Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur T2 942011070 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kebijakan Pendidikan
Dalam memahami apa itu kebijakan pendidikan,
maka penting untuk mengetahui pengertian kebijakan
publik itu

sendiri. George C. Edwards

III &

Ira

Sharkansky (1978 dalam Amtu 2011) mengemukakan
bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakakukan oleh pemerintah.
Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan
program-program pemerintah.
Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian
dari kebijakan publik, maka Olsen dkk (dalam Tilaar &
Nugroho, 2008) mengemukakan Kebijakan pendidikan

merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi,
bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga
kebijakan

pendidikan

perlu

mendapatkan

prioritas

utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen
utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai
demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah
demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Menurut Gaffar (2008), kebijakan pendidikan
berhubungan
berkaitan


dengan

dengan

keputusan-keputusan

perbaikan

dan

yang

penyempurnaan

penyelenggaraan pendidikan. Merujuk pada pendapat
Gaffar diatas maka perlu
12

bagi pemerintah selaku


pembuat kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan
pendidikan di daerah secara baik dan benar sehingga
tujuan yang ingin didapatkan dalam pendidikan dapat
tercapai.
Selanjutnya kebijakan pendidikan menurut Tilaar
(2006)

merupakan

keseluruhan

proses

dan

hasil

perumusan langkah-langkah startegis pendidikan yang
dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dalam rangka
mewujudkan tercapainya


tujuan pendidikan dalam

suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Maka penting bagi pemerintah dalam menentukan
langkah strategis kebijakan pendidikan dalam hal ini
penempatan guru yang merata pada setiap tingkat
satuan

pendidikan agar

kualitas

sumber daya

manusia (SDM) yang baik dapat diperoleh oleh setiap
anak bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
yang ingin dicapai.
Kemudian Hamid & Malian (2005) mengatakan
keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan


masa

depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan
pemerintah

daerah

dalam

memperbaiki

dan

memperbaharui proses dan hasil pembangunan sektor
pendidikan saat ini.
Selanjutnya, Fattah (2012) lebih menekankan
fungsi sebuah kebijakan dalam pendidikan, antara lain:
1) menyediakan akuntabilitas norma budaya yang
menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan, dan

13

2)

melembagakan

mekanisme

akuntabilitas

untuk

dijalankan

melalui

mengukur kinerja siswa dan guru.
Oleh

karena


pendidikan

gerakan otonomi daerah atau desentralisasi,
menurut pandangan Tilaar

maka

(2002 dalam Mashuri

2009), adalah menjadi suatu keharusan untuk segera
diimplementasikan
bentuk

dalam sistem

pertanggungjawaban

bernegara sebagai


Pemerintah

dalam

membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat
berprestasi
Sehingga

dan

peningkatan

dalam

konteks

daya

saing


kedaerahan,

bangsa.
otonomi

pendidikan harus dapat mengakomudir secara fleksibel
berbagai kebutuhan masyarakat di daerah, mampu
menciptakan masyarakat lokal yang berprestasi, dan
mampu meraih kemajuan daerah setempat melalui
suatu kebijakan pendidikan yang tepat.
Melihat bahwa kebijakan pendidikan dijalankan
dalam era otonomi daerah yang bertujuan untuk
mewujudkan berhasilnya tujuan pendidikan nasional
akan sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah
daerah

dalam

memperbaiki


keseluruhan

proses

pendidikan termasuk didalamnya penataan distribusi
guru.

14

2.2 Kebijakan Penempatan
Otonomi Daerah
Dengan lahirnya

Guru

di

Era

Undang Undang Nomor 22


Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, Pemerintah
telah memberikan sebagian kewenangan serta tugas
kepada

pemerintah

daerah

untuk

mengatur

dan

mengelola sistem pemerintahan di daerahnya senidiri,
dengan alasan bahwa daerahlah yang lebih memahami
setiap

masalah

maupun

potensi yang ada

dalam

wilayahnya.
Salah satu urusan pemerintahan yang diatur dan
dikelolah

oleh

daerah

adalah

bidang

pendidikan,

sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang
disebutkan

Pemerintah Daerah pasal 14 ayat 1
bahwa

Penyelenggaraan

Pendidikan

merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan

Pemerintah

pendidikan

merupakan

mendapat

perhatian

Kabupaten/Kota.
sektor
secara

yang

Maka

utama

kusus

dan
dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kemudian

Peraturan

Pemerintah

Nomor

38

Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang
menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan

urusan

pilihan.

