Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPmigas Dengan PT Pertamina EP

(1)

HARMONISASI PENGATURAN BADAN PELAKSANA MIGAS

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2006

TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN

UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS

DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONTRAK KERJASAMA

BPMIGAS DENGAN PT PERTAMINA EP

TESIS

Oleh

AHMAD JABBAR

087005115/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HARMONISASI PENGATURAN BADAN PELAKSANA MIGAS

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2006

TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN

UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS

DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONTRAK KERJASAMA

BPMIGAS DENGAN PT PERTAMINA EP

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD JABBAR

087005115/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : HARMONISASI PENGATURAN BADAN PELAKSANA MIGAS BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONTRAK KERJASAMA BPMIGAS DENGAN PT PERTAMINA EP

Nama Mahasiswa : Ahmad Jabbar Nomor Pokok : 087005115 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum)

ketua kkkkkkkkk

Ketua Program Studi, Dekan,


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak di kuasai oleh negara ; sedangkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian minyak dan gas bumi di kuasai oleh negara.Penguasaan oleh negara atas minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Pada Tahun 2001 Pemerintah mensahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan memberikan konsekuensi untuk membentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur. Dilain pihak pada tahun 2006 pemerintah mensahkan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ada hal yang menarik dalam Undang-Undang tersebut , dimana di dalam Pasal 160 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dapat membentuk Badan pelaksana yang mengatur pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi seperti Badan Pelaksana ( BPMIGAS ) yang ada sekarang ini yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 tahun

2001 tentang minyak dan gas bumi.

Permasalahan dari tesis ini adalah “ Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP”, antara lain : Bagaimanakah taraf sinkronisasi antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait BPMIGAS dan Hal-hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam melakukan harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terkait pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh serta Bagaimana implikasi dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP. Kerangka teori dan konsepsi, dimana kerangka teori diarahkan kepada beberapa teori yaitu : teori berjenjang ( stufen Theory ) dari Hans kelsen melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi dan teori keadilan dari Thomas Aquinas serta asas-asas hukum yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata.

Metode penelitian , dilihat dari sifatnya yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statutory approach ).


(6)

1. UU No. 22 tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 terkait pembentukan BPMIGAS secara substansi sudah sinkron secara vertikal dan horisontal.

2. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi terkait pembentuksn BPMIGAS di Pemerintahan Aceh adalah :

a. Kesejahteraan rakyat prioritas utama.

b. Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Tidak menyebabkan dalam hal investasi lebih buruk. d. Hal-hal kontraktual yang sudah ada harus dihormati. e. Pelayanan lebih baik.

f. Terwujudnya keadilan untuk masyarakat aceh.

3. Implikasi dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap Kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP adalah sebagai berikut : a. Bahwa kontrak kerjasama yang dilakukan oleh Badan Pelaksana ( BPMIGAS)

dengan PT. Pertamina EP pada tanggal 17 September 2005 yang masa kontraknya sampai dengan 30 tahun yaitu tahun 2035 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak kerjasama tersebut, walaupun BPMIGAS Pemerintah Aceh terbentuk pada saat kontrak kerjasama antara BPMIGAS dan PT. Pertamina EP berjalan.

b. Apabila pihak PT. Pertamina EP masih ingin memperpanjang kontrak kerjasama yang berakhir pada tahun 2035, maka kontrak kerjasama itu dilakukan dengan BPMIGAS Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanah Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kata Kunci : Harmonisasi, Sinkronisasi, BPMIGAS, UU Migas, UU Pemerintahan Aceh, Kontrak Kerjasama BPMIGAS dan PT. Pertamina EP.


(7)

ABSTRACT

The 1945 Constitution, especially in its Article 33 (2) and (3), strongly states that the important production branches and those related to the lives of the people of Indonesia are owned by the state; while the earth and the water and natural resources contained in it are also owned by the state to be greatly used for the prosperity of the people of Indonesia. Therefore, oil and natural gas are owned by the state. That the state owns oil and natural gas is implemented by the government in its capacity as the holder of mining authority. In 2001, the government issued Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas and its consequence was to establish the Executive Body and Board of Regulators. On the other hand, in 2006, the government passed Law No.11/2006 on the Government of Aceh. What is interesting in the law is that it is stated in Article 160 that the central government and the government of Aceh can establish an Executive Body which controls the processing of natural resources of oil and natural gas like the currently serving Executive Body (BPMIGAS) which was established based on Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas.

The problem discussed in this thesis was “Harmonization Between the Regulation Oil and Natural Gas Executive Body Based on Law No.11/2006 on the

Government of Aceh and Law No. 22/2001 on Oil and Natural Gas and Its Influence on the Cooperation Agreement Between BPMIGAS and PT. PERTAMINA EP” looking at : first, to what level the synchronization between Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas and Law No.11/2006 on the Government of Aceh related to BPMIGAS and what factors should be paid attention to in harmonizing the implementation of Law No.11/2006 on the Government of Aceh and Law No. 22/2001 on Oil and Natural Gas related to the establishment of BPMIGAS in the Government of Aceh, and what is the implication of Law No.11/2006 on the Government of Aceh on the cooperation agreement between BPMIGAS and PT. Pertamina EP. The theoretical framework and conception employed in this study were Stufen Theory developed by Hans Kelsen who sees a law as a system consisting of pyramid-like arrangement of norms, in which a lower norm receives its power from a higher norm, and the theory of justice developed by Thomas Aquinas as well as the legal principles found in the Volume III of the Indonesia Civil Codes.

The result of this analytical descriptive study with statutory approach showed that:

1. Law No.22/2001 and Law No. 11/2006 related to the establishment of BPMIGAS are substantially synchronized either in vertical or horizontal levels.

2. The factors that must paid attention to in harmonizing the implementation of Law No.11/2006 on the Government of Aceh and Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas related to the establishment of BPMIGAS in Aceh Government are:

a. People welfare is the first priority.

b. In the framework of the Unitary Republic of Indonesia. c. Not to generate a worse investment.


(8)

d. Existing contractual items must be respected. e. Better service.

f. The materialization of justice for the people of Aceh.

3. The implication of Law No.11/2006 on the Government of Aceh on the cooperation agreement between BPMIGAS and PT. Pertamina EP are as follows:

a. That the cooperation agreement signed by the Executive Body (BPMIGAS) and PT. Pertamina on September 17, 2005 whose contract will last for 30 years and expire in 2035 remains valid to the end of the period of the cooperation contract even though BPMIGAS of the government of Aceh was established at the time the cooperation agreement between BPMIGAS and PT. Pertamina EP was still going on.

b. Should the PT. Pertamina EP still want to extend the cooperation agreement which expires in 2035, the cooperation agreement is made and signed by BPMIGAS and the Government of Aceh according to the regulation stated in Article 160 of Law No.11/2006 on the Government of Aceh.

