Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekera

UNIVERSITAS INDONESIA

Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekerasan Domestik

(Kekerasan Dalam Rumah Tangga –KDRT-)

Disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Perlindungan Anak

Aditya Awal Sri Lestari 12062050834

Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia Depok, 2014

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar belakang masalah Anak-anak yang menjadi saksi atau terpapar peristiwa kekerasan dalam lingkup

keluarga dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional. 1 Ekspos kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik

dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya.

Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan/atau mental. Menurut Indra Sugiarno, kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak ( care-taker ) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun

emosi. 2 Pengalaman menyaksikan KDRT pada masa kanak telah diketahui sebagai salah

satu faktor penting yang dapat menjelaskan terjadinya KDRT atau kekerasan dalam relasi intim di masa dewasa. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami kekerasan memiliki resiko tiga kali lipat menjadi pelaku kekerasan terhadap isteri dan keluarga mereka di masa mendatang; sedangkan anak perempuan saksi KDRT akan berkembang menjadi perempuan dewasa yang cenderung bersikap

1 Megan H. Bair-Merritt, Mercedes Blackstone and Chris Feudtner. 2006. Physical Health Outcomes of Childhood Exposure to Intimate Partner Violence: A Systematic Review. Journal of Pediatrics.Hlm 279

2 Data diolah dari Ke e pppa. A ak Korba Kekerasa 2009.

pasif dan memiliki resiko tinggi menjadi korban kekerasan di keluarga mereka nantinya. 3

I.B. Rumusan Masalah Peneliti melihat adanya kemungkinan apabila seorang anak memiliki rekam jejak

masa kecil yang menjadikan ia terpapar kekerasan domestik (atau kekerasan dalam rumah tangga) dapat menjadi korban ataupun pelaku di masa depan. Namun yang ingin peneliti lebih mencari tahu adalah implikasi dari seorang anak yang sering (lebih dari dua jenis) kekerasan dalam rumah tangga.

I.C. Pertanyaan Penelitian

a. Apa saja jenis kekerasan dalam rumah tangga yang terpapar oleh informan?

b. Bagaimana implikasi atau dampak dari ia yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga?

I.D. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui apa saja jenis kekerasan yang dapat terpapar oleh seorang anak,

b. Untuk mengetahui dampak dari seorang anak yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga.

3 Holt, Buckley, & Whelan. 2008. The impact of exposure to domestic violence on children and young people: a review of the literature. US National Library of MedicineNational Institutes of Health. Hlm

BAB II KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA KONSEP

II.A. Kajian Literatur Judul 1 : Children Exposed to Domestic Ciolence: Conclusions from the

Literature and Challenge Ahead . Penulis : Overlien, Carolina. 2010. Publikasi : Journal of Social Work, SAGE Publication.

Dewasa ini, kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dengan mudah dapat ditemui dalam kebanyakan anak-anak. Paparan yang terjadi terhadap anak di bidang kekerasan domestik, dalam 30 tahun terakhir telah difokuskan dalam hal perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Penelitian mengenai anak yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga meningkat secara eksponensial dengan penelitian yang dilakukan oleh Holden, et.al tahun 1998 yang memeriksa publikasi artikel dalam rentang 1975 hingga 1995 mengenai anak- anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga dengan hasil selama rentang waktu tersebut, hampir lima kali lebih banyak anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini bagi penulis adalah memberikan gambaran penelitia, membahas implikasi bagi anak ke depannya serta tantangan masa depan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis.

Terminologi dan Taksonomi Holden (2003) menyatakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam

meneliti anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga adalah kurangnya terminologi umum dan definisi yang sekiranya dapat digunakan di lapangan secara langsung. Salah satu akibat dari kurangnya terminologi umum adalah tingkat prevalensi menjadi lebih sulit untuk dibandingkan, baik karena variabilitas dalam meneliti anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga adalah kurangnya terminologi umum dan definisi yang sekiranya dapat digunakan di lapangan secara langsung. Salah satu akibat dari kurangnya terminologi umum adalah tingkat prevalensi menjadi lebih sulit untuk dibandingkan, baik karena variabilitas dalam

Di tahun 1970- an awal, di Amerika Utara, menggunakan dua istilah yakni „untuk bersaksi‟ dan „untuk mengamati‟, hal ini berdampak cukup signifikan bagi anak

karena mereka menjadi saksi dan pengamat yang hampir secara eksklusif tergantikan oleh paparan kekerasan. Istilah ini menurut Fantuzzo dan Mohr (1990) menjadikan lebih inklusif dan tidak membuat asumsi khusus dari pengalaman anak-anak dengan kekerasan. Bagi banyak peneliti, anak bukannya penerima pasif namun sebagai agen aktif yang mana dalam hidupnya pengalaman kekerasan menjadi penting yang dapat memaksa anak dan dalam banyak kasus memaksa mereka juga untuk bertindak.

Prevalence Kebanyakan studi prevalensi secara nasional belum mengangkat isu ini secara

serius. Satu studi di Amerika Serikat, menunjukkan 617 orang dewasa perempuan, 20% diantaranya melaporkan telah banyak menyaksikan bentuk kekerasan fisik antara orang tua mereka selama masa anak-anak. Di Kanada, anak-anak dalam 500.000 rumah tangga di Kanada terkena kekerasan dalam rumah tangga (The General Social Study, 2001). Peneliti mengacu pada sebagian besar perempuan yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat mereka dan menarik kesimpulan bahwa anak-anak menjadi lebih besar pula jumlahnya untuk terpapar kekerasan dalam rumah tangga.