Urusan

wajib

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
15

pemerintahan

yang

wajib

pemerintahan

daerah

diselenggarakan

provinsi

dan

oleh

pemerintahan

daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar. Salah

satu

bidang yang berkaitan

dengan

pelayanan dasar adalah bidang pendidikan. (Pasal 7
ayat 1 dan 2 PP No 38 Tahun 2007).
Dalam

bidang

pendidikan

Pemerintah

kabupaten/kota

wajib

mengalokasikan

kurangnya 20%

APBD untuk memenuhi anggaran

pendidikan.

Kebijakan

ini

pendidikan

nasional

di

bersangkutan

dapat

dilakukan

sekurang-

agar

sistem

kabupaten/kota

yang

dilaksanakan

secara

efektif,

afesien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah
dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu agar system pendidikan nasional
dapat berjalan dengan baik di daerah, maka penting
bagi pemerintah dalam pemenuhan segala kebutuhan
yang

mendukung

keberhasilan

penyelenggaraan

pendidikan itu sendiri, salah satunya harus didukung
dengan ketersedian tenaga pendidik yang memadai.
Yang

diperjelas

dalam

Undang-Undang

Nomor

20

Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
41

ayat

Pemerintah

3

ditegaskan
Daerah

bahwa,

wajib

Pemerintah

memfasilitasi

dan

satuan

pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan
yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
16

Proses desentralisasi di Indonesia dimulai pada
tahun 1999, selain mempengaruhi semua proses aspek
penyelenggaraan

maupun

pelaksanaan

pendidikan,

tidak terkecuali juga mempengaruhi reformasi guru
sebagai bagian dari proses ini, sebagian besar tanggung
jawab

yang

terkait

dengan

pengangkatan

dan

penempatan guru dialihkan dari tingkat nasional ke
tingkat kabupaten/kota.
Badan-badan

pemerintah

pusat

seperti

Kemendiknas, MENPAN, dan BKN tetap memainkan
peran dalam pengangkatan guru pegawai negeri sipil
dan

manajemen

tanggung

guru.

jawab

Namun

dan

sebagian

kewenangan

besar

menegenai

pengangkatan dan penempatan guru pegawai negeri
sipil telah beralih ke tingkat kabupaten/kota.
Dalam pengangkatan serta penempatan guru
dapat dilaksanakan
kabupaten/kota,

dengan

Pemeritah

baik

oleh

pemerintah

menetapkan

kebijakan

teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS,
melalaui

Peraturan

Pendayagunaan

Bersama

Aparatur

Negara

Menteri
dan

Negara
Reformasi

Birokrasi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor
05/X/PB/2011,
Tahun

2011,

SPB/03/M.PAN-RB/10/2011,
158/PMK.01/2011,

11

Tahun

48
2011

tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri

17

Sipil. Dan yang sudah efektif dilaksanakan tanggal 2
januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa:
a. Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan
dan

pemerataan

pendidikan,

PNS

antarjenjang,

pendidikan
Menteri

guru

secara

dan

nasional

Pendidikan

antarsatuan

Nasional.

antarjenis

ditetapkan

oleh

Demikian

juga

Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan
dan memfasilitasi pemindahan untuk penataan
dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang
berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN). Dalam memfasilitasi
penataan dan pemerataan guru PNS di daerah dan
kabupaten/kota,

Menteri

Pendidikan

Nasional

berkoordinasi dengan Menteri Agama.
b. Menteri

Agama

berkewajiban

membuat

perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS
antarsatuan
antarjenis

pendidikan,

pendidikan

antarjenjang,

yang

menjadi

dan

tanggung

jawabnya.
c. Menteri

Dalam

mendukung

Negeri

berkewajiban

pemerintah

daerah

untuk

dalam

hal

penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan,

antarjenjang,

dan

antarjenis

pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis
yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional
serta

memasukkan

unsur
18

penataan

dan

pemerataan guru PNS ini sebagai bagian penilaian
kinerja pemerintah daerah.
d. Menteri

Keuangan

berkewajiban

untuk

mendukung penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan
antarjenis

pendidikan,
pendidikan

antarjenjang,

sebagai

bagian

dan
dari

kebijakan penataan PNS secara nasional melalui
aspek pendanaan di bidang pendidikan sesuai
dengan kemampuan keuangan negara.
e. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi mendukung penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang, dan antarjenis pendidikan melalui
penetapan formasi guru PNS.
f. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya membuat perencanaan penataan
dan

pemerataan

pendidikan,

guru

antarjenjang,

PNS
dan

antarsatuan
antarjenis

pendidikan yang menjadi tanggung jawab masingmasing.
Untuk itu dalam penataan penempatan guru
dapat

dijalankan

secara

baik,

pemerintah

kabupaten/kota memiliki tugas seperti yang tercantum
dalam Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun
2011 Tentang Penataan dan Pemerataan guru PNS
adalah sebagai berikut:

