak selalu mencerminkan tingkat efisiensi
usaha yang tinggi. Guna mengetahui efisiensi usaha tersebut dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara
analisis R/C ratio. R/C ratio merupakan singkatan dari Return Cost Ratio, atau
dikenal dengan perbandingan antara penerimaan dan biaya. Suatu usaha dapat
dinyatakan layak atau masih dalam tingkat efisiensi apabila nilai R/C ratio lebih
dari satu yang artinya nilai penerimaan sama lebih besar dari total biaya, maka
semakin besar nilai R/C ratio maka semakin besar pula tingkat efisiensi suatu
perusahaan (Candra, Hari dan Budi, 2012).
R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai
perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara teoritis dengan rasio
R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi. Namun karena adanya biaya
usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung (Soekartawi, 2002). Kadariah
(1987), menyatakan bahwa untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha dapat
digunakan parameter yaitu dengan mengukur besarnya pemasukan dibagi
besarnya pengeluaran, dimana bila:
R/C Ratio > 1 : Efisien
R/C Ratio = 1 : Impas
R/C Ratio < 1 : Tidak efisien
Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:
a = R/C
keterangan :
a = R/C rasio
R = Total penerimaan
C = Total biaya
kriteria penilaian R/C rasio sebagai berikut:
-
R/C rasio > 1, usaha peternakan layak dikembangkan.
-
R/C rasio = 1, usaha peternakan tidak untung dan tidak rugi (impas).
-
R/C rasio < 1, usaha peternakan tidak layak dikembangkan.
Universitas Sumatera Utara
Soekartawi et al., (1986), yang menyatakan bahwa suatu usaha dikatakan
memberikan manfaat bila nilai R/C Ratio > 1. Semakin besar nilai R/C Ratio
maka semakin efisien usaha tersebut dan sebaliknya, semakin kecil nilai R/C
Rationya maka semakin tidak efisien usaha tersebut.
Efisiensi usaha tani ditentukan dengan menggunakan konsep RCR
(revenue cost ratio), yang imbangan antara total penghasilan (out put) dengan
total biaya (input). Nilai RCR >1 menyatakan usaha tersebut menguntungkan.
Semakin
besar
nilai RCR
maka
usaha
dinyatakan
semakin
efisien
(Karo-karo et al., 1995).
R/C Ratio adalah rasio penerimaan atas biaya yang menunjukkan besarnya
penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam
produksi usaha ternak. Analisis ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat
keuntungan relatif kegiatan usaha ternak, artinya dari angka rasio tersebut dapat
diketahui, apakah suatu usaha ternak menguntungkan atau tidak. Usaha ternak
dikatakan menguntungkan bila nilai R/C Ratio lebih besar dari satu. Sebaliknya,
usaha ternak dikatakan tidak menguntungkan bila nilai R/C Ratio lebih kecil dari
1. Semakin besar
nilai R/C,
maka semakin
baik
usaha ternak tersebut
(Kadarsan, 1995).
Income Over Feed Cost (IOFC)
Income Over Feed Cost (IOFC) adalah selisih dari total pendapatan
dengan total biaya ransum digunakan selama usaha pemeliharaan. Income Over
Feed Cost ini merupakan barometer untuk melihat seberapa besar biaya ransum
yang merupakan biaya terbesar dalam usaha peternakan. IOFC diperoleh dengan
menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi biaya ransum.
Universitas Sumatera Utara
Pendapatan merupakan perkalian antara produksi peternakan akibat perlakuan
dengan harga jual (Prawirokusumo, 1990).
Itik Lokal Petelur
Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa itik lokal adalah keturunan dari
tetua pendatang yang telah mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun masuk
tetua tersebut ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pengamatan di Jawa Barat, itik lokal
tersebut dikelompokkan menurut habitatnya, yaitu itik dataran rendah (Cirebon,
Karawang, Serang), itik gunung atau dataran tinggi (Cihateup) dan itik rawa (Alabio)
Itik yang dipelihara saat ini disebut Anas domesticus. Itik ini berasal dari domestikasi
itik liar (Anas moscha) atau Wild mallard (Suharno dan Setiawan, 1999). Taksonomi
itik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata, Sub filum : Vertebrata,
Klas : Aves, Super ordo : Carinatae, Ordo : Anseriformes, Spesies : Anas
platryhynchos (mallard dan domestik) (Scanes et al., 2004).
