Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

(1)

(Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM

FARMING :

Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

S U M A N T O

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR

(Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM

FARMING :

Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

S U M A N T O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(3)

Judul Tesis : Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis

de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

Nama : Sumanto

Nomor Pokok : E051040365

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi : Konservasi Biodiversitas

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Sub Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

Sumanto


(5)

iii

©

Hak cipta milik Sumanto, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya


(6)

iv

ABSTRACT

SUMANTO. Captive Breeding Planning of Timor Deer (Cervus timorensis de Blainville) with farming system : Case Study in Timor Deer Captive Breeding at IPB Campus – Darmaga. Under the direction of BURHANUDDIN MASY’UD and A. MACHMUD THOHARI.

Timor deer (Cervus timorensis de Blainville) is one of Indonesia wildlife species which population growth on natural habitat facing many threats as impact of human activities, like wild hunting and habitat destinction and fragmentation. Timor deer can be developed as livestock in the future its ability in difference geographic area of Indonesia. Farming system is appropriate model to be developed, because majority of Indonesian farmers ha ve about less than 1 hectares of farm area.

The objectives of this research are: to analyse suitable location, to analyse breeding plan and economical aspect. The research was caried out in captive breeding field labratory of IPB Darmaga Campus. Equipments which have been used are: digital camera, rool meter, weighing- machine and a set of computer with design program. Materials which used are: map, timor deers and plastic bags. This research used field observation method, literature study and interview method.

Pursuant to this research with based on bioecological condition, IPB captive breeding is suitable for timor deer captive location. Farm location was devideed into: headquarter zone 0,10 hectare (2,35%) and captive breeding zone 4,15 hectare (97,65%). Captive breeding management to be executed is farming system. Based on economic analysis, until 21,35% interest, captive breeding with farming system still give advantage if population size of parent stock in first year are 105, and 210 in second year and to be taken care until ninth year, with payback period 4,53 years.

Key word : timor deer, captive breeding planning, deer farming, site planning, economic analysis


(7)

v

ABSTRAK

SUMANTO. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan A. MACHMUD THOHARI.

Rusa timor adalah salah satu jenis satwa liar asli indonesia. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu spesies dari keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor sangat memungkinkan untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia baik dengan sistem Deer Ranching maupun dengan sistem Deer Farming. Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem deer farming.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me nganalisis kelayakan lokasi, penyusunan perencanaan penangkaran dan menganalisis kelayakan usaha. Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa kampus IPB Darmaga. Alat yang digunakan terdiri dari kamera, roll meter, timbangan dan seperangkat komputer dengan program disain. Sedangkan bahan yang digunakan adalah : peta lokasi, rusa timor dan habitatnya serta kantong plastik. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung dilapangan, studi litelatur dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian, maka lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa di kampus IPB – Darmaga dinyatakan layak secara bioekologi. Lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,35%) dan zona penangkaran 4,15 ha (97,65%). Manajemen penangkaran yang dilaksanakan adalah penangkaran dengan sistem deer farming.

Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan sistem deer farming dengan populasi induk pada tahun pertama adalah 105 ekor dan tahun kedua 110 ekor yang dipertahankan sampai tahun kesembilan cukup layak dan menguntungkan sampai pada tingkat suku bunga 21,35% dengan jangka waktu pengembalian modal adalah 4,53 tahun.

Kata kunci : rusa timor, perencanaan penangkaran, deer farming, perancangan tapak, analisis ekonomi


(8)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1968 di Desa Gentan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak Sonto Sumardjo dan Ibu Madiyem (Almh). Pada tahun 1981 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Pulau Mainan II, tahun 1984 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Wonotiung. Tahun 1987 menamatkan Pendidikan Menengah Atas di SMT Pertanian Negeri Sitiung. Semuanya berada di Kecamatan Koto Baru, Kabupaten Sawahlunto/Sijunujung (sekarang Kab. Darmas Raya), Sumatera Barat. Tahun 1992 menamatkan Pendidikan D III/A III di Fakultas Teknologi Pertanian – IPB.

Sejak tahun 1992 sampai sekarang bertugas sebagai staf pengajar di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Riau. Tahun 2001 menamatkan Pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Riau – Pekanbaru pada Program Studi Agronomi. Tahun 2004 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana – IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas.

Beristri Umiyati binti Nadhir Mangun Wiratmo dan dikaruniai tiga orang putra, yaitu : Hafidha Fatma Sari (12 tahun), Gilang Abiwijaya (7 tahun) dan Fathaya Putri Handayani (1,5 tahun). Alamat tempat tinggal di Komplek SMK Negeri 1 Pasir Penyu, Jl. Jend. Sudirman Air Molek, Indragiri Hulu, Riau. 29352.


(9)

vii

PRAKATA

Puji dan Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat hidayah, karunia, dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama pengambilan data di lapangan serta analisis hasilnya.

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul

“PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM FARMING”: Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga ini dapat terselesaikan dibawah tim komisi pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS. dengan anggota Bapak Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA. Untuk itu ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, karena tanpa arahan dan masukan yang diberikan selama penelitian dan penulisan, maka sulit dibayangkan tesis ini dapat selesai dengan baik.

Berbagai pihak telah memberikan kontribusinya secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaannya. Namun disadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dalam sistematika maupun teknik-teknik analisis dan interpretasi data yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Ucapkan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Yth. Direktur DIKDASMENJUR DEPDIKNAS, yang telah memberikan sponsor beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut Pertanian Bogor, (2) PEMDA Kabupaten Indragiri Hulu melalui Bapak Kepala Dinas Pendidikan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Yth. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas dan seluruh civitas akademika IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, (4) Yth. Bapak Agus Rosadi, SP selaku Kepala SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan izin dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (5) Yth. Bapak/Ibu Majelis Guru dan Staf Karyawan Tata Usaha SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan dukungan, motivasi dan


(10)

viii

pengertian kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik dan (6) Seluruh keluarga (Bapak Sonto Sumardjo, Ibu Sumarlinah, Mas Sugiman, Mas/Mbak semuanya dan adik-adik serta keponakan semua) yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara materiil maupun spirituil, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tanpa hambatan suatu apapun.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas S2 Profesi Konservasi Biodiversitas Angkatan Pertama atas dukungan dan kerjasamanya, karena berkat dukungan dan kerjasama dari rekan-rekan studi S2 ini dapat penulis jalani dengan baik. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada istri (Umiyati) dan anak-anak kami (Hafidha Fatma Sari, Gilang Abiwijaya dan Fathaya Putri Handayani) atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersama an kita. Tanpa pengertian dan dukungan dari istri dan anak-anak tercinta mustahil pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan anhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Maret 2006 Sumanto


(11)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI ... ii

HAK CIPTA .. ... iii

RIWAYAT HIDUP ... ... iv

ABSTRACT... v

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

Output ... 3

Kerangka Pemikiran ... ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville) Taksonomi .. ... 6

Morfologi ... 6

Penyebaran ... 7

Habitat ... 8

Aktivitas Harian dan Perilaku ... 8

Biologi Reproduksi ... 10

Pakan ... 12

Home Range .. ... 14

Deer Farming .. ... 15

Perancangan Tapak (Site Planning) ... ... 15

Lanskap ... 17

Penangkaran RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville) Landasan Kebijakan ... 19

Perizinan .. ... 19

Teknik Penangkaran ... 21

Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa .. ... 27

MATERI DAN METODE Tempat dan Lokasi Penelitian ... 30

Alat dan Bahan ... 30

Data Yang Dikumpulkan ... 30

Teknik Pengumpulan Data ... 31


(12)

x

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran Keadaan Fisik lokasi

Letak dan Luas ... 38

Iklim dan Curah Hujan ... ... 38

Topografi .. ... 39

Air (Hidrologi) ... ... 40

Tanah .. ... 41

Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran Vegetasi ... ... 42

Satwaliar .. ... 43

Daya Dukung Lokasi ... 44

Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Analisis Perancangan Tapak ... ... 48