19

1. Menyusun

produk

hukum

dalam

bentuk

peraturan bupati/walikota atau produk

hukum

lainnya terkait penataan dan pemerataan guru PNS
yang merujuk pada Peraturan Bersama;
2. Sosialisasi program penataan

dan

pemerataan

guru PNS diwilayah kabupaten/kota;
3. Verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru
TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di setiap satuan
pendidikan di wilayah kabupaten/kota;
4. Penyediaan Peta Guru yang menginformasikan
tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS
di

wilayah

kabupaten/kota

dengan

tembusan

disampaikan kepada Badan Kepegawaian Daerah
(BKD);
5. Pemindahan guru PNS antarsatuan pendidikan;
6. Penyediaan

dana

antarsatuan

pemindahan

pendidikan

guru
di

PNS
wilayah

kabupaten/kota;
Selanjutnya dalam penataan dan pemerataan guru
PNS pada sekolah dasar, di dalam Surat Keputusan
Bersama

(SKB)

5

Menteri,

disebutkan

untuk

kebutuhan guru SD/MI sebagai berikut :
1) Setiap

rombel

terdiri

dari

20-32

siswa

yang

dan

guru

diampu oleh 1 (satu) orang guru kelas.
2) Harus

menyediakan

guru

agama

pendidikan jasmani dan kesehatan.

20

3) Wajib

mengajar

bagi

guru

agama

dan

guru

pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes)
yang digunakan dalam perhitungan 24 jam tatap
muka perminggu.
4) Menyediakan guru agama sesuai dengan ragam
jenis agama yang dianut peserta didik.
5) Apabila

terdapat

anak

berkebutuhan

khusus

dan/atau SD tersebut menyelenggarakan program
pendidikan

inklusi,

menyediakan

maka

minimal

SD

satu

tersebut

guru

harus

pendidikan

khusus per enam rombel, dengan perhitungan jam
setara dengan guru kelas.
Pemberian wewenang mengenai penataan dan
pemerataan guru pegawai negeri sipil (PNS)

oleh

pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui SKB 5
Menteri, ini sejalan dengan pendapat Mashuri (2009)
yang mengatakan otonomi pendidikan

pada dasarnya

adalah upaya Pemerintah Pusat untuk memberdayakan
daerah melalui pemberian kewenangan penuh kepada
daerah

untuk

menyelenggarakan

pendidikan

bagi

masyarakatnya sesuai dengan kekhasan, kesanggupan,
dan kebutuhan daerah. Alasannya ialah Pemerintah
Daerahlah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan

pembangunan di

wilayahnya.

Dalam konteks inilah sangat diperlukan perangkat
hukum

dan

penguatan

kebijakan

yang

dan mengaspirasi
21

mampu

memberikan

segala

kepentingan

daerah

dalam

pendidikannya

menyelenggarakan
termasuk

dalam

otonomi
pengelolaan

penempatan guru yang merata.
Kebijakan penataan serta pemerataan guru PNS
melalui

SKB

5

Menteri,

kebijakan

desentralisasi

pemerintah

daerah

merupakan

salah

pendidikan

diberikan

satu

dimana

kewenangan

dalam

mengatur segala kebutuhan guru di wilayahnya. Chan
&

Sam

(2005)

mungkin

mengemukakan

timbul

desentralisasi

dalam

pendidikan

kelemahan

implemetasi
melalui

yang

kebijakan

Undang-Undang

Otonomi Daerah adalah:
1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil
2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD),
khususnya daerah-daerah termisikin
3. Mental

korup

yang

telah

membudaya

dan

mendarah daging
4. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus
5. Dijadikan komoditas
6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan
cukup

merepotkan

Depdiknas

dalam

mengalokasikannya.
Jika daerah ingin mengembangkan pendidikan
secara profesional dalam hal ini penataan tenaga
pendidik,

ciri-ciri

profesionalisme

berikut

perlu

diindahkan, agar dunia pendidikan di daerah otonom
tidak diisi dan dikelola oleh orang-orang yang tidak
22

paham tentang subtansi dan hakikat proses pendidikan
itu sendiri. Menurut Houle (1980 dalam Hamid &
Malian 2005) Ciri-ciri profesionalisme bagi pengelola
pendidikan yang dimaksud meliputi:
1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat
2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual
3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi
4) Ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar
sejawat
5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi
6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik)
7) Memiliki sistem sanksi profesi
8) Adanya militansi individual
9) Memiliki organisasi profesi
Analisa bank dunia (dalam Worldbank document,
2011) tentang pengangkatan dan penempatan guru
dilaksanakan dengan dukungan program pendidikan
dari pemerintah kerajaan Belanda (Dutch Education
Support Program) menegaskan bahwa kelebihan suplai