Produktivitas itik meliputi umur dewasa kelamin, kecepatan pertumbuhan
badan, produksi telur, ketahanan itik untuk terus bertelur dan kualitas telur
(Muslim, 1992). Ransum dengan kualitas baik akan menghasilkan produksi yang
tinggi dan dapat dipertahankan sampai akhir masa produksi. Keadaan ini dapat
dicapai bila terjadi keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan
lainnya seperti lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Itik umumnya mengalami
usia masak kelamin pada umur 20-22 minggu dan lama produksi selama 15 bulan.
Itik mengalami puncak produksi tertinggi pada umur 27-32 minggu (Muslim,
1992). Produksi telur dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur
Universitas Sumatera Utara
masak kelamin, sedangkan faktor lingkungan adalah pakan, pemeliharaan, suhu
lingkungan dan kesehatan (Muslim, 1992).
Penilaian produktivitas telur dari sekelompok itik adalah dengan
menghitung produksi harian atau PTH (Produksi Telur Harian). Produktivitas
telur baik bila nilai PTH tersebut lebih dari 60%. Itik mempunyai nilai PTH tinggi
bila dipelihara tidak lebih dari umur 18 bulan
(Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999).
Ketaren dan Prasetyo (2002), melaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik
petelur pada fase pertumbuhan umur 1−16 minggu cenderung lebih rendah yaitu
sekitar 85−100%. Selanjutnya dilaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik petelur
fase produksi 6 bulan pertama cenderung lebih rendah (±3%) dibanding
kebutuhan gizi pada fase produksi 6 bulan kedua. Dilaporkan bahwa kebutuhan
lisin untuk itik berumur 0−8 minggu adalah 3,25 g/kkal EM dengan tingkat energi
3.100 kkal EM/kg dan 2,75 g/kkal EM dengan tingkat energi 2.700 kkal EM/kg
pakan.
Tabel 1. Kebutuhan gizi itik petelur
Gizi
Protein kasar (%)
Energi (kkal EM/kg)
Metionin(%)
Lisin (%)
Ca (%)
P tersedia(%)
Sumber : Sinurat (2000).
Stater 0-8
minggu
17-20
3.100
0,37
1,05
0,6-0,1
0,6
Grower 9-20
minggu
15-18
2.700
0,29
0,24
0,6-0,1
0,6
Layer > 20
minggu
17-19
2.700
0,37
1,05
2,90-3,25
0,6
Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)
Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut;
Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis
Universitas Sumatera Utara
amoinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar
badan 5-5, 5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari
panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala
bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan
tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).
Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala, isi perut. Limbah ikan gabus
pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven
dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi
dan
dapat
meingkatkan
produksi
dan
nilai
gizi
telur
dan
daging
(Stevie et al., 2009).
Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir
Jenis Nutrisi
Kandungan
Gross Energi (K.cal/g)
3,6341a
Kadar air (%)
7,17b
Protein kasar (%)
53,59b
Lemak kasar (%)
4,32b
Bahan kering (%)
92,82b
Abu (%)
21,85b
Kalsium (%)
5,86b
Posfor (%)
0,026b
a
Sumber: Laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014)
b
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014).
dan
Universitas Sumatera Utara
Analisis Usaha
Analisa usaha ternak merupakan kegiatan sangat penting karena dalam hal
ini akan dinilai apakah pantas atau layak dilaksanakan didasarkan kepada
beberapa kriteria tertentu yang ada.
Layak bagi suatu usaha
menguntungkan dari berbagai aspek. Analisia usaha
artinya
adalah upaya untuk
mengetahui tingkat kelayakan atau kepantasan untuk dikerjakan dari suatu jenis
usaha, dengan melihat beberapa parameter atau kriteria kelayakan tertentu.
Dengan demikian suatu usaha dikatakan layak kalau keuntungan yang diperoleh
dapat menutup seluruh biaya yang dikeluarkan, baik biaya yang langsung maupun
yang tidak langsung (Arto, 2013).
Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994) gambaran mengenai usaha
ternak yang memiliki prospek cerah dapat dilihat dari analisis usahanya. Analisis
dapat juga memberikan informasi lengkap tentang modal yang diperlukan,
penggunaan modal, besar biaya untuk bibit (bakalan), ransum dan kandang,
lamanya modal kembali dan tingkat keuntungan yang diperoleh.
Ternak itik mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan
ternak ayam. Dibandingkan dengan ayam ras nilai jual telur itik adalah lebih
tinggi karena dijual dengan harga per butir, dan ternak itik lebih mampu mencerna
ransum dengan serat kasar yang lebih tinggi sehingga harga pakan bisa lebih
murah. Dibandingkan dengan ayam kampung, itik memiliki produktivitas telur
yang lebih tinggi dan lebih menguntungkan jika dipelihara secara intensif
terkurung sepenuhnya. Akan tetapi masih ada beberapa anggapan yang salah
tentang ternak itik, yaitu bahwa produk itik mempunyai bau anyir dan untuk
Universitas Sumatera Utara
beternak itik perlu adanya kolam sebagai tempat bermain itik sehingga membatasi
ketersediaan lahan (BALITNAK, 2010)..
Usaha peternakan itik petelur semakin banyak diminati sebagai salah satu
alternatif usaha peternakan unggas penghasil telur yang cukup menguntungkan,
khususnya dengan pemeliharaan secara intensif. Namun demikian, perlu diingat
bahwa beternak itik tidaklah semudah beternak ayam ras petelur dimana
semuanya telah tersedia dalam paket-paket tertentu (BALITNAK, 2010).
Biaya Produksi
Biaya produksi menurut Harih (2010), adalah semua pengeluaran
perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk
menghasilkan barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut.
Biaya produksi dalam pengertian ekonomi produksi dibagi atas biaya tetap
dan biaya tidak tetap. Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan ada
atau tidak ada itik di kandang, biaya ini harus tetap keluar. Misalnya : gaji pekerja
bulanan, penyusutan, bunga atas modal, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain.
Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan berhubungan dengan
jumlah produksi itik pedaging yang diusahakan. Semakin banyak itik semakin
besar pula biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam produksi peternakan secara
total. Pada pemeliharaan itik pedaging, biaya pakan mencapai 60%-70% dari total
biaya produksi (Rasyaf, 1996) dan Prawirokusumo (1991), menyatakan bahwa
besarnya biaya pakan berkisar antara 60-80% dari total biaya produksi.
Menurut (Lipsey et al., 1995) biaya tetap adalah jumlah biaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah output tertentu sedangkan biaya yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan langsung dengan output yang bertambah besar dengan meningkatnya
produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi disebut biaya tidak tetap.
Biaya produksi setiap periode dari peternak skala kecil dan menengah
selalu mengalami perubahan biaya tiap periodenya. Biaya yang paling
berpengaruh pada biaya variabel pada masing-masing peternak yaitu pada
pembelian pakan. Dimana konsumsi pakan pada tiap periodenya selalu berubah,
semakin banyak konsumsi pakan maka akan semakin banyak pula biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian pakan tersebut. Selain itu yang berpengaruh
selanjutnya adalah pada pembelian bibit yang juga cukup mengalami fluktuasi
harga (Rohani, 2011).
Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan yang
tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan dan dapat diukur untuk menghasilkan
sesuatu produk. Biaya bagi perusahaan adalah nilai dari faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk menghasilkan output (Budiono, 1990).
Total biaya produksi atau total pengeluaran yaitu biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk, diperoleh dengan cara menghitung
biaya pembelian bibit, sewa kandang dan peralatan, biaya pakan, biaya obatobatan dan biaya tenaga kerja (Suharto, 1990).
Hasil Produksi
Penerimaan merupakan total nilai produk usaha tani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual (Soekartawi et al. 1986).
Sedangkan menurut Kadarsan (1995), menyatakan bahwa penerimaan yang
diperhitungkan ialah nilai output yang dikonsumsi peternak atau yang
dihadiahkan. Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan
Universitas Sumatera Utara
hasil usaha seperti panen tanaman dan hasil olahannya serta panen dari peternakan
dan hasil olahannya.
