KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN DALAM KONTE

KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN DALAM KONTEKS PERUBAHAN IKLIM: STUDI KASUS DI PULAU AMBON, MALUKU

Subair

bairbone1976@gmail.com Jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon (Makalah dipresentasikan pada Kongres II APSSI dan Konferensi Nasional Nasional Sosiologi IV, Manado 20-23 Mei 2015)

Abstract

This paper is an analysis of the vulnerability of the fishing communities which are driven by climate change. Analysis of vulnerability refers to the IPCC ’s vulnerability assessment by reviewing three components: exposure, sensitivity, and adaptability. The study was conducted by using the method of historical cases in the north coast of the island of Ambon. Data collection method by hermeunetik and dialectic through participant observation, focus group discussions, in-depth interviews, and literature. Informants purposively selected to represent information about the socio-political-economic-ecological communities and the process of change from time to time (last 10 years) as well as the diversity of characteristics of fishing communities. The study found that climate change has reduced fishing productivity significantly. In addition, the pressure of climate change also have an impact on socio-cultural aspects of the community include aspects of knowledge systems, belief systems, social structure and social position of the fishermen. This means that the communities in the study site is very 'hit' by the negative impacts of climate change. Natural pressure has significantly into the factors that can disrupt or even detrimental to their lives so that implications for the vulnerability of communities. If no adaptation measures then the fishermen will be dropped on livelihood crisis. Fortunately, despite having limited resources in the face of climate change impacts, the community has aspects that strengthen its ability to adapt. The adaptive capacity of communities to provide the ability to adapt (adjust) to climate change, including the condition of the socio-economic, livelihood and institutional.

Keyword: vulnerability, climate change, Fishermen community, coastal area

Pendahuluan

Hasil kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dari tahun 2010-2011 di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa secara umum hampir semua elemen masyarakat di Indonesia telah mengetahui adanya perubahan yang terjadi pada iklim saat ini (DNPI 2012). Masyarakat mengetahui dan merasakan adanya perubahan iklim itu sejak sepuluh tahun terakhir. Fenomena perubahan iklim diketahui melalui indikator suhu udara yang semakin panas, curah hujan yang tinggi di waktu tertentu namun di waktu lain sangat jarang, musim kemarau yang lebih panjang, pergeseran masa tanam dan masa panen sehingga menggeser pula produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan sektor lainnya. Kesimpulan dari kajian DNPI itu termasuk penilaian bahwa berbagai wilayah di Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim.

Berbagai gejala perubahan iklim, dengan demikian, menjadi faktor-faktor awal yang memicu terjadinya berbagai perubahan fisik dan lingkungan yang berdampak pada kegiatan produksi nelayan Asilulu. Dampak ini terjadi melalui perubahan kondisi ekologi yang pada akhirnya berdampak pula pada kondisi sosial dan ekonomi nelayan. Beberapa aspek sosial budaya masyarakat yang ikut terpengaruh oleh dampak perubahan iklim antara lain pada aspek sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, struktur sosial, dan posisi sosial nelayan. Sistem pengetahuan yang terbentuk berdasarkan pengalaman empirik nelayan-nelayan Berbagai gejala perubahan iklim, dengan demikian, menjadi faktor-faktor awal yang memicu terjadinya berbagai perubahan fisik dan lingkungan yang berdampak pada kegiatan produksi nelayan Asilulu. Dampak ini terjadi melalui perubahan kondisi ekologi yang pada akhirnya berdampak pula pada kondisi sosial dan ekonomi nelayan. Beberapa aspek sosial budaya masyarakat yang ikut terpengaruh oleh dampak perubahan iklim antara lain pada aspek sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, struktur sosial, dan posisi sosial nelayan. Sistem pengetahuan yang terbentuk berdasarkan pengalaman empirik nelayan-nelayan

Tulisan ini merupakan analisis kerentanan yang diakibatkan oleh dampak negatif perubahan iklim menggunakan perspektif sosiologis. Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas dan upaya dalam menyikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi penghidupan masyarakat. Dengan kata lain dapat menguatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

Metode Penelitian

Studi ini merupakan studi berparadigma konstruktivis (Denzin dan Lincoln ed. 2000) atau paradigma subjektif (Burrel dan Morgan (1979), yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action, melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan mengelola dunia sosial mereka. Dengan demikian studi ini memusatkan perhatian pada yang disebutkan Guba dan Lincoln (1994: 109) sebagai upaya "pemahamann tentang suatu realitas sosial tertentu” yang terbentuk dalam konteks kesejarahan (realisme historis), dalam konteks sosial suatu ajang sosial tertentu (relativisme), dan hanya mungkin dipahami secara terbatas (realisme kritis). Metode yang digunakan adalah metode studi kasus historis. Predikat ‘historis’ menekankan bahwa pokok kajian studi bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu, melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu (Kartodirdjo 1992). Istilah ‘kasus’" sendiri memberi pembatasan bahwa proses sosial yang dikaji tidak berada dalam cakupan sejarah non-kontemporer (klasik), melainkan dalam cakupan sejarah kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup.

Lokasi penelitian di Desa Asilulu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Asilulu merupakan wilayah di pesisir utara Pulau Ambon dan salah salah satu sentra produksi ikan tuna di Kabupaten Maluku Tengah. Usaha penangkapan tuna di Asilulu sudah dimulai sejak tahun 1990-an. Secara geografis Asilulu berada di semenanjung Pulau Ambon yang langsung berhadapan dengan laut Banda dan laut Seram sekaligus sehingga secara teoritis sangat terbuka atas paparan dampak perubahan iklim. Waktu pengambilan data dari tahun 2011 sampai 2012.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pengamatan berperan serta (participant- observation), Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam secara langsung pada subjek penelitian. Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya. Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, observasi dan FGD dianalisis menggunakan analisa kualitatif.

