Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi Sumberdaya Hutan Jawa dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi Lindung Potorono Gunung Sumbing Magelang

(1)

STUDI PERUBAHAN PERILAKU PADA GERAKAN SOSIAL

KONSERVASI DENGAN KAMPANYE PRIDE DI KAWASAN

HUTAN PRODUKSI POTORONO DAN HUTAN LINDUNG

GUNUNG SUMBING MAGELANG

PANJI ANOM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi Sumberdaya Hutan Jawa dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi Potorono dan Hutan Lindung Gunung Sumbing Magelang adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2008

Panji Anom


(3)

ABSTRACT

Most of the problem in forest destruction is caused by peoples attitude. The study has it purposed to: (1) studying the influenced of Pride Campaign in peoples conservation behavior change in Potorono-Mountain Sumbing forest area (2) To knowing the factors that influenced the conservational behavior change (3) To knowing the influenced of behavior change in social conservation movement. This socio-ecological study has main research method with Knowledge, Attitude and Practice (KAP) survey, land observation and focussed interview discussion. This is the action-research activities that combine the empowering peoples, behavioral change research and the conservation objective. This research has two main activities. First the activities at the field which are has it purposed to empowering peoples by social marketing which done by conservation campaign named Pride Campaign. The pride campaign itself are used to be the research treatment. The pride campaign adressed to reduce or answer about the conservation matter in Potorono-Mount Sumbing forest area that are illegal logging, land manage switching and lack of reboisation. Second the research it selves that analyzed the social movement impacted by peoples behavior change. It has two main perimeter to analyzed that is social perimeter and technical perimeter. The social perimeter are analyzed about the behavior change as from knowledge, attitude and practice change that measured by the pre and post campaign survey. The technically perimeter are about the report of the ”preparation” community action that shows peoples aware to the forest conservation. This perimeter are measured technically about illegal logging, land manage switching and lack of reboisation reducing. This report measured by taking interview, action report and forest area field proven. The research has it results: (1) knowledge intervention has it condition by social transaction and diffusion (2) the conservation behavior change factors are about the consideration of conservational option choices and peoples willingness needs (3) Interpersonal communication is one strong factor that mobilized behavior change among the community to be the social movement for Java’s forest conservation.

Keyword: pride campaign, social marketing, behavior change, social movement, java’s forest conservation


(4)

Panji Anom. Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi Potorono dan Hutan Lindung Gunung Sumbing Magelang. Dibimbing oleh Arzyana Sunkar dan Rinekso Soekmadi.

Kerusakan sumberdaya hutan umumnya disebabkan oleh sikap manusia. Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi Potorono dan Hutan Lindung Gunung Sumbing Magelang dilakukan melalui dua tahapan, yaitu tahap pelaksanaan kampanye Pride selama 18 bulan (September 2006 – Februari 2008) serta tahap penelitian selama 6 bulan (Februari 2008 – Juli 2008). Penelitian bertujuan untuk; (1) mengetahui pengaruh intervensi pengetahuan dalam perubahan perilaku konservasi di Kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku konservasi (3) mengetahui pengaruh perubahan perilaku terhadap gerakan sosial konservasi.

Studi sosio-ekologi ini menggunakan metode riset sosial dengan survey post kampanye tentang pengetahuan, sikap dan perilaku (knowledge, attitude and Practice/KAP), observasi lapangan dan wawancara. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian sosial konservasi dari riset-aksi yang telah dilakukan.

Penelitian yang dilakukan mempunyai dua aktivitas utama. Pertama

aktivitas ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat dengan pemasaran sosial yang dijalankan di lapangan dengan kampanye konservasi yang disebut kampanye Pride. Kampanye Pride sendiri digunakan sebagai inovasi sosial atau treatment penelitian dengan dasar konsep sosial marketing. Kampanye Pride ditujukan untuk mengurangi atau menjawab persoalan konservasi di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing berupa penebangan liar, alih penguasaan pengelolaan lahan hutan dan tidak adanya reboisasi.

Kedua penelitian yang ditujukan untuk mengurai dan menganalisa tentang gerakan sosial yang disebabkan oleh perubahan perilaku. Penelitian mendasarkan pada dua parameter yang diamati, yaitu parameter sosial berupa hasil survei tentang perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku serta parameter teknis yang diamati dari hasil wawancara dan observasi lapangan tentang lahan yang berhasil direboisasi.

Parameter sosial dan parameter teknis digunakan untuk mengetahui dan mengukur perubahan perilaku masyarakat yang berada pada taraf persiapan dengan melihat pengurangan persoalan berkaitan dengan penebangan liar, alih pengelolaan lahan hutan dan tidak adanya reboisasi yang terjadi. Penelitian menghasilkan: (1) intervensi pengetahuan mempunyai syarat kondisi dengan difusi dan transaksi sosial (2) faktor perubahan perilaku konservasi adalah tentang pertimbangan konservasi dan pilihan untuk berubah (3) komunikasi interpersonal merupakan faktor yang mendorong perubahan di masyarakat menjadi gerakan sosial untuk konservasi hutan Jawa.


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-ya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak September 2006 hingga Juli 2008 dan diberi judul Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi Jawa di Kawasan Hutan Produksi-Lindung Potorono-Gunung Sumbing Magelang.

Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F yang

telah dengan sabar dan telaten membimbing penulis selama penelitian ini. Disamping itu terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh tim dosen angkatan pertama Program Khusus Pendidikan Konservasi kerjasama IPB dan Rare International yaitu Prof. Dr. Ir. Harini Muntasib, MS; Dr. Ir. Rinekso Soekmadi,M.Sc.F; Dr.Ir.Yeni A. Mulyani, M.Sc; Dones Rinaldi, M.Sc.F; Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc, kepada Manajer Kursus Rare Indonesia Hari Kushardanto dan Ni Putu Sarilani Wirawan atas asistensi selama pelaksanaan program Kampanye Pride. Terima kasih juga kepada teman Angkatan 1 Bogor – PIZSA. Ungkapan terima kasih turut disampaikan kepada kedua orang tua, istri, saudara, teman-teman atas doa, dukungan dan kasihnya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 22 Juli 1977 dari Ayah Sisyanto Siswomiharjo dan Ibu Jumilah. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 11 Yogyakarta dan melanjutkan studi di Institut Pertanian “Stiper” Yogyakarta. Penulis mengambil program studi Budidaya Pertanian Jurusan Agronomi. Tahun 2006 penulis lulus seleksi Program Pascasarjana Kelas Khusus Pendidikan Konservasi di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari USAID dan IPB.

Selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, penulis menjadi bagian dari tim kerja YBL MastA yang berkantor di Magelang, Jawa Tengah. Penulis merupakan salah satu aktivis yang peduli dengan keberlanjutan kehutanan di Indonesia.


(8)

HUTAN PRODUKSI POTORONO DAN HUTAN LINDUNG

GUNUNG SUMBING MAGELANG

PANJI ANOM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi Sumberdaya Hutan Jawa dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi-Lindung Potorono-Gunung-Sumbing Magelang

Nama : Panji Anom

NRP : E 051054195

Disetujui Komisi Pembimbing,

Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Dr.Ir.Rinekso Soekmadi, M.Sc.F

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi, M.S Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

Judul Tesis : Studi Perubahan Perilaku pada Gerakan Sosial Konservasi Sumberdaya Hutan Jawa dengan Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi-Lindung Potorono-Gunung-Sumbing Magelang

Nama : Panji Anom

NRP : E 051054195

Disetujui Komisi Pembimbing,

Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Dr.Ir.Rinekso Soekmadi, M.Sc.F

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi, M.S Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(11)

(12)

i

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.3.1 Proses gerakan sosial konservasi ... 4

1.3.2 Gerakan sosial konservasi Kawasan Potorono-Gunung Sumbing ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Kerusakan hutan dan perubahan perilaku ... 9

2.2 Sosial marketing dan perubahan perilaku konservasi ... 11

2.3 Kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing... 15

III. KONDISI UMUM LOKASI... 49

3.1 Lokasi Kawasan ... 49

3.2 Iklim dan Cuaca ... 50

3.3 Kondisi umum ekosistem ... 51

3.3.1 Karakterisktik ekosistem Potorono-Gunung Sumbing... 51

3.3.2 Keanekaragaman hayati ... 51

3.4 Deskripsi masyarakat di target lokasi ... 53

3.4.1 Populasi dan demografi... 53

3.4.2 Sosial budaya dan ekonomi... 53

3.5 Sejarah pengelolaan kawasan ... 54

3.5.1 Sejarah pengelolaan hutan... 54

3.5.2 Kepemilikan lahan ... 55

3.6 Karakter masyarakat target berdasar hasil survey... 56

3.7 Karakter masyarakat kontrol berdasar hasil survey ... 63

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 67

4.1 Lokasi Penelitian ... 67

4.2 Waktu Studi ... 67

4.3 Alat dan Bahan ... 67


(13)

ii

V. HASIL ... 69

5.1 Hasil Survey Perubahan Perilaku... 69

5.2 Perubahan Perilaku Berdasarkan Parameter Teknis ... 78

5.3 Pengurangan ancaman dengan lahan yang di konservasi ... 80

VI. PEMBAHASAN ... 89

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(14)

iii

Tabel 1. Ilustrasi tawaran perubahan perilaku dan keinginan umum... 13

Table 2. Rangking ancaman di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing... 18

Tabel 3. Tingkat kepercayaan terhadap sumber informasi ... 57

Tabel 4. Persepsi masyarakat terhadap perlindungan hutan ... 59


(15)

iv DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Skema gerakan sosial ... 3

Gambar 2 Kerangka pemikiran studi ... 7

Gambar 3 Skema hubungan manusia dan lingkungan ... 10

Gambar 4 Kurva tingkatan adopsi ... 14

Gambar 5 Skema proses kampanye Pride... 16

Gambar 6 Skema model konsep... 19

Gambar 7 Perbaikan model konsep... 24

Gambar 8 Lomba gambar dan kunjungan sekolah dengan kostum maskot... 29

Gambar 9 Pelatihan pembuatan tungku hemat kayu bakar ... 30

Gambar 10 Upacara merti banyu di desa Sukomakmur... 31

Gambar 11 Kelompok pengelola wisata, Kelompok swadaya masyarakat dan Patroli hutan ... 32

Gambar 12 Pelatihan interpretasi kelompok pengelola wisata desa Sutopati... 33

Gambar 13 Pendampingan kelompok ibu-ibu ... 33

Gambar 14 Proses penyiaran spot lagu ... 34

Gambar 15 Kegiatan pekan penanaman kawasan... 35

Gambar 16 Koordinasi perencanaan lomba masak... 36

Gambar 17 Workshop ... 37

Gambar 18 Plang konservasi... 37

Gambar 19 Poster ... 39

Gambar 20 Penyematan pin ... 39

Gambar 21 Factsheet ... 40

Gambar 22 Kostum maskot ... 41

Gambar 23 Komik konservasi... 42

Gambar 24 Pembuatan lagu konservasi ... 43

Gambar 25 Buklet-buklet konservasi... 44

Gambar 26 Panggung boneka ... 47

Gambar 27 Kalender konservasi ... 47

Gambar 28 Billboard kawasan ... 48


(16)

v

Gambar 32 Pekerjaan (N=378) ... 56

Gambar 33 Kebiasaan membaca (N=378) ... 57

Gambar 34 Tingkat pengetahuan petani di desa target mengenai manfaat hutan (N=287) ... 58

Gambar 35 Inisiatif menghutankan kembali kawasan hutan yang gundul (N=227) 61 Gambar 36 Faktor yang menentukan keberhasilan program rehabilitasi hutan dalam jangka panjang (N=378) ... 61

Gambar 37 Perhatian masyarakat tentang pengambilan kayu sebagai kayu bakar (N=217) ... 62

Gambar 38 Alasan melakukan kegiatan alih fungsi pengelolaan lahan (N=354). 63 Gambar 39 Tanaman yang dikembangkan masyarakat (N=354)... 63

Gambar 40 Pengetahuan masyarakat kontrol mengenai manfaat hutan (N=58) .. 64

Gambar 41 Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai manfaat hutan (N=287) 69 Gambar 42 Tingkat pengetahuan masyarakat kontrol tentang manfaat hutan (N=60) ... 70

Gambar 43 Sikap masyarakat target pada hutan (pra dan post kampanye N=378) 71 Gambar 44 Sikap masyarakat kontrol pada hutan (pra dan post kampanye N=60) 71 Gambar 45 Pendapat masyarakat target tentang kondisi hutan (N=378)... 72

