TESIS PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL
TESIS PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F 2 -ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL DESI HARDIANTY PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F 2 -ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL DESI HARDIANTY NIM 0990761009 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F 2 -ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana DESI HARDIANTY NIM : 0990761009 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 15 September 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And NIP : 1302464501 NIP : 194402011964091001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd, FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S NIP : 194612131971071001 NIP: 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal : 15 September 2011
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor
: 1125/UN14.4/HK/2011
Tanggal
: 22 Juni 2011
Ketua : Prof. Dr. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK Anggota
1. Prof. Dr. dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF
3. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH
4. Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Allah SWT atas berkat, rahmat, bimbingan serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : Pemberian Propolis Menurunkan Kadar F 2 -Isoprostan dalam Urin Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) yang Mengalami Aktivitas Fisik Maksimal.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD sebagai Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS sebagai Ketua Program Studi Kekhususan Kedokteran Anti Penuaan atas ilmu yang diberikan yang telah memacu penulis untuk dapat berkarya bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya Kedokteran Anti Penuaan, serta memberikan bimbingan, saran dan arahan yang sangat berarti dalam menyusun tesis ini.
4. Prof. dr. N Agus Bagiada, SpBIOK, sebagai dosen pembimbing I yang dengan sabar memberikan ilmunya selama penulis mengikuti studi, serta bimbingan dan saran terutama dalam memahami ilmu kedokteran biomolekuler yang sangat besar manfaatnya dalam penyusunan tesis ini.
5. Prof. Dr. dr.J Alex Pangkahila, MSc, SpAnd, sebagai dosen pembimbing II atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, yang selalu ada untuk memberikan ide, bimbingan dan saran terutama dalam teknis menulis ilmiah yang baku, serta memberi motivasi untuk menyusun tesis dan menyelesaikan studi.
6. Prof. Dr. dr. N Adiputra, MOH, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti studi, yang dengan kemurahan hati selalu bersedia memberikan bimbingan dan saran yang sangat berarti mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, membantu penulis dalam memahami metodologi penelitian, serta selalu memberi motivasi sehingga terselesaikannya tesis ini.
7. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, atas saran dan bimbingannya yang sangat bermanfaat mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, serta motivasi selama penyusunan tesis.
8. Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, selaku Koordinator Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam menyediakan fasilitas tempat, peralatan, dan bantuan teknisi bagi terlaksananya penelitian, serta bimbingannya dalam memahami perhitungan dosis yang benar.
9. Prof. Drh. Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, dari bagian Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam penelitian terutama bimbingan dan masukan dalam menggunakan kit penelitian.
10. I Gede Wiranatha, S.Si, dari bagian Animal Unit Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam penelitian terutama bimbingan serta masukan dalam proses pemeliharaan dan pengelolaan hewan uji.
11. Drs.I Ketut Tunas, M.Si. yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyusunan tesis ini terutama saran, ide, masukan dan bimbingan dalam bidang statistik.
12. Khamdan Khalimi SP., M.Si dari laboratorium Biopestisida Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan saran dan bimbingan terutama dalam proses pengolahan ekstrak propolis untuk penelitian.
13. dr. Desak Wihandani, Mkes, dari bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, serta saran, bimbingan dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.
14. Staf Ilmu Biomedik Kedokteran Antipenuaan serta teman-teman mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik atas motivasi yang diberikan kepada penulis.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada keluarga tercinta, yakni: kedua orang tua Bapak Harbudi dan Ibu Zubaida, kakak dan adik, serta suami terkasih Ricky Wijaya dan anak tersayang Raihan Danendra Wijaya yang senantiasa memberikan doa, dan dukungan moril yang tiada hentinya dalam menyelesaikan program magister ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaikinya. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Kedokteran Anti Penuaan.