Pewilayahan/Zonasi .. ... 48

Faktor-faktor Lanskap .. ... 51

Diskripsi dan Tata Letak Tapak ... 52

Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming Manajemen Penangkaran .. ... 57

Sarana dan Prasarana Penangkaran ... ... 70

Proyeksi Perkembangan Populasi .. ... 73

Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming.. ... 75

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... ... 79

Saran .... ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... ... 81


(13)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa dengan lokasi

penangkaran di kampus IPB – Darmaga ... 41 2. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam

lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .. ... 44 3. Proyeksi perkembangan rusa selama 10 tahun pemeliharaan di

penangkaran ... ... 74 4. Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran

rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di

penangkaran dengan sistem deer farming ... 75

5. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus

timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga ... 76

6. Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga


(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disain Penagkaran Rusa Timor

(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistim Farming . ... 5

2. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) a. Rusa jantan, b. Rusa betina .. ... 6

3. Prosedur perizinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen PHPA No.07/Kpts/DJ-VI/1988 ... ... 21

4. Disain Metote Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi . ... 32

5. Peta Topografi Lokasi Penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Dermaga .. ... 40

6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di kampus IPB Darmaga padasaat studi .. ... 51

7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona penangkaran (Headquarter zone).. ... 53

8. Diskripsi dan tata letak tapak penangkaran di kampus IPB Darmaga.. ... 55

9. Desain pagar yang disarankan ... ... 56


(15)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .... ... 84 1b. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di dalam lokasi

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .... ... 86 1c Hasil analisa vegetasi tingkat tiang dan pohon di dalam lokasi

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .... ... 87 2. Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa

timor (Cervustimorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga

... 88 3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam

lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .. ... 89 4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana

fisik usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de

Blainville) dengan sistem “deer farming” .. ... 91

5. Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervustimorensis

de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem

“deer farming” ... 93

6. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan/harga turun 10% dan

biaya tetap) ... 96

7. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Bla inville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan tetap dan biaya

produksi naik 10%) ... 97 8. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus

timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan turun 10% dan


(16)

Latar Belakang

Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu bagian dari keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat.

Rusa timor sebenarnya merupakan satwaliar yang relatif mudah dalam hal reproduksi/perkembangbiakan maupun penyediaan pakannya. Namun karena di habitat aslinya dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga terancam punah, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, rusa timor termasuk satwaliar yang dilindungi.

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat, meningkat pula pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani. Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 404/Kpts/DT.210/6/2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwaliar yang potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak.

Agar tujuan dari kedua kebijakan tersebut dapat terwujud secara bersama-sama, maka dengan semangat konservasi pemanfaatan rusa timor sebagai ternak harapan tetap harus mengacu pada prinsip kelestarian, salah satu cara dapat dilakukan dengan “penangkaran”.

Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) sangat mungkin untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia. Semangat otonomi daerah merupakan satu titik terang bagi daerah-daerah yang mempunyai wilayah cukup luas sangat memungkinkan untuk mengembangkan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) baik dengan sistem Ranching maupun dengan sistem Farming.

Deer Ranching adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara ekstensif, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup bagi rusa berlangsung secara alami dan peran manusia hanya sebatas mengontrol dan mengatur daya dukung habitatnya. Sedangkan Deer Farming adalah suatu usaha


(17)

penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi- intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (selter), kesehatan sampai perkembangbiakannya.

Untuk dapat mengembangkan penangkaran dengan sistem ranching harus tersedia lahan yang cukup luas, sementara dengan sistem farming, luasan lahan tidak merupakan kendala, karena kebutuhan utama bagi kehidupan rusa, yaitu pakan dan minum dapat dipenuhi dari luar. Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem farming. Namun salah satu kendala yang dihadapi oleh penangkar saat ini adalah belum adanya contoh penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia yang cukup berhasil baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya perencanaan penangkaran dengan sistem farming yang memperhatikan aspek bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de Blainville).

Menurut Masy’ud (2003), desain (rancangan) dapat diartikan sebagai suatu rencana, struktur dan strategi kegiatan yang dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif yang me muat secara sistematik keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan, petunjuk prosedural cara melaksanakan kegiatan, waktu dilaksanakan, data dan informasi apa yang diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data serta kebutuhan tenaga, biaya dan peralatannya, serta gambaran hasil yang diharapkan dari kegiatan ini.

Disain disebut sebagai rencana, karena disain ini memuat secara sistematis keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan. Disebut sebagai struktur karena didalam disain tergambar model atau prinsip-prinsip operasional kegiatan serta sifat atau jenis data yang diperlukan. Disebut sebagai strategi, karena didalamnya terkandung petunjuk prosedural bagaimana rencana dan struktur kegiatan dapat dijalankan, sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terjawab secara baik dengan variasi yang dapat dikendalikan (Masy’ud, 2003).

Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tentang Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming ini dilakukan.


(18)

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi yang mempunyai ukuran luas areal tidak terlalu luas, yaitu ± 5 ha, yaitu untuk memberikan suatu model bagi masyarakat Indonesia, bahwa sebenarnya penangkaran rusa timor tidak harus dilakukan di areal yang luas, tetapi dengan lahan yang dimiliki oleh kebanyakan petani peternak kita juga dapat dilakukan penangkaran rusa timor tergantung bagaimana disain dan manajemen penangkaran itu dilakukan. Selain itu, lokasi ini dipilih karena potensi sumberdaya berupa lokasi dan rusa timor sudah ada tetapi penataan tapak dan manajemen penangkaran yang dilakukan dirasa belum baik, sehingga sampai saat ini populasi yang ada belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengelolaan yang lebih baik dalam usaha penangkaran yang sudah dilakukan dan dapat dij adikan acuan bagi siapa saja yang akan mengembangkan penangkaran rusa dengan sistem deer farming.

Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kelayakan lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa timor dengan sistem Farming ditinjau dari kajian bio-ekologinya.

2. Menyusun perencanaan penangkaran rusa timor dengan sistem farming :

a. Perancangan tapak penangkaran b. Rancangan manajemen penangkaran

3. Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran rusa timor dengan sistem farming berdasarkan rancangan disain yang dibuat.

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pihak pengelola dalam penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming secara efektif dan efisien, sehingga usaha tersebut tetap lestari dan berwawasan lingkungan.

Output

Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming yang sesuai dengan bio-ekologinya.


(19)

Kerangka Pemikiran

Potensi sumberdaya alam yang kita miliki berupa lahan dan rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) apabila kita kelola dengan baik menjadi suatu penangkaran akan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengelolanya. Agar penangkaran dapat berhasil dengan baik, maka prisnsip-prinsip penangkaran yang merupakan interaksi antara bio- fisik dari lahan dan bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) menjadi syarat mutlak yang harus mendapat

perhatian serius.

Penelitian ini dimulai dari menganalisis kondisi bio-ekologi calon lokasi dan bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) serta kebutuhan hidup rusa timor di penangkaran dan dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan untuk membuat perancangan tapak (site planning) penangkaran yang meliputi bangunan kantor, pedok, bangunan kandang, kebun rumput, areal pembesaran dan jalan inspeksi. Bila persyaratan yang dimaksud sudah terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak, yaitu meliputi analisis tapak, pewilayahan/zonasi dan diskripsi serta tata letak tapak. Tetapi apabila persyaratan untuk membuat perancangan tapak belum terpenuhi, maka langkah salanjutnya perlu dilakukan analisis peningkatan kualitas tapak dan sarana dan prasaran, sehingga persyaratan tersebut terpenuhi. Kemudian dilanjutkan dengan perancangan tapak.

