TINJUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBEMUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO 27 TAHUN 2008 TENTANG BPWS.

(1)

TINJAUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO

27 TAHUN 2008 TENTANG BPWS

SKRIPSI Oleh: Lu’luis Silfiyah NIM. C03209051

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian Pustaka tentang "Tinjuan Fiqih Siyasah Terhadap Kewenangan Gubemur Jatim Dalam Mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) Dalam UU No 32 Tahun 2004Dan Perpres No 27 Tahun 2008 Tentang BPWS".

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang bagaimana kewenangan Gubemur ProvinsiJatim dalam mengarahkan BPWS dalam Perpres No. 27 Tahun 2008 dan UUNo. 32 tahun 2004?, bagaimana tinjuan fiqh siyasah terhadapkewenangan Gubemur Jatim dalam mengarahkan BPWS dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS?. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, membaca, dan mencatat. Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yakni memaparkan konsep Fiqh siyasah untuk menganalisis tentang kewenangan Gubemur Provinsi Jatim dalam mengarahkan BPWSdalam Perpres No. 27 Tahun 2008 dan UU No. 32 tahun 2004.

Wewenang Gubemur Provinsi Jawa Timur, Pertama, menurut Undang-Undang Otonomir Daerah No. 32 Tahun 2004 Pasal 25, adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama DPRD. Dan dalamNo 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat (6) Gubemur berwewenang mengatur urusan pemerintahan daerah dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Gubemur Jatim dalam PERPRES No 27. Tahun 2008 adalah Meminta penjelasan terhadap segala hal yang berkaitan denganpelaksanaan BPWS, keberadaan BPWS sedikit banyak menghilangkanwewenang Gubemur Jatim dalam melaksanakan kebijakannya dan juga status kepala daerah empat kabupaten Pulau Madura dan wali kota Surabaya yang tidak masuk dalam struktur BPWS. Padahal dijelaskan dalam Undang-undangotonomi daerah No. 32 tahun 2004 pasal 9 ayat ( 4) Untuk membentuk kawasankhusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintahmengikutsertakan daerah yang bersangkutan.

Hendaknya para birokrasi pemerintah khususnya Gubemur Jatim dan empat kepala daerah dan Wali Kota Surabaya mengusulkan kejanggalan ini kepemerintah pusat agar dicari jalan keluamya. Karena dalam Undang-Undang Otonomi daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepadaPemerintah.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian... 10

F. Kegunaan Hasil penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika {Pembahasan ... 18 J.


(8)

BAB II PIMPINAN NEGARA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ... 20

A. FIQH SIYASAH ... 20

1. Defnisi Fiqh Siyasah ... 20

2. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah ... 23

B. KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM ... 27

1. Sulthah al-tasyri’iyyah(kekuasaan Legislatif) ... 28

2. Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan Eksekutif) ... 29

3. Sulthah al-qadha’iyyah(Kekuasaan Yudikatif) ... 30

4. Wewenang tasyri’iyyah, tanfidziyah, qadha’iyyah ... 31

BAB III BPWS DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ... 33

A. KONSEP OTONOMI DAERAH ... 33

1. Definisi Otonomi Daerah ... 33

2. Konsep Desentralisasi ... 34

3. Dasar Dan Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 38

B. NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ... 40

1. Definisi Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 40

2. Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah ... 43

3. Wewenang Pemerintah Daerah ... 46

C. BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU ... 51

1. Sejarah Berdirinya BPWS ... 51

2. BPWS Menurut PERPRES No. 27 Tahun 2008 ... 54

3. Tugas Dan Wewenang Gubernur Jatim Menurut PERPRES No 27 Tahun 2008 ... 57

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM


(9)

DAN PERPRES NO. 27 TAHUN 2008 PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ... 62

A. ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BPWS DALAM PERPRES NO. 27 TAHUN 2008 ... 62

B. ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BPWS DALAM UU NO. 32 TAHUN 2004 ... 69

C. ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BPWS DALAM UU NO. 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO. 27 TAHUN 2008 PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ... 78

BAB V PENUTUP ... 80

A. KESIMPULAN ... 80

D. SARAN ... 81

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTARTRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

A.Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. ا ج خ د ر س <<<, b t th j h} kh d dh r z s sh s} d} ظ ع ف م ه ء ي T z} ‘ gh f q k l m n w h , Y

Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writes of Term Papers, Disertation (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987)

B.Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

___ـ__ _____ __ __ fath{ah kasrah d}ammah A i u

Catatn: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh{arkat sukun. Atau didahului oleh huruf yang berh{arkat sukun. Contoh: iqtid{a>’ (ءا تقا)

2. Vokal Rangkap (diftong) Tanda dan

Huruf Arab


(11)

يـــــ

وــــــ

fath{ah dan ya’ fath{{ah dan

wawu

ay aw

a dan y a dan w

Contoh : bayna (نيب) : mawd{u>’ (عوضوم)

3. Vokal Panjang (mad)

Tanda dan Huruf Arab

Nama Indonesia Ket.

اـــــــ يــــــ وـــــــ

fath{ah dan alif kasrah dan ya’

d{ammah dan wawu

a> i> u>

a dan garis di atas i dan garis di atas u dan garis di atas

Contoh : al-jama>’ah (ةعام لا )

:takhi>r (ريي ت)

:yadu>ru (ر ي)

C.Ta’ Marbutah

Transliterasi untuk ta>>>’ marbu>tah ada dua:

1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

Contoh : shari>’at al-Isla>m (ماسااةعيرش)

: shari>’ah isla>mi>yah (ةيماساةعيرش)

D.Penulisan Huruf Kapital

Penulisanhuruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau kalimat yang dengan translitersi Arab-Indonesia mengikuti ketentuan penulisan yang berlaku dalam tulisan. Huruf awal (initial latter) untuk nama diri, tempat, judul buku, lembaga dan yang lain ditulis dengan huruf besar.


(12)

TINJAUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO 27

TAHUN 2008 TENTANG BPWS A.Latar Belakang

Islam adalah agama yang rahmatan lil alami, yang mengatur segala urusan segala urusan manusia.1 Dalam ajaran islam, masalah politik termasuk dalam kajian fiqih siyasah. Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya, dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam. Masalah pemisahan kekuasaan telah ada dalam hukum maupun negara islam, dan dipraktikkan sejak masa Rasulullah SAW dan al-khulafa’ al-rasyidin.2

Ulil Amr, sebagai pelaksana undang-undang, Qadi Syuraih sebagai pelaksana peradilan, majelis syura sebagai parlemen, dan ahl-halli wa al-aqdi sebagai dewan pertimbangan. Mengenai kekuasaan legislatif, mereka mempunyai dua wewenang pertama membuat uandang-undang. Kedua mengontrol pemerintah dalam masalah-masaah eksekutif. Mengenai yudikatif tidak mengharuskan memegang teguh pada sistem tertentu atau alat (negara) tertentu. Begitupun pandangan islam tentang eksekutif.3

1 Zainal Abidin ahmad, Membangun Negara Islam (Yogyakarta: Pustaka iqra’, 2001), 284 2Inu kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan Dan al-Quran, (Jakarta: Bumi aksara, 1995), 167