Denpasar, September 2011 Penulis
ABSTRAK PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F 2 -ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Aktivitas fisik maksimal menyebabkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas disebabkan oleh peningkatan konsumsi oksigen 10-20 kali, dan 100-200 kali pada serat otot yang berkontraksi. Di samping itu akan memicu pelepasan radikal bebas superoksida, serta terjadinya reperfusion injury yang menyebabkan kerusakan pada jaringan lain yang mengalami iskemia, dan bersifat ireversibel. Bila kadar radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan yang ada dalam tubuh untuk menetralisir radikal bebas maka akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif jangka panjang telah terbukti dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Penggunaan antioksidan dapat mencegah terbentuknya radikal bebas. Salah satu antioksidan yang banyak ditemukan di masyarakat adalah Propolis Trigona sp yang dihasilkan oleh lebah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penurunan kadar
f 2 -isoprostan dalam urin tikus wistar yang diberikan ekstrak propolis dengan air setelah mengalami aktivitas fisik maksimal. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan pre-test post- test control group design yang dilakukan pada 18 ekor tikus wistar jantan, berumur 2 – 3 bulan, berat badan 150- 200 g. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar pada bulan Juli-
Agustus 2011. Pemeriksaan F 2 -isoprostan dilakukan di Laboratorium Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar. Data dianalisis dengan uji One Way ANOVA.
Berdasarkan hasil analisis sesudah perlakuan didapatkan bahwa rerata kadar f 2 - isoprostan kelompok kontrol adalah 4,47 1,80 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,90 0,70 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 1,40 0,66 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan
bahwa rerata kadar f 2 -isoprostan pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Terdapat penurunan kadar f 2 -isoprostan pada kelompok pemberian ekstrak propolis 0,3 g sebesar 35,12% dan pada kelompok pemberian ekstrak propolis 0,6 g sebesar 68,68%.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak propolis 0,3 g dan 0,6 g setiap hari selama 7 hari pada tikus wistar jantan, mampu menurunkan kadar f 2 - isoprostan secara bermakna dibandingkan dengan plasebo, dan penurunan kadar f 2 -
isoprostan dengan ekstrak propolis 0,6 g memberi hasil yang lebih baik. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penggunaannya pada manusia, dan jenis penyakit atau keluhan yang dapat diobati dengan propolis.
ABSTRACT ORAL ADMINISTRATION OF PROPOLIS EXTRACT REDUCES THE LEVEL OF F 2 -ISOPROSTANE IN URINE MALE WHITE RATS (RATTUS NOVERGICUS) EXPERIENCE THE MAXIMAL PHYSICAL ACTIVITY
Maximal physical activity causes increased production of free radicals due to an increase of 10-20 times body oxygen consumption, and 100-200 times of the affected muscle fibers, that will trigger the release of superoxide free radicals, as well as the occurrence of reperfusion injury of ischaemic tissue factors. The level of free radicals exceeds the amount of antioxidants in the body will cause oxidative stress. Long-term oxidative stress has been shown to cause various degenerative diseases. The use of antioxidants can prevent and quenced the formation of free radicals. One of substance that have high antioxidants capacity is Trigona sp propolis produced by
bees. The purpose of this study was to determine the decreased of f 2 -isoprostane levels in rats urine that were treated with water propolis extract after having a maximal physical activity.
This study is an experimental research using pre-test post-test control group design that was conducted on 18 male wistar rats, aged 2-3 months, weight 150-200 g. Research conducted at the Laboratory of Pharmacology Faculty of Medicine Udayana
University, Denpasar in July-August 2011. F 2 -isoprostan examination performed at the Laboratory of the Veterinary Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University, Denpasar. Data were analyzed with One Way ANOVA.
Based on the results of this experiment study after treatment it was found that the average of f 2 -isoprostane control group was 4.47±1.80 ng/ml, propolis extract 0.3
g group was 2.90±0.70 ng/ml, and propolis extract 0.6 g group was 1.40±0.66 ng/ml. Analysis of significance by One Way Anova test shows that the average levels of f 2 - isoprostane in all three groups after given different treatment was significantly different (p <0.05). There are decreased levels of f 2 -isoprostane on 0.3 g of propolis extract group was 35.12% and in group 0.6 g of propolis extract was 68.68%. In this study indicate that administration of propolis extract 0.3 g and 0.6 g per day for 7 days in male wistar rats, was able to reduce levels of f 2 -isoprostane significantly compared to placebo. The decreasing of f 2 -isoprostan level with using propolis extract 0.6 g is better than propolis extract 0.3 g. The results could be used as
a basis for conducting further research for using propolis in humans and determine the type of complaints of any illness that can be treated with propolis.
