Efek Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville 1822) Jantan di Penangkaran, Hutan Penelitian Dramaga, Bogor

(1)

1.1Latar Belakang

Rusa merupakan salah satu sumberdaya hutan yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Adapun usaha yang dilakukan agar populasi rusa di alam tetap lestari, diantaranya melalui konservasi ex-situ atau sering disebut juga kegiatan penangkaran. Pada umumnya penangkaran rusa di Indonesia dilakukan secara ekstensif (tidak ada campur tangan manusia atau pengelola), misalnya dalam bentuk ranch dan semi intensif (campur tangan manusia hanya sebagian saja misalnya apabila kekurangan pakan).Jenis rusa yang sering ditangkarkan yaitu rusa timor (Rusa timorensis de Blainville 1822). Hal ini karena rusa timor mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dibandingkan jenis rusa lainnya (Thohari et al. 2011). Pendapat inisesuai dengan Masy’ud (1997) bahwa rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di hutan-hutan yang lebat.

Selain ekstensif dan semi intensif, penangkaran rusa dapat dilakukan dengan cara intensif. Penangkaran intensif merupakan kegiatan pengelolaan melalui campur tangan manusia atau pengelola. Menurut Masy’ud dan Taurin (2000), keberhasilan penangkaran bergantung pada keberhasilan reproduksi satwa yang ditangkarkan dan keberhasilan reproduksi sangat bergantung pada keberhasilan manajemen bibit, pakan, kesehatan dan teknologi reproduksi dan pemuliaannya. Dengan pengelolaan yang intensif, dapat dilakukan pengaturan terhadap reproduksi rusa. Pengaturan reproduksi merupakan satu kesatuan dari metode atau sistem reproduksi yang dikembangkan atau direkayasa melalui suatu proses penelitian dalam bidang reproduksi secara terus menerus dan berkesinambungan dengan pengelolaan yang dapat diaplikasikan untuk tujuan tertentu. Pengaturan reproduksi rusa timor diantaranya dapat dilakukan dengan cara stimulasi libido seksual dengan hormon atau pemberian bahan-bahan alami yang bersifat afrodisiak (perangsang), khususnya berasal dari tumbuhan.


(2)

Perkembangbiakan dan kemampuan dalam reproduksi akan dapat diketahui, dengan mengamati dan memahami perilaku rusa di penangkaran. Pengelolaan akan lebih baik apabila ditunjang oleh pengamatan yang mengarah pada proses reproduksi untuk proses domestikasi atau dengan kata lain, keberhasilan suatu penangkaran dapat dilihat dari pengelolaan dan kemampuan reproduksi pada jantan dan betina.

Perkawinan pada rusa jantan berhubungan erat dengan pertumbuhan ranggah yang ditandai oleh tingkah laku seksual yang memberikan kesan dominan sehingga dapat menarik perhatian rusa betina. Menurut Takandjandji dan Handoko (2005), perkawinan rusa jantan terjadi saat ranggah keras dan Zumrotun (2006) mengatakan bahwa pertumbuhan ranggah sejalan dengan kenaikan konsentrasi androgen dalam darah, sehingga penambahan hormon androgen dari luar akan memperpendek siklus ranggah. Dengan lebih singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk mengerasnya ranggah, maka waktu untuk perkawinan rusa juga akan lebih cepat.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan yang tinggi, termasuk tumbuhan herbal yang bersifat afrodisiak (perangsang). Salah satu contoh tumbuhan herbal ini yaitu pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack). Pemanfaatan pasak bumi di tengah masyarakat sampai saat ini sudah cukup optimal, akan tetapi dalam dunia kedokteran hewan dan penangkaran satwaliar masih sangat sedikit. Kurangnya pemanfaatan pasak bumi di bidang satwaliar karena belum adanya data dan informasi mengenai manfaat pasak bumi bagi satwa, terutama untuk reproduksi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang efek pemberian pasak bumi terhadap perilaku reproduksi (seksual) rusa timor jantan di penangkaran, Hutan Penelitian Dramaga, Bogor.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui efek pemberian pasak bumi terhadap perilaku (harian dan seksual) rusa timor jantan di penangkaran.


(3)

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan teknologi reproduksi rusa di penangkaran sebagai aspek konservasi ex-situ.


(4)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Rusa Timor

Rusa termasuk satwa ruminansia dari bangsa artiodactyla, suku cervidae yang memiliki17 marga, 42 jenis dan 196 anak jenis. Rusa menyebar hampir di seluruh dunia, kecuali bagian sahara (Afrika), Antartika dan Pasifik. Secara umum rusadicirikan dengan tubuhnya ditutupi rambut sama dengan mamalia umumnya, jumlah jari yang genap, empat buah jari pada setiap kakinya; dua jari berada agak di atas dan mengecil sehingga tidak mencapai tanah, sedangkan dua jari lainnya menopang pada tanah (Semiadi 2006).

Di Indonesia semua jenis rusa (rusa timor, rusa sambar, rusa bawean, dan muntjak) termasuk dalam kategori sebagai satwa langka dan dilindungi undang-undang. Rusa timor merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi dan status konservasi dalam IUCN termasuk dalam Red List, rusa timor digolongkan ke

dalam “Vulnerable” yaitu dalam kondisi rentan dari kepunahan dan termasuk jenis satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999. Rusa timor terdiri dari delapan sub-spesies dan menyebar di seluruh wilayah nusantara, rusa sambar terdiri dari dua sub-spesies menyebar di Sumatera dan Kalimantan, rusa bawean hanya terdiri dari satu jenis dan endemik di Pulau Bawean, sedangkan Muntjak atau kijang terdiri dari satu jenis dan terdapat di Pulau Jawa (Masy’ud et al. 2003). Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville 1822) merupakan salah satu rusa asli Indonesia. Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976); Reyes (2002); Semiadi dan Nugraha (2004) memiliki ciri-ciri rambut berwarna coklat kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna coklat, mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, dan gigi seri relatif besar. Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping, panjang, dan bercabang. Cabang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang dari cabang depan kedua, cabang belakang kedua


(5)

kiri dan kanan terlihat sejajar (Gambar 1). Sedangkan taksonomi rusa timor dapat diuraikan sebagai berikut :

Phyllum : Vertebrata Sub phylum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Artiodactyla Familia : Cervidae Genus : Rusa

Species : Rusa timorensis de Blainville 1822 (IUCN, 2008)

Gambar 1 Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville 1822).

Menurut Whitehead (1993) diacu dalam Semiadi (2006), rusa timor pernah dilepaskan di daerah Banjarmasin pada tahun 1680 dan berkembang dengan baik. Selain itu pelepasan secara tidak sengaja di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur). Tahun 1855, rusa timor dari daerah Pulau Seram pernah didatangkan ke Kepulauan Aru (Nootebom 1996 diacu dalam Semiadi 2006). Rusa timor juga pernah dilepaskan di Taman Nasional Wasur dan populasinya berkembang baik serta status perlindungannya dicabut sehingga masyarakat diizinkan berburu (Semiadi 2006), akan tetapi populasi rusa timor saat ini semakin berkurang dan menurun. Melihat kondisi seperti ini, Taman Nasional Wasur mempunyai kebijakan untuk tetap mengizinkan dan memperbolehkan masyarakat berburu rusa timor dengan syarat menggunakan alat buru tradisional. Selain di Indonesia, rusa timor juga menyebar di Afrika, Australia, Pasifik, Papua New Guinea dan Selandia Baru.


(6)

Menurut Semiadi (2006) dan Wiyanto (2011), rusa timor memiliki habitat asli berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savana. Adanya lingkungan yang ternaungi merupakan hal yang paling dibutuhkan oleh rusa karena sebagai tempat berteduh dan untuk menghindar dari gangguan insekta (pada jantan yang sedang mengelupas kulit velvetnya) serta sebagai tempat bersembunyi. Menurut Semiadi (2006) bahwa rusa timor mempunyai habitat utama berupa savana dan di daerah hutan terbuka. Padang rumput dan daerah-daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang disukai oleh rusa timor adalah semak-semak yang didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica).

Wiyanto (2011) menyebutkan bahwa dalam hal pemilihan pakan, rusa lebih menyukai hijauan berdaun lunak dan basah serta bagian yang muda seperti dari jenis leguminosa atau kacang-kacangan dan rumput-rumputan. Di daerah lain yang menjadi habitat rusa timor, seperti di Papua diantara spesies tumbuhan yang terdapat di dataran tinggi Kebar, terdapat empat (4) jenis leguminosa yang paling disukai oleh rusa, yaitu Themeda arguens, Melinis minutiflora, Cyperus rotundus dan Imperata cylindrica (Pattiselanno et al. 2009).

Menurut Semiadi (2006), berdasarkan pemilihan pakan, rusa timor termasuk ke dalam grazer (pemakan rerumputan). Aktivitas mencari pakan pada satwa ruminansia (foraging) dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu merumput (grazing), ruminasi (ruminating) dan istirahat (resting). Dalam mencari pakan, rusa tropis dikenal paling aktif di malam hari atau yang disebut nocturnal (Semiadi 2006), sedangkan rusa yang ditangkarkan cenderung meluangkan waktunya lebih banyak untuk istirahat, ruminasi dan berjalan dibandingkan dengan makan dan minum.

Menurut Takandjandji dan Garsetiasih (2002), pakan yang diberikan pada rusa timor di penangkaran di Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari rumput, legum dan makanan penguat berupa dedak padi. Jenis hijauan pakan tersebut adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), king grass (Pennisetum purpuphoides), turi (Sesbania grandiflora), lamtoro (Leucaena leucocephalla),


(7)

beringin (Ficus benjamina), kabesak (Acacia leucophloea), name (Pipturus argenteus) dan busi (Melochia umbellata). Pemberian pakan didasarkan pada bobot badan rusa yakni 10% x berat badan x 2. Maksud dikalikan dua adalah memperhitungkan jumlah hijauan yang tidak dimakan karena pakan telah tua, tidak disukai, kotor dan terinjak-injak, serta telah bercampur dengan faeces (kotoran) dan urine (air kencing). Sebagai perangsang nafsu makan dan untuk memenuhi kebutuhan mineral, pemberian pakan rusa di penangkaran selalu disertai dengan pemberian garam. Hasil penelitian Takandjandji (2009) menyebutkan bahwa jenis hijauan yang diberikan pada rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga adalah bayondah (Isachne globosa), aawian (Panicum montanum Roxb), kipait (Axonopus compressus Beauv), lameta (Leersia hexandra Swartz), kolonjono (Hierochloe horsfieldii Maxim), dan gewor (Comellina nudiflora L.). Adapun pakan rusa timor di penangkaran, Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum), kaliandra (Calliandra callothyrsus) (Gambar 2) dan berbagai jenis rumput lainnya.

(a) (b)

Gambar 2 Pakan rusa timor. (a) Rumput gajah (Pennisetum purpureum); (b) Kaliandra (Calliandra calllothyrsus).