Key words : Harmonization, synchronization, The Regulation OF Oil And Natural Gas Executive Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas, Law No.11/2006 on the Government of Aceh, The Cooperation Agreement Between BPMIGAS And PT. PERTAMINA EP


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, karunia dan kasihNya yang berkelimpahan sehinga penulis daapat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul: “Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksanaan Migas Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Dengan Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerja Sama BPMIGAS Dengan PT.PERTAMINA EP”, dan telah dinyatakan lulus diseminarkan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini bukanlah semata-mata atas kemampuan diri penulis sendiri, melainkan atas bantuan,dukungan,bimbingan dan saran dari semua pihak yang telah ikut mengambil peran dan partisipasi yang signifikan dalam memberi kontribusi. Untuk itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis dalam penyelesian tesis ini.


(10)

1. Kepada Bapak Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTH&H.M.Sc (CTM),Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih telah menerima penulis menjadi mahasiswa Program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dan juga selaku dosen yang telah memberikan pengetahuan bagi penulis.

3. Kepada Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen dan sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing, terima kasih atas segala perhatian dan ilmu pengetahuan yang diajarkan selama penulis menjadi mahasiswa, memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide, motivasi dan saran serta kritik yang konstruktif untuk memperoleh hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

4. Terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH,M.Hum, Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran serta kritik yang sangat mendukung dalam penulisan tesis ini.


(11)

5. Kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum., Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku dosen penguji terima kasih atas masukan dan arahan kepada penulis guna kesempurnaan tesis ini. Para Guru Besar dan segenap Civitas Akademika Program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membatu didalam perkuliahan sehingga dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya, penulis juga mengucapkan terima kasih.

6. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, ayahanda dan ibunda tercinta (alm) Muchtar nurdin dan (alm) Syarifah Cut Ainun Mardiah dan Mertua penulis yakni Muhammad Irwan Sitepu dan Rosdiana Said yang selalu mendoakan, mendorong dan memotivasi untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan, memberikan dukungan moril.

7. Khusus kepada isteri dan anak saya tercinta dan tersayang yakni Marisa Karina Sitepu dan Zhafira Maiza,Alifah Salsabila, penulis mengucapkan terima kasih atas kesetiaan dan kesabaran yang selalu diberikan, mendampingi penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam mengikuti Program Studi Ilmu Hukum dan dalam penyelesaiannya penulisan tesis ini.

8. Kepada seluruh staf sekretaris Program Studi Magister Hukum Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: Fika, Juli, fitri, Bu Niar, Bu Ganti, udin, Hendra dan Herman terima kasih atass pelayanan dengan senyum dan keikhlasan tanpa kenal lelah salama penulis kuliah, demikian juga semua


(12)

pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moril untuk penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun harapan penulisan kiranya tesis ini dpaat menjadi setitik air dalam samudera ilmu pengetahun, menjadi suatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya. Akhir kata, mohon maaaf atas segalakelemahan yang ada dalam penulisa ini, penulis mengharpakan saran dan kritikan yang membangun untuk penulisan selanjutnya.

Medan, September 2010

Penulis, Ahmad Jabbar


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : AHMAD JABBAR Tempat/ Tanggal Lahir : Langsa/20 Agustus 1980 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Komplek Pertamina, Jl. P. Susu No. 46, Rantau. Pekerjaan : Pegawai BUMN : PT. Pertamina ( Persero ) Pendidikan Formal : SD Alwasliyah Langsa ( Lulus Tahun 1992 )

SMP Negeri 1 Langsa ( Lulus Tahun 1995) SMU Negeri 3 Langsa ( Lulus Tahun 1998 ) S1 : Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah

Yogyakarta ( Lulus Tahun 2002 )

S2 : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Lulus Tahun 2010 )


(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 25

1. Spesifikasi Penelitian ... 26

2. Sumber Data ... 28

3. Teknik Pengumpulan Data ... 28

4. Analisis Data ... 29

BAB II TARAF SINKRONISASI ANTARA UU NO 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DAN UU NO 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TERKAIT BADAN PELAKSANA PENGELOLAAN MIGAS A. Ruang Lingkup Sinkronisasi ... 31

B. Kedudukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS).... 47

C. Taraf Sinkronisasi Antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS) ... 52

BAB III MENGHARMONISASIKAN IMPLEMENTASI UU NO 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN UU NO 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI A. Pengertian Harmonisasi ... 66

B. Pemikiran Harmonisasi Hukum dan Sistem Hukum ... 68

C. Harmonisasi Dalam Perspektif Perundang-undangan ... 78 D. Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Melakukan Harmonisasi

Terhadap Implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang


(15)

Minyak dan Gas Bumi Khusus Terkait Pembentukan BPMIGAS Di Pemerintahan Aceh... 83

BAB IV IMPLIKASI UU NO 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TERHADAP KONTRAK KERJASAMA BPMIGAS DENGAN PT. PERTAMINA EP

A. Pengertian Kontrak Kerjasama ... 97 B. Jenis-Jenis Kontrak di Bidang Minyak dan Gas Bumi ... 100 C. Ruang Lingkup Kontrak Production Sharing ... 106 D. Kedudukan Para Pihak Dalam Menentukan Bentuk dan

Substansi Kontrak Production Sharing ... 113

E. Implikasi Dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Terhadap Kontrak Kerjasama BPMIGAS Dengan

PT. Pertamina EP ... 117

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 125 B. Saran ... 127


(16)

ABSTRAK

Amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak di kuasai oleh negara ; sedangkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian minyak dan gas bumi di kuasai oleh negara.Penguasaan oleh negara atas minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Pada Tahun 2001 Pemerintah mensahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan memberikan konsekuensi untuk membentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur. Dilain pihak pada tahun 2006 pemerintah mensahkan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ada hal yang menarik dalam Undang-Undang tersebut , dimana di dalam Pasal 160 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dapat membentuk Badan pelaksana yang mengatur pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi seperti Badan Pelaksana ( BPMIGAS ) yang ada sekarang ini yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 tahun

2001 tentang minyak dan gas bumi.

Permasalahan dari tesis ini adalah “ Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP”, antara lain : Bagaimanakah taraf sinkronisasi antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait BPMIGAS dan Hal-hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam melakukan harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terkait pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh serta Bagaimana implikasi dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP. Kerangka teori dan konsepsi, dimana kerangka teori diarahkan kepada beberapa teori yaitu : teori berjenjang ( stufen Theory ) dari Hans kelsen melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi dan teori keadilan dari Thomas Aquinas serta asas-asas hukum yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata.

Metode penelitian , dilihat dari sifatnya yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statutory approach ).