Key words: propolis extract, wistar rats, maximum physical activity, f 2 -isoprostane
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1. Antioxidants Activities of Bee Products (Nakajima et al., 2009).............. 47
5.1. Hasil Uji Normalitas Kadar F 2 -isoprostan Sebelum dan Setelah Perlakuan 74
5.2. Uji Homogenitas Varians Kadar F 2 -isoprostan Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan................................................................. 74
5.3. Rerata Kadar F 2 -isoprostan Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan............................................................................................. ......
75
5.4. Perbedaan Rerata Kadar F 2 -isoprostan Antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan................................................................................... 76
77
5.5. Analisis Komparasi F 2 -Isoprostan Sesudah Perlakuan antar Kelompok....
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Foto-foto Penelitian ....................................................................
95 Lampiran 2. Nilai Konversi Dosis Obat Hewan Coba dengan Manusia.........
101 Lampiran 3. Uji Normalitas Data....................................................................
102 Lampiran 4. Uji Oneway ANOVA Data Sebelum dan Sesudah Perlakuan ..
103 Lampiran 5. Post Hoc Tests.............................................................................
DAFTAR SINGKATAN
AAM = Anti Aging Medicine AGES
= Advanced Glycation End Products CAPE
= Caffeic Acid Phenethyl Ester COX
= Cyclooxygenase DMBA
= Dimethylbenz (a) anthracene EEP
= Ethanol Extract of Propolis GGPD
= Glucose-6-Phospate KAP
= Kedokteran Anti Penuaan MDA
= Malondialdehid NAC
= N-Acetyl-Cystein SOD
= Superoksida Dismutase SOR
= Senyawa Oksigen Reaktif TBARS
= Thiobarbituric Acid Reactive Substance UV
= Ultraviolet WEP
= Water Extract of Propolis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah suatu proses yang akan dialami semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Semua manusia, terutama kaum wanita, senang jika dirinya terlihat lebih muda dari usia biologisnya. Banyak cara dilakukan untuk memperpanjang usia harapan hidup, serta menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik.
Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi, melainkan terjadi penurunan karena proses penuaan (Pangkahila, 2007). Jaringan tubuh secara perlahan akan kehilangan kemampuan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 1999). Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine telah membawa konsep baru. Pertama, penuaan dapat dianggap sama dengan suatu 1 Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine telah membawa konsep baru. Pertama, penuaan dapat dianggap sama dengan suatu 1
Teori radikal bebas merupakan salah satu teori yang menerangkan tentang terjadinya proses penuaan, yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian dikembangkan oleh Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman and Klantz, 2003). Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara menyerang dan mengikat atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).
Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, protein. Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, protein. Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya
Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme, sedangkan secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010). Beberapa sumber internal radikal bebas antara lain mitokondria, fagositosis, xantin oksidase, reaksi yang melibatkan logam transisi seperti Fe dan Cu, latihan fisik, inflamasi, reperfusion injury. Beberapa sumber eksternal radikal bebas diantaranya asap rokok, polusi lingkungan, radiasi, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, pestisida (Langseth, 1996). Secara normal tubuh dapat mengatasi efek buruk radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif (Wiyono, 2003).
Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat
Pada olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan, radikal bebas terbentuk melalui dua cara. Pertama, olahraga berlebihan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Di dalam serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali di atas kebutuhan normal (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza, 2005). Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas, terutama radikal superoksida. Kedua, karena terjadinya reperfusion injury, saat berolahraga berat, darah yang mengalir dalam tubuh keluar dari berbagai organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses olahraga. Namun darah dialirkan ke otot skelet. Selama pengalihan aliran darah, sebagian atau seluruh bagian organ tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan mengalami kekurangan oksigen secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi menyebabkan perubahan enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, yang bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia) (Langseth, 1996; Cooper, 2001).
Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas fisik maksimal antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Antioksidan Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas fisik maksimal antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Antioksidan
Propolis atau lem lebah merupakan produk alami dari lebah madu yang mempunyai potensi antioksidan yang tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan oksidan dan radikal
bebas (radikal H ●
2 O 2, O 2 , OH ) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk radikal bebas (Mot et al., 2009).
Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari ekspresi gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai
aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap oksidan dan H 2 O 2 dan radikal bebas O ●-
2 , dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009). Manfaat propolis selain sebagai antioksidan adalah antibakteri, antiinflamasi, antiviral,
hepatoprotektif, antitumor, mencegah terjadinya ulkus dan vasodilator (Viuda et al., 2008; Nakajima et al., 2009).
Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk propolis dan madu propolis terhadap sel kanker rahim dan payudara, menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker
HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker payudara). Nilai LC 50 adalah 15,625-62,5 µg/ml. Artinya, propolis dosis 15,625-62,5 µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur (Yuliati, 2009). Sejalan dengan temuan itu, uji potensi propolis dalam pengobatan tumor payudara pada tikus
diinduksi 7,12- dimethylbenz(a)anthracene (DMBA), menunjukkan bahwa propolis mampu mengobati tumor payudara melalui pengecilan diameter nodul. DMBA dilarutkan dalam minyak jagung dan diinduksikan pada tikus dengan dosis 20 mg/kg bobot tubuh. Dosis propolis yang diberikan adalah 2,5 ml/kgbb, diberikan dua kali per hari selama satu bulan. Hasil penelitian itu membuktikan adanya pengecilan nodul dari diameter 1,8 cm menjadi 0,6 cm setelah satu bulan pemberian propolis (Astuti and Widyarini, 2009).
Uji toksisitas membuktikan bahwa propolis sangat aman dikonsumsi berulang. Dalam uji praklinis, LD 50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. LD 50 adalah lethal dosage , yaitu dosis yang mematikan separuh hewan percobaan. Jika dikonversi, dosis itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya, dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas air minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak menimbulkan kerusakan pada darah, organ hati, dan ginjal. Penentuan toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit menunjukkan pemberian propolis dosis 5.000 mg/kgbb dan 10.000 mg/kgbb setiap hari selama 30 hari, tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT, Uji toksisitas membuktikan bahwa propolis sangat aman dikonsumsi berulang. Dalam uji praklinis, LD 50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. LD 50 adalah lethal dosage , yaitu dosis yang mematikan separuh hewan percobaan. Jika dikonversi, dosis itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya, dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas air minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak menimbulkan kerusakan pada darah, organ hati, dan ginjal. Penentuan toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit menunjukkan pemberian propolis dosis 5.000 mg/kgbb dan 10.000 mg/kgbb setiap hari selama 30 hari, tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT,
Propolis merupakan salah satu sumber antioksidan alami yang terdapat di Indonesia. Untuk mengetahui secara pasti perubahan yang terjadi secara in vivo, diperlukan suatu biomarker. Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang secara objektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi atau respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik (Dalle-Donne, et al ., 2006). Salah satu biomarker yang dipakai untuk menentukan stres oksidatif
adalah kadar f 2 -isoprostan, yang merupakan hasil akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh akibat radikal bebas (Cadenas, et al., 2002 (a) (b)). F 2 -isoprostan merupakan gold standart daripada pemeriksaan stres oksidatif, karena prosedur dan tehniknya lebih mudah dimana sampel dapat diambil dari urin, sehingga tidak memerlukan tindakan invasif. Sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan apakah ekstrak
propolis dapat menurunkan kadar f 2 -isoprostan dalam urin tikus wistar, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah pemberian ektrak propolis peroral dosis 0,3 gram dapat menurunkan kadar f 2 -isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang mengalami aktivitas fisik maksimal?