Gambar 46 Kondisi hutan masyarakat kontrol (N=60)... 72

Gambar 47 Penjagaan sumber air masyarakat target (N=378) ... 73

Gambar 48 Penjagaan sumber air masyarakat kontrol (N=60)... 73

Gambar 49 Keberhasilan program perbaikan lahan (N=378) ... 74

Gambar 50 Pandangan program perbaikan lahan masyarakat kontrol (N=60)... 74

Gambar 51 Pengelolaan hutan menurut masyarakat target (N=378) ... 75

Gambar 52 Keberhasilan pengelolaan lahan menurut masyarakat kontrol (N=60)7 75 Gambar 53 Inisiatif menghutankan kembali kawasan hutan yang gundul (N=378) 76 Gambar 54 Inisiatif penghutanan menurut masyarakat control (N=60) ... 76

Gambar 55 Pendukung keberhasilan konservasi masyarakat target (N=378) ... 77

Gambar 56 Penentu keberhasilan konservasi masyarakat kontrol (N=60) ... 77

Gambar 57 Daerah yang di konservasi di Desa Sukomakmur ... 82

Gambar 58 Daerah yang di konservasi di Desa Sukorejo ... 83


(17)

vi

Gambar 60 Daerah yang di konservasi di Desa Sambak ... 84

Gambar 61 Daerah yang di konservasi di Desa Krumpakan ... 86

Gambar 62 Daerah yang di konservasi di Desa Sukomulyo ... 86


(18)

vii

Lampiran 1. Matriks Analisa Pemangku Kepentingan ... 101

Lampiran 2. Model konsep awal ... 104

Lampiran 3. Rencana peserta pelaksanaan diskusi kelompok fokus (FGD)... 105

Lampiran 4. Pertanyaan untuk diskusi kelompok fokus ... 106

Lampiran 5. Pertanyaan Survey KAP ... 108

Lampiran 6. Distribusi kuesioner... 117

Lampiran 7. Skema rencana kerja Kampanye Pride di Kawasan Hutan Produksi-Lindung Potorono-Gunung Sumbing... 118

Lampiran 8. Ringkasan kegiatan kampanye yang telah dilakukan ... 119

Lampiran 9: Ringkasan materi cetak kampanye yang telah diproduksi ... 120

Lampiran 10. Rencana Monitoring dan Evaluasi Program... 121

Lampiran 11.Gambaran Desa Target Studi Kampanye Bangga ... 124

Lampiran 12: Populasi dan gambaran umum masyarakat di desa target ... 125


(19)

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa seluas 3.289.131 hektar, berada dalam kondisi rusak. Lahan kritis di dalam kawasan hutan Jawa yang memerlukan rehabilitasi mencapai 1,714 juta hektar atau 56,7 persen dari luas seluruh hutan yang ada. Kondisi tersebut diperparah dengan lahan kritis yang semakin luas di luar kawasan hutan hingga mencapai 9,016 juta hektar. Total lahan memerlukan rehabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa. Effendi dalam Greenomics Indonesia (2006) telah memperkirakan jika tren tersebut terus berlangsung selama dua tahun maka sekitar 10,7 juta hektar DAS/Sub-DAS di Pulau Jawa akan terancam kualitas fungsi ekologis secara serius. Kondisi Pulau Jawa saat ini telah mengalami ancaman kekurangan air di 172 titik DAS/Sub DAS atau seluas 11,74 juta hektar (BPKH 2007). Selanjutnya, kerusakan hutan Jawa tersebut berpotensi mendorong kerugian ekonomi mencapai Rp136,5 triliun setiap tahun akibat terjadinya banjir, tanah longsor serta kekeringan dalam skala besar (Effendi 2006).

Salah satu penyebab ketidakseimbangan lingkungan di Pulau Jawa adalah perubahan status hutan alam menjadi hutan produksi yang terjadi sejak sekitar tahun 1960-an. Penerapan sistem tebang habis serta konsep hutan monokultur memberi kontribusi terbesar pada kerusakan keseimbangan ekologi. Perubahan tersebut juga berakibat pada perubahan perilaku masyarakat yang berada di wilayah hutan Kawasan Potorono-Gunung Sumbing.

Dalam teori perubahan perilaku terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang mengambil keputusan untuk merubah perilaku. Salah satunya berupa faktor informasi yang diterima. Namun demikian, tidak selalu informasi merubah perilaku seseorang atau sekelompok orang, tergantung dari tingkat kekuatan kontek informasi, faktor kelekatan serta faktor agen pembawa informasi. Ciri perubahan perilaku sebagai dampak peningkatan pemahaman adalah kesadaran individu.


(20)

Persoalan perilaku kehutanan dapat dilihat dari cara masyarakat atau

stakeholder memperlakukan hutan. Perlakuan seperti pengambilan satwa maupun pemotongan kayu baik untuk kayu bakar maupun sebagai bahan bangunan, menunjukkan ketidakpedulian pada pentingnya keberadaan sumberdaya hutan di daerahnya. Lebih lanjut, hasil survei lapangan di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing menyatakan +70% wilayah hutan Potorono-Sumbing mengalami perubahan fungsi menjadi lahan tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti tanaman pakan ternak dan tanaman semusim seperti ketela pohon, jagung dan sejenisnya.

Budaya berhutan di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing mulai ditinggalkan, berganti dengan budaya berladang dan tegalan. Masyarakat tidak lagi memandang pentingnya keberadaan hutan sebagai bagian dari hidupya. Hal tersebut menunjukkan bahwa rasa kepemilikan terhadap hutan semakin berkurang akibat berkurangnya kelekatan nilai antara masyarakat dengan hutannya. Kelekatan nilai diartikan sebagai ikatan batin atau kejiwaan antara masyarakat dengan hutannya.

Kekuatan kelekatan nilai dapat dilihat di masyarakat Ammatoa Kajang di Sulawesi. Sistem aturan nilai dan moral mengatur perilaku sosial dan hubungan masyarakat setempat dengan hutan. Nilai kepercayaan Ammatoa menganjurkan agar orang hidup secukupnya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok harus disertai usaha menjaga keseimbangan dengan lingkungan. Hubungan masyarakat dengan sumberdaya hutan diatur dalam tiga zona yaitu ‘zona larangan’ yang melarang semua orang masuk hutan, ‘zona dalam’ yang membatasi orang hanya dapat mengumpulkan hasil hutan pada waktu tertentu sesuai aturan adat serta wilayah hutan yang terbuka bagi semua orang yang disebut ‘zona bebas’ (WALHI 2001).