(17)

1. UU No. 22 tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 terkait pembentukan BPMIGAS secara substansi sudah sinkron secara vertikal dan horisontal.

2. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi terkait pembentuksn BPMIGAS di Pemerintahan Aceh adalah :

a. Kesejahteraan rakyat prioritas utama.

b. Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Tidak menyebabkan dalam hal investasi lebih buruk. d. Hal-hal kontraktual yang sudah ada harus dihormati. e. Pelayanan lebih baik.

f. Terwujudnya keadilan untuk masyarakat aceh.

3. Implikasi dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap Kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP adalah sebagai berikut : a. Bahwa kontrak kerjasama yang dilakukan oleh Badan Pelaksana ( BPMIGAS)

dengan PT. Pertamina EP pada tanggal 17 September 2005 yang masa kontraknya sampai dengan 30 tahun yaitu tahun 2035 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak kerjasama tersebut, walaupun BPMIGAS Pemerintah Aceh terbentuk pada saat kontrak kerjasama antara BPMIGAS dan PT. Pertamina EP berjalan.

b. Apabila pihak PT. Pertamina EP masih ingin memperpanjang kontrak kerjasama yang berakhir pada tahun 2035, maka kontrak kerjasama itu dilakukan dengan BPMIGAS Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanah Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kata Kunci : Harmonisasi, Sinkronisasi, BPMIGAS, UU Migas, UU Pemerintahan Aceh, Kontrak Kerjasama BPMIGAS dan PT. Pertamina EP.


(18)

ABSTRACT

The 1945 Constitution, especially in its Article 33 (2) and (3), strongly states that the important production branches and those related to the lives of the people of Indonesia are owned by the state; while the earth and the water and natural resources contained in it are also owned by the state to be greatly used for the prosperity of the people of Indonesia. Therefore, oil and natural gas are owned by the state. That the state owns oil and natural gas is implemented by the government in its capacity as the holder of mining authority. In 2001, the government issued Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas and its consequence was to establish the Executive Body and Board of Regulators. On the other hand, in 2006, the government passed Law No.11/2006 on the Government of Aceh. What is interesting in the law is that it is stated in Article 160 that the central government and the government of Aceh can establish an Executive Body which controls the processing of natural resources of oil and natural gas like the currently serving Executive Body (BPMIGAS) which was established based on Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas.

The problem discussed in this thesis was “Harmonization Between the Regulation Oil and Natural Gas Executive Body Based on Law No.11/2006 on the

Government of Aceh and Law No. 22/2001 on Oil and Natural Gas and Its Influence on the Cooperation Agreement Between BPMIGAS and PT. PERTAMINA EP” looking at : first, to what level the synchronization between Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas and Law No.11/2006 on the Government of Aceh related to BPMIGAS and what factors should be paid attention to in harmonizing the implementation of Law No.11/2006 on the Government of Aceh and Law No. 22/2001 on Oil and Natural Gas related to the establishment of BPMIGAS in the Government of Aceh, and what is the implication of Law No.11/2006 on the Government of Aceh on the cooperation agreement between BPMIGAS and PT. Pertamina EP. The theoretical framework and conception employed in this study were Stufen Theory developed by Hans Kelsen who sees a law as a system consisting of pyramid-like arrangement of norms, in which a lower norm receives its power from a higher norm, and the theory of justice developed by Thomas Aquinas as well as the legal principles found in the Volume III of the Indonesia Civil Codes.

The result of this analytical descriptive study with statutory approach showed that:

1. Law No.22/2001 and Law No. 11/2006 related to the establishment of BPMIGAS are substantially synchronized either in vertical or horizontal levels.

2. The factors that must paid attention to in harmonizing the implementation of Law No.11/2006 on the Government of Aceh and Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas related to the establishment of BPMIGAS in Aceh Government are:

a. People welfare is the first priority.

b. In the framework of the Unitary Republic of Indonesia. c. Not to generate a worse investment.


(19)

d. Existing contractual items must be respected. e. Better service.

f. The materialization of justice for the people of Aceh.

3. The implication of Law No.11/2006 on the Government of Aceh on the cooperation agreement between BPMIGAS and PT. Pertamina EP are as follows:

a. That the cooperation agreement signed by the Executive Body (BPMIGAS) and PT. Pertamina on September 17, 2005 whose contract will last for 30 years and expire in 2035 remains valid to the end of the period of the cooperation contract even though BPMIGAS of the government of Aceh was established at the time the cooperation agreement between BPMIGAS and PT. Pertamina EP was still going on.

b. Should the PT. Pertamina EP still want to extend the cooperation agreement which expires in 2035, the cooperation agreement is made and signed by BPMIGAS and the Government of Aceh according to the regulation stated in Article 160 of Law No.11/2006 on the Government of Aceh.

Key words : Harmonization, synchronization, The Regulation OF Oil And Natural Gas Executive Law No.22/2001 on Oil and Natural Gas, Law No.11/2006 on the Government of Aceh, The Cooperation Agreement Between BPMIGAS And PT. PERTAMINA EP


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak di kuasai oleh negara ; sedangkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian minyak dan gas bumi di kuasai oleh negara.

Tujuan penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah dipermukaan namun tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung dibawahnya.

Penguasaan oleh negara atas minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan1.Kuasa pertambangan pada saat sebelum diundangkannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah pihak Pertamina. UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan

1

Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan


(21)

Minyak dan Gas Bumi menempatkan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas bumi milik negara.

UU No. 8 Tahun 1971 memberikan hak monopoli negara atas minyak dan gas bumi yang dilaksanakan melalui Pertamina. Oleh karena itu semua perusahaan minyak yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina. Pertamina bertindak sebagai regulator bagi mitra yang menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja (WK) Pertamina. Di sisi lain Pertamina juga bertindak sebagai operator karena juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya. 2

Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan dan didukung oleh struktur hukum yang kuat menjadikan Pertamina besar, namun secara institusional dinilai tidak terjangkau kontrol rutin dan menggiringnya sebagai salah satu sumber besar KKN.3 Untuk itu perlu dilakukan pembenahan dan sejalan dengan dinamika industri migas dunia serta era globalisasi dengan masuknya Negara Indonesia sebagai keanggotaan WTO, maka beberapa pikiran dasar pemerintah Indonesia yang relevan dengan pengusahaan migas adalah :

1. Penghapusan situasi monopolistik berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971.

2. Pencabutan hak kuasa pertambangan dari Pertamina dan dikembalikan kepada Pemerintah.

2

http://www.pertamina-ep.com/id/tentang-pep/sejarah-kami, diakses tanggal 1 Mei 2010. 3 Achmad Zen Umar Purba”Kepentingan Negara Dalam Industri Perminyakan di Indonesia : Hukum Internasional, Konstitusi, dan Globalisasi”, makalah disampaikan pada saat menghadiri konferensi para advokat internasional yang bernaung di bawah Pacific Advisory Council ( “PRAC’) di Colombia tanggal 15 hingga 21 Maret 2007.


(22)

3. Pembentukan badan baru sebagai kuasa untuk melaksanakan kegiatan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan.

4. Pengurangan subsidi BBM dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar.

5. Pengalihan status Pertamina berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971 menjadi PT. Pertamina (Persero ), yang berarti kedudukannya sama dengan badan hukum lain dalam kesempatan berusaha di bidang migas

6. Pemberian kesempatan yang sama kepada perusahaan swasta.

7. Penerapan konsep otonomi daerah dalam kaitan dengan pengusahaan migas dan diterapkannya penerimaan seimbang bagi Pemerintah Pusat dan Daerah.

8. Penciptaan bentuk kerja sama lain selain Production Sharing Contract.4

Sejalan dengan perkembangan seperti disebutkan diatas, maka di keluarkanlah UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pertimbangan ditetapkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah sebagai berikut :5

1. Pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

3. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan.

4. Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang

4

Achmad Zen Umar Purba,Ibid.

5


(23)

Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.

5. Dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan pelestarian lingkungan serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional.

Sejalan pertimbangan tersebut diatas, maka sebenarnya tujuan penyusunan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah sebagai berikut :

1. Terlaksana dan terkendalinya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital.

2. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing.

3. Meningkatnya pendapatan negara dan memberikan konstribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia.

4. Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.6

Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memberikan konsekuensi untuk

6

Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 284.


(24)

membentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur 7. Pasal 1 angka 23 UU No. 22 Tahun 2001 menjelaskan bahwa Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu dibidang minyak dan gas bumi , sedangkan dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2001 dijelaskan bahwa badan pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi serta pengangkutan gas bumi melalui pipa pada kegiatan usaha hilir.

Penelitian ini membatasi ruang lingkup kajian hanya berkaitan dengan kegiatan usaha hulu, khususnya terkait kontrak kerjasama antara BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP. Penelitian hanya menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha hulu saja, sedangkan kegiatan usaha hilir tidak dibahas sama sekali.

Lembaga yang berwenang untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu adalah badan pelaksana. Ketentuan hukum yang mengatur tentang badan pelaksana adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kedudukan badan pelaksana merupakan badan hukum milik negara. Badan hukum milik negara mempunyai status sebagai subyek hukum perdata dan merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional.8 Pembentukan badan pelaksana ini sendiri diatur didalam

7 Ketentuan hukum yang mengatur dan pembentukan badan pelaksana diatur di dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 UU No. 22 Tahun 2001, sedangkan badan pengatur di atur di dalam Pasal 1 angka 24, pasal 8 ayat (4), Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 UU No. 22 Tahun 2001.

8


(25)

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Fungsi Badan Pelaksana ini atau sekarang disebut BPMIGAS adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,9 sehingga terhadap seluruh perusahaan migas yang akan melakukan pengambilan migas di wilayah Republik Indonesia harus melakukan Kontrak kejasama dengan BPMIGAS.

UU No. 22 Tahun 2001 membawa konsekwensi hukum terhadap Pertamina. Berdasarkan Pasal 61 huruf b Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Pertamina beralih bentuk menjadi PT Pertamina (Persero) yang kemudian di tindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 tentang

Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara ( Pertamina ) menjadi perusahaan perseroan ( Persero ).10PT. Pertamina ( Persero )

hanya bertindak sebagai operator yang menjalin Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan pemerintah yang diwakili oleh BPMIGAS. Sekaligus hal tersebut juga mewajibkan PT Pertamina (Persero) untuk mendirikan anak perusahaan guna mengelola usaha

9 Salim HS,

op.cit.hlm 293 10

Pasal 61 huruf b UU No. 22 Tahun 2001 yang mengharuskan Pertamina beralih bentuk menjadi perusahaan perseroan. Hal ini berbeda dengan pembentukan PT. PLN ( Persero ), dimana di dalam Pasal 1 ayat (1) PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (PERUM ) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan ( Persero ) disebutkan bahwa : “ Perusahaan Umum ( PERUM ) listrik negara yang didirikan dengan PP No 17 Tahun 1990 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan ( Persero ) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 1969 sebagaimana pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan.


(26)

eksplorasi, eksploitasi dan produksi minyak dan gas, sebagai konsekuensi pemisahan usaha hulu dengan hilir.11

Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dimana didalam Pasal 104 huruf i , huruf j dan huruf k PP No. 35 Tahun 2004 dijelaskan sebagai berikut:

i. PT. Pertamina ( Persero ) wajib mengadakan kontrak kerjasama dengan badan pelaksana untuk melanjutkan eksplorasi dan eksploitasi pada bekas wilayah kuasa pertambangan.

j. Dalam jangka waktu paling lama 2 ( dua ) tahun PT. Pertamina ( Persero ) sebagaimana dimaksud dalam huruh i, wajib membentuk anak perusahaan dan mengadakan kontrak kerjasama dengan badan pelaksana untuk masing-masing wilayah kerja dengan jangka waktu kontrak kerja sama selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan perudangan yang berlaku. k. Besaran kewajiban pembayaran PT. Pertamina (Persero) dan anak perusahaan

sebagaimana dimaksud dalam huruf d,huruf i, dan huruf j kepada negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada bekas wilayah kuasa pertambangan Pertamina.

Atas dasar itulah PT. Pertamina EP didirikan pada 13 September 2005 dan sejalan dengan pembentukan PT. Pertamina EP, maka pada tanggal 17 September 2005 PT. Pertamina EP melaksanakan penandatanganan KKS dengan BPMIGAS yang berlaku sejak 17 September 2005.12

Berhubung PT. Pertamina EP memiliki wilayah kuasa pertambangan yang tersebar di beberapa wilayah di seluruh Indonesia, maka PT. Pertamina EP membentuk unit dengan nama PT. Pertamina EP Regional Sumatera, PT. Pertamina

11 http://www.pertamina-ep.com/id/tentang-pep/sejarah-kami, diakses tanggal 1 Mei 2010.

12


(27)

EP Regional Jawa dan PT. Pertamina EP KTI. PT. Pertamina EP Regional Sumatera, daerahnya terdiri dari Field Rantau ( Provinsi Aceh ), Field P. Susu ( Provinsi Sumatera Utara), Field Prabumulih dan Field Pendopo ( Provinsi Sumatera Selatan).13

Untuk daerah Field Rantau yang terdapat di Provinsi Aceh, maka seiring keluarnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan implikasi terhadap kontrak kerjasama antara PT. Pertamina EP dengan BPMIGAS yang ditandatangani pada tanggal 17 September 2005, dimana di dalam Pasal 160 UU N0. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa :

1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut diwilayah kewenangan Aceh.

2) Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.

3) Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika seluruh isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh pemerintah dan pemerintah aceh,

4) Sebelum melakukan pembicaraan dengan pemerintah mengenai kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dari rumusan pasal tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat membentuk suatu badan pelaksana yang mengatur pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi seperti Badan Pelaksana ( BPMIGAS ) yang ada sekarang ini yang dibentuk berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

13


(28)

Sejak disyahkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2006 pada tanggal 1 Agustus 2006 yang lalu, pemerintah pusat sudah mensyahkan 2 ( dua ) Peraturan Pemerintah yaitu : Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal, Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten / Kota dan 2 (dua) Peraturan Presiden yaitu Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh dan Peraturan Presiden No 11 Tahun 2009 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.14

Selain itu ada 6 ( enam ) Peraturan Pemerintah dan 2 ( dua ) Peraturan Presiden yang belum dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan salah satunyanya adalah Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan minyak dan gas bumi di Pemerintah Aceh. Untuk Draft Peraturan Pemerintah ini sendiri saat ini sudah di Departemen yang terkait seperti : Departemen Dalam Negeri dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.15

Apabila Peraturan Pemerintah tersebut sudah dikeluarkan maka akan terbentuk badan pelaksana pengelolaan sumber daya alam migas untuk Pemerintahan

14 Taqwaddin, “

Opsi Terhadap UUPA”,Serambi Indonesia, Kamis tanggal 29 April 2010,hlm.22.

15

Teuku Riefki, sebagai wakil ketua tim advokasi Undang-undang Pemerintahan Aceh;http://www.Harian - aceh.com/, diakses pada tanggal 1 Mei 2010


(29)

Aceh seperti BPMIGAS yang ada sekarang. Untuk itu di dalam pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh tersebut yang harus diperhatikan juga agar jangan sampai terjadi tumpang tindih didalam menjalankan badan pelaksan tersebut dengan BPMIGAS yang ada saat ini yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Berkaitan dengan PT. Pertamina EP yang salah satu wilayah kerjanya terdapat di Pemerintahan Aceh yaitu Field Rantau, maka kontrak kerjasama yang

ditandatangani pada tanggal 17 September 2005 antara BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP akan berakhir pada tahun 2035. Artinya setelah kontrak kerjasama

itu berakhir dan apabila pihak PT. Pertamina EP masih ingin memperpanjang kontrak kerjasama tersebut, maka kontrak kerjasama itu dilakukan dengan BPMIGAS Pemerintahan Aceh. Namun yang harus dipikirkan juga apabila badan pengelolaan

migas Pemerintahan Aceh tersebut terbentuk pada saat Kontrak Kerjasama PT. Pertamina EP dan BPMIGAS ini masih berjalan, maka apakah akan berdampak

di dalam melakukan koordinasi untuk kepentingan operasional PT. Pertamina EP. Rencana keberadaan Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam Migas berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menimbulkan pro dan kotra. Dimana dari seluruh Provinsi yang ada di Indonesia, cuma di Pemerintahan Aceh yang dibentuk badan pengelolaan tersebut.

Namun disisi lain tidak diharapkan keberadaan Badan Pengelolaan Migas yang ada di Pemerintahan Aceh dapat menghambat investasi di daerah tersebut, khususnya investasi sektor migas. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi tentang


(30)

harmonisasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh khususnya pasal 160 dan Pasal 161 dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimanakah taraf sinkronisasi antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS) ?

2. Hal-hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam melakukan harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi khusus terkait pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh ?

3. Bagaimanakah implikasi dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


(31)

1. Untuk mengetahui taraf sinkronisasi antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS)

2. Hal-hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam melakukan harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi khusus terkait pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh.

3. Untuk mengetahui implikasi dari UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum pertambangan minyak dan gas bumi pada khususnya yang berhubungan dengan harmonisasi pengaturan badan pelaksana migas berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan Undang-Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan pengaruhnya terhadap kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP.

2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, BPMIGAS dan Pihak PT. Pertamina EP sendiri sehingga pemanfaaatn sumber daya alam yaitu minyak dan gas bumi dapat benar-benar bermanfaat bagi kemakmuran rakyat.


(32)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “ Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMIGAS dengan PT.Pertamina EP “, belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi. 1. Kerangka Teori

Pengaturan terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) dapat dilihat di dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun untuk di pemerintahan Aceh sendiri juga diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, untuk itu perlu dilakukan taraf singkronisasi terhadap kedua Undang-undang tersebut.

Teori berjenjang ( Stufen Theory ) dari Hans Kelsen melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang


(33)

lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar ( Grundnorm ).16

Grundnorm ( norma dasar ) menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara) dan Kelsen sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya mengatakan bahwa

grundnorm merupakan syarat transendental-logis bagi berlakunya seluruh tatanan hukum, sehingga seluruh tata hukum posistif harus berpedoman secara hierarki pada

grundnorm. Dengan demikian secara tidak langsung Kelsen juga sebenarnya membuat teori tentang tertib yuridis.17

Dengan menggunkan konsep Stufenbau ( lapisan-lapisan aturan menurut eselon ) maka seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramidal mulai dari abstrak yakni groundnorm sampai yang konkret seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah , dll.18 Jadi menurut Kelsen cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu dan groundnorm menjadi batu ujian pertama.19

Secara sosiologis maka dibuatnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak dilihat sebagai kegiatan yang steril dan mutlak

16

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak & Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi ( Yogyakarta ; Genta Publishing, Cetakan III April 2010), hlm.127

17

Ibid.hlm 127

18

Ibid. hlm. 128 19


(34)

otonom. Dalam perpektif yang demikian itu keberadaan Undang–Undang tersebut memiliki asal usul sosial, tujuan sosial, mengalami intervensi sosial dan mempunyai dampak sosial.20

Menurut Satjipto Raharjo bahwa ukuran-ukuran serta format yang digunakan dalam sosiologi pembuatan Undang-Undang bukan saja rasionalitas, logika dan prosedur, melainkan entri-entri sosiologi. Misalnya :

a. Asal-usul sosial Undang-Undang.

b. Mengungkap motif dibelakang pembuatan Undang-Undang.

c. Melihat pembuatan Undang-Undang sebagai endapat konflik kekuatan dan kepentingan dalam masyarakat.

d. Susunan dari badan pembuatan Undang-Undang dan implikasi sosiologisnya. e. Membahas hubungan antara kualitas dan jumlah undang-undang yang dibuat

dengan lingkungan sosial dalam suatu periode tertentu. f. Sasaran perilaku yang ingin diatur atau diubah.

g. Akibat-akibat baik yang dikehendaki maupun yang tidak.21

Menurut Lawrence M. Friedman, bahwa sistem hukum mengandung tiga komponen yaitu : structure,substance dan legal culture. Unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi dalam sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem hukum tersebut. Sitem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.22 Sedangkan unsur subtance adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari organ yaitu norma-norma hukum baik berupa perundang-undangan, keputusan-keputusan hakim. Unsur yang ketiga yaitu legal culture

(budaya hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.23Selain itu dapat dijelaskan bahwa perkembangan kebutuhan dan pemikiran hukum merupakan bagian dari pemahaman sejarah masyarakatnya, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan basis sosial hukum pada masyarakat yang bersangkutan ( hukum yang fungsional).24

20 Yesmil Anwar &Adang,

Pengantar Sosiologi Hukum ( Jakarta : PT. Grasindo, 2008 ), hlm.205

21

Ibid. hlm .205 22

Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition ( terjemahan ).

( Jakarta; Tata Nusa, 2001 ), hlm. 7 23

Ibid, hlm. 8 24

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, ( Jakarta ; PT. Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 171.


(35)

Sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Badan Pelaksana Pengelolaan Migas di Aceh masih sedang alot dibahas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh. Sebagaimana Van Vollenhoven mempersepsikan hukum sebagai kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang tarik-menarik dan dorong mendorong satu sama lain. Oleh karena itu, dalam kenyataannya dapat saja hukum dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan lain hanya sekadar untuk melegitimasi dan mempertahankan kekuasaannya baik itu yang bersifat ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya.25

Namun demikian, persepsi hukum dari Van Vollenhoven tersebut akan sangat bernilai dalam pembangunan hukum nasional pada masa yang akan datang apabila atas dasar semboyan “ Bhinneka Tunggal Ika “ dan sila “ Persatuan “ yang lebih mengutamakan kolektivisme yang bersifat pluralis dan atas dasar asas musyawarah, gotong royong dan kekeluargaan. Persepsi Van Vollenhoven tersebut ditafsirkan secara analogi sehingga menghasilkan tafsir baru yang mempersepsikan hukum sebagai sinergi antara berbagai kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.26

Tafsiran demikian akan dapat mengakomodir sikap saling menerima dan memberi dalam rangka menemukan harmonisasi berbagai kekuatan-kekuatan yang ada dalam mayarakat dalam rangka pembentukan hukum yang tentunya akan memberi jalan untuk terbentuknya hukum nasional yang produktif dan efektif.

25

Ibid, hlm. 171. 26


(36)

Salah satu hal yang mendasari diundangkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah bahwa masyarakat Aceh ingin menuntut keadilan dalam hal pengelolan minyak dan gas bumi. Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan yaitu: keadilan tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan dan keadilan menuntut persamaan.27

Dari beberapa pembagian keadilan, berikut dapat dijelaskan oleh penulis adalah pembagian klasik. Pembagian ini terutama ditemukan dalam kalangan Thomisme, aliran filsafat yang mengikuti jejak filsuf dan teolog besar yaitu Thomas Aquinas (1225-1274) dimana yang bersangkutan mendasarkan pandangan filosofisnya atas pemikiran Aristoteles ( 384-322SM) dan dalam hal masalah keadilan juga demikian. Menurut pembagian klasik, maka keadilan dibagi atas tiga yaitu sebagai berikut :28

a. Keadilan umum ( general justice)

Berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat ( secara konkret berarti : negara ) apa yang menjadi haknya. Keadilan umum ini menyajikan landasan untuk paham common good/kebaikan umum atau kebaikan bersama. Karena adanya common good, kita harus menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.

b. Keadilan distributif ( distributive justice )

Berdasarkan keadilan ini negara ( secara konkret berarti pemerintah ) harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat.Dalam bahasa indonesia bisa dipakai nama keadilan membagi. Diantara hal-hal yang dibagi oleh negara kepada warga ada hal-hal yang enak untuk di dapat dan ada hal-hal yang justru tidak enak kalau kena.

c. Keadilan komutatif ( commutative justice )

Berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya dan hal itu berlaku pada taraf individual maupun sosial

27

K.Bertens,Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm. 89. 28


(37)

sehingga bukan saja individu satu harus memberikan haknya kepada individu lain, melainkan juga kelompok satu kepada kelompok lain.

Namun menurut John Rawls bahwa keadilan harus di mengerti sebagai

fairness.29 Menurut kamus, just berarti adil dan fair juga. Tetapi ada perbedaan dimana just berarti adil menurut isinya, sedangkan fair adil menurut prosedurnya. Misalnya, dalam undian yang dijalankan dengan fair sekali, bisa saja semua hadiahnya jatuh dalam tangan orang kaya, sedangkan orang miskin yang ikut serta juga tidak mendapat apa-apa. Menurut prosedurnya, undian itu adil ( fair ), tetapi hasilnya sama sekali tidak adil ( just ).30 Dengan demikian fairness dapat diartikan juga sebagai keadilan yang di dasarkan atas prosedur yang wajar ( tidak di rekayasa atau dimanipulasi ).

Selain itu menurut Jhon Rawls, sambil berada dalam posisi asali (kita tidak tahu bagaimana nasib kita masing-masing dalam masyarakat nanti ), maka kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan yaitu sebagai berikut :

a. Prinsip pertama, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang.

b. Prinsip kedua, dimana ketidaksamaan sosial dan ekonomis diatur demikian rupa sehingga :

1. Menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga.

2. Melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.31

Sehubungan dengan penelitian ini juga berkaitan dengan kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP, maka menurut Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :

29

Ibid, hlm. 102. 30

Ibid.hlm.102 31


(38)

a. Kesepakatan (Toesteming/Izin ) kedua belah pihak.

Syarat pertama sahnya kotrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis ; 2. Bahasa yang sempurna secara lisan ;

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.Hal ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya ;

4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya ;

5. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.32 b. Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum , dimana perbuatan hukum dapat diartikan sebagai perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum dan orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk melakukan

32

Salim HS, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), ( Jakarta : Sinar Grafika,2007), hlm.10.


(39)

perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang.33Orang yang cakap / wenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.

c. Adanya objek perjanjian ( onderwerp van de overeenkomst )

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi obyek perjanjian adalah prestasi ( pokok perjanjian ), diman prestasi diartikan sebagai apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.34 Dengan demikian prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif dan prestasi terdiri atas : (1) memberikan sesuatu, (2) memberikan sesuatu,dan (3) tidak berbuat sesuatu.35

d. Adanya kausa yang halal ( Geoorloofde Oorzaak )

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak ( kausa yang halal ). Selain itu menurut Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Selain itu didalam Buku III KUH Perdata dikenal lima macam asas hukum, yaitu sebagai berikut :

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

33

Ibid.hlm.11. 34

Ibid.hlm .10. 35


(40)

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjian.36

b. Asas konsesualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

c. Asas kepastian hukum

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan asas kepastian hukum menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya Undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas kepastian hukum ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang “.

d. Asas itikad baik.