2. Apakah pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 gram dapat menurunkan kadar f 2 -isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang mengalami aktivitas fisik maksimal?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian propolis sebagai antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif yang terjadi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,3 gram dapat menurunkan kadar f 2 -isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
2. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 gram dapat menurunkan kadar f 2 -isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus ) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah : Hasil penelitian diharapkan dapat menguatkan teori tentang potensi propolis sebagai antioksidan dalam upaya mencegah terjadinya stres oksidatif sebagai salah satu penyebab proses penuaan.
2. Manfaat sosial : Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang potensi propolis sebagai antioksidan, untuk mencegah salah satu penyebab proses penuaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi propolis di masyarakat dan nilai jualnya di pasaran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENUAAN
2.1.1 Definisi
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker), yang akan menyebabkan kita mengakhiri hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark myokard, koma asidotik, metastasis kanker dan sebagainya (Darmojo, 1999).
2.1.2 Penyebab Penuaan
Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya faktor itu dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apotosis, sistem kekebalan yang menurun, dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
2.1.3 Teori Proses Penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldmann and Klatz, 2003).
2.1.3.1 Wear and Tear Theory Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu
meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus. Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldmann dan Klatz, 2003).
Hal ini berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya terjadi kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh membuat kerusakan lebih cepat. Karena itu, tubuh menjadi tua, sel merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Pada masa muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Goldmann dan Klatz, 2003).
Dengan menjadi tua, tubuh kehilangan kemampuan memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan.
Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan Klatz, 2003). Teori wear and tear meliputi:
1. Teori Kerusakan DNA Tubuh mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA repair ). Proses penuaan sebenarnya berarti proses penyembuhan yang tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus menerus (Darmojo, 1999). Kerusakan DNA menumpuk dalam waktu lama, yang mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sebanarnya sudah rusak berat. Kerusakan molekuler dapat terjadi karena faktor dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2007).
2. Teori Penuaan Radikal Bebas Teori radikal bebas merupakan salah satu teori tentang penuaan, yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian dikembangkan oleh Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat merusak sel – sel tubuh manusia (Goldman dan Klantz, 2003). Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih elekron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara menarik elektron molekul yang ada disekitarnya, mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan terjadi reaksi rantai (Soeatmadji, 1998; Sadikin, 2001).
Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas dimulai ketika lahir dan terus berlanjut hingga meninggal dunia. Ketika masih muda dampak yang ditimbulkan bersifat minor karena tubuh memiliki mekanisme perbaikan dan penggantian yang masih berfungsi baik untuk mempertahankan sel dan organ dalam keadaan sehat. Dengan bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat menimbulkan kanker dan kematian (Goldmann and Klatz, 2003).
3. Glikosilasi Glikosilasi merupakan salah satu proses biokimia dalam tubuh yang menyebabkan perubahan fisik yang dramatis. Glikosilasi adalah reaksi non enzimatik antara senyawa glukosa dengan senyawa protein, menghasilkan glikotoksin atau Advanced Glycation End Product (AGEs), yang merupakan radikal bebas yang akan merusak jaringan tubuh. Proses ini semakin sering terjadi saat kita menua, terjadi tanpa bantuan enzim spesifik, yang menyebabkan glikosilasi menjadi sangat berbahaya (Roizen and Oz, 2009).
2.1.3.2 Programmed Theory Teori ini menganggap di dalam tubuh manusia terdapat jam biologik, mulai
dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram (Darmojo, 1999). Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, anak- anak, remaja, dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2007).
1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer memendek pada setiap pembelahan sel. Setelah sejumlah sel pembelahan sel, telomer telah dipakai dan pembelahan sel berhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2007).
2. Proses Imun Rusaknya sistem imun tubuh seperti: mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition ). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang lanjut usia (Darmojo, 1999).
3. Teori Neuroendrokin Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi 3. Teori Neuroendrokin Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi
2.2 ANTI PENUAAN
Anti Aging Medicine (AAM) pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada tahun 1993. Anti Aging Medicine adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2007).
Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine telah membawa konsep baru yang menyebabkan perubahan paradigma di dunia kedokteran.
1. Penuaan dapat dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula.
2. Manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.
3. Manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua (Pangkahila, 2007).
Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007).