Persoalan lingkungan hidup lebih banyak bersumber dari perilaku manusia. Secara umum skema gerakan sosial yang berasal dari perubahan individual dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini;


(21)

3

Gambar 1 Skema gerakan sosial (disarikan dari Pretty and Ward 2001)

Studi mengenai gejala sosial tentang perubahan perilaku masyarakat dan gerakan sosial konservasi hutan belum banyak dijalankan. Jurnal ilmiah sosial untuk perubahan perilaku yang telah diterbitkan lebih banyak menelaah perubahan sosial mengenai kesehatan dan kriminalitas (Dagron 2001). Dengan demikian, studi membangun gerakan sosial konservasi sumberdaya hutan dengan pendekatan perubahan perilaku menjadi sangat penting sebagai sebuah solusi dari persoalan kerusakan kehutanan Indonesia.

1. 2. Perumusan Masalah

Persoalan konservasi hutan sangat kompleks di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing. Hasil penelitian awal merujuk pada tiga persoalan yang memiliki tingkat ancaman yang paling besar bagi kawasan. Ketiga faktor ancaman konservasi tersebut adalah; tidak adanya reboisasi, alih pengelolaan lahan hutan dan penebangan liar. Ketiga faktor ancaman tersebut merupakan hasil pemetaan masalah yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) di lokasi penelitian.

Perubahan perilaku yang terjadi apabila dijalankan secara kolektif akan memunculkan aksi bersama yang di sebut gerakan sosial. Gerakan sosial dapat diartikan sebagai reaksi terorganisir ataupun spontan masyarakat yang dijalankan

Faktor Internal

PERILAKU INDIVIDU

GERAKAN SOSIAL

Faktor Eksternal 1. Pengetahuan 2. Nilai / Moral 3. Mobilitas 4. Jangka hidup

1. Kebijakan 2. Hubungan

sosial 3. Lingkungan 4. Teknologi

DINAMIKA SOSIAL


(22)

untuk mendukung atau melawan sebuah perubahan berhubungan dengan fenomena sosial ataupun lingkungan. Sosiolog Amerika bernama Peter Burke menyatakan ada dua tipe gerakan sosial yaitu; gerakan sosial untuk memulai perubahan dan gerakan sosial yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi (Burke 1998 dalam WALHI 2001).

Gerakan sosial konservasi dapat terjadi sebagai dampak dari peningkatan pengetahuan masyarakat. Dengan demikian kampanye Pride yang dilakukan untuk peningkatan pengetahuan konservasi mampu mendorong perubahan perilaku konservasi masyarakat. Sehingga penelitian yang dilakukan harus mampu menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana tingkatan perubahan perilaku hingga menjadi gerakan sosial konservasi sumberdaya hutan?

2. Apakah faktor peningkatan pengetahuan merupakan salah satu pendorong peningkatan kesadaran kolektif yang mempengaruhi terjadinya gerakan sosial untuk konservasi sumberdaya hutan? Adakah faktor yang lain?

1.3Kerangka Pemikiran

1.3.1. Proses Gerakan Sosial Konservasi

Gerakan sosial untuk konservasi dimulai dari perubahan perilaku individu dengan melibatkan beberapa langkah. Setiap pola sosial dalam segala bentuk berhubungan dengan kekuatan (power). Disetiap kondisi, orang akan merasa lemah untuk mengatasi persoalan besar sendirian. Berbeda ketika individu tersebut tergabung dalam sebuah kelompok atau massa (Loury 2008).

Dengan demikian persoalan gerakan sosial diduga dapat berasal dari peningkatan kapasitas sekelompok orang sehingga muncul sebuah kesamaan tingkat pemikiran terhadap tantangan yang ada. Gerakan sosial seperti juga dengan perubahan sosial, mendasarkan pada gerakan kolektif, tidak mungkin di lakukan oleh individu atau perorangan. Pendekatan perorangan dibutuhkan sebagai ageninovator yang akan mendorong dan mempengaruhi orang-orang lain disekitarnya.

Perubahan perilaku individu dalam konservasi sama artinya dengan menggabungkan pengetahuan sosial dengan perubahan lingkungan hidup. Kondisi lingkungan hidup akan dipandang secara berbeda antar individu, tergantung dari


(23)

5

tingkat perhatian individu dalam menyerap perubahan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut tergantung dari pembelajaran dan cara analisis individu dan kelompok terhadap perubahan lingkungannya. Pembelajaran yang diperoleh dalam bentuk informasi selanjutnya akan menjadi panduan mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup.

Proses selanjutnya adalah adopsi oleh kelompok-kelompok dalam tingkatan penangkapan perubahan yang berbeda (tingkat innovator, early adopter,

early majority, late majority dan lagart). Adopsi merupakan proses perluasan perubahan disebut sebagai difusi dalam segmen-segmen kelompok sosial atau masyarakat. Gerakan sosial tidak terjadi secara bersamaan seiring dengan perubahan perilaku. Gerakan sosial terjadi sebagai dampak komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication) baik yang terjadi didalam kelompok masyarakat ataupun antar kelompok masyarakat.

Komunikasi antar-pribadi menjadi penghubung terjadinya keputusan kolektif dalam kelompok sosial atau masyarakat. Keputusan yang diambil dapat bersifat positif tetapi dapat bersifat negatif untuk persoalan lingkungan hidup. Keputusan kolektif positif dicirikan dengan kepedulian dan kesadaran dari kelompok sosial atau masyarakat. Sedangkan keputusan kolektif bersifat negatif dicirikan dengan ketidakpedulian dan sikap acuh terhadap persoalan lingkungan hidup yang melingkupi kelompok sosial atau masyarakat.

1.3.2. Gerakan Sosial Konservasi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing

Menilai sebuah persoalan sosial dapat dilakukan dengan beberapa jalan. Pada umumnya penelitian sosial tidak dapat menilai secara spesifik hasilnya. Studi-studi sosial umumnya menggunakan pendekatan-pendekatan dengan indikator tertentu sebagai alat analisa sosial (Siegel 1985). Faktor persoalan perilaku kehutanan di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing ditandai dengan perubahan perilaku masyarakat berupa persoalan reboisasi, penebangan liar serta alih pengelolaan lahan hutan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari inovasi sosial dengan kampanye Pride termasuk keberadaan kegiatan perubah perilaku yang lain.