(13)

2

Dan Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,4 Dimana daerah-daerahnya dibagi atas daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pemerintahan Daerah yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 sampai Pasal 18B dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Dengan itu daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.5

Sejak kemerdekaan sampai dengan periode demokrasi terpimpin, tantangan dihadapi oleh gagasan otonomi daerah dan prinsip desentralisasi. Pada era Demokrasi Terpimpin, terjadi pemberontakan G.30.S/PKI pada tahun 1965. Setelah terjadinya pergantian Presiden pada tahun 1967, barulah muncul apresiasi mengenai pentingnya prinsip otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan. Hal ini terlihat jelas dalam TAP MPRS tanggal 5 Juli 1966, No XXI/MPRS/1966 Tentang Pemberian Otonomi yang seluas-luasnya Kepada Daerah.6

Untuk melaksanakan ketetapan MPR ini, atas inisiatif pemerintah telah disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Sehingga dalam sidang tahunan MPR, tahun 2000 sekali lagi ditetapkan ketetapan MPR yang merekomendasikan kebijakan-kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah itu.

4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 angka 1

5 Diakses melalui Google., Pemerintahan Daerah. pada hari Kamis 3 Desember 2013.

6 Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi Dan Konstitusialismeindonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),


(14)

3

Ketetapan MPR tersebut adalah TAP No.IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.7 Atas dasar itulah ketika lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemeritahan Daerah8.

Dari segi pembuatannya, sudah semestinya kedudukan Peraturan Daerah ini, baik Peraturan Daerah tingkat propinsi, tingkat kabupaten atau kota, setara dengan undang-undang yang merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namundari segi isinya kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dan lebih rendah dibandingkan peraturan daerah. Dengan demikian undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari pada Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten, atauKota. Karena itu sesuai prinsip hierarki peraturan perundang-Undangan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.9

Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala

7Ibid, 209

8 Thalhal, Mengkritisi Banyaknya Peraturan Daerah Bermasalah, Draf Akademis, Desember, 2009,

2

9 Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi Dan Konstitusialismeindonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006),


(15)

4

Daerah.10 Wewenang sebagaimana dimaksud diatas dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Urusan Pemerintah dimaksud diatur dalam Pasal 10 ayat (3) meliputi: 1. Politik luar negeri, 2. Pertahanan, 3. Keamanan, 4. yustiti, 5. Moneter dan Fiskal Nasional, dan 6. Agama.11

Otonomi daerah memberikan kewenangan penuh pada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Mulai dari perencana, pelaksanaan dan beberapa hal lain terkait dengan pengawasan atas pelaksanaan yang telah direncanakan sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.12

Oleh karena itu dalam pengembangan pembangunan nasional Pemerintah memandang penting untuk mengembangkan kawasan pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta. Kawasan pertumbuhan ekonomi tersebut adalah kawasan Surabaya dengan pembangunan Jembatan Suramadu dan kawasan industrialisasi di kawasan Gerbang Kerto Susilo (Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) yang dimulai pada Pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1986-an.13

Ide awal proses Pembangunan Jembatan Tol Suramadu diharapkan akan mendorong

10 Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

11 Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

12 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah 13 Mutmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi. (Yogyakarta :


(16)

5

percepatan pengembangan sosial ekonomi dan tata ruang wilayah-wilayah tertinggal yang ada di Pulau Madura.

Sebagai tindak lanjut dari upaya tersebut diatas, maka Untuk mendorong percepatan dan pembangunan industrialisasi di kawasan ini, Pemerintah mengeluarkan dasar hukum, yaitu Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2008 (PerPres No. 27 tahun 2008) mengenai Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) sebagai pengelola Wilayah Pengembangan KawasanIndustrialisasi di Madura.14

Selanjutnya Badan Pelaksana BPWS (Bapel BPWS), sesuai dengan amanah Perpres 27 Tahun 2008 di atas, memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelolaan, pembangunan dan fasilitasi percepatan kegiatan pembangunan wilayah Suramadu..15 Selain melaksanakan tugas dan fungsi di atas, Bapel BPWS juga bertugas untuk stimulasi pembangunan infrastruktur untuk wilayah Suramadu secara keseluruhan. Dalam hal ini Bapel BPWS melakukan koordinasi perencanaan dan pengendalian pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan Kementerian/LPNK lain, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maupun swasta/masyarakat di wilayah Madura.16

Akan tetapi sejak awal pembentukan BPWS mendapat berbagai penolakan dari berbagai kalangan. Mulai dari yang mengatasnakan Lembaga Swadaya Masyarakat, Kaukus Parlemen Daerah, Hingga Pemerintah Daerah seluruh Madura yang terdiri dari empat kabupaten mengajukan keberatannya atas keberadaan BPWS. Akibat banyaknya penolakan di daerah, kinerja badan ini tidak maksimal dan hingga

14 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008 15 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008 16 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008


(17)

6

laporan penelitian ini disampaikan, belum banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh daerah atas keberadaan BPWS.

Penolakan ini berdasarkan argumentasi bahwa (1) pemerintah daerah tidak dilibatkan; (2) terjadi pencaplokan oleh Pemerintah padahal pembangunan ini akan dilaksanakan di daerah; (3) Daerah merasa lebih berhak dengan diterapkannya

otonomi daerah. Penolakan ini didasarkan atas prinsip “Otonomi Daerahس. Daerah beranggapan bahwa dengan diterapkannya desentralisasi, sebenarnya Pemerintah tidak berwenang mengeluarkan PerPres No. 27 tahun 2008 yang mendelegasikan pengelolaan kawasan Suramadu kepada BPWS.

Dari uraian latar belakang di atas penulis sangat tertarik untuk lebih memahami dan ingin mengadakan penelitian tentang kewenangan kepala daerah jawa timur terkait dengan kebijakan pengelolaan,pengembangan wilayah Suramadu, dengan topik: ͆Tinjauan Fiqih Siyasah Terhadap Kewenangan Gubernur Jatim Dalam Mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) Dalam UU No 32 Tahun 2004 Dan Perpres No 27 Tahun 2008 Tentang

BPWS ͇

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya kemudian yang


(18)

7

dapat diduga sebagai masalah.17 Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah penelitian ini adalah:

1. Otonomi daerah menurut Undang-Undang No 32 tahun 2004

2. Peraturan Presiden No 27 tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS).

3. Penolakan intansi pemerintah daerah terhadap Peraturan Presiden No 27 tahun 2008

4. Wewenang Gubernur provinsi jawa timur dalam Otonomi daerah No 32 tahun 2004

5. Wewenang Gubernur Jawa Timur dalam menjalankan Otonomi Daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden (Perpres) No 27 tahun 2008. .

Agar lebih terarah dan pembahasan penelitian ini tidak melebar, maka diperlukan adanya pembatasan masalah, masalah ini di batasi pada:

1. Kewenangan gubernur provinsi jatim dalam mengarahkan Overlapping dalam UU No. 32 tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS

2. Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap kewenangan Gubernur Jatim dalam mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS

17 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi Edisi Revisi, cetakan III, (Surabaya: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), 8.


