Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos (Studi Deskriptif tentang Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos).

(1)

Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos)

Pemberitaan tentang berlakunya perda antirokok pada harian Jawa Pos pada 22 Oktober 2009 lalu melahirkan pro dan kontra dari masyarakat, khususnya masyarakat Surabaya. Pemberitaan tersebut mengupas fakta yang sebenarnya, yakni tentang kebijakan yang harusnya terealisasi sesuai isi dalam perda belum semuanya terealisasi. Hal tersebut kaitannya dengan penyediaan infrastruktur dalam Kawasan Terbatas Merokok, yakni smoking Room. Lalu, bagaimanakah opini masyarakat Surabaya yang sebenarnya dalam menanggapi permasalahan tersebut? Apakah mereka mendukung wacana tersebut ataukah tidak mendukung?

Teori yang digunakan pada penelitian ini yaitu Stimulus Organism Response. Inti dari teori tersebut untuk menetukan opini yang muncul dari masyarakat Surabaya setelah menerima, memperhatikan, dan mengerti stimulus berupa pesan yaitu berita tentang berlakunya perda antirokok pada harian Jawa Pos tersebut. Apakah yang muncul berupa opini positif, opini netral, ataukah opini negatif?

Responden penelitian ini adalah masyarakat Surabaya yang berusia 17-50 tahun. Keseluruhan tercatat sebanyak 1.783.257 jiwa. Untuk mengambil sampel 100 responden, digunakan teknik pengambilan sampel Multistage Cluster Random Sampling dalam penentuan wilayah. Setelah peng-cluster-an, didapatlah 8 kelurahan dari 4 kecamatan yang berada di wilayah Surabaya Pusat dan Surabaya Timur sebagai subjek penelitian, yakni kelurahan wonorejo, kelurahan kedungdoro, kelurahan ketabang, kelurahan genteng, kelurahan kutisari, kelurahan kendangsari, kelurahan rungkut tengah, dan kelurahan gunung anyar.

Arah opini masyarakat yang didapat dari hasil jawaban kuesioner antara lain opini positif sebanyak 59%, opini netral 41%, dan opini negatif tidak ada sama sekali. Dapat diketahui bahwa mayoritas responden atau masyarakat yang membaca pemberitaan pada harian Jawa Pos tersebut memberikan opini yang positif.

Setelah penarikan, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data untuk penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Surabaya memiliki opini positif yang artinya mereka mendukung pemberitaan tersebut dan tidak setuju terhadap pemberlakuan perda antirokok karena kebijakan yang seharusnya terealisasi belum semuanya bisa terealisasi.


(2)

 

1.1 Latar Belakang Masalah 

Media massa merupakan suatu bidang kajian yang sangat kompleks. Media massa bukan berarti hanya satu variasi media yang menyajikan informasi kepada kelompok khalayak, tetapi khalayak juga menggunakan media massa dalam cara yang beragam. Dari media massa mereka mendapatkan informasi tentang berbagai hal dan peristiwa yang penting untuk mereka ketahui. Berbagai hal dan peristiwa yang dianggap penting tersebut disajikan dalam bentuk berita.

Diantara beberapa jenis media tersebut, media cetak seperti surat kabar memiliki ciri khas dibandingkan dengan media massa lainnya. Surat kabar tidak hanya saja sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi, mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam media khususnya surat kabar. Namun tidak setiap informasi mengandung dan memiliki nilai berita. Setiap informasi yang tidak memiliki nilai berita, menurut pandangan jurnalistik tidak layak untuk dimuat, disiarkan, atau ditayangkan media


(3)

massa. Hanya informasi yang memiliki nilai berita atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media. (Sumadiria, 2005 : 86).

Tidak setiap peristiwa dapat dijadikan berita, hanya berita yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu saja yang layak dan bisa disebut sebagai berita. Nilai berita tersebut menyediakan standar dan ukuran bagi wartawan sebagai kriteria dalam praktek kerja jurnalis. Sebuah peristiwa yang tidak mempunyai unsur nilai berita atau setidaknya nilai berita tidak besar akan dibuang.

Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks yang menyortir (memilah-milah), menentukan peristiwa, dan tema-tema tertentu dalam satu kategori tertentu. Peristiwa harus dinilai terlebih dahulu, apakah peristiwa tersebut memenuhi kriteria nilai berita, nilai-nilai berita menentukan bukan hanya peristiwa apa saja yang akan diberitakan, melainkan juga bagaimana peristiwa tersebut dikemas.

Berita di media massa seperti media cetak maupun media elektronik sangat beragam. Dan dalam surat kabar, berita utama dan aktual biasa diletakkan dan disajikan pada halaman pertamanya. Seperti pada pemberitaan yang disajikan Jawa Pos dalam halaman utama Metropolis tentang berlakunya Perda Antirokok. Dalam pemberitaan tersebut, Jawa pos selain menyajikan berita tentang dimulainya pemberlakuan perda antirokok di Surabaya, juga mengupas fakta dan realitas yang bertolak


(4)

yang ada dibalik proses pemberlakuan perda yang mulai dijalankan 22 Oktober 2009 lalu. Topik tersebut diangkat pada tanggal 22 Oktober 2009 kemarin, bersamaan dengan diberlakukannya Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) di Surabaya. Perlu diketahui, sebuah pemberitaan adalah buah dari suatu polemik (permasalahan) yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dalam pemberitaan itu disebutkan, bahwa Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) mulai diberlakukan. Namun, meski sudah setahun disosialisasikan, pemkot masih terlihat belum siap. Akibatnya penerapan perda antirokok itu dikhawatirkan tak berjalan mulus. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya Esty Martiana Rachmie pun tampak pasrah setiap ditanya tentang kesiapan Surabaya menerapkan Perda Antirokok. Bahkan, dia terkesan pesimistis perda larangan merokok di sembarang tempat itu bisa berjalan mulus.

Hingga kini, dinkes memperkirakan kesiapan masyarakat metropolis dalam mengimplementasikan perda tersebut masih 70 persen. Tapi, bisa jadi kurang dari perkiraan itu. Menurut Esty, angka 70 persen itu terkait dengan penyediaan smoking room di kawasan terbatas merokok.

Terdapat dua hal pokok dalam perda tersebut. Pertama, warga metropolis sama sekali dilarang melakukan kegiatan yang bersentuhan


(5)

dengan rokok di kawasan-kawasan tertentu. Diantaranya, rumah sakit, sekolah, dan angkutan umum. Kedua, warga boleh merokok, namun hanya di ruangan tertentu. Misalnya, di mal, terminal, dan perkantoran.

Selama setahun sejak perda antirokok disahkan, dinkes menyatakan sudah melakukan sosialisasi secara optimal. Pengenalan kepada masyarakat itu dilakukan melalui bantuan LSM yang concern pada masalah kesehatan. Kenyataannya, penyediaan infrastruktur ruangan khusus merokok, baik di instansi pemerintah maupun swasta, hingga kini masih minim.

Sedangkan di institusi pendidikan dan kesehatan, larangan merokok sudah menjadi harga mati. Di dua lembaga itu, tidak akan dibangun ruangan khusus untuk merokok (smoking room). Kepala Dinas Pendidikan (Kadispendik) Surabaya Sahudi menjelaskan, sebenarnya sejak lama peraturan dilarang merokok di sekolah diberlakukan. Namun, karena tidak ada landasan hukum yang jelas, masih ada guru-guru yang sedikit nakal. Sementara itu, rumah sakit (RS) maupun puskesmas tidak akan membangun ruangan khusus bagi perokok. Sebab, layanan kesehatan sejak lama ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). Mereka memilih mengintensifkan pengawasan terhadap pengunjung yang masih sembunyi-sembunyi menyulut rokok.

Plt Kepala Satpol PP Arief Boediarto mengatakan akan bersosialisasi terlebih dahulu dalam menindak pelanggar perda antirokok. Arief


(6)

menjelaskan, berdasar koordinasi dengan dinas kesehatan (dinkes) selama enam bulan pertama, pemkot cuma menegur mereka yang merokok di tempat yang dilarang. Enam bulan setelah sosialisasi, Arief berjanji memperketat penegakan perda. Sanksi administratif dan pidana mulai diberlakukan. Seperti termuat dalam perda, pelanggar dapat dikenai denda maksimal 50 juta rupiah atau pidana kurungan maksimal tiga bulan. Arief berharap pengawasan secara bertahap, mulai teguran sampai sanksi, bisa memberikan efek jera bagi pelanggar perda antirokok. Sehingga, masyarakat tidak perlu diawasi untuk tidak merokok di sembarang tempat. Dan pada intinya, mereka ingin melindungi perokok pasif dan menekan perokok pemula. (Jawa Pos Edisi 22 Oktober 2009).

Kepala Seksi Pendidikan dan Pelatihan Dinkes Kota Surabaya, Hariyanto, SKM mengatakan, banyak kendala yang harus dihadapi dalam menegakkan Perda No. 5 Tahun 2008 tersebut. Saat ini kendalanya adalah masih ada beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang belum menyediakan tempat merokok. Sehingga, dalam pelaksanaannya belum bisa dilakukan penindakan dengan alasan karena tidak ada ruangan khusus untuk merokok. Namun, masih banyak pegawai yang belum menerapkan aturan dalam Perda ini, meskipun SKPD tersebut telah memiliki ruangan khusus merokok. Samplingnya saat ini, SKPD yang sudah memiliki ruangan khusus merokok sebanyak 75%, dan 25% belum memiliki ruangan khusus merokok. Bagi yang belum menyediakan ruangan khusus


(7)

merokok itulah jika ada yang melanggar, maka yang terkena denda adalah penanggung jawab SKPD yang bersangkutan.

Sejatinya, penegakan perda itu seharusnya pada kantor SKPD terlebih dahulu, kemudian baru turun ke mall atau pusat perbelanjaan, tempat ibadah dan tempat-tempat lain yang menjadi KTR dan KTM. Kendala lain yang ditemui oleh tim pelaksana Perda KTR dan KTM adalah pelaksanaan di angkutan umum. Meski pada saat diadakan operasi tidak ada yang merokok, tetapi di luar itu masih banyak yang berani merokok.

Sementara itu, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Kota Surabaya dr. Sri Setiyani mengatakan, Tim Pemantau Perda KTR dan KTM telah berupaya untuk mensosialisasikan peraturan yang terdapat di dalam Perda ini, salah satunya adalah sosialisasi yang ditujukan kepada beberapa elemen masyarakat, mulai dari pimpinan SKPD, Direktur Rumah Sakit, Rektor Universitas/Poltekkes, Kepala KUA, hingga pengelola jasa boga. Semua itu bertujuan agar informasi ini bisa sampai ke masyarakat, dengan harapan mereka bisa meneruskan sosialisasi ini pada masyarakat. Sosialisasi ini tidak langsung dilakukan ke masyarakat karena dikhawatirkan merubah image yakni mengambil hak orang lain untuk merokok. (http://www.surabaya-ehealth.org/berita/evaluasi-pelaksanaan-perda-nomor-5-tahun-2008-tentang-kawasan-tanpa-rokok-dan-kaw.htm).