Emotional and Behavioural Consequences Dalam 10 tahun terkahir, penelitian yang dilakukan terakit dengan tema ini

menyimpulkan bahwa paparan kekerasan dalam rumah tangga memiliki kemungkinan kuar dalam merugikan anak sehingga menimbulkan kemungkinan besar agresi, depresi, kemarahan, kecemasan. McAlister Groves (2001) berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang paling beracun untuk anak- anak. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa anak-anak memiliki dampak negatif atas kekerasan yang dilakukan oleh ayah mereka. Bogart et al (2006) menemukan menyimpulkan bahwa paparan kekerasan dalam rumah tangga memiliki kemungkinan kuar dalam merugikan anak sehingga menimbulkan kemungkinan besar agresi, depresi, kemarahan, kecemasan. McAlister Groves (2001) berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang paling beracun untuk anak- anak. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa anak-anak memiliki dampak negatif atas kekerasan yang dilakukan oleh ayah mereka. Bogart et al (2006) menemukan

Hasil penelitian 10 tahun terakhir juga memberikan hasil anak-anak memiliki kemungkinan terdiagnosa DSM-IV PTSD dan merupakan kelompok paling rentan menerima PTSD. Adamson dan Thompson (1998) menemukan anak-anak dalam studi mereka yang memiliki riwayat terkena kekerasan domestic bereaksi dengan intensitas emosional mereka yang besar untuk konflik daripada anak-anak yang tidak tumbuh dalam lingkungan terpapar kekerasan. Penelitian lanjutan menemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dalam meningkatkan resiko masalah perilaku.

Wolfe et.al (2003) dalam 41 studi kasus di Amerika Serikat mengenai paparan kekerasan dalam rumah tangga jelas terkait dengan masalah perilaku dan emosional. Kernic et al (2003) menyebutkan lebih lanjut bahwa anak-anak yang terpapar tersebut memiliki masalah signifikan pada perilaku termasuk perilaku dan kompetensi sosial dengan miskin eksternalisasi dibandingkan dengan kontrol. Di Italia, anak-anak yang terpapar kekerasan domestik lebih memungkinkan untuk terkena juga bullying di sekolah dan bereaksi lebih keras untuk berkonflik pula dengan teman sebayanya. Lee et al (2004) menemukan bahwa anak-anak yang langsung turun tangan dalam tindakan kekerasan memiliki tingkat perilaku tidak terlalu bermasalah daripada mereka yang tidak. Hutch dan Bocks (2008) menemukan stres yang disalurkan lewat pengasuhan memiliki efek negatif langsung yang secara kuat berdampak pada anak (perilaku dan masalah emosional).

Long term consequences Dalam melihat dampak jangka panjang dari anak-anak yang terpapar kekerasan

rumah tangga adalah teori siklus kekerasan atau transmisi antargenerasi kekerasan. Dengan teori sosial belajar yang menemukan anak-anak terpapar kekerasan domestic lebih mungkin untuk kasar sebagai orang dewasa dan mengekspresikan pandangan yang menggunakan penggunaan kekerasan (Wallace, 2002; Lichter dan McClosky, 2004). Proses penelitian dengan teori ini lebih kompleks dengan menunjukkan bentuk-bentuk lain dari penganiayaan anak seperti penelantaran yang menjadi faktor rumah tangga adalah teori siklus kekerasan atau transmisi antargenerasi kekerasan. Dengan teori sosial belajar yang menemukan anak-anak terpapar kekerasan domestic lebih mungkin untuk kasar sebagai orang dewasa dan mengekspresikan pandangan yang menggunakan penggunaan kekerasan (Wallace, 2002; Lichter dan McClosky, 2004). Proses penelitian dengan teori ini lebih kompleks dengan menunjukkan bentuk-bentuk lain dari penganiayaan anak seperti penelantaran yang menjadi faktor

Children at Risk Violence and Abuse Anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga memiliki resiko

mengalami bentuk-bentuk kekerasan lain seperi pelecehan anak secara fisik yang lebih dimungkinkan terjadi di keluarga dimana posisi ibu disalahgunakan. Moore dan Pepler (1998) menemukan 42% anak-anak dari studi penelitian mereka terkena kekerasan dalam rumah tangga juga disiksa secara fisik. Lebih lanjut Apple dan Holden (1998) memiliki 30 studi dan semuanya menunjukkan hubungan jelas antara kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan terhadap anak, termasuk pelecehan seksual terhadap mereka. McCloskey et.al. (1995) menemukan bahwa 10% perempuan dewasa yang babak belur akibat pertengkaran mengalami pelecehan seksual yang juga dialami oleh anak perempuannya juga.Peneliti berpendapat bahwa penyebab kekerasan dalam rumah tangga dapat beranekaragam yakni faktor structural, lingkungan, dinamika keluarga, dan faktor individu.

Edleson et.al. (2003) melaporkan 25% dari 114 anak perempan yang babak belur dalam penelitian mereka telah meminya bantuan dan 25% terlibat langsung dalam kekerasan tersebut. Semakin parah ibu dari anak-anak tersebut dilecehkan, semaki sering anak-anak akan ikut campur. Anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga telah digambarkan sebagai korban yang tidak diinginkan. Ketiak anak campur tngan dalam tindak kekerasan mungkin ada kekerasan yang dihadapi oleh anak yang bersifat tidak diinginkan sebagai kekerasan kebetulan. McCloskey (2001) menyebutkan 65% pria yang melukai istrinya juga telah mengancam akan menyakiti anak-anak.

Conclusion Dalam ulasan ini, terdapat anak-anak yang memiliki dampak dari kekerasan

rumah tangga yang lebih besar dari yang sebelumnya dipahami. Peneliti harus berhati-hati dalam menggambarkan anak-anak yang hidup dengan penuh kesulitan, rumah tangga yang lebih besar dari yang sebelumnya dipahami. Peneliti harus berhati-hati dalam menggambarkan anak-anak yang hidup dengan penuh kesulitan,

Judul 2 : Ch ildren’s Experiences of Domestic Violence: Developing an Integrated Response Form Police and Child Protection Service .

Penulis : Nick Stanley, et.al. 2011. Publikasi : SAGE Publication.

Sistem yang dikebangkan dengan baik untuk pelayanan yang diberikan oleh polisi kepada anak sebagai sarana komunikasi informasi dan koordinasi tanggapan terhadap anak dan keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kedatangan polisi menjadi penting sebagai perlindungan insiden kekerasan dalam rumah tangga dan sebagai bentuk pelayanan public dalam mengidentifikasi kebutuhan dalam menyampaikan intervensi dalam mendukung dan melindungi korban – anak-anaknya.