Pedoman Analisa Data

Kerentanan dilihat pada dua aspek. Pertama, kerentanan sebagai faktor ekstenal dari sistem sosial ekonomi masyarakat sebagai dampak langsung dari perubahan iklim. Dalam aspek ini, kerentanan dilihat sebagai tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut terkena dampak atau ketidak mampuan mengatasi dampak dari perubahan iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Di sini kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Kedua, kerentanan sebagai bagian dari hasil adaptasi. Di sini kerentanan dilihat sebagai perkiraan besar dampak buruk timbul akibat keragaman dan Kerentanan dilihat pada dua aspek. Pertama, kerentanan sebagai faktor ekstenal dari sistem sosial ekonomi masyarakat sebagai dampak langsung dari perubahan iklim. Dalam aspek ini, kerentanan dilihat sebagai tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut terkena dampak atau ketidak mampuan mengatasi dampak dari perubahan iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Di sini kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Kedua, kerentanan sebagai bagian dari hasil adaptasi. Di sini kerentanan dilihat sebagai perkiraan besar dampak buruk timbul akibat keragaman dan

Gambar 1. Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim Analisis kerentanan pada penelitian ini merujuk pada penilaian kerentanan

berdasarkan IPCC (2007) mengkaji tiga komponen: paparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). Komponen kajian kerentanan dan metode yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komponen dan Metode Analisis Kerentanan Komponen Kajian

No

Metode yang Digunakan

Kerentanan

1 Paparan Kalender musiman, sejarah waktu, Pengalaman iklim, dampak fisik

2 Kepekaan Pemetaan bahaya, analisis kecenderungan bahaya, peringkat jenis/tingkatan bahaya, peringkat risiko bahaya, model mental, pengembangan skenario secara partisipatif untuk potensi risiko

3 Kemampuan Pemetaan sumberdaya masyarakat, kajian kerentanan adaptasi

sumberdaya terkait kesejahteraan, matriks kerentanan dan kemampuan, matriks kajian strategi mengatasi dan beradaptasi terhadap perubahan, strategi efektifitas daptasi

Sumber: IPCC (2007). Kerentanan didefinisikan sebagai seberapa jauh masyarakat menerima dampak dari

adanya suatu perubahan (tidak mampu mengatasi atau mengurangi dampak). Dengan demikian, kerentanan adalah sisa potensi dampak (dampak terpendam) yang tidak bisa diatasi oleh kemampuan adaptasi. Dalam aspek ini, kerentanan menunjukkan besarnya selang toleransi (coping range) sistem terhadap perubahan iklim. Semakin sempit selang toleransi, maka semakin rentan sistem tersebut terhadap dampak perubahan iklim. Lebar selang tolerasi berubah dengan waktu sejalan dengan berubahnya faktor yang menentukan selang tolerasi. Kerentanan adalah apabila perubahan iklim melewati batas kritis (critical threshold), yang berarti kondisi iklim saat itu melewati batas kemampuan mereka untuk mengatasinya dan sebagai dampaknya nelayan akan mengalami kerugian (Gambar 2).

Gambar 2. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan perubahan iklim (Sumber: Jones et al. 2004).

Analisis Potensi Risiko

Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko (potencial impact) dengan melihat tingkat paparan dan kepekaan. Potensi risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan gabungan dari paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Risiko adalah dampak terpendam yang merupakan gabungan dari paparan dan kepekaan. Dampak risiko menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Pengertian ‘potensi dampak’ menggambarkan gabungan luasan, intensitas dan frekuensi dampak perubahan kondisi iklim pada suatu wilayah.

IPCC (2007) mendefinisikan paparan adalah sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem. Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan. Paparan keragaman iklim pada dasarnya adalah fungsi ruang (wilayah). Masyarakat pesisir dan dataran tinggi akan mengalami paparan yang berbeda terhadap perubahan kondisi iklim tertentu. Masyarakat dataran tinggi tidak terpapar kenaikan muka laut.

Analisis paparan ditujukan untuk menampilkan pandangan masyarakat atas kondisi iklim di desa dalam beberapa tahun terakhir, khususnya yang berhubungan dengan penghidupan (mata pencarian utama, sumberdaya alam dan sarana infrastruktur) dan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu diuraikan terlebih dahulu komponen perubahan kondisi iklim yang menjadi permasalahan. Misalkan, paparan kenaikan muka laut yang mungkin akan dialami berbeda oleh anggota masyarakat pada suatu desa. Sementara pada paparan iklim yang dialami merata oleh tiap anggota masyarakat sama (atas pola musim atau curah hujan), perbedaan terletak pada pengaruhnya atas sumber penghidupan yang berbeda.

IPCC (2007) mendefinisikan kepekaan sebagai dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim. Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja. Petambak ikan di pesisir memiliki kepekaan tinggi terhadap kenaikan permukaan laut dibandingkan pembudidaya rumput laut pada lokasi yang sama. Dengan pengertian ini, kepekaan merupakan sebuah asumsi dampak berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki.

Analisis kepekaan ditujukan untuk mengetahui dampak dari kondisi pola iklim (pola musim) yang berubah dan cuaca buruk terhadap sumberdaya (sumberdaya alam, harta milik, dan infrastruktur) serta terhadap masyarakat (pada kesehatan, dan kehidupan sosial lainnya).