Penerimaan adalah hasil penjualan (output) yang diterima produsen.
Penerimaan dari suatu proses produksi dapat dihitung dengan mengalikan jumlah
produksi yang dihasilkan dengan harga jual produksi tersebut (Budiono, 1990).
Penerimaan merupakan jumlah hasil peternakan seperti penjualan hasil ternak
dikalikan dengan harga merupakan jumlah yang diterima (Rasyaf, 1996).
Penerimaan atau nilai produksi (R atau S) yaitu jumlah produksi dikalikan dengan
harga produksi dengan satuan rupiah (Suratiah, 2009).
Total penerimaan merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual atau penerimaan dapat dimaksudkan sebagai pendapatan kotor
usaha, sebab belum dikurangi dengan keseluruhan biaya yang dikeluarkan selama
proses produksi berlangsung (Soekartawi, 2003).
Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh
seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir
periode seperti keadaan semula. Pengertian tersebut menitikberatkan pada total
kuantitatif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode. Dengan kata lain,
pendapatan adalah jumlah harta kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil
yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya yang dikonsumsi (Rohani, 2011).
Ucokaren (2011), menyatakan pendapatan dan keuntungan usahatani yang
besar tidak selalu mencerminkan tingkat efisiensi usaha yang tinggi. Total pendapatan
diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses
produksi (Soekartawi, 2003).
Pendapatan usaha ialah seluruh pendapatan yang diperoleh dalam suatu
usaha. Pendapatan dapat berupa pendapatan utama, seperti hasil penjualan telur
Universitas Sumatera Utara
itik dari kegiatan usaha dan pemeliharaan itik petelur dan pendapatan hasil ikutan,
misalnya pupuk kandang (Sudarmono dan Sugeng, 2003).
Menurut Boediono (2002), penerimaan (revenue) adalah penerimaan
produsen dari hasil penjualan output. Ada dua konsep penerimaan yang penting
untuk produsen (1) Total Revenue (TR), yaitu penerimaan total produsen dari
hasil penjualan outputnya. TR adalah output kali harga jual output; (2) Marginal
Revenue (MR), yaitu kenaikan dari TR yang disebabkan oleh tambahan penjualan
satu unit output.
Analisa Laba-Rugi
Keuntungan (laba) atau rugi suatu usaha akan diketahui setelah penerimaan
hasil penjualan produk dikurangi dengan harga pokok, biaya pemasaran, dan biaya
umum. Laba ini masih disebut laba kotor. Laba bersih baru didapat setelah
ditambahkan pendapatan di luar usaha (misalnya penjualan limbah) dikurangi biaya
di luar usaha (misalnya sumbangan ke pemda) dan pajak (Rohani, 2011).
Laba merupakan ukuran yang membedakan antara apa yang perusahaan
masukkan untuk membuat dan menjual produk dengan apa yang diterimanya.
Perhitungan laba jelas untuk keputusan manajemen. Bila laba konsisten positif,
perusahaan dapat tetap berada dalam bisnis tersebut, tetapi jika perusahaan
mengalami penurunan produksi pengusaha dapat mencari produk yang lain yang
akan diolah yang dapat mendatangkan keuntungan (Hansen dan Mowen, 2001).
Menurut Murtidjo (1995), keuntungan adalah tujuan setiap usaha.
Keuntungan dapat dicapai jika jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha
tersebut lebih besar daripada jumlah pengeluarannya. Bila keuntungan dari suatu
usaha semakin meningkat, maka secara ekonomis usaha tersebut layak
Universitas Sumatera Utara
dipertahankan atau ditingkatkan. Untuk memperoleh angka yang pasti mengenai
keuntungan atau kerugian, yang harus dilakukan adalah pencatatan biaya. Tujuan
pencatatan biaya agar peternak atau pengusaha dapat mengadakan evaluasi
terhadap bidang usaha
Keuntungan (laba) suatu usaha secara matematis dapat dituliskan sebagai
berikut : K = TR-TC
dimana :
K
= keuntungan
Total Revenue = total penerimaan
Total Cost
= total pengeluaran
Laporan laba rugi menggambarkan besarnya pendapatan yang diperoleh
pada suatu periode ke periode berikutnya. Kemudian juga akan tergambar jenisjenis biaya yang akan dikeluarkan berikut jumlahnya dalam periode yang sama
(Kasmir dan Jakfar, 2005).