Layanan perlindungan anak dapat memberikan intervensi yang ditargetkan untuk anak-anak yang menjadi paling beresiko berbahaya dan bertujuan dalam mengurangi paparan kekerasan pada anak serta memastikan keselamatan mereka. Dalam mengembangkan layanan yang terkoordinasi membutuhkan strategi perencanaan sebagai evaluasi inisiatif yang telah dijalankan. Studi penelitian ini melaporkan sistem yang berkolaborasi antara polisi dan pelayanan sosial anak dalam kasus kekerasan rumah tangga yang emlibatkan anak-anak dalam dua otoritas lokal di Inggris. Kolaborasi ini melibatkan polisi yang memberitahu pelayanan sosial anak- anak dari semua insiden kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya polisi mengarahkan anak-anak ke pelayanan sosial anak jika mereka memiliki keprihatinan tentang keselamatan dan kesejahteraan dalam insiden kekerasan domestik.

Interagency Collaboration – Police and Child Protective Services Studi yang dilakukan oleh hallett (1995) mengungkapkan adanya koordinasi antar

lembaga dalam pihak berwenang menemukan penilaian pekerja sosial melibatkan polisi dalam kasus cedera fisik didasarkan pada tingkat keseriusan yang terjadi, apakah berupa luka parah atau masih dapat ditangani lewat mediasi. Cross et.al

(2005) meneliti layanan perlindungan anak di Amerika Serkat dalam kasus dengan dan tanpa keterlibatan polisi menemukan bahwa polisi terlibat lebih mungkin untuk memiliki atau menuduhkan yang membahayakan dengan pembuktian dan menerima layanan dari anak itu. Penulis menyarankan keterlibatan polisi dapat memperkuat intervensi pekerja sosial dengan memberikan kualitas yang lebih baik dari investigasi dan bukti sebagai pinjaman kewenangan dan keselamatan dalam proses penilaian.

Penelitian ini menawarkan kesempatan dalam berlajar antarmuka antara polisi dan pusat pelayanan perlindungan anak dalam kasitannya dengan insiden kekerasan domestic. Dirancang untuk mengidentifikasi karakteristik insiden dan keluarga yang diberitahukan kepada pelayanan sosial anak-anak, mendirikan dan memberitahukan informasi apa yang perlu disampaikan oleh pelayanan sosial anak-anak dalam pemberitahuan dan menerima kasus dan layanan yang perlu diberikan.

Method Penelitian ini dilakukan dalam tahun 2006 – 2009 dan memasukkan restrospektif

analisis polisi dan catatan pelayanan sosial dalam 251 insiden kekerasan dalam rumah tangga di dua pemerintahan daerah bagian utara dan selatan di Inggris. Satu daerah termasuk daerah perkotaan di pinggir sebuah kota besar dan yang lainnya terdiri dari campuran daerah pedesaan dan perkitaan. Penggunaan dua tempat ini dimaksudkan untuk menangkap vcariasi dalam prosedur lokal dan praktik yang diketahui di dalamnya ada kaitan dengan pemberitahuan polisi mengenai insiden kekerasan dalam rumah tangga.

Memilih sampel dalam rentang waktu ini memungkinkan peneliti mengikuti intervensi pelayanan sosial anak-anak dengan anak-anak dan keluarganya dalam periode 21 bulan setelah pemberitahuan asli. Sampai dengan insiden mewakili sekitar sepertiga dari semua insiden kekerasan dalam rumah tangga, di kedua lokasi dan petugas polisi berkomentar bahwa ini adalah proporsi yang lebih rendah dari yang mereka harapkan untuk diberitahu karena mereka menganggap anak-anak dalam rumah tangga sekitar setengah dari insiden di daerah mereka pada tahun 2009.

Data dilengkapi dengan lima puluh delapan wawancara secara individu dengan polisi (delapan spesialis dari 10 petugas garis depan), pendukung kekerasan domestic (6), mengawasi petugas (9), pekerja sosial anak (13), pelayanan sosial administrator nak-anak (2), dan manajer (10) di dua lokasi tersebut. Staf pelayanan sosial anak- anak sebagian besar adalah perempuan, dan hanya lima polisi yang merupakan perempuan. Sebagian dari mereka, memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang mereka masing-masing.

Peserta diminta untuk menggambarkan dan mengomentari proses untuk merekam dan mentransfer informasi antara polisi dan anak-anak pelayanan sosial dan mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan dari sistem ini. Data yang direkam dari polisi mencakup informasi demografis tentang keluarga, rincian luka yang diderita, senjata yang digunakan dan apakah mereka melakukan hal tersebut di bawah pengaruh zat. Data deskriptif analitis yang tersedia dalam basis data laporan penelitian polisi dapat digunakan dalam memberitahu pelayanan sosial anak-anak yang bervariasi dalam dua wilayah.

Data pelayanan sosial anak-anak dikumpulkan dalam file elektronik dan kertas serta dokumen hukum. Data dari polisi dan catatan pelayanan sosial anak-anak yang awalnya dimasukkan dalam lembar-lembaran terpisah, kemudian ditransfer ke dalam proyek ini. Data kuantitaif kemudian diubah menjadi kode-kode dan dianalisa menggunakan SPSS. Basis data yang terpisah digunakan untuk polisi dn pelayanan sosial anak-anak dengan variabel kunci yang bergabung untuk memeriksa intervsni pelayanan sosial anak-anak yang berkaitan dengan karakteristik asli insiden kekerasan dalam rumah tangga. Data kualitatif diambil dari data yang dianilisi menggunakan dua tema yang dihasilkan oleh data dan yang ditarik dari pertanyaan penelitian serta studi kasus yang dikembangkan untuk kasus yang menerima intervensi dari pelayanan sosial anak-anak.

Standar pendekatan analisa data kualitatif untuk data wawancara yang disimpan dan diurutkan dengan bantuan program NViwo, data dari survey LSCB dianlisa Standar pendekatan analisa data kualitatif untuk data wawancara yang disimpan dan diurutkan dengan bantuan program NViwo, data dari survey LSCB dianlisa

Limitations of the Research Variasi yang ditermukan dalam jumlah informasi yang tersedia dalam kasus yang

diteliti dan ini berlaku baik antara polisi dan pelayanan sosail anak-anak. Hal ini dapat dikaitkan dengan sebagian pergeseran dari fokus insiden pada kekerasan dalam rumah tangga dengan catatan polisi untuk berfokus pada kasus keluarga. Dalam pemberitahuan, terdapat 12 keluarga yang menyumbang 5% dari pengurangan ukuran sampel, namun 22% dari sampel asli kalah dalam penelitian seiring dengan perjalanan melintasi bada lain karena file telah dipindah ke layanan sosial lainnya, file hilang atau tidak tersedia.