(19)

8

C.Rumusan Masalah

Untuk memudahkan proses penelitian dan penulisan, maka diperlukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kewenangan gubernur provinsi jatim dalam mengarahkan Overlapping dalam UU No. 32 tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS?

2. Bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah terhadap kewenangan Gubernur Jatim dalam mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS?

D.Kajian Pustaka

Otonomi daerah sebagai salah satu kebijakan yang memberikan kewenangan penuh pada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kalau kita kaitkan dengan kewenangan Gubernur jatim dalam mengarahkan BPWS, tentunya sangat menarik dan banyak peneliti yang telah membahas sebelum-sebelumnya.18

dari hasil pengamatan peneliti tentang kajian-kajian sebelumnya, peneliti temukan beberapa kajian di antaranya:

1. Skripsi yang di tulis oleh M. Satria yang berjudul “Implementasi undang-undang Pemerintahan daerah serta prinsip-prinsip Good governance oleh


(20)

9

kepala daerah Dalam penyelenggaraan hak otonomi” skripsi ini membahas tentang kewenangan otnomi daerah bagi eksekutif tidak hanya merumuskan dan menentukan arah pembangunan suatu daerah, tapi juga dapat mengatur kebijakan melalui kewenangan legislatif yang ada padanya. Hal ini dikarenakan, potensi, peluang dan persaingan global, memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan pemerintah, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga keinginan untuk memberikan hak otonomi dalam menjalankan sendiri pemerintahan di daerah, pemerintah pusat berupaya secara maksimal untuk lebih memperhatikan lagi daerah-daerah yang ada, untuk menjaga keutuhan NKRI.19

2. Skripsi yang di tulis oleh Hadrian Habas yang berjudul “Suatu perbandingan undang nomor 12 tahun 2008 Tentang perubahan kedua atas undang-undang no 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dalam Mewujudkan pemerintahan yang baik” skripsi ini membahas tentang adanya dua undang-undang Pemerintahan Daerah yaitu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 lahir karena adanya tuntutan dari masyarakat kepada Pemerintah untuk membentuk Undang-Undang tentang

19 M. Satria, Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Daerah Serta Prinsip-Prinsip Good Governance Oleh Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Hak Otonomi, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Uninversitas Gajah Mada, 2011), 13


(21)

10

Pemerintahan Daerah yang berpihak kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinilai tidak lagi mampu menjawab kebutuhan tentang tugas dan wewenang serta kewajiban Wakil Kepala Daerah, Tugas dan wewenang DPRD, Ketentuan pidana pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Untuk itu digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.20

Skripsi-skripsi di atas lebih menekankan pada penerapan dari masing-masing pembiayaan, sementara itu, penelitian yang akan penulis lakukan ini lebih menekankan pada kewenangan kepala daerah jawa timur terkait dengan kebijakan pengelolaan,pengembangan wilayah Suramadu yaitu, “Tinjauan Fiqih Siyasah Terhadap Kewenangan Gubernur Jatim Dalam Mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) Dalam UU No 32 Tahun 2004 Dan Perpres No 27 Tahun 2008 Tentang BPWS ͇

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah rumusan tentang tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian yang dilakukannya.21 Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

20 Hadrian Habas, Suatu Perbandingan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Skripsi, (Padang:Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas).

21 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi Edisi Revisi, Cetakan III, (Surabaya: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), 9.


(22)

11

1. Untuk mengetahui Wewenang Gubernur Provinsi Jawa Timur dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 dan Peraturan Presiden No 27 tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS).

2. Untuk mengetahui Wewenang Gubernur Provinsi Jawa Timur dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 dan Peraturan presiden No 27 tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) perspektif Fiqih Siyasah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari permasalahan di atas, penelitian dan penulisan ini diharapkan mempunyai nilai tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca, yang berguna dalam dua aspek yaitu:

1. Dari segi teoritis

a. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemahaman studi hukum Islam terhadap mahasiswa fakultas syariah pada umumnya dan mahasiswa jurusan Siyasah Jinayah pada khususnya.

2. Dari segi praktis

a. Dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi peneliti berikutnya untuk membuat skripsi yang lebih sempurna.


(23)

12

b. Guna dijadikan pedoman dalam rangka penambahan refrensi tentang Otonomi daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 dan Peraturan presiden No 27 Tahun 2008.

G.Definisi Operasional

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalah pahaman pembaca dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis perlu menjelaskan variabel-variabel dalam judul skripsi ini, yaitu :

Tinjauan : Pandangan atau pendapat yang diperoleh sesudah menyelidiki atau mempelajari suatu masalah.22 Fiqih Siyasah al-Qadha : al- qadha dalam konteks fiqih siyasah adalah

kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dalam rangka menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan

kedudukan hukum kepala negara.23

Otonomi Daerah :Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

22 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Universitas Michigan: Balai Pustaka, 2003),

1078.


(24)

13

dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.24

Wewenang Gubernur :Gubernur atau kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah memiliki kewenangan tindakan pemerintahan sebagai kepala daerah otonom maupun kepala wilayah. Kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah melaksanakan kewenangan atribusi, delegasi dan mandat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.25

BPWS :adalah Badan Pelaksana yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai pengelola Wilayah Pengembangan Kawasan Industrialisasi di Madura. Yang memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelolaan, pembangunan dan fasilitasi percepatan kegiatan pembangunan wilayah Suramadu. Dan juga bertugas untuk stimulasi pembangunan infrastruktur untuk Wilayah Suramadu secara keseluruhan.26

24 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), 102 26 Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2008 (PerPres No. 27 tahun 2008).


(25)

14

H.Metode Penelitian

Metode penelitian ini meliputi:

Metode penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu melalui serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data kepustakaan, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.27 Dengan menggunakan metode deskriptif analisis

1. Data yang Dikumpulkan

Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka data yang peneliti kumpulkan di antaranya, yaitu:

1. Data tentang wewenang gubernur provinsi jawa timur dalam Konteks otonomi daerah menurut UU No 32 tahun 2004.

2. Data tentang peraturan presiden No 27 tahun 2008 tentang badan pengembangan wilayah suramadu (BPWS).

3. wewenang gubernur provinsi jawa timur dalam Konteks otonomi daerah menurut UU No 32 tahun 2004 peraturan presiden No 27 tahun 2008 tentang badan pengembangan wilayah suramadu (BPWS) perspektif Fiqh Siyasah.

2. Sumber Data

27 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 3


(26)

15

Sumber data yang akan dijadikan pegangan dalam penelitian ini peneliti mendapatkan data yang konkrit serta ada kaitannya dengan masalah kewenangan gubernur propinsi jatim dalam mengarahkan BPWS meliputi data primer dan data sekunder yaitu:

a. Sumber Primer

1. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah

2. Peraturan Presiden No 27 Pasal 1 ayat (3) Tahun 2008 b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber pelengkap yang diperoleh dari data kepustakaan yang ada hubungannya dengan pembahasan dalam penelitian ini yaitu:

1. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Universitas Michigan: Balai Pustaka, 2003.

2. Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

3. Mutmainnah, Jembatan Suramadu :Respon Ulama Terhadap Industrialisasi. (Yogyakarta : LKPSM, 1998).

4. Moch. Rifa’I, Ushul Fiqh, Bandung: PT Alma’ Arif, 1973.

5. Abu A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,س penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.


(27)

16

6. Mestika Zed, penelitian kepustakaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , Cet. III, 2004.

7. Lely J.Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, Cet. VII, 2002

8. Restu Kartiko Widi, Asas Metodelogi Penelitian, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010.

9. Sukudin dan Mundir, Metode Penelitian: Menimbang dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian, Surabaya: Insan Cendikia, 2005.

10. Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka upaya pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab masalah dalam penelitian ini secara keseluruhan bersifat Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis-faktual, karena yang diteliti adalah penelitian pustaka.28 Teknik yang digunakan adalah mengumpulkan beberapa tulisan yang membahas tentang Otonomi Daerah baik berupa buku maupun tulisan lepas.


(28)

17

Pada kajian ini, ingin melihat bagaimana pandangan Fiqh Siyasah terutama pandangan Fiqh Siyasah Imamah terhadap Otonomi daerah dengan adanya BPWS ini, dan Perpres No 27 Tahun 2008 tentang BPWS. Di antaranya adalah:

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah alat pengumpul data yang berupa dokumen dan catatan dari sumber yang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan cara mencatat data, dokumen lembaga terkait dengan penelitian. Dokumentasi ini merupakan dalil konkrit yang bisa penulis jadikan acuan untuk menilai seberapa besar peran Otonomi Daerah dalam kewenanagan Gubernur jatim dan Perpres No 27 tahun 2008 perspektif Fiqh siyasah.

4. Teknik Pengolahan Data

Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan semua data yang penulis dapatkan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Organizing : Suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.29

b. Editing : Kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.30

29 Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66 30Ibid, 97


(29)

18

c. Coding : Mengklasifikasi data-data. Maksudnya data-data yang telah diedit tersebut diberi identitas sehingga memiliki arti tertentu pada saat analisis.31

5. Analisa Data

Data tentang ketentuan otonomi daerah menurut undang-undang (UU) No 32 tahun 2004 dan PERPRES No. 27 tahun 2008 yang diperoleh dari pustaka dan dokumentasi, dianalisis dengan metode Deskriptif Analisis, dan menganalisa data tersebut dengan pola pikir deduktif. Metode deskriptif analisis yaitu membuat deskripsi atau menjelaskan secara sistematis tentang data Wewenang Gubernur Provinsi Jatim dalam Mengarahkan BPWS dalam konteks Otonomi daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 dan PERPRES No 27 tahun 2008 dengan analisa Perspektif Fiqh Siyasah.32 Kerja dari metode Deskriptif-Analisis, yaitu dengan cara menganalisis Wewenang Gubernur Provinsi Jatim dalam Mengarahkan BPWS dalam konteks Otonomi daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 dan PERPRES No 27 tahun 2008 dengan analisa Perspektif Fiqh Siyasah kemudian diperoleh kesimpulan.33 Untuk mempertajam analisis, metode Content analysis (analisi isi) juga penulis gunakan. Content Analysis digunakan melalui proses mengkaji data yang

31Ibid, 99

32 Moch Nazir, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 2


(30)

19

diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai sumbangan teoritik.34

I. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan skripsi tersusun dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab pembahasan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam pemahaman serta penelaahan, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB ke I Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang berisi data yang dihimpun, sumber data yang terdiri dari data primer dan sekunder, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan sistematika pembahasan.

BAB ke II Memuat tentang Konsep Fiqh Siyasah yang berisi tentang Definisi Fiqih Siyasah, Ruang Lingkup Pembahasan Fiqh siyasah. Dan Konsep Lembaga Negara dalam Islam, yang berisi Tentang definisi Sulthah al-tasyri’iyyah (kekuasaan Legislatif), Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan Eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif), wewenang Sulthah


(31)

20

tasyri’iyyah, Sulthah al-thanfidziyah, dan Sulthah al-qadha’iyyah dalam ketatanegaraan.

BAB ke III Memuat tentang Otonomi daerah yang Berisi tentang Desentralisasi, Dekonsentrasi, Hubungan Pemerintah Pusat dan daerah, dan Otonomi daerah Menurut UU No. 32 tahun 2004. dan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) yang berisi tentang Tugas BPWS, Fungsi/tujuan BPWS, BPWS menurut Perpres No 27 Tahun 2008.

BAB ke IV Analisis kewenangan Gubernur Provinsi Jatim dalam mengarahkan BPWS dalam Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS, Analisis kewenangan gubernur provinsi jatim dalam UU No. 32 tahun 2004, dan Analisis kewenangan Gubernur Jatim dalam mengarahkan BPWS dalamUU No. 32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS Perspektif Fiqih Siyasah

BAB ke V Pada bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran.


(32)

BAB II

PEMIMPIN NEGARA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

A. Fiqh Siyasah

1. Definisi Fiqh Siyasah

Menurut J.J. Rousseau (1712-1778 M), secara Natural Law, setiap individu melalui perjanjian bersama, mereka membentuk sebuah masyarakat (social contract). Dengan terbentuknya masyarakat ini, maka secara otomatis terbentuklah sebuah pemerintahan yang dapat mengatur dan memimpin masyarakat tersebut.1 Dalam pergaulan hukum Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia. Karena terbukti hukum Islam secara langsung mengatur urusan duniawi manusia.2 Maka dari sinilah perlunya sebuah disiplin ilmu di dalam hukum Islam dapat mengatur konsep pemerintahan. Karena pemerintahan sangat diperlukan di dalam mengatur kehidupan manusia. Disiplin ilmu tersebut adalah Fiqh Siyâsah.

Kata “Fiqh Siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “ هقفلا

يسايسلا” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (ه لا) dan yang kedua adalah Al-Siyâsî (يساي لا). Kata Fiqh secara bahasa adalah paham. Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: ( ن مب ت ملاةي معلا ةيعر لا ما حأابم علا

1 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), 160. 2 Ibid., 20


(33)

21

ا تلدأ

ةي ي تلا ) yaitu mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.3

Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah. Secara istilah memiliki berbagai arti:

a. Menurut Imam al-Bujairimî: Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka

dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan.4

b. Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait

Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permasalahan mereka.5

c. Menurut Imam Ibn Âbidîn Kemaslahatan untuk manusia dengan

menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Dari Segi lahir siyâsah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris

Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.6

3 Ibid., 19.

4 Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj (Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî, t.t.), vol. 2, 178.

5 Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 25, 295.

6Ibn شÂbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr , (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-شArabî, 1987), vol. 3, 147.


(34)

22

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu:

a. Pihak yang mengatur.

b. Pihak yang diatur.

Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:7 Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.8

Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kepastian untuk senantiasa sesuai dengan syariat Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî. Dengan demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di

dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid

al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah usul fiqh serta cabang-cabangnya.9

Oleh karena itu, politik yang didasari atas adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.10

7 H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah, (Jakarta: Kencana, 2007), 28

8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Eresco, 1971), 6 9 David Crystal, Penguin Encyclopedia, (London: Penguin Books, 2004), 28-9.


(35)

23

2. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah

Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:11

a. Siyâsah Dustûriyyah

b. Siyâsah Mâliyyah

c. Siyâsah Qadlâ`iyyah

d. Siyâsah Harbiyyah

e. Siyâsah `Idâriyyah

Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang, yaitu:12 a. Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan

perundang-undangan).

b. Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang penetapan hukum).

c. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan).

d. Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter). e. Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara). f. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan

hubungan luar negeri atau internasional).

11 Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-شAlamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 13.


(36)

24

g. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang).

h. Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).

Dari sekian uraian tentang ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian pokok. Pertama, politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.13

Kedua, politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga negara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.14

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah

mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang

13 Iqbal, Fiqh Siyasah, 13.


(37)

25

mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam.15

Salah satu doktrin Islam adalah bahwa Islam yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad telah menegaskan dirinya sebagai agama

sempurna16 dan Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi penutup.17

Sementara itu, wahyu terbatas oleh ruang dan waktu dan Nabi Muhammad hidup serta wafat dalam satu fase masa tertentu, sementara zaman terus berubah dan berkembang. Mungkinkah sesuatu ajaran yang terbatas dengan ruang dan waktu dapat menjawab kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman? Untuk hal ini para ulama memberikan jawaban. Kesempurnaan Islam mencakup dua makna yang berkaitan, universal dan komprehenship atau Syumul dan Mutakaamil. Universalitas Islam mengharuskan bahwa Islam kompatibel untuk setiap zaman dan tempat, sedang komprehensivitas Islam mengharuskan Islam dapat menjawab dan menjadi solusi atas setiap permasalahan yang muncul dari segala aspek kehidupan.18

Al-Quran dan Hadits Nabi mencakup esensi setiap permasalahan baik yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Sebagaimana

dikatakan oleh Imam Asy Syafi'i, “tidak ada sesuatu yang terjadi kepada

15 Djazuli, Fiqh Siyâsah, 36-8. 16 Surat Al-Maidah ayat 3 17 Surat Al-Ahzab ayat 40


(38)

26

pemeluk agama Allah melainkan pada Kitabullah telah ada dalilnya melalui jalan petunjuk padanya".19 Dengan kerangka berpikir di atas, setiap muslim berkeyakinan bahwa setiap permasalahan dalam hidupnya adalah bagian dari ajaran Islam. Salah satu aktifitas kehidupan manusia dalam bermasyarakat adalah berpolitik atau siyasah. Karena Islam itu mengatur setiap kehidupan termasuk berpolitik, maka berpolitik pun ada batasan-batasan syariatnya, sehingga melahirkan istilah Siyasah Syariyah atau politik syariat.

Siyasah Syar'iyah adalah setiap kebijakan dari penguasa yang tujuannya menjaga kemaslahatan manusia, atau menegakan hukum Allah, atau memelihara etika, atau menebarkan keamanan di dalam negeri, dengan apa yang tidak bertentangan dengan Nash, baik Nash itu ada (secara eksplisit) ataupun tidak ada (secara implisit).20

Jadi esensi dari siyasah syar'iyah adalah kebijakan penguasa yang dilakukan untuk menciptakan kemaslahatan dengan menjaga rambu-rambu syariat. Rambu-rambu-rambu syariat dalam siyasah adalah: (1) dalil-dalil kully, dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits; (2) Maqâshid Syari'ah; (3) semangat ajaran Islam; (4) kaidah-kaidah Kulliyah Fiqhiyah.21

19 Muhanmmad Bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar el Fikr, tt), 20

20 Abdurahman Abdul Aziz Al Qasim, Al Islâm wa Taqninil Ahkam, (Riyadh: Jamiah Riyadh, 177), 83


(39)

27

B. KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM

Prinsip kedaulatan rakyat menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan(separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Sedangkan dalam islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang di tetapkan Al-Quran dan Al – Hadist Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum islam ditetapkan

oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist nabi, sedangkan Hadist

merupakan penjelasan tentang Al-Qur’an.22

Dalam sejarah Ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan, yaitu : Sulthah al-tasyri’iyyah (kekuasaan Legislatif), Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan Eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif).

Jadi Tulisan singkat ini tidak mencoba merekam semua khazanah ketatanegaraan yang pernah ada, namun akan mengkaji beberapa istilah lembaga pemerintahan yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah politik Islam di atas. Pembahasan ini antara lain tasyri’iyyah, tanfidziyah,

qadha’iyyah


(40)

28

1. Tasyri’iyyah

Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah

Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukan

salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (sulthah al-tanfidzhiyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam

konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti

kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya

berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at

Islam.23

Orang-orang yang duduk dalam lembaga legislative ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam hal-hal ketentuannya, sudah terdapat didalam nash Al-Qur’an dan Sunnah,

undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah

undang-undang Ilahiyah yang disyari’atkanNya dalam Al-Qur’an dan

dijelaskan oleh Nabi SAW. Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash.

23Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media


(41)

29

Kewenangan lain dari lembaga legislative adalah dalam bidang keuangan negara. Dalam masalah ini, lembaga legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintahan.

Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam .

b. Masyarakat Islam yang akan melaksnakan.

c. Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari'at Islam.24

2. Tanfidziyah

Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam Islam dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang Amir atau Khalifah. istilah ul al-amr tidaklah hanya terbatas untuk lembaga eksekutif saja melainkan juga untuk lembaga legislatif, yudikatif dan untuk kalangan dalam arti yang lebih luas lagi. Namun dikarenakan praktek pemerintahan Islam tidak menyebut istilah khusus untuk badan-badan di bawah kepala negara yang bertugas meng-execute ketentuan perundang-undangaaan seperti Diwan al-Kharāj (Dewan Pajak), Diwan al-Ahdas ׂ(Kepolisian), wali untuk setiap wilayah, sekretaris, pekerjaan umum, Diwan al-Jund


(42)

30

(militer), sahib al-bait al-māl (pejabat keuangan), dan sebagainya yang nota bene telah terstruktur dengan jelas sejak masa kekhilafahan Umar bin Khattab maka untuk hal ini istilah ul al-amr mangalami penyempitan makna untuk mewakili lembaga-lembaga yang hanya berfungsi sebagai eksekutif. Sedang untuk Kepala Negara, al-Maududi menyebutnya sebagai Amir dan dikesempatan lain sebagai Khalifah.25

Berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, umat Islam diperintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.

3. Qadha’iyyah

Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai Sulthah Qadhaiyyah. Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara.


(43)

31

Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dalam penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-Qadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan. Dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-Qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah,

yaitu Wilayah Qadha, Wilayah Mazhalim, dan Wilayah Hisbah.26

4. Wewenang tasyri’iyyah, tanfidziyah, dan qadha’iyyah

Dalam konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya

berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at

Islam.