Jika radikal bebas dapat diatasi dengan antioksidan, salah satu penyebab proses penuaan sudah dihambat. Jika gaya hidup tidak sehat ditinggalkan, diet tidak sehat dihindari, dan hormon yang berkurang diatasi dengan pengobatan, maka proses penuaan yang penting dapat disingkirkan (Pangkahila, 2007).
2.3 RADIKAL BEBAS
2.3.1 Definisi Radikal Bebas Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, dapat bereaksi dengan molekul lain menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif (Soeatmadji, 1998; Goldmann and Klatz, 2003). Pengertian radikal bebas dan oksidan sering dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda (Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
2.3.2 Sifat-sifat Radikal Bebas
Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, adanya satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu molekul atau senyawa menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).
Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron. Pengertian oksidan dalam ilmu kimia adalah, senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron, disebut juga oksidator, misalnya ion ferri (Fe +++)
Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya, dibandingkan dengan senyawa non radikal (Halliwell and Gutteridge, 1985; Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
Reaktivitas dari radikal bebas baru akan berhenti bila ada peredam atau diredam (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan, seperti glutation (Winarsi, 2010).
GSH dengan •OH
•OH + GSH
H 2 O + GS• (Radikal glutation)
GS• + GS•
GSSG
2.3.3 Sumber Oksidan
Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber (Halliwell dan Gutteridge, 1985) yaitu :
1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa-senyawa yang sebenarnya berasal dari proses-proses biologik normal (fisiologis), namun oleh suatu sebab terdapat dalam jumlah besar.
2. Yang berasal dari proses peradangan
3. Yang berasal dari luar tubuh, seperti misalnya : obat-obatan dan senyawa pencemar (polutan).
4. Radiasi. Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus,
baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan respon terhadap pengaruh dari luar, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok dll. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat. Secara endogenus, hal ini bekaitan dengan laju metabolisme seiring dengan betambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.4 Tahap Pembentukan Radikal Bebas
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi berikut
1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal. Misalnya:
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal, dimana reaksi berantai radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas baru.
R2_H + R1•
R2 • + R1_H
R3_H + R2•
R3 • + R2_H
3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari radikal bebas, bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.. R1 • + R1 •
R1_R1
R2 • + R1 •
R2_R1
R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya (Winarsi, 2010) :
2.3.5 Senyawa Oksigen Reaktif
Pada dasarnya radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara eksogen (misalnya dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Supari, 1996).
Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen, yang disebut anion superoksida (O ●
2 ). Secara invitro senyawa radikal ini akan membentuk kompleks dengan senyawa organik. Banyak faktor yang menyebabkan
senyawa tersebut membentuk kompleks, antara lain adanya sifat permukaan membran, muatan listrik, sifat pengikatan makromolekul, dan bagian enzim, substrat, maupun katalisator. Senyawa kompleks ini dapat terjadi pada berbagai sel yang masih normal maupun tidak normal atau telah teraktivasi (Belleville-Nabet, 1996).
Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (SOR), dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Oksigen teraktivasi juga dapat terbentuk karena fungsi enzim atau sistem transfer elektron terganggu. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres oksidatif (Winarsi, 2010).
Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O 2 ), yaitu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia. Senyawa oksigen ini Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O 2 ), yaitu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia. Senyawa oksigen ini
+ 2NADH + 2H +O
2 2NAD + 2H 2 O + energi
ADP + energi ATP
Dalam proses ini, 1 molekul oksigen akan tereduksi menjadi 2 molekul air menurut reaksi sebagai berikut.
2 + 4H + 4e
2H 2 O
Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses pemindahan elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terjadinya senyawa oksigen reaktif. Adapun tahapan pembentukan senyawa oksigen reaktif adalah sebagai berikut.
Dari tahapan reaksi tersebut, tampak bahwa radikal ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terbentuk sebagai akibat pemindahan elektron yang kurang sempurna dalam proses reduksi oksigen (Winarsi, 2010).