Analisis Kemampuan Adaptasi

Kemampuan adaptasi adalah karakteristik yang melekat pada lembaga-lembaga yang memberdayakan aktor sosial untuk menanggapi langkah-langkah pendek dan jangka panjang Kemampuan adaptasi adalah karakteristik yang melekat pada lembaga-lembaga yang memberdayakan aktor sosial untuk menanggapi langkah-langkah pendek dan jangka panjang

Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi yang meliputi kondisi pada aspek sosial- ekonomi, penghidupan dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi ancaman perubahan iklim. Sedangkan adaptasi adalah kemampuan masyarakat untuk mampu menghadapi dan mengatasi perubahan iklim pada saat ini dan di masa datang. Penilaian kemampuan adaptasi ini penting untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim. Tujuan analisis kemampuan adaptasi ialah untuk menilai tingkatan kemampuan (kemampuan) masyarakat saat ini dalam menghadapi dan mengatasi masalah iklim yang berubah atau cuaca buruk.

Potensi Risiko Perubahan Iklim di Lokasi Penelitian

Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko (potencial impact) dengan melihat tingkatan paparan dan kepekaan. Potensi risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan gabungan dari paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah.

Tingkat Paparan Komunitas

Paparan adalah sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem (IPCC 2007). Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan.

Paparan di sini adalah paparan pada level komunitas, bukan pada level rumah tangga atau individu. Kolopaking (2011) merumuskan terdapat dua indikator menilai keterpaparan rumat tangga atas dampak perubahan iklim yakni pertama, kedekatan properti atau sumber mata pencaharian keluarga (meliputi rumah, lahan pertanian, sumber mata pencaharian dan properti lainnya) terhadap pusat bencana (banjir, bahaya longsor, kekeringan); dan kedua, upaya atau langkah-langkah penanganan bencana yang sudah dilakukan dan efektivitas/ tingkat keberhasilan upaya yang dilakukan dalam mengurangi besar dampak.

Kedua indikator tersebut kurang tepat diaplikasikan pada wilayah pesisir dan komunitas nelayan dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya properti keluarga di wilayah pesisir hampir secara semuanya dekat dengan sumber bencana jika bencana perubahan iklim pad sektor ini adalah gelombang pasang, abrasi pantai dan intrusi air laut ke darat. Sumber mata pencaharian komunitas nelayan adalah lautan bebas yang dengan demikian juga secara keseluruhan terpapar secara langsung oleh dampak perubahan iklim. Itulah mengapa unit analisis yang digunakan dalam disertasi ini adalah analisis komunitas, bukan rumah tangga atau komunitas. Selain itu, apabila indikator kedua digunakan untuk menilai keterpaparan, penilaian hanya bisa dilakukan apabila bencana sudah terjadi dan sudah dilaksanakan upaya atau langkah-langkah penanganannya. Oleh karena itu, dalam disertasi ini disusun indikator penilaian paparan perubahan iklim meliputi aspek-aspek sosial ekonomi budaya dan dilakukan secara deduktif dengan memprediksi tingkat kerentanan berdasarkan skenario yang telah dibuat. Penilaian dilakukan pada level komunitas desa dengan berpedoman pada definisi kerentanan IPCC (2007). Indikator tersebut dapat dilihat pada Bab 3 tabel 3.2. Di situ tingkat paparan dibagi atas tiga kategori dengan indikator dan karakteristik masing-masing.

Desa Asilulu terletak pada kawasan pesisir utara Pulau Ambon di mana hampir 90 Desa Asilulu terletak pada kawasan pesisir utara Pulau Ambon di mana hampir 90

Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka dapat dideskripsikan bahwa komunitas nelayan di desa Asilulu ini telah mengalami beberapa hal terkait perubahan iklim sebagai berikut:

1) Masa berlangsungnya angin musim dan musim penghujan berubah: bergeser hingga lebih dari satu bulan, tanda-tanda datangnya musim seluruhnya tidak sama lagi, kemampuan masyarakat untuk menduga musim tidak lagi dapat diandalkan.

2) Kejadian cuaca buruk yang merusak harta benda dan mengancam keselamatan jiwa berlangsung hampir setiap tahun.

3) Luasan wilayah yang tergenang air laut karena pasang tertinggi atau kenaikan permukaan laut menunjukkan pertambahan setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir. Mengingat bahwa hampir seluruh nelayan bergantung pada sumberdaya alam maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh nelayan di Asilulu memiliki risiko yang tinggi terpapar dampak dan risko negatif dari perubahan iklim.

Tingkat Kepekaan Komunitas

Kepekaan adalah dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim (IPCC 2007). Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja.

Hasil analisis kepekaan komunitas nelayan di lokasi penelitian digambarkan sebagai berikut. Pertama, perubahan kondisi iklim dirasakan pengaruhnya sangat pada kegiatan penghidupan (mata pencaharian) masyarakat karena ketergantungan yang begitu tinggi terhadap “keramahan” sumberdaya alam. Kedua, dalam satu musim kegiatan penghidupan masyarakat, nelayan mengalami hambatan satu musim dan bahkan lebih. Hambatan yang dihadapi terutama badai yang tidak bisa diprediksi, musim paceklik ikan yang lebih lama dan fishing ground yang bergeser jauh ke tengah melampaui daya jelajah nelayan. Ketiga, pengaruh perubahan kondisi iklim pada ketenangan jiwa masyarakat dirasakan sangat besar terkait dengan kekhawatiran risiko melaut yang tinggi dan susah diprediksi. Bukan hanya kekhawatiran nelayan, tetapi juga kekhawatiran keluarga di rumah karena banyaknya informasi kecelakaan di laut yang menelan korban jiwa karena cuaca ekstrim. Keempat, pengaruh perubahan kondisi iklim pada sumberdaya alam perikanan sangat besar meliputi pola pergerakan ikan yang semakin sudah diprediksi, perkiraan jenis umpan yang disukai ikan yang sering salah karena ikan lebih menyukai jenis umpan yang lain, dan ditambah angin kencang serta gelombang tinggi yang membahayakan kalaupun mereka mengetahui posisi dan jenis umpan yang disukai ikan. Kelima, kejadian cuaca buruk yang mengakibatkan kerusakan harta benda dan kecelakaan dalam sepuluh tahun terakhir.