Beeman, Hagiemen, Edellson (2001) menggambarkan masalah yang sama dalam pencocokan data polisi dan pelayanan sosial. Hal ini menggambarkan masalah yang sama dalam pengalaman praktisi kesulitan dalam mentransfer dan mengambil informasi pada keluarga.

New Developments in Filtering and Risk Assessment Systems Survei yang diadakan oleh LSCB membeirikan kesempatan untuk

mengembangkan gambaran mengenai berbagai pendekatan layanan di seluruh Inggris dan Walles untuk mengatasi beberapa masalah dalam hal notifikasi pelayanan anak- anak korban kekerasan domestic.Survei yang dilakuakn antara Desember 2007 dan Januari 2008, menghasilkan 57 respon dengan 30 responden diidentifikasi melakukan praktik inovatif dalam kaitannya untuk pemberitahuan kepada polisi di daerah mereka dengan memberikan beberapa contoh pernyataan kebijakan atau protocol. Inovasi lokal yang dilakukan sebagai respon terhadap volume pemberitahuan yang tinggi atas kekhawatiran bahwa anak-anak dan orang tua yang hidep dalam kekerasan domestic tidak menerima layanan dan beberapa responden lain menyebutkan bahwa kekerasan yang langsung dapat ditangani merupakan kunci dalam tinjauan lokal kematian anak.

Brandon et.al (2009) menemukan bahwa kekerasana dalam rumah tangga adalah yang paling umum terjadidalam karakteristik kematian anak belajar. Responden survey menggambarkan berbagai lembaga yang berkontribusi terhadap beragam inovasi yang muncul untuk pemberitahuan keketasan rumah tanga di daerah mereka. Layanan sosial tampil sebagai mitra dalam semua model pendekatan inovatif dan polisi sebagai mitra dalam setengah pendekatan pelaporan. Pendekatan pertama kali diidentifikasi dengan tujuan meningkatkan kemungknan awal untuk intervensi dengan mengalihkan keluarga jauh dari pelayanansosial maupun kesehatan. Pendekatan kedua melibatkan pertemuan biasa dan panel yang melakukan pemberitahuan secara screening. Pekerja sosial diasumsikan untuk membantu ti kekerasa polisi dalam rumah tangga.model ketiga mennsyaratkan pemanfataan prosedur penilaian resiko polisi sebagai alat saring keluarga dalam hal pelayanan setelah insiden kekerasa dalam rumah tangga. Evaluasi respon menggunakan tiga tingkatan dalam menentukan tingkat respon pelayanan sosial anak-anak yakni emas : perlindungan hukumd ari pelayanan anak, perak dalam hal membangkitkan dukungan keluarga, dan perunggu untuk insiden beresiko rendah yang tercatat dalam basis data pelayanan sosial sebagai catatan kontak. Model keempat mrupakan upaya mengembangkan sebuah matriks dalam menentukan risk-assessment yang berfokus pada anak sebagai korban. Menurut Bell dan McGoren (2003) matriks ini menawarkan kerangka kerja dalam mengorganisir infomrasi pada anak dan mengklasifikasikan kebutuhan anak dan keluarga dsalah satu dari empat tingkat respon pelayanan.

Discussion Selain masalah insiden, pernyataan saksi, informasi mengenai masalah yang

menunjukkan krentanan anak-anak merupakan hal yang tidak kalah penting untuk polisi menginformasikan kepada pelayanan perlinfungan anak untuk membantunya dalam memberikan intervensi yang tepat. Sejarah sebelum insiden seperti catatan criminal, keterlibatan pelayanan sosial sebelumnya dalam keluarga. Penelitian ini menunjukkan mekanisme untuk membawa informasi bersejarah bersama-sama dalam menunjukkan krentanan anak-anak merupakan hal yang tidak kalah penting untuk polisi menginformasikan kepada pelayanan perlinfungan anak untuk membantunya dalam memberikan intervensi yang tepat. Sejarah sebelum insiden seperti catatan criminal, keterlibatan pelayanan sosial sebelumnya dalam keluarga. Penelitian ini menunjukkan mekanisme untuk membawa informasi bersejarah bersama-sama dalam

Tindak lanjut keluarga menjadi penting seperti penawaran dokter spesialis dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga. Matriks yang terkadang disediakan oleh kepolisian, acapkali penilaiannya bergantung pada pendekatan apa yang digunakan untuk menuntut salah satu dari sejumlah tanggapan terhadap pertanyaan , dan kerap kali polisi tidak membuka dialog dengan para korban yang bisa dibilang memiliki informasi lengkap berkaitan dengan resiko yang akan muncul.

Conclusion Studi ini memberikan bukti kemajuan antara polisi dan pelayanan perlindungan

anak yang telah dibuat sebagai respon terhadap anak yang mengalami paparan kekerasan dalam rumah tangga dan mengidentifikasi kekurangan utama dalam hal tingkat respon yang diperlukan. Hal ini juga memfokusan perhatian pada tantangan yang akan terjadi dalam hal dua muka lembaga sebagai pelayanan public universal dan memiliki target tertentu.

Definisi dari anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sebagai bentuk penganiayaan di bawah hukum terlah membawa keterlibatan anak-anak dalam masalah perhatian di lembaga tertentu, namun pelayanan yang diberikan Nampak hanya memberikan respon yang efektid dalam mendiskriminasikan antara tingkat kebutuhan dan penwaran berbagai tingkat intervensi.