Laporan rugi memperlihatkan hasil yang diperoleh dari penjualan jasa
barang dan jasa dan ongkos-ongkos yang timbul dalam proses pencapaian hasil
tersebut. Laporan ini juga memperlihatkan adanya pendapatan bersih atau
kerugian bersih sebagai hasil dari operasi perusahaan selama periode tertentu.
Besarnya laba ditentukan berdasarkan selisih antara nilai penjualan (total revenue)
dengan total biaya (biaya tetap ditambah biaya variabel) pada tingkat volume
produksi tertentu (Jumingan, 2006).
R/C Ratio
Pendapatan usaha yang besar tidak selalu mencerminkan tingkat efisiensi
usaha yang tinggi. Guna mengetahui efisiensi usaha tersebut dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara
analisis R/C ratio. R/C ratio merupakan singkatan dari Return Cost Ratio, atau
dikenal dengan perbandingan antara penerimaan dan biaya. Suatu usaha dapat
dinyatakan layak atau masih dalam tingkat efisiensi apabila nilai R/C ratio lebih
dari satu yang artinya nilai penerimaan sama lebih besar dari total biaya, maka
semakin besar nilai R/C ratio maka semakin besar pula tingkat efisiensi suatu
perusahaan (Candra, Hari dan Budi, 2012).
R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai
perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara teoritis dengan rasio
R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi. Namun karena adanya biaya
usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung (Soekartawi, 2002). Kadariah
(1987), menyatakan bahwa untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha dapat
digunakan parameter yaitu dengan mengukur besarnya pemasukan dibagi
besarnya pengeluaran, dimana bila:
R/C Ratio > 1 : Efisien
R/C Ratio = 1 : Impas
R/C Ratio < 1 : Tidak efisien
Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:
a = R/C
keterangan :
a = R/C rasio
R = Total penerimaan
C = Total biaya
kriteria penilaian R/C rasio sebagai berikut:
-
R/C rasio > 1, usaha peternakan layak dikembangkan.
-
R/C rasio = 1, usaha peternakan tidak untung dan tidak rugi (impas).
-
R/C rasio < 1, usaha peternakan tidak layak dikembangkan.
Universitas Sumatera Utara
Soekartawi et al., (1986), yang menyatakan bahwa suatu usaha dikatakan
memberikan manfaat bila nilai R/C Ratio > 1. Semakin besar nilai R/C Ratio
maka semakin efisien usaha tersebut dan sebaliknya, semakin kecil nilai R/C
Rationya maka semakin tidak efisien usaha tersebut.
Efisiensi usaha tani ditentukan dengan menggunakan konsep RCR
(revenue cost ratio), yang imbangan antara total penghasilan (out put) dengan
total biaya (input). Nilai RCR >1 menyatakan usaha tersebut menguntungkan.
Semakin
besar
nilai RCR
maka
usaha
dinyatakan
semakin
efisien
(Karo-karo et al., 1995).
R/C Ratio adalah rasio penerimaan atas biaya yang menunjukkan besarnya
penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam
produksi usaha ternak. Analisis ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat
keuntungan relatif kegiatan usaha ternak, artinya dari angka rasio tersebut dapat
diketahui, apakah suatu usaha ternak menguntungkan atau tidak. Usaha ternak
dikatakan menguntungkan bila nilai R/C Ratio lebih besar dari satu. Sebaliknya,
usaha ternak dikatakan tidak menguntungkan bila nilai R/C Ratio lebih kecil dari
1. Semakin besar
nilai R/C,
maka semakin
baik
usaha ternak tersebut
(Kadarsan, 1995).
Income Over Feed Cost (IOFC)
Income Over Feed Cost (IOFC) adalah selisih dari total pendapatan
dengan total biaya ransum digunakan selama usaha pemeliharaan. Income Over
Feed Cost ini merupakan barometer untuk melihat seberapa besar biaya ransum
yang merupakan biaya terbesar dalam usaha peternakan. IOFC diperoleh dengan
menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi biaya ransum.