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif menyebabkan stres oksidatif yang mengakibatkan berbagai penyakit. Kejadian ini diawali oleh reaksi oksidasi dalam tubuh. Bahkan meningkatnya kejadian penyakit kardiovaskuler, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker diyakini berkorelasi positif dengan tingginya radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.5.1 Radikal Ion Superoksida (O 2 ●)
Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini diproduksi di beberapa tempat yang memiliki rantai transpor elektron. Oksigen teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel, termasuk mitokondria, kloroplas, mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol (Elstner, 1991).
Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme sebagai berikut (Cadenas and Packer, 2002 (a)):
1. ++ Reaksi samping dalam reaksi yang melibakan Fe , misalnya dalam proses:
a. Fosforilasi oksidatif
b. Oksigenasi hemoglobin
c. Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P 450 dan
sitokrom b 4 )
2. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase.
NADH + O -
2 NAD +H +O 2 •
NADP + O -
2 NADP +H +O 2 •
3. Reaksi yang dikatalisis oleh xantin oksidase (XO)
XH + H +
2 O+2O 2 XO X-OH + 2 O 2 • +2H
Xantin
Asam urat
Dalam keadaan normal, di dalam sel mamalia tidak terdapat enzim xantin oksidase. Enzim ini berasal dari enzim xantin dehidrogenase (XD) yang mengalami proteolisis dan berubah menjadi xantin oksidase (XO), ketika terjadi iskemia atau hipoksia.
XD XO +
peptida
Xantin oksidase
Perubahan xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase bersifat irreversibel. Artinya bila suplai oksigen kembali normal maka akan terbentuk senyawa lain, yaitu ion superoksida yang lebih reaktif yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
2.3.5.2 Radikal Peroksil ( ●OOH)
Sebetulnya ion superoksida tidak terlalu reaktif bila dibandingkan dengan bentuk perubahannya yang berupa radikal peroksil.
2 • + H ●OOH Radikal peroksil
Radikal peroksil ini sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui reaksi sebagai berikut. ●OOH + XH
●X + H 2 O 2
Dari reaksi ini terlihat bahwa radikal peroksil lebih berbahaya daripada H 2 O 2 (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).
2.3.5.3 Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 )
Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi dalam retikulo endoplasmik (mikrosom) dan peroksisom.
RH 2 +O 2 R+H 2 O 2
Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidan yang sangat kuat dan dapat mengoksidasi berbagai senyawa dalam sel, seperti glutation.
2GSH + H 2 O 2 GSSG + 2H 2 O
Hidrogen peroksida tidak hanya bersifat sebagai oksidator, melainkan juga dapat
membentuk radikal bebas, bila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe + dan Cu dalam reaksi Fenton.
Efek negatif yang lain dari oksidator hidrogen peroksida adalah kemampuannya untuk membentuk ion hipoklorit (ClO - ) melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim
mieloperoksidase dalam sel inflamasi, seperti granulosit, monosit, dan makrofag (Cadenas and Packer, 2002 (a)).
2 O 2 + Cl H 2 O + ClO
R + ClO - RO + Cl
2.3.5.4 Radikal Hidroksil ( ●OH)
Keberadaan senyawa H 2 O 2 dapat berbahaya bila bersama-sama ion superoksida karena akan membentuk radikal hidroksil (OH ●) melalui reaksi Haber-Weiss berikut.
2 ● +H 2 O 2 O 2 + OH + ●OH
++ Reaksi Haber-Weiss memerlukan ion Fe atau Cu dan terjadi melaui dua tahap.
Dari berbagai bentuk senyawa oksigen reaktif tersebut, radikal hiroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan
merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H -
2 O 2 dan O 2 ● (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).
2.3.5.5 Singlet Oksigen ( 1 O
Singlet oksigen merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen bentuk ground state. Senyawa ini akan terbentuk melaui reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007):
a. Enzim monooksigenase yang menggunakan sitokrom P 450 dengan substrat peroksida.
b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase, yaitu suatu enzim yang bekerja dalam pembentukan prostaglandin dalam asam arakidonat.
c. Enzim mieloperoksidase, yang mengkatalisis reaksi hipoklorit dengan H 2 O 2 .
2.3.6 Stres Oksidatif