Faktor kepekaan lainnya adalah masalah ketahanan pangan. Kepekaan pangan penting untuk disorot dalam kaitan dengan dampak dampak dan risiko perubahan iklim karena perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-

8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, 8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sebagai tambahan,

Di Maluku, meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor ini belum terpapar oleh perubahan iklim, tetapi bagaimana sektor ini berkontribusi terhadap kerentanan komunitas penting untuk dikemukakan. Faktor ini tidak dimasukkan ke dalam tabel karena faktor ini pada satu sisi bisa juga menjadi faktor yang meningkatkan kemampuan adaptasi komunitas. Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Bencana alam atau bencana teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan.

Di Asilulu, sebagaimana wilayah lain di Pulau Ambon, tidak ada sawah untuk menanam padi, ladang jagung pun bukan hal yang umum dijumpai. Kebun-kebun masyarakat kebanyakan berbatu karang, bukan tanah. Masyarakat Asilulu tinggal di pesisir dan pulau- pulau kecil seperti Pulau Lain dan Pulau Kasuari. Profesi utama mereka tentu saja sebagai pencari ikan atau nelayan. Sementara kondisi geografis daratan yang ditempati sangat kering dan lebih cocok dengan tanaman semacam ketela pohon atau singkong (bahasa lokal: kasbi). Itu makanya mereka sesungguhnya lebih akrab dengan dua komoditas ini sebagai bahan pangan utamanya.

Melihat kenyataan ini, sesungguhnya sistem pangan yang bergantung kepada sagu dan singkong itu tercipta karena adaptasi masyarakat dengan kondisi geografis dan sumberdaya alam yang tersedia. Bukan hanya dari segi budaya, namun juga pola konsumsi masyarakat sebagai wujud adaptasi terhadap alam yang melingkupi. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, dahulu masyarakat Maluku memanfaatkan kekayaan alam yang tersedia sangat melimpah. Sagu, Singkong dan ikan merupakan sumber bahan pangan yang menjadi sumber kecukupan kalori masyarakat Maluku.

Perubahan pola komsumsi pangan dari sagu dan singkong ke beras mulai terjadi seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang revolusi hijau yang menggenjot produksi padi secara massal, sehingga harga beras menjadi begitu murah, posisi sagu dan singkong sebagai makanan pokok masyarakat pun mulai tergeser oleh beras. Walaupun produksi padi dan luas lahannya terus meningkat, tapi berdasarkan peta kerawanan pangan nasional (2009) yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Maluku termasuk daerah yang mengalami kerawanan pangan parah dengan kategori defisit tinggi yang merupakan indikator terparah. Hal ini dikarenakan rasio antara tingkat produksi dan konsumsi tidak seimbang. Berdasarkan hasil diskusi pada kajian ketahanan pangan wilayah kepulauan yang diselenggarakan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku di Ambon, 13 Mei 2011, di mana penulis menjadi salah satu fasilitator, Maluku masuk dalam kategori rawan pangan sesungguhnya bukan karena rawan pangan melainkan variabel pangan yang digunakan utamanya adalah beras dan sereal serta umbi-umbian dan tidak mengakomodasi pangan lokal yang sudah secara turun temurun menjadi makanan pokok penduduk lokal Maluku yaitu sagu dengan berbagai makanan olahannya.

Provinsi Maluku membutuhkan beras sebesar 116.130 ton/tahun, saat ini produksi beras di Maluku baru mencapai 48.048 ton/tahun. Kekurangannya didatangkan dari luar Provinsi Maluku membutuhkan beras sebesar 116.130 ton/tahun, saat ini produksi beras di Maluku baru mencapai 48.048 ton/tahun. Kekurangannya didatangkan dari luar

Kebiasaan masyarakat Maluku, termasuk penduduk di lokasi penelitian mengkomsumsi beras dan relatif tidak lagi menjadikan sagu sebagai makanan pokok tentu saja membawa dampak kerentanan pada ketahanan pangan masyarakat. Di Pulau Ambon sama sekali tidak ada sawah. Jika terjadi kekacauan produksi di Jawa dan Sulawesi dan/atau ganguan transportasi akibat cuaca ekstrim tentu akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan di daerah ini. Akses dari kota provinsi ke kabupaten dan pulau-pulau di sekitarnya sangat sulit karena harus menggunakan transportasi laut yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Pada musim-musim tertentu, cuaca ekstrim dengan intensitas yang tinggi sangat membahayakan pelayaran sehingga jarang ada kapal perintis yang berani berlayar. Jika di pulau terjadi kegagalan panen maka dapat dipastikan penduduk setempat akan mengalami krisis pangan. Kerawanan pangan di Maluku berpotensi disebabkan oleh banyak faktor tetapi faktor utama adalah ketersediaan dan distribusi. Tentu saja ceritanya akan berbeda seandainya penduduk lokal masih mempertahankan makanan lokal yang tersedia melimpah seperti sagu, singkong dan ikan.