2.2 Perilaku Rusa

Perilaku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme (Timbergen 1979) yang merupakan suatu gerakan atau perubahan gerak termasuk perubahan dari bergerak ke tidak bergerak sama sekali. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, satwaliar melakukan kegiatan-kegiatan agresif, persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makan, pelindung, pasangan untuk kawin, dan reproduksi. Perilaku timbul karena adanya


(8)

rangsangan dari dalam tubuh satwa atau dari lingkungan dan perilaku berfungsi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978). Setiap satwa dilahirkan dengan berbagai pola perilaku yang sudah sempurna tetapi sebagian pola perilaku berkembang di bawah pengaruh rangsangan lingkungan atau karena proses belajar.

Menurut Dradjat (2002), pertumbuhan ranggah berhubungan dengan siklus reproduksi dan ranggah juga berkaitan dengan perilaku seksual, sedangkan Takandjandji dan Handoko (2005) mengatakan, ranggah dan musim kawin pada rusa timor jantan terdapat korelasi. Ranggah yang keras, kuat dan sempurna akan sangat berpengaruh selama musim kawin, dimana terjadi perkelahian antar sesama pejantan untuk merebut betina (Takandjandji et al. 1998). Pada musim kawin rusa jantan terlihat sangat galak sehingga ranggah digunakan sebagai alat untuk berkelahi dengan sesama pejantan. Pertumbuhan dan perkembangan ranggah pada rusa jantan dipengaruhi oleh pubertas, terutama peredaran hormon testosteron. Testosteron yang rendah menyebabkan pelepasan ranggah dan pertumbuhan ranggah baru, sedangkan testosteron yang tinggi menyebabkan matinya velvet dan pengerasan sempurna pada ranggah.

Libido merupakan kebutuhan biologis untuk aktivitas seksual (rangsangan seksual) dan seringkali ditandai sebagai perilaku seksual. Dalam definisi lain libido seksual adalah dorongan yang berkekuatan atau yang memiliki energi dan bersifat seksual (Arifiyanti 2010). Timbulnya libido pada hewan jantan ditandai dengan terjadinya ereksi (Zumrotun 2006). Sekresi hormon reproduksi pada rusa dipengaruhi oleh cahaya harian pendek, dimana dengan berkurangnya panjang hari akan terjadi peningkatan frekuensi dan besarnya sekresi LH (Luteinizing Hormone), serta naiknya tingkat FSH (Follikel Stimulating Hormone) dan akan mempengaruhi perkembangan testis dalam memproduksi hormon testosteron (Masy’ud 1998).

Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara tingkat hormon yang beredar dalam tubuh, misalnya testosteron atau estrogen, dan jumlah aktivitas seksual yang ditunjukkan oleh satwa jantan dan betina disebabkan oleh: (a) kadar hormon yang lebih besar dalam kebanyakan individu satwa untuk menunjukkan tingkah laku seksual secara maksimal atau (b)


(9)

respon terhadap hormon yang dipengaruhi sepenuhnya oleh reaksi sebelumnya dari pusat syaraf.

Dilihat dari aspek reproduksi, rusa termasuk satwaliar yang produktif, dengan masa reproduksi dimulai dari umur 1,5 - 12 tahun, dan rusa dapat bertahan hidup antara umur 15 - 20 tahun. Hasil penelitianTakandjandji et al. (1998) pada rusa timor di penangkaran NTT melaporkan bahwa rata-rata lama birahi 2,2 hari dengan siklus 20,3 hari; dewasa kelamin atau pubertas pada rusa jantan 8 bulan dan rusa betina 8,13 bulan; umur perkawinan pertama pada rusa jantan 12,7 bulan pada rusa betina 15,3 bulan; umur kebuntingan pertama 17 bulan dengan lama bunting 8,4 bulan dan umur beranak pertama 25,5 bulan dengan jarak kelahiran pertama dan kedua 13,25 bulan; lama menyusui 4 bulan dengan tingkat pertambahan anak rusa yang lahir per tahun 0,8 ekor dan ratio kelamin anak yang lahir antara jantan dan betina 1:1,3 ekor; persentase kelahiran sebesar 96,07% dan tingkat kematian 17,25%.

Musim kawin pada rusa tropis sangat tergantung pada kondisi alam setempat. Perkiraan massa perkawinan dapat dilakukan dengan mengurangi lama kebuntingan terhadap bulan kelahiran anak. Cara lain memperkirakan musim kawin adalah dengan mengekstrapolasi bulan tertinggi pejantan dalam keadaan ranggah keras, adanya bekas torehan pada tumbuhan, terbentuknya kubangan dan perilaku pejantan dalam menjaga betina (Semiadi 2006). Umur tertua mampu bereproduksi yang tercatat pada rusa timor adalah pada umur 16 tahun. Sedangkan kebuntingan itu sendiri dilaporkan mulai dapat terjadi apabila berat badan telah mencapai minimal 70% dari berat dewasanya. Semiadi (2006) melaporkan bahwa berat minimal untuk kebuntingan pada rusa timor adalah 40-50 kg, kelahiran pertama dapat terjadi pada umur 15-18 bulan, dengan masa kebuntingan selama 8 (delapan) bulan, berarti bahwa umur termuda perkawinan pertama pada rusa timor dapat terjadi pada umur 7 (tujuh) bulan, kelahiran rusa timor di penangkaran dari awal sampai akhir musim kemarau dan di NTT bulan tertinggi kelahiran rusa yaitu bulan Juli.

Menurut Semiadi (2006), ranggah merupakan ciri utama dari kelompok rusa dan hanya dimiliki oleh pejantan, namun pada rusa jenis Rangifer tarandus (reindeer) dan Alces alces (moose) betina juga memiliki ranggah. Ranggah


(10)

merupakan jaringan tulang yang tumbuh keluar dari anggota tubuh dan memiliki siklus tumbuh, mengeras dan luruh secara berulang dan terus-menerus. Pertumbuhan ranggah merupakan satu-satunya jaringan tubuh hewan yang tumbuh paling cepat. Pertumbuhan ranggah terjadi pada daerah tulang tengkorak, dengan pusat pertumbuhannya di daerah frontal yang disebut pedicle adalah sejalan dengan pertambahan umur, diawali dengan tampaknya pusaran bulu dan dilanjutkan dengan tumbuhnya benjolan yang membesar dan memanjang pada saat jantan memasuki umur pubertas. Pertumbuhan selanjutnya yaitu velvet yang diawali dengan pertumbuhan tulang rawan (kartilago) yang memanjang dan diselimuti oleh lapisan kulit tipis berbulu yang kaya akan pembuluh darah dan syaraf. Selanjutnya proses pengerasan jaringan (kalsifikasi) yang diawali dengan menipis dan matinya jaringan velvet dan diakhiri dengan terlihatnya jaringan tulang disebut ranggah kera. Ranggah pada rusa berbeda dengan tanduk pada sapi, kerbau, kambing dan domba yang terbuat dari bahan dasar keratin, teksturnya berlubang dan tidak memiliki siklus tumbuh dan luruh.

Selama pertumbuhan ranggah tua, perlu peningkatan konsumsi mineral. Ketika kondisi ranggah keras maka perilaku untuk berkubang dan sikap agresif akan meningkat. Di saat seperti ini rusa dalam kondisi optimum untuk kawin (Semiadi 2006). Hal ini berkaitan dengan peningkatan hormon testosteron yang berfungsi dalam proses siklus pertumbuhan ranggah dan juga spermatogenesis (Semiadi 2006). Adapun pertumbuhan dan perkembangan ranggah terlihat pada Gambar 3.


(11)

c d

e f

Gambar 3 Tahapan pertumbuhan ranggah rusa. (a) Saat ranggah luruh/lepas; (b) Saat pertumbuhan pedicle; (c) Saat pertumbuhan velvet; (d) Saat

ranggah keras; (e) Kondisi ranggah keras pasca pemotongan; (f) Ranggah yang sudah lepas.

2.3 Tumbuhan Obat Pasak Bumi

Menurut Heriyanto et al. (2006), pasak bumi pada umumnya berbentuk semak atau pohon, tingginya dapat mencapai 10 m, berdaun majemuk menyirip ganjil, batangnya berwarna kuning, kulit batang keras, dan rasanya sangat pahit (Gambar 4). Pasak bumi merupakan tumbuhan pantai yang bagus dan menarik. Menurut Ang et al. (2003), pasak bumi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Dunia : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Simaroubaceae Genus : Eurycoma


(12)

Gambar 4 Tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)

Keterangan: Pohon pasak bumi; Serbuk pasak bumi (dari kiri ke kanan).

Pasak bumi tumbuh di daerah tropis, termasuk Indonesia yakni ditemukan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya (Talawang 2009). Heriyanto et al. (2006), menyatakan bahwa pasak bumi adalah tumbuhan liar yang banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dari permukaan laut. Penyebaran pasak bumi meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Burma Selatan, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Di Jawa, tumbuhan ini belum pernah ditemukan.

Pasak bumi merupakan salah satu tumbuhan herbal dan bagian yang dimanfaatkan yaitu bagian akar dan batangnya. Pasak bumi termasuk tumbuhan afrodisiak (perangsang). Menurut penelitian Sukimin (2008), tumbuhan afrodisiak mengandung senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang secara fisiologis dapat melancarkan peredaran darah pada sistem saraf pusat atau sirkulasi darah tepi. Efeknya dapat meningkatkan sirkulasi darah pada alat kelamin pria. Menurut Heriyanto et al. (2006), batang dan akar pasak bumi yang telah diperdagangkan secara luas sampai ke Malaysia berkhasiat untuk meningkatkan stamina di samping sebagai obat sakit kepala, sakit perut, dan sipilis. Daun pasak bumi dipakai sebagai obat disentri, sariawan, dan meningkatkan nafsu makan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Forest Research of Malaysia membuktikan bahwa pasak bumi mengandung bahan aktif. Bahan aktif tersebut adalah beta-sitosterol, N-nonacosana, dan neoclovena. Pasak bumi memiliki


(13)

pengaruh terhadap peningkatan kadar testosteron 4 (empat) kali lebih besar daripada ginseng. Disamping itu, penggunaan pasak bumi dalam jangka waktu yang lama dan dosis yang tidak tepat atau berlebihan akan mengganggu kesehatan terutama bagi kesehatan hati dan dapat merusak fungsi organ ginjal (Pusat Medis 2008). Sedangkan menurut Heriyanto et al. (2006) keseluruhan bagian dari tumbuhan pasak bumi dapat digunakan sebagai obat, antara lain obat demam, radang gusi, obat cacing, dan sebagai tonikum setelah melahirkan.