Dari analisis-analisis tersebut diatas, akhirnya akan terpilih satu alternatif perancangan tapak yang memperhatikan aspek peruntukan lahan, waktu, biaya dan tenaga pengembangnya. Selanjutnya akan dihasilkan suatu disain penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) dengan sistem farming

yang memperhatikan bio-fisik lokasi, bio-ekologi rusa, kebutuhan hidup rusa serta biaya dan tenaga penge lolanya.

Secara rinci kerangka dan alur pemikiran pada Penelitian Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem


(20)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) dengan sistem farming.

Ya

Tidak

Kondisi Bio-Fisik Calon Lokasi

Kebutuhan Hidup Rusa Timor (Cervus timorensis de

Blainville) di Penangkaran

1. Letak dan luas : a. Iklim b. Topografi c. Hidrologi d. Tanah 2. Keadaan biologi

a. Vegetasi b. Satwaliar

1.Pdg. Rumput & Pedok 2.Habitat

3.Perilaku 4.Reproduksi 5.Kesehatan 6.Home range

Persayaratan

Perancangan Tapak

Calon Lokasi

Bio -Ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) 1.Taksonomi

2.Morfologi 3.Penyebaran 4.Habitat 5.Perilaku

6.Biologi reproduksi 7.Pakan

8.Home range Rusa Timor

(Cervus timorensis)

Pemilihan Alternatif Perancangan Tapak Alternatif terpilih (perun-tukan, waktu, biaya dan tenaga pengembangannya)

Analisis Peningkatan Kualitas Tapak

dan

Analisis Sarana dan Prasarana Penangkaran

POTENSI

SUMBERDAYA ALAM

Perencanaan Penangkaran Rusa Ti mor (Cervus timorensis de

Blainville) dengan Sistem

FARMING

Perancangan Tapak 1. Analisis tapak

2. Pewilayahan/zonasi 3. Diskripsi dan tata letak

1.Bangunan kantor 2.Pedok

3.Bangunan kandang 4.Kebun rumput 5.Areal pembesaran 6.Jalan

Memenuhi Persyaratan


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Bio-ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)

Taksonomi

Rusa merupakan satwa timor yang termasuk anggota Klas Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili Cervidae dan Genus Cervus. Genus Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (Rusa Timor), dan Cervus unicolor (Rusa Sambar).

Rusa timor merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar. Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki keunikan yaitu sebagai rusa yang memiliki banyak sub spesies, dengan daerah penyebaran yang luas serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah dimana habitatnya berada.

Morfologi

Rusa timor merupakan dikenal juga dengan nama rusa Jawa, memiliki warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan warnanya lebih gelap. Warna di bagian perut lebih terang dari pada di bagian punggungnya.

Gambar 2. Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville). a. rusa jantan, b. rusa betina


(22)

Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat mencapai 110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira 120 – 130 cm, panjang ekor 10 – 30 cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg.

Rusa jantan dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga, dengan ujung-ujungnya yang runcing , kasar dan beralur memanjang dari pangkal hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80 – 90 cm, tapi ada yang mencapai 111,5 cm.

Penyebaran

Famili cervidae memiliki penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh dunia, kecuali di Afrika yaitu di sebelah selatan Gurun Sahara. Di Australia, Selandia Baru, Papua dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, rusa marupakan satwa yang diintroduksi. Di Indonesia, penyebaran rusa hampir meliputi seluruh wilayah. Khusus untuk rusa timor (Cervus timorensis) penyebarannya meliputi pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Timur.

Menurut Van Memmel (1949) dalam Schroder (1976), menyatakan bahwa di Indonesia Cervus timorensis terdiri dari 8 (delapan) sub species dengan daerah penyebarannya adalah sebagai berikut :

1. Cervus timorensis rusa, terdapat di Jawa dan Kalimantan

2. Cervus timorensis laronesiotis, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung, Karimun jawa, Pulau Kemujan dan Sepanjang.

3. Cervus timorensisrenschi Sody, terdapat di Bali

4. Cervus timorensis timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Alor, Pantar, Pulau Rusa dan kambing.

5. Cervus timorensis macassarius, terdapat di Bangai dan Seleyar. 6. Cervus timorensisdjongga, terdapat di Pulau Buton dan Muna.

7. Cervus timorensis molucentis, terdapat di Ternate, Mareh Moti, Halmahera, Bacan, Buru dan Ambon

8. Cervus timorensis floresiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, Flores dan Solor.


(23)

Habitat

Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984).

Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan daerah-daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang disukai oleh rusa timor (Cervustimorensis) adalah semak-semak yang didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Rusa timor termasuk satwa yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kering bila dibandingkan dengan jenis rusa yang lain, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa timor mampu berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat aslinya.

Berdasarkan beberapa contoh perkembangan rusa timor (Cervustimorensis) di daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, terbukti bahwa populasi rusa timor (Cervus timorensis) dapat berkembang pesat di daerah-daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, misalnya di Papua, Maluku dan Kalimantan bila dibandingkan dengan populasi di habitat aslinya, terutama di Pulau Jawa dan Bali.

Aktivitas Harian dan Perilaku

Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal, rusa timor mampu berubah sifat menjadi nocturnal dalam proses adaptasinya.


(24)

Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari makanan dan air, makan dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada umumnmya, rusa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi perjalanan-perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air. Untuk aktivitas makan rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif.

Dalam perilaku sosial, rusa timor pada umumnya hidup dalam kelompok antara 3 ekor sampai 20 ekor. Namun jika berada di padang penggembalaan terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75 – 100 ekor. Kelompok rusa Timor sering dijumpai terdiri dari induk dan anak baik yang masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa-rusa muda. Baru menjelang musim kawin berangsur-angsur rusa jantan mendekati kelompok rusa betina ini.

Di dalam kelompok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan dewasa biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan darurat atau menghadapi ancaman pemimpin kelompok akan diambil alih oleh induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap kelompoknya, sedangkan pejantan akan panik dan lebih sering pergi meninggalkan kelompoknya.

Pada musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal musim kawin, rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing di lingkungannya. Rusa jantan lebih peka terhadap kedatangan pejantan lain dan menantang pejantan lain untuk berkelahi dalam rangka memperebutkan atau mempertahankan betina. Dalam keadaan birahi, berkubang merupakan aktivitas yang menonjol. Sambil berbaring di kubangan, rusa jantan akan mengayunkan ranggahnya ke kanan kiri atau menusukkannya ke dalam lumpur. Ranggah juga sering kali digosok-gosokkan kepohon atau kesemak-semak. Perilaku ini oleh para pemburu dikenal dengan perilaku “mengasah tanduk/ranggah”.


(25)

Rusa jantan biasanya menetapkan dan mempertahankan daerah teritorinya dari pejantan lain. Kadang-kadang daerah teritori ini tumpang tindih untuk pejantan yang satu dengan pejantan yang lainnya, Daerah teritori ini biasanya ditandai dengan cara menggores pohon dengan ranggahnya atau ditandai dengan urin dan bau-bauan lainnya. Daerah teritori ini biasanya hanya berlaku pada musim kawin saja.

Rusa betina pada musim kawin akan mondar- mandir dari daerah teritori pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk memilih pejantan, dan akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi perkawinan. Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari.

Rusa betina akan menghabiskan masa buntingnya di dalam kelompok awal. Menjelang saat-saat melahirkan calon induk menjadi gelisah dan tidak bisa diam. Kemudian akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang sesuai untuk melahirkan anaknya. Biasanya tempat-tempat yang ditumbuhi semak-semak dan terlindung.