Dalam realita masyarakat sendiri saat ini, pemberitaan tentang diberlakukannya perda antirokok tersebut menuai pro dan kontra. Bagi


(8)

mereka yang pro terhadap pemberitaan tersebut adalah mereka yang mayoritas merupakan para perokok. Mereka sebenarnya tidak mempermasalahkan dengan diresmikannya perda mengenai larangan merokok di area publik, mereka hanya menginginkan adanya konsekuensi konkrit dari pemerintah sendiri terlebih dahulu. Yang dimaksudkan disini adalah andaikan perda tersebut benar-benar dilaksanakan sesuai rancangan dan sanksi yang sudah ada (bagi para pelanggarnya), pemerintah setempat paling tidak mengadakan penyuluhan-penyuluhan terlebih dahulu dan telah menyiapkan tempat-tempat khusus bagi mereka (smoking area atau smoking room), sehingga tidak ada unsur dan pemikiran dari mereka bahwa hal itu sebuah penindasan bagi mereka ketika mereka melanggarnya dan dikenakan sanksi atas pelanggarannya tersebut.

Sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap pemberitaan tersebut adalah mereka yang minoritas merupakan para perokok pasif dan peduli terhadap kesehatan lingkungan sekitar. Mereka menyuarakan aspirasinya dan menginginkan Pemerintah Kota Surabaya untuk segera mendirikan sebuah Smoking Room atau Smoking Area bagi para perokok, sehingga para perokok tersebut tidak merusak kesehatan lingkungan di sekitarnya.

Berbicara tentang perda mengenai larangan merokok di area publik, perda itu sendiri mengacu pada Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Kawasan Tanpa Rokok adalah area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan atau penggunaan rokok. Area yang dimaksud dalam


(9)

kawasan tanpa rokok yakni sarana kesehatan, tempat proses balajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Sedangkan Kawasan Terbatas Merokok adalah tempat atau area dimana kegiatan merokok hanya boleh dilakukan di tempat khusus. Dan area yang dimaksud dalam kawasan terbatas merokok yakni tempat khusus yang disediakan untuk merokok.

Sesuai yang tertera pada Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok, perda itu sendiri dibuat dengan pertimbangan, antara lain :

a. Bahwa guna meningkatkan kesehatan masyarakat Kota Surabaya, diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk senantiasa membiasakan hidup sehat.

b. Bahwa merokok dapat menyebabkan terganggunya atau menurunnya kesehatan masyarakat bagi perokok maupun yang bukan perokok. c. Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, maka Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok.

d. Bahwa dalam rangka menghormati hak-hak perokok, maka perlu diatur pula ketentuan-ketentuan mengenai Kawasan Terbatas Merokok.


(10)

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta memperhatikan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 440/945/SJ tanggal 17 April 2008 perihal Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia dan Larangan Merokok di tempat Umum dan Ruang Kerja, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. (Salinan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok).

Maka dari itulah, dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya dan Walikota Surabaya memutuskan menetapkan Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok.

Seperti yang diketahui, rokok adalah benda beracun yang memberi sugesti berupa efek santai dan merasa lebih jantan. Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.


(11)

Pada kenyataannya, di tiap kemasan rokok telah disisipkan sebuah kalimat yang menjelaskan bahaya dari akibat merokok, yakni “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”, namun tak banyak perokok yang peduli tentang bahaya tersebut. Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan kecanduan, disamping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi kelahiran, dan emfisema. Selain itu, terkandung bahaya yang sangat besar bagi orang di sekitar perokok yang bukan perokok.

Tidak hanya menghasilkan ’racun’ bagi penikmatnya tetapi juga meracuni orang di sekitarnya. Itulah gambaran tentang benda kecil bernama rokok. Rokok, disukai banyak orang namun dimusuhi lebih banyak orang, itulah benda kecil bernama rokok. Sekelompok orang yang menikmatinya, namun orang lain yang sama sekali tidak menikmatinya juga ikut terkena dampaknya. Kelompok yang hanya kebagian asap inilah dinamakan perokok pasif.

Tidak tanggung-tanggung, asap rokok mengandung sekitar 4000 bahan kimia, dan 43 diantaranya bersifat karsinogen (menyebabkan kanker). Ironisnya, asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif kandungan bahan kimianya lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihirup oleh perokoknya.


(12)

Merokok, menghasilkan pembakaran dan asap yang dihirup oleh si perokok, dan lalu dihembuskan ke udara. Asap yang dihembuskan dan asap hasil pembakaran ujung rokok kemudian menyebar ke udara dan dihirup oleh orang-orang yang tidak merokok.

Tidak banyak yang mau peduli dengan kenyataan bahwa 85% asap rokok dihirup oleh perokok pasif. Hanya 15% yang dihirup oleh perokoknya. Hitungan matematis yang cukup menyedihkan.

Menjadi pengguna fasilitas umum, terutama angkutan umum semakin menyempurnakan penyebaran bahaya ini. Asap rokok menjadi sesuatu yang nyaris tak dapat dihindari. Orang yang tidak merokok pun tidak lagi punya hak atas udara bersih untuk mereka hirup. Pasalnya, ada salah kaprah yang sudah membudaya. Misalnya, bila seseorang yang tidak merokok mengeluh akan asap rokok dalam sebuah bis kota, orang tersebut akan dianggap aneh. Padahal, di fasilitas umum yang berlaku seharusnya adalah peraturan untuk kepentingan umum.

Sebuah penelitian di Amerika memperkuat fakta bahwa perokok pasif memiliki risiko terkena penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan perokoknya sendiri. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa kematian akibat asap rokok pada orang yang tinggal dengan perokok lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Dengan menjadi seorang perokok pasif, beberapa bahaya mengintai kapan saja. Infeksi paru, gangguan pertumbuhan paru, bahkan kanker paru.


(13)

Di negara maju, persentase jumlah perokok semakin hari semakin berkurang. Selain kepedulian terhadap lingkungan, kesadaran yang tinggi akan bahaya rokok menjadi alasan kuat mereka untuk berhenti merokok.

Di Indonesia sendiri, para perokok masih memiliki kebebasan yang hampir tak terbatas. Memang, beberapa waktu yang lalu sudah ada Perda (untuk wilayah DKI) yang mengatur masalah merokok di area publik. Tetapi, tampaknya belum banyak perokok yang memiliki kesadaran pada peraturan tersebut. Kawasan khusus bagi perokok masih sangat minim, maka masih dapat sedikit dimaklumi. Yang lebih ironis dan seringkali terlihat di masyarakat yakni, di area yang bebas asap rokok pun, masih ada saja yang tidak peduli pada adanya area dan aturan tersebut. (http://www.hdindonesia.com/berita/nasib-perokok-pasif.htm).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana opini masyarakat di Surabaya yang berusia 17-50 tahun tentang pemberitaan pada Harian Jawa Pos mengenai larangan merokok di area publik terkait berlakunya perda antirokok. Arah opini masyarakat sendiri diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu positif, netral, dan negatif.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori SOR, dimana teori ini Stimulus berupa pesan yaitu informasi yang terdapat di media cetak tentang berita berlakunya perda antirokok pada harian Jawa Pos, Organism yaitu penerimaan, perhatian, dan pengertian masyarakat di


(14)

Surabaya terhadap adanya stimulus tersebut, sedangkan Response dalam penelitian ini adalah opini yang timbul dari masyarakat tentang adanya berita tersebut.

Peneliti memilih Kota Surabaya sebagai objek dalam penelitian ini karena, sebagaimana diberitakan, pada tanggal 22 Oktober tahun 2009 Pemerintah Kota Surabaya mulai memberlakukan Perda mengenai larangan merokok di area publik/antirokok. Selain itu didukung juga dengan adanya data dari Dinkes Kota Surabaya yang menyebutkan bahwa jumlah perokok di Kota Surabaya hingga tahun 2004 berada pada kisaran persentase (63,7%). Persentase tersebut meningkat dari tahun 1994 (54,5%) dan 2001 (58,9%).

Sedangkan alasan pemilihan jawa pos sebagai media dalam penelitian ini karena jawa pos menyajikan berita tersebut secara faktual. Pada faktanya perda antirokok mulai diberlakukan di Surabaya, namun pemkot masih terlihat belum siap. Hal tersebut dinilai melalui penyediaan infrastruktur ruangan khusus merokok yang masih minim.

Dari penelitian di atas maka judul dalam penelitian ini adalah ”Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos (Studi Deskriptif Tentang Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos Di Surabaya)”.


(15)

1.2   Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos?.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ciri ilmiah pada sebuah penelitian dengan mengaplikasikan teori, khususnya teori-teori komunikasi tentang pemahaman pesan yang dikemas oleh media cetak dalam hal ini surat kabar melalui opini masyarakat.

2. Manfaat Praktis

Kegunaan praktis yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah agar pihak-pihak yang tertarik dalam kajian masalah yang sama dapat mengambil manfaat, selain itu juga bisa dijadikan sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pihak yang terkait dan masyarakat luas dalam memandang permasalahan ini di tengah masyarakat.


(16)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Surat Kabar sebagai Media Massa

Surat kabar menurut Sutisna (2003 : 289) merupakan salah satu media penyampai pesan yang mempunyai daya jangkau luas dan massal. Surat kabar berfungsi sebagai penyampai berita kepada para pembacanya.

Munculnya media surat kabar dalam kehidupan manusia memang menghadirkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Kata Massa dalam kaitannya dengan Media Massa mempunyai makna : Banyak orang dalam jumlah relatif besar. Heterogen, berada tidak dalam satu tempat. Anonim, tidak saling mengenal, tidak terlembagakan, dan perhatiannya terikat pada satu pesan, yaitu Pesan dari Medium yang sama, memberikan arus balik secara tunda.

2.1.2 Pengertian Berita

Dean M. Lyle Spencer dalam bukunya yang berjudul News Writings, yang kemudian dikutip oleh George Fox Mott (News Survey Journalism), menyatakan bahwa :


(17)

“Berita dapat didefinisikan sebagai setiap fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat menarik perhatian bagi sejumlah besar pembaca”

Sedangkan menurut Mitcel. V. Charnley, menyebutkan

“Berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat luas”

(Muda, 2003 : 22)

Dja’far H. Assegaff dalam bukunya Jurnalistik Masa Kini, mendefinisikan berita dalam arti jurnalistik sebagai berikut :

“Berita sebagai laporan tentang fakta atau ide yang termasa dan terpilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang kemudian dapat menarik pembaca. Entah karena luar biasa; karena penting atau akibatnya; karena mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan”

(Assegaff, 1982 : 24)

Cakupan tersebut dapat dicatat bahwa kata-kata seperti fakta, akurat, ide, tepat waktu, menarik, penting, opini, dan sejumlah pembaca merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian disimpulkan bahwa berita adalah suatu fakta, ide, atau opini actual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah besar pembaca, pendengar, penonton. (Muda, 2003 : 22).