Judul 3 : How Much Does “How Much” Matter? Assessing the Relationship Between Children’s Lifetime Exposure to Violence and Trauma Symptoms ,

Behavior Problems, and Parenting Stress Penulis : Laura J. Hickman, Lisa H. Jaycox, Claude M. Setodji, Aaron

Kofner, Dana Schultz, Dionne Barnes-Proby and Racine Harris

Publikasi : Journal of Interpersonal Violence, SAGE Publication. 2012.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pertumbuhan yang stabil dalam empiris dan teoritis literature megenai topik paparan anak terhadap kekerasan baik di ranah sekolah, masyarakat. Eksposur ini menyebabkan kekhawatiran yang jelas mengenai bahaya fisik dan jangka panjang dalam perkembangan mental kesehatan bagi anak-anak. Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan untuk survey anak yang terkena kekerasan sampai dengan usia 17 tahun dan yang lebih muda, 61% telah terpapar dengan berbagai aspek kejahatan, serangan fisik (46%), pelanggaran property (25%), penganiayaan oleh orang tua atau pengasuh (10%) dan menyaksikan kekerasan di rumah (25%).

Dalam studi yang dilakukan oleh Finklehor et al. (e.g., Finkelhor, Ormrod, & Turner, 2007a; Finkelhor, Ormrod, & Turner, 2007b; Finkelhor, Ormrod, & Turner, 2009; Finkelhor, Ormrod, Turner, & Hamby, 2005; Turner, Finkelhor, & Ormrod, 2010), mengungkapkan bahwa literature sebelumnya berfokus secara sempit pada satu jenis paparan daripada memeriksa dampak potensial dari beberapa jenis paparan. Hal ini dapat dilihat sebagai refleksi dari masalah yang lebih umum dalam pemeriksaan paparan anak-anak terhadap kekerasan dimana penelitian yang sedang dilakukan mengambil pendekatan yang lebih komprehensif.

Dalam karya sebelumnya, Finkelhor et,.al telah menetapkan polyvictimizatio yang menggunakan pertanyaan kebohongan untuk anak-anak dan remaja yang melakukan 34 tipe tertentu penyimpangan. Contohnya adalah penyerangan terhadap pengasuh, mengalami penelantaran, penyerangan, penculikan keluarga, kekerasan Dalam karya sebelumnya, Finkelhor et,.al telah menetapkan polyvictimizatio yang menggunakan pertanyaan kebohongan untuk anak-anak dan remaja yang melakukan 34 tipe tertentu penyimpangan. Contohnya adalah penyerangan terhadap pengasuh, mengalami penelantaran, penyerangan, penculikan keluarga, kekerasan

Method Data dari penelitian ini diambil dari National Evaluation of Safe Start Promising

Approaches (SSPA), yang didanai oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang diluncurkan pada 2005. SSPA dikemabngkan nntuk melaksanakan dan mengevaluasi program bebrbasis bukti yang dimaksudkan untuk membantu anak- anak yang telah mengalami kekerasan dan keluarga mereka (Hyde, Kracke, Jaycox, & Schultz, 2008).. Penelitian ini menafaatkan data dari Sembilan komponen SSPA yang digunakan untuk desain eksperimental acak yang menugaskan tiap keluarga untuk kelompok intervensi ataupun kontrol.

Data Collection and Measure Data dikumpulkan secara pribadi oleh pewawancara terlatih yang telah diberikan

penilaian standar untuk pengasuh utama. Penelitian ini hanya menggunakan data dasar dari National Safe Start Evaluation, yang dikumpulkan sebelum penugasan keluarga untuk kondisi tertentu. Tindakan pengasuh yang dilaporkan digunakan untuk penelitian ini yang terdiri dari karakteristik demografi, paparan anak terhadap kekerasan, gejala stress pasca trauma (PTSD) pada anak, masalah perilaku anak, pengasuh anak yang sehari-hari mengalami stress.

Pengasuh anak dan demografis ini dikumpulkan dengan menggunakan modifikasi dari instrument yang digunakan dalam studi longitudinal penelanataran dan kekerasan yang dialmi oleh anak (2010) dengan konsorsium dari studi penelitian longitudinal dengan menilai etiologi dan dampak dari penganiayaan anak. Pertanyaan yang ditanyakan bersifat tertutup, karakteristik demografis (jenis kelamain, ras/etnis, status Pengasuh anak dan demografis ini dikumpulkan dengan menggunakan modifikasi dari instrument yang digunakan dalam studi longitudinal penelanataran dan kekerasan yang dialmi oleh anak (2010) dengan konsorsium dari studi penelitian longitudinal dengan menilai etiologi dan dampak dari penganiayaan anak. Pertanyaan yang ditanyakan bersifat tertutup, karakteristik demografis (jenis kelamain, ras/etnis, status

Paparan anak terhadap kekerasan diukur melalui versi laporan pengasuh. INstrmen JVQ asli terdiri dari 34 item menjadi 17 item, Penelitian ini memanfaatkan

16 item, dengan menghilangkan satu item rasa sakit emosional yang disebabkan oleh saudara atau rekan dengan penolakn atas nama panggilan. Ke-16 jenis item paparan kekerasan dibagi dalam empat kategori, yakni a) serangan fisik : termausk memukul, menyakiti anak dengan atau tanpa senjata; b) penganiayaan anak oleh orang dewasa : pengabaian fisik, penculikan keluarga, masalah psikologis dan emosional, c) penyaksian kekerasan : melihat serangan terhadap orang tua atau saudara, melihat serangan lain dengan atau tanpa senjata, melihat pembunuhan; d) pelecehan seksual.

Tabel 1 ini menunjukkan masing-masing 16 tipe eksposur dan jumlah masing- masing pendukungnya.

Laporan pengasuhan anak dengan gejala PTSD ditangkap dngan Trauma Symptom Checklist for Young Children PTSD subscale (TSCYC; Briere et al., 2001). Hal ini diberikan hanya untuk anak-anak dengan usia 3 hingga 10 tahun dan terdiri dari 27 item yang meminta pengasuh untuk menilai frekuensi pada bulan lalu, apakah anak ini melakukan ini atau tidak.

Masalah perilaku anak yang dinilai pada ukuran di ukuran yang berbeda, tergantung usia anak. Anak-anak dengan usia 3 tahun dan yang lebuh tua, masalah perilaku ditangkap dengan Behavior Problems Index (BPI). Pengasuh ditanya mengenai kesepakatan mereka dengan serangkaian pernyataan tentang perilaku anak dalam satu bulan terakhir. Untuk anak-anak dengan usia 1 hingga 3 tahun, masalah perilaku diukut dengan the Brief Infant-Toddler Social and Emotional Assessment (BITSEA; Briggs-Gowan & Carter, 2002) yang berisi 31 item yang emminta pengasuh menilai masalah perilaku pada skala poin. Dalam penelitian sebelumnya, skor BITSEA ditemukan berkolerasi tinggi dengan peringkat bersamaan evaluator dan memprediksi skor masalah satu tahun kemudian.