Biologi Reproduksi

1. Musim berkembangbiak

Menurut Van Bammel (1949) dalam Schroder (1976), mengatakan bahwa rusa-rusa yang ada di Indonesia, melahirkan anak sepanjang tahun, artinya tidak dibatasi musim tertentu seperti yang terjadi pada daerah yang beriklim sedang. Namun demikian puncak frekwensi melahirkan terjadi pada bulan-bulan tertentu di setiap tahunnya. Musim melahirkan bia sanya terjadi pada saat datangnya musim hujan, dimana pada masa- masa ini berbarengan dengan melimpahnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pakan.

Sody (1940) dalam Thohari, et al. (1991) menyatakan musim kelahiran anak-anak sambar di Sumatera adalah pada bula n Juli dan Oktober dan untuk sambar di Kalimantan adalah pada bulan Maret. Untuk rusa timor, musim kelahiran berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa musim melahirkan terjadi pada bulan April-Juni dan September. Di Flores terjadi pada bulan Maret dan di Sulawesi terjadi pada bulan Januari dan Agustus.


(26)

Rusa timor mengalami masa kebuntingan selama 240 – 270 hari (rata-rata 267 hari). Seekor induk yang bunting biasanya melahirkan satu ekor anak, dan kadang-kadang dua ekor anak kembar (van Lavieren, 1983).

Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa timor (Cervus timorensis) adalah 2 – 3 tahun, dan masa mengasuh anak biasanya berlangsung sekitar 4 – 5 bulan.

Menurut Hoogerwerf (1949), nisbah seksual untuk rusa timor (Cervus

timorensis) di Ujung Kulon adalah 2 : 2,3 dan di Indonesia pada umumnya adalah 1 : 3.

3. Musim Birahi

Seperti halnya musim berkembangbiak, tidak ada batasan waktu yang jelas bagi musim birahi rusa di Indonesia. Meningkatnya aktivitas musim birahi dalam setahun dapat diamati, namun waktu-waktu ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Meskipun dalam musim birahi, rusa-rusa yang berada dalam tahap siklus seksual lainnya masih dapat ditemukan.

Meskipun hidup bersama dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti siklus seksualnya masing- masing. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya tanduk-tanduk/ranggah rusa.

Masa birahi dimulai segera setelah ranggah rusa tumbuh sempurna dan ditandai dengan terkelupasnya velvet yang membungkus tanduk. Masa birahi ini lebih dari satu bulan. Hoogeerwerf (1970) menyebutkan bahwa musim birahi rusa di Jawa Barat berlangsung antara bulan Juli hingga September dan periode terkelupasnya velvet diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. Musim birahi ini kelihatan sangat jelas ketika jumlah rusa-rusa betina yang berada dalam keadaan birahi mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa musim birahi ditentukan dan dipacu oleh rusa betina.

Musim birahi berakhir pada saat semua betina yang berada dalam keadaan birahi telah mendapatkan pasangannya. Sementara betina-betina yang baru mencapai birahi setelah musim ini selesai, kemungkinan hanya


(27)

akan dilayani oleh rusa-rusa jantan yang “abnormal” siklusnya, bahkan tidak semua betina seperti ini akan mendapat pasangan.

Pakan

Suksesnya suatu usaha penangkaran satwa antara lain ditunjang oleh pakan yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pemeliharanya. Secara umum bahan makanan seluruh jenis rusa di Indonesia adalah sama, yaitu rerumputan, pucuk daun dan tumbuhan muda. Namun demikian karakteristik pakan untuk Rusa Timor (Cervustimorensis de Blainville) adalah pakan utama rumput, daun muda dan buah-buahan yang jatuh (Maradjo, 1978) dalam Thohari, et al. (1991).

Pakan rusa selain dari rerumputan dan hijuan lainnya sebagai tambahannya dapat berupa konsentrat, sayur- mayur, umbi- umbian atau limbah pertanian (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Semiadi (1998), menyatakan bahwa hijauan yang dimakan rusa adalah :

Imperata cylindrica, Sacharum spontaneum, Paspalum sp., Leersia hexandra, Cynodon dactylon, Eleusine indica, Anastrophus compressus, Kyllinga mono-chephala, Cyperus rotundus, Fimbristylis annua, Ficus sp., Berechtites hieradi-folia, Centella asiatica dan Crotalaria anaqryoides.

Pada pemeliharaan rusa dengan sistim Deer Farming, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan adalah :

1. Daya dukung habitat

Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasmann (1964), Moen (1973) dan Boughey (1973) dalam Alikodra (2002), daya dukung lingkungan adalah jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; batas (limit) atas pertumbuhan suatu populasi, yang diatasnya jumlah populasi tidak dapat berkembang lagi; jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung kesehatan dan kesejahteraannya.

Daya dukung akan tercapai apabila pertumbuhan suatu populasi lambat laun akan menurun dan akhirnya berhenti bertumbuh. Hal ini disebabkan


(28)

karena pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh faktor- faktor persaingan, terbatasnya ruangan dan makanan (Tarumingkeng, 1994).

Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang diperkenalkan oleh Mc. Ilroy Tahun 1964 yaitu dengan pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu.

Menurut Brown (1954) dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh. Bagian hijauan yang dapat dimakan oleh satwa disebut

proper use. Susetyo (1980) menyatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah topografi. Karena hal itu sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use

pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0 – 5o) adalah 60 – 70%, lapangan bergelombang dan dan berbukit (kemiringan 5 – 23o) adalah 40 – 45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23o)

proper use-nya adalah 25 – 30%.

Menurut Susetyo (1980) apabila daya dukung suatu kawasan dihitung per hari, maka besarnya daya dukung dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

hari per ekor per pakan Kebutuhan areal luas x x ha per pakan hijauan Produksi dukung

Daya = properuse

2. Kebutuhan hidup

Kebutuhan hidup bagi setiap satwa memerlukan hal yang sangat penting sekali untuk dapat mempertahankan hidupnya. Beberapa hal yang menyang-kut kebutuhan hidup bagi seekor satwa antara lain makan, minum dan garam mineral.


(29)

Kebutuhan makan bagi seekor rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan akan kalori setiap hari. Energi ini sangat diperlukan untuk hidup dan per-tumbuhannya, mengganti bagian-bagian tubuh yang mati dan untuk reproduksi.

Rusa tergolong pada hewan memamah biak dengan makanannya berupa rerumputan, daun-daun muda dan bahkan buah-buahan yang jatuh. Dalam pemenuhan kebutuhan pakan rusa hal yang harus diperhatikan adalah jumlah dan kualitas pakan. Kualitas pakan ditentukan oleh komposisi/kandungan zat gizi di dalam bahan pakan, dimana komposisi ini harus sesuai dengan kebutuha n hidup satwa.

Berdasarkan sifat, kimia dan biologis zat gizi yang diperlukan oleh satwa terdiri dari air, protein, lemak karbohidrat, zat- zat organik dan vitamin.

Home Range

Menurut Boughey (1973), Pyke (1983) dan Van Noordwijk (1985), wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minuman serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat kawin disebut wilayah jelajah (home range). Tempat-tempa tminum dan mencari makan pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga satu tempat minum ataupun makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian ataupun sama-sama oleh beberapa spesies satwaliar.

Jika secara sepintas kita mengamati kehidupan satwaliar di habitat alamnya, akan diperoleh kesan bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa aturan. Akan tetapi jika diperhatikan secara teliti, akan terlihat bahwa mereka melakukan pergerakan secara teratur.

Menurut Alikodra (2002), kapan satwaliar bergerak, apa dan kemana tujuannya merupakan fenomena alam, tetapi faktor spesies, musim dan kondisi lingkungannya, termasuk campur tangan manusia sangat menentukan pola pergerakan satwaliar tersebut.