Kepekaan lainnya adalah pada aspek kepercayaan dan keyakinan. Nelayan masih meyakini bahwa rezeki adalah urusan Allah sehingga tugas mereka hanyalah mencari. Banyaknya rezeki yang diperoleh diyakini sebagai bentuk kemurahan Allah kepada mereka sedang kekurangannya dipahami sebagai ujian untuk bekerja dan berusaha lebih giat lagi. Apapun, semua harus dilakukan dengan berbuat baik kepada sesama manusia dan alam sekitar serta tidak menyakiti manusia atau makhluk lainnya karena akan mendatangkan ketidaksukaan Allah kepada mereka. Secara turun temurun, bentuk keyakinan seperti itu diimplikasikan kepada pada praktek melaut misalnya pantang melaut pada hari Jumat. Menurut keterangan beberapa informan, dulu, biarpun ikan sedang banyak-banyaknya, tidak seorang pun nelayan yang berani melaut pada hari Jumat. Meskipun mungkin beberapa nelayan tidak melaksanakan shalat Jumat, tetapi mereka tetap menghormati hari Jumat dengan tidak melaut pada hari tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa nelayan mulai melanggar pantangan tersebut. Pernah sekali waktu, FGD yang dijadwalkan di desa induk Asilulu batal karena nelayan semua ke laut pada hari itu. Katanya ikan sedang panen, setelah hampir 6 bulan paceklik. Nelayan khawatir panen hanya berlangsung sebentar sehingga harus melaut setiap hari. Meskipun di dusun Batu Lubang, tradisi pantangan itu masih dipertahankan sampai sekarang. Tampaknya memang tidak menentunya musim ikan dan perubahan-perubahan ekologi lainnya telah mengikis sistem kepercayaan dan keyakinan dari nelayan sedikit demi sedikit.

Mempertimbangkan paparan dan kepekaan komunitas yang digambarkan sebelumnya dapat dikatakan bahwa potensi risiko perubahan iklim sangat tinggi terhadap sistem sosial ekonomi nelayan. Ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya laut yang mencakup hampir 90 persen dari anggota masyarakat usia kerja membuat dimensi paparan meliputi Mempertimbangkan paparan dan kepekaan komunitas yang digambarkan sebelumnya dapat dikatakan bahwa potensi risiko perubahan iklim sangat tinggi terhadap sistem sosial ekonomi nelayan. Ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya laut yang mencakup hampir 90 persen dari anggota masyarakat usia kerja membuat dimensi paparan meliputi

Kemampuan Adaptasi

Kemampuan adaptasi menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (to cope with the consequences) (Jones et al. 2004). Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi yang meliputi kondisi pada aspek sosial- ekonomi, penghidupan dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi ancaman perubahan iklim.

Hasil analisis kemampuan adaptasi komunitas nelayan di lokasi penelitian digambarkan sebagai berikut. Pertama, komunitas memiliki jaringan sosial yang kuat yang menjadi sumber dukungan sosial. Penduduk Asilulu adalah orang-orang yang terikat secara kekerabatan yang sangat kuat. Setiap orang merupakan bagian dari satu marga dan setiap marga menempati posisi tersendiri dalam sistem sosial kemasyarakat dan pemerintahan yang diwariskan secara turun temurun. Dalam sistem sosial masyarakat Asilulu, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah. Oleh karena itu, di dalam masyarakat adat, setiap marga/famili atau mata rumah telah mengetahui posisi dan jabatannya dalam struktur pemerentah negeri sehingga setiap orang yang ditentukan dan terpilih dalam jabatannya pada struktur pemerintah negeri sangat ditokohkan oleh masyarakat. Sementara penduduk pendatang yang secara ekslusif mendiami wilayah petuanan juga terikat sangat kuat dengan dasar kekerabatan pula.

Kenyataan bahwa seluruh penduduk beragama Islam menjadi faktor kuat pembentukan jaringan sosial yang ada. Ajaran Islam tentang kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian merupakan faktor eksternal yang mendorong terciptanya ikatan antar anggota komunitas yang sangat erat. Umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila satu bagian merasa sakit yang lain pun akan merasakan. Saling memberi baik secara material dan moral membawa kebahagiaan yang akan membantu manusia untuk menikmati hidup dan memberikan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.

Pada dasarnya desa di Pulau Ambon terkonstruksi secara homogen berdasarkan agama yang dianut warga. Geo-sosial yang bercorak genealogis itu telah pula terpola menjadi sebuah geo-religius, setiap warga di salah satu desa menganut agama yang sama. Desa yang penduduknya beragama Islam disebut Negeri Salam dan desa yang penduduknya beragama Kristen disebut Negeri Sarani (Subair dkk. 2008). Dalam hal ini, Asilulu adalah sebuah negeri salam. Pembentukan negeri seperti itu memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok. Karena itu dengan menyebut seseorang sebagai anak negeri tertentu, akan jelas diketahui agama yang dianutnya. Demikian pun “fam” atau “marga” akan menunjuk langsung pada aliansi agama seseorang. Secara kultural negeri- negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat, yang mencakup sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dan lain-lain.