Statistical Approach Dalam mengeksplorasi hubungan antara paparan kekerasan seumur hidup dan

perilaku gejala mental kesehatan anak-anak serta stress orang tua, menggunakan beberapa model statistik. Model pertama termasuk ukuran tunggal dari total frekuensi seumur hidup insiden paparan kekerasan dan semua jenis yang terkandung di dalamnya. Model dua, dalam setiap set menambahkan variabel keuda yang menunjukkan polyvictimization apakah korban mewakili :a) satu kategori kekerasan,

b) jatuh di dua atau lebih kategori kekerasan. Model ketiga, variabel frekuensi seumur hidup total diganti dengan empat variabel yang dibagi frekuensi total seumur hidup menjadi kategori paparan tertentu dengan a) frekuensi insiden penganiayaan, b) frekuensi kekerasan yang menyakitkan, c) frekuensi serangan viktimisasi, d) frekuensi pelecahan seksual.

Variabel kontrol yang termasuk adalah karakteristik demografi anak atau pengasuh atau rumah tangga yang mungkin memiliki beberapa hubungan dengan gejala stres anak dan orang tuanya.hal ini termasuk usia, ras, jenis kelamin, hubungan pengasuh anak, status kesehatan pengasuh, jumlah anak-anak yang diasuh.

Result Pertama, peneliti menyajikan deskripsi dari total eksposur kekerasan seumur

hidup dari 768 anak-anak dalam sampel penelitian. Lebih lanjut lagi, dalam table 2 menunjukkan pengasuh utama melaporkan anak yang terkena hampir 15 jenis insiden kekerasan lebih seumur hidup mereka. Untuk 44% dari anak-anak, paparan seumur hidup mereka terbatas pada satu jenis kategori kekerasan.

Yang paling umum kategori paparan yang sedang menyaksikan kekerasan diikuti dengan mengalami penganiayaan dan mengalami serangan fisik. Viktimisasi seksual adalah tipe paling umum dari paparan, dengan pengasuh yang melaporkan anak-anak pernah mengalami insiden kekerasan seumur hidup. Pengasuh juga melaporkan anak- anak yang diambil dalam sampel, rata-rata menyaksikan 8,8 insiden kekerasan dalam hidup mereka.

Dalam pengujian hubungan antara paparan kekerasan dan gejala negative yang mungkin bisa dihasilkan adalah polyvictimization didefinisikan sebagai paparan untuk kategori kekerasan, muncul sebagai prediktor paling konsisten. Dalam pengujian definisi yang berbeda, hanya variabel yang dikotomis diperlukan untuk menangkap efek ini. Paparan dua atau kategori lainnya, menunjukkan gejala lebih buruk dibandingkan degan mereka yang terkena kategori tunggal.

Secara keseluruha, total paparan yang diterima seumur hidup oleh anak tidak sangat berpengaruh pada gejala perilaku negative, tapi tidak setiap kategori dan paparan mengendalikan polyvictimization dengan pengecualian tunggal pelecehan seksual dan gejala PTSD. Hal ini merupakan campuran dari pengalaman paparan yang memprediksi dampak negatif pada anak.

Judul 4 : Multi-Prepetator Domestic Violence Penulis : Michael Salter Publikasi : Trauma Violence Abuse, SAGE Publication. 2013.

Kekerasan paradigmatic yang dialami oleh perempuan dan/atau anak-anak biasanya melibatkan satu pelaku dan satu korban. Meskipun diakui adanya relasional kualitas kekerasan yang memiliki dampak luar pelaku dengan korban yang berangka dua. Terdapat heterogenitas dalam kekerasan yang dialami oleh perempuan dan memiliki konsekuensi penting dalam tanggapan dan hasil yang akan diambil oleh mereka.

Jumlah pelaku yang terlibat dalam insiden kekerasan fisik atau seksual terhadap perempuan diidentifikasi sebagai ukuran penyalahgunaan multiprepetator. Penelitian menunjukkan proporsi yang signifikan dari insiden kekerasan terhadap anak-anak dan peremouan yang melibatkan beberapa pelaku dan penyalahgunaan ini mungkin harus direncanakan dan dikoordinasikan antar pelaku.

Perempuan yang termasuk korban dalam jurnal ini, dimaksudkan sebagai multi- prepetator domestic violence (MDV) seseorang yang bagi pasangannya manrik ornang lain ke dalam partisipasi korban secara fisik dan/atau seksual. Termsuk dengan insiden kekerasan yang melibatkan pelaku yang berbeda serta keterlibatan beberapa perilaku dalam pola penguntitan dan kontrol yang koersif. Menurut data yang berhasil dikumpulkan oleh Centre for Disease Control and Prevention selama satu decade terakhir, instrument data kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali menimbulkan pertanyaan posisi pelaku.

Critical point of Research View Perempuan yang melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada polisi atau

membutuhkan perlindungan dari pelaku, acapkali enggan untuk melaporkan keadaannya dengan beberapa pertimbangan seperti

1. Anak perempuan dan orang perempuan dewasa bermitra untuk anggota kelompok kejahatan yang beresiko tinggi terhdap MDV

2. Dalam beberapa komunitas etnis minoritas, jaringan kerabat-teman berkoalisi dalam korban koletif perempuan

3. MDV muncul dari kondisi sosial dan ekonomi marjinal dimana kekerasan kolektif terhadap anak perempuan dan perempuan sebagai sarana untuk membangun dan melindungi kehormatan maskulinitas dan statusnya

4. MDV mencakup tingkat penyiksaaan dan pembunuhan dari kekerasan dan korban memiliki berbagai masalah mental, fisik, hingga psikososial.

Prevalence and Characteristic of MDV Saat ini tidak ada data yang tersedia dalam masyarakat mengenai prevalesni

MDV karena survey yang dilakukan dalam skala besar tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan tidak berkaitan dengan kekerasan multi-pelaku dan pelecehan. Dari 9.475 laporan dari perempuan korban pasangan maupun mantan, dalam tahun 1994 hingga 1996 terdapat 0,35% kasus yang melibatkan beberapa pelaku.