Tugas Al- Sulthah Tanfidziyah adalah melaksanakan

undang-undang. Disini negara memiliki kewewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional).27

Adapun tugas As–Sulthah al-qadhai’iyyah adalah

mempertahankan hukum dan perundang-undangan yang telah diciptakan oleh lembaga legislatif. Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga ini

26 Hakim Javid Iqbal, Masalah-masalah Teori Politik Islam, cet III,(Bandung : Mizan , 1996), 65 27 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media


(44)

32

biasanya meliputi wilayah al-hisbah (lembaga peradilan untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan seperti kecurangan dan penipuan dalam bisnis), wilayah al-qadha (lembaga peradilan yang memutuskan perkara-perkara sesama warganya, baik perdata maupun

pidana), dan wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang

menyelesaikan perkara penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentinagn atau hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar hak rakyat. 28

28 Ridwan HR, fiqh Politik gagasan, harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,2007),


(45)

BAB III

BPWS DALAM KONTEK OTONOMI DAERAH

DI NEGARA KESATUAN RIPUBLIK INDONESIA

A.KONSEP OTONOMI DAERAH

1. Definisi Otonomi Daerah

Otonomi daerah dalam Pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan undang-undang.1 Daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia2

Menurut Ateng Syafrudin, istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian, bukan kemerdekaan. Kebebasan atau kemandirian itu adalah wujud pemberian yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam tanggung jawab yang diberikan tersebut terkandung unsur-unsur yaitu: 1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya. 2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.3

Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar. Menurut F. Sugeng Istianto, adalah Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Menurut Ateng Syarifuddin adalah Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan

1Pasal 1ayat (5) UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004

2Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang:Aneka Ilmu, 2008),40

3Ateng Syafrudin. Pasang Surut Otonomi Daerah. (Orasi Dies Natalis Universitas Para Hiangan


(46)

35

melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian yang harus dipertanggung jawabkan. Menurut Syarif Saleh, adalah Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.4

Di dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah. Namun senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan Undang-Undang yang lebih tinggi.5

2. Konsep Desentralisasi

Setelah negara di dunia mengalami perkembangan yang sedemikian pesat, dan kompleks, maka di beberapa negara dilaksanakan asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah. Dan asas desentralisasi, yaitu penyerahan pemerintahan dari pusat kepada daerah otonom menjadi urusan rumah tangganya. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Secara

etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu “De” yang berarti lepas dan “Centrum” yang berarti pusat. Sedangkan menurut

perkataannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Adapun definisi desentralisasi berdasarkan undang-undang No. 32 tahun 2004, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang. tertentu oleh pemerintah pusat dalam kerangka negara kesatuan.6

Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan

4Ibid., 25

5 http://otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html


(47)

36

bernegara pada tataran infrastruktur dan superastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.7

Untuk memenuhi kegunaan empirik di Indonesia, perlu diupayakan secara operasionalnya.

a. Desentralisasi, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan bagi kepentingan sendiri, dan juga adanya penyerahan wewenang tertentu oleh pemerintah pusat. 8

b. Pembentukan daerah otonom itu dilakukan dengan undang-undang (dalam arti formal)

c. Desentralisasi berarti penyerahan wewenang9 tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat, sehingga daerah dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan undang-undang, bukan merupakan kedaulatan tersendiri. Pelimpahan wewenang kepada daerah adalah untuk melaksanakan pemerintah daerah berdasarkan ketentuan dan pengaturan pemerintah yang menjadi wewenang pemerintah.10

Dalam konsep desentralisasi mengandung makna yang berbeda dengan istilah pelimpahan wewenang. Dalam penyerahan wewenang mencakup wewenang untuk menetapkan kebijakan maupun untuk

7 Sadu Wasistiono, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (Jatinogoro: Bunga

Rampai, 2001), 35

8 Logemann, Het Staatsrecht Van Indonesia:Het Formale Systeem (Bandung: N.VU Tevrijk W. Van

Hoeve, 1954), 158

9Ibid, 159

10 Ridwan Hr. Ridwaan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


(48)

37

melaksanakan kebijakan. Sedangkan dalam pelimpahan wewenang hanya sebatas wewenang untuk melaksanakan kebijakan.11

Wewenang untuk menetapkan kebijakan disebut wewenang pengaturan (Regeling) sedangkan wewenang untuk melaksanakan kebijakan disebut wewenang pengurusan (Bestuur). Wewenang pengaturan adalah wewenang untuk menciptakan norma hukum tertulis yang bersifat umum dan abstrak. Sedangkan wewenang pengurusan adalah wewenang untuk melaksanakan dan menerapkan norma hukum dan abstrak kepada situasi konkret. Penyerahan pengaturan dan wewenang pengurusan dalam gatra kehidupan tertentu disebut penyerahan urusan pemerintahan.12

Dalam penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dikenal dua macam cara:

a. Open-end Arrangement, Yaitu daerah otonom berwenang melakukan berbagai fungsi sepanjang tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau tidak termasuk dalam yuridis pemerintah yang lebih tinggi. penyerahan wewenang ini disebut universal Power atau Inhern Competence.

b. Ultra Vires Doktrine atau penyerahan wewenang pemerintahan dengan rincian. Yaitu daerah otonom hanya berwewenang melakukan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah.13

Irwan Soejito membagi bentuk desentralisasi ke dalam 2 macam, yaitu:14

11 Bhenyamin Hoesien Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tongkat Ii,

Suatu Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara (disertasi doktor, Universitas Indonesia: Jakarta 1993), 13

12Ibid, 13-14

13 Suryanigrat Bayu, Pemerintahan Dan Administrasi Desa (Bandung: PT. Mekar Djaja 1988), 229 14 Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (Jakarta: Rineka Cipta, 1990),


(49)

38

a. Dekonsentrasi/ Amtelijke Decentralisatie, yaitu pelimpahan kekuasaan dari negara yang lebih tinggi kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang menteri kepada gubernur

b. Desentralisasi ketatanegaraan/Desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah otonom dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi ini, rakyat ikut serta dalam pemerintahan dengan batas wilayah daerah masing-masing. Kemudian desentralisasi politik ini di bagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Desentralisasi teritorial, merujuk pada pembagian wewenang kekuasaan atas dasar wilayah. Atau mewujudkan Gebieds Corporaties yakni korporasi yang didasarkan atas wilayah tertentu

b. Desentralisasi fungsional, yaitu menciptakan Doel Corporatise, yakni korporasi yang didasarkan atas tujuan dan fungsi tertentu.15

3. Dasar Dan Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah

Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, UUD 1945 telah memberikan dasar konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu:

a. Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan

15 Bhenyamin Hoesien Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tongkat Ii,

Suatu Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara (disertasi doktor, Universitas Indonesia: Jakarta 1993), 65


(50)