(30)

Menurut Dasmann (1981), di Arizona beberapa wilayah jelajah (home range) dari rusa merah lebih dari 1.200 ha. Sedangkan di bagian Barat Daya Texas dilaporkan bahwa rata-rata wilayah jelajah dari rusa merah adalah 700 ha.

Deer Farming

Deer Farming adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi- intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (shelter), kesehatan sampai perkembangbiakannya.

Menurut Yerex dan Spiers (1987), deer farming merupakan suatu usaha menternakkan rusa secara komersil dengan tujuan utama adalah mencari keuntungan dari produksi berupa daging dan velver/ranggah. Selain itu juga menyediakan rusa untuk perburuan dan juga pembibitan.

Pada pemeliharaan rusa dalam jumlah yang banyak dan sudah diarahkan pada usaha yang komersil, maka sistem pemeliharaan yang sesuai adalah dengan sistem pedok, dimana pedok juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang dibatasi oleh pagar, maka dalam pedok harus pula tersedia sumber air minum dan naungan yang cukup, sementara kebutuhan pakan dapat dicukupi dari luar areal (Semiadi dan Nugraha, 2002).

Perancangan Tapak (Site Planning)

Menurut Hakim dan Utomo (2002), proses perancangan yang sistematik pada garis besarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu tahapan Programing dan tahapan Design, dimana pada tahapan programing ditekankan pada penganalisisan segala aspek yang terkait pada rancangan hingga menghasilkan konsep sistematik yang nantinya menjadi landasan pada tahapan Design Depelopment. Sedangkan tahapan design dititik beratkan pada bagiamana merancang penerapan dari konsep-konsep yang telah dihasilkan.

Root (1985), menyatakan bahwa untuk dapat mengembangkan suatu perancangan tapak secara sistematis ada beberapa faktor yang harus diperhatikan,


(31)

yaitu ; (1) faktor alam, meliputi kontur, vegetasi dan ruangan terbuka, dan (2) faktor pelaksanaan, meliputi analisis sumberdaya, analisis lokasi, analisis penggunaan, analisis pengembangan dan rancangan induk secara menyeluruh.

Perancangan tapak untuk pembuatan desain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem “Farming” dilakukan atas berbagai masukan data dan informasi, baik yang bersifat primer maupun sekunder.

Menurut Thohari et al. (1991), pada dasarnya terdapat tiga komponen penting yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan tapak, yaitu :

1. Kondisi bio- fisik tapak kegiatan penangkaran yang direncanakan, seperti topografi, ketersediaan air, kondisi vegetasi, tanah, elevasi, iklim dan sebagainya.

2. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam suatu usaha penangkaran 3. Bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)

Berdasarkan hasil analisis dari ketiga komponen tersebut, selanjutnya dilakukan penentuan batas-batas zona pengembangan (zonasi) dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas kegiatan dan efisiensi pengelolaannya. Sebelum itu untuk meningkatkan kemampuan tapak guna mendukung pembangunan dan pengembangannya, dilakukan peningkatan kualitas tapak dengan berbagai cara, antara lain : pemenuhan kebutuhan penangkaran, penanaman pohon-pohon pelindung, perbaikan topografi, pembuatan saluran drainase dan lain sebagainya.

Menurut Hakim dan Utomo (2002), data yang perlu diketahui untuk perancangan tapak adalah meliputi luas seluruh tapak, keadaan dan sifat tanah, geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi dan vegetasi.

Dari semua data serta pertimbangan pengelolaan, dibuatlah alternatif tapak untuk masing- masing penggunaan yang selanjutnya akan menghasilkan satu alternatif terpilih yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan, biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Setelah kita memahami karakteristik tapak, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan program aktivitas yang direncanakan ke dalam tapak dengan pertimbangan kondisi dan karakter tapak


(32)

tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak yang meliputi penataan letak semua sarana dan prasarana di masing- masing zona pengembangan.

Lanskap

Lanskap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam

Ferina, 1998). Lanskap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup, permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari kealamian dan proses kultural dan aktifitas (Green dalam Ferina, 1998). Harber membatasi lanskap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati seluruhnya, tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers Com dalam Ferina, 1998).

Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lanskap sebagai penga-matan seluruh organisme dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting dalam pengelolaan lanskap adalah evaluasi nilai lanskap dan menemukan kriteria dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya.

Ekologi Lanskap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses untuk spesies yang berbeda. Terdapat tiga pandangan dalam ekologi lanskap (Ferina, 1998) antara lain: (1) Manusia: Pada perspektif manusia. Lanskap adalah dikelompokkan pada fungsi utama yang mempunyai arti untuk kehid upan manusia, (2) Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan abiotik dan biotik, dari lanskap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada distribusi tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya dan (3) Hewan: Pandangan akhir ini konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lanskap manusia, walaupun terdapat perbedaan subs-tantial dalam mendekati secara langsung.

Masing- masing dari tiga pendekatan ini mengamati pola-pola dan proses-proses dalam analisa akhir, yang komponen-komponennya dari seluruh sistem biologi dan sistem ekologi. Dari tiga pandangan ini kita dapat


(33)

mengkombi-nasikan teori-teori, paradigma, dan model- model yang dihasilkan oleh pendekatan monodisipliner.

Terdapat sejumlah cara untuk mengukur beberapa hal pokok yang mendukung sebuah perencanaan lanskap. Pendekatan lanskap ini sangat bervariasi, sehingga tidak mungkin membahasnya secara keseluruhan dan mengacu kepada metodologi standart. Kebanyakan pendekatan itu berasal dari geostatistik, geobotanik, analisa populasi satwa, perilaku ekologi dan sebagainya.

Cara-cara yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan kerumitan suatu lanskap adalah melalui pencitraan sistem informasi geografi. Statistik ruang dan geometri per bagian. Peta-peta, foto udara dan citra satelit biasanya dilakukan sebelum dan sesudah suatu lahan dicatat atau di data. Namun hal tersebut banyak mengalami bias (penyimpangan) yang disebabkan oleh waktu, resolusi, dan kualitasnya.

Pengolahan data mengenai ruang merupakan inti dari ekologi lanskap. Terdapat dua tipe informasi yang diproses dalam analisa, yaitu; Path dan Lanskap. Tipe pertama adalah dimana analisa lebih banyak difokuskan dalam berbagai ukuran bentuk dan pengaturan ruang dari setiap potongan yang ada. Tipe yang kedua lebih rumit, karena difokuskan kepada land mozaik (bentukan tanah).

Pendekatan terhadap studi bentuk path ini sangat penting karena keter-aturan dan ketidakterketer-aturan bentuk path tersebut merupakan konsekuensi-konsekuensi yang terdapat pada organisme. Jika kita asumsikan lingkaran merupakan bentukan path yang umum, semakin tidak beraturannya sebuah path semakin banyak tepian dan semakin berkurang area didalamnya yang tersedia. Sebuah path yang tidak teratur memiliki lebih banyak proses yang heterogen dibandingkan yang teratur. Kesesuaian habitat, resiko pemangsa dan tekanan iklim mikro merupakan beberapa konsekuensi langsung dari bentuk path yang tidak teratur.

Penelusuran batas pada lanskap bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan akhir dari berbagai habitat atau tipe lahan bukan sebagai batas sesungguhnya. Sementara batas-batas cukup sempit dan tingkat kepadatan habitat tinggi, sehingga sangat sulit menemukan antara batas struktur dan batas fungsi.


(34)

Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)

Landasan Kebijakan

Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan satwaliar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan berdasarkan prinsif kelestarian hasil.

Undang-undang dan peraturan tentang pelestarian pemanfaatan satwaliar yang digunakan sebagai dasar dan arahan bagi usaha pengembangan penagkaran rusa adalah :

1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983 yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam (satwaliar dan tumbuhan alam), baik di dalam maupun luar negeri dan disesuaikan dengan ratifikasi/pengesahan Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Liar dan Tumbuhan Langka (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978.