Kedua, komunitas memiliki kebersamaan dan rasa toleransi yang tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk didalamnya kegiatan perikanan. Masyarakat di Asululu memiliki hubungan, tradisi dan kelembagaan adat dipercaya diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun, dan efektif mengatur tata kehidupan masyarakat sejak dulu kala sampai saat ini. Tradisi dan kelembagaan itu merupakan aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang dilaksanakan yaitu tradisi tolong menolong. Hubungan dan tradisi itu adalah pela dan gandong, masohi, badati, maano, dan makan pasuri. Penanggung Kedua, komunitas memiliki kebersamaan dan rasa toleransi yang tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk didalamnya kegiatan perikanan. Masyarakat di Asululu memiliki hubungan, tradisi dan kelembagaan adat dipercaya diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun, dan efektif mengatur tata kehidupan masyarakat sejak dulu kala sampai saat ini. Tradisi dan kelembagaan itu merupakan aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang dilaksanakan yaitu tradisi tolong menolong. Hubungan dan tradisi itu adalah pela dan gandong, masohi, badati, maano, dan makan pasuri. Penanggung

Ketiga, komunitas memiliki platform pengelolaan sumberdaya yang berdasar pada pandangan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Salah satu hal yang menunjukkan hal ini adalah sistem perlindungan alam (sasi, pemeliharaan, pelestarian). Selain itu dikenal istilah ‘tiga tungku’ yang terdiri atas lembaga pemerintah (raja adalah pemangku adat di desa/negeri), lembaga pendidikan (dalam hal ini adalah guru) dan lembaga agama (kelembagaan masjid). Keterkaitan hubungan platform tiga tungku memberikan makna bahwa peran serta menjadi dasar bagi pengembangan masyarakat.

Keempat, kerukunan komunitas yang tinggi. Indikator ini berhubungan dengan keadaan kerukunan di antara nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan. Kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan lebih baik karena hampir semua nelayan tidak ada perbedaan dalam kepemilikkan alat tangkap seperti perahu, jaring dan pancing dimana kondisi semua nelayan hampir sama. Selain itu, karena potensi sumberdaya perikanan juga masih baik sehingga tidak ada rasa persaingan yang dapat memicu konflik antar nelayan.

Kelima, penduduk memiliki banyak kearifan dalam hal pangan yang telah membuat masyarakat Asilulu tidak pernah menderita kelaparan atau gizi buruk. Pangan lokal yang “pro iklim” bersumber dari bahan pangan yang melimpah di lokasi penelitian dan di Pulau Ambon secara umum yaitu sagu, ikan dan singkong (bahasa lokal: kasbi). Pohon sagu di Maluku tumbuh secara alami tanpa tindakan budi daya dari penduduk setempat. Apalagi sebagian besar lahan di Maluku yang potensial adalah berupa rawa, maka sagu merupakam sumber pangan melimpah bagi masyarakat. Selain sagu, singkong juga merupakan komoditas penting di Maluku karena merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di pedalaman. Selain itu, singkong secara ekologis adalah tanaman pangan yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik dengan menggunakan teknologi sederhana.

Beberapa jenis pangan lokal yang diolah dari kedua komoditas di atas antara lain berbagai pangan olahan sagu dan olahan singkong yang disebut kasuami atau ‘suami’. Sagu dikomsumsi sebagai makanan pokok. Sagu dapat diolah dalam berbagai hal mulai dari makan ringan, sampai makanan pokok. Salah satu bahan olahan yang berbahan dasar sagu adalah “Papeda”. Papeda di buat dari sagu mentah, yang bentuknya seperti tanah liat berwarna putih. Kemudian di campur dengan air panas sambil diaduk-aduk, sampai bentuknya kenyal-kenyal seperti lem. Cara makannya sangat sederhana. tanpa menggunakan sendok, dan langsung disedot menggunakan mulut. Papeda dapat di hidangkan dengan kuah sayur ataupun kuah ikan. Bentuk hasil olahan sagu yang lain adalah embal, sagu lempeng, sagu bakar, sagu gula, sagu tumbu, dan bagea. Beberapa bahan olahan pangan dari sagu tersebut memang disiapkan bertahan selama satu tahun untuk mempersiapkan diri agar bisa bertahan pada situasi krisis seperti itu cuaca ekstrim yang memutus transportasi laut.

Pangan olahan dari singkong di Maluku dikenal dengan nama ‘suami’. Penduduk asli Buton menyebut juga makanan ini dengan sebutan “Kasuami”, tetapi lama kelamaan orang lebih akrab dengan sebutan ‘suami’. Makanan olahan singkong ini memang merupakan makanan asli penduduk Buton Sulawesi Tenggara. Masyarakat Buton mengenal tiga macam ’suami‘ yaitu suami hitam yang terbuat dari ubi yang dijemur selama satu minggu lalu dikukus, suami biasa yang dibuat dari ubi yang diparut lalu dikukus dan suami pepeh yaitu suami yang dibuat dari ubi yang diparut lalu dipipihkan menggunakan alat khusus dicampur minyak. Saat ini, makanan ini juga sudah menjadi makanan yang sangat melekat dengan Pangan olahan dari singkong di Maluku dikenal dengan nama ‘suami’. Penduduk asli Buton menyebut juga makanan ini dengan sebutan “Kasuami”, tetapi lama kelamaan orang lebih akrab dengan sebutan ‘suami’. Makanan olahan singkong ini memang merupakan makanan asli penduduk Buton Sulawesi Tenggara. Masyarakat Buton mengenal tiga macam ’suami‘ yaitu suami hitam yang terbuat dari ubi yang dijemur selama satu minggu lalu dikukus, suami biasa yang dibuat dari ubi yang diparut lalu dikukus dan suami pepeh yaitu suami yang dibuat dari ubi yang diparut lalu dipipihkan menggunakan alat khusus dicampur minyak. Saat ini, makanan ini juga sudah menjadi makanan yang sangat melekat dengan

Keenam, nelayan memiliki kegigihan bekerja dan daya juang yang tinggi dalam mempertahankan dan mengembangkan usaha penangkapan ikan. Nilai-nilai adat dan agama menjadi basis dari etos kerja dan daya juang tersebut. Pekerjaan nelayan diyakini sebagai pekerjaan warisan nenek moyang sehingga harus dipertahankan dengan segala cara. Bekerja sebagai nelayan, oleh karenanya bukan hanya sekedar mencari nafkah untuk keluarga tetapi juga sekaligus melaksanakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang nelayan.