Kampanye Pride merupakan kegiatan sosial yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan perilaku, kepedulian dan aksi konservasi di sebuah


(24)

target masyarakat. Kampanye Pride mampu bekerja di segala kondisi masyarakat. Kampanye Pride efektif untuk menjangkau dan mempengaruhi target masyarakat yang memiliki jumlah populasi di bawah 200.000 orang. Dengan demikian pelaksanaan kampanye Pride mampu untuk mempengaruhi terjadinya gerakan sosial untuk konservasi termasuk mengatasi ancaman-ancaman konservasi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing.


(25)

7

Gambar 2 Skema Kerangka Pikir Penelitian

INNOVASI SOSIAL/ KAMPANYE PRIDE Adopsi Pengetahuan Kesadaran Kolektif PERILAKU KOLEKTIF 1.Knowledge (Afeksi) 2.Attitude (Kognitif) 3.Practice (Psikomotoris) Gerakan Reboisasi Berkurangnya Penebangan Liar Berkurangnya Alih Fungsi Lahan Segmen Late Majority Early Majority Lagart Innovator PERSOALAN KEHUTANAN

Perubahan Perilaku Kolektif

Lesson learned Lingkungan GERAKAN SOSIAL KONSERVASI Early Adopter INDIKATOR TEKNIS STUDI PERUBAHAN PERILAKU KONSERVASI

1. Study literature dan Review kawasan 2. Perencanaan Kegiatan 3. Penyusunan media

kampanye partisipatif 4. Aplikasi kampanye 5. Monitoring dan

evaluasi

1. Penebangan kayu untuk kayu bakar 2. Alih fungsi lahan hutan 3. Kurangnya reboisasi

INDIKATOR SOSIAL

PERUBAHAN KOLEKTIF PERILAKU KONSERVASI

Persoalan Sosial


(26)

1.4Tujuan Penelitian

Studi yang dilakukan bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh kampanye Pride dalam perubahan perilaku konservasi masyarakat di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku konservasi

3. Mengetahui hubungan perubahan perilaku terhadap gerakan sosial konservasi masyarakat.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dijalankan merupakan studi sosial-ekologi. Penelitian dilakukan untuk mencari cara atau pendekatan sosial untuk mengatasi persoalan kerusakan kehutanan Jawa dan dapat diaplikasikan di tempat lain. Penelitian yang dilakukan diharapkan memberi kemanfaatan sebagai berikut:

1. Pendekatan sosial untuk mengatasi persoalan kehutanan di Jawa

Persoalan kehutanan di Jawa lebih banyak disebabkan oleh persoalan sosial. Sangat penting mendorong perubahan perilaku banyak orang untuk berperan dalam konservasi sumberdaya hutan.

2. Pengembangan studi sosial-ekologi dalam konservasi sumberdaya hutan Hubungan kerusakan ekologi tidak dapat terlepas dari persoalan sosial. Dengan demikian studi diharapkan mampu memberi kontribusi hubungan studi sosial untuk memecahkan persoalan ekologi di dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

3. Pengembangan konsep membangun gerakan sosial untuk konservasi yang mampu diterapkan di daerah lain

Membangun konstituen yang terdiri dari banyak kepentingan merupakan kendala yang sangat sulit untuk diselesaikan. Studi tentang gerakan sosial konservasi dengan melibatkan berbagai pihak menjadi sangat penting untuk mengatasi jarak antar kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerusakan Hutan dan Perubahan Perilaku

Pengelolaan hutan oleh konsesi, korporasi maupun perorangan dengan tujuan menghasilkan kayu, menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati, konflik satwa, rawan pangan, kekeringan dan perubahan iklim baik mikro maupun makro. Lebih lanjut, deforestasi di Indonesia juga berdampak pada konflik kepentingan dan kehancuran masyarakat adat, pergeseran sistem nilai, kesenjangan sosial serta penurunan derajat hidup masyarakat (Lahajir 2001, Kartodihardjo dan Jhamtani 2005). Hal tersebut diperburuk dengan orientasi jangka pendek masyarakat dengan pemanenan kayu di hutan rakyat tanpa didasari manajemen yang baik (Awang et al

2005).

Kerusakan hutan serta kerusakan lingkungan hidup lebih banyak disebabkan oleh perilaku manusia (Simpson dan Craft 1996). Di beberapa kasus, perilaku manusia tersebut didasari pada motivasi kepentingan penguasaan. Kartodiharjo dan Jhamtani (2005) menyatakan Indonesia mengalami kerugian sebesar US$ 30,6 Miliar atau senilai Rp 288 Triliun per tahun akibat eksploitasi dan perdagangan pasir laut, bahan bakar minyak, kayu, kekayaan laut maupun perdagangan satwa langka.

Pengusahaan hutan dengan skala industri menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius (Kartodiharjo dan Jhamtani 2005). Kerusakan hutan juga diperparah dengan perubahan orientasi global akibat tekanan pasar. Orientasi tersebut dilakukan untuk pemenuhan bahan mentah pasar internasional sebagai agenda sepanjang tahun, meskipun penyediaan bahan mentah sangat riskan nilai ekonomi (Hefner 1998). Dampak perubahan orientasi tersebut salah satunya berupa penguatan perusahaan-perusahaan perkebunan monokultur sejenis karet, jati, kakao dan kelapa sawit (Kartodihardjo dan Jhamtani 2005).

Penggusuran hutan wilayah adat, sistem monokultur pengusahaan hutan dan tekanan kebijakan mengakibatkan pola, sruktur dan norma sosial masyarakat berubah. Perubahan tersebut disebut sebagai perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial


(28)

tersebut merupakan bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan ekologinya (Salmon et al 2006; Kartodiharjo dan Jhamtani 2005; Sarwono 2002; Primacks et al

1998).

Sejarah konservasi telah dimunculkan di Pulau Jawa sejak tahun 1893 – 1914 oleh DR.S.H.Koorders. Kegiatan konservasi tersebut dimulai dari perkumpulan Tot Natuurbescherming (Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda) dan bekerja sama dengan ahli botani bernama Th Valeton menerbitkan 13 jilid buku ”Bijdragen tot de kennis der boomsoorten van Java” berisi inventaris jenis pohon Pulau Jawa. Pada tahun 1913, perkumpulan tersebut mengajukan usulan 12 lokasi sebagai cagar alam yang berlokasi di Banten, Pulau Krakatau, Kawah Papandayan, Ujung Kulon, Bromo, Nusa Barung, Alas Purwo Blambangan dan Kawah Ijen (Dephut 1986 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani 2005).