(18)

Sebuah berita menjadi menarik untuk dibaca, didengar, atau ditonton, jika berita tersebut memiliki nilai atau bobot yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Nilai berita tersebut sangat tergantung pada pertimbangan seperti berikut (Muda, 2003 : 29-39)

1. Timeliness

Timeliness berarti waktu yang tepat, artinya memiliki berita yang akan disajikan harus sesuai dengan waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat pembaca atau pemirsa.

2. Proximity

Proximity artinya kedekatan. Kedekatan disini maknanya sangat bervariasi yakni dapat berarti dekat dilihat dari segi lokasi, pertalian, ras, profesi, kepercayaan, kebudayaan, maupun kepentingan terkait yang lainnya.

3. Prominence

Prominence artinya adalah orang yang terkemuka. Semakin seseorang itu terkenal maka akan semakin menjadi bahan yang menarik pula.

4. Consequence

Consequence artinya konsekuensi atau akibat. Pengertiannya yaitu, segala tindakan atau kebijakan, peraturan, perundangan dan lain-lain


(19)

yang dapat berakibat merugikan atau menyenangkan orang banyak merupakan bahan berita yang menarik.

5. Conflict

Conflict (konflik) memiliki nilai berita yang sangat tinggi karena konflik adalah bagian dalam kehidupan. Di sisi lain berita adalah sangat berhubungan dengan peristiwa kehidupan.

6. Development

Development (pembangunan) merupakan materi berita yang cukup menarik apabila reporter yang bersangkutan mampu mengulasnya dengan baik.

7. Weather

Weather (cuaca) di Indonesia atau di negara-negara yang berada di sepanjang garis khatulistiwa memang tidak banyak terganggu.

8. Sport

Berita olah raga sudah lama daya tariknya.

9. Human Interest

Kisah-kisah yang dapat membangkitkan emosi manusia seperti lucu, sedih, dramatis, aneh, dan ironis merupakan peristiwa dari segi human interest.


(20)

2.1.3 Jenis Berita

Berita pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu hard news (berita berat), soft news (berita ringan), dan investigative report (laporan penyelidikan). Ketiga kategori tersebut akan dapat mewadahi apa yang telah diuraikan diatas tentang cara memilih materi berita. Penbedaan terhadap tiga kategori tersebut didasarkan pada jenis peristiwa dan cara penggalian data. (Muda, 2005 : 40-42).

1. Hard News

Hard News adalah berita tentang peristiwa yang dianggap penting masyarakat baik sebagai individu, kelompok, maupun organisasi. Berita tersebut misalnya tentang diberlakukannya suatu kebijakan baru pemerintah. Ini tentu saja akan menyangkut hajat orang banyak sehingga orang ingin mengetahuinya. Karena itu harus segera diberitakan.

Reporter yang pandai bahkan seringkali menginformasikan berita tersebut lebih awal sebelum kebijakan tersebut diturunkan. Tentu dengan mengetengahkan sumber-sumber yang dapat meyakinkan pemirsa. Misalnya tentang adanya isu pergantian pejabat atau adanya kenaikan harga. Hard news juga termasuk kejadian international, keadaan masyarakat, masalah ekonomi, kriminal, kerusakan lingkungan, maupun berita tentang berita ilmu pengetahuan.


(21)

2. Soft News

Soft News sering juga disebut dengan feature yaitu berita yang tidak terikat dengan aktualitas namun memiliki daya tarik bagi pembacanya. Berita-berita semacam ini seringkali lebih menitik beratkan pada hal-hal yang dapat menakjubkan atau mengherankan pembaca. Ia juga dapat menimbulkan kekhawatiran bahkan ketakutan atau mungkin juga menimbulkan simpati. Obyeknya bisa manusia, hewan, benda, tempat, atau apa saja yang dapat menarik perhatian pemirsa. Misalnya tentang lahirnya hewan langka di kebun binatang, anjing menggigit majikannya, atau masyarakat kecil mendapatkan lotere milyaran rupiah.

Bagi surat kabar, berita ringan ini sangat diperlukan dalam setiap penyajian bulletin berita. Hal ini karena berita ringan juga dapat berfungsi sebagai selingan diantara berita-berita berat yang diberitakan pada awal sajian. Secara psikologis, pembaca yang mendapatkan sajian berita berat dari awal hingga akhir akan merasa tegang terus karena itu perlu interval. Iklan di dalam berita juga sesungguhnya juga punya fungsi yang sama selain fungsi promosi produk.

3. Investigative Report

Investigative Report disebut juga laporan penyelidikan, investigasi adalah jenis berita yang eksklusif. Datanya tidak bisa diperoleh di permukaan, tetapi harus dilakukan berdasarkan penyelidikan. Sehingga


(22)

penyajian berita seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan tentu akan menghabiskan energi reporternya.

Berita penyelidikan ini sangat menarik karena cara mengungkapkannya pun tidak mudah. Seseorang reporter untuk dapat melakukan tugas ini harus memiliki banyak sumber orang-orang dalam mendapatkan jaminan untuk tidak terekspos karena keselamatan diri mereka.

Berita penyelidikan untuk media televisi akan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan berita yang sama untuk media cetak. Televisi membutuhkan gambar bahkan wajah orang yang diwawancarai. Namun teknologi elektronika kini memungkinkan untuk dapat mengaburkan wajah orang yang akan diwawancarai agar dapat terhindar dari kemungkinan bahaya atas apa yang ia sampaikan dalam wawancara televisi.

2.1.4 Pembaca Sebagai Khalayak Media Massa

Khalayak surat kabar sangat heterogen, karena semuanya hendak dijangkau, kecuali anak-anak. Sekitar 98 pembaca surat kabar selalu membaca berita di halaman pertama, namun hanya 58 persen yang juga membaca artikel-artikel lainnya. Namun topik berita biasanya lebih penting daripada nomor halaman, karena yang dicari tiap pembaca juga berlainan.


(23)

Usia, pendidikan, jenis kelamin, dan status sosio-ekonomi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi apa yang hendak dibaca, demikian hasil penellitian Wilbur Schramm dan David Manning. Secara umum, pembaca muda menyukai artikel-artikel hiburan, sedangkan mereka yang lebih berumur menyukai informasi dan masalah-masalah umum. Pembaca dewasa lebih banyak membaca berita ketimbang pembaca muda yang lebih tertarik dengan gambar-gambar atau fotonya saja. Mereka yang berpendidikan cenderung mencari informasi, sedangkan yang kurang berpendidikan lebih suka dengan artikel-artikel hiburan.

Jumlah surat kabar yang dibaca juga berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Pembaca pria biasanya lebih serius menyimak berita ketimbang pembaca wanita. Mereka yang status sosio-ekonominya lebih tinggi cenderung lebih banyak membaca berita, artikel olahraga, dan masalah-masalah sosial. Meskipun demikian, mereka sama senangnya menyimak gambar dan foto seperti kalangan yang statusnya lebih rendah.

2.1.5 Opini

Istilah opinion yang kita terjemahkan menjadi opini diartikan Cutlip dan Center sebagai pengungkapan suatu sikap mengenai persoalan yang mengandung pertentangan. (Effendy, 2003 : 86).

Opini adalah penjelmaan dari pertimbangan seseorang tentang sesuatu hal atau kejadian yang telah diterima sebagai pikiran umum. Opini itu bersifat relatif artinya bisa benar dan dapat juga tidak benar sama sekali,


(24)

akan tetapi oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kebenaran. Oleh karena itu orang menyebut dengan berbagai istilah antara lain pendapat umum atau anggapan umum. Opini juga berarti persatuan pendapat yang harus didukung oleh sejumlah orang dengan menyatakan persetujuan atau tidak terhadap gagasan suatu kejadian yang bersifat rasional. Sebagian besar opini publik masih kelihatan dalam bentuk perasaan emosional dan mudah berubah dari sangat setuju menjadi sangat tidak setuju. (Sunarjo, 1997 : 31, 35, & 86).

Opini adalah tanggapan aktif terhadap rangsangan. Tanggapan disusul dengan interpretasi sosial dan menimbulkan perasaan, pikiran, dan minatnya kepada sesuatu yang terjadi. Untuk mengetahui opini individu terhadap objek, dapat dilihat dari unsur pembentuk opininya. Setiap opini membentuk 3 unsur, yaitu :

1. Kepercayaan (berkaitan dengan unsur kognitif)

Kepercayaan mengacu pada sesuatu yang diterima khalayak, benar atau tidak, berdasarkan pengalaman masa lalu, pengetahuan, informasi terbaru, dan persepsi yang berkesinambungan di sekitar.

2. Nilai

Melibatkan kesukaan – ketidaksukaan, cinta, kebencian, hasrat, dan ketakutan tentang bagaimana orang lain menilai sesuatu dan apakah intensitas penilaiannya lemah atau kuat.


(25)

3. Pengharapan

Mengandung citra seseorang mengenai bagaimana keadaannya setelah tindakan dilakukan. Pengharapan ditentukan dari pertimbangan terhadap sesuatu yang terjadi pada masa lalu, keadaan saat ini, dan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang jika melakukan suatu tindakan tertentu. (William dan Clive, 1994 : 14).

Secara sederhana, opini didefinisikan sebagai suatu pernyataan sikap individu terhadap suatu rangsangan yang diberikan, kemudian timbul respon dan setelah itu mengalami sebuah proses yang disebut opini. Untuk itu sebuah opini perlu dikaji, dipahami, dan dipergunakan dengan baik karena memiliki kekuatan tersendiri. Opini juga merupakan masukan bagi lembaga media dan dapat dijadikan dasar untuk menetapkan kebijakan selanjutnya.

Opini sendiri tidak mempunyai tingkatan atau strata, namun secara operasional opini memiliki arah, yaitu :

1. Positif, jika individu memberikan penilaian setuju.

2. Netral, jika individu tak memberikan pernyataan setuju atau tidak setuju.

3. Negatif, jika individu memberikan penilaian tidak setuju. (Effendy, 1993 : 85).


(26)

Berdasarkan pendapat – pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa opini ialah suatu ekspresi tentang sikap atau kecenderungan seseorang untuk memberikan penilaian positif atau negatif terhadap permasalahan tertentu dan kemudian bisa menimbulkan efek yang berkesinambungan bagi khalayak.

2.1.6 Berita Berlakunya Perda Antirokok di Jawa Pos

Jawa pos selain sebagai salah satu surat kabar yang menyajikan berita tentang dimulainya pemberlakuan perda antirokok di Surabaya, juga mengupas fakta dan realitas yang bertolak yang ada dibalik proses pemberlakuan perda yang mulai dijalankan 22 Oktober 2009 lalu.