guru dan penempatan yang tidak merata adalah salah
satu sumber kurang efesiennya sektor pendidikan.
Selain sangat mahal, daerah yang kelebihan suplai
harus berjuang mengatasi rendahnya kehadiran guru,
sementara daerah yang kekurangan guru kelabakan
menggabungkan kelas atau menjalankan dua giliran
kelas (shift) untuk mengatasi kekurangan guru. Solusi
pemerintah

pada

masalah
23

tersebut mengharuskan

setiap guru untuk mencatatkan 24 jam mengajar setiap
minggu

agar berhak dapat memperoleh tunjangan

profesi.
Berdasarkan catatan lembaga penelitian SMERU
(2008

dalam

dampak

Worldbank

kebijakan

Document

yang

diluncurkan

2011)
tahun

bahwa
2007

tersebut adalah berkurangnya angka absen guru dari
20,1 pada tahun 2003 menjadi 14,8 persen. Kebijakan
ini juga membuat pemerintah kabupaten/kota lebih
memperhatikan penempatan guru di berbagi sekolah.
Suparlan

(2005)

menjelaskan

status

guru

mempunyai implikasi terhadap peran dan fungsi yang
menjadi tanggung jawabnya. Guru memiliki kesatuan
peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara
kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan
melatih. Keempat kemampuan tersebut merupakan
kemampuan integratif, antara yang satu dengan yang
lain tidak dapat dipisahkan.
Selanjutnya Danim (2011)

juga menjelaskan

guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan
tugas

utama

mendidik,

mengajar,

membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal. Tugas utama itu
akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas
tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran,
kecakapan, atau ketrampilan yang memenuhi standar
mutu atau norma etik tertentu.
24

Lebih jelasnya dalam UU No. 14 Tahun 2005
Tentag Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1 disebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama

mendidik,

mengarahkan,

melatih,

mengajar,

membimbing,

menilai,

mengevaluasi

dan

peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Wrightman
mengemukakan

dalam

(1997
peran

guru

Usman

adalah

2005)

terciptanya

serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang
dilakukan

dalam

suatu

situasi

tertentu

serta

berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkalaku
dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Hamalik

(2006),

masalah

guru

merupakan

masalah yang senantiasa mendapat perhatian, baik
oleh

pemerintah

maupun

oleh

masyarakat

pada

umumnya dan ahli pendidikan khususnya. Pemerintah
memandang

bahwa

guru

merupakan

media

yang

sangat penting dalam mengemban tugas-tugas sosial
budaya yang berfungsi mempersiapkan generasi muda,
sesuai dengan cita-cita bangsa.
Dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional
yang diharapkan keberadaan serta peran seorang guru
sangatlah penting, namun secara umum guru yang
tersebar di Indonesia sangat tidak merata. Kurang lebih
55 % (persen) dari sekolah memiliki kelebihan guru,
25

sementara 34 % (persen) kekurangan. Sebagian besar
sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah
pedesaan,

mengalami

kelebihan

jumlah

guru,

sementara 66 % (persen) sekolah di daerah terpencil
mengalami

kekurangan tenaga guru yang serius.

Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif
finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah
terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi
hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan
jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan
yang baik, yang idealnya dilaksanakan oleh masyarakat
setempat (Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Chan & Sam (2005) menjelaskan bahwa masalah
kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan
hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini
memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat
dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang
sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah
pemerataan guru.
Guru akan tersebar dengan lebih merata bila
formula

penempatan

yang

digunakan

mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah.

untuk
Saat ini,

tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru
berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid
per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika
jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid,
dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang
26

lebih

kecil.

Reformasi

ini

bisa

dibarengi

dengan

memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal
kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru
(Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Selanjutya secara umum keberadaan

guru di

Indonesia sangatlah beragam, Worldbank Document
(2011) mengememukan komposisi dan karakter tenaga
kerja kependidikan di Indonesia dari segi gender, usia,
tingkat pendidikan, remunerasi, beban kerja, rasio
murid-guru, dan faktor-faktor lain:
1. Gender:

Secara

tenaga

umum,

kependidikan

perimbangan

sangat

baik.

gender
Namun

sebagian besar kepala sekolah adalah laki-laki.
Begitu

pula,

guru

perempuan

lebih

banyak

tersebar di wilayah perkotaan, sedangkan guru
laki-laki lebih banyak di wilayah-wilayah terpencil.
2. Usia: Usia sebagian besar guru berkisar antara 35
dan

50

tahun.