Bagi nelayan di lokasi penelitian, bekerja merupakan ibadah yang dilakukan berdasarkan tuntunan agama. Bekerja bagi mereka adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat Allah swt. dengan berpedoman kepada Al- Qur’an QS. Saba’ [34]: 13. Nelayan memahami bahwa dengan bekerja berarti mereka merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang nelayan menjadi pekerja yang sangat gigih dan merupakan salah satu faktor yang menguatkan kemampuan adaptasinya.

Ketujuh, nelayan memiliki keahlian, kemampuan, dan kerjasama serta motivasi kuat untuk mengatasi masalah perubahan kondisi iklim terhadap sumber penghidupan. Di Maluku, nelayan di Asilulu dikenal sebagai nelayan yang ahli dalam mengarungi lautan secara turun temurun. Penduduk Asilulu juga dikenal sebagai pembuat perahu tradisional yang handal. Selain keterampilan melaut, umumnya nelayan juga memiliki keterampilan hidup yang lain terutama keterampilan pertukangan baik tukang kayu atau batu, dan berkebun. Hampir semua laki-laki dewasa di Asilulu memiliki keterampilan pertukangan sehingga bisa membuat atau memperbaiki rumah sendiri. Tampaknya, tradisi masohi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya membentuk laki-laki di wilayah ini merasa wajib mempelajari keterampilan pertukangan.

Kedelapan, lingkungan tempat bermukim yang sehat, sumberdaya alam yang beragam, dan sumber air yang sehat dan cukup. Pemukiman di Asilulu tertata rapi mengikuti garis pantai dengan hutan yang masih terawat di belakangnya. Sarana air bersih di Asilulu meliputi sumur pompa, sumur gali dan hidran umum yakni pelayanan air bersih komunal melalui sistem perpipaan, dimana unit terdiri dari bak penampung air yang dilengkapi kran.

Kesembilan, nelayan memiliki pengetahuan dan pengalaman menghadapi perubahan lingkungan sebelumnya. Nelayan di Asilulu mewarisi secara turun temurun pengetahuan melaut dari generasi ke generasi. Perubahan-perubahan ekologi lautan yang terjadi secara sangat perlahan dalam waktu yang cukup lama “memberi kesempatan” kepada nelayan untuk mengembangkan teknologi mengadaptasi perubahan yang terjadi. Nelayan di Asilulu relatif terbuka terhadap inovasi teknologi yang baru dan selalu melakukan pembaruan pengetahuan tentang melaut sehingga pengetahuan yang ada sekarang ini merupakan hasil dari akumulasi pengalaman dan adopsi pengetahuan dari pihak luar yang dimodifikasi ulang sesuai dengan karakter adat dan sistem sosial mereka.

Hasil analisis terhadap potensi risiko dan kemampuan adaptasi terkait perubahan iklim di lokasi penelitian dirangkum ke dalam tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis potensi risiko perubahan iklim pada komunitas nelayan No

Aspek

Uraian lebih lanjut

1 Paparan (exposure) Masa berlangsungnya angin musim dan musim penghujan Sejauh mana

berubah: bergeser hingga lebih dari satu bulan, tanda-tanda perubahan iklim

datangnya musim seluruhnya tidak sama lagi, kemampuan bersinggungan

masyarakat untuk menduga musim tidak lagi dapat dengan pola

diandalkan.

kehidupan dan Kejadian cuaca buruk yang merusak harta benda dan penghidupan

mengancam keselamatan jiwa berlangsung hampir setiap masyarakat maupun

tahun.

ekosistem Luasan wilayah yang tergenang air laut sekitar 3 meter karena pasang tertinggi atau kenaikan permukaan laut dalam 10 tahun terakhir.

2 Kepekaan Perubahan kondisi iklim sangat dirasakan pengaruhnya pada (vulnerability)

kegiatan penghidupan (mata pencaharian)

Dampak dari Dalam satu musim kegiatan penghidupan masyarakat, perubahan iklim,

nelayan mengalami hambatan satu musim dan bahkan lebih. meliputi dampak dari Pengaruh perubahan kondisi iklim pada ketenangan jiwa perubahan pola

masyarakat dirasakan sangat besar

musim jangka Pengaruh perubahan kondisi iklim pada sumberdaya alam panjang, kejadian

perikanan sangat besar

cuaca buruk jangka Kejadian cuaca buruk yang mengakibatkan kerusakan harta pendek/singkat, dan

benda dan kecelakaan dalam sepuluh tahun terakhir bencana terkait perubahan iklim.

3 Potensi Risiko Ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya laut yang Gabungan dari

mencakup lebih dari 90 persen anggota masyarakat membuat paparan dan

dimensi paparan meliputi hampir semua komunitas nelayan. kepekaan,

Laju perubahan lingkungan yang melampaui pengetahuan dan menggambarkan

keterampilan nelayan yang bersumber dari pengalaman dan keseluruhan kerugian pengetahuan turun temurun membuat nelayan sangat peka yang mungkin terjadi terhadap dampak perubahan iklim. bila kondisi iklim berubah.