Dalam pemberitaan disebutkan, dinkes memperkirakan kesiapan masyarakat metropolis dalam mengimplementasikan perda tersebut masih 70 persen. Tapi, bisa jadi kurang dari perkiraan itu. Menurut Esty, angka 70 persen itu terkait dengan penyediaan smoking room di kawasan terbatas merokok. Selama setahun sejak perda antirokok disahkan, dinkes menyatakan sudah melakukan sosialisasi secara optimal. Pengenalan kepada masyarakat itu dilakukan melalui bantuan LSM yang concern pada masalah kesehatan. Kenyataannya, penyediaan infrastruktur ruangan khusus merokok, baik di instansi pemerintah maupun swasta, hingga kini masih minim.

Plt Kepala Satpol PP Arief Boediarto mengatakan akan bersosialisasi terlebih dahulu dalam menindak pelanggar perda antirokok. Arief


(27)

menjelaskan, berdasar koordinasi dengan dinas kesehatan (dinkes) selama enam bulan pertama, pemkot cuma menegur mereka yang merokok di tempat yang dilarang. Enam bulan setelah sosialisasi, Arief berjanji memperketat penegakan perda. Sanksi administratif dan pidana mulai diberlakukan. Seperti termuat dalam perda, pelanggar dapat dikenai denda maksimal 50 juta rupiah atau pidana kurungan maksimal tiga bulan. Arief berharap pengawasan secara bertahap, mulai teguran sampai sanksi, bisa memberikan efek jera bagi pelanggar perda antirokok. Sehingga, masyarakat tidak perlu diawasi untuk tidak merokok di sembarang tempat. Dan pada intinya, mereka ingin melindungi perokok pasif dan menekan perokok pemula. (Jawa Pos Edisi 22 Oktober 2009).

2.1.7 Teori S-O-R

Teori S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus-Organism-Response ini berasal dari kajian psikologi. Teori masuk ke dalam salah satu teori komunikasi sebab objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu intinya meliputi komponen sikap, opini, perilaku, dan konasi. (Effendy, 1993 : 253).

Menurut teori ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus tertentu, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi khalayak. Selain itu, teori ini menjelaskan mengenai pengaruh yang terjadi pada pihak penerima sebagai akibat dari proses komunikasi. (McQuail, 1991 : 234).


(28)

Dampak atau pengaruh yang terjadi merupakan suatu reaksi tertentu dari rangsangan tertentu. Dengan demikian, besar kecilnya pengaruh serta dalam bentuk apa pengaruh itu terjadi, tergantung pada isi dan penyajian stimulus tersebut. Unsur-unsur dalam model ini adalah :

1. Pesan (stimulus/message). Merupakan rangsangan yang disampaikan komunikator kepada komunikannya. Pesan yang disampaikan tersebut dapat berupa tanda atau lambing.

2. Komunikan (organism).

3. Efek (response). Merupakan dampak yang muncul akibat dari proses komunikasi. Efek dari perubahan sikap adalah kognitif, afektif, dan konatif. (Effendy, 1993 : 254).

Mengutip pendapat dari Hovland, Janis, dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam menelaah opini yang baru, ada 3 variabel penting, yaitu :

1. Perhatian

2. Pengertian

3. Penerimaan

Teori S-O-R dapat digambarkan sebagai berikut :

RESPONSE ORGANISM :

PERHATIAN PENGERTIAN

PENERIMAAN  STIMULUS


(29)

Gambar di atas menunjukkan hubungan teori ini dengan penelitian, dimana rangsangan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan berupa berita yang disajikan dengan tema perda antirokok mulai berlaku di Surabaya, kemudian mendapat perhatian, pengertian, dan penerimaan dari masyarakat yaitu masyarakat Surabaya. Setelah itu timbul respon dari masyarakat berupa opini.

2.2 Kerangka Berpikir

Media cetak seperti surat kabar memiliki ciri khas dibandingkan dengan media massa lainnya. Surat kabar tidak hanya saja sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi, mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam media khususnya surat kabar. (Sumadiria, 2005 : 86). 

Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks yang menyortir (memilah-milah), menentukan peristiwa, dan tema-tema tertentu dalam satu kategori tertentu. Peristiwa harus dinilai terlebih dahulu, apakah peristiwa tersebut memenuhi kriteria nilai berita, nilai-nilai berita menentukan bukan hanya peristiwa apa saja yang akan diberitakan, melainkan juga bagaimana peristiwa tersebut dikemas.


(30)

Dan dalam beberapa waktu lalu, pemerintah kota Surabaya mulai memberlakukan aturan larangan merokok di area publik sesuai dengan Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM). Dan kabar tersebut ramai dibahas dalam berbagai media, khususnya harian Jawa Pos.

Jawa pos selain sebagai salah satu surat kabar yang menyajikan berita tentang dimulainya pemberlakuan perda antirokok di Surabaya, juga mengupas fakta dan realitas yang bertolak yang ada dibalik proses pemberlakuan perda yang mulai dijalankan 22 Oktober 2009 lalu.

Dalam pemberitaan disebutkan, dinkes memperkirakan kesiapan masyarakat metropolis dalam mengimplementasikan perda tersebut masih 70 persen. Tapi, bisa jadi kurang dari perkiraan itu. Menurut Esty, angka 70 persen itu terkait dengan penyediaan smoking room di kawasan terbatas merokok. Selama setahun sejak perda antirokok disahkan, dinkes menyatakan sudah melakukan sosialisasi secara optimal. Pengenalan kepada masyarakat itu dilakukan melalui bantuan LSM yang concern pada masalah kesehatan. Kenyataannya, penyediaan infrastruktur ruangan khusus merokok, baik di instansi pemerintah maupun swasta, hingga kini masih minim.

Plt Kepala Satpol PP Arief Boediarto mengatakan akan bersosialisasi terlebih dahulu dalam menindak pelanggar perda antirokok. Arief menjelaskan, berdasar koordinasi dengan dinas kesehatan (dinkes) selama


(31)

enam bulan pertama, pemkot cuma menegur mereka yang merokok di tempat yang dilarang. Enam bulan setelah sosialisasi, Arief berjanji memperketat penegakan perda. Sanksi administratif dan pidana mulai diberlakukan. Seperti termuat dalam perda, pelanggar dapat dikenai denda maksimal 50 juta rupiah atau pidana kurungan maksimal tiga bulan. Arief berharap pengawasan secara bertahap, mulai teguran sampai sanksi, bisa memberikan efek jera bagi pelanggar perda antirokok. Sehingga, masyarakat tidak perlu diawasi untuk tidak merokok di sembarang tempat. Dan pada intinya, mereka ingin melindungi perokok pasif dan menekan perokok pemula. (Jawa Pos Edisi 22 Oktober 2009).

Inti permasalahannya adalah perda antirokok mulai diberlakukan di Surabaya, namun pemkot sendiri sebagai badan yang bertanggung jawab atas adanya Perda Antirokok tersebut, masih terlihat belum siap. Hal tersebut dinilai melalui penyediaan infrastruktur ruangan khusus merokok yang masih minim. Sedangkan pada kenyataan yang tertulis dalam Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM), Bab 4 tentang Kewajiban Pimpinan Atau Penanggung Jawab Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok, Pasal 5 Ayat 2 yaitu :

Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Terbatas Merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berkewajiban untuk :


(32)

2. Membuat dan memasang tanda/petunjuk/peringatan larangan merokok dan tanda/petunjuk ruangan boleh merokok.

3. Wajib memberikan teguran dan peringatan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2).

Berakar dari masalah tersebut, dalam realita masyarakat sendiri saat ini, pemberitaan tentang diberlakukannya perda antirokok tersebut menuai pro dan kontra. Bagi mereka yang pro terhadap pemberitaan tersebut adalah mereka yang mayoritas merupakan para perokok. Mereka sebenarnya tidak mempermasalahkan dengan diresmikannya perda mengenai larangan merokok di area publik, mereka hanya menginginkan adanya konsekuensi konkrit dari pemerintah sendiri terlebih dahulu. Yang dimaksudkan disini adalah andaikan perda tersebut benar-benar dilaksanakan sesuai rancangan dan sanksi yang sudah ada (bagi para pelanggarnya), pemerintah setempat paling tidak mengadakan penyuluhan-penyuluhan terlebih dahulu dan telah menyiapkan tempat-tempat khusus bagi mereka (smoking area atau smoking room), sehingga tidak ada unsur dan pemikiran dari mereka bahwa hal itu sebuah penindasan bagi mereka ketika mereka melanggarnya dan dikenakan sanksi atas pelanggarannya tersebut.

Sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap pemberitaan tersebut adalah mereka yang minoritas merupakan para perokok pasif dan peduli terhadap kesehatan lingkungan sekitar. Mereka menyuarakan aspirasinya


(33)

dan menginginkan Pemerintah Kota Surabaya untuk segera mendirikan sebuah Smoking Room atau Smoking Area bagi para perokok, sehingga para perokok tersebut tidak merusak kesehatan lingkungan di sekitarnya.

Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana opini pembaca yang berusia 17-50 tahun tentang adanya berita tersebut. Peneliti berusaha mengetahui hal tersebut diatas melalui opini terhadap objek yang disebabkan kondisi yang mempengaruhi pandangan seseorang, latar belakang pengetahuan (frame of reference) yang berbeda, budaya dan psikologis.

Positif

Netral

Negatif Opini

Organism : Perhatian, Pengertian,

Penerimaan Masyarakat Surabaya

usia 17-50 tahun Stimulus :

Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Jawa

Pos

Gambar 2.2


(34)

 

3.1   Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 

3.1.1. Definisi Operasional

Yang dimaksud dengan definisi operasional disini adalah petunjuk tentang langkah-langkah mengukur variabel dari menetapkan variabel yang hendak diukur, mendefinisikan arti variabel (definisi konseptual), menetapkan jenis dan jumlah indikator (atribut) membuat sejumlah kuesioner dari setiap indikator, menetapkan skala pengukuran, menetapkan jumlah pilihan jawaban dan skor tiap pilihan jawaban. Singarimbun menegaskan definisi operasional adalah petunjuk bagaimana sebuah variabel diukur. (Hamidi, 2007 : 4).

Tipe penelitian deskriptif adalah suatu jenis tipe penelitian yang hanya menggambarkan atau menguraikan atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap objek yang diteliti. Metode ini merupakan suatu metode yang berupaya untuk memberikan gambaran mengenai suatu fenomena tertentu secara terperinci, yang pada akhirnya akan diperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai fenomena yang sedang diteliti. Deskriptif dapat juga diartikan sebagai metode yang melukiskan variabel demi variabel satu per satu. (Bungin, 2001 : 26).


(35)

Opini disini diwujudkan sebagai suatu proses internal yang memungkinkan kita untuk memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita.