Fakta

ini

adalah

akibat

pengembangan sekolah dasar besar-besaran yang
terjadi selama tahun 1980-an. Akibatnya, 30
persen guru pegawai negeri sipil ini akan pensiun
dalam 10 tahun. Keniscayaan ini memberikan
sebuah kesempatan unik bagi penataan ulang
tenaga kerja kependidikan.
3. Tingkat

pendidikan:

Tingkat

pencapaian

pendidikan guru secara umum sangat rendah,
hanya 37 persen yang bergelar sarjana S1 atau
27

DIV. Dengan persyaratan baru untuk sertifikasi,
proporsi

guru

yang

bergelar

S1/D-IV

akan

meningkat 5 persen per tahun seiring dengan
masuknya guru-guru baru yang lebih terdidik dan
yang telah meningkatkan kemampuan ke dalam
sistem.
4. Sekolah

swasta:

Sekitar

48

persen

sekolah

dikelola swasta; institutsi-institusi ini melayani 31
persen murid dan mempekerjakan 38 persen dari
keseluruhan guru. Oleh karena itu sekolah swasta
memainkan

peran

pendidikan

nasional.

hubungan

penting

dalam

Pemerintah

yang unik dengan

sistem
memiliki

sekolah-sekolah

swasta dan menempatkan guru pegawai negeri
sipil untuk bekerja di sana. Pemerintah juga
memberikan tunjangan fungsional bagi seluruh
guru

sekolah

swasta,

yang

juga

berhak

mendapatkan tunjangan sertifikasi. Oleh karena
itu manajemen guru sekolah swasta merupakan
bahan

pertimbangan

dalam

reformasi

sistem

pendidikan di negeri ini.
5. Remunerasi: Secara historis gaji guru selalu kecil.
Namun kenaikan gaji pegawai negeri sipil selama
empat tahun terakhir adalah 17 persen setiap
tahun. Sebagai tambahan, perubahan-perubahan
baru-baru

ini

telah

memberikan

tunjangan

fungsional bagi semua guru (setara 10 persen gaji
28

dasar

pegawai

negeri

tunjangan baru

sipil)

dan

tambahan

yang dapat melipatgandakan,

bahkan sampai tiga kali lipat gaji dasar guru,
untuk

beberapa

situasi

tertentu.

Dengan

peningkatan ini, gaji guru menjadi semakin baik
dan profesi pengajar menjadi semakin menarik.
6. Beban kerja: Beban kerja guru pada umumnya
sangat

rendah,

khususnya

pada

sekolah

menengah, di mana hanya 20 persen guru saja
yang memenuhi ketentuan baru sertifikasi yang
mewajibkan guru mengajar minimum 24 jam per
minggu.
7. Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio, STR):
STR di sekolah-sekolah

Indonesia

jauh

lebih

rendah dibanding negara-negara lain. Tren terus
menurunnya

rasio

ini

memunculkan

kekhawatiran akan efisiensi sistem pendidikan.
8. Penyebaran: Bertolakbelakang dengan pandangan
umum, sekolah-sekolah di pedesaan umumnya
tidak kekurangan guru. Yang sering terjadi adalah
kekurangan guru

yang berkualifikasi. Tingkat

pendidikan lebih dari 30 persen guru di sekolahsekolah

kecil

di

pedesaan

hanya

sekolah

menengah saja atau lebih rendah lagi.
9. Proses pengangkatan: Proses ini berbeda-beda
tergantung dari jenis guru. Pada prosedur yang
berlaku

sekarang,

kabupaten/kota
29

yang

mengangkat guru, namun pemerintah pusat yang
menggaji. Hal ini menciptakan insentif yang buruk
bagi kabupaten/kota

untuk

terus

menambah

jumlah guru pegawai negeri sipil mereka. Jumlah
pengangkatan yang tinggi sejak desentralisasi
pendidikan
sekolah,

terjadi
sebagian

pada

guru

karena

yang
dana

diangkat
Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan ke
sekolah

diperbolehkan

untuk

membiayai

hal

tersebut.
Dengan dibuatkannya petunjuk teknis mengenai
penataan

dan

pemerataan

guru

melalui

surat

keputusan bersama (SKB) 5 menteri, yang didalamnya
menjelaskan proses pelaksanaan penempatan guru
yang merata pada setiap jenjang pendidikan, sangat
penting bagi pelaksana kebijakan di daerah untuk
menindaklanjuti kewenangan yang diberikan dengan
baik sehingga penempatan guru pada setiap jenjang
pendidikan dapat merata sesuai kebutuhan.
Agar penempatan guru dapat dilaksanakan secara
merata dan sesuai kebutuhan, pemerintah daerah
perlu untuk memilih orang-orang yang mempunyai
kepedulian
memiliki

yang tinggi terhadap
kemampuan

dalam

pendidikan

proses

serta

pengelolaan

pendidikan. Dan juga pemerintah selaku pembuat
kebijakan penting untuk melaksanakan pengawasan
secara baik, sehingga dalam penempatan guru benar30

benar

dilaksanakan

secara

baik

tanpa

adanya

kepentingan tertentu diluar urusan pendidikan.

2.3 Implementasi Kebijakan
2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang
krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program
kebijakan harus diimplemetasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi
kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan
segera setelah penetapan undang-undang (Winarno,
2012).
Kemudian,
implementasi

Wahab

(2012)

kebijakan

menganggap

sebagai

bentuk

pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas
yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan
menjadi

kesepakatan

bersama

diantara

beragam

pemangku kepentingan (stakeholder), actor, organisasi
(public atau

privat), prosedur, dan

teknik secara

sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna
menerapkan

kebijakan

kearah

tertentu

yang

dikehendaki.
Sementara itu, Grindle (1980 dalam Winarno
2012)

mengatakan

bahwa

secara

umum,

tugas

implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage)
yang

memudahkan

tujuan-tujuan

kebijakan

bisa

direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah. Selanjutnya van Meter dan van Horn
31

membatasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan

oleh

individu-individu

(atau

kelompok-

kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Ripley & Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi

setelah

undang-undang

ditetapkan

yang

diberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
(benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible
output). Implementasi mencangkup tindakan-tindakan

(tanpa

tindakan-tindakan)

oleh

berbagai

aktor,

khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk
membuat program berjalan.
Hal ini senada dengan pendapat Van Meter dan
Van Hom (1975 dalam Wahab 2012) yang merumuskan
proses implementasi sebagai “those actions by public or
private individuals (or group) that are directed at the
achievement of objective set fort in prior policy decision”

(tindakan-tindakan

yang

dilakukan

indivual/pejabat-pejabat atau

baik

oleh

kelompok pemerintah

atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuantujuan

yang

telah

digariskan

dalam

keputusan

kebijakan).
Selajutnya Sabatier dan Mazmanian (1986 dalam
Amtu

2011)

merupakan

menyatakan;
fungsi

dari

implementasi
tiga

32

variable

kebijakan
yaitu:

1)

karakteristik masalah; 2)struktur manajemen program
yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang
mengoperasikan kebijakan; dan 3) factor-faktor diluar
peraturan.
Nugroho

(2009)

implementasi

kebijakan

pada

prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai

tujuannya.

Untuk

mengimplementasikan

kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau
turunan dari kebijakan publik tersebut.

1.3.2 Model Implementasi Kebijakan (George
C. Edwards III)
Menurut

Edwards

III,

studi

implementasi

kebijakan adalah krusial bagi public administration dan
public policy . Implementasi kebijakan adalah salah satu

tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan
dan

konsekuensi-konsekuensi

kebijakan

bagi

masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari
kebijakan,

maka

kebijakan

mengalami

kegagalan

itu

sekalipun

mungkin
kebijakan

akan
itu

diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu,
suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan baik,
mungkin

juga

akan

mengalami
33

kegagalan,

jika

kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
Edwards

III, membicarakan faktor-faktor atau

variabel krusial dalam implementasi kebijakan adalah
komunikasi,

sumber-sumber,

kecendrungan

atau

kecendrungan-

tingkahlaku–tingkahlaku

dan

struktur birokrasi.

a) Komunikasi
Secara

umum Edwards

membahas

tiga

hal

penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni
transmisi,

konsistensi,

Menurut

Edwards,

dan

(clarity ).

kejelasan

persyaratan

pertama

bagi

implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka

yang

mengetahui

apa

melakukan
yang

keputusan

harus

mereka

harus
lakukan.

Keputusan-keputsan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum
keputusan-keputusan

dan

perintah-perintah

itu

dapat diikuti.

T ransmi si . Faktor pertama yang berpengaruh
terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi.
Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan,

ia

harus

menyadari

bahwa

suatu

keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya

telah

dikeluarkan. Hal ini tidak

selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana
nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan34

keputusan

tersebut

diabaikan

atau

jika

tidak

demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap
keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Kejel asan. Faktor kedua yang dikemukakan
Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan
diimplementasikan

sebagaimana

yang

diinginkan,

maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya
harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi
komunikasi kebijakan tersebut harus jelas, seringkali
intruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksanapelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan
bagaimana

suatu

program

dilaksanakan.

Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan
berkenaan

dengan

implementasi

kebijakan

akan

mendorong terjadi interpretasi yang salah bahkan
mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

Konsi st ensi . Jika implementasi kebijakan ingin
berlangsung

efektif,

maka

perintah-perintah

pelaksana harus konsisten dan jelas. Di sisi yang lain,
perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil
tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi,
maka

akan

berakibat

pada

ketidak

efektifan

implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat
longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan
untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.
35

b) Sumber-sumber
Perintah-perintah

implementasi

mungkin

diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi
jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,
maka implementasi inipun cenderung tidak efektif.
Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan
fasilitas-fasilitas
menerjemahkan

yang
usul-usul

diperlukan
di

atas

untuk

kertas

guna

melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.

St af.

Sumber

yang

paling

penting

dalam

melaksanakan kebijakan adalah staf. Namun jumlah
staf

tidak

selalu

mempunyai

efek

positif

bagi

implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah
staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong
implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai
pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain
kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan
yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang
efektif. Implementasi yang cenderung tidak efisien,
lebih pada kurangnya kualitas sumber daya dan
rendahnya motivasi para pegawai.

Infor masi .

Informasi

merupakan

sumber

penting yang kedua dalam implementasi kebijakan.
36

Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi
mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan.
Pelaksana-pelaksana
dilakukan

dan

perlu

mengetahui

bagaimana

apa

mereka

yang
harus

melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah
data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap
peraturan-peraturan

pemerintah.

Pelaksana-

pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain
yang

dilibatkan

dalam

pelaksanaan

kebijakan

mentaati undang-undang atau tidak.

Wewenang. Sumber lain yang pentig dalam
pelaksanaan

implementasi

adalah

wewenang.

Wewenang akan berbeda-beda dari satu program
keprogram yang lain serta mempunyai banyak bentuk
yang berbeda. Terdapat banyak pembatasan pada
penggunaan

wewenang

yang

efektif.

Sekalipun

demikian, sanksi-sanksi dapat memainkan peranan
yang penting dalam pelaksanaan kebijakan.

Fasi l i t as. Fasilitas fisik bisa pula merupakan
sumber-sumber pentig dalam implementasi. Seorang
pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan
mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan
tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor
untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan,
tanpa

pembekalan,

maka

besar

kemungkinan

implementasi yang direcanakan tidak akan berhasil.
37

c) Kecendrungan-kecendrungan
Kecendrungan dari para pelaksana kebijakan
merupakan

factor

ketiga

yang

mempunyai

konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap
baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan

kebijakan

diinginkan

oleh

para

Demikian

pula

sebagaimana

pembuat

sebaliknya

keputusan
bila

yang
awal.

tingkahlaku-

tingkahlaku atau prespektif-prespektif para pelaksana
berbeda dengan para pembuat keputusan, maka
proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin
sulit (Winarno, 2012)
Dampak

dari

kecendrungan-kecendrungan.

Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk ke dalam
“zona

ketidakacuhan”.

dilaksanakan

secara

Ada
efektif

kebijakan
karena

yang

mendapat

dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertantangan
secara

langsung

dengan

pandangan-pandangan

pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Pengangkatan

birokrat.

Kecendrungan-

kecendrungan pelaksana menimbulkan hambatanhambatan

yang

nyata

terhadap

implementasi

kebijakan. Menurut Edwards, salah satu teknik yang
38

disarankan

untuk

mengatasi

kecendrungan

para

pelaksana adalah dengan memanupulasi insentifinsentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak
menurut

kepentingan

mereka

sendiri,

maka

memanupulasi insentif-insentif oleh para pembentuk
kebijakan tingkat besar kemungkinan mempengaruhi
tindakan-tindakan

para

pelaksana-pelaksana

kebijakan.

d) Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka

memecahkan

masalah-masalah sosial dalam kehidupan moderen.
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian
organisasi

birokrasi

yang

implementasi publik.
inefektivitas
kurangnya

menjadi

Di Indonesia

impelementasi
koordinasi

lembaga-lembaga

dan

Negara

penyelenggara
sering

terjadi

kebijakan

karena

kerjasama

diantara

dan/atau

pemerintahan

(Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap
birokrasi di Amerika Serikat, mengidentifikasi enam
karakteristik birokrasi, yakni:

39

1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument

sosial

menangani

yang

ditujukan

masalah-masalah

untuk
yang

didefinisikan sebagai urusan publik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
dalam pelaksanaan program kebijakan, yang
tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk
masing-masing tahap.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan
yang luas dan kompleks
5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan
hidup tidak perlu dipertanyakan lagi
6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang
netral

dalam

pilihan-pilihan

kebijakan

mereka, tidak juga secara penuh dikontrol
oleh kekuatan kekuatan yang berasal di luar
dirinya.
Selanjutnya

menurut

Edwards,

ada

dua

karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedurprosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering
disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP)
dan fragmentasi. SOP merupakan salah satu dari
aspek-aspek

struktural

organisasi.