Menurut Sukimin (2008), hasil penelitian Nurliani Bermawie di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik (Balittro), Cimanggu, Bogor, bahwa masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan menggunakan pasak bumi sebagai obat kuat. Hal ini diperkuat lagi bahwa khasiat pasak bumi yang paling dipercaya adalah yang berasal dari pedalaman Kalimantan Barat. Khasiat tersebut telah dibuktikan oleh Johari Mohd. Saad, yang melakukan penelitian dengan menggunakan tikus jantan dan betina, dimana tikus jantan yang diberi ektrak pasak bumi menunjukkan perilaku lebih agresif terhadap tikus betina.

Ekstrak ethanolic yang terkandung dalam pasak bumi dapat menambah jumlah hormon testosteron. Ethanolic merangsang bekerjanya chorionic gonadotropin (Ch atau hCG) yang bisa membantu terbentuknya testosteron. Selain itu, akar pasak bumi juga dapat mengobati penyakit malaria, karena mengandung senyawa kuasinoid dan erikomanon. Pasak bumi juga dapat mencegah serangan kanker, karena mengandung senyawa kuasinoid dan alkaloid. Hal ni telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Abdul Razak Mohd Ali dari Forest Research Institute of Malaysia, sebanyak delapan (8) alkaloid ditemukan dalam akar pasak bumi, salah satunya adalah 9-methoxycanthin yang berfungsi sebagai antikanker payudara (Sukimin 2008).

Menurut Sukimin (2008), penelitian yang dilakukan oleh Department of Pharmacognocy, Tokyo College of Pharmacy & The Faculty of Medicine, Tokyo University, Jepang menemukan senyawa antileukimia dari pasak bumi. Selain afrodisiak, antikanker, antimalaria, dan antileukemia, pasak bumi juga bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh bagi para penderita HIV. Struktur kimia isolate A dari akar pasak bumi, diidentifikasi sebagai eurycomanone.


(14)

Eurycomanone mampu menghambat angiogenesis pada CAM embrio ayam


(15)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Februari 2012 di penangkaran rusa dalam kawasan Hutan Penelitian (HP) Dramaga milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Penelitian dibagi dalam 4 (empat) periode dan masing-masing periode terdiri dari 4 hari masa pendahuluan (preliminary) dan 5 hari pengumpulan data (collecting data) di dalam kandang individu dan 1 hari pengumpulan data di kandang individu (rusa betina digiring ke kandang rusa jantan), sehingga total waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 hari.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas kamera, jam, kalkulator, timbangan, dry wet, SPSS Statistics 17.0, dan alat tulis. Adapun obyek yang digunakan yaitu rusa jantan berumur 4-12 tahun (sudah dewasa tubuh) yang memiliki bobot tubuh berkisar 50-70 kg sebanyak 4 ekor dan rusa timor betina yang sudah siap kawin sebanyak 1 ekor setiap periode dan setiap periode digunakan betina yang berbeda. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu pakan rusa (rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum)), kaliandra (Calliandra calllothyrsus Meissn)), pisang (Musa paradisiaca Linn), dan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack). Adapun kandang yang digunakan yaitu kandang individu dengan ukuran kandang yaitu 1,5 m x 1,5 m x 2 m (Gambar 5).


(16)

(c ) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Gambar 5 Alat dan bahan serta obyek penelitian. (a) Rusa timor jantan; (b) Serbuk pasak bumi; (c) Kapsul pasak bumi; (d) Pisang;

(e) Kaliandra; (f) Rumput gajah; (g) Timbangan; (h) Dry Wet.

Pasak bumi yang masih dalam bentuk kayu digiling hingga menjadi serbuk, lalu dimasukkan ke dalam kapsul kosong, dengan bobot per kapsul sebanyak 200 mg. Kemudian dimasukkan ke dalam pisang yang telah disiapkan sebelumnya. Setiap pisang dimasukkan lima (5) buah kapsul pasak bumi. Selanjutnya diberikan kepada rusa timor jantan sebanyak 1 (satu) kali sehari pada pagi hari bersamaan dengan pemberian pakan (Gambar 6).


(17)

Gambar 6 Persiapan Pasak bumi. 3.3 Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan berupa data primer meliputi: perilaku harian terutama perilaku makan, istirahat, dan perilaku seksual. Data sekunder meliputi: suhu, kelembaban, curah hujan, dan ketinggian tempat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan metode pengamatan langsung di lapangan menggunakan rancangan Bujur Sangkar Latin (Latin Square Design) 4 x 4, yaitu rusa yang digunakan sebanyak 4 (empat) ekor. Rusa yang digunakan dalam penelitian ini adalah rusa jantan yang memiliki ranggah keras, dan ranggah baru lepas. Pengumpulan data dilakukan selama 4 (empat) periode dan setiap periode selama 10 (sepuluh) hari. Setiap akhir periode (pada hari kesepuluh) rusa jantan digabung dengan rusa betina untuk melihat perilaku seksual yang muncul.

3.4.1 Rancangan percobaan

Perlakuan diberikan sebanyak empat (4) perlakuan dengan jenis pakan dasar berupa rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum), kaliandra (Calliandra calllothyrsus Meissn) yang dicampur dengan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) yang sudah dikemas dalam bentuk kapsul. Perlakuan yang diberikan adalah :

Perlakuan 1 (R0) : tanpa diberi serbuk pasak bumi (0 kapsul)

Perlakuan 2 (R1) : serbuk pasak bumi dengan dosis 3.000 mg (15 kapsul) Perlakuan 3 (R2) : serbuk pasak bumi dengan dosis 5.000 mg (25 kapsul) Perlakuan 4 (R3) : serbuk pasak bumi dengan dosis 7.000 mg (35 kapsul)


(18)

Tabel 1 Hasil pengacakan tempat dan perlakuan

Periode Hasil Pengacakan

1.A 2.B 3.C 4.D

I R3 R0 R2 R1

II R1 R3 R0 R2

III R0 R2 R1 R3

IV R2 R1 R3 R0

Keterangan: 1; 2; 3; 4 = nomor rusa R0; R1; R2; R4 = perlakuan A; B; C; D = kode kandang 3.4.2 Teknik pengumpulan data

Data primer diperoleh dengan cara mengamati dan mencatat : a. Perilaku harian, meliputi :

- Perilaku makan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan rusa mulai mengkonsumsi rumput yang telah disediakan pengelola di dalam kandang. Data ini diperoleh dengan cara mengamati perilaku makan, yaitu mencatat lama makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi dalam sehari.

- Perilaku istirahat adalah kegiatan duduk atau berdiri sambil memamah biak atau tidur dan memejamkan mata. Data ini diperoleh dengan cara mengamati atau mencatat lama waktu yang digunakan selama beristirahat dalam sehari.

b. Perilaku seksual

- Perilaku nyengir (flehmen) adalah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bibir yang sedikit membuka atau bibir atas terlihat dikerutkan. Data yang diamati adalah frekuensi nyengir selama perlakuan.

- Perilaku gosokkan ranggah (rutting) adalah menggosok-gosokkan ranggah di dinding atau pintu kandang. Data yang diamati adalah frekuensi mengosok-gosokkan ranggah.

- Perilaku mendekati betina adalah kegiatan rusa jantan mendekati betina dalam jarak yang sangat dekat dan berusaha untuk mencium alat kelamin betina tersebut. Data yang diamati dan dicatat adalah frekuensi rusa timor jantan untuk mendekati betina.


(19)

- Perilaku mencium alat kelamin betina adalah rusa jantan mencium bagian alat kelamin luar atau mencium atau menjilati air kencing betina. Data yang diamati dan dicatat adalah frekuensi rusa timor jantan untuk menciumi alat kelamin betina.

- Perilaku menaiki betina (mounting) adalah kegiatan rusa jantan untuk dapat menaiki punggung betina. Data yang diamati dan dicatat adalah frekuensi rusa timor jantan menaiki punggung betina.

Data sekunder diperoleh dengan cara:

a. Studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data-data pendukung yang diperlukan dalam penelitian ini. Data-data tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, tesis, skripsi dan lain-lain.

b. Wawancara dengan petugas di lapangan. Metode ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data-data yang relevan.

c. Pengamatan langsung. Digunakan untuk memperoleh data yang mendukung penelitian mencakup teknik pemeliharaan rusa yang ada di penangkaran rusa timor di tempat penelitian.

3.5 Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam Rancangan Bujur Sangkar Latin (Latin Square Design) 4 x 4, dengan model matematis sebagai berikut :

Y ijk = µ + ai + βj + ∑ijk, dimana :

Y ijk = nilai pengamatan dari perlakuan ke-k dalam baris ke-i dan kolom ke-j

µ = nilai rata-rata

a-i = pengaruh rusa ke-i; 1-4

β-j = pengaruh periode ke-j; 1-4 y-k = pengaruh perlakuan ke-k; 1-4

∑ ijk = kesalahan baku (error)

Data diolah menggunakan SPSS Statistics 17.0 dan diperoleh secara eksperimen dan bersifat kualitatif, kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan uji LSD (least significant difference) yang menggambarkan keseluruhan perilaku yang diamati, baik perilaku harian maupun


(20)

perilaku seksual. Pengamatan perilaku seksual dilakukan pada rusa-rusa yang telah diberi perlakuan kemudian mengamati dan mencatat setiap perubahan tingkah laku setelah diberikan pasak bumi sebagai perlakuan sampai tanda-tanda perilaku seksual hilang.


(21)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Secara administrasi, HP Dramaga termasuk Desa Setu Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi HP Dramaga terletak pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut. Secara geografis lokasi ini terletak pada 6033’8’’-6033’35’’ LS dan 106044’50’’-1060105’19’’ BT. Jarak dari Bogor ± 9,0 km ke arah Barat dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama ± 30 menit. Luas keseluruhan areal HP Dramaga sekitar 57,75 ha di mana sebagian besar (41,6%) merupakan hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1954 (Takandjandji 2009) (Tabel 2).

Tabel 2 Luas masing-masing lokasi berdasarkan peruntukan lahan

No. Peruntukan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Keterangan

1. Hutan Tanaman 24,00 41,56 127 jenis pohon 2. Areal Penyangga 11,90 20,61 Tanaman obat

3. CIFOR 10,00 17,32 Kantor

4. Areal Wisata Alam 4,25 7,36 Tepi danau 5. Areal Pusat Pengelolaan 3,00 5,19 Kantor,

lapangan

6. Fasilitas Umum 2,50 4,33 Perumahan

dinas

7. Areal Makam 2,10 3,64 Dekat

pemukiman

TOTAL 57,75 100

Sumber : Takandjandji (2009).