Opini adalah salah satu interaksi dan pemikiran manusia tentang suatu hal yang kemudian dinyatakan atau diekspresikan. Dalam kaitannya dengan proses komunikasi terdapat efek dan salah satunya adalah opini atau pendapat. Opini juga dapat diekspresikan sebagai salah satu pernyataan sikap dalam kata-kata yang digolongkan menjadi pendapat positif (pernyataan yang mendukung), netral, dan pendapat negatif (pernyataan yang tidak mendukung).

Opini dalam penelitian ini adalah salah satu hasil interaksi pembaca yang mengemukakan pendapatnya dalam bentuk respon pasca pemberitaan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos.

Indikator yang digunakan untuk mengukur opini masyarakat di Surabaya pasca pemberitaan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos antara lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam daftar kuesioner yaitu menyangkut :

Isi berita surat kabar Jawa Pos yang menceritakan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos :


(36)

1. Pro dan kontra tentang dimulainya penerapan Perda Antirokok di Surabaya, hal itu kaitannya dengan :

a. Kesiapan pemkot dan masyarakat Surabaya.

b. Kesesuaian fungsi yang dibawa dari penerapan Perda Antirokok tersebut dengan isi Perda Antirokok itu sendiri.

2. Pro dan kontra tentang perlu atau tidak adanya penerapan Perda Antirokok di Surabaya.

3.1.2 Pengukuran Variabel

Untuk mengukur variabel opini masyarakat pasca pemberitaan tentang mulai diberlakukannya perda antirokok di harian Jawa Pos dalam penelitian ini digunakan model skala likert (skala sikap). Untuk melakukan penskalaan dengan model ini, responden akan diminta menyatakan sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Adapun kategori jawaban yang terdapat pada opini tersebut akan diberi bobot skor sebagai berikut :

Sangat Setuju (SS) : 4

Setuju (S) : 3

Tidak Setuju (TS) : 2


(37)

Skor pada kategori diatas ditentukan untuk mengukur pernyataan yang positif. Selanjutnya akan diberikan batasan-batasan dalam menetukan lebar interval dari pernyataan yang akan dijawab yaitu positif, netral, dan negatif akan menggunakan rumus :

Keterangan :

Range : Berdasarkan dari setiap tingkatan

Skor jawaban tertinggi : Hasil perkalian antara jumlah item pertanyaan dengan bobot skor tertinggi Skor jawaban terendah : Hasil perkalian antara jumlah item

pertanyaan dengan bobot skor terendah Interval : 3

Jadi :

Skor jawaban tertinggi : 4 x 14 = 56 Skor jawaban terendah : 1 x 14 = 14

56 - 14 Range = --- = 14

3

Jadi range dari setiap kategori opini adalah :

      Skor jawaban tertinggi – Skor jawaban terendah Range =

Interval

1. Opini Positif : 43 – 56 2. Opini Netral : 28 – 42 3. Opini Negatif : 14 – 27


(38)

Secara operasional opini tersebut dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu :

1. Positif, jika responden memberikan pernyataan setuju, mendukung atau berpendapat baik terhadap pemberitaan di Jawa Pos tersebut (kontra terhadap pemberlakuan perda antirokok).

2. Netral, jika responden memberikan pernyataan ragu-ragu termasuk didalamnya pernyataan tidak berpendapat terhadap pemberitaan di Jawa Pos tersebut.

3. Negatif, jika responden memberikan pernyataan tidak mendukung atau berpendapat tidak baik tehadap pemberitaan di Jawa Pos tersebut (pro terhadap pemberlakuan perda antirokok).

3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2005 : 91). Peneliti menggunakan masyarakat Surabaya berusia 17-50 tahun yang membaca pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya pada harian Jawa Pos. Dan subjek penelitian yang tercatat sebanyak 1.783.257 jiwa.


(39)

3.2.2 Sampel dan Teknik Penarikan Sampel

Sampel adalah jumlah dari populasi yang akan diambil. Sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan masyarakat yang bertempat tinggal di Surabaya yang berusia 17-50 tahun yang membaca pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya pada harian Jawa Pos.

Untuk menentukan jumlah sampel yang akan digunakan, akan ditentukan dengan menggunakan Rumus Yamane sebagai berikut :

Keterangan :

n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi

d = Presisi (derajat ketelitian)

n = N = 1.783.257 = 99,9 = 100 responden N.d2 + 1 1.783.257.(0,1)2 + 1

Jadi jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 dengan ketentuan masyarakat Surabaya yang berusia 17-50 tahun dan membaca berita Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya pada harian Jawa Pos. Secara sistematis langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini digambarkan dalam gambar 3.2 dibawah ini.

N n = --- N.d2 + 1 


(40)

Gambar 3.2 Sistematika Pengambilan Sampel

Keterangan :

N = Kota Surabaya

N1 = Surabaya Pusat N2 = Surabaya Timur

N1a = Kecamatan Tegalsari N1b = Kecamatan Genteng

N2a = Kecamatan Tenggilis Mejoyo N2b = Kecamatan Gunung Anyar n1 = Kelurahan Wonorejo

n2 = Kelurahan Kedungdoro n3 = Kelurahan Ketabang n4 = Kelurahan Genteng n5 = Kelurahan Kutisari n6 = Kelurahan Kendangsari

N1b

N1

n4

n3

n2

n1

N2a

n6

n5

n7

n8

N2

N

N2b

N1a


(41)

n7 = Kelurahan Rungkut Tengah n8 = Kelurahan Gunung Anyar

Untuk mengambil jumlah sampel, peneliti menggunakan metode Multistage Cluster Random Sampling dalam rangka penentuan wilayah.

1. Cluster Tahap Pertama. Yang dilakukan adalah penentuan wilayah di Kota Surabaya. Wilayah Kota Surabaya terbagi menjadi lima bagian, yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Barat. Setelah dilakukan pemilihan secara acak, terpilih Surabaya Pusat dan Surabaya Timur.

2. Cluster Tahap Kedua. Penentuan daerah kecamatan. Wilayah Surabaya Pusat mencakup empat kecamatan dan Surabaya Timur mencakup tujuh kecamatan. Pemilihan dilakukan secara acak, dan untuk wilayah Surabaya Pusat terpilih Kecamatan Tegalsari dan Kecamatan Genteng. Sementara Kecamatan Tenggilis Mejoyo dan Kecamatan Gunung Anyar mewakili wilayah Surabaya Timur.

3. Cluster Tahap Ketiga. Penentuan daerah kelurahan. Untuk Kecamatan Tegalsari terpilih Kelurahan Wonorejo dan Kelurahan Kedungdoro. Untuk Kecamatan Genteng terpilih Kelurahan Ketabang dan Kelurahan Genteng. Untuk Kecamatan Tenggilis Mejoyo terpilih Kelurahan Kutisari dan Kelurahan Kendangsari. Dan untuk Kecamatan Gunung Anyar terpilih Kelurahan Rungkut Tengah dan Kelurahan Gunung Anyar.


(42)

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, bahwa jumlah penduduk usia 17-50 tahun untuk masing-masing kelurahan adalah sebagai berikut : 1. Kelurahan Wonorejo : 30.226 jiwa

2. Kelurahan Kedungdoro : 26.690 jiwa 3. Kelurahan Ketabang : 8.891 jiwa 4. Kelurahan Genteng : 10.097 jiwa 5. Kelurahan Kutisari : 17.750 jiwa 6. Kelurahan Kendangsari : 13.950 jiwa 7. Kelurahan Rungkut Tengah : 13.293 jiwa 8. Kelurahan Gunung Anyar : 14.752 jiwa

Jumlah : 135.739 jiwa

Untuk memperinci, jumlah sampel yang akan diteliti dari masing-masing kelurahan ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang dicari

N1 = Jumlah stratum ke-1 (sub populasi) kelurahan

N = Jumlah masyarakat Surabaya berusia 17-50 tahun per kelurahan n1 = Jumlah sampel minimal yang ditentukan

         N1 n = x n1


(43)

Berdasarkan rumus diatas, maka perhitungannya akan seperti dibawah ini :

30.226

1. Kelurahan Wonorejo : x 100 = 22,2 = 22 135739

26.690

2. Kelurahan Kedungdoro : x 100 = 9,6 = 20 135739

8.891

3. Kelurahan Ketabang : x 100 = 6,6 = 7 135739

10.097

4. Kelurahan Genteng : x 100 = 7,4 = 7 135739

17.750

5. Kelurahan Kutisari : x 100 = 13 135739

13.950

6. Kelurahan Kendangsari : x 100 = 10,2 = 10 135739

13.293

7. Kelurahan Rungkut Tengah : x 100 = 9,7 = 10 135739

14.752

8. Kelurahan Gunung Anyar : x 100 = 10,8 = 11 135739


(44)

NO. KELURAHAN POPULASI PERSENTASE RESPONDEN (%)

1. Wonorejo 30.226  22

2. Kedungdoro 26.690 20

3. Ketabang 8.891 7

4. Genteng 10.097 7

5. Kutisari 17.750 13

6. Kendangsari 13.950 10 7. Rungkut Tengah 13.293 10 8. Gunung Anyar 14.752 11

JUMLAH 135.739 100

Tabel 3.2 Tabel Jumlah Sampel

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dikategorikan dalam 3 jenis, yaitu :

1. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari responden. Adapun data primer berupa penyebaran kuesioner pada responden yang sesuai dengan sampel yang diambil untuk memperoleh keterangan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup dan terbuka. Yang dimaksud dengan kuesioner tertutup adalah dirancang sedemikian rupa untuk merekam data tentang keadaan yang dialami oleh responden sendiri, kemudian alternatif jawaban yang harus dijawab telah tertera pada kuesioner


(45)

tersebut. Sedangkan untuk kuesioner terbuka memungkinkan responden untuk menjelaskan jawabannya. (Singarimbun, 1989 : 45).

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka yang terkait dengan masalah-masalah yang akan diteliti. Bahan-bahan pustaka didapat dari buku-buku literatur atau informasi tertulis lainnya dan instansi-instansi yang terkait. Data sensus juga termasuk salah satunya. Selain itu juga segala macam keterangan yang diperoleh dari internet mengenai topik terkait. (Bungin, 2004 : 122-123).

3.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini tidak menguji hubungan antara beberapa variable, tetapi hanya memaparkan satu masalah, maka yang digunakan adalah metode deskriptif. Untuk memperjelas, dalam analisis data ini perlu didukung oleh tabel distribusi frekuensi. Berdasarkan data yang telah diperoleh, selanjutnya peneliti menganalisa dan menginterpretasikan data untuk mengetahui opini pembaca Surabaya pasca pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya pada harian Jawa Pos.