Menilai Kerentanan Komunitas

Setelah membahas tingkat potensi risiko dan kemampuan adaptasi maka tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan kondisi iklim dapat dinilai. Penilaian di sini dilakukan secara kualitatif dengan mempertimbangkan hasil analisis potensi risiko – yang meliputi paparan dan kepekaan, dan kemampuan adaptasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Meskipun potensi risiko perubahan iklim terhadap komunitas nelayan sangat tinggi tetapi hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi yang tinggi mampu mengurangi potensi risiko tersebut. Sebagai implikasinya dapat dikatakan bahwa kerentanan komunitas terhadap dampak perubahan iklim dikategorikan ‘sedang’ yang berarti bahwa dampak perubahan iklim masih dalam selang toleransi (coping range) sistem komunitas desa yang berarti komunitas masih mampu mengatasinya dan sebagai dampaknya nelayan belum mengalami kerugian yang berarti. Dengan kata lain, dampak perubahan iklim masih dalam selang toleransi (coping range) sistem komunitas desa yang berarti komunitas masih mampu mengatasinya dan sebagai dampaknya nelayan belum mengalami kerugian yang berarti.

Kesimpulan ini sesuai dengan penjelasan nelayan yang diperoleh dari wawancara dan FGD serta pengamatan langsung penulis pada kegiatan dan kehidupan nelayan di lokasi penelitian. Penulis menampilkan beberapa hasil wawancara yang menggambarkan kerentanan nelayan sebagai dampak dari paparan dan kepekaan nelayan terhadap perubahan iklim tetapi pada akhirnya mampu dikurangi melalui kemampuan adaptasi yang dimiliki.

“Sekarang jangkauan melaut su paling jauh bahkan sampai di Buru (Pulau Buru). Untungnya, akses di laut itu bebas dan terbuka” (Arif, wawancara 16 September 2012).

“Biasanya katong mulai star itu akhir bulan tiga atau awal bulan empat, itu menghadapi pancaroba timur, di laut Buru tidak bisa. Desember sampai akhir Maret itu, atau pancaroba timur, mancari di selatan pulau Ambon boleh. Basecam itu di biasanya di Tial. Di sebelah barat pulau Ambon itu tidak ada ikan. Tapi kalau September sampai awal Desember, itu semua. Semua arah mata angin itu semua ikan makan. Laut pada waktu itu juga tenang, ada angin tapi tidak terlalu. Itu katong mancari di mana saja ada. Hitungan itu masih katong pake sampai sekarang, sejak ikan tuna secara resmi katong tangka p di sini sejak tahun 1992” (Musa, wawancara 13 Maret 2011).

Ungkapan dua orang informan di atas menggambarkan bahwa pergeseran fishing ground yang relatif menjadi lebih jauh dari biasanya disikapi secara positif dan didukung oleh sistem kepemilikan sumberdaya laut yang terbuka (open access). Selanjutnya dukungan kelembagaan yang memungkinkan nelayan mengembangkan luasan jangkauan produksi akan dijelaskan pada bab berikutnya. Strategi adaptasi yang memanfaatkan potensi kemampuan adaptasi yang tinggi akan dijelaskan lebih lengkap selanjutnya dan peran lembaga lokal “pengumpul” akan diulas pada bab selanjutnya.

Sebagian nelayan mengakui bahwa “perubahan iklim” menekan sistem penghidupan mereka tetapi hal itu tidak lantas membuat mereka menyerah atau keluar dari bidang pekerjaan perikanan. Nelayan melakukan beberapa strategi menghindari cuaca ekstrim yang membahayakan jiwa diantaranya dengan cara yang sederhana yakni menunggu.

“….yang jalan sekarang ini kan nelayan yang untung-untungan saja. Nelayan yang lain menonton saja. Kalau pas ada yang pulang bawa hasil banyak, ya sudah, mereka baru turun juga. Jadi kalau empat atau lima bodi yang bajalan hanya ada satu yang menarik (membawa hasil), itu dianggap ikan belum makan. Tetapi tetap saja ada nelayan yang turun mencoba. Baru kalau dong lihat tangkapan su banyak, dong baru rame-rame turun ” (Tin, wawancara 16 Maret 2011).

Sebagian lainnya melakukan kegiatan off fishing sementara sambil menunggu laut menjadi “ramah” lagi. Hal itu terungkap dari penjelasan Sekdes Asilulu berikut ini. “Kalau bulan Desember sampai bulan Maret seperti yang nelayan bilang itu, tidak ada nelayan satu pun yang berani ke laut. Nelayan pi ke kebun. Semua nelayan di sini itu punya dusung yang berisi tanaman cengkeh dan pala. Kalau nelayan dari Buton di Batu Lubang itu bakebun kasbi (singkong) dan patatas (ubi jalar), barang dong seng ada dusung. Orang Buton di bawah (Batu Lubang) itu bilang, bulan Desember sampai Maret itu kegiatan memperbaiki pagar. Kalau nelayan di Asilulu itu seng tanam kebun untuk tanaman-tanaman pendek, tapi dong ada tanaman cengkeh dan pala. Waktu itu kesempatan untuk perawatan pohon cengkeh sama pohon pala. Kalau yang punya motor, kerja sambilan jadi tukang ojek” (Ali Mahulete, Sekdes Asilulu, wawancara 16 Maret 2011).