Menurut Takandjandji (2009) luas lokasi sekitar 24,00 ha merupakan areal hutan tanaman sejumlah 102 petak, termasuk di dalamnya areal penelitian sutera alam dan penanaman murbei serta Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (lama). Areal penyangga seluas 11,90 ha merupakan lokasi yang berbatasan dengan pemukiman penduduk dimana dilakukan kegiatan konservasi ex-situ dan penelitian budidaya jenis tumbuhan obat, sebanyak 60 petak. Areal


(22)

seluas 10 ha digunakan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research) untuk pembangunan kantor dan fasilitas. Areal seluas 4,25 ha yang berada di tepi Danau Situ Gede merupakan areal yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wisata alam terutama pada hari-hari libur. Areal seluas 3,00 ha digunakan sebagai pusat pengelolaan yakni pembangunan perkantoran, lapangan olahraga, instalasi listrik dan air, perumahan dinas karyawan dan rencana pengembangan fasilitas hunian. Sedangkan untuk fasilitas umum seluas 2,50 ha merupakan areal bekas persemaian dan bangunan Dharma Wanita (lama) serta pembangunan warung atau kios barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lokasi yang tersisa sekitar 2,10 ha digunakan untuk areal makam karena berdekatan dengan pemukiman penduduk. Namun dalam pengembangannya, dari luas areal wisata alam, fasilitas umum, dan sebagian kecil areal pengelolaan, digunakan sebagai lokasi penangkaran rusa seluas ± 7,0 ha (Gambar 7).

Gambar 7 Lokasi pembangunan penangkaran rusa timor di HP Dramaga, Bogor (Sumber: Setio 2008).

Fungsi HP Dramaga sejak ditetapkan adalah selain sebagai tempat penelitian, sumber plasma nutfah, sumber benih tanaman, juga sebagai sarana pendidikan dan latihan, dan tempat rekreasi. Sedangkan tujuan dari pengembangan penangkaran rusa timor di HP Dramaga adalah untuk membangun pusat teknologi penangkaran rusa, dan mengintegrasikan pemanfaatan hutan, satwaliar, serta potensi alam dalam pengembangan eko-widya wisata.

4.2 Kondisi Fisik

Berdasarkan hasil penelitian Parisy et al. (1999), lokasi HP Dramaga beriklim basah dengan tipe hujan A. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.940 mm dengan jenis tanah latosol coklat kemerahan yang pada lapisan bagian atas

Setu Gede


(23)

bertekstur liat sampai berdebu, solum sangat dalam, dan drainase sedang dengan pH tanah 5,0-6,0. Topografi, datar sampai agak bergelombang dengan kelerengan 0-5%. Namun topografi pada areal penangkaran rusa, umumnya datar.

4.3 Kondisi Biologi

Flora yang terdapat di HP Dramaga sebanyak 127 jenis tumbuhan, mencakup 88 marga dan 43 famili (Parisy et al. 1999). Jenis tumbuhan tersebut merupakan tanaman introduksi (42 jenis pohon) dan 88 jenis asli Indonesia (pohon 85 jenis, bambu satu jenis, rotan satu jenis, palmae satu jenis). Jenis tanaman introduksi terdiri dari jenis pohon berdaun jarum (Gymnospermae) tiga jenis dari marga pinus dan jenis daun lebar (Angiospermae) 39 jenis (34 marga, 18 famili) khusus marga khaya dan terminalia. Jenis pohon introduksi berasal dari negara beriklim tropis dan sub tropis.

Jenis tumbuhan bawah yang terdapat di bawah tegakan pohon pada HP Dramaga, terdiri dari jukut kakawatan (Cynodon dactylon), paku kawat (Lycopodium cernuum), kirinyuh (Eupatorium pallescens), paku areuy (Gleichenia linearis), dan harendong (Melastoma polyanthum). Jenis fauna yang terdapat dalam HP Dramaga adalah ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), tupai atau bajing (Lariscus sp), dan musang (Paradosurus hermaphroditus). Menurut Solihati (2007), jenis burung yang terdapat di HP Dramaga sebanyak 29 jenis terdiri dari 21 suku, dua jenis diantaranya merupakan burung endemik Pulau Jawa yakni Spizaetus bartelsi dan Stachyris grammiceps.

4.4 Sarana dan Prasarana

Kawasan HP Dramaga selain memiliki sarana dan parasana berupa perkantoran, bangunan dan perumahan karyawan, juga memiliki enclave kampung yakni Semplak dan kampung Jawa. Di samping itu, HP Dramaga memiliki beberapa sarana dan prasarana penting, di antaranya adalah Danau Setu Gede yang pada hari libur sering dijadikan sebagai tempat rekreasi dan banyak dikunjungi masyarakat sekitar Bogor dan penangkaran rusa (Gambar 8). Danau Setu Gede memiliki pemandangan indah yang dijadikan sebagai tempat perlombaan memancing ikan, dan berperahu mengelilingi danau.


(24)

(a) (b)

Gambar 8 Sarana dan prasarana (a) Danau Setu Gede; (b) Penangkaran rusa di Hutan Penelitian Dramaga.

4.5 Keadaan Fisik Lokasi Penangkaran

Lokasi penangkaran rusa berada di dalam kawasan Hutan Penelitian Dramaga, milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Lokasi ini memiliki topografi yang cenderung landai dengan kemiringan antara 00 –50. Lokasi penangkaran ini menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, termasuk daerah dengan hujan tipe A, yaitu bulan kering rata-rata 0,3 maksimum 2, frekuensi 1 dan bulan basah rata-rata 11,2 maksimum 12 frekuensi 8. Rata-rata curah hujan 3.892,40 mm dan hari hujan 271,84 hari. Temperatur maksimum rata-rata 31,840C, minimum rata-rata 22,640C dan rata-rata kelembaban 83,76%. 4.6 Penangkaran

Berdasarkan wawancara dengan pihak pengelola, luas areal penangkaran 7,0 Ha dengan target daya dukung kurang lebih 100 ekor rusa, dengan acuan 1,0 Ha dapat menampung 14 ekor rusa. Areal penangkaran yang berada di bawah tegakan hutan memiliki sinar matahari yang tidak cukup untuk menumbuhkan rumput guna memenuhi kebutuhan rusa. Penyusunan alokasi kandang yang diperuntukkan untuk kandang semi alami 5,0 Ha dan kebun penanaman pakan 2,0 Ha. Kandang semi alami terdiri dari kandang individu, kandang jepit, lorong penggiringan, pedok, kandang pembiakan, kandang pembesaran, kandang trenggiling. Selain itu, terdapat pula sarana prasarana pendukung penangkaran rusa yaitu kebun pakan, pengolahan limbah, pos penjagaan, kantor pusat informasi dan gudang (Gambar 9).


(25)

(a) (c)

(a) (d)

Gambar 9 Sarana dan prasarana di penangkaran. Keterangan: (a) Lorong penggiringan; (b) Pedok; (c) Kandang pembesaran; (d) Kebun pakan.


(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Pasak Bumi

Salah satu suku tumbuhan yang mempunyai banyak anggota dan berkhasiat obat adalah Simaroubaceae. Anggotanya yang paling terkenal adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack). Suku Dayak Kenyah menggunakannya untuk obat sakit perut dan demam, dan suku Banjar menggunakannya untuk afrodisiak (perangsang) sedangkan di Thailand digunakan sebagai antimalaria. Saat ini pasak bumi sudah merupakan komoditi ekspor (Mandang dan Andianto 2007). Ciri utama kayu pasak bumi adalah berpembuluh baur dengan diameter agak kecil, rata-rata kurang dari 100 mikron, kayu pasak bumi dari bagian batang sulit dibedakan dari kayu bagian akar. Akar berbentuk lancip sedangkan batang berbentuk silindris.

Kondisi habitat pasak bumi bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 15-45%, ketinggian tempat 250-300 m dari permukaan laut. Habitat pasak bumi merupakan hutan tropis dan tanah tidak pernah tergenang air, datar tetapi lebih disukai kondisi tanah yang miring, aerasi baik atau banyak mengandung pasir. Pada tingkat semai, tumbuhan ini banyak dijumpai mengelompok di bawah tajuk hutan. Tumbuhan muda tidak menyukai cahaya langsung, tetapi memerlukan cahaya langsung sejak tumbuhan memasuki tingkat pohon (Heriyanto et al. 2006).

Menurut Zumrotun (2006), tumbuhan yang digolongkan dalam kelompok afrodisiaka menunjukkan adanya aktivitas hormonal yaitu hormon androgenik. Hormon androgenik adalah hormon untuk hewan jantan dan mempunyai peranan dalam aktivitas atau tingkah laku kawin hewan jantan. Peningkatan hormon androgenik akan berpengaruh terhadap peningkatan libido seksualnya.

Berdasarkan hasil analisis pasak bumi yang dilakukan oleh Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB, No. 405.016/LPSB/1/12 (hasil analisis terlampir) bahwasanya sampel serbuk pasak bumi mengandung Alkaloid (wagner dan dragendorf), Flavonoid, dan Steroid. Teknis analisis sampel pasak bumi


(27)

yang dilakukan, yaitu teknik visualisasi warna untuk menentukan kandungan senyawa dalam serbuk. Pada umumnya alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar yang terdapat dalam tumbuhan dan mencakup senyawa bersifat basa serta mengandung atom nitrogen. Alkaloid memiliki karakteristik rasa pahit di lidah. Flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air yang mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi, sedangkan steroid merupakan senyawa sebagai hormon kelamin pada satwa (Harborne 1987). Fungsi steroid disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Fungsi utama senyawa steroid

Tempat dihasilkan Hormon Jenis Kimia Fungsi Utama Ovarium Estrogen Steroid - Tingkah laku kawin

- Sifat-sifat seksual sekunder Ovarium Progesteron Steroid - Mempertahankan kebuntingan

- Pertumbuhan ambing Testis Androgen

(testosteron)

Steroid - Tingkah laku kawin jantan - Spermatositogenesis

- Mempertahankan sistem saluran kelamin jantan

- Fungsi dari kelenjer tambahan Korteks ginjal Kortisol Steroid - Kelahiran

- Sintesis susu

Plasenta Estrogen Steroid - Pengenalan kebuntingan oleh induk pada babi

Plasenta Progestin Steroid - Mempertahankan kebuntingan Sumber : Tomaszweska et al. (1991).

Berdasarkan tabel di atas, steroid sangat berperan penting dalam reproduksi. Keberadaan senyawa steroid dalam tumbuhan pasak bumi, dapat mempengaruhi perilaku seksual dan proses reproduksi rusa timor jantan. Berbeda dengan alkaloid dan flavonoid tidak berpengaruh langsung kepada perilaku seksual dan proses reproduksi. Alkaloid adalah basa organik yang mengandung amina sekunder, tersier atau siklik. Senyawa alkaloid yang berasal baik dari tanaman maupun hewan menunjukkan beragam aktivitas biologi. Di Brazil, beberapa perusahaan farmasi telah menggunakan tanaman yang mengandung alkaloid ini sebagai bahan baku fitokimia. Kebutuhannya senantiasa meningkat setiap tahun sehingga mendorong para peneliti untuk mengembangkan tanaman, terutama di bidang pertanian dan obat-obatan. Salah satu penggunaan tanaman Ageratum conyzoides terutama dibidang pertanian dan obat-obatan. Penggunaan tanaman ini secara tradisional dapat menyembuhkan berbagai jenis


(28)

penyakit, bisa menjadi sumber ekonomi yang penting bagi Indonesia (Utami dan Robara 2008).