39

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 16

b. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.17

c. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya.18

d. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.19

e. Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.20

Adapun Asas Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah:

a. Asas Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

b. Asas Desentralisasi Proporsional, adalah Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang sebesar-besarnya untuk mengurus, mengatur dan memajukan sendiri daerahnya (kecuali lima hal yang memang harus diatur oleh Pemerintah Pusat, antara lain politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama) dengan dibeda-bedakan berdasarkan tingkat kemapanan daerah tersebut.21

c. Asas Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu

16 UU Otonomi Daerah No 32Tahun 2004 Pasal 18 B Ayat (2) 17 UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) Perubahan Kedua

18UU Otonomi Daerah No 32Tahun Pasal 18 Ayat (3) 19 UU Otonomi Daerah No 32Tahun Pasal 18 Ayat (1) 20 UU Otonomi Daerah No 32Tahun Pasal 18 Ayat (1)

21 Hardjosoekarto Sudarsono, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasin dan Otonomi Daerah”, http://khibran.wordpress.com


(51)

40

Sedangkan Asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, adalah

a. Asas Otonomi, adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Asas Pembantuan/Madebewind, adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu

B.NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

1. Definisi

Menurut Syaukani Hasan Rais, dan M. Ryaas Rasyid,22 ada dua bentuk negara, yaitu negara kesatuan dan negara serikat. Istilah Kesatuan adalah bentuk susunan organisasi negara. Dalam istilah yang dipakai adalah Persatuan.23 Menurut C. F. Strong,24 bentuk Negara yang dianut oleh negara dituangkan dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Negara kesatuan dapat pula disebut sebagai negara Unitaris. Negara ini dari segi susunannya bersifat tunggal, maksudnya adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan, wewenang, dan menetapkan kebijaksanaan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.25

22Ibid., 77.

23 Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompress 2005), 13 24 Astim Riyanto, Negara Kesatuan; Konsep, Asas, Dan Aktualisasinya, (Bandung:Yapemdo, 2006),

75


(52)

41

Indonesia beberapa kali mengalami pergantian bentuk dan sistem pemerintahan, mulai dari negara kesatuan hingga ke negara federal, dari pemerintahan Parlementer hingga ke Presidensial. Sistem parlementer hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Ini disebabkan adanya tanggung jawab para menteri terhadap parlemen. Setiap kabinet harus memperoleh dukungan suara dari parlemen. Dan kebijaksanaan pemerintah/kabinet tidak boleh menyimpang dari kehendak parlemen.26 Sedangkan sistem presidensial kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada badan perwakilan rakyat. Dasar hukum kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat. Dan Presiden menunjuk kabinet departemennya masing-masing, dan hanya bertanggung jawab kepada presiden, karena pembentukan kabinet tidak memerlukan dukungan suara dari badan perwakilan .27

Dalam Undang-Undang 1945 sila ketiga berbunyi “Persatuan

Indonesia pada dasarnya mementingkan nilai rasa persatuan dalam bernegara Bhinika Tunggal Ika berbeda-beda namun tetap satu”.28 Dalam Undang-Undang 1945 juga dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,29 Berdasarkan UUD 1945 susunan organisasinya berbentuk negara kesatuan (Unitary State.). Artinya, ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat diubah dan sudah ditentukan oleh UUD 1945.30

Oleh karena itu, setiap ancaman terhadap prinsip NKRI itu selalu mengundang emosi kecemasan, ketakutan, ataupun kemarahan di kalangan

26 Moh. Kusnadi S.H., Harmaily Ibrahim S.H., Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. IV (Jakarta

Selatan: Pusat Studi Hukum UI dan CV Sinar Bakti 1981), 172

27Ibid., 176

28 http://one.indoskripsi.com/node/11407

29 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (1). 3030 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1Ayat (1)


(53)

42

rakyat yang memiliki patriotisme untuk membela prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945. Dengan demikian dapat dilihat beberapa pengertian. Pertama, Negara yang diatur dalam UUD ini bernama Negara Indonesia. Kedua, Negara Indonesia adalah negara kesatuan. Ketiga, Negara Indonesia berbentuk Republik. Karena itu negara Indonesia dan UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Undang-Undang otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 Negara dijelaskan pertama, Indonesia adalah Kesatuan Republik Indonesia yang terbagi atas provinsi, provinsi dibagi ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil, yang dinamakan daerah kabupaten dan kota. Kedua, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada daerah-daerah yang disebut daerah yang bersifat otonom dan daerah yang bersifat administratif. Ini diatur dalam undang-undang. Ketiga, daerah yang bersifat otonom, harus diadakan badan perwakilan rakyat, karena di daerah-daerah itu juga berlaku prinsip kedaulatan rakyat. Keempat, dalam NKRI terdapat daerah-daerah yang bersifat istimewa, kurang lebih ada 250 daerah, bahkan bisa lebih banyak dari yang diperkirakan. 2. Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, UUD 1945 telah memberikan dasar konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Di antaranya mengenai Prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.31

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama, pembagian

31MPR RI, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


(54)

43

kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauh mana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda.

Kedua, pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing.

Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara Kesatuan. Kesemuanya itu, selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, juga tersebar pengaturannya dalam berbagai UU sektoral yang pada kenyataannya masing-masing tidak sama dalam pembagian kewenangannya.32 Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan spanning.33 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dan dalam UU otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004, pembagian hubungan kewenangan, Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan

32 Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD RI Dengan

Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009, 6

33 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar


(55)

44

sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.34

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dasar konstitusional dalam UUD 1945, dalam UU No. 32 Tahun 2004 satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki urusan yang bersifat wajib dan pilihan.35 Provinsi memiliki urusan wajib dan urusan pilihan.36 Selain itu ditetapkan pula kewenangan pemerintah Pusat menjadi urusan Pemerintahan yang meliputi:37

a. Politik luar negeri. b. Pertahanan.

c. Keamanan. d. Yustisi.

e. Moneter dan Fiskal Nasional f. Agama.

Urusan pemerintah pusat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah meliputi38: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama. Sedangkan urusan bersama meliputi urusan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

34 UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 2 Ayat (6)

35UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 13 Ayat (1) 36 UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 13 Ayat (2) 37 UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 10 Ayat (3) 38 UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 10 Ayat (4)


(56)

45

Urusan wajib yang tidak dapat diselenggarakan oleh Kabupaten/kota menjadi tugas provinsi untuk menyelenggarakannya. Kemampuan daerah provinsi menyelenggarakan urusan wajib dievaluasi oleh pemerintah pusat. Sama seperti daerah kabupaten/kota, daerah provinsi baru dapat menyelenggarakan urusan pilihan, apabila paling tidak, sebagian besar urusan wajib telah dapat dilaksanakan dengan efektif oleh daerah otonomi yang bersangkutan.39

Urusan wajib antara lain meliputi: kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan perhubungan.40 Sedangkan urusan pilihan antara lain pertanian, kelautan, industri dan pariwisata.