Pendekatan konservasi sejenis cagar alam, hutan lindung, suaka margasatwa, taman nasional serta kebun binatang, kebun raya dan penangkaran belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan konservasi. Persoalan sehubungan kerusakan hutan adalah perilaku terhadap sumberdaya hutan. Gambaran skematis IUCN (2003) mengenai hubungan antara manusia dan lingkungannya saat ini adalah;

Gambar 3 Skema hubungan manusia dan lingkungan saat ini

Perubahan perilaku secara umum merupakan mekanisme alamiah setiap makhluk hidup. Perubahan perilaku manusia dapat disebut sebagai bentuk adaptasi

EKONOMI

SOSIAL EKOLOGI


(29)

11

yang paling sukses dari segala jenis makhluk hidup yang ada di bumi. Pola perubahan perilaku manusia mengikuti hukum yang lebih kompleks daripada sekedar kemampuan adaptasi makhluk hidup umumnya. Hal tersebut disebabkan faktor genetik manusia untuk analisa dan berpikir yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup yang lain, sehingga dalam waktu singkat dapat terjadi perubahan perilaku sebagai bentuk respon terhadap rangsangan dengan dukungan kemampuan mobilitasnya (Sarwono 2002). Kemampuan fisik manusia tersebut akhirnya menjadikan manusia sebagai pusat segala perubahan ekologi, keseimbangan ekosistem dan kepunahan spesies lain. Perubahan umum lingkungan terutama diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan teknologi (Primack et al. 1998).

2.2 Pemasaran Sosial dan Perubahan Perilaku Konservasi

Pendekatan perubahan sosial untuk konservasi berasal dari ide memasarkan produk-produk komersial dengan mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli dan memakai produk yang ditawarkan, misalnya; dalam perubahan perilaku masyarakat agar mau mengkonsumsi sebuah produk barang atau jasa, maka penyebaran informasi tentang barang atau jasa tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memasarkan produk (komersial). Saluran yang dipakai dalam pengiklanan agar masyarakat merubah perilaku agar mau memakai, mengkonsumsi dan membeli barang atau jasa tersebut, dilakukan lewat iklan televisi, radio maupun media massa lainnya, termasuk kegiatan pengiklanan dan penginformasian dalam bentuk seperti konser musik, olah raga atau sejenisnya.

Terminologi pendekatan pemasaran sosial (sosial marketing) bertujuan mempengaruhi target masyarakat untuk menukarkan perilaku lama dengan perilaku baru atau secara sukarela menerima, menolak, menanggalkan atau mengubah suatu sikap dan perilaku bagi kemajuan dan perbaikan kualitas hidup individu, kelompok dan keseluruhan masyarakat (Kotler et al. 2002). Dalam pemasaran sosial digunakan berbagai macam media atau alat sebagai saluran komunikasi. Saluran komunikasi diartikan sebagai sarana untuk menyalurkan informasi atau pesan-pesan kepada orang lain. Saluran komunikasi yang digunakan dapat berupa media massa seperti televisi,


(30)

radio, festival kesenian atau sejenisnya, dapat pula berupa saluran antar-pribadi seperti lembar berita, buku saku, suvenir atau sejenisnya. Seperti halnya dengan pemasaran di bidang perdagangan, pemasaran sosial juga merupakan metode untuk mempengaruhi perubahan perilaku sehingga individu atau kelompok sosial mengadopsi atau “membeli” produk yang ditawarkan. Kampanye Pride merupakan kegiatan yang “menjual” produk konservasi sehingga target masyarakat merubah pilihan untuk konsumsi perilaku konservasinya. Prinsip pemasaran sosial di lingkup konservasi adalah terjadinya transaksi sosial sehingga seseorang atau sekelompok orang merubah pemikiran untuk peduli dan ikut berandil dalam kegiatan-kegiatan konservasi di daerahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemasaran sosial mensyaratkan adanya; product atau produk yang berupa barang atau jasa yang ditawarkan, pricing atau harga dari barang atau jasa, place atau tempat yang merupakan lokasi atau saluran distribusi barang atau jasa, promotion atau promosi atau periklanan dari barang atau jasa yang ditawarkan. Perbedaan yang melatarbelakangi sosial marketing dengan marketing perusahaan komersial antara lain;

1. Modal dalam sosial marketing berasal dari swadaya masyarakat sedangkan marketing komersial modal berasal dari perseorangan atau perusahaan.

2. Orientasi keuntungan pada sosial marketing ditujukan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup masyarakat sedangkan marketing komersial berorientasi pada keuntungan untuk perusahaan.

3. Sosial marketing mensyaratkan peran masyarakat secara utuh sedang dalam marketing komersial dominansi perusahaan lebih penting.

Sosial marketing merupakan rangkaian strategi yang ditujukan untuk perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Robinson (2006) membutuhkan beberapa persyaratan, yaitu;

1. Pemahaman keinginan umum dan kondisi lingkungan yang hendak dicapai. Pemahaman persoalan konservasi di masyarakat merupakan kerja kombinasi untuk menjawab persoalan nyata keinginan (aspirasi) orang kebanyakan dengan hal yang sebaiknya dilakukan. Mengesampingkan persoalan nyata hidup akan menjadi


(31)

13

sebuah kesalahan fatal, seperti yang terjadi dengan proyek-proyek pembangunan pada umumnya. Dengan demikian sangat penting memahami tawaran perubahan perilaku yang di citakan dengan pandangan umum masyarakat. Hubungan keinginan umum dengan kondisi lingkungan yang hendak dicapai digambarkan dalam tabel 1 berikut;

Tabel 1 Ilustrasi tawaran perilaku konservasi dan keinginan umum

Tawaran konservasi Keinginan Umum

Menanam pohon Hasil kayu

Kompos sampah rumah tangga Hasil produksi pertanian melimpah

Perlindungan satwa di hutan Keberagaman sumber pangan

Perlindungan mata air Memiliki air yang mencukupi kebutuhan

Lingkungan bersih Hidup sehat

Lain-lain Lain-lain

2. Informasi masuk akal beberapa waktu ke depan.

Pemikiran yang tertata dengan prediksi kejadian kedepan dalam bentuk informasi memiliki pengaruh sangat kuat. Namun informasi sendiri memiliki sifat dingin, rasional dan kadang pesimis. Informasi kedepan (beyond information) dijalankan oleh banyak organisasi, namun jika mengalami penolakan di tingkat masyarakat, maka informasi tersebut menjadi tidak berdaya guna. Meskipun demikian, akan terjadi komunikasi interpersonal kedalam lewat early adopter. Kelompok early adopter merupakan kelompok yang sangat memahami persoalan yang sedang dihadapi, konsekuensi dari persoalan hingga solusi dan perhitungan untung - rugi perubahan.