Sebuah studi yang menunjukkan > 240.000 perempuan yang melakukan kontak dengan layanan kekerasan dalam rumah tangga di Illionis, Amerika Serikat menemukan bahwa 2,4% perempuan melaporkan beberapa pelaku. Selama 12 bulan layanan kekerasan dalam rumah tangga di Adelaide, Australia, perempuan mencari perlindungan dari berbagai pelaku (yakni sekitar 16% dari total kasus yang terlapor).

Peneliti melaporkan bahwa pelanggaran ini lebih cenderung termasuk kekerasan seksual dan pemerkosaan, lebih mungkin dilakukan oleh mantan pasangan daripada pasangan saat ini dan baik korban dan pelaku cenderung untuk lebih muda daripada insiden lain yang sedang diteliti. Menurut Caldwell, Swan, dan Woodbroan (2012), kekerasan dalam rumah tangga apabila dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki tidak akan berbahaya, namun hal terjadi sebaliknya bila dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

The Challenges of Responding to MDV Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan

jarang mengakui kompeksitas dari jenis yang dialami oleh perempuan yang mengalami MDV. Tantangan tersebut diakui dan dibahas dalam layanan perempuan, namun layanan ini biasanya kekurangan dana dan bisa berjuang untuk terus berupaya dalam mengakomodasi kebutuhan klien yang kompleks. Dalm hal ini, kita berbicara satu set lebih luas dari pertanyaan mengenai kurangnya kesetraan gender dalam kesehatan dan kesejahteraan dimana keburuhan perempuan dalam kaitannya dengan penyalahgunaan dan trauma seringkali diabaikan sedangkan anak perempuan dan perempuan dalam masyarakat migrant dan etnis emnghadapi beban khusus terutama dalam status budaya.

Lembaga yang bertugas untuk menangani kekerasan kelompok terkait, acapkali mengabaikan kepentingan perempuan dan anak perempuan yang terkena dampak ini. Etnis minoritas dan imigran perempuan yang melarikan diri, MDV, telah bermerk melodramatic dan manipulative oleh polisi ketika mereka berusaha untuk melaporkan pelecehan yang mereka alami (Payton, 2011, hlm 71-72) serta cerita mereka mengenai multi-pelaku kekerasan fisik dan seksual diragukan kebenarannya oleh pengadilan. Perilaku ini berbeda dengan best practice yang mencoba merekomendasikan korrdinasi yang lebih baik antar lembaha yang membutuhkan investigasi dengan dana yang lebih besat.

Model baru dalam penanganan kekerasan seperti Multi-Agency Risk Assessment Conference, menawarkan model yang menjanjikan intervensi dalam keadaan tertentu dengan keterlibatan polisi, pelaku kekerasan dalam rumah tangga, lembaga lainnya dimana mereka merencanakan aksu untuk kejahatan yang beresiko tinggi dalam rumah tangga, bagaimana menangani dan mengkoordinasikannya jika hal tersebut terjadi di kemudian hari.

Conclusion

Arikel ini telah menerangkan bentuk kriminalitas teroragnisir yang diabaikan dalam bentuk hubungan kasar yang membentuk lokus terkoordinasi antara fisik dan seksual terhadap perempuan. MDV dapat terjadi bersama dengan bentuk kejahatan terogranisir lainnya seperti geng atau timbul dengan dukungan dan partisipasi dari keluarga dan teman di kekerasan dalam rumah tangga.

Meetoo dan Safia Mirzi (2007) menekankan pada cara yang dilakukan unruk perampasan sosial ekonomi dari jenis yang dialami oleh migran, pengungsi, komunitas etnis lain yang mengkatalisasi tren budaya terhadap nilai patriarki dan konservatif dalam mempromosikan kekerasan terhadap perempuan. Geng terkait dalam MDV juga muncul dalam masyarakat sosio ekonomi yang kekurangan, terpinggrikan, anak laki-laki dan laki-laki berusaha untuk meningkatkan prestise mereka melalui kekerasan dan kriminalitas dalam ketiadaan alternative yang lebih konstruktif.

Pemahaman dari MDV yang mengakui interseksionalitas dari gender, ras, etnis, agama, sosial, budaya, menghindari politisasi proyeksi MDV dalam masyarakat yang rentan dan terpinggrikan. Ada berbagai hambatan untuk penyidikan, penuntutan, dan pengobatan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pelaku kendali atas korban melalui emosional, fisik, dan sarana keuangan. Namun, kendala tersebut diperpara dalam kasus MDV, di mana upaya dari pasangan atau mantan pasangan sebagi tindak lanjut dari penyalahgunaan, melecehkan, atau pelukaan terhadap korban didukung oleh asosiasi kriminal dan/atau keluarga dan rekan-rekan. Kelompok dapat memiliki kepentingan dalam kontrol dan membungkam dari wanita yang mungkin, dalam kasus kejahatan terorganisir dan geng.

Jurnal 5 : Children’s Exposure to Violence in the Family and Community Penulis : Gayla Margolin and Elana B. Gordis Publikasi : Current Directions in Psychological Science, SAGE Publication.

Kekerasan merupakan masalah kesehatan masyarakat, dan anak-anak sangat rentan untuk terkena dampaknya. Kekerasan merupakan aspek yang paling halus fungsi dalam penyerangan tubuh manusia seperti perilaku kognitif, sosial, dan emosional. Gangguan dominan dapat memengaruhi perkembangan anak-anak dengan perkembangan proses yang khas dengan dampak yang bergantung pada waktu, jenis, kronisitas paparan kekerasan.

Kekerasan didefinisikan dalam banyak cara yang berbeda dalam penelitian tentang efek yang pada anak-anak. Kategori utama dari kekerasan yang telah diteliti adalah (a) penganiayaan anak, termasuk kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan penelantaran; (b) agresi antara orang tua; dan (c) kekerasan masyarakat, termasuk korban langsung dan kesaksian dari kekerasan (Appel & Holden, 1998; Margolin & Gordis, 2000). Berbagai keparahan kekerasan bahwa anak-anak mengamati atau belajar dari pengalaman. Beberapa bentuk agresi parah, seperti pemukulan atau penggunaan senjata, dapat traumatis kepada korban dan pengamat. Bentuk lain dari agresi, seperti mendorong atau mendorong dan hukuman fisik, dianggap normatif oleh banyak masyarakat. Di sampel yang diambil dari populasi pada umumnya, rendah keparahan agresif perilaku mungkin cukup sebagai kriteria untuk kekerasan.