Walaupun dengan ketentuan pemberlakuan otonomi seluas-luasnya dalam UUD 1945,41 ada juga pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 yang membagi urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah yang bersangkutan.42

3. Wewenang Pemerintah Daerah

Menurut Kamus Praktis Bahasa Indonesia yang disusun oleh A. Waskito, kata kewenangan memiliki arti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Istilah kewenangan tidak dapat disamakan dengan

39Ibid.,

40 Penelitian Pola Hubungan antara Pusat Dan Daerah Kerja Sama Antara Pusat Studi Kajian Negara

Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung dengan DPR RI (Jakarta 2009), 76

41 Pasal 18 ayat (5) Perubahan Ke Dua UUD 1945


(1)

81

2. Dalam konteks Fiqh Siyasah, esensinya adalah bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah amanat Allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya melalui baiat. Pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan di anatara para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena esensi keberadaan negara sangat bergantung pada kepuasan rakyatnya. Dan Istilah Gubernur dalam sejarah lembaga negara Islam sebagai Sulthah Tanfidziyah (lembaga eksekutif).

B.SARAN

1. Hendaknya para birokrasi pemerintah khususnya Gubernur Jatim dan empat kepala daerah dan Wali Kota Surabaya mengusulkan kejanggalan ini ke pemerintah pusat agar dicari jalan keluarnya. Karena dalam Undang-Undang Otonomi daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah.


(2)

81

2. Semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abu A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,سpenerjemah Asep Hikmat Bandung: Mizan, 1993.

Abdul Wahab Khalaf, Politik Hukum Islam, Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005.

Abdurahman Abdul Aziz Al Qasim, Al Islâm wa Taqninil Ahkam, Riyadh: Jamiah Riyadh, 1779

A. Djazuli, Fiqh Siyâsah, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Media Group, 2007.

Agus Salim, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.

Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah, Beirut: Dâr al-Kutub al-شAlamiyyah, 2006.

Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Astim Riyanto, Negara Kesatuan Konsep, Asas, Dan Aktualisasinya, Bandung: Yapemdo, 2006.

Ateng Syafrudin. Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Dies Natalis Universitas Para Hiangan Bandung, 1983.

Achmad Azis. Perkembangan Politik pembantu-pembantu Hukum Hubungan Pusat dan Daerah. Jakarta: Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo. Vol. Nomor1, Juni 2010

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Bhenyamin Hoesien Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tongkat Ii, Suatu Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, disertasi doktor, Universitas Indonesia: Jakarta 1993. Budiman. Arief, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1995.

David Crystal, Penguin Encyclopedia, London: Penguin Books, 2004.

Diakses melalui Google., Pemerintahan Daerah. pada hari Kamis 3 Desember 2013 Fakhruddin Arrazy, Mafâtihulghaib, (Maktabah Syamilah), juz v, Jakarta: Yofa Mulia Offset,


(4)

Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi Edisi Revisi, Cetakan III, Surabaya: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012.

Hakim Javid Iqbal, Masalah-masalah Teori Politik Islam, cet III, Bandung : Mizan , 1996.

Hadrian Habas, Suatu Perbandingan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Skripsi, (Padang:Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas).2013.

Hardjosoekarto Sudarsono, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasin dan Otonomi Daerah”, http://khibran.wordpress.com.

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-23559-3210203341-Chapter1.pdf.

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-23559-3210203341-Chapter1.pdf. http://otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html.

http://one.indoskripsi.com/node/11407.

http:/id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan daerah di Indonesia.

Ibn شÂbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr , Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-شArabî, 1987

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (1), Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan Dan al-Qur’an, Jakarta: Bumi aksara, 1995. Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Jakarta: Rineka

Cipta, 1990.

Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,2006.

Kodoatie, J. Robert, Pengantar Manajemen Infrastruktur, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005.

Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD RI Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009.

Lely J.Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, Cet. VII, 2002. Logemann, Het Staatsrecht Van Indonesia:Het Formale Systeem, Bandung: N.VU


(5)

Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Dan Lembaga Daerah:Perspektif Teori Otonomi Dan Desentralisasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum Dan Kesatuan, Malang: Setara Press, 2012.

Mestika Zed, penelitian kepustakaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , Cet. III, 2004. Moch. Rifa’I, Ushul Fiqh, Bandung: PT Alma’ Arif, 1973.

Moch Nazir, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Grafindo Persada, 2007.

Mohammad Asad, Masalah Kenegaraan dalam Islam, Jakarta:Yayasan Kesejahteraan Umat 1990

Moh. Kusnadi S.H., Harmaily Ibrahim S.H., Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. IV Jakarta Selatan: Pusat Studi Hukum UI dan CV Sinar Bakti 1981

Muhammad Al-Nubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Islam, Solo: CV Pustaka, Mantiq, 1995.

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Muhanmmad Bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dar el Fikr, tt.

Mutmainnah, Jembatan Suramadu :Respon Ulama Terhadap Industrialisasi. Yogyakarta: LKPSM, 1998.

M. Satria, Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Daerah Serta Prinsip-Prinsip Good Governance Oleh Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Hak Otonomi, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Uninversitas Gajah Mada, 2011.

MPR RI, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogjakarta: Rake Sarasin, 1996. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Universitas Michigan: Balai Pustaka,

2003.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Cet 10, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Proposal Madura Island, Japan-Indonesia Forum & Japan Indonesia Consultant Association,1986.


(6)

Penelitian Pola Hubungan antara Pusat Dan Daerah Kerja Sama Antara Pusat Studi Kajian Negara Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung dengan DPR RI, Jakarta 2009.

Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu.

Restu Kartiko Widi, Asas Metodelogi Penelitian, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Grafindo Persada, 2006.

Sadu Wasistiono, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jatinogoro: Bunga Rampai, 2001.

Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, Semarang:Aneka Ilmu, 2008.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Sukudin dan Mundir, Metode Penelitian: Menimbang dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian, Surabaya: Insan Cendikia, 2005.

Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî, t.t.

Suryanigrat Bayu, Pemerintahan Dan Administrasi Desa, Bandung: PT. Mekar Djaja 1988.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1987.

Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004. Thalhal, Mengkritisi Banyaknya Peraturan Daerah Bermasalah, Draf Akademis,

Desember, 2009.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, 1971. Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah

(Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.


Dokumen yang terkait

Implementasi Permenkes RI No. 1096/Menkes/Per/ VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga Terhadap Kelayakanan Fisik Jasaboga di Kota Sibolga tahun 2014

9 206 86

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undangundang No.21 Tahun 2008.

1 67 70

Analisa Kecenderungan Kunjungan Pasien Rawat Jalan Tahun 1999 - 2003 untuk Meramalkan Kunjungan Pasien Rawat Jalan Tahun 2004 - 2008 di RSU Dr. Pirngadi Medan dengan Metode Deret Berkala

0 31 87

Implementasi UU No 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan Dalam Pengelolaan Yayasan Di Yayasan Pesantren Modern Daar Al-Uluum Asahan-Kisaran

4 85 114

Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual Vcd/Dvd Porno (Studi Putusan No. 1069/Pid.B/2010/Pn.Bdg)

5 89 91

Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)

2 37 129

Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPmigas Dengan PT Pertamina EP

0 34 152

Perubahan Akta Pendirian Yayasan Setelah Keluarnya Uu No 16 Tahun 2001 Jo Uu No 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

4 107 145

Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 20 tahun 2001 (Tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

2 52 143

Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No.11 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Reklame Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pendapatan Kota Medan)

0 53 81