3. Perubahan individual kemungkinan hanya illusi

Kasus dalam pendidikan umum yang dijalankan terdapat pengertian umum bahwa setiap individu siswa telah diberi treatment layaknya individu yang ‘rasional dalam kegunaan penuh’. Pada kenyataannya, perubahan sosial merupakan proses yang kolektif bukan individual., Keberadaan tokoh-tokoh dalam realita di masyarakat merupakan aspek dari kolektivitas. Termasuk adanya inovator yang akan mendorong dan mempengaruhi early adopter.


(32)

4. Adanya perbedaan tingkat rasionalitas

Perubahan perilaku menurut pada hukum ‘semua orang tidak sama’. Pengertian dari perbedaan rasionalitas adalah bahwa setiap orang memiliki tingkat berubah dan adopsi perilaku yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat digolongkan dalam kriteria sebagai berikut;

Gambar 4 Kurva tingkatan adopsi

Innovator /Perintis (2,5%) – Idealis, pembuka jalan, komitment, imajinatif, enerjik dan memiliki kemampuan merubah program.

Early adopters /Pelopor (13,5%) – Terbuka pada perubahan, memiliki visi, imajinatif, penuh strategi, cepat membuat hubungan antara inovasi dan visi yang ingin dicapai, berkeinginan hasil cepat, siap berkorban dan menerima resiko, memiliki moivasi pribadi yang kuat.

Early majority/ Penganut Dini (34%) – pragmatis, menyukai ide-ide tentang lingkungan tapi memerlukan bukti nyata dan keuntungan yang didapatkan, terpengaruh oleh individu pragmatis lain, memiliki keinginan untuk membuktikan dengan lebih baik dari kebiasaan yang telah dijalankan, memiliki keinginan solusi sederhana dengan keberlanjutan kecil, selalu mencari sistem yang mendukung termasuk partner, bukan type penanggung resiko yang baik, tipe yang lebih mementingkan ‘merk’.

Late majority / Penganut lambat (34%)– conservatif pragmatis, gampang mengikuti arus dan menguatkan standar aturan, tidak suka resiko tetapi tidak mau ketinggalan, tidak begitu menyukai ide-ide tentang lingkungan hidup.


(33)

15

Sceptics – “laggart” / Kolot (16%) selalu menentang ide tentang perbaikan lingkungan hidup. Kelompok tersebut menginginkan agar idenya ditanggapi secara serius serta identifikasi persoalan nyata mereka diselesaikan sebelum kelompok kebanyakan menjalankan perubahan.

2.3 Kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing

Dari hasil tinjauan awal kondisi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing, masyarakat sudah berada di tahapan persiapan, yang menurut Young et al. 2002, memiliki ciri-ciri:

1. Menerima hal – hal yang bersifat baru

2. Menganalisa inovasi dan perkembangan peradaban.

3. Membandingkan hal-hal baru dengan kondisi serupa di tempat lain.

Selanjutnya, Kotler et al. 2002 dan Young et al. 2007 menyatakan tingkatan perubahan perilaku manusia meliputi:

− Prekontemplasi atau pra perenungan adalah tingkat niat orang dalam merubah perilaku dan umumnya menolak bahwa dirinya memiliki masalah dengan perilakunya.

− Fase kontemplasi atau perenungan dicirikan kesadaran bahwa ada sebuah masalah dan mulai memikirkan secara secara serius untuk memecahkannya.

− Fase preparasi atau persiapan, dicirikan dengan penyusunan perencanaan dan praduga sementara yang ditujukan untuk mengambil tindakan dalam beberapa waktu kedepan. Pada fase aksi dicirikan dengan perilaku orang yang melakukan tindakan berhubungan perubahan perilaku yang telah direncanakan.

− Fase pengelolaan dicirikan dengan kompromi secara individu terhadap fase yang telah maupun akan ditempuh.

− Fase terminasi merupakan fase pengelolaan dimana orang telah menetapkan perilaku yang dipilih sebagai sebuah keharusan untuk dijalani.

Dengan demikian kampanye Pride yang berorientasi pada perubahan perilaku harus mampu mengakomodir perubahan perilaku konservasi di masyarakat


(34)

Potorono-Gunung Sumbing. Proses kampanye Pride dilakukan melalui proses seperti pada gambar 5 berikut:

Gambar 5 Skema proses kegiatan kampanye Pride

Kampanye Pride merupakan bentuk dari pemasaran sosial, dan dalam pelaksanaannya menggunakan alat-alat, media saluran informasi dan strategi berhubungan dengan konservasi. Segala bentuk cara dipakai dengan menyesuaikan kondisi sosial, budaya dan geografi kelompok target. Dengan demikian sebelum dilaksanakan kampanye terlebih dulu dilakukan penelitian awal (formative research) untuk memahami kondisi masyarakat target. Kampanye Pride dijalankan secara paralel maupun berseri di dalam masyarakat dan dari luar masyarakat. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi syarat mutlak dalam aksi kampanye yang dijalankan.

Alat, media atau strategi untuk menyebarluaskan informasi konservasi dalam kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing diwujudkan dalam bentuk buku saku, kunjungan sekolah, penjangkauan kelompok ibu-ibu maupun pelatihan-pelatihan serta didukung dengan alat-alat promosi seperti poster, leaflet dan billboard. Penyusunan alat, media dan strategi saluran informasi didasarkan pada segmen-segmen kelompok masyarakat target, yang dimaksudkan bahwa di tiap kelompok orang memiliki cara belajar sendiri-sendiri. Dengan demikian media, alat dan strategi yang dipakai dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat. Selanjutnya untuk mengetahui efektivitas perubahan sosial konservasi yang terjadi, di lakukan dengan

1 Tahun Kampanye Review Kawasan dan Studi Literatur Pemetaan Stakeholder Stakeholder Workshop Diskusi Kelompok Fokus,

Survei Pra Kampanye

Survei Paska Kampanye, Monitoring& Evaluasi Analisa Hasil Penyusunan rencana kerja Penyusunan Laporan