Universitas Sumatera Utara
Pendapatan merupakan perkalian antara produksi peternakan akibat perlakuan
dengan harga jual (Prawirokusumo, 1990).
Itik Lokal Petelur
Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa itik lokal adalah keturunan dari
tetua pendatang yang telah mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun masuk
tetua tersebut ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pengamatan di Jawa Barat, itik lokal
tersebut dikelompokkan menurut habitatnya, yaitu itik dataran rendah (Cirebon,
Karawang, Serang), itik gunung atau dataran tinggi (Cihateup) dan itik rawa (Alabio)
Itik yang dipelihara saat ini disebut Anas domesticus. Itik ini berasal dari domestikasi
itik liar (Anas moscha) atau Wild mallard (Suharno dan Setiawan, 1999). Taksonomi
itik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata, Sub filum : Vertebrata,
Klas : Aves, Super ordo : Carinatae, Ordo : Anseriformes, Spesies : Anas
platryhynchos (mallard dan domestik) (Scanes et al., 2004).
Produktivitas itik meliputi umur dewasa kelamin, kecepatan pertumbuhan
badan, produksi telur, ketahanan itik untuk terus bertelur dan kualitas telur
(Muslim, 1992). Ransum dengan kualitas baik akan menghasilkan produksi yang
tinggi dan dapat dipertahankan sampai akhir masa produksi. Keadaan ini dapat
dicapai bila terjadi keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan
lainnya seperti lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Itik umumnya mengalami
usia masak kelamin pada umur 20-22 minggu dan lama produksi selama 15 bulan.
Itik mengalami puncak produksi tertinggi pada umur 27-32 minggu (Muslim,
1992). Produksi telur dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur
Universitas Sumatera Utara
masak kelamin, sedangkan faktor lingkungan adalah pakan, pemeliharaan, suhu
lingkungan dan kesehatan (Muslim, 1992).
Penilaian produktivitas telur dari sekelompok itik adalah dengan
menghitung produksi harian atau PTH (Produksi Telur Harian). Produktivitas
telur baik bila nilai PTH tersebut lebih dari 60%. Itik mempunyai nilai PTH tinggi
bila dipelihara tidak lebih dari umur 18 bulan
(Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999).
Ketaren dan Prasetyo (2002), melaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik
petelur pada fase pertumbuhan umur 1−16 minggu cenderung lebih rendah yaitu
sekitar 85−100%. Selanjutnya dilaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik petelur
fase produksi 6 bulan pertama cenderung lebih rendah (±3%) dibanding
kebutuhan gizi pada fase produksi 6 bulan kedua. Dilaporkan bahwa kebutuhan
lisin untuk itik berumur 0−8 minggu adalah 3,25 g/kkal EM dengan tingkat energi
3.100 kkal EM/kg dan 2,75 g/kkal EM dengan tingkat energi 2.700 kkal EM/kg
pakan.
Tabel 1. Kebutuhan gizi itik petelur
Gizi
Protein kasar (%)
Energi (kkal EM/kg)
Metionin(%)
Lisin (%)
Ca (%)
P tersedia(%)
Sumber : Sinurat (2000).
Stater 0-8
minggu
17-20
3.100
0,37
1,05
0,6-0,1
0,6
Grower 9-20
minggu
15-18
2.700
0,29
0,24
0,6-0,1
0,6
Layer > 20
minggu
17-19
2.700
0,37
1,05
2,90-3,25
0,6
Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)
Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut;
Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis
Universitas Sumatera Utara
amoinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar
badan 5-5, 5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari
panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala
bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan
tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).
Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala, isi perut. Limbah ikan gabus
pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven
dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi
dan
dapat
meingkatkan
produksi
dan
nilai
gizi
telur
dan
daging
(Stevie et al., 2009).
Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir
Jenis Nutrisi
Kandungan
Gross Energi (K.cal/g)
3,6341a
Kadar air (%)
7,17b
Protein kasar (%)
53,59b
Lemak kasar (%)
4,32b
Bahan kering (%)
92,82b
Abu (%)
21,85b
Kalsium (%)
5,86b
Posfor (%)
0,026b
a
Sumber: Laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014)
b
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014).
dan
Universitas Sumatera Utara