5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

6. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Perizinan

Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi.


(35)

Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi yang mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan penangkaran wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran jenis yang bersangkutan

2. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis

3. Membuat dan menyerahkan proposal kerja

Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 tentang Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh izin usaha penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam adalah sebagai berikut :

1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kakanwil Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dari Departemen Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran. 2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I

3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA

4. Dirjen PHPA mengeluarkan izin usaha penangkaran yang berlaku selama maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlaku.

Secara lengkap alur prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam dapat dilihat pada Gambar 3.


(36)

Gambar 3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen. PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988.

Teknik Penangkaran

1. Adaptasi

Menurut Setiadi dan Tjondronegoro (1989), adaptasi adalah setiap sifat atau bagia n yang dimiliki organisme yang berfaedah bagi kelanjutan hidupnya pada keadaan sekeliling habitatnya. Adaptasi dapat dinyatakan sebagai suatu kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan sumber-sumber alam lebih baik untuk mempertahankan hidupnya dalam relung (niche) yang diduduki.

Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan perhatian dan penanganan maupun latihan yang baik dan teratur untuk

PEMOHON

(Perorangan, Badan Usaha, Koperasi, Lembaga Ilmiah, Lembaga Konservasi)

NON KOMERSIL KOMERSIL

Dilampiri dengan :

1.Surat tidak keberatan dari Lurah Setempat

2.SIUP

3.Berita Acara pemeriksaan dari Balai/Sub Balai KSDA 4.Akta Pendirian perusahaan

Dilampiri dengan : 1. SIUP dan SITU

2. Berita Acara pemeriksaan dari Balai/Sub Balai KSDA 3. Akta Pendiria n perusahaan

Kepala Kantor Wilayah DEPHUTBUN

Direktur Jenderal PHPA

Izin Usaha Penangkaran Non Komersial (Masa berlaku 5 tahun)

Izin Usaha Penangkaran Komersial (Masa berlaku 10 tahun)


(37)

mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stres, serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat yang diperoleh.

Menurut Thohari et al., (1991), salah satu cara yang dapat dilakukan

untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina. Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).

Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan pada rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penagkaran, langkah pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 – 2 minggu, selain untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang dibawanya.

2. Pengembangbiakan

Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu :

a. Secara alamiah

Dengan membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur tangan manusia.

b. Secara semi alamiah

Sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur perbandingan jumlah jantan. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), imbangan kelamin untuk rusa tropis adala h 1 : 6 – 10, tetapi pada pemeliharaan yang lebih intensif dapat mencapai 1 : 20.


(38)

c. Secara inseminasi buatan (IB)

Sistim perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan pejantan. Beberapa pejantan yang baik ditampung semennya. Dengan beberapa perlakuan tertentu, selanjutnya dapat dilakuan perkawinan secara buatan yang biasa disebut dengan sistim AI (Artificial Insemination). Sistem perkawinan secara inseminasi buatan dalam dunia rusa awalnya hanya untuk kepentingan penelitian, yang dimulai tahun 1980 dan meluas sejalan dengan berkembangnya industri pembibitan rusa yang mengharapkan diperolehnya pejantan unggul dalam waktu singkat dan efisien. Komersialisasi pelayanan IB ditingkat pembibitan dimulai tahun 1986an, tetapi untuk tingkat komersil masih terlalu mahal. Saat ini kegiatan IB pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka pemahaman sifat reproduksi rusa tropis, tetapi sosialisasi telah pula dilakukan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar pembibit rusa.

Agar dapat diperoleh kualitas keturunan yang baik, dalam usaha penangkaran perlu dilakukan pemilihan induk dan pejantan yang baik. Untuk itu dalam jangka panjang usaha penangkaran harus mendasarkan pada sistim seleksi yang benar. Untuk mendukung pelaksanaan seleksi yang benar maka perlu dilakukan pencatatan (recording ) yang benar, terhadap individu rusa yang ada di dalam penangkaran, terutama individu yang akan dijadikan bibit.

3. Seleksi Bibit

Untuk memperoleh keturunan yang baik, didalam usaha pena gkaran rusa perlu diperhatikan pemilihan induk- induk dan pejantan rusa yang baik. Oleh karenanya dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah pada sistim seleksi yang benar serta sistim pencatatan (recording) setiap individu yang ada dipenangkaran.

Dasar seleksi yang dapat diterapkan dalam pemilihan bibit diiantaranya adalah :

a. Berdasarkan silsilah/keturunan (Pedegree)

yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas tetuanya yang mempunyai produksi dan kualitas performen yang baik, misalnya jelas induknya, pejantannya, tidak cacat atau kelainan genetis lainnya.


(39)

b. Berdasarkan penampilan(Performen)

yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas penampilan bentuk luar dari rusa calon bibit, misalnya mempunyai pertumbuhan yang baik, tidak cacat, relatif jinak, bulu halus.

c. Berdasarkan uji keturunan (Uji Zuriat)

yaitu pemilihan bibit khususnya pejantan yang didasarkan atas produkstivitas keturunannya. Seleksi ini memerlukan waktu yang cukup panjang

4. Perawatan Kesehatan dan Penyakit

Kesehatan rusa di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kondisi lingkungan, makanan, pola manajemen, serta kelainan metabolisme. Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan lebih dini akan mendukung keberhasilan usaha penangkaran tersebut.

Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya, misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi. Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan anak-anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit lainnya.

Beberapa jenis parasit yang menyerang rusa diantaranya adalah : eksternal parasit (lalat hijau dan caplak), internal parasit (cacing paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta gangguan metabolisme misalnya keracunan.

5. Pembangunan Padang Pengembalaan dan Kebun Rumput

Usaha penangkaran tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan pakannya. Ketersediaan pakan ini berupa pakan utama (rumput dan hijauan yang lain) serta pakan tambahan yang dapat berupa ubi- ubian, dedak maupun pakan konsentrat.


(40)

Sebagai ruminansia, rusa membutuhkan sebagian besar makanan berupa rumput. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan usaha penangkaran perlu adanya padang rumput. Padang rumput merupakan suatu lahan yang didomonasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama jenis rumput-rumputan dan tumbuhan herba yang lain. Dalam hal usaha penangkaran, keberadaan padang rumput merupakan sumber pakan hijauan utama bagi rusa yang ditangkarkan.

Beberaqpa jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai rumput padang penggembalaan antara lain rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia

(Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria

decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis

hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan

turi (Sesbania grandiflora) yang sekaligus dapat dijadiken sebagai pohon

peneduh. 6. Pedok

Dalam sistim penangkaran rusa skala besar dapat diterapkan pola Deer

Farming. Rusa ditempatkan dalam kelompok-kelompok dalam suatu pedok

yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah rusa yang ada.

Keadaan topografi tidak terlalu berpengaruh, sebab rusa termasuk satwa yang mudah beradaptasi dalam kondisi topografi yang cukup bervariasi. Namun keadaan topografi yang curam merupakan faktor pembatas bagi pembuatan jalan, baik untuk koridor maupun jalan bagi kendaraan angkut.

Pada sistem pedok banyak hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunannya. Ini tidak lain karena pada umumnya dalam sistim pedok luasan lahan yang digunakan adalah besar. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah :

a. Lokasi pedok

Penentuan loksai pedok memegang peranan penting demi kelancaran segala kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran rusa itu sendiri.