Menurut Waji dan Sugrani (2009), flavanoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau kecuali alga dan merupakan kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini berwarna merah, ungu dan biru, sedangkan dalam tumbuhan ditemukan berwarna kuning. Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktif sebagai obat. Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron glikosida dan dihidroflavonol O-glikosida. Kuersetin adalah salah satu zat aktif kelas flavonoid yang secara biologis amat kuat. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, 2 cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok itu adalah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin (Lenny 2006).

Menurut Pratomo et al. (2010), pemberian pasak bumi dengan dosis 40 mg/200 g bb (bb=berat badan) fraksi air yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari pada tikusdilanjutkan pengamatan melalui tingkah laku, menguap (yawning) dan meregangkan tubuh (stretching). Gerakan stretching dan yawning dianggap suatu gerakan yang mencerminkan adanya timbul nafsu libido pada tikus tua. Diperoleh hasil bahwa pasak bumi mempunyai peran sebagai afrodisiaka pada tikus putih tua.

5.2 Pengaruh Pasak Bumi terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan 5.2.1 Perilaku istirahat rusa timor jantan

Perilaku istirahat pada rusa di penangkaran yang dikelola dengan sistem ranch terjadi pada interval between feeding bout. Pada kondisi ini rusa lebih


(29)

banyak melakukan aktivitas memamah biak sambil duduk atau berbaring di bawah naungan pohon-pohon yang banyak serasahnya. Perilaku ini umumnya dilakukan pada saat tengah hari dan terik matahari mencapai maksimum (Zumrotun 2006). Hasil pengolahan data pada pengamatan penelitian ini terhadap waktu yang digunakan untuk aktivitas istirahat dapat diketahui bahwa rusa dengan dosis pasak bumi 0 mg (R0), 3000 mg (R1), 5000 mg (R2) dan 7000 mg (R3) tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti yang terlihat Tabel 4. Hal ini karena kondisi alat kelamin sekunder (ranggah) keempat rusa timor jantan berbeda-beda. Berbeda dengan laporan Zumrotun (2006) bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan adanya kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat. Semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan, akan semakin rendah atau singkat waktu yang digunakan untuk istirahat. Kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat, disebabkan satwa dalam kondisi birahi atau libidonya meningkat, sehingga sebagian besar waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksualnya. Semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktivitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina untuk mendekati, mencium, menggosokkan ranggah dan agonistik, sehingga semakin kecil atau semakin rendah waktu yang tersedia untuk istirahat. Perbedaan hasil analisis ini, karena perbedaan tempat perlakuan. Penelitian ini di lakukan di dalam kandang individu sehingga pakan yang dikonsumsi rusa menjadi terbatas, sedangkan Zumrotun (2006) di penangkaran sistem ranch sehingga rusa bebas menkonsumsi pakan (merumput).

Kegiatan mencari makan pada rusa dapat dilakukan secara kelompok atau secara sendiri-sendiri. Rusa memiliki apa yang disebut “feeding bout” atau periode makan yaitu periode dimana terjadi aktivitas gerak pindah mencari pakan dilanjutkan dengan menemukan pakan dan memakannya. Setelah berkali-kali menemukan pakan dan memakan pakan, periode makan berakhir dan satwa

memasuki periode “interval between feeding bout” (interval antara periode makan). Interval ini banyak diisi dengan aktivitas duduk dan memamah biak (Kurniawan 1997). Rata-rata waktu istirahat pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 4,13 ± 0,25 jam, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 4,25 ± 0,5 jam,


(30)

pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 4,25 ± 0,25 jam, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 4,25 ± 0,25 jam.

Tabel 4 Analisis sidik ragam perilaku istirahat rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa

Hasil analisis tersebut di atas merupakan hasil pengamatan yang dilakukan selama 4 (empat) periode dan total pengamatan 40 hari, dengan waktu pengamatan setiap hari dimulai pukul 08.00-17.00, dan pengamatan dilakukan lebih kurang selama 9 jam. Rusa melakukan perilaku istirahat setelah mengkonsumsi pakan, baik setelah mengkonsumsi pakan pagi (pukul 08.00) maupun siang (pukul 12.00). Hal ini sesuai dengan penelitian Zumrotun (2006) bahwa rusa yang berada di penangkaran BKPH Jonggol, umumnya beristirahat setelah merumput sampai pukul 12.00 atau setelah merumput siang hari dan beristirahat sampai pukul 16.00. Kemudian merumput kembali sampai pukul 17.00. Aktivitas merumput hanya dilakukan pada siang hari, sedangkan malam hari digunakan untuk beristirahat. Semua rusa (1, 2, 3 dan 4) yang diberi perlakuan (R0, R1, R2 dan R3) rata-rata melakukan perilaku istirahat selama 4,22 ± 0,41 jam setiap hari. Adapun cara rusa melakukan perilaku istirahat yaitu, dua kaki depan ditekuk, lalu diikuti dua kaki belakang juga ditekuk (Gambar 10).

Gambar 10 Rusa timor jantan yang sedang istirahat.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada malam hari sampai pukul 22.00, rusa timor jantan masih tetap beristirahat. Hal ini berbeda dengan laporan Semiadi (2006), rusa timor termasuk rusa tropis dikenal paling aktif pada malam

Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P

Nilai tengah Kolom 3 0.77 49.00 0.00

Nilai tengah Baris 3 0.02 1.00 0.44

Galat 9 0.02


(31)

hari (nocturnal), sedangkan siang hari digunakan untuk mencari makan dan beristirahat. Perbedaan ini karena habitat yang berbeda yaitu antara habitat asli (hutan) dan habitat bukan asli (penangkaran).

5.2.2 Perilaku makan dan tingkat konsumsi rusa timor jantan

Pakan yang diberikan pada rusa timor jantan selama perlakuan yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum) dan kaliandra (Calliandra calllothyrsus Meissn). Jumlah rumput gajah dan kaliandra yang diberikan setiap hari disesuaikan dengan bobot badan rusa. Jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan dalam berbagai perlakuan terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan di penangkaran (kg/individu/hari)

Periode Ulangan Jumlah Rata-rata

1.A 2.B 3.C 4.D

I R3/7,63 R0/7,53 R2/6,50 R1/5,31 26,97 6,74 II R1/5,67 R3/6,35 R0/5,267 R2/5,21 22,49 5,62 III R0/6,61 R2/5,06 R1/5,15 R3/5,29 22,10 5,53 IV R2/6,67 R1/5,39 R3/5,04 R0/4,56 21,67 5,42 Jumlah 26,58 24,33 21,95 20,37 93,22 23,31

Rata2 6,64 6,08 5,49 5,09 23,31 5,83

Adapun rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan pada setiap dosis pasak bumi yang diberikan terlihat pada Gambar 11, bahwasanya pada dosis pasak bumi 0 mg (R0), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,99 ± 1,33 kg. Pada dosis 3000 mg (R1), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,38 ± 0,22 kg, pada dosis 5000 mg (R2), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,86 ± 0,84 kg sedangkan dosis 7000 mg (R3) rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 6,08 ± 1,18 kg. Total rata-rata rusa timor jantan mengkonsumsi pakan selama perlakuan sebanyak 5,83 kg ± 0,93 kg.

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwasanya terjadi peningkatan dan penurunan jumlah pakan yang dikonsumsi pada periode dosis tertentu. Tingkat konsumsi pakan rusa paling tinggi berada pada saat rusa diberi dosis pasak bumi 7000 mg (R3), selanjutnya 0 mg (R0), 5000 mg (R2) dan 3000 mg (R1). Hal ini berbeda dengan dugaan sebelumnya, bahwasanya semakin tinggi dosis pasak


(32)

bumi yang diberikan semakin meningkat libido seksual rusa timor jantan dan nafsu mengkonsumsi pakan akan menurun (penurunan jumlah pakan yang dikonsumsinya, sesuai dengan pernyataan Zumrotun 2006 dan Takandjandji 2009 bahwa rusa yang sedang birahi umumnya nafsu makannya akan menurun.

Gambar 11 Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi fisiologi reproduksi usia kawin siap kawin pada rusa timor jantan, selain itu termasuk juga kondisi fisiologi organ kelamin sekunder rusa timor jantan yaitu ranggah rusa, ranggah keras keinginan untuk kawin akan tinggi dan nafsu makan berkurang dan sebaliknya ranggah lepas keinginan untuk kawin akan menurun, nafsu makan akan meningkat. Kesehatan, rusa jantan dalam kondisi sakit akan menurun konsumsi pakannya dan sebaliknya jika dalam kondisi sehat konsumsi pakan akan meningkat. Bobot badan, semakin besar bobot badan, jumlah pakan yang diberikan juga akan semakin banyak dan jumlah yang dikonsumsi rusa timor jantan juga akan semakin banyak, dan sebaliknya bobot badan yang kecil, jumlah pakan yang diberikan juga lebih kecil dan pakan yang dikonsumsi juga kecil. Sedangkan faktor eksternal diantaranya ketersediaan pakan di penangkaran atau kebun pakan, jika ketersediaan pakan banyak, maka pakan yang dikonsumsi juga akan banyak dan sebaliknya juga ketersediaan pakan sedikit, jumlah pakan yang dikonsumsi juga akan sedikit. Palatabilitas pakan (tingkat kesukaan satwa

Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi (kg)


(33)

terhadap pakan yang diberikan) semakin palatabel suatu pakan, maka konsumsi pakan satwa tersebut akan semakin meningkat, dan sebaliknya jika pakan tersebut tidak palatabel, maka pakan yang dikonsumsi juga sedikit. Musim, pada musim hujan, nafsu makan akan meningkat, dan sebaliknya musim kemarau nafsu makan akan menurun. (Zumrotun 2006). Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan, ternyata tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05). Menurut Semiadi (2006), rataan tingkat konsumsi bahan kering dengan bahan asal pelet pada rusa timor dewasa adalah 79 gr/kgBB0,75/hari, namun nilai ini dapat dipengaruhi oleh jenis hijauan yang diberikan. Pada pemberian rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebesar 81 gr/kgBB0,75/hari.

Menurut Zumrotun (2006) lamanya periode makan dipengaruhi oleh kontraksi perut. Berakhirnya periode makan berhubungan erat dengan proses pengenyangan yang pada gilirannya tergantung pada salah satunya faktor pengembangan perut. Pengembangan perut merangsang suatu reseptor yang mengaktifkan pusat pengenyangan pada hypothalamus.