Rates of Exposure Perkiraan paparan kekerasan yang diterima oleh anak-anak bervariasi karena

definisi yang berbeda dna metode pengumpulan data. Dalam menggunakan data tidak resmi dari professional yang berkerja dengan anak memperkirakan sekitar 23 dari 1.000 anak menjadi korban penganiayaan, termasuk kekerasan fisik, seksual, dan penelantaran.

Straus (1992), ekstrapolasi bahwa tiap tahun > 10 juta anak-anak di Amerika Serikat menyaksikan agresi fisik antar orang tua mereka dan tingkat kekerasan dalam masyarakat umumnya didasarkan pada wawancara atau survey pada anak-anak dan dikuatkan oleh wawancara kepada orang tua.

Richters dan Martinez (1993) melaporkan paparan kekerasan masyarakat adalah sangat umum, dan sepertiga dari anak-anak yang menjadi korban (sekitar 90% diantaranya) melihat sekali kekerasan setidaknya, selama mereka hidup.

Effects of Exposure to Violence Dalam jangka pendeknya, yang mungkin terjadi adalah anak-anak yang

mengalami kekerasan dalam bentuk apapun mungkin menunjukkan gangguan perilaku seperti agresi dan kenakalan; emosional dan gangguan mood seperti depresi dan kecemasan; posttraumatic gejala stres seperti mengagetkan berlebihan, mimpi buruk, dan kilas balik; masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan gejala somatik seperti tidur gangguan; dan masalah akademik dan kognitif. Beberapa bentuk kekerasan cenderung memiliki konsekuensi tertentu. Misalnya, seksual bertindak keluar kadang-kadang merupakan konsekuensi tertentu pelecehan seksual.

Dalam melihat dampak, kita tidak dapat menampik dalam mnggunakan teori pembelajaran sosial, teori pembelajaran sosial, yang menurut anak-anak belajar dari model agresif dalam lingkungan mereka. Selain itu, korban dapat mengganggu kemampuan anak untuk mengatur emosi mereka, dan sebagai akibatnya mereka dapat bertindak keluar agresif. Pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan paparan kekerasan antara orang tua dan di masyarakat semuanya telah dikaitkan dengan agresi, dengan link khususnya terdokumentasi dengan baik untuk kekerasan fisik.

Gejala stres pasca trauma dan gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah konsekuensi penting dari paparan kekerasan karena mereka dapat mengganggu fungsi sosial dan perilaku. PTSD dan depresi dapat mengganggu kemampuan belajar ereka dan kemampuan untuk tampil baik di depan kelas.

Dalm jangka panjang, Dalam 20 – 30 tahun prospektif studi oleh Ehrensaft et al. (2003), anak-anak yang mengalami kekerasan antara orang tua mereka kemudian lebih cenderung melakukan kekerasan terhadap pasangannya ketika mereka dewasa dan harus diperlakukan dengan kekerasan juga oleh pasangan dewasanya daripada anak-anak yang tidak terkena kekerasan; anak-anak yang disiksa secara fisik telah peningkatan tingkat melukai pasangan. Widom (1998) menyimpulkan bahwa masa kanak-kanak yang mengalami proses viktimisasi meningkatkan risiko perilaku kriminal dan mental lainnya masalah kesehatan, namun siklus ''kekerasan tidak deterministik atau tak terelakkan''.

Conclusion Paparan kekerasan pada keluarga dan komunitas memerlukan bantuan

pengemabngan pada anak-anak yang mengalami hal tersebut. Model penjelasan faktor individu sangat penting untuk dilakukan dalam hal melawan efek dari kekerasan yang perlu untuk ditangkal. Meskipun penelitian sebelumnya telah menekankan apa yang salah dengan anak-anak yang telah mengalami kekerasan, fokus pada anak-anak adaptasi yang sukses adalah sama pentingnya. Ketahanan paparan tersebut adalah fungsi dari bagaimana anak-anak mengelola dan memotong rantai pendek negatif reaksi, misalnya, melalui pemecahan masalah yang efektif, mendukung tanggapan dari keluarga atau teman-teman, dan kesempatan untuk sukses di sekolah.

Paparan anak-anak terhadap kekerasan yang sering terjadi tanpa disadari dan tanpa pengawasan oleh orang tua dan oleh para profesional yang bekerja dengan anak-anak. Orangtua biasanya meremehkan paparan anak-anak mereka terhadap kekerasan dan bahkan mungkin tidak menyadari pelecehan di rumah. Anak-anak terkena kekerasan cenderung menunjukkan gejala yang berhubungan dengan jenis umum ketidakmampuan menyesuaikan diri.

II.B, Kerangka Konsep

1. Anak Anak adalah individu yang berada di bawah usia legal mayoritas, yaitu usia

dimana seseorang tidak lagi dianggap sebagai minor dan sudah mencapai masa kedewasaan. Konvensi PBB tentang Hak Anak mengatakan bahwa anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada

anak, kedewasaan dicapai lebih awal. 4 Batas usia yang ditetapkan untuk menentukan bahwa seseorang dikatakan masih

anak-anak ataupun tidak sangatlah kabur di Indonesia: 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa syarat usia

perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia

21 tahun dan belum pernah kawin, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak adalah

orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin,

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin,

UU. No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memperbolehkan usia 15 tahun untuk bekerja,

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun,

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang berada dalam kandungan,

4 M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 10 5 Ibid., halaman 9

Dokumen yang terkait

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pelayanan sosial medis bagi penderita paraplegia di instalasi rehabilitasi medik RSUP Fatmawati Jakarta

7 158 123

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

EFEKTIVITAS siaran dialog interaktif di Radio Maraghita sebaga media komunikasi bagi pelanggan PT.PLN (persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Kelurahan Lebakgede Bandung

2 83 1

Peranan United Nation Children's Fund (UNICEF) Dalam Penanganan Pekerja Seks Komersial Anak Di India

5 83 96

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46