(41)

b. Bentuk Pedok

Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Pedok yang memanjang lebih memudahkan dalam hal penggiringan rusa keluar dari pedok. Tetapi pada pedok berbentuk persegi empat akan mengurangi rusa untuk bergerombol di satu sisi, sehingga mengurangi tingkat erosi atau kerusakan area rumput.

c. Luasan pedok

Penentuan luas pedok berkaitan dengan jumlah pedok yang akan dibuat, kemudahan pengelolaan rusa dan jumlah rusa yang akan dipelihara. Satuan pedok hendaknya tidak terlalu luas. Idealnya yang terbesar sekitar 1,5 – 2,0 ha, yang sedang 0,3 – 1,0 ha dan pedok berukuran kecil sekitar 50 - 200 m2. Secara garis besar kepadatan rusa pada padang penggembalaan yang cukup subur berkisar antara 12 – 15 ekor/ha untuk rusa dewasa atau untuk rusa remaja (< 2 tahun) sekitar 15 – 20 ekor/ha (Semiadi dan Nugraha, 2004).

d. Pintu dan jalan/gang pedok

Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju pedok lain. Selain itu perlu dibuat jalan/gang tersendiri dari pedok terjauh menuju kandang kerja atau pedok lainnya dengan tidak melewati pedok di sebelahnya. Dalam penempatan pintu pedok sebaiknya berada di salah satu sudut pagar pedok, hal ini untuk mempermudah saat melakukan penggiringan rusa ke pedok yang lainnya.

e. Naungan

Naungan baik yang alami maupun yang buatan sangat diperlukan bagi rusa yang berasda di pedok. Di alam bebas naungan akan dicari sendiri oleh rusa manakala diperlukan, tetapi di dalam pedok rusa harus dapat menerima apa adanya. Oleh sebab itu untuk menghindari stres bahkan penurunan produksi akibat ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim (panas, hujan), maka ketersediaan naungan perlu diperhatikan. Naungan tidaklah harus berupa atap seluruhnya (buatan) atau pohon khusus di dalam pedok. Tetapi dapat dikemas sebagai bagian dari strategi pengadaan hijauan pakan, seperti penanaman pohon disepanjang pagar,


(42)

dimana kerindangan kanopi dahan dapat berfungsi sebagai naungan dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai hijauan tambahan.

f. Pagar

Sebagai pembatas antara pedok dengan dunia luar atau antara pedok yang satu dengan pedok lainnya diperlukan pemagaran. Konstruksi kandang harus kuat, sehingga dapat menjaga kenyamanan rusa yang ada di dalamnya. Bahan yang dapat dipakai diataranya adalah anyaman kawat denga n tinggi pagar untuk pemisah antara pedok dengan dunia luar ± 2,0 m dan pagar didalam (antar pedok) ± 1,75 – 2,0 m. Khusus pada pedok untuk kelahiran/pedok anak dijaga betul kerapatannya, sehingga anak rusa tidak dapat keluar atau tidak ada hewan liar ya ng masuk ke dalam pedok untuk mengganggu atau memangsa anak-anak rusa. Namun demikian pagar tidah harus terbuat bdari anyaman kawat melainnkan dapat terbuat dari bahan lain, misalnya anyaman bambu, yang penting fungsi sebagai pagar dapat terpenuhi, yaitu melindungi rusa yang ada di dalamnya dari gangguan dunia luar atau menjaga agar rusa tidak melarikan diri.

g. Jenis Pedok

Dalam usaha penangkaran dikembangkan beberapa macam pedok, yaitu : (a) pedok karantina, (b) pedok induk, (c) pedok pejantan, (d) pedok perkawinan (e) pedok anak dan (f) pedok terminal.

Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa

Menurut Gray (1993), salah satu cara mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau perolehan suatu usaha, maka dilakukan analisa kriteria investasi.

Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan discounted cash flow. Untuk proyek-proyek yang dibiayai dari dana swasta (private investor) maka analisis/evaluasinya dititik beratkan pada hasil analisis finansial. Dalam hal ini rencana investasi ditinjau dari segi cash-flow, yakni perbandingan antara hasil penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost). Bila menunjukkan net benefit positif (profit) maka rencana investasi tersebut


(43)

dilanjutkan, sedangkan bila menunjukkan net benefit negatif (rugi) maka rencana investasi tersebut dibatalkan. Nilai- nilai yang dihitung mencakup NPV, IRR dan BCR. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai- nilai tersebut adalah sebagai berikut (Djamin, 1992) :

1. Net Present Value (NPV)

Keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya, maka NPV suatu usaha merupakan selisih Present Value arus keuntungan dengan Present Value arus biaya. Suatu usaha dapat dinyatakan layak iuntuk dilaksanakan apabila NPV usaha tersebut sama atau lebih besar dari 0 (nol) dan bila sebaliknya maka usaha tersebut merugi. Nilai NPV dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

( )

NPV B C

i t t t t n = − + ∑

=1 1

dimana : Bt = Pendapatan kotor tahunan

Ct = Biaya tahunan

n = Umur ekonomis proyek t = Tahun proyek

(1+i)t = Discounted factor (DF)

2. Benefit Cost Ratio (BRC)

BRC adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya. Suatu usaha dikatakan layak untuk diusahakan apabila nilai BRC dari usaha tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan bila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

( )

( )

BCR B i C i t t t n t t t n = + ∑ + ∑ = = 1 1 1 1

dimana : Bt = Pendapatan kotor tahunan

Ct = Biaya tahunan

n = Umur ekonomis proyek t = Tahun proyek


(44)

3. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya, atau suku bunga yang membuat NPV bernilai 0 (nol). Suatu usaha dikatakan layak apabila IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

(

)

( )

B i C i t t t n t t t n 1 1

1 + 1

∑ =

+ ∑

= =

(

)

IRR D P NPV

PVP PVN x D N D P

F F F

= + − −    

dimana : DFP = Discounting factor yang digunakan yang

menghasilkan present value positif

DFN = Discounting factor yang digunakan yang

menghasilkan present value negatif PVP = Present value positif

PVN = Present value negatif

Untuk mengetahui jangka waktu pengembalian (Payback Period) suatu usaha, yaitu waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu usaha dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Tahun Per Bersih Pendapatan Investasi Biaya Total Period


(45)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kampus IPB – Darmaga. Sebagai lokasi pembanding dilakukan pengamatan ke Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol dan Penangkaran Rusa di Taman Monumen Nasional – Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2005.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian adalah : 1. Kamera

2. Roll meter 3. Timbangan

4. Seperangkat Komputer dan Program Disain Bahan yang digunakan selama penelitian adalah : 1. Peta lokasi

2. Rusa timor (Cervustimorensis) dan habitatnya 3. Kantong Plastik

Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder, yaitu meliputi :

1. Keadaan fisik : a. Letak dan luas b. Iklim

c. Topografi (kemiringan) d. Hidrologi (sumber air) e. Tanah (jenis tanah)


(1)

Lampiran 5

(Lanjutan)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

B.

Afkir

J - - - - 12,000 B - - - - 240,000

- - - - 252,000

C.

Produk sampingan :

1. Velvet - - 17,500 34,000 34,500 39,480 45,380 52,080 61,080 69,880 2. Ranggah 1,500 3,000 3,000 3,900 4,200 5,400 6,000 7,200 8,100 8,400 3. Kulit - - 5,250 10,200 10,350 11,844 13,614 15,624 18,324 36,714 4. Non daging (Jerohan) - 35 68 69 79 91 104 122 5,145 708

1,500

3,035 25,818 48,169 49,129 56,815 65,098 75,026 92,649 115,702 1,500

188,035 276,818 654,969 658,529 766,911 804,874 926,642 1,186,065 1,634,878

III

1,500

188,035 276,818 654,969 658,529 766,911 804,874 926,642 1,186,065 1,634,878 Discont faktor 18 % 1,271 135,044 168,480 337,826 287,849 284,088 252,670 246,522 267,406 312,367

1,553,168

247,918 247,918 261,118 142,318 143,806 143,746 148,366 153,766 155,146 Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270 45,125 39,471 34,667 29,643

(1,551,668)

(59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105 661,129 778,277 1,032,299 1,479,732

IV

Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818 207,545 207,051 232,738 282,724

IV

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1.