Dengan

paling

dasar

menggunakan

dari

suatu

SOP,

para

pelaksana dapat memanfaatkan waktu yag tersedia.
40

Selain

itu,

tindakan

SOP

dari

juga
para

menyeragamkan
pejabat

dalam

tindakanorganisasi-

organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang
pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang
besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari
suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang
besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Sifat
kedua

dari struktur

birokrasi yang berpengaruh

dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi
organisasi. Fragmentasi mengakibatkan pandanganpandangan

yang

sempit

dari

banyak

lembaga

birokrasi.
Maka suatu kebijakan yang telah dibuat dan
dikeluarkan perlu untuk diimplementasikan secara
baik, agar tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai
dapat diselesaikan secara tepat. Demikian halnya
dalam kebijakan penempatan guru sangat penting
bagi para pembuat kebijakan melaksanakan atau
mengimplementasikannya
melihat

berbagai

factor

dengan
yang

baik.

Dengan

mempengaruhinya,

berdasarkan padangan Edwards III ada empat factor
atau

variable krusial yang

dapat mempengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan dalam hal ini
kebijakan penempatan guru, antara lain komunikasi,
sumber-sumber,

kecendrugan-kecendrungan

struktur birokrasi.

41

dan

Ke-empat

factor

ini

saling

mempengaruhi

sehingga dapat dikatakan apabila salah satu dari
factor yang dikemukakan Edwards III bermasalah
atau

tidak

mendukung

maka

akan

dapat

mempengaruhi kebehasilan implementasi kebijakan
itu sendiri, sehingga sangat dibutuhkan kerjasama
yang

baik

dari

birokrasi

yang

para

pelaksana

memiliki

kebijakan

kewenangan

atau
dalam

implementasi kebijakan penempatan guru.

2.4 Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Suranto tentang
Pengaruh

Implementasi

Kebijakan

Pembagian

Kewenangan Bidang Pendidikan Terhadap Kualitas
Pelayanan

Pendidikan

Dasar

(Studi

Di

Kota

Yogyakarta), Hasil penelitian menunjukkan dengan
mengacu model

Edward III (1980), implementasi

kebijakan

pembagian

pendidikan

di

kota

kewenangan
Yogyakarta

bidang

berpengaruh

signifikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan
dasar.

Sedangkan

secara

parsial,

dimensi

komunikasi, sumberdaya dan struktur birokras
berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan
pendidikan

dasar.

Sementara

disposisi

tidak

berpengaruh signifikan. Peneliti merekomendasikan
perlunya modifikasi model

Edward III (1980)

dengan mempersempit konsep disposisi terbatas
sebagai disposisi elite, serta perlunya penelitian
42

variabel bebas selain yang telah diteliti. Penelitian
ini juga merekomendasikan saran-saran praktis
bagi

Pemerintah

Kota

Yogyakarta

untuk

meningkatkan kinerjanya.
Dalam penelitian Suranto terlihat bahwa Factorfaktor

atau

Edwards

variabel

III

yang

memiliki

dikemukakan

pengaruh

yang

oleh
cukup

signifikan dalam keberhasilan suatu implementasi
kebijakan,

hanya

factor

disposisi

yang

tidak

berpengaruh signifikan, sehingga penting bagi para
pembuat

serta

pelaksana

kebijakan

untuk

memperhatikan factor-faktor seperti komunikasi,
sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi
dalam menjalankan program kebijakan.

43

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur T2 942011070 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur T2 942011070 BAB IV

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur T2 942011070 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur

0 1 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Perluasan Akses Pendidikan di Kabupaten Sumba Timur Tahun 2010 s/d 2012 T2 942011036 BAB II

0 0 43

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB II

0 0 44

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar T2 BAB II

0 0 28

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Sekolah Di Sekolah Dasar Negeri Kedongori ecamatan Dempet Demak T2 BAB II

0 0 18

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Sertifikasi Guru Sekolah Dasar Kabupaten Wonosobo T2 BAB II

0 1 27