Lebih lanjut dikatakan bahwa lama periode makan juga tergantung juga oleh faktor-faktor oropharhyngeal meskipun bukan merupakan faktor dominan. Rusa merupakan satwa yang tahan terhadap daerah kering, dan jarang sekali terlihat turun untuk mencari minum. Air yang dibutuhkan diperoleh dari pakan yang dimakannya, air embun dan kandungan air yang terdapat pada pakan rusa yang diberikan. Ciri khas dari satwa yang minim sekali membutuhkan air adalah kotorannya yang relatif keras dan kering karena sedikit mengandung air. Berdasarkan analisis statistika, lamanya rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 melakukan perilaku makan yaitu 4,781 jam ± 0,407 jam. Melalui uji Least Significant Difference (LSD) terhadap perilaku makan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap lama perilaku makan rusa timor jantan (Tabel 6).

Tabel 6 Analisis sidik ragam perilaku makan rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa

Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P

Nilai tengah Kolom 3 0.77 49.00 0.00

Nilai tengah Baris 3 0.02 1.00 0.44

Galat 9 0.02


(34)

Perilaku makan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 4,88 ± 0,25 jam, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 4,75 ± 0,5 jam, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 4,75 ± 0,25 jam, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 4,75 ± 0,25 jam. Pada saat perlakuan, rusa diberi pakan sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu waktu pagi hari, siang hari dan sore hari. Seperti halnya dengan rusa sambar di alam pada lingkungan asli subtropis seperti Nepal, mulai aktif merumput sebelum fajar dan matahari terbenam, dan terlihat paling aktif merumput (mencari pakan) pada pukul 06.00-09.00 dan 16.00-19.00. Sedangkan rusa sambar yang berada di dalam kandang pedok merumput selama 9,1 jam dan 6,2 jam per hari yang dilakukan pada sore hingga dini hari sedang sisanya pagi hingga sore hari (Semiadi 2006).

Selama perlakuan semua rusa (1, 2, 3, dan 4) yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 mengkonsumsi pakan pagi pada pukul 08.00-10.00, siang hari pukul 12.00-14.00 dan sore hari pada pukul 14.00-17.00 (pengamatan selesai pada pukul 17.00). Perilaku makan dimulai dengan mencium pakan dan kemudian mengkonsumsinya. Adapun perilaku makan rusa terlihat pada Gambar 12.

Pengamatan dilakukan pada musim hujan, dengan suhu rata-rata 21-280C dan kelembaban berkisar antara 40-70%. Menurut Toelihere et al. (2005) pada musim hujan, ketersediaan pakan hijauan melimpah, maka rusa yang ranggahnya dalam tahap pedicle memiliki kesempatan untuk memulihkan kondisi tubuhnya untuk memasuki tahap ranggah keras berikutnya. Hal ini terlihat pada rusa 2 dan 4 yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 yang meningkat bobot badannya sebelum dan setelah selesai perlakuan. Rusa 2 (R0, R1, R2 dan R3), awalnya memiliki bobot badan 61,00 kg menjadi 67,66 kg dan rusa 4 (R0, R1, R2 dan R3), awalnya 46,00 kg menjadi 56,81 kg. Berbeda halnya dengan rusa 1 dan 3 yang memiliki ranggah keras, dimana perilaku seksual ditandai dengan nafsu makan berkurang, sehingga terjadi penurunan bobot badan rusa. Rusa 1 (R0, R1, R2 dan R3), dimana awalnya memiliki bobot badan 66,00 kg menjadi 61,40 kg dan rusa 3 (R0, R1, R2 dan R3) awalnya 58,70 kg menjadi 57,63 kg.


(35)

(a) (b)

Gambar 12a dan 12b Perilaku makan pada rusa timor jantan.

5.3 Pengaruh Pasak Bumi terhadap Perilaku Seksual Rusa Timor Jantan Perilaku seksual rusa yang muncul selama pemberian pasak bumi yaitu nyengir (flehmen), menggosok-gosokkan ranggah (rutting), berputar-putar di dalam kandang (rusa dalam keadaan gelisah), dan mengangkat leher sambil mengeluarkan suara (perilaku ini diamati di dalam kandang individu), sedangkan perilaku mendekati betina, mengendus urine rusa betina, mencium alat kelamin betina, menaiki punggung betina (mounting), diamati ketika rusa jantan digabungkan dengan rusa betina di dalam kandang individu. Menurut Zumrotun (2006) semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktifitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina seperti mendekati, mencium, menggosokkan ranggahnya dan agonistik.

Menurut Prawigit (2007) anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes.

Menurut Masy’ud (1997), hormon reproduksi yang secara langsung berperan dalam mengatur aktivitas reproduksi rusa jantan yaitu, GnRH, FSH (Follikel Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan testosteron (androgen). GnRH berperan dalam menstimulasi diskresikan FSH dan LH dari hipofisa anterior, selanjutya masing-masing FSH merangsang tabuli seminiferi


(36)

testis untuk spermatogenesis sedangkan LH merangsang sel-sel interstitial testis untuk mensekresikan testosteron yang bertanggung jawab atas aspek-aspek reproduksi rusa jantan. Salah satu tanda pada rusa jantan mulai memasuki musim kawin adalah perkembangan ranggah, sehingga ada hubungan antara perkembangn ranggah dengan musim kawin. Peningkatan panjang (ranggah) dalam satu siklus, sejalan dengan meningkatnya konsentrasi androgen serum. Hubungan pola hormonal androgen dengan siklus perkembangan (ranggah) tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidup rusa.

Menurut Semiadi (2006), konsentrasi sperma pada rusa timor jantan dewasa mencapai 1,5 x 109/ml dengan tingkat motilitas >90% dan jumlah sperma sekitar 4 x 109/ejakulasi. Setelah ranggah keras luruh, ada sebagian pejantan yang tetap menghasilkan sperma, walau dengan produksi yang rendah, tetapi ada juga pejantan yang tidak memproduksi sperma sama sekali. Pertumbuhan ranggah berkaitan dengan siklus hormon testosteron. Puncak konsentrasi hormon testosteron pada rusa timor terjadi pada hari ke 112 (kisaran hari ke 96-131) setelah proses kulit velvet mengelupas dengan konsentrasi 28,70 ng/ml. Pada fase pertumbuhan ranggah velvet konsentrasi hormon testosteron menurun drastis pada kisaran <0,2-6,7 ng/ml (Handarini 2005). Lama pertumbuhan spiker (ranggah tahun pertama tumbuh) pada rusa timor dilaporkan 90 hari. Rangsangan dapat berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Sedangkan Masy’ud (1989) melaporkan bahwa rangsangan yang berasal dari dalam tubuh tersebut antara lain dapat berupa faktor fisiologis seperti sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan dan insentif akibat dari perangsangan mekanisme syaraf.

Menurut Tomaszewska et al. (1991), nyengir atau pelipatan bibir (flehmen) adalah satu diantara beberapa respon yang sering diperlihatkan selama periode perangsangan seksual. Waktu nyengir, kepala diangkat dan dijulurkan, bibir atas dilipat ke atas dengan mulut sedikit dibuka (Gambar 13). Dalam keadaan birahi rusa jantan biasanya mencium rusa betina pada daerah sekitar alat kelamin. Respon normal yang ditunjukkan oleh rusa betina adalah mengeluarkan urine. Rusa jantan kemudian melakukan perilaku nyengir sebagai tanda adanya penciuman bau badan dengan organ vumero-nasal (organ Jacobson). Organ ini adalah penerima bau yang berbentuk sepasang pada saluran buntu yang terletak


(37)

diantara rongga hidung dan dihubungkan ke atas langit-langit mulut serta terus ke pusat penglihatan ke otak. Feromon dalam urine dijadikan tanda oleh rusa jantan bahwa betina dalam keadaan birahi.

Gambar 13 Perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan.

Frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 berbeda dan mengalami perubahan di setiap perlakuan yang diberikan (Tabel 7). Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas yang biasanya terlihat jelas di permukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding servik, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa masuk menemui ovum. Ini yang menyebabkan urine betina berahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka (flehmen).

Tabel 7 Frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan

Periode Hasil Pengacakan Jumlah Rata-rata

1.A 2.B 3.C 4.D

I R3/8,2 R0/0.0 R2/10,1 R1/5,7 24,0 6,0 II R1/21,6 R3/0,1 R0/21,1 R2/5,0 47,8 11,9 III R0/15,6 R2/0,0 R1/21,5 R3/1,9 39,0 9,7 IV R2/27,1 R1/3,7 R3/27,9 R0/6,8 65,5 16,4

Jumlah 72,5 3,8 80,6 19,4 154,3 44,0


(38)

Tabel 8 Analisis sidik ragam perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa

Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05 (Tabel 8). Adapun frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 10,88 ± 9,34 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 13,13 ± 9,76 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 10,55 ± 12,66 kali, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 9,53 ± 12,73 kali. Secara keseluruhan frekuensi rata-rata perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan yaitu 11,02 kali. Rata-rata frekuensi perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan (Gambar 14), paling rendah pada perlakuan R3 (dosis pasak bumi 7000 mg) dan paling tinggi pada perlakuan R1 (dosis pasak bumi 3000 mg).

Gambar 14 Rata-rata frekuensi perilaku nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan di penangkaran.

Adapun frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) rusa timor jantan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 19,98 ± 23,94 kali, pada perlakuan

Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung Sig.

Kolom 3 7361.08 3.11 0.11

Baris 3 1188.25 0.50 0.70

Error 6 2366.58

Total 15

Frekuensi (kali)


(39)

2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 23,60 ± 29,66 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 28,80 ± 31,34 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 22,80 ± 40,75 kali. Secara keseluruhan frekuensi rata-rata perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting)rusa timor jantan yaitu 23,79 kali (Tabel 9).

Tabel 9 Frekuensi menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan

Periode Hasil Pengacakan Jumlah Rata-rata

1.A 2.B 3.C 4.D

I R3/7,4 R0/0,0 R2/48,8 R1/5,3 61,5 15,4 II R1/23,7 R3/0,1 R0/32,1 R2/5,0 60,9 15,2 III R0/47,8 R2/0,0 R1/65,4 R3/0,0 113,2 28,3 IV R2/62,2 R1/0,0 R3/83,7 R0/0,0 145,9 36,5

Jumlah 141,1 0,1 230,0 10,3 381,5 95,4

Rata2 35,3 0,0 57,5 2,6 95,4 23,8

Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05 (Tabel 10). Menurut Handarini dan Nalley (2008), pola konsentrasi hormon testosteron pada tahap ranggah keras mengalami peningkatan yang signifikan, menandakan bahwa terjadi suatu dorongan internal yang kuat pada tahap ranggah keras untuk aktivitas reproduksi didorong oleh libido yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan Handarini dan Nalley (2008) mengemukakan bahwa konsentrasi testosteron rendah pada tahap pembentukan velvet mulai meningkat pada saat shedding dan mencapai puncak konsentrasi pada tahap ranggah keras serta konsentrasi testosteron rendah pada saat ranggah lepas (casting). Induksi GnRH menunjukkan rendahnya respon hipofisa pada sekresi LH selama ranggah lepas dan tahap awal pembentukan ranggah. Respons tertinggi diperoleh pada tahap pembentukan ranggah keras telah selesai. Respons LH yang rendah dan konsentrasi testosteron yang tinggi menunjukkan terjadinya feedback negatif dari testosteron pada LH.