(35)

17

mengembangkan target yang akan dicapai dari kampanye yang disebut SMART obyektif. Perencanaan pengukuran efektivitas kampanye dilakukan pada tahap monitoring dan evaluasi kegiatan. Untuk memahami proses kegiatan kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap review dokumen dan analisa kawasan

Tahap review dokumen dan analisa kawasan merupakan tahap untuk menggali dan mengembangkan data yang berhubungan dengan kondisi sosial serta keanekaragaman hayati di kawasan target. Hasil dari review kawasan berupa gambaran sosial serta geografis kawasan selanjutnya menjadi panduan untuk memahami persoalan sosial berkaitan dengan konservasi di kawasan target. Review dokumen dan analisa kawasan dilakukan dengan menggali data primer dan sekunder dari berbagai narasumber yang sesuai seperti: data BPS Kabupaten Magelang, data penelitian sebelumnya, literatur dari buku dan internet, bahkan dengan jajag kondisi lapangan.

2. Tahap analisa stakeholder

Untuk mengetahui tokoh masyarakat yang dapat mewakili kepentingan masyarakat dan memahami kondisi kawasan secara lengkap dilakukan analisa para pemangku kepentingan (stakeholder). Analisa tersebut merupakan upaya untuk memahami keputusan pelibatan seorang anggota masyarakat dalam lokakarya pemangku kepentingan. Analisa didasarkan kepada beberapa faktor seperti: kepen-tingan yang dibawa orang tersebut, kontribusi atau sumbangsih yang dimungkinkan dapat diperoleh terutama ketika program sudah berjalan, dan kendala yang dimungkinkan timbul bagi program jika keikutsertaannya dibatasi.

Pemangku kepentingan yang dimaksudkan bisa berasal dari lembaga atau instansi pemerintahan, tokoh masyarakat, masyarakat sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok masyarakat, kelompok pemuda hingga pihak swasta (matriks analisa pemangku kepentingan terlampir pada Lampiran 1).


(36)

3. Tahap Stakeholder meeting I

Stakeholder meeting (pertemuan pemangku kepentingan) merupakan Tokoh formal dan informal, yang mewakili masyarakat sebagai bagian dari stakeholder lokal telah dilibatkan di dalam proses perencanaan kegiatan, sebagai usaha untuk mendorong rasa memiliki program. Maksud lain dari kegiatan adalah memperoleh masukan informasi dan pandangan masyarakat setempat termasuk memetakan permasalahan konservasi yang ada.

Capaian yang diharapkan dari stakeholder meeting I adalah:

1. Adanya model konsep yang menjelaskan semua pihak tentang ancaman konservasi yang terjadi di kawasan

2. Pemahaman dan dukungan kegiatan dari pihak-pihak yang mewakili kepentingan masyarakat

Hasil perangkingan masalah berdasarkan jenis masalah yang harus segera diselesaikan di kawasan Potorono-Gunung Sumbing disajikan dalam tabel 2 berikut:

Table 2 Rangking ancaman di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing

Ancaman Langsung Kelompok I Kelompok II

Kelompok III

Total Rangking

Penebangan liar 13 76 65 154 I

Alih fungsi pengelolaan lahan hutan

29 74 48 151 II

Tidak ada reboisasi 29 53 52 134 III

Perburuan 62 14 25 121 IV

Kebakaran 49 39 17 105 V

Wisata Tidak Ramah Lingkungan

48 26 7 81 VI

Dari perangkingan masalah selanjutnya dibahas faktor-faktor tidak langsung yang mempengaruhi dan selanjutnya di susun dalam skema yang disebut model konsep. Skema konsep model dapat digambarkan sebagai berikut:


(37)

19

Gambar 6 Skema model konsep

Kondisi Target adalah situasi yang ingin dipengaruhi melalui kegiatan kampanye. Faktor Langsung adalah faktor-faktor atau ancaman yang langsung mempengaruhi kondisi target. Contoh faktor langsung adalah perburuan, kebakaran, atau penebangan. Faktor Tidak Langsung adalah faktor-faktor atau ancaman yang mendasari atau menyebabkan terjadinya ancaman tidak langsung. Contoh faktor tidak langsung adalah ekonomi, kurang pengetahuan, kurang kesadaran, kebiasaan. Faktor kontribusi adalah faktor yang tidak diklasifikasikan sebagai ancaman langsung maupun tidak langsung tetapi ikut mempengaruhi kondisi target. Contoh faktor kontribusi adalah cuaca, nilai sosial budaya. Untuk model konsep awal yang dihasilkan saat stakeholder meeting I di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing terlampir di Lampiran 2.

4. Tahap Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion/FGD)

Diskusi kelompok terfokus selanjutnya disebut FGD merupakan bentuk wawancara dengan mengambil kelompok dari anggota masyarakat yang memahami fokus persoalan atau bagian dari permasalahan yang hendak diselesaikan. Sebelum diskusi tersebut dilakukan perancangan materi – materi pertanyaan yang difokuskan pada persoalan ancaman yang hendak dipengaruhi. Metode tersebut sangat efektif untuk melihat seberapa besar ancaman dapat mempengaruhi keberlanjutan ekosistem di daerah tersebut.

Target Kondisi Faktor

Langsung

Faktor Langsung Faktor Tidak

Langsung

Faktor Tidak Langsung Faktor

Kontribusi

Faktor Langsung Faktor Tidak


(38)

Kelompok responden yang diajak untuk berdiskusi berjumlah 5 - 7 orang yang terdiri dari orang-orang yang terpengaruh langsung atau berperan langsung dengan ancaman yang terjadi. Diskusi kelompok terfokus dijalankan dari tanggal 3 sampai 8 Oktober 2006 dan bertempat di rumah penduduk sesuai kesepakatan kelompok (kriteria responden dan pertanyaan panduan FGD terlampir di Lampiran 3 dan 4)

Dari 9 kali FGD dengan 3 tema ancaman terhadap Kawasan Potorono - Gunung Sumbing dapat dianalisa sebagai berikut :

1. Wawancara dengan tema penebangan liar yang dilaksanakan di 3 desa yaitu Krumpakan, Sukomulyo dan Sukorejo, menghasilkan kesimpulan bahwa penebangan liar yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; sebab ekonomi, sebab kesadaran individu, rendahnya sumberdaya manusia, kebutuhan bahan bakar, lemