Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur T2 942011070 BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kebijakan Pendidikan
Dalam memahami apa itu kebijakan pendidikan,
maka penting untuk mengetahui pengertian kebijakan
publik itu
sendiri. George C. Edwards
III &
Ira
Sharkansky (1978 dalam Amtu 2011) mengemukakan
bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakakukan oleh pemerintah.
Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan
program-program pemerintah.
Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian
dari kebijakan publik, maka Olsen dkk (dalam Tilaar &
Nugroho, 2008) mengemukakan Kebijakan pendidikan
merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi,
bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga
kebijakan
pendidikan
perlu
mendapatkan
prioritas
utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen
utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai
demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah
demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Menurut Gaffar (2008), kebijakan pendidikan
berhubungan
berkaitan
dengan
dengan
keputusan-keputusan
perbaikan
dan
yang
penyempurnaan
penyelenggaraan pendidikan. Merujuk pada pendapat
Gaffar diatas maka perlu
12
bagi pemerintah selaku
pembuat kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan
pendidikan di daerah secara baik dan benar sehingga
tujuan yang ingin didapatkan dalam pendidikan dapat
tercapai.
Selanjutnya kebijakan pendidikan menurut Tilaar
(2006)
merupakan
keseluruhan
proses
dan
hasil
perumusan langkah-langkah startegis pendidikan yang
dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dalam rangka
mewujudkan tercapainya
tujuan pendidikan dalam
suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Maka penting bagi pemerintah dalam menentukan
langkah strategis kebijakan pendidikan dalam hal ini
penempatan guru yang merata pada setiap tingkat
satuan
pendidikan agar
kualitas
sumber daya
manusia (SDM) yang baik dapat diperoleh oleh setiap
anak bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
yang ingin dicapai.
Kemudian Hamid & Malian (2005) mengatakan
keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan
masa
depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan
pemerintah
daerah
dalam
memperbaiki
dan
memperbaharui proses dan hasil pembangunan sektor
pendidikan saat ini.
Selanjutnya, Fattah (2012) lebih menekankan
fungsi sebuah kebijakan dalam pendidikan, antara lain:
1) menyediakan akuntabilitas norma budaya yang
menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan, dan
13
2)
melembagakan
mekanisme
akuntabilitas
untuk
dijalankan
melalui
mengukur kinerja siswa dan guru.
Oleh
karena
pendidikan
gerakan otonomi daerah atau desentralisasi,
menurut pandangan Tilaar
maka
(2002 dalam Mashuri
2009), adalah menjadi suatu keharusan untuk segera
diimplementasikan
bentuk
dalam sistem
pertanggungjawaban
bernegara sebagai
Pemerintah
dalam
membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat
berprestasi
Sehingga
dan
peningkatan
dalam
konteks
daya
saing
kedaerahan,
bangsa.
otonomi
pendidikan harus dapat mengakomudir secara fleksibel
berbagai kebutuhan masyarakat di daerah, mampu
menciptakan masyarakat lokal yang berprestasi, dan
mampu meraih kemajuan daerah setempat melalui
suatu kebijakan pendidikan yang tepat.
Melihat bahwa kebijakan pendidikan dijalankan
dalam era otonomi daerah yang bertujuan untuk
mewujudkan berhasilnya tujuan pendidikan nasional
akan sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah
daerah
dalam
memperbaiki
keseluruhan
proses
pendidikan termasuk didalamnya penataan distribusi
guru.
14
2.2 Kebijakan Penempatan
Otonomi Daerah
Dengan lahirnya
Guru
di
Era
Undang Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, Pemerintah
telah memberikan sebagian kewenangan serta tugas
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengatur
dan
mengelola sistem pemerintahan di daerahnya senidiri,
dengan alasan bahwa daerahlah yang lebih memahami
setiap
masalah
maupun
potensi yang ada
dalam
wilayahnya.
Salah satu urusan pemerintahan yang diatur dan
dikelolah
oleh
daerah
adalah
bidang
pendidikan,
sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang
disebutkan
Pemerintah Daerah pasal 14 ayat 1
bahwa
Penyelenggaraan
Pendidikan
merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan
Pemerintah
pendidikan
merupakan
mendapat
perhatian
Kabupaten/Kota.
sektor
secara
yang
Maka
utama
kusus
dan
dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kemudian
Peraturan
Pemerintah
Nomor
38
Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang
menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan
urusan
pilihan.
Urusan
wajib
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
15
pemerintahan
yang
wajib
pemerintahan
daerah
diselenggarakan
provinsi
dan
oleh
pemerintahan
daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar. Salah
satu
bidang yang berkaitan
dengan
pelayanan dasar adalah bidang pendidikan. (Pasal 7
ayat 1 dan 2 PP No 38 Tahun 2007).
Dalam
bidang
pendidikan
Pemerintah
kabupaten/kota
wajib
mengalokasikan
kurangnya 20%
APBD untuk memenuhi anggaran
pendidikan.
Kebijakan
ini
pendidikan
nasional
di
bersangkutan
dapat
dilakukan
sekurang-
agar
sistem
kabupaten/kota
yang
dilaksanakan
secara
efektif,
afesien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah
dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu agar system pendidikan nasional
dapat berjalan dengan baik di daerah, maka penting
bagi pemerintah dalam pemenuhan segala kebutuhan
yang
mendukung
keberhasilan
penyelenggaraan
pendidikan itu sendiri, salah satunya harus didukung
dengan ketersedian tenaga pendidik yang memadai.
Yang
diperjelas
dalam
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
41
ayat
Pemerintah
3
ditegaskan
Daerah
bahwa,
wajib
Pemerintah
memfasilitasi
dan
satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan
yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
16
Proses desentralisasi di Indonesia dimulai pada
tahun 1999, selain mempengaruhi semua proses aspek
penyelenggaraan
maupun
pelaksanaan
pendidikan,
tidak terkecuali juga mempengaruhi reformasi guru
sebagai bagian dari proses ini, sebagian besar tanggung
jawab
yang
terkait
dengan
pengangkatan
dan
penempatan guru dialihkan dari tingkat nasional ke
tingkat kabupaten/kota.
Badan-badan
pemerintah
pusat
seperti
Kemendiknas, MENPAN, dan BKN tetap memainkan
peran dalam pengangkatan guru pegawai negeri sipil
dan
manajemen
tanggung
guru.
jawab
Namun
dan
sebagian
kewenangan
besar
menegenai
pengangkatan dan penempatan guru pegawai negeri
sipil telah beralih ke tingkat kabupaten/kota.
Dalam pengangkatan serta penempatan guru
dapat dilaksanakan
kabupaten/kota,
dengan
Pemeritah
baik
oleh
pemerintah
menetapkan
kebijakan
teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS,
melalaui
Peraturan
Pendayagunaan
Bersama
Aparatur
Negara
Menteri
dan
Negara
Reformasi
Birokrasi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor
05/X/PB/2011,
Tahun
2011,
SPB/03/M.PAN-RB/10/2011,
158/PMK.01/2011,
11
Tahun
48
2011
tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri
17
Sipil. Dan yang sudah efektif dilaksanakan tanggal 2
januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa:
a. Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan
dan
pemerataan
pendidikan,
PNS
antarjenjang,
pendidikan
Menteri
guru
secara
dan
nasional
Pendidikan
antarsatuan
Nasional.
antarjenis
ditetapkan
oleh
Demikian
juga
Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan
dan memfasilitasi pemindahan untuk penataan
dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang
berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN). Dalam memfasilitasi
penataan dan pemerataan guru PNS di daerah dan
kabupaten/kota,
Menteri
Pendidikan
Nasional
berkoordinasi dengan Menteri Agama.
b. Menteri
Agama
berkewajiban
membuat
perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS
antarsatuan
antarjenis
pendidikan,
pendidikan
antarjenjang,
yang
menjadi
dan
tanggung
jawabnya.
c. Menteri
Dalam
mendukung
Negeri
berkewajiban
pemerintah
daerah
untuk
dalam
hal
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan,
antarjenjang,
dan
antarjenis
pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis
yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional
serta
memasukkan
unsur
18
penataan
dan
pemerataan guru PNS ini sebagai bagian penilaian
kinerja pemerintah daerah.
d. Menteri
Keuangan
berkewajiban
untuk
mendukung penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan
antarjenis
pendidikan,
pendidikan
antarjenjang,
sebagai
bagian
dan
dari
kebijakan penataan PNS secara nasional melalui
aspek pendanaan di bidang pendidikan sesuai
dengan kemampuan keuangan negara.
e. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi mendukung penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang, dan antarjenis pendidikan melalui
penetapan formasi guru PNS.
f. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya membuat perencanaan penataan
dan
pemerataan
pendidikan,
guru
antarjenjang,
PNS
dan
antarsatuan
antarjenis
pendidikan yang menjadi tanggung jawab masingmasing.
Untuk itu dalam penataan penempatan guru
dapat
dijalankan
secara
baik,
pemerintah
kabupaten/kota memiliki tugas seperti yang tercantum
dalam Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun
2011 Tentang Penataan dan Pemerataan guru PNS
adalah sebagai berikut:
19
1. Menyusun
produk
hukum
dalam
bentuk
peraturan bupati/walikota atau produk
hukum
lainnya terkait penataan dan pemerataan guru PNS
yang merujuk pada Peraturan Bersama;
2. Sosialisasi program penataan
dan
pemerataan
guru PNS diwilayah kabupaten/kota;
3. Verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru
TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di setiap satuan
pendidikan di wilayah kabupaten/kota;
4. Penyediaan Peta Guru yang menginformasikan
tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS
di
wilayah
kabupaten/kota
dengan
tembusan
disampaikan kepada Badan Kepegawaian Daerah
(BKD);
5. Pemindahan guru PNS antarsatuan pendidikan;
6. Penyediaan
dana
antarsatuan
pemindahan
pendidikan
guru
di
PNS
wilayah
kabupaten/kota;
Selanjutnya dalam penataan dan pemerataan guru
PNS pada sekolah dasar, di dalam Surat Keputusan
Bersama
(SKB)
5
Menteri,
disebutkan
untuk
kebutuhan guru SD/MI sebagai berikut :
1) Setiap
rombel
terdiri
dari
20-32
siswa
yang
dan
guru
diampu oleh 1 (satu) orang guru kelas.
2) Harus
menyediakan
guru
agama
pendidikan jasmani dan kesehatan.
20
3) Wajib
mengajar
bagi
guru
agama
dan
guru
pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes)
yang digunakan dalam perhitungan 24 jam tatap
muka perminggu.
4) Menyediakan guru agama sesuai dengan ragam
jenis agama yang dianut peserta didik.
5) Apabila
terdapat
anak
berkebutuhan
khusus
dan/atau SD tersebut menyelenggarakan program
pendidikan
inklusi,
menyediakan
maka
minimal
SD
satu
tersebut
guru
harus
pendidikan
khusus per enam rombel, dengan perhitungan jam
setara dengan guru kelas.
Pemberian wewenang mengenai penataan dan
pemerataan guru pegawai negeri sipil (PNS)
oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui SKB 5
Menteri, ini sejalan dengan pendapat Mashuri (2009)
yang mengatakan otonomi pendidikan
pada dasarnya
adalah upaya Pemerintah Pusat untuk memberdayakan
daerah melalui pemberian kewenangan penuh kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan
pendidikan
bagi
masyarakatnya sesuai dengan kekhasan, kesanggupan,
dan kebutuhan daerah. Alasannya ialah Pemerintah
Daerahlah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan
pembangunan di
wilayahnya.
Dalam konteks inilah sangat diperlukan perangkat
hukum
dan
penguatan
kebijakan
yang
dan mengaspirasi
21
mampu
memberikan
segala
kepentingan
daerah
dalam
pendidikannya
menyelenggarakan
termasuk
dalam
otonomi
pengelolaan
penempatan guru yang merata.
Kebijakan penataan serta pemerataan guru PNS
melalui
SKB
5
Menteri,
kebijakan
desentralisasi
pemerintah
daerah
merupakan
salah
pendidikan
diberikan
satu
dimana
kewenangan
dalam
mengatur segala kebutuhan guru di wilayahnya. Chan
&
Sam
(2005)
mungkin
mengemukakan
timbul
desentralisasi
dalam
pendidikan
kelemahan
implemetasi
melalui
yang
kebijakan
Undang-Undang
Otonomi Daerah adalah:
1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil
2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD),
khususnya daerah-daerah termisikin
3. Mental
korup
yang
telah
membudaya
dan
mendarah daging
4. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus
5. Dijadikan komoditas
6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan
cukup
merepotkan
Depdiknas
dalam
mengalokasikannya.
Jika daerah ingin mengembangkan pendidikan
secara profesional dalam hal ini penataan tenaga
pendidik,
ciri-ciri
profesionalisme
berikut
perlu
diindahkan, agar dunia pendidikan di daerah otonom
tidak diisi dan dikelola oleh orang-orang yang tidak
22
paham tentang subtansi dan hakikat proses pendidikan
itu sendiri. Menurut Houle (1980 dalam Hamid &
Malian 2005) Ciri-ciri profesionalisme bagi pengelola
pendidikan yang dimaksud meliputi:
1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat
2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual
3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi
4) Ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar
sejawat
5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi
6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik)
7) Memiliki sistem sanksi profesi
8) Adanya militansi individual
9) Memiliki organisasi profesi
Analisa bank dunia (dalam Worldbank document,
2011) tentang pengangkatan dan penempatan guru
dilaksanakan dengan dukungan program pendidikan
dari pemerintah kerajaan Belanda (Dutch Education
Support Program) menegaskan bahwa kelebihan suplai
guru dan penempatan yang tidak merata adalah salah
satu sumber kurang efesiennya sektor pendidikan.
Selain sangat mahal, daerah yang kelebihan suplai
harus berjuang mengatasi rendahnya kehadiran guru,
sementara daerah yang kekurangan guru kelabakan
menggabungkan kelas atau menjalankan dua giliran
kelas (shift) untuk mengatasi kekurangan guru. Solusi
pemerintah
pada
masalah
23
tersebut mengharuskan
setiap guru untuk mencatatkan 24 jam mengajar setiap
minggu
agar berhak dapat memperoleh tunjangan
profesi.
Berdasarkan catatan lembaga penelitian SMERU
(2008
dalam
dampak
Worldbank
kebijakan
Document
yang
diluncurkan
2011)
tahun
bahwa
2007
tersebut adalah berkurangnya angka absen guru dari
20,1 pada tahun 2003 menjadi 14,8 persen. Kebijakan
ini juga membuat pemerintah kabupaten/kota lebih
memperhatikan penempatan guru di berbagi sekolah.
Suparlan
(2005)
menjelaskan
status
guru
mempunyai implikasi terhadap peran dan fungsi yang
menjadi tanggung jawabnya. Guru memiliki kesatuan
peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara
kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan
melatih. Keempat kemampuan tersebut merupakan
kemampuan integratif, antara yang satu dengan yang
lain tidak dapat dipisahkan.
Selanjutnya Danim (2011)
juga menjelaskan
guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan
tugas
utama
mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal. Tugas utama itu
akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas
tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran,
kecakapan, atau ketrampilan yang memenuhi standar
mutu atau norma etik tertentu.
24
Lebih jelasnya dalam UU No. 14 Tahun 2005
Tentag Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1 disebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama
mendidik,
mengarahkan,
melatih,
mengajar,
membimbing,
menilai,
mengevaluasi
dan
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Wrightman
mengemukakan
dalam
(1997
peran
guru
Usman
adalah
2005)
terciptanya
serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang
dilakukan
dalam
suatu
situasi
tertentu
serta
berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkalaku
dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Hamalik
(2006),
masalah
guru
merupakan
masalah yang senantiasa mendapat perhatian, baik
oleh
pemerintah
maupun
oleh
masyarakat
pada
umumnya dan ahli pendidikan khususnya. Pemerintah
memandang
bahwa
guru
merupakan
media
yang
sangat penting dalam mengemban tugas-tugas sosial
budaya yang berfungsi mempersiapkan generasi muda,
sesuai dengan cita-cita bangsa.
Dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional
yang diharapkan keberadaan serta peran seorang guru
sangatlah penting, namun secara umum guru yang
tersebar di Indonesia sangat tidak merata. Kurang lebih
55 % (persen) dari sekolah memiliki kelebihan guru,
25
sementara 34 % (persen) kekurangan. Sebagian besar
sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah
pedesaan,
mengalami
kelebihan
jumlah
guru,
sementara 66 % (persen) sekolah di daerah terpencil
mengalami
kekurangan tenaga guru yang serius.
Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif
finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah
terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi
hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan
jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan
yang baik, yang idealnya dilaksanakan oleh masyarakat
setempat (Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Chan & Sam (2005) menjelaskan bahwa masalah
kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan
hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini
memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat
dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang
sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah
pemerataan guru.
Guru akan tersebar dengan lebih merata bila
formula
penempatan
yang
digunakan
mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah.
untuk
Saat ini,
tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru
berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid
per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika
jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid,
dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang
26
lebih
kecil.
Reformasi
ini
bisa
dibarengi
dengan
memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal
kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru
(Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Selanjutya secara umum keberadaan
guru di
Indonesia sangatlah beragam, Worldbank Document
(2011) mengememukan komposisi dan karakter tenaga
kerja kependidikan di Indonesia dari segi gender, usia,
tingkat pendidikan, remunerasi, beban kerja, rasio
murid-guru, dan faktor-faktor lain:
1. Gender:
Secara
tenaga
umum,
kependidikan
perimbangan
sangat
baik.
gender
Namun
sebagian besar kepala sekolah adalah laki-laki.
Begitu
pula,
guru
perempuan
lebih
banyak
tersebar di wilayah perkotaan, sedangkan guru
laki-laki lebih banyak di wilayah-wilayah terpencil.
2. Usia: Usia sebagian besar guru berkisar antara 35
dan
50
tahun.
Fakta
ini
adalah
akibat
pengembangan sekolah dasar besar-besaran yang
terjadi selama tahun 1980-an. Akibatnya, 30
persen guru pegawai negeri sipil ini akan pensiun
dalam 10 tahun. Keniscayaan ini memberikan
sebuah kesempatan unik bagi penataan ulang
tenaga kerja kependidikan.
3. Tingkat
pendidikan:
Tingkat
pencapaian
pendidikan guru secara umum sangat rendah,
hanya 37 persen yang bergelar sarjana S1 atau
27
DIV. Dengan persyaratan baru untuk sertifikasi,
proporsi
guru
yang
bergelar
S1/D-IV
akan
meningkat 5 persen per tahun seiring dengan
masuknya guru-guru baru yang lebih terdidik dan
yang telah meningkatkan kemampuan ke dalam
sistem.
4. Sekolah
swasta:
Sekitar
48
persen
sekolah
dikelola swasta; institutsi-institusi ini melayani 31
persen murid dan mempekerjakan 38 persen dari
keseluruhan guru. Oleh karena itu sekolah swasta
memainkan
peran
pendidikan
nasional.
hubungan
penting
dalam
Pemerintah
yang unik dengan
sistem
memiliki
sekolah-sekolah
swasta dan menempatkan guru pegawai negeri
sipil untuk bekerja di sana. Pemerintah juga
memberikan tunjangan fungsional bagi seluruh
guru
sekolah
swasta,
yang
juga
berhak
mendapatkan tunjangan sertifikasi. Oleh karena
itu manajemen guru sekolah swasta merupakan
bahan
pertimbangan
dalam
reformasi
sistem
pendidikan di negeri ini.
5. Remunerasi: Secara historis gaji guru selalu kecil.
Namun kenaikan gaji pegawai negeri sipil selama
empat tahun terakhir adalah 17 persen setiap
tahun. Sebagai tambahan, perubahan-perubahan
baru-baru
ini
telah
memberikan
tunjangan
fungsional bagi semua guru (setara 10 persen gaji
28
dasar
pegawai
negeri
tunjangan baru
sipil)
dan
tambahan
yang dapat melipatgandakan,
bahkan sampai tiga kali lipat gaji dasar guru,
untuk
beberapa
situasi
tertentu.
Dengan
peningkatan ini, gaji guru menjadi semakin baik
dan profesi pengajar menjadi semakin menarik.
6. Beban kerja: Beban kerja guru pada umumnya
sangat
rendah,
khususnya
pada
sekolah
menengah, di mana hanya 20 persen guru saja
yang memenuhi ketentuan baru sertifikasi yang
mewajibkan guru mengajar minimum 24 jam per
minggu.
7. Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio, STR):
STR di sekolah-sekolah
Indonesia
jauh
lebih
rendah dibanding negara-negara lain. Tren terus
menurunnya
rasio
ini
memunculkan
kekhawatiran akan efisiensi sistem pendidikan.
8. Penyebaran: Bertolakbelakang dengan pandangan
umum, sekolah-sekolah di pedesaan umumnya
tidak kekurangan guru. Yang sering terjadi adalah
kekurangan guru
yang berkualifikasi. Tingkat
pendidikan lebih dari 30 persen guru di sekolahsekolah
kecil
di
pedesaan
hanya
sekolah
menengah saja atau lebih rendah lagi.
9. Proses pengangkatan: Proses ini berbeda-beda
tergantung dari jenis guru. Pada prosedur yang
berlaku
sekarang,
kabupaten/kota
29
yang
mengangkat guru, namun pemerintah pusat yang
menggaji. Hal ini menciptakan insentif yang buruk
bagi kabupaten/kota
untuk
terus
menambah
jumlah guru pegawai negeri sipil mereka. Jumlah
pengangkatan yang tinggi sejak desentralisasi
pendidikan
sekolah,
terjadi
sebagian
pada
guru
karena
yang
dana
diangkat
Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan ke
sekolah
diperbolehkan
untuk
membiayai
hal
tersebut.
Dengan dibuatkannya petunjuk teknis mengenai
penataan
dan
pemerataan
guru
melalui
surat
keputusan bersama (SKB) 5 menteri, yang didalamnya
menjelaskan proses pelaksanaan penempatan guru
yang merata pada setiap jenjang pendidikan, sangat
penting bagi pelaksana kebijakan di daerah untuk
menindaklanjuti kewenangan yang diberikan dengan
baik sehingga penempatan guru pada setiap jenjang
pendidikan dapat merata sesuai kebutuhan.
Agar penempatan guru dapat dilaksanakan secara
merata dan sesuai kebutuhan, pemerintah daerah
perlu untuk memilih orang-orang yang mempunyai
kepedulian
memiliki
yang tinggi terhadap
kemampuan
dalam
pendidikan
proses
serta
pengelolaan
pendidikan. Dan juga pemerintah selaku pembuat
kebijakan penting untuk melaksanakan pengawasan
secara baik, sehingga dalam penempatan guru benar30
benar
dilaksanakan
secara
baik
tanpa
adanya
kepentingan tertentu diluar urusan pendidikan.
2.3 Implementasi Kebijakan
2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang
krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program
kebijakan harus diimplemetasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi
kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan
segera setelah penetapan undang-undang (Winarno,
2012).
Kemudian,
implementasi
Wahab
(2012)
kebijakan
menganggap
sebagai
bentuk
pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas
yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan
menjadi
kesepakatan
bersama
diantara
beragam
pemangku kepentingan (stakeholder), actor, organisasi
(public atau
privat), prosedur, dan
teknik secara
sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna
menerapkan
kebijakan
kearah
tertentu
yang
dikehendaki.
Sementara itu, Grindle (1980 dalam Winarno
2012)
mengatakan
bahwa
secara
umum,
tugas
implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage)
yang
memudahkan
tujuan-tujuan
kebijakan
bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah. Selanjutnya van Meter dan van Horn
31
membatasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan
oleh
individu-individu
(atau
kelompok-
kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Ripley & Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi
setelah
undang-undang
ditetapkan
yang
diberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
(benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible
output). Implementasi mencangkup tindakan-tindakan
(tanpa
tindakan-tindakan)
oleh
berbagai
aktor,
khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk
membuat program berjalan.
Hal ini senada dengan pendapat Van Meter dan
Van Hom (1975 dalam Wahab 2012) yang merumuskan
proses implementasi sebagai “those actions by public or
private individuals (or group) that are directed at the
achievement of objective set fort in prior policy decision”
(tindakan-tindakan
yang
dilakukan
indivual/pejabat-pejabat atau
baik
oleh
kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuantujuan
yang
telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijakan).
Selajutnya Sabatier dan Mazmanian (1986 dalam
Amtu
2011)
merupakan
menyatakan;
fungsi
dari
implementasi
tiga
32
variable
kebijakan
yaitu:
1)
karakteristik masalah; 2)struktur manajemen program
yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang
mengoperasikan kebijakan; dan 3) factor-faktor diluar
peraturan.
Nugroho
(2009)
implementasi
kebijakan
pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai
tujuannya.
Untuk
mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau
turunan dari kebijakan publik tersebut.
1.3.2 Model Implementasi Kebijakan (George
C. Edwards III)
Menurut
Edwards
III,
studi
implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administration dan
public policy . Implementasi kebijakan adalah salah satu
tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan
dan
konsekuensi-konsekuensi
kebijakan
bagi
masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari
kebijakan,
maka
kebijakan
mengalami
kegagalan
itu
sekalipun
mungkin
kebijakan
akan
itu
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu,
suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan baik,
mungkin
juga
akan
mengalami
33
kegagalan,
jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
Edwards
III, membicarakan faktor-faktor atau
variabel krusial dalam implementasi kebijakan adalah
komunikasi,
sumber-sumber,
kecendrungan
atau
kecendrungan-
tingkahlaku–tingkahlaku
dan
struktur birokrasi.
a) Komunikasi
Secara
umum Edwards
membahas
tiga
hal
penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni
transmisi,
konsistensi,
Menurut
Edwards,
dan
(clarity ).
kejelasan
persyaratan
pertama
bagi
implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka
yang
mengetahui
apa
melakukan
yang
keputusan
harus
mereka
harus
lakukan.
Keputusan-keputsan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum
keputusan-keputusan
dan
perintah-perintah
itu
dapat diikuti.
T ransmi si . Faktor pertama yang berpengaruh
terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi.
Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan,
ia
harus
menyadari
bahwa
suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya
telah
dikeluarkan. Hal ini tidak
selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana
nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan34
keputusan
tersebut
diabaikan
atau
jika
tidak
demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap
keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Kejel asan. Faktor kedua yang dikemukakan
Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan
diimplementasikan
sebagaimana
yang
diinginkan,
maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya
harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi
komunikasi kebijakan tersebut harus jelas, seringkali
intruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksanapelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan
bagaimana
suatu
program
dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan
berkenaan
dengan
implementasi
kebijakan
akan
mendorong terjadi interpretasi yang salah bahkan
mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.
Konsi st ensi . Jika implementasi kebijakan ingin
berlangsung
efektif,
maka
perintah-perintah
pelaksana harus konsisten dan jelas. Di sisi yang lain,
perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil
tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi,
maka
akan
berakibat
pada
ketidak
efektifan
implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat
longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan
untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.
35
b) Sumber-sumber
Perintah-perintah
implementasi
mungkin
diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi
jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,
maka implementasi inipun cenderung tidak efektif.
Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan
fasilitas-fasilitas
menerjemahkan
yang
usul-usul
diperlukan
di
atas
untuk
kertas
guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
St af.
Sumber
yang
paling
penting
dalam
melaksanakan kebijakan adalah staf. Namun jumlah
staf
tidak
selalu
mempunyai
efek
positif
bagi
implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah
staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong
implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai
pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain
kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan
yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang
efektif. Implementasi yang cenderung tidak efisien,
lebih pada kurangnya kualitas sumber daya dan
rendahnya motivasi para pegawai.
Infor masi .
Informasi
merupakan
sumber
penting yang kedua dalam implementasi kebijakan.
36
Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi
mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan.
Pelaksana-pelaksana
dilakukan
dan
perlu
mengetahui
bagaimana
apa
mereka
yang
harus
melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah
data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap
peraturan-peraturan
pemerintah.
Pelaksana-
pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain
yang
dilibatkan
dalam
pelaksanaan
kebijakan
mentaati undang-undang atau tidak.
Wewenang. Sumber lain yang pentig dalam
pelaksanaan
implementasi
adalah
wewenang.
Wewenang akan berbeda-beda dari satu program
keprogram yang lain serta mempunyai banyak bentuk
yang berbeda. Terdapat banyak pembatasan pada
penggunaan
wewenang
yang
efektif.
Sekalipun
demikian, sanksi-sanksi dapat memainkan peranan
yang penting dalam pelaksanaan kebijakan.
Fasi l i t as. Fasilitas fisik bisa pula merupakan
sumber-sumber pentig dalam implementasi. Seorang
pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan
mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan
tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor
untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan,
tanpa
pembekalan,
maka
besar
kemungkinan
implementasi yang direcanakan tidak akan berhasil.
37
c) Kecendrungan-kecendrungan
Kecendrungan dari para pelaksana kebijakan
merupakan
factor
ketiga
yang
mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap
baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan
kebijakan
diinginkan
oleh
para
Demikian
pula
sebagaimana
pembuat
sebaliknya
keputusan
bila
yang
awal.
tingkahlaku-
tingkahlaku atau prespektif-prespektif para pelaksana
berbeda dengan para pembuat keputusan, maka
proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin
sulit (Winarno, 2012)
Dampak
dari
kecendrungan-kecendrungan.
Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk ke dalam
“zona
ketidakacuhan”.
dilaksanakan
secara
Ada
efektif
kebijakan
karena
yang
mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertantangan
secara
langsung
dengan
pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Pengangkatan
birokrat.
Kecendrungan-
kecendrungan pelaksana menimbulkan hambatanhambatan
yang
nyata
terhadap
implementasi
kebijakan. Menurut Edwards, salah satu teknik yang
38
disarankan
untuk
mengatasi
kecendrungan
para
pelaksana adalah dengan memanupulasi insentifinsentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak
menurut
kepentingan
mereka
sendiri,
maka
memanupulasi insentif-insentif oleh para pembentuk
kebijakan tingkat besar kemungkinan mempengaruhi
tindakan-tindakan
para
pelaksana-pelaksana
kebijakan.
d) Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka
memecahkan
masalah-masalah sosial dalam kehidupan moderen.
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian
organisasi
birokrasi
yang
implementasi publik.
inefektivitas
kurangnya
menjadi
Di Indonesia
impelementasi
koordinasi
lembaga-lembaga
dan
Negara
penyelenggara
sering
terjadi
kebijakan
karena
kerjasama
diantara
dan/atau
pemerintahan
(Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap
birokrasi di Amerika Serikat, mengidentifikasi enam
karakteristik birokrasi, yakni:
39
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument
sosial
menangani
yang
ditujukan
masalah-masalah
untuk
yang
didefinisikan sebagai urusan publik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
dalam pelaksanaan program kebijakan, yang
tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk
masing-masing tahap.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan
yang luas dan kompleks
5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan
hidup tidak perlu dipertanyakan lagi
6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang
netral
dalam
pilihan-pilihan
kebijakan
mereka, tidak juga secara penuh dikontrol
oleh kekuatan kekuatan yang berasal di luar
dirinya.
Selanjutnya
menurut
Edwards,
ada
dua
karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedurprosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering
disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP)
dan fragmentasi. SOP merupakan salah satu dari
aspek-aspek
struktural
organisasi.
Dengan
paling
dasar
menggunakan
dari
suatu
SOP,
para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yag tersedia.
40
Selain
itu,
tindakan
SOP
dari
juga
para
menyeragamkan
pejabat
dalam
tindakanorganisasi-
organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang
pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang
besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari
suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang
besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Sifat
kedua
dari struktur
birokrasi yang berpengaruh
dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi
organisasi. Fragmentasi mengakibatkan pandanganpandangan
yang
sempit
dari
banyak
lembaga
birokrasi.
Maka suatu kebijakan yang telah dibuat dan
dikeluarkan perlu untuk diimplementasikan secara
baik, agar tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai
dapat diselesaikan secara tepat. Demikian halnya
dalam kebijakan penempatan guru sangat penting
bagi para pembuat kebijakan melaksanakan atau
mengimplementasikannya
melihat
berbagai
factor
dengan
yang
baik.
Dengan
mempengaruhinya,
berdasarkan padangan Edwards III ada empat factor
atau
variable krusial yang
dapat mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan dalam hal ini
kebijakan penempatan guru, antara lain komunikasi,
sumber-sumber,
kecendrugan-kecendrungan
struktur birokrasi.
41
dan
Ke-empat
factor
ini
saling
mempengaruhi
sehingga dapat dikatakan apabila salah satu dari
factor yang dikemukakan Edwards III bermasalah
atau
tidak
mendukung
maka
akan
dapat
mempengaruhi kebehasilan implementasi kebijakan
itu sendiri, sehingga sangat dibutuhkan kerjasama
yang
baik
dari
birokrasi
yang
para
pelaksana
memiliki
kebijakan
kewenangan
atau
dalam
implementasi kebijakan penempatan guru.
2.4 Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Suranto tentang
Pengaruh
Implementasi
Kebijakan
Pembagian
Kewenangan Bidang Pendidikan Terhadap Kualitas
Pelayanan
Pendidikan
Dasar
(Studi
Di
Kota
Yogyakarta), Hasil penelitian menunjukkan dengan
mengacu model
Edward III (1980), implementasi
kebijakan
pembagian
pendidikan
di
kota
kewenangan
Yogyakarta
bidang
berpengaruh
signifikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan
dasar.
Sedangkan
secara
parsial,
dimensi
komunikasi, sumberdaya dan struktur birokras
berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan
pendidikan
dasar.
Sementara
disposisi
tidak
berpengaruh signifikan. Peneliti merekomendasikan
perlunya modifikasi model
Edward III (1980)
dengan mempersempit konsep disposisi terbatas
sebagai disposisi elite, serta perlunya penelitian
42
variabel bebas selain yang telah diteliti. Penelitian
ini juga merekomendasikan saran-saran praktis
bagi
Pemerintah
Kota
Yogyakarta
untuk
meningkatkan kinerjanya.
Dalam penelitian Suranto terlihat bahwa Factorfaktor
atau
Edwards
variabel
III
yang
memiliki
dikemukakan
pengaruh
yang
oleh
cukup
signifikan dalam keberhasilan suatu implementasi
kebijakan,
hanya
factor
disposisi
yang
tidak
berpengaruh signifikan, sehingga penting bagi para
pembuat
serta
pelaksana
kebijakan
untuk
memperhatikan factor-faktor seperti komunikasi,
sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi
dalam menjalankan program kebijakan.
43
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kebijakan Pendidikan
Dalam memahami apa itu kebijakan pendidikan,
maka penting untuk mengetahui pengertian kebijakan
publik itu
sendiri. George C. Edwards
III &
Ira
Sharkansky (1978 dalam Amtu 2011) mengemukakan
bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakakukan oleh pemerintah.
Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan
program-program pemerintah.
Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian
dari kebijakan publik, maka Olsen dkk (dalam Tilaar &
Nugroho, 2008) mengemukakan Kebijakan pendidikan
merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi,
bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga
kebijakan
pendidikan
perlu
mendapatkan
prioritas
utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen
utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai
demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah
demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Menurut Gaffar (2008), kebijakan pendidikan
berhubungan
berkaitan
dengan
dengan
keputusan-keputusan
perbaikan
dan
yang
penyempurnaan
penyelenggaraan pendidikan. Merujuk pada pendapat
Gaffar diatas maka perlu
12
bagi pemerintah selaku
pembuat kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan
pendidikan di daerah secara baik dan benar sehingga
tujuan yang ingin didapatkan dalam pendidikan dapat
tercapai.
Selanjutnya kebijakan pendidikan menurut Tilaar
(2006)
merupakan
keseluruhan
proses
dan
hasil
perumusan langkah-langkah startegis pendidikan yang
dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dalam rangka
mewujudkan tercapainya
tujuan pendidikan dalam
suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Maka penting bagi pemerintah dalam menentukan
langkah strategis kebijakan pendidikan dalam hal ini
penempatan guru yang merata pada setiap tingkat
satuan
pendidikan agar
kualitas
sumber daya
manusia (SDM) yang baik dapat diperoleh oleh setiap
anak bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
yang ingin dicapai.
Kemudian Hamid & Malian (2005) mengatakan
keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan
masa
depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan
pemerintah
daerah
dalam
memperbaiki
dan
memperbaharui proses dan hasil pembangunan sektor
pendidikan saat ini.
Selanjutnya, Fattah (2012) lebih menekankan
fungsi sebuah kebijakan dalam pendidikan, antara lain:
1) menyediakan akuntabilitas norma budaya yang
menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan, dan
13
2)
melembagakan
mekanisme
akuntabilitas
untuk
dijalankan
melalui
mengukur kinerja siswa dan guru.
Oleh
karena
pendidikan
gerakan otonomi daerah atau desentralisasi,
menurut pandangan Tilaar
maka
(2002 dalam Mashuri
2009), adalah menjadi suatu keharusan untuk segera
diimplementasikan
bentuk
dalam sistem
pertanggungjawaban
bernegara sebagai
Pemerintah
dalam
membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat
berprestasi
Sehingga
dan
peningkatan
dalam
konteks
daya
saing
kedaerahan,
bangsa.
otonomi
pendidikan harus dapat mengakomudir secara fleksibel
berbagai kebutuhan masyarakat di daerah, mampu
menciptakan masyarakat lokal yang berprestasi, dan
mampu meraih kemajuan daerah setempat melalui
suatu kebijakan pendidikan yang tepat.
Melihat bahwa kebijakan pendidikan dijalankan
dalam era otonomi daerah yang bertujuan untuk
mewujudkan berhasilnya tujuan pendidikan nasional
akan sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah
daerah
dalam
memperbaiki
keseluruhan
proses
pendidikan termasuk didalamnya penataan distribusi
guru.
14
2.2 Kebijakan Penempatan
Otonomi Daerah
Dengan lahirnya
Guru
di
Era
Undang Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, Pemerintah
telah memberikan sebagian kewenangan serta tugas
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengatur
dan
mengelola sistem pemerintahan di daerahnya senidiri,
dengan alasan bahwa daerahlah yang lebih memahami
setiap
masalah
maupun
potensi yang ada
dalam
wilayahnya.
Salah satu urusan pemerintahan yang diatur dan
dikelolah
oleh
daerah
adalah
bidang
pendidikan,
sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang
disebutkan
Pemerintah Daerah pasal 14 ayat 1
bahwa
Penyelenggaraan
Pendidikan
merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan
Pemerintah
pendidikan
merupakan
mendapat
perhatian
Kabupaten/Kota.
sektor
secara
yang
Maka
utama
kusus
dan
dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kemudian
Peraturan
Pemerintah
Nomor
38
Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang
menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan
urusan
pilihan.
Urusan
wajib
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
15
pemerintahan
yang
wajib
pemerintahan
daerah
diselenggarakan
provinsi
dan
oleh
pemerintahan
daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar. Salah
satu
bidang yang berkaitan
dengan
pelayanan dasar adalah bidang pendidikan. (Pasal 7
ayat 1 dan 2 PP No 38 Tahun 2007).
Dalam
bidang
pendidikan
Pemerintah
kabupaten/kota
wajib
mengalokasikan
kurangnya 20%
APBD untuk memenuhi anggaran
pendidikan.
Kebijakan
ini
pendidikan
nasional
di
bersangkutan
dapat
dilakukan
sekurang-
agar
sistem
kabupaten/kota
yang
dilaksanakan
secara
efektif,
afesien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah
dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu agar system pendidikan nasional
dapat berjalan dengan baik di daerah, maka penting
bagi pemerintah dalam pemenuhan segala kebutuhan
yang
mendukung
keberhasilan
penyelenggaraan
pendidikan itu sendiri, salah satunya harus didukung
dengan ketersedian tenaga pendidik yang memadai.
Yang
diperjelas
dalam
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
41
ayat
Pemerintah
3
ditegaskan
Daerah
bahwa,
wajib
Pemerintah
memfasilitasi
dan
satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan
yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
16
Proses desentralisasi di Indonesia dimulai pada
tahun 1999, selain mempengaruhi semua proses aspek
penyelenggaraan
maupun
pelaksanaan
pendidikan,
tidak terkecuali juga mempengaruhi reformasi guru
sebagai bagian dari proses ini, sebagian besar tanggung
jawab
yang
terkait
dengan
pengangkatan
dan
penempatan guru dialihkan dari tingkat nasional ke
tingkat kabupaten/kota.
Badan-badan
pemerintah
pusat
seperti
Kemendiknas, MENPAN, dan BKN tetap memainkan
peran dalam pengangkatan guru pegawai negeri sipil
dan
manajemen
tanggung
guru.
jawab
Namun
dan
sebagian
kewenangan
besar
menegenai
pengangkatan dan penempatan guru pegawai negeri
sipil telah beralih ke tingkat kabupaten/kota.
Dalam pengangkatan serta penempatan guru
dapat dilaksanakan
kabupaten/kota,
dengan
Pemeritah
baik
oleh
pemerintah
menetapkan
kebijakan
teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS,
melalaui
Peraturan
Pendayagunaan
Bersama
Aparatur
Negara
Menteri
dan
Negara
Reformasi
Birokrasi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor
05/X/PB/2011,
Tahun
2011,
SPB/03/M.PAN-RB/10/2011,
158/PMK.01/2011,
11
Tahun
48
2011
tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri
17
Sipil. Dan yang sudah efektif dilaksanakan tanggal 2
januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa:
a. Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan
dan
pemerataan
pendidikan,
PNS
antarjenjang,
pendidikan
Menteri
guru
secara
dan
nasional
Pendidikan
antarsatuan
Nasional.
antarjenis
ditetapkan
oleh
Demikian
juga
Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan
dan memfasilitasi pemindahan untuk penataan
dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang
berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN). Dalam memfasilitasi
penataan dan pemerataan guru PNS di daerah dan
kabupaten/kota,
Menteri
Pendidikan
Nasional
berkoordinasi dengan Menteri Agama.
b. Menteri
Agama
berkewajiban
membuat
perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS
antarsatuan
antarjenis
pendidikan,
pendidikan
antarjenjang,
yang
menjadi
dan
tanggung
jawabnya.
c. Menteri
Dalam
mendukung
Negeri
berkewajiban
pemerintah
daerah
untuk
dalam
hal
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan,
antarjenjang,
dan
antarjenis
pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis
yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional
serta
memasukkan
unsur
18
penataan
dan
pemerataan guru PNS ini sebagai bagian penilaian
kinerja pemerintah daerah.
d. Menteri
Keuangan
berkewajiban
untuk
mendukung penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan
antarjenis
pendidikan,
pendidikan
antarjenjang,
sebagai
bagian
dan
dari
kebijakan penataan PNS secara nasional melalui
aspek pendanaan di bidang pendidikan sesuai
dengan kemampuan keuangan negara.
e. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi mendukung penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang, dan antarjenis pendidikan melalui
penetapan formasi guru PNS.
f. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya membuat perencanaan penataan
dan
pemerataan
pendidikan,
guru
antarjenjang,
PNS
dan
antarsatuan
antarjenis
pendidikan yang menjadi tanggung jawab masingmasing.
Untuk itu dalam penataan penempatan guru
dapat
dijalankan
secara
baik,
pemerintah
kabupaten/kota memiliki tugas seperti yang tercantum
dalam Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun
2011 Tentang Penataan dan Pemerataan guru PNS
adalah sebagai berikut:
19
1. Menyusun
produk
hukum
dalam
bentuk
peraturan bupati/walikota atau produk
hukum
lainnya terkait penataan dan pemerataan guru PNS
yang merujuk pada Peraturan Bersama;
2. Sosialisasi program penataan
dan
pemerataan
guru PNS diwilayah kabupaten/kota;
3. Verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru
TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di setiap satuan
pendidikan di wilayah kabupaten/kota;
4. Penyediaan Peta Guru yang menginformasikan
tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS
di
wilayah
kabupaten/kota
dengan
tembusan
disampaikan kepada Badan Kepegawaian Daerah
(BKD);
5. Pemindahan guru PNS antarsatuan pendidikan;
6. Penyediaan
dana
antarsatuan
pemindahan
pendidikan
guru
di
PNS
wilayah
kabupaten/kota;
Selanjutnya dalam penataan dan pemerataan guru
PNS pada sekolah dasar, di dalam Surat Keputusan
Bersama
(SKB)
5
Menteri,
disebutkan
untuk
kebutuhan guru SD/MI sebagai berikut :
1) Setiap
rombel
terdiri
dari
20-32
siswa
yang
dan
guru
diampu oleh 1 (satu) orang guru kelas.
2) Harus
menyediakan
guru
agama
pendidikan jasmani dan kesehatan.
20
3) Wajib
mengajar
bagi
guru
agama
dan
guru
pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes)
yang digunakan dalam perhitungan 24 jam tatap
muka perminggu.
4) Menyediakan guru agama sesuai dengan ragam
jenis agama yang dianut peserta didik.
5) Apabila
terdapat
anak
berkebutuhan
khusus
dan/atau SD tersebut menyelenggarakan program
pendidikan
inklusi,
menyediakan
maka
minimal
SD
satu
tersebut
guru
harus
pendidikan
khusus per enam rombel, dengan perhitungan jam
setara dengan guru kelas.
Pemberian wewenang mengenai penataan dan
pemerataan guru pegawai negeri sipil (PNS)
oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui SKB 5
Menteri, ini sejalan dengan pendapat Mashuri (2009)
yang mengatakan otonomi pendidikan
pada dasarnya
adalah upaya Pemerintah Pusat untuk memberdayakan
daerah melalui pemberian kewenangan penuh kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan
pendidikan
bagi
masyarakatnya sesuai dengan kekhasan, kesanggupan,
dan kebutuhan daerah. Alasannya ialah Pemerintah
Daerahlah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan
pembangunan di
wilayahnya.
Dalam konteks inilah sangat diperlukan perangkat
hukum
dan
penguatan
kebijakan
yang
dan mengaspirasi
21
mampu
memberikan
segala
kepentingan
daerah
dalam
pendidikannya
menyelenggarakan
termasuk
dalam
otonomi
pengelolaan
penempatan guru yang merata.
Kebijakan penataan serta pemerataan guru PNS
melalui
SKB
5
Menteri,
kebijakan
desentralisasi
pemerintah
daerah
merupakan
salah
pendidikan
diberikan
satu
dimana
kewenangan
dalam
mengatur segala kebutuhan guru di wilayahnya. Chan
&
Sam
(2005)
mungkin
mengemukakan
timbul
desentralisasi
dalam
pendidikan
kelemahan
implemetasi
melalui
yang
kebijakan
Undang-Undang
Otonomi Daerah adalah:
1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil
2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD),
khususnya daerah-daerah termisikin
3. Mental
korup
yang
telah
membudaya
dan
mendarah daging
4. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus
5. Dijadikan komoditas
6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan
cukup
merepotkan
Depdiknas
dalam
mengalokasikannya.
Jika daerah ingin mengembangkan pendidikan
secara profesional dalam hal ini penataan tenaga
pendidik,
ciri-ciri
profesionalisme
berikut
perlu
diindahkan, agar dunia pendidikan di daerah otonom
tidak diisi dan dikelola oleh orang-orang yang tidak
22
paham tentang subtansi dan hakikat proses pendidikan
itu sendiri. Menurut Houle (1980 dalam Hamid &
Malian 2005) Ciri-ciri profesionalisme bagi pengelola
pendidikan yang dimaksud meliputi:
1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat
2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual
3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi
4) Ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar
sejawat
5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi
6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik)
7) Memiliki sistem sanksi profesi
8) Adanya militansi individual
9) Memiliki organisasi profesi
Analisa bank dunia (dalam Worldbank document,
2011) tentang pengangkatan dan penempatan guru
dilaksanakan dengan dukungan program pendidikan
dari pemerintah kerajaan Belanda (Dutch Education
Support Program) menegaskan bahwa kelebihan suplai
guru dan penempatan yang tidak merata adalah salah
satu sumber kurang efesiennya sektor pendidikan.
Selain sangat mahal, daerah yang kelebihan suplai
harus berjuang mengatasi rendahnya kehadiran guru,
sementara daerah yang kekurangan guru kelabakan
menggabungkan kelas atau menjalankan dua giliran
kelas (shift) untuk mengatasi kekurangan guru. Solusi
pemerintah
pada
masalah
23
tersebut mengharuskan
setiap guru untuk mencatatkan 24 jam mengajar setiap
minggu
agar berhak dapat memperoleh tunjangan
profesi.
Berdasarkan catatan lembaga penelitian SMERU
(2008
dalam
dampak
Worldbank
kebijakan
Document
yang
diluncurkan
2011)
tahun
bahwa
2007
tersebut adalah berkurangnya angka absen guru dari
20,1 pada tahun 2003 menjadi 14,8 persen. Kebijakan
ini juga membuat pemerintah kabupaten/kota lebih
memperhatikan penempatan guru di berbagi sekolah.
Suparlan
(2005)
menjelaskan
status
guru
mempunyai implikasi terhadap peran dan fungsi yang
menjadi tanggung jawabnya. Guru memiliki kesatuan
peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara
kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan
melatih. Keempat kemampuan tersebut merupakan
kemampuan integratif, antara yang satu dengan yang
lain tidak dapat dipisahkan.
Selanjutnya Danim (2011)
juga menjelaskan
guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan
tugas
utama
mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal. Tugas utama itu
akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas
tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran,
kecakapan, atau ketrampilan yang memenuhi standar
mutu atau norma etik tertentu.
24
Lebih jelasnya dalam UU No. 14 Tahun 2005
Tentag Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1 disebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama
mendidik,
mengarahkan,
melatih,
mengajar,
membimbing,
menilai,
mengevaluasi
dan
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Wrightman
mengemukakan
dalam
(1997
peran
guru
Usman
adalah
2005)
terciptanya
serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang
dilakukan
dalam
suatu
situasi
tertentu
serta
berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkalaku
dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Hamalik
(2006),
masalah
guru
merupakan
masalah yang senantiasa mendapat perhatian, baik
oleh
pemerintah
maupun
oleh
masyarakat
pada
umumnya dan ahli pendidikan khususnya. Pemerintah
memandang
bahwa
guru
merupakan
media
yang
sangat penting dalam mengemban tugas-tugas sosial
budaya yang berfungsi mempersiapkan generasi muda,
sesuai dengan cita-cita bangsa.
Dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional
yang diharapkan keberadaan serta peran seorang guru
sangatlah penting, namun secara umum guru yang
tersebar di Indonesia sangat tidak merata. Kurang lebih
55 % (persen) dari sekolah memiliki kelebihan guru,
25
sementara 34 % (persen) kekurangan. Sebagian besar
sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah
pedesaan,
mengalami
kelebihan
jumlah
guru,
sementara 66 % (persen) sekolah di daerah terpencil
mengalami
kekurangan tenaga guru yang serius.
Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif
finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah
terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi
hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan
jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan
yang baik, yang idealnya dilaksanakan oleh masyarakat
setempat (Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Chan & Sam (2005) menjelaskan bahwa masalah
kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan
hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini
memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat
dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang
sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah
pemerataan guru.
Guru akan tersebar dengan lebih merata bila
formula
penempatan
yang
digunakan
mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah.
untuk
Saat ini,
tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru
berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid
per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika
jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid,
dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang
26
lebih
kecil.
Reformasi
ini
bisa
dibarengi
dengan
memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal
kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru
(Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Selanjutya secara umum keberadaan
guru di
Indonesia sangatlah beragam, Worldbank Document
(2011) mengememukan komposisi dan karakter tenaga
kerja kependidikan di Indonesia dari segi gender, usia,
tingkat pendidikan, remunerasi, beban kerja, rasio
murid-guru, dan faktor-faktor lain:
1. Gender:
Secara
tenaga
umum,
kependidikan
perimbangan
sangat
baik.
gender
Namun
sebagian besar kepala sekolah adalah laki-laki.
Begitu
pula,
guru
perempuan
lebih
banyak
tersebar di wilayah perkotaan, sedangkan guru
laki-laki lebih banyak di wilayah-wilayah terpencil.
2. Usia: Usia sebagian besar guru berkisar antara 35
dan
50
tahun.
Fakta
ini
adalah
akibat
pengembangan sekolah dasar besar-besaran yang
terjadi selama tahun 1980-an. Akibatnya, 30
persen guru pegawai negeri sipil ini akan pensiun
dalam 10 tahun. Keniscayaan ini memberikan
sebuah kesempatan unik bagi penataan ulang
tenaga kerja kependidikan.
3. Tingkat
pendidikan:
Tingkat
pencapaian
pendidikan guru secara umum sangat rendah,
hanya 37 persen yang bergelar sarjana S1 atau
27
DIV. Dengan persyaratan baru untuk sertifikasi,
proporsi
guru
yang
bergelar
S1/D-IV
akan
meningkat 5 persen per tahun seiring dengan
masuknya guru-guru baru yang lebih terdidik dan
yang telah meningkatkan kemampuan ke dalam
sistem.
4. Sekolah
swasta:
Sekitar
48
persen
sekolah
dikelola swasta; institutsi-institusi ini melayani 31
persen murid dan mempekerjakan 38 persen dari
keseluruhan guru. Oleh karena itu sekolah swasta
memainkan
peran
pendidikan
nasional.
hubungan
penting
dalam
Pemerintah
yang unik dengan
sistem
memiliki
sekolah-sekolah
swasta dan menempatkan guru pegawai negeri
sipil untuk bekerja di sana. Pemerintah juga
memberikan tunjangan fungsional bagi seluruh
guru
sekolah
swasta,
yang
juga
berhak
mendapatkan tunjangan sertifikasi. Oleh karena
itu manajemen guru sekolah swasta merupakan
bahan
pertimbangan
dalam
reformasi
sistem
pendidikan di negeri ini.
5. Remunerasi: Secara historis gaji guru selalu kecil.
Namun kenaikan gaji pegawai negeri sipil selama
empat tahun terakhir adalah 17 persen setiap
tahun. Sebagai tambahan, perubahan-perubahan
baru-baru
ini
telah
memberikan
tunjangan
fungsional bagi semua guru (setara 10 persen gaji
28
dasar
pegawai
negeri
tunjangan baru
sipil)
dan
tambahan
yang dapat melipatgandakan,
bahkan sampai tiga kali lipat gaji dasar guru,
untuk
beberapa
situasi
tertentu.
Dengan
peningkatan ini, gaji guru menjadi semakin baik
dan profesi pengajar menjadi semakin menarik.
6. Beban kerja: Beban kerja guru pada umumnya
sangat
rendah,
khususnya
pada
sekolah
menengah, di mana hanya 20 persen guru saja
yang memenuhi ketentuan baru sertifikasi yang
mewajibkan guru mengajar minimum 24 jam per
minggu.
7. Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio, STR):
STR di sekolah-sekolah
Indonesia
jauh
lebih
rendah dibanding negara-negara lain. Tren terus
menurunnya
rasio
ini
memunculkan
kekhawatiran akan efisiensi sistem pendidikan.
8. Penyebaran: Bertolakbelakang dengan pandangan
umum, sekolah-sekolah di pedesaan umumnya
tidak kekurangan guru. Yang sering terjadi adalah
kekurangan guru
yang berkualifikasi. Tingkat
pendidikan lebih dari 30 persen guru di sekolahsekolah
kecil
di
pedesaan
hanya
sekolah
menengah saja atau lebih rendah lagi.
9. Proses pengangkatan: Proses ini berbeda-beda
tergantung dari jenis guru. Pada prosedur yang
berlaku
sekarang,
kabupaten/kota
29
yang
mengangkat guru, namun pemerintah pusat yang
menggaji. Hal ini menciptakan insentif yang buruk
bagi kabupaten/kota
untuk
terus
menambah
jumlah guru pegawai negeri sipil mereka. Jumlah
pengangkatan yang tinggi sejak desentralisasi
pendidikan
sekolah,
terjadi
sebagian
pada
guru
karena
yang
dana
diangkat
Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan ke
sekolah
diperbolehkan
untuk
membiayai
hal
tersebut.
Dengan dibuatkannya petunjuk teknis mengenai
penataan
dan
pemerataan
guru
melalui
surat
keputusan bersama (SKB) 5 menteri, yang didalamnya
menjelaskan proses pelaksanaan penempatan guru
yang merata pada setiap jenjang pendidikan, sangat
penting bagi pelaksana kebijakan di daerah untuk
menindaklanjuti kewenangan yang diberikan dengan
baik sehingga penempatan guru pada setiap jenjang
pendidikan dapat merata sesuai kebutuhan.
Agar penempatan guru dapat dilaksanakan secara
merata dan sesuai kebutuhan, pemerintah daerah
perlu untuk memilih orang-orang yang mempunyai
kepedulian
memiliki
yang tinggi terhadap
kemampuan
dalam
pendidikan
proses
serta
pengelolaan
pendidikan. Dan juga pemerintah selaku pembuat
kebijakan penting untuk melaksanakan pengawasan
secara baik, sehingga dalam penempatan guru benar30
benar
dilaksanakan
secara
baik
tanpa
adanya
kepentingan tertentu diluar urusan pendidikan.
2.3 Implementasi Kebijakan
2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang
krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program
kebijakan harus diimplemetasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi
kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan
segera setelah penetapan undang-undang (Winarno,
2012).
Kemudian,
implementasi
Wahab
(2012)
kebijakan
menganggap
sebagai
bentuk
pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas
yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan
menjadi
kesepakatan
bersama
diantara
beragam
pemangku kepentingan (stakeholder), actor, organisasi
(public atau
privat), prosedur, dan
teknik secara
sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna
menerapkan
kebijakan
kearah
tertentu
yang
dikehendaki.
Sementara itu, Grindle (1980 dalam Winarno
2012)
mengatakan
bahwa
secara
umum,
tugas
implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage)
yang
memudahkan
tujuan-tujuan
kebijakan
bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah. Selanjutnya van Meter dan van Horn
31
membatasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan
oleh
individu-individu
(atau
kelompok-
kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Ripley & Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi
setelah
undang-undang
ditetapkan
yang
diberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
(benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible
output). Implementasi mencangkup tindakan-tindakan
(tanpa
tindakan-tindakan)
oleh
berbagai
aktor,
khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk
membuat program berjalan.
Hal ini senada dengan pendapat Van Meter dan
Van Hom (1975 dalam Wahab 2012) yang merumuskan
proses implementasi sebagai “those actions by public or
private individuals (or group) that are directed at the
achievement of objective set fort in prior policy decision”
(tindakan-tindakan
yang
dilakukan
indivual/pejabat-pejabat atau
baik
oleh
kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuantujuan
yang
telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijakan).
Selajutnya Sabatier dan Mazmanian (1986 dalam
Amtu
2011)
merupakan
menyatakan;
fungsi
dari
implementasi
tiga
32
variable
kebijakan
yaitu:
1)
karakteristik masalah; 2)struktur manajemen program
yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang
mengoperasikan kebijakan; dan 3) factor-faktor diluar
peraturan.
Nugroho
(2009)
implementasi
kebijakan
pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai
tujuannya.
Untuk
mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau
turunan dari kebijakan publik tersebut.
1.3.2 Model Implementasi Kebijakan (George
C. Edwards III)
Menurut
Edwards
III,
studi
implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administration dan
public policy . Implementasi kebijakan adalah salah satu
tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan
dan
konsekuensi-konsekuensi
kebijakan
bagi
masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari
kebijakan,
maka
kebijakan
mengalami
kegagalan
itu
sekalipun
mungkin
kebijakan
akan
itu
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu,
suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan baik,
mungkin
juga
akan
mengalami
33
kegagalan,
jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
Edwards
III, membicarakan faktor-faktor atau
variabel krusial dalam implementasi kebijakan adalah
komunikasi,
sumber-sumber,
kecendrungan
atau
kecendrungan-
tingkahlaku–tingkahlaku
dan
struktur birokrasi.
a) Komunikasi
Secara
umum Edwards
membahas
tiga
hal
penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni
transmisi,
konsistensi,
Menurut
Edwards,
dan
(clarity ).
kejelasan
persyaratan
pertama
bagi
implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka
yang
mengetahui
apa
melakukan
yang
keputusan
harus
mereka
harus
lakukan.
Keputusan-keputsan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum
keputusan-keputusan
dan
perintah-perintah
itu
dapat diikuti.
T ransmi si . Faktor pertama yang berpengaruh
terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi.
Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan,
ia
harus
menyadari
bahwa
suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya
telah
dikeluarkan. Hal ini tidak
selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana
nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan34
keputusan
tersebut
diabaikan
atau
jika
tidak
demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap
keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Kejel asan. Faktor kedua yang dikemukakan
Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan
diimplementasikan
sebagaimana
yang
diinginkan,
maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya
harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi
komunikasi kebijakan tersebut harus jelas, seringkali
intruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksanapelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan
bagaimana
suatu
program
dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan
berkenaan
dengan
implementasi
kebijakan
akan
mendorong terjadi interpretasi yang salah bahkan
mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.
Konsi st ensi . Jika implementasi kebijakan ingin
berlangsung
efektif,
maka
perintah-perintah
pelaksana harus konsisten dan jelas. Di sisi yang lain,
perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil
tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi,
maka
akan
berakibat
pada
ketidak
efektifan
implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat
longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan
untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.
35
b) Sumber-sumber
Perintah-perintah
implementasi
mungkin
diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi
jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,
maka implementasi inipun cenderung tidak efektif.
Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan
fasilitas-fasilitas
menerjemahkan
yang
usul-usul
diperlukan
di
atas
untuk
kertas
guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
St af.
Sumber
yang
paling
penting
dalam
melaksanakan kebijakan adalah staf. Namun jumlah
staf
tidak
selalu
mempunyai
efek
positif
bagi
implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah
staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong
implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai
pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain
kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan
yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang
efektif. Implementasi yang cenderung tidak efisien,
lebih pada kurangnya kualitas sumber daya dan
rendahnya motivasi para pegawai.
Infor masi .
Informasi
merupakan
sumber
penting yang kedua dalam implementasi kebijakan.
36
Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi
mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan.
Pelaksana-pelaksana
dilakukan
dan
perlu
mengetahui
bagaimana
apa
mereka
yang
harus
melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah
data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap
peraturan-peraturan
pemerintah.
Pelaksana-
pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain
yang
dilibatkan
dalam
pelaksanaan
kebijakan
mentaati undang-undang atau tidak.
Wewenang. Sumber lain yang pentig dalam
pelaksanaan
implementasi
adalah
wewenang.
Wewenang akan berbeda-beda dari satu program
keprogram yang lain serta mempunyai banyak bentuk
yang berbeda. Terdapat banyak pembatasan pada
penggunaan
wewenang
yang
efektif.
Sekalipun
demikian, sanksi-sanksi dapat memainkan peranan
yang penting dalam pelaksanaan kebijakan.
Fasi l i t as. Fasilitas fisik bisa pula merupakan
sumber-sumber pentig dalam implementasi. Seorang
pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan
mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan
tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor
untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan,
tanpa
pembekalan,
maka
besar
kemungkinan
implementasi yang direcanakan tidak akan berhasil.
37
c) Kecendrungan-kecendrungan
Kecendrungan dari para pelaksana kebijakan
merupakan
factor
ketiga
yang
mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap
baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan
kebijakan
diinginkan
oleh
para
Demikian
pula
sebagaimana
pembuat
sebaliknya
keputusan
bila
yang
awal.
tingkahlaku-
tingkahlaku atau prespektif-prespektif para pelaksana
berbeda dengan para pembuat keputusan, maka
proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin
sulit (Winarno, 2012)
Dampak
dari
kecendrungan-kecendrungan.
Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk ke dalam
“zona
ketidakacuhan”.
dilaksanakan
secara
Ada
efektif
kebijakan
karena
yang
mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertantangan
secara
langsung
dengan
pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Pengangkatan
birokrat.
Kecendrungan-
kecendrungan pelaksana menimbulkan hambatanhambatan
yang
nyata
terhadap
implementasi
kebijakan. Menurut Edwards, salah satu teknik yang
38
disarankan
untuk
mengatasi
kecendrungan
para
pelaksana adalah dengan memanupulasi insentifinsentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak
menurut
kepentingan
mereka
sendiri,
maka
memanupulasi insentif-insentif oleh para pembentuk
kebijakan tingkat besar kemungkinan mempengaruhi
tindakan-tindakan
para
pelaksana-pelaksana
kebijakan.
d) Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka
memecahkan
masalah-masalah sosial dalam kehidupan moderen.
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian
organisasi
birokrasi
yang
implementasi publik.
inefektivitas
kurangnya
menjadi
Di Indonesia
impelementasi
koordinasi
lembaga-lembaga
dan
Negara
penyelenggara
sering
terjadi
kebijakan
karena
kerjasama
diantara
dan/atau
pemerintahan
(Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap
birokrasi di Amerika Serikat, mengidentifikasi enam
karakteristik birokrasi, yakni:
39
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument
sosial
menangani
yang
ditujukan
masalah-masalah
untuk
yang
didefinisikan sebagai urusan publik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
dalam pelaksanaan program kebijakan, yang
tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk
masing-masing tahap.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan
yang luas dan kompleks
5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan
hidup tidak perlu dipertanyakan lagi
6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang
netral
dalam
pilihan-pilihan
kebijakan
mereka, tidak juga secara penuh dikontrol
oleh kekuatan kekuatan yang berasal di luar
dirinya.
Selanjutnya
menurut
Edwards,
ada
dua
karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedurprosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering
disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP)
dan fragmentasi. SOP merupakan salah satu dari
aspek-aspek
struktural
organisasi.
Dengan
paling
dasar
menggunakan
dari
suatu
SOP,
para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yag tersedia.
40
Selain
itu,
tindakan
SOP
dari
juga
para
menyeragamkan
pejabat
dalam
tindakanorganisasi-
organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang
pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang
besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari
suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang
besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Sifat
kedua
dari struktur
birokrasi yang berpengaruh
dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi
organisasi. Fragmentasi mengakibatkan pandanganpandangan
yang
sempit
dari
banyak
lembaga
birokrasi.
Maka suatu kebijakan yang telah dibuat dan
dikeluarkan perlu untuk diimplementasikan secara
baik, agar tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai
dapat diselesaikan secara tepat. Demikian halnya
dalam kebijakan penempatan guru sangat penting
bagi para pembuat kebijakan melaksanakan atau
mengimplementasikannya
melihat
berbagai
factor
dengan
yang
baik.
Dengan
mempengaruhinya,
berdasarkan padangan Edwards III ada empat factor
atau
variable krusial yang
dapat mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan dalam hal ini
kebijakan penempatan guru, antara lain komunikasi,
sumber-sumber,
kecendrugan-kecendrungan
struktur birokrasi.
41
dan
Ke-empat
factor
ini
saling
mempengaruhi
sehingga dapat dikatakan apabila salah satu dari
factor yang dikemukakan Edwards III bermasalah
atau
tidak
mendukung
maka
akan
dapat
mempengaruhi kebehasilan implementasi kebijakan
itu sendiri, sehingga sangat dibutuhkan kerjasama
yang
baik
dari
birokrasi
yang
para
pelaksana
memiliki
kebijakan
kewenangan
atau
dalam
implementasi kebijakan penempatan guru.
2.4 Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Suranto tentang
Pengaruh
Implementasi
Kebijakan
Pembagian
Kewenangan Bidang Pendidikan Terhadap Kualitas
Pelayanan
Pendidikan
Dasar
(Studi
Di
Kota
Yogyakarta), Hasil penelitian menunjukkan dengan
mengacu model
Edward III (1980), implementasi
kebijakan
pembagian
pendidikan
di
kota
kewenangan
Yogyakarta
bidang
berpengaruh
signifikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan
dasar.
Sedangkan
secara
parsial,
dimensi
komunikasi, sumberdaya dan struktur birokras
berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan
pendidikan
dasar.
Sementara
disposisi
tidak
berpengaruh signifikan. Peneliti merekomendasikan
perlunya modifikasi model
Edward III (1980)
dengan mempersempit konsep disposisi terbatas
sebagai disposisi elite, serta perlunya penelitian
42
variabel bebas selain yang telah diteliti. Penelitian
ini juga merekomendasikan saran-saran praktis
bagi
Pemerintah
Kota
Yogyakarta
untuk
meningkatkan kinerjanya.
Dalam penelitian Suranto terlihat bahwa Factorfaktor
atau
Edwards
variabel
III
yang
memiliki
dikemukakan
pengaruh
yang
oleh
cukup
signifikan dalam keberhasilan suatu implementasi
kebijakan,
hanya
factor
disposisi
yang
tidak
berpengaruh signifikan, sehingga penting bagi para
pembuat
serta
pelaksana
kebijakan
untuk
memperhatikan factor-faktor seperti komunikasi,
sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi
dalam menjalankan program kebijakan.
43