(40)

Tabel 10 Analisis sidik ragam perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa

Rata-rata frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah pada (ruttting) rusa timor jantan (Gambar 15), paling rendah pada perlakuan R0 (dosis pasak bumi 0 mg) dan paling tinggi pada perlakuan R2 (dosis pasak bumi 5000 mg). Tingginya konsentrasi hormon testosteron pada ranggah tahap keras diiringi dengan tampilan tingkah laku reproduksi. Secara visual rusa mulai menunjukkan agresivitas dan tingkah laku rutting yang merupakan karakter spesifik pada rusa jantan. Rusa jantan yang memasuki tahap ranggah keras akan menunjukkan dominansinya dalam kelompok dengan cara perebutan pakan, tempat berkubang dan perkelahian. Perilaku lain yang ditampilkan untuk menarik perhatian betina adalah berguling, meloncat-loncat, membuat mahkota dengan dedaunan di atas kepala dan trash urination (spray urine) untuk menandai daerah teritori. Puncak aktivitas reproduksi ditandai dengan meningkatnya frekuensi tingkah laku kawin (Handarini dan Nalley 2008).

Gambar 15 Rata-rata frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan.

Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P

Kolom 3 438.52 0.36 0.78

Baris 3 54.23 0.04 0.99

Error 9 1219.34

Total 15

Frekuensi (kali)


(41)

Tingginya penggunaan waktu untuk aktivitas rutting menurunkan frekuensi makan rusa selama tahap ranggah keras sehingga pada tahap ini terjadi penurunan bobot badan pada rusa jantan. Rusa yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 mengalami peningkatan dan penurunan bobot badan yaitu rusa 1 sebelum perlakuan dimulai memiliki bobot badan 66,00 kg, setelah perlakuan selesai bobot badan berkurang menjadi 61,40 kg. Terjadi penurunan bobot badan pada rusa 1 akibat aktivitas rutting selama pengamatan.

Tahap casting merupakan tahap transisi dari tanggal ranggah ke tahap pertumbuhan velvet pada siklus ranggah berikutnya. Casting merupakan masa istirahat reproduksi pada rusa jantan dan dianggap sebagai masa tidak aktif reproduksi rusa timor jantan. Secara visual dapat dilihat bentuk ranggah yang belum simetris (asimetris) antara ranggah kanan dan kiri. Meskipun gambaran pola hormon rusa sub-adult ini hanya diwakili oleh satu ekor rusa yang baru memasuki pubertas, namun dari beberapa penelitian menunjukkan pola yang tidak stabil pada awal pertumbuhan ranggah (Handarini dan Nalley 2008). Begitu halnya selama perlakuan rusa 2 dan 4, ranggahnya dalam tahap casting, meskipun diberikan obat yang bersifat afrodisiak (perlakuan R0, R1, R2 dan R3) seperti pasak bumi, tetapi belum memberikan pengaruh yang nyata.

Menurut Handarini dan Nalley 2008 secara visual pada tahap ranggah velvet, rusa jantan menunjukkan sifat soliter dengan tujuan untuk melindungi ranggah muda (velvet) yang sedang tumbuh. Ranggah muda merupakan jaringan lunak yang mempunyai banyak pembuluh darah dan sangat sensitif, sehingga masing-masing rusa saling menghindar persinggungan satu sama lain. Pada tahap velvet terjadi peningkatan frekuensi makan (hampir seluruh aktivitas digunakan untuk makan). Begitu halnya dengan rusa 4 dalam kondisi ranggah lepas dan tahap velvet, memiliki frekuensi aktivitas makan yang tinggi, sehingga terjadi peningkatan bobot badan. Rusa 1 selama perlakuan sangat agresif, hal ini terlihat dari frekuensi nyengir dan menggosokkan-gosokkan ranggah. Bahkan saat rusa 1 melihat rusa betina, perilaku rusa 1 sangat agresif, sehingga dapat dipastikan rusa tersebut dalam kondisi birahi saat itu. Hal ini terbukti dengan jebolnya pintu kandang akibat dorongan kepala rusa (Gambar 16a) dan rusaknya


(42)

dinding kandang akibat gosokkan ranggah (Gambar 16b). Perilaku menggosok-gosokkan ranggah pada rusa terlihat pada Gambar 16c dan 16d.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 16 Perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting). (a) Pintu kandang yang jebol; (b) Dinding kandang yang rusak; (c) Menggosok-gosokkan ranggah pada pintu kandang; (d) Menggosok-gosokkan ranggah pada kawat kandang.

Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku mendekati betina yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3, ternyata tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun Frekuensi mendekati betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 15 ± 1,87 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 19 ± 2,75 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 23 ± 2,87 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi mendekati betina yaitu 14,25 kali (Gambar 17).

Gambar 17 Frekuensi perilaku mendekati betina pada rusa timor jantan Frekuensi (kali)


(43)

Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku mencium alat kelamin betina yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun frekuensi menciumlaat kelamin betina betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 28 ± 13 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 24 ± 3 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 46 ± 5,75 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi mendekati betina yaitu 24,5 kali (Gambar 18). Perilaku mencium alat kelamin betina yang dilakukan oleh rusa timor jantan terlihat pada Gambar 19.

Gambar 18 Frekuensi perilaku mencium alat kelamin betina pada rusa timor jantan.

Gambar 19 Perilaku mencium alat kelamin betina.

Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku menaiki betina (mounting) yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun Frekuensi menaiki betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 7 ± 3,87 kali, pada perlakuan 3/ dosis 5000 mg (R2) yaitu 31 ± 4,63 kali, pada perlakuan 4/dosis

Frekuensi (kali)


(44)

7000 mg (R3) yaitu 37 ± 5,37 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi menaiki betina yaitu 18,75 kali (Gambar 20).

Gambar 20 Frekuensi perilaku menaiki betina pada rusa timor jantan.

Hasil uji LSD menunjukkan bahwa antar berbagai tingkat perlakuan tidak semuanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat terjadi karena intensitas kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hormonal saja, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain. Telah diketahui bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah hormon dan syaraf yang keduanya bekerja dengan peran yang berbeda tetapi saling ketergantungan dan berinteraksi yang disebut neurohormonal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah adanya rangsangan luar seperti adanya betina birahi. Rangsangan dari luar tersebut dapat berupa suara, penglihatan, perabaan dan bau atau penciuman (Zumrotun 2006).

Menurut Siswanto (2006) status fisiologis reproduksi rusa jantan meliputi status ranggah, lingkar leher dan lingkar testis. Siklus reproduksi rusa dikenal dengan istilah siklus ranggah (antler cycle). Siklus ranggah ini teramati dari pertumbuhan ranggah yang masih terbungkus kulit atau disebut dengan tahap velvet, selanjutnya kulit ranggah mengelupas dinamakan dengan tahap shedding, berikutnya ialah ranggah rusa dalam tahap keras dan akhirnya ranggah rusa lepas. Siklus ini berkaitan dengan kemampuan berkembangbiak. Pada saat ranggah rusa

Frekuensi (kali)


(45)

berada pada tahap keras, maka lingkar testis maksimum dengan produksi spermatozoa juga maksimum, kadar testosteron darah tinggi dan rusa sangat agresif. Sebaliknya jika ranggah rusa lepas maka lingkar testis akan minimum, produksi spermatozoa menurun, kadar testosteron darah rendah, dan lingkar leher juga mengecil. Pada saat itu semen yang dihasilkan mengandung jumlah spermatozoa sedikit, dengan persentase abnormalitas yang tinggi.

Gambar 21 Rerata frekuensi perilaku seksual pada rusa timor jantan. Berdasarkan Gambar 21 di atas terlihat bahwa frekuensi perilaku nyengir tertinggi pada pemberian pasak bumi dengan dosis 7000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Berbeda dengan perilaku menggosok-gosok ranggah tertinggi pada dosis 5000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Frekuensi tertinggi pada perilaku mendekati betina, mencium alat kelamin betina dan menaiki betina pada dosis 7000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Hal ini berarti semakin tinggi dosis yang diberikan, akan terjadi peningkatan libido seksual rusa timor jantan yang terlihat pada frekuensi perilaku seksual yang semakin meningkat.

Perbedaan intensitas berbagai perilaku seksual yang ditunjukkan oleh R0, R1, R2 dan R3 ini disebabkan adanya perbedaan steroid yang terkandung dalam tubuh (konsentrasi steroid dalam serum) pada rusa tersebut. Semakin tinggi dosis pasak bumi yang diberikan, akan semakin naik pula konsentrasi androgen (testosteron) serumnya. Setelah mengalami proses pencernaan, maka steroid yang

Frekuensi (kali)


(46)

terkandung dalam pasak bumi yang bersifat sebagai androgenik, akan diserap dan masuk dalam peredaran darah. Steroid yaitu testosteron dalam darah akan memberikan reaksi pada organ-organ sasarannya atau menimbulkan perilaku seksual yang lebih jelas. Pasak bumi mengandung senyawa-senyawa bioaktif, salah satu diantaranya adalah steroid. Dalam tubuh steroid akan bekerja atau berfungsi seperti androgen (testosteron) yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial (sel Leydig) yang terdapat diantara tubuli seminiferi testis, yang kemudian disekresikan dan masuk pada peredaran darah sehingga akan mempengaruhi kelakuan reproduksinya atau peningkatan libidonya (Zumrotun 2006).


(47)

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan :

1. Efek pemberian pasak bumi terhadap perilaku rusa timor jantan di penangkaran dalam berbagai perlakuan/dosis (0 mg, 3000 mg, 5000 mg dan 7000 mg), secara kuantitatif tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku harian maupun perilaku seksual pada rusa timor jantan.

2. Pola konsumsi rusa timor jantan di penangkaran, konsumsi pakan paling besar, pada perlakuan R3 (7000 mg) sebanyak 6,08 ± 1,18 kg, dan konsumsi pakan paling kecil pada perlakuan R1 (3000 mg) sebanyak 5,38 ± 0,22 kg.

6.2 Saran

Adapun saran dalam penelitian ini, yaitu :

1. Peningkatan jumlah dosis yang digunakan dalam perlakuan, sebaiknya lebih dari 7000 mg dan selisih dosis-dosis yang digunakan lebih besar. 2. Perlu diperhatikan ketepatan waktu dan kondisi ranggah rusa sebelum

perlakuan. Waktu yang tepat untuk perlakuan ini yaitu saat ranggah rusa dalam kondisi ranggah keras.