NVP

471

2. BCR

1.00

3. IRR (%)

21.35

4. Payback Period (Tahun)

4.53

TAHUN KE ( X Rp 1.000) KOMPONEN

Penerimaan

PENDAPATAN KOTOR

Jumlah B

Total II (A + B + C)

Jumlah C

1. 2.

Saldo (Net profit) 3.

Biaya

ANALISIS PROYEK

249,272

1.12


(2)

96

Lampiran 6

Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (

Cervus timorensis

de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem

farming

dengan skenario terjadi penurunan penerimaan hingga 10%.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I

1,350

169,232 249,136 589,472 592,676 690,220 724,387 833,978 1,067,458 1,471,390 Discont faktor 18 % 1,144 121,539 151,632 304,043 259,064 255,679 227,403 221,870 240,665 281,130

1,553,168

247,918 247,918 261,118 142,318 143,806 143,746 148,366 153,766 155,146 Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270 45,125 39,471 34,667 29,643

(1,551,818)

(78,686) 1,219 328,355 450,359 546,414 580,641 685,612 913,693 1,316,245

IV

Discont faktor 18 % (1,315,100) (56,511) 742 169,362 196,856 202,409 182,278 182,399 205,998 251,488

II

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1.

NVP

1,984

2. BCR

1.00

3. IRR (%)

18.25

19,920

1.01

ANALISIS PROYEK

Penerimaan 1.

2.

Saldo (Net profit) 3.

Biaya

PENDAPATAN KOTOR

TAHUN KE ( X Rp 1.000) KOMPONEN


(3)

Lampiran 7

Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (

Cervus timorensis

de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem

farming

dengan skenario terjadi peningkatan biaya 10%.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I

1,500

188,035 276,818 654,969 658,529 766,911 804,874 926,642 1,186,065 1,634,878 Discont faktor 18 % 1,271 135,044 168,480 337,826 287,849 284,088 252,670 246,522 267,406 312,367

1,708,484

272,709 272,709 287,229 156,549 158,186 158,120 163,202 169,142 170,660 Discont faktor 18 % 1,447,868 195,856 165,979 148,150 68,429 58,597 49,638 43,418 38,134 32,607

(1,706,984)

(84,674) 4,109 367,740 501,980 608,725 646,754 763,440 1,016,923 1,464,218

IV

Discont faktor 18 % (1,446,597) (60,812) 2,501 189,676 219,420 225,491 203,032 203,104 229,271 279,760

II

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1.

NVP

5,191

2. BCR

1.00

3. IRR (%)

18.50

TAHUN KE ( X Rp 1.000) KOMPONEN

Penerimaan

PENDAPATAN KOTOR

1. 2.

Saldo (Net profit) 3.

Biaya

ANALISIS PROYEK

44,847

1.02


(4)

98

Lampiran 8

Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (

Cervus timorensis

de Blainville pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem

farming

dengan skenario terjadi penurunan penerimaan sebesar 10% dan terjadi peningkatan biaya sebesar 10%.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I

1,350

169,232 249,136 589,472 592,676 690,220 724,387 833,978 1,067,458 1,471,390 Discont faktor 18 % 1,144 121,539 151,632 304,043 259,064 255,679 227,403 221,870 240,665 281,130

1,708,484

272,709 272,709 287,229 156,549 158,186 158,120 163,202 169,142 170,660 Discont faktor 18 % 1,447,868 195,856 165,979 148,150 68,429 58,597 49,638 43,418 38,134 32,607

(1,707,134)

(103,478) (23,573) 302,243 436,127 532,034 566,267 670,776 898,316 1,300,730

IV

Discont faktor 18 % (1,446,724) (74,316) (14,347) 155,893 190,635 197,082 177,765 178,452 202,531 248,523

II

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1.

NVP

6,971

2. BCR

1.00

3. IRR (%)

15.50

TAHUN KE ( X Rp 1.000) KOMPONEN

Penerimaan

PENDAPATAN KOTOR

1. 2.

Saldo (Net profit) 3.

Biaya

ANALISIS PROYEK

(184,505)

0.92


(5)

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

121.9

107.4

127.8

119.0

Rumput Teki

Cyperus rotundus

5.2

3.4

3.3

4.0

127.1

110.8

131.1

123.0

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

66.2

48.6

85.0

66.6

Rumput Teki

Cyperus rotundus

4.2

3.5

3.5

3.7

70.4

52.1

88.5

70.3

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

30.7

63.4

50.6

48.2

Rumput Teki

Cyperus rotundus

3.3

5.1

2.7

3.7

34.0

68.5

53.3

51.9

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

158.2

38.5

112.5

103.1

Rumput Teki

Cyperus rotundus

5.6

3.5

2.7

3.9

163.8

42.0

115.2

107.0

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

94.8

55.2

68.0

72.7

Rumput Teki

Cyperus rotundus

3.7

6.1

2.5

4.1

98.5

61.3

70.5

76.8

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

8.8

20.9

10.7

13.5

Rumput Teki

Cyperus rotundus

39.7

54.8

14.2

36.2

48.5

75.7

24.9

49.7

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

8.0

8.9

8.3

8.4

Rumput Teki

Cyperus rotundus

53.1

40.2

34.2

42.5

61.1

49.1

42.5

50.9

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

7.3

12.7

8.8

9.6

Rumput Teki

Cyperus rotundus

21.4

17.5

10.1

16.3

28.7

30.2

18.9

25.9

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

8.1

14.2

16.7

13.0

Rumput Teki

Cyperus rotundus

57.0

52.3

37.6

49.0

65.1

66.5

54.3

62.0

Rumput Paitan

Paspalum conjungatum

3.5

3.5

3.2

3.4

Rumput Teki

Cyperus rotundus

3.3

6.8

3.3

4.5

6.8

10.3

6.5

7.9

704.0

566.5

605.7

625.4

70.40

56.65

60.57

62.54

Dari tabel di atas diketahui bahwa produksi rumput pada petak contoh adalah 62,54 gram/m

2

/12 hari,

dengan demikian maka produksi harian adalah :

62.54

12

Dengan demikian dari luasan zona rumput yang ada di Taman Monos seluas 1,5 ha akan menghasilkan

rumput sebanyak : 5,21 gram x 15.000 m =

78,175

gram/hari

78.18 kg/hari

Bila diperkirakan proper use factor

= 60 %, maka rumput yang tersedia/dapat dikonsumsi oleh rusa

adalah sebanyak : 60% x 78,18 kg = 46,91 kh/hari

gram/m

2

/hari

Total Produksi

Rata-rata produksi

=

5.21

9

Jumlah

10

Jumlah

7

Jumlah

8

Jumlah

5

Jumlah

6

Jumlah

3

Jumlah

4

Jumlah

Jumlah

1

2

Jumlah


(6)

Jika tingkat konsumsi pakan rusa adalah 5,0 kg/ekor/hari, maka zona rumput yang ada dapat menampung

rusa sebanyak :

46.91

5 kg

jika dihitung kebutuhan lahan rumputnya adalah

1,5 ha

9,38 ekor

Kenyataan di lapangan, padang rumput tidak setiap hari mampu memproduksi hijauan setiapharinya, dimana

perlu istirahat untuk pertumbuhan kembali. Berdasarkan data penelitian waktu istirahat adalah 12 hari. Dengan

demikian luas lahan yang diperlukan oleh seekor rusa agar dapat merumput sepanjang tahun adalah

0,16 ha x 12 hari = 1,92 ha.

= 9,38 ekor/hari