Data yang diperoleh dari hasil kuesioner selanjutnya akan diolah untuk pendiskripsian. Pengolahan data yang diperoleh dari hasil kuesioner terdiri dari mengedit, mengkode, dan memasukkan data tersebut dalam tabulasi data untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif setiap


(46)

pertanyaan yang diajukan. Data yang didapat dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan rumus :

       F

P = x 100 % N 

Keterangan :

P = Prosentase Responden F = Frekuensi Responden N = Jumlah Responden

Dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh apa yang diinginkan peneliti dengan kategori tertentu. Hasil perhitungan selanjutnya dilampirkan dalam tabel yang disebut tabulasi agar mudah diinterpretasikan.


(47)

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

4.1.1 Masyarakat Surabaya Pusat dan Surabaya Timur

Penelitian ini dilakukan di Surabaya yang merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Timur dengan ciri khas penduduk yang heterogen dan majemuk. Selain itu Surabaya bisa disebut sebagai kota kosmopolitan karena ada beberapa ciri yang melekat pada masyarakatnya yaitu individualistis, suka pada transparansi, dan dekat dengan media massa.

Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Surabaya berusia 17-50 tahun dan lokasi yang diambil adalah wilayah Surabaya Pusat dan Surabaya Timur. Dari masing-masing wilayah tersebut diambil dua kecamatan. Untuk wakil dari wilayah Surabaya Pusat diambil Kecamatan Tegalsari dan Kecamatan Genteng. Dari wilayah Surabaya Timur diambil Kecamatan Tenggilis Mejoyo dan Kecamatan Gunung Anyar. Langkah selanjutnya adalah menentukan dua kelurahan dari setiap kecamatan. Kelurahan Wonorejo (30.226 jiwa) dan Kelurahan Kedungdoro (26.690 jiwa) mewakili Kecamatan Tegalsari, Kelurahan Ketabang (8.891 jiwa) dan Kelurahan Genteng (10.097 jiwa) mewakili Kecamatan Genteng. Sementara itu dari Kecamatan Tenggilis Mejoyo diambil Kelurahan Kutisari (17.750 jiwa) dan Kelurahan Kendangsari (13.950 jiwa). Yang


(48)

terakhir adalah dari Kecamatan Gunung Anyar diambil Kelurahan Rungkut Tengah (13.293 jiwa) dan Kelurahan Gunung Anyar (14.752 jiwa).

4.1.2 Berita Berlakunya Perda Antirokok di Jawa Pos

Dalam beberapa waktu lalu, pemerintah kota Surabaya mulai memberlakukan aturan larangan merokok di area publik sesuai dengan Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM). Dan kabar tersebut ramai dibahas dalam berbagai media, khususnya harian Jawa Pos.

Jawa pos selain sebagai salah satu surat kabar yang menyajikan berita tentang dimulainya pemberlakuan perda antirokok di Surabaya, juga mengupas fakta dan realitas yang bertolak yang ada dibalik proses pemberlakuan perda yang mulai dijalankan 22 Oktober 2009 lalu.

Dalam pemberitaan disebutkan, dinkes memperkirakan kesiapan masyarakat metropolis dalam mengimplementasikan perda tersebut masih 70 persen. Tapi, bisa jadi kurang dari perkiraan itu. Menurut Esty, angka 70 persen itu terkait dengan penyediaan smoking room di kawasan terbatas merokok. Selama setahun sejak perda antirokok disahkan, dinkes menyatakan sudah melakukan sosialisasi secara optimal. Pengenalan kepada masyarakat itu dilakukan melalui bantuan LSM yang concern pada masalah kesehatan. Kenyataannya, penyediaan infrastruktur ruangan


(49)

khusus merokok, baik di instansi pemerintah maupun swasta, hingga kini masih minim.

Plt Kepala Satpol PP Arief Boediarto mengatakan akan bersosialisasi terlebih dahulu dalam menindak pelanggar perda antirokok. Arief menjelaskan, berdasar koordinasi dengan dinas kesehatan (dinkes) selama enam bulan pertama, pemkot cuma menegur mereka yang merokok di tempat yang dilarang. Enam bulan setelah sosialisasi, Arief berjanji memperketat penegakan perda. Sanksi administratif dan pidana mulai diberlakukan. Seperti termuat dalam perda, pelanggar dapat dikenai denda maksimal 50 juta rupiah atau pidana kurungan maksimal tiga bulan. Arief berharap pengawasan secara bertahap, mulai teguran sampai sanksi, bisa memberikan efek jera bagi pelanggar perda antirokok. Sehingga, masyarakat tidak perlu diawasi untuk tidak merokok di sembarang tempat. Dan pada intinya, mereka ingin melindungi perokok pasif dan menekan perokok pemula. (Jawa Pos Edisi 22 Oktober 2009).

Inti permasalahannya adalah perda antirokok mulai diberlakukan di Surabaya, namun pemkot sendiri sebagai badan yang bertanggung jawab atas adanya Perda Antirokok tersebut, masih terlihat belum siap. Hal tersebut dinilai melalui penyediaan infrastruktur ruangan khusus merokok yang masih minim. Sedangkan pada kenyataan yang tertulis dalam Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM), Bab 4 tentang Kewajiban Pimpinan Atau


(50)

Penanggung Jawab Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok, Pasal 5 Ayat 2 yaitu :

Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Terbatas Merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berkewajiban untuk :

1. Menyediakan tempat khusus untuk merokok.

2. Membuat dan memasang tanda/petunjuk/peringatan larangan merokok dan tanda/petunjuk ruangan boleh merokok.

3. Wajib memberikan teguran dan peringatan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2).

Berakar dari masalah tersebut, dalam realita masyarakat sendiri saat ini, pemberitaan tentang diberlakukannya perda antirokok tersebut menuai pro dan kontra. Bagi mereka yang pro terhadap pemberitaan tersebut adalah mereka yang mayoritas merupakan para perokok. Mereka sebenarnya tidak mempermasalahkan dengan diresmikannya perda mengenai larangan merokok di area publik, mereka hanya menginginkan adanya konsekuensi konkrit dari pemerintah sendiri terlebih dahulu. Yang dimaksudkan disini adalah andaikan perda tersebut benar-benar dilaksanakan sesuai rancangan dan sanksi yang sudah ada (bagi para pelanggarnya), pemerintah setempat paling tidak mengadakan penyuluhan-penyuluhan terlebih dahulu dan telah menyiapkan tempat-tempat khusus bagi mereka (smoking area atau smoking room), sehingga


(51)

tidak ada unsur dan pemikiran dari mereka bahwa hal itu sebuah penindasan bagi mereka ketika mereka melanggarnya dan dikenakan sanksi atas pelanggarannya tersebut.

Sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap pemberitaan tersebut adalah mereka yang minoritas merupakan para perokok pasif dan peduli terhadap kesehatan lingkungan sekitar. Mereka menyuarakan aspirasinya dan menginginkan Pemerintah Kota Surabaya untuk segera mendirikan sebuah Smoking Room atau Smoking Area bagi para perokok, sehingga para perokok tersebut tidak merusak kesehatan lingkungan di sekitarnya.

Opini dalam penelitian ini adalah salah satu hasil interaksi masyarakat yang mengemukakan pendapatnya dalam bentuk respon pasca pemberitaan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos.

Indikator yang digunakan untuk mengukur opini masyarakat di Surabaya pasca pemberitaan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos antara lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam daftar kuesioner yaitu menyangkut :

Isi berita surat kabar Jawa Pos yang menceritakan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos :

1. Pro dan kontra tentang dimulainya penerapan Perda Antirokok di Surabaya, hal itu kaitannya dengan :


(52)

a. Kesiapan pemkot dan masyarakat Surabaya.

b. Kesesuaian fungsi yang dibawa dari penerapan Perda Antirokok tersebut dengan isi Perda Antirokok itu sendiri.

2. Pro dan kontra tentang perlu atau tidak adanya penerapan Perda Antirokok di Surabaya.

4.2 Penyajian dan Analisis Data

Sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa sampel penelitian ini adalah sebanyak 100 orang responden yang bertempat tinggal di Surabaya dengan menggunakan kuesioner sebagai alat ukurnya.

4.2.1 Identitas Responden

4.2.1.1Berdasarkan Klasifikasi Usia

Berikut ini dalam tabel 1 disajikan deskripsi klasifikasi usia responden yang didapatkan dari hasil kuesioner yang telah dilakukan, peneliti menetapkan responden dengan batasan usia 17-50 tahun. Pengklasifikasian usia responden tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah sebagai berikut.


(53)

Tabel 1 Usia n = 100

No. Usia F %

1. 17 – 27 33 33

2. 28 – 38 53 53

3. 39 - 50 14 14

∑ 100 100

Sumber : Kuesioner Sub I no. 1

Dari hasil penelitian klasifikasi berdasarkan usia seperti yang terlihat pada tabel 1, didapatkan jumlah responden terbanyak adalah untuk kelompok usia 28 sampai 38 tahun yaitu sejumlah 53 orang atau sebesar 53 %. Sedangkan responden yang berusia 17 sampai 27 tahun sebanyak 33 orang atau 33 %. Dan sisanya responden yang berusia 39 sampai dengan 50 tahun yaitu sebanyak 14 orang atau 14 %. Banyaknya responden yang berusia 28 sampai 38 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut responden sangat ingin mendapatkan sesuatu yang baru dari dunia sosial, dan pola pikir serta daya analisis responden pada usia tersebut lebih kritis dalam menyikapi suatu masalah khususnya masalah sosial terutama masalah diberlakukannya perda antirokok yang menuai pro dan kontra dalam masyarakat.


(54)

4.2.1.2Berdasarkan Klasifikasi Jenis Kelamin Responden

Selanjutnya dalam tabel 2 dijabarkan hasil kuesioner dari responden berdasarkan jenis kelaminnya. Selengkapnya seperti tersaji dibawah ini :

Tabel 2 Jenis Kelamin

n = 100

No. Jenis Kelamin F %

1. Laki – laki 54 54

2. Perempuan 46 46

100 100

Sumber : Kuesioner Sub I no. 2

Sesuai dengan data yang tertera pada tabel diatas, diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 54 %. Sisanya adalah 46 % perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa laki-laki untuk menyimak berita tentang diberlakukannya perda antirokok tersebut sedikit diatas perempuan. Itu dikarenakan laki-laki yang diidentikkan sebagai pengkonsumsi rokok terbanyak dibanding perempuan merasa lebih terkait dalam permasalahan tersebut.

4.2.1.3Berdasarkan Klasifikasi Pendidikan Terakhir

Kuesioner yang dibagikan dalam penelitian ini memiliki ketentuan untuk semua tingkat graduasi. Hal ini dilakukan semata-mata supaya


(55)

diperoleh data yang valid dan dapat digeneralisasi. Untuk mengetahui data responden secara lengkap dapat dilihat dari tabel 3 dibawah sebagai berikut.