3. Perlu analisis lanjutan senyawa yang terkandung dalam pasak bumi secara kuantitatif.


(1)

70

Lampiran 8 Hasil analisis perilaku menaiki pada rusa timor jantan di penangkaran menggunakan SPSS Statistic 17.0

Rangkuman proses perlakuan

Perlakuan

Termasuk Tidak termasuk Total

N Persentase N Persentase N Persentase

RESPON * kolom 16 100 0 0.0 16 100

RESPON * Baris 16 100 0 0.0 16 100

RESPON * kolom

Ukuran dari asosiasi

Eta Eta kuadrat

RESPON * kolom 0.24 0.06

RESPON * Baris

Baris Rata-rata N Standar deviasi

0.00 0.00 4 0.00

3000.00 13.00 4 21.59

5000.00 7.75 4 15.50

7000.00 9.25 4 18.50

Total 7.50 16 15.28

Tabel ANOVA Penjumlahan drai kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F

Hitung P RESPON *

Baris

Diantara kelompok

(kombinasi) 358.50 3 119.50 0.46 0.72 Diantara kelompok 3145.50 12 262.13

Total 3504.00 15

kolom Rata-rata N Standar deviasi

1.00 9.25 4 18.50

2.00 7.75 4 15.50

3.00 11.25 4 22.50

4.00 1.75 4 3.50

Total 7.50 16 15.28

Tebel ANOVA Penjumlahan dari kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F

Hitung P RESPON * kolom Diantara

kelompok

(kombinasi) 201.00 3 67.00 0.24 0.86 Diantara kelompok 3303.00 12 275.25


(2)

71

Ukran dari asosiasi

Eta Eta kuadrat

RESPON * Baris 0.32 0.10

RBLS Menaiki betina

N

Kolom 1.00 4

2.00 4

3.00 4

4.00 4

Baris 0.00 4

3000.00 4

5000.00 4

7000.00 4

Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah F Hitung P

Faktor koreksi 6 93.25 0.29 0.93

Nilai tengah kolom 3 67.00 0.21 0.89

Nilai tengah baris 3 119.50 0.37 0.78

Galat 9 327.17

Total 15

Uji Least significant Different (I) Baris (J) Baris

Perbedaan

rata-rata (I-J) Std. Error P

Selang kepercayaan 95% Di bawah Di atas LSD 0.00 3000.00 -13.00 12.79 0.34 -41.93 15.93

5000.00 -7.75 12.79 0.56 -36.68 21.18 7000.00 -9.25 12.79 0.49 -38.18 19.68 3000.00 0.00 13.00 12.79 0.34 -15.93 41.93 5000.00 5.25 12.79 0.69 -23.68 34.18 7000.00 3.75 12.79 0.78 -25.18 32.68 5000.00 0.00 7.75 12.79 0.56 -21.18 36.68 3000.00 -5.25 12.79 0.69 -34.18 23.68 7000.00 -1.50 12.79 0.91 -30.43 27.43 7000.00 0.00 9.25 12.79 0.49 -19.68 38.18 3000.00 -3.75 12.79 0.78 -32.68 25.18 5000.00 1.50 12.79 0.91 -27.43 30.43


(3)

RINGKASAN

RIMA FEBRIA

.

Efek Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville 1822) Jantan di Penangkaran, Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan MARIANA TAKANDJANDJI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian pasak bumi terhadap perilaku (harian dan seksual) dan tingkat konsumsi pakan rusa timor jantan di penangkaran. Penelitian dilakukan di penangkaran rusa, Hutan Penelitian Dramaga Bogor, menggunakan rancangan bujur sangkar latin (latin square

design) dengan empat (4) perlakuan dosis pemberian pasak bumi yaitu, R0 (0

mg), R1 (3000 mg), R2 (5000 mg) dan R3 (7000 mg). Penelitian menggunakan empat ekor rusa timor jantan. Pemberian pasak bumi dilakukan selama empat (4) periode masing-masing selama 10 hari secara berturut-turut. Untuk mengetahui efek perilaku libido seksual, setiap rusa jantan perlakuan dipasangkan dengan satu ekor rusa timor betina pada akhir masa pemberian pasak bumi (hari ke-10).

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap perilaku harian dan seksual rusa timor jantan. Selama penelitian, rata-rata lama waktu istirahat untuk rusa tanpa pemberian pasak bumi (R0) adalah 4,13 ± 0,25 jam, sedangkan rusa contoh yang diberi pasak bumi (R1, R2 dan R3) menunjukkan rata-rata lama waktu istirahat yang sama yakni 4,25 ± 0,5 jam. Hal yang sama juga ditunjukkan pada rata-rata lama waktu konsumsi dimana rusa kontrol (R0) menunjukkan lama waktu perilaku makan selama 4,88 ± 0,25 jam, sedangkan untuk yang diberi dosis R1, R2 dan R3 menunjukkan lama waktu perilaku makan yang sama yakni 4,75 ± 0,25 jam.

Meskipun hasil analisis statistik tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05), namun hasil pengamatan menunjukan bahwa secara relatif ada perbedaan pengaruh pemberian dosis pasak bumi terhadap perilaku seksual rusa timor jantan di penangkaran. Pada perilaku nyengir (flehmen), frekuensi nyengir tertinggi ditunjukkan pada pemberian dosis 3000 mg (13,13 ± 9,76 kali) dan menurun pada dosis 5000 mg (10,55 ± 12,66 kali) dan 7000 mg (9,53 ± 12,73 kali). Perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting), frekuensinya meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis yakni dosis 3000 mg sebanyak 23,60 ± 29,66 kali), dosis 5000 mg sebanyak 28,80 ± 31,34 kali dan menurun pada dosis 7000 mg yakni 22,80 ± 40,75 kali. Pada perilaku mendekati betina, frekuensinya ternyata meningkat sejalan dengan meningkatnya pemberian dosis pasak bumi yakni berturut-turut 0 mg (R0) sebanyak 0 kali, pada dosis 3000 mg (R1) yaitu 15 ± 1,87 kali, dosis 5000 mg (R2) yaitu 19 ± 2,75 kali, dan dosis 7000 mg (R3) sebanyak 23 ± 2,87 kali. Frekuensi perilaku mencium alat kelamin betina terlihat fluktuatif yakni meningkat kemudian menurun pada dosis tinggi, yakni pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) 0 kali, perlakuan 2 (3000 mg -R1) yaitu 28 ± 13 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 24 ± 3 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 46 ± 5,75 kali. Pada perilaku menaiki betina frekuensinya ternyata meningkat sejalan dengan meningkatnya pemberian dosis pasak bumi yakni berturut-turut 0 mg (R0) sebanyak 0 kali, pada dosis 3000 mg (R1) yaitu 7 ± 3,87 kali, dosis 5000 mg (R2) yaitu 31 ± 4,63 kali, dan dosis 7000 mg (R3) sebanyak 37 ± 5,37 kali.


(4)

Dilihat dari rataan jumlah konsumsi pakan, hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah konsumsi pakan meningkat sejalan meningkatnya dosis pasak bumi yakni berturut-turut dosis 3000 mg sebesar 5,38 ± 0,22 kg rusa jantan yang diberi pasak bumi dengan 5000 mg yakni 5,86 ± 0,84 kg dan pada dosis 7000 mg jumlah konsumsi pakan lebih banyak yakni 6,08 ± 1,18 kg.

Kata kunci : rusa timor jantan, pasak bumi, perilaku harian, perilaku seksual, penangkaran


(5)

SUMMARY

RIMA FEBRIA. Effects of the Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) to Male Timor Deer (Rusa timorensis de Blainville 1822) Behaviour in Captive Breeding of Forest Research Dramaga, Bogor. Under Supervision of BURHANUDDIN MASY'UD and MARIANA TAKANDJANDJI.

This study aims to determine the effect of giving the pasak bumi on behaviour (daily and sexual) and the level of feed intake male timor deer in captivity. The study was conducted in captive deer, Forest Research Dramaga Bogor, using a latin square design with four (4) treatment doses pasak bumi that is, R0 (0 mg), R1 (3000 mg), R2 (5000 mg) and R3 (7000 mg). The study using four male timor deers. Provision of pasak bumi is doing for four (4) each period for 10 consecutive days. To find out the behavioral effects of sexual libido, each paired with a treatment stag timor deer one female at the end of the pasak bumi administration (10 days).

The results showed there is no significant difference (P>0.05) on the daily behavior and male sexual timor deer. During the study, the average length of deer rest time without giving pasak bumi (R0) was 4,13 ± 0,25 hours, while the deer are given examples of the pasak bumi (R1, R2 and R3) showed the same an average length of rest periods is 4,25 ± 0,5 hours. The same thing is shown in the average length of time in which the consumption of deer control (R0) showing a long feeding behaviour during 4,88 ± 0,25 hours, while for a given doses of R1, R2 and R3 indicate the length of time to eat the same behaviour is, 4,75 ± 0,25 hours.

Although the results of statistical analysis is not showing the differences influence significantly (P>0.05), but the observation result showing that there are differences influence relatively for giving pasak bumi doses of male sexual behavior timor deer in captivity. Grins on the behavior (flehmen), grinning at the highest frequency shown in the 3000 mg dose (13,13 ± 9,76 times) and decreased at a dose of 5000 mg (10,55 ± 12,66 times) and 7000 mg (9,53 ± 12,73 times). Ranggah rubbing behavior (rutting), its frequency increases with increasing doses of the dose of 3000 mg as many as 23,60 ± 29,66 times), 5000 mg dose of as much as 28,80 ± 31,34 times and decreased at a dose of 7000 mg which is 22,80 ± 40,75 times. On approaching the behaviour of females, the frequency was increased with increasing dose of pasak bumi row 0 mg (R0) as much as 0 time, at a dose of 3000 mg (R1) is 15 ± 1,87 times, the dose of 5000 mg (R2) is 19 ± 2,75 times, and the dose of 7000 mg (R3) of 23 ± 2,87 times. Frequency behaviour of the female genitalia seen kissing the fluctuation increases then decreases at higher doses, is the treatment 1/dosis 0 mg (R0) 0 times, treatment 2 (3000 mg-R1) is 28 ± 13 times, the treatment 3/dosis 5000 mg (R2) is 24 ± 3 times, the treatment 4/dosis 7000 mg (R3) is 46 ± 5,75 times. On behavior mounting the frequency of females was increased with increasing dose of the pasak bumi row 0 mg (R0) as much as 0 time, at a dose of 3000 mg (R1) is 7 ± 3,87 times, the dose of 5000 mg (R2) is 31 ± 4,63 times, and the dose of 7000 mg (R3) of 37 ± 5,37 times. Judging from the average amount of feed intake, the results show that feed increases as increasing doses of the earth peg consecutive dose of 3000 mg of 5,38 ± 0,22 kg


(6)

stag pasak bumi fed with 5000 mg which is 5,86 ± 0,84 kg and at doses of 7000 mg amount of feed intake more that 6,08 ± 1,18 kg.

Keywords: male timor deer, pasak bumi, the daily behavior, the sexual behavior, captive breeding