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “ Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik “. Asas ini

36


(41)

merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.

e. Asas kepribadian.

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan / atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menegaskan : “ Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri “. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian maka orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Selain itu di dalam Pasal 1340 KUH Perdata disebutkan bahwa : “ Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya “. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

2. Kerangka Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses


(42)

penelitian ini. Untuk itu perlu ditegaskan definisi operasional atas konsep hukum-tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Harmonisasi Hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan azas-azas hukum dengan tujuan meningkatkan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan mengobarkan puralisme hukum.37

b. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.38

c. BPMIGAS adalah suatu Badan Pelaksana yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.39

d. Kontrak Kerjasama adalah : kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja satu sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.40

37

L.M.Ghandi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, ( Yogyakarta : Kanisius, 1980 ), hlm. 30

38

Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh.

39

Pasal 1 angka 23 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 40


(43)

e. Pertamina adalah Perusahaan Pertambangan Minyak dan gas Bumi Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara Jo. UU No. 22 tentang Minyak dan Gas Bumi.41

f. PT. Pertamina ( Persero ) adalah perusahaan perseroaan ( Persero ) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA ) menjadi Perusahaan Perseroan ( Persero ).42

g. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.43

h. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

41

Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.

42

Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

43

Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh.


(44)

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.44

i. Minyak Bumi adalah : hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat , termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diproses dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara atau endapan hidrokarbon lain yang berkaiatan dengan kegitan usaha minyak dan gas bumi.45

j. Gas bumi adalah : hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi.46

k. Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.47

G. Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya ditujukan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah

44

Pasal 1 angka 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh.

45

Pasal 1 angka 1 UU No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi. 46

Pasal 1 angka 2 UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 47


(45)

dikumpulkan, sebagaimana diungkapkan oleh Soejono Soekanto mengenai penelitian hukum sebagai berikut :

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.48

Oleh karena itu, guna mendapatkan kebenaran yang dapat dipercaya maka sebuah penelitian harus menggunakan cara-cara yang metodologis. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam bagian ini akan diuraikan aspek metodologis penelitian yang meliputi spesifikasi penelitian, data penelitian, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan data dan analisis data.

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam spesifikasi penelitian akan diuraikan mengenai jenis penelitian, sifat penelitian dan pendekatan penelitian yang dipergunakan dalam menganalisis gejala hukum terkait dengan perlunya harmonisasi pengaturan badan pelaksana migas berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan pengaruhnya terhadap kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif ( yuridis normatif ). Sebagaimana diuraikan oleh Ronald Dworkin bahwa penelitian hukum normatif atau

48


(46)

disebut juga penelitian doktinal ( doctrinal research ), menganalisis baik hukum sebagai ” law as it written in the book ”, maupun hukum sebagai ” law as it by the judge through judicial process ”.49 Maka penelitian ini ditujukan untuk menganalisis bahan-bahan hukum normatif khusunya peraturan perundang-undangan ( law as it written in the book ) yang relevan dengan masalah yang dirumuskan.

Dengan demikian pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan ( statutory approach ) dengan fokus kegiatan mengumpulkan peraturan perundang-undangan terkait dengan pemerintahan Aceh, Minyak dan Gas Bumi serta kontrak yang dilakukan oleh BPMIGAS dengan PT. Pertamina EP.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dengan sifat yang demikian maka penelitian dioperasionalkan selain untuk menggambarkan fakta –fakta hukum dikeluarkannya Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, juga ditujukan untuk menganalisis implikasi dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 terhadap status kontrak kerjasama BPMIGAS dengan PT.Pertamina EP.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipercaya maka sebuah penelitian harus menggunakan cara-cara yang metodologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam bagian ini akan diuraikan aspek metodologi penelitian yang meliputi spesifikasi penelitian, data penelitian, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan dana serta analisis data.

49

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Majalah Hukum, ( Medan ; fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,2003 ), hlm. 1.


(47)

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini meliputi antara lain sebagai berikut :50

a. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah penelitian antara lain sebagai berikut : UUD 1945, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dan Peraturan lainnya yang dipandang relevan.

b. Bahan hukum sekunder seperti : hasil-hasil penelitian, artikel, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : rancangan perundang-undangan, kamus umum, kamus hukum, majalah / jurnal atau suatu kabar sepanjang informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui : 1) Studi kepustakaan ( Library Research )

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan adata akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur,

50


(48)

dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang relevan dengan materi pnelitian ini.

2) Wawancara

Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan wawancara, maka wawancara dilakukan dengan nara sumber yang memiliki kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai yakni :

a) Sekretaris Daerah Pemerintahan Aceh.

b) Anggota Tim Advokasi Khusus UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

c) Field Manager PT. Pertamina EP Regional Sumatera Field Rantau.

4. Analisi Data

Terhadap bahan hukum dan hasil wawancara yang telah dikumpulkan, selanjutnya diolah dan dianalisis berdasarkan metode analisis data kualitatif. Adapaun proses analisis data dilakukan sebagai berikut : Pertama, dilakukan inventarisasi seluruh peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk menjawab permasalahan penelitian. Kedua, dilakukan abstraksi untuk menemukan makna atau konsep-konsep yang terkandung dalam bahan hukum ( konseptualisasi ). Konseptualisasi ini dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum berupa kata-kata dan kalimat-kalimat.Ketiga, mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau berkaitan ( kategorisasi ). Keempat, menemukan hubungan diantara berbagai kategori. Kelima, hubungan


(49)

diantara berbagai kategori diuraikan dan dijelaskan. Penjelasan ini dilakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana. Keenam, hasil wawancara diuraikan untuk mendukung analisis terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder


(50)

BAB II

TARAF SINKRONISASI ANTARA UU NO 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DAN UU NO 11 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH TERKAIT BADAN PELAKSANA PENGELOLAAN MIGAS ( BPMIGAS )

A. Ruang Lingkup Sinkronisasi

Sinkronisasi adalah penyelarasan atau penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.51

Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpah tindih, saling melengkapi ( suplementer ), saling terkait dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggara bidang tersebut secara efisien dan efektif.52

51

http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 20 Juli 2010

52

http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 20 Juli 2010


(51)

Sinkronisasi juga berkaitan langsung dengan penentuan materi suatu Undang-Undang, dimana Menurut A. Hamid S. Attamimi dijelaskan bahwa : 53

Materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan negara dapat ditentukan atau tidak, bergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan negara yang menentukannya dan di Belanda soal-soal politiklah yang menentukan lingkup materi wet, karena itu tidak dapat ditentukan batas-batasnya. Penyinkronisasian suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang ditentukan oleh penentuan batas materi muatan Undang-Undang-Undang-Undang dimaksud.

Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari aspek substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum.54 Lebih jauh aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan.55

Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk

53

A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1993 ), hlm. 119

54 Yuliandri,

Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,2009 ), hlm.222.

55


(52)

peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.56 Demikian sebaliknya dimana sebah produk perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/ prosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil/ substansial.57 Melalui proses sinkronisasi materi muatan Undang-Undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai Undang-Undang.

Untuk memudahkan sinkronisasi supaya lebih terarah antara UU No. 22 Tahun 2001 dengan UU No. 11 Tahun 2006 terkait dengan BPMIGAS, maka dapat digunakan sinkronisasi vertikal dan horisontal.

1. Sinkronisasi vertikal

Singkronisasi vertikal dapat diselesaikan dengan asas hukum Lex Superiori derogat legi Inferiori(Peraturan/Undang-Undang yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan/Undang-Undang yang rendah), sehingga singkronisasi vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat

56

Ibid.hlm. 222 57


(53)

dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.58 Misalnya, Jenis dan hierarki perundang-undangan menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan adalah sebagai berikut :

(1)Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; b. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; c. Peraturan Pemerintah ;

d. Peraturan Presiden ; e. Peraturan Daerah ;

(2)Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi : a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan daerah propinsi

bersama gubernur ;

b. Peraturan daerah Kabupaten / kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten / kota bersama bupati/ walikota ;

c. Peraturan desa / peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/

peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah/ kota yang bersangkutan.

(4)Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(5)Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Disamping harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka dalam singkronisasi vertikal harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

58


(1)

kerjasama PT. Pertamina EP dilakukan dengan BPMIGAS yang ada sekarang ini sebelum adanya BPMIGAS Pemerintahan Aceh. Begitu juga dengan surat-menyurat yang berkaitan dengan ijin kegiatan pemboran migas dan hal-hal lain yang berkaitan dengan operasi kegiatan migas


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku.

Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Al Barry M. Dahlan, Kamus Indonesia Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta : Arkola, 1995.

Anwar Yesmil & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. Grasindo, 2008. Attamimi,A,Hamid.S, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan

Peraturan Kebijakan, Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1993.

Atmadja Arifin P. Soeria, Keuangan Publik dalam perspektif Hukum, Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada Cetakan 2, 2010

Bertens. K, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisius,2000.

Chad hari, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur : Internasional law Book, 1994. Darusbadrulzaman Mariam, Perjanjian Baku ( Standar ) Perkembangan di Indonesia,

Bandung : Alumni, 1980.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Data Informasi Minyak Dan Gas Bumi, Jakarta ,2000.

Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dasar-Dasar Dan Teknik Penyusunannya, Bandung : Aditya Bakti, 2008.

HS Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta : PT. Rajagrasindo Persada, 2005.

HS.Salim, Abdullah, Wahyuningsih Wiwiek, Perancangan Kontrak & Memorandun of Understanding ( MoU), Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Gaffar Afan, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, dalam Moh. Busyro Muqoddas, dkk, Politik Hukum Nasional : Yogyakarta : UII Press, 1992.

Gandhi L.M, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Mohammmad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1980.


(3)

Ridwan Juniarso & Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bnadung : Nuansa,Cetakan I 2009.

Kelsen Hans, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007.

Kusumohamidjojo Budiono, Filsafat hukum, Problem Ketertiban Yang Adil, Jakarta : Grasindo, 2004.

Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan, Surabaya : JP BOOKS, 2006.

Lubis, M. Solly, Sistem Nasional, Bandung : Mandar Maju, 2002.

Manan Bagir dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, 1997.

Manan Bagir, Ketentuan-Ketentuan Tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman No. 1, 1997.

MD Moh. Mahfud, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2009.

M. Friedman Lawren, American Law An Instroduction Secon Edition ( terjemahan ) , Jakarta : Tata Nusa, 2001.

Mubyarto, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Yogyakarta : Aditya Media, 1997.

Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : Habibie Center, 2002.

Mertokusumo Sudikno, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta : Fakultas Pascasarjana UGM, 1997.

Nasution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003.

Purbacaraka Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung : Alumni, 1979.


(4)

Raharjo Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007.

Ridwan Juniarso & Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung : Nuansa, 2009.

Sadzily Hasa, dkk, Ensklopedia Indonesia, Jakarta : Ictiar Baru, Van Hoeve. Saleng Abrar, Hukum Pertambangan, Yogyakarta : UII Press, 2004.

Salim Peter, The Contemporary English – Indonesia, Jakarta : Dictionary Modern English Press, 1989.

Sembiring Sentosa, Hukum Investasi, Bandung : Nuansa Aulia,Cetakan II 2010

Sidarta B. Arif, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak, Bandung : Citra Aditya, 1997.

Simamora Rudi M, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Jakarta : Djambatan, 2000. Soekanto Soejono , Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pres,1981.

Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1980.

Tanya L. Bernard, Yoan N. Simanjuntak & Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, Cetakan III, 2010.

Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II. Diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, Jakarta : Rajawali Pers, 1984.

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika,2002. Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

Jakarta : PT. RajaGrafindo,2009.

B.Majalah / Publikasi / Karya Ilmiah.

Purba Achmad Zen Umar, ‘’Kepentingan Negara Dalam Industri Perminyakan Indonesia : Hukum Internasional, Konstitusi, dan Globalisasi”, Makalah


(5)

disampaikan pada saat menghadiri konfrensi para advokat internasional , Colombia, 15 sampai dengan 21 Maret 2007.

Mertokusumo Sudikno, Syarat-syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Disajikan pada Penataran Hukum Perdata yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1995.

Warta Pertamina Edisi III, tanggal 21 Mei 2007.

C.Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata ). Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.

Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri dan Kontrak Production Sharing.

Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Konrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata cara Mempersiapkan Rancangan Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti


(6)

Undang-148

Undang, Rancangan Peraturan pemerintah, Dan Rancangan Peraturan Presiden

Peraturan Presiden No.75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh.

D.Website.

http//www.pertamina-ep.com/id/tentang pep/sejarah-kami, diakses pada tanggal 1 Mei 2010.

http//www.harian aceh.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2010.

http//www.parbo.com/staasolie/journey.html. diakses pada tanggal 20 Juli 2010.

http//www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4 diakses pada tanggal 20 Juli 2010.

http//www.ruu.lapan.go.id/doc/bab diakses pada tanggal 14 Agustus 2010.

E.Koran.

Republika, 31 Desember 2001. Serambi, 29 April 2010.