Tabel 3 Pendidikan Terakhir

N = 100

No. Pendidikan Terakhir F %

1. SD/sederajat 1 1

2. SMP/sederajat 3 3

3. SMA/sederajat 47 47

4. Akademi/Diploma 15 15

5. Sarjana 28 28

6. Pascasarjana 6 6

100 100

Sumber : Kuesioner Sub I no. 3

Sesuai dengan data yang ditulis pada tabel 3, diketahui bahwa dari total 100 orang responden, ternyata 47 % responden adalah berpendidikan terakhir SMA/sederajat. Dan sisanya 28 % responden adalah sarjana. Sementara di peringkat ketiga pendidikan terakhir responden adalah berasal dari tingkat akademi/diploma dengan 15 %. Lalu ada pascasarjana sebesar 6 %, SMP/sederajat sebesar 3 %, dan SD/sederajat sebesar 1 %. Hal ini membuktikan bahwa responden yang memiliki ijazah


(56)

SMA/sederajat lebih banyak memiliki ketertarikan terhadap berita tentang diberlakukannya perda antirokok tersebut ketimbang lainnya.

4.2.1.4Berdasarkan Klasifikasi Pekerjaan

Dari 100 orang responden yang membaca pemberitaan berlakunya perda antirokok pada harian jawa pos, mereka memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam. Untuk mengetahui data secara lengkap dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4 Pekerjaan

n = 100

No. Pekerjaan Responden F %

1. Pelajar/Mahasiswa 21 21

2. TNI 2 2

3. POLRI 5 5

4. PNS 12 12

5. Pegawai Swasta 32 32

6. Wiraswasta 20 20

7. Buruh 6 6

8. (lain) Ibu Rumah Tangga 2 2

∑ 100 100


(57)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas mata pencaharian responden adalah sebagai pegawai swasta yaitu sebanyak 30 orang atau 30 % dari total responden, selanjutnya adalah pelajar/mahasiswa sebanyak 21 orang (21 % dari total responden). Wiraswasta sebanyak 19 orang (19 %), Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 12 orang (12 %), buruh sebanyak 6 orang (6 %), POLRI sebanyak 5 orang (5 %), dan TNI sebanyak 2 orang (2 %). Sementara itu ada responden yang memiliki pekerjaan diluar dari tujuh buah yang telah ditentukan oleh peneliti yaitu sebesar 5 %, mereka diantaranya ada yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sebanyak 2 orang (2 %), free lane 1 orang (1 %), guru musik 1 orang (1 %), dan pedagang 1 orang (1 %). Bisa dilihat mayoritas responden disini adalah pegawai swasta yang masih menyempatkan untuk menyimak berita tentang diberlakukannya perda antirokok tersebut meskipun jam kerja mereka sudah sangat padat pada hari-hari kerja. Rata-rata, pegawai swasta memiliki waktu relatif lebih panjang dibanding PNS, wiraswasta, atau buruh.

4.2.2 Opini

Opini merupakan ekspresi tentang sikap (kecenderungan untuk memberikan respon) terhadap suatu masalah atau situasi tertentu dapat berupa pernyataan yang diucapkan atau tulisan sebagai jawaban yang diucapkan atau diberi individu terhadap suatu rangsangan atau situasi yang mengemukakan beberapa pernyataan yang dipermasalahkan. Opini dalam penelitian ini diukur melalui beberapa indikator diantaranya adalah :


(58)

4.2.2.1Opini Masyarakat Tentang Pemkot Belum Siap Dalam Penerapan Perda Antirokok.

Tabel 5

Pemkot Belum Siap Dalam Penerapan Perda Antirokok n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 21 21

2. Setuju 75 75

3. Tidak Setuju 3 3

4. Sangat Tidak Setuju 1 1

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 6

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Pemkot Belum Siap Dalam Penerapan Perda Antirokok : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 21 orang responden (21%), Setuju (S) sebanyak 75 orang responden (75%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 3 orang responden (3%) dan Sangat Tidak Setuju (STS) sebanyak 1 orang responden (1%).

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Pemkot Belum Siap Dalam Penerapan Perda Antirokok disebabkan karena, menurut responden hal tersebut terlihat dari penerapan perda itu yang terkesan seadanya dan belum terealisasi dengan benar. Itu dinilai dari infrastruktur yang belum maksimal tersedia, bila pun ada itu dengan fasilitas yang


(59)

terkesan seadanya. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, pemkot dinilainya sudah siap karena terbukti telah memberlakukan perda antirokok tersebut, tanpa memperhatikan kenyataan (berita) yang ada sebenarnya. Begitupun pendapat responden yang menyatakan sangat tidak setuju.

4.2.2.2Opini Masyarakat Tentang Pemkot Kurang

Bersungguh-sungguh/Berniat Dalam Penerapan Perda Antirokok.

Tabel 6

Pemkot Kurang Bersungguh-sungguh/Berniat Dalam Penerapan Perda Antirokok

n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 14 14

2. Setuju 71 71

3. Tidak Setuju 15 15

4. Sangat Tidak Setuju 0 0

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 7

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Pemkot Kurang Bersungguh-sungguh/Berniat Dalam Penerapan Perda : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 14 orang responden (14%), Setuju (S) sebanyak 71 orang responden (71%), Tidak Setuju (TS)


(60)

sebanyak 15 orang responden (15%) dan tidak ada responden yang menjawab Sangat Tidak Setuju (STS).

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Pemkot Kurang Bersungguh-sungguh/Berniat Dalam Penerapan Perda disebabkan karena, menurut responden hal tersebut terlihat dari sosialisasi yang dilakukan masih sangat minim, hal tersebut menandakan bahwa pemkot memang kurang bersungguh-sungguh/berniat dalam penerapan perda antirokok. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, pemkot dinilainya sebenarnya sudah bersungguh-sungguh/berniat dalam penerapan perda antirokok tersebut, hanya saja tidak segera dijalankan/diefektifkan programnya tersebut.

4.2.2.3Opini Masyarakat Tentang Infrastruktur KTM (Smoking Room)

Yang Masih Minim Memicu Ketidaksiapan Dalam Penerapan Perda Antirokok.

Berikut ini dijelaskan opini masyarakat tentang infrastruktur KTM (Smoking Room) yang masih minim adalah pemicu dari ketidaksiapan dalam penerapan perda antirokok di Surabaya. Penjelasan tersebut tercatat pada tabel 8 sebagai berikut.


(61)

Tabel 7

Infrastruktur KTM (Smoking Room) Yang Masih Minim Memicu Ketidaksiapan Dalam Penerapan Perda Antirokok

n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 43 43

2. Setuju 54 54

3. Tidak Setuju 3 3

4. Sangat Tidak Setuju 0 0

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 8

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Infrastruktur KTM (Smoking Room) Yang Masih Minim Memicu Ketidaksiapan Dalam Penerapan Perda Antirokok : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 43 orang responden (43%), Setuju (S) sebanyak 54 orang responden (54%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 3 orang responden (3%) dan tidak ada responden yang menjawab Sangat Tidak Setuju (STS).

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Infrastruktur KTM (Smoking Room) Yang Masih Minim Memicu Ketidaksiapan Dalam Penerapan Perda Antirokok disebabkan karena, menurut responden dalam tempat yang ditentukan sebagai kawasan terbatas merokok, masih belum tersedia smoking room, bilapun ada itu dengan fasilitas ala kadarnya saja. Inilah yang membuat para perokok merasa terintimidasi, dan menimbulkan suara kontra dalam masyarakat. Responden yang


(62)

menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, ada ataupun tidak ada smoking room peraturan tersebut akan tetap dilanggar, karena smoking room akan menjauhkan perokok dari kepraktisan merokok di sembarang tempat.

4.2.2.4Opini Masyarakat Tentang Pemberlakuan Perda Antirokok Sudah

Sesuai Dengan Kenyataan (Isi Perda Antirokok). Tabel 8

Pemberlakuan Perda Antirokok Sudah Sesuai Dengan Kenyataan (Isi Perda Antirokok)

n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 6 6

2. Setuju 30 30

3. Tidak Setuju 62 62

4. Sangat Tidak Setuju 2 2

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 9

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Pemberlakuan Perda Antirokok Sudah Sesuai Dengan Kenyataan (Isi Perda Antirokok) : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 6 orang responden (6%), Setuju (S) sebanyak 30 orang responden (30%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 62 orang responden (62%) dan Sangat Tidak Setuju (STS) sebanyak 2 orang responden (2%).


(63)

Banyaknya responden yang menyatakan tidak setuju bahwa Pemberlakuan Perda Antirokok Sudah Sesuai Dengan Kenyataan (Isi Perda Antirokok) disebabkan karena, menurut responden masih banyak tempat-tempat umum/kantor yang tidak menyediakan tempat khusus bagi para perokok, hal tersebut dinilai jelas sangat merugikan kesehatan orang disekitar perokok yang tidak merokok. Responden yang menyatakan sangat tidak setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan setuju, sudah sesuai atau tidaknya pemberlakuan perda antirokok tersebut dengan isi perdanya sendiri tetap tidak begitu penting sebenarnya, yang terpenting adalah sebuah kesadaran dari masing-masing individu. Begitupun pendapat responden yang menyatakan sangat setuju.

4.2.2.5Opini Masyarakat Tentang Sosialisasi Perda Antirokok Kepada

Masyarakat Surabaya Masih Kurang.

Berikut ini dijelaskan opini masyarakat tentang sosialisasi perda antirokok kepada masyarakat Surabaya masih kurang. Penjelasan tersebut tercatat pada tabel 10 sebagai berikut.


(64)

Tabel 9

Sosialisasi Tentang Perda Antirokok Kepada Masyarakat Surabaya Masih Kurang

n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 37 37

2. Setuju 58 58

3. Tidak Setuju 5 5

4. Sangat Tidak Setuju 0 0

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 10

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Sosialisasi Tentang Perda Antirokok Kepada Masyarakat Surabaya Masih Kurang : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 37 orang responden (37%), Setuju (S) sebanyak 58 orang responden (58%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 5 orang responden (5%) dan tidak ada responden yang menjawab Sangat Tidak Setuju (STS).

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Sosialisasi Tentang Perda Antirokok Kepada Masyarakat Surabaya Masih Kurang disebabkan karena, menurut responden masih banyak masyarakat luas yang belum tahu dan mengerti tentang perda itu sendiri. Sebaiknya sosialisasi dilakukan melalui atau melibatkan seluruh media promo. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju,


(65)

kembali pada masalah kesadaran pada diri masing-masing individu tersebut.

4.2.2.6Opini Masyarakat Tentang Masyarakat Surabaya Belum Siap

Dengan Penerapan Perda Antirokok. Tabel 10

Masyarakat Surabaya Belum Siap Dengan Penerapan Perda Antirokok n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 33 33

2. Setuju 66 66

3. Tidak Setuju 1 1

4. Sangat Tidak Setuju 0 0

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 11

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Masyarakat Surabaya Belum Siap Dengan Penerapan Perda Antirokok : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 33 orang responden (33%), Setuju (S) sebanyak 66 orang responden (66%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 1 orang responden (1%) dan tidak ada responden yang menjawab Sangat Tidak Setuju (STS).

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Masyarakat Surabaya Belum Siap Dengan Penerapan Perda Antirokok disebabkan karena, menurut responden tidak adanya infrastruktur (smoking room)


(66)

dalam kawasan yang ditentukan sebagai kawasan terbatas merokok, sehingga banyak yang masih merokok di sembarang tempat. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, masyarakat sebenarnya siap-siap saja, hanya saja tidak ada sosialisasi dari pemerintah kota.

4.2.2.7Opini Masyarakat Tentang Penerapan Perda Antirokok Tidak

Efektif.

Tabel 11

Penerapan Perda Antirokok Tidak Efektif n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 21 21

2. Setuju 61 61

3. Tidak Setuju 18 18

4. Sangat Tidak Setuju 0 0

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 12

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Penerapan Perda Antirokok Tidak Efektif : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 21 orang responden (21%), Setuju (S) sebanyak 61 orang responden (61%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 18 orang responden (18%) dan tidak ada responden yang menjawab Sangat Tidak Setuju (STS).


(67)

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Penerapan Perda Antirokok Tidak Efektif disebabkan karena, menurut responden pemkot sendiri belum siap menjalankan programnya tersebut, mulai dari sosialisasi hingga fasilitasnya, perwujudannya kurang bersungguh-sungguh. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, walaupun di awal berat namun bukan berarti akan tetap tidak efektif, hanya perlu perluasan sosialisasi serta penyediaan sarana oleh pemerintah untuk mendukung perda tersebut.

4.2.2.8Opini Masyarakat Tentang Penyediaan Infrastruktur KTM (Smoking

Room) Sangat Perlu.

Tabel 12

Penyediaan Infrastruktur KTM (Smoking Room) Sangat Perlu n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 52 52

2. Setuju 42 42

3. Tidak Setuju 3 3

4. Sangat Tidak Setuju 3 3

100 100

Sumber : Kuesioner III no. 13

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Penyediaan Infrastruktur KTM (Smoking Room) Sangat Perlu


(68)

: Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 52 orang responden (52%), Setuju (S) sebanyak 42 orang responden (42%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 3 orang responden (3%) dan Sangat Tidak Setuju (STS) sebanyak 3 orang responden (3%).

Banyaknya responden yang menyatakan sangat setuju bahwa Penyediaan Infrastruktur KTM (Smoking Room) Sangat Perlu disebabkan karena, menurut responden keberadaan smoking room adalah sebagai penengah dari jembatan pertikaian hak antara perokok dan perokok pasif. Sejatinya, smoking room disediakan untuk memberi kenyamanan bagi perokok tanpa harus merugikan kesehatan perokok pasif. Responden yang menyatakan setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju, hanya bermodal sosialisasi dan pembangunan mental untuk kesadaran tidak merokok di sembarang tempat lebih berguna daripada penyediaan smoking room.

4.2.2.9Opini Masyarakat Tentang Sosialisasi Dahulu, Baru Sanksi.

Berikut ini dijelaskan opini masyarakat tentang perlunya sosialisasi dahulu, baru diberlakukan sanksi. Penjelasan tersebut tercatat pada tabel 14 sebagai berikut.


(1)

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Fungsi Perda Antirokok Untuk Menekan Perokok Pemula disebabkan karena, menurut responden sebelum akhirnya menjadi perokok aktif, adanya perda antirokok tersebut mampu menekan dan menjadi tindakan preventif sebelum seorang perokok pemula menjadi perokok aktif. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, rokok tidak mengenal pemula/pasif, anak dengan tingkat pendidikan SD saat ini sudah banyak yang mengenal rokok, sebenarnya hal tersebut tergantung pada lingkungan dan pergaulannya. Begitupun pendapat responden yang menyatakan sangat tidak setuju.

4.2.2.14 Opini Masyarakat Tentang Perda Antirokok Memang Perlu Diterapkan Di Surabaya.

Tabel 18

Perda Antirokok Memang Perlu Diterapkan Di Surabaya n = 100

No. Kategori Jawaban F %

1. Sangat Setuju 31 31

2. Setuju 51 51

3. Tidak Setuju 12 12

4. Sangat Tidak Setuju 6 6

100 100


(2)

75  

Dari tabel di atas maka dapat diketahui responden yang menjawab pernyataan Perda Antirokok Memang Perlu Diterapkan Di Surabaya : Sangat Setuju (SS) adalah sebanyak 31 orang responden (31%), Setuju (S) sebanyak 51 orang responden (51%), Tidak Setuju (TS) sebanyak 12 orang responden (12%) dan Sangat Tidak Setuju (STS) sebanyak 6 orang responden (6%).

Banyaknya responden yang menyatakan setuju bahwa Perda Antirokok Memang Perlu Diterapkan Di Surabaya disebabkan karena, menurut responden Surabaya sudah menjadi kota metropolis yang padat penduduk dan padat polusi, apabila ditambah dengan polusi asap rokok, maka Surabaya akan menjadi kota yang penuh polusi baik udara maupun penyakit. Responden yang menyatakan sangat setuju pun mengungkapkan hal yang sama. Sedangkan menurut responden yang menyatakan tidak setuju, karena rokok juga banyak memberikan pemasukan devisa di negeri Indonesia hingga saat ini, atau perlu akan tetapi cukup di area-area tertentu saja. Begitupun pendapat responden yang menyatakan sangat tidak setuju.

4.2.3 Arah Opini Masyarakat

Dari hasil uraian-uraian yang terdapat pada definisi operasional yang diaplikasikan pada pertanyaan di kuesioner penelitian, maka selanjutnya dilakukan pengkategorian terhadap arah opini-opini terhadap pemberitaan berlakunya perda antirokok di Surabaya. Opini diklasifikasikan ke dalam


(3)

tiga jenis, yaitu positif, netral, dan negatif. Temuan datanya adalah sebagai berikut :

Tabel 19 Arah Opini

n = 100

No. Kategori Opini F %

1. POSITIF 59 59

2. NETRAL 41 41

3. NEGATIF 0 0

100 100

Sumber : Kuesioner

Dari data diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden atau masyarakat yang membaca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos justru memberikan opini positif. Yaitu sebanyak 59%. Hal ini membuktikan bahwa mereka mendukung pemberitaan tersebut disebabkan karena mereka ikut mengkritisi kebijakan yang seharusnya terealisasi dengan diberlakukannya perda antirokok. Bila dijabarkan, hal tersebut juga membuktikan bahwa masyarakat sangat kritis terhadap penerapan perda antirokok dengan kebijakan yang masih fatamorgana dari kebijakan aslinya tersebut. Kebijakan penerapan perda antirokok dikatakan masih fatamorgana dari kebijakan aslinya dikarenakan semua yang harusnya terealisasi sesuai dengan isi dalam perda belum semuanya terealisasi.


(4)

77  

Sedangkan sisanya adalah sebanyak 41% memberikan opini netral terhadap Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya yang hanya menganggap berita tersebut sebagai informasi biasa saja, tanpa memperhatikan dengan seksama bagaimana detail beritanya. Begitupun juga tentang keputusan pemberlakuan perda antirokok.


(5)

5.1 Kesimpulan Hasil Penelitian

Berdasarkan penarikan, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Surabaya memiliki opini positif terhadap pemberitaan tentang Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos. Opini positif itu menggambarkan bahwa mereka mendukung pemberitaan tersebut dalam menyampaikan dan mengupas fakta yang sebenarnya tentang keganjilan dari penerapan perda antirokok, yakni kebijakan yang seharusnya terealisasi seiring dengan diberlakukannya perda antirokok tersebut.

Dan opini positif tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak setuju dengan penerapan perda antirokok yang kebijakannya masih fatamorgana dari kebijakan aslinya tersebut. Kebijakan penerapan perda antirokok dikatakan masih fatamorgana dari kebijakan aslinya dikarenakan, semua yang harusnya terealisasi sesuai dengan isi dalam perda belum semuanya bisa terealisasi.

5.2 Saran

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh setiap surat kabar untuk menambah informasi terbaru khususnya yang berkaitan dengan dunia sosial masyarakat saat ini, sehingga masyarakat


(6)

79

dapat ikut menyimak dan mengkritisi permasalahan yang muncul dalam kehidupan sosial bermasyarakat, dan secara tidak langsung hal tersebut perlahan mengubah pola pikir masyarakat untuk terus maju lagi dalam menyimak dan mengkritisi sebuah permasalahan tertentu lainnya.


Dokumen yang terkait

PERSEPSI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PEMBERITAAN KONFLIK KEBUN BINATANG SURABAYA (Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Pemberitaan Konflik Pengelolahan dan Kepemilikan Lahan Kebun Binatang Surabaya (KBS) di Harian Jawa Pos).

3 5 129

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP PEMBERITAAN “SURABAYA CANTIK GREEN AND CLEAN” (Studi Deskriptif Tentang Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Pemberitaan “Surabaya Cantik Green And Clean” di Harian Jawa Pos).

0 0 99

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PEMBERITAAN POLIGAMI DI JAWA POS (Studi Deskriptif Sikap Masyarakat Surabaya Tentang Pemberitaan Poligami Di Jawa Pos).

0 0 105

SIKAP PEMBACA TENTANG PEMBERITAAN CIPTAKAN KAMPUNG AMAN DI HARIAN JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Pembaca Harian Jawa Pos Tentang Pemberitaan Ciptakan Kampung Aman).

0 1 134

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP PEMBERITAAN PEMBONGKARAN TEMBOK PEMBATAS TUGU PAHLAWAN (Studi Deskriptif Opini Masyarakat Surabaya Terhadap Pemberitaan Pembongkaran Tembok Pembatas Tugu Pahlawan di Jawa Pos).

4 20 83

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP MAKELAR KASUS PAJAK PASCA PEMBERITAAN GAYUS TAMBUNAN DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Sikap Masyarakat Terhadap Makelar Kasus Pajak Pasca Pemberitaan Gayus Tambunan Di Surat Kabar Jawa Pos).

1 2 96

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP PEMBERITAAN PEMBONGKARAN TEMBOK PEMBATAS TUGU PAHLAWAN (Studi Deskriptif Opini Masyarakat Surabaya Terhadap Pemberitaan Pembongkaran Tembok Pembatas Tugu Pahlawan di Jawa Pos)

0 0 20

Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos (Studi Deskriptif tentang Opini Masyarakat Pasca Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok Di Surabaya Pada Harian Jawa Pos)

0 0 15

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP PEMBERITAAN “SURABAYA CANTIK GREEN AND CLEAN” (Studi Deskriptif Tentang Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Pemberitaan “Surabaya Cantik Green And Clean” di Harian Jawa Pos)

0 0 24

PERSEPSI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PEMBERITAAN KONFLIK KEBUN BINATANG SURABAYA (Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Pemberitaan Konflik Pengelolahan dan Kepemilikan Lahan Kebun Binatang Surabaya (KBS) di Harian Jawa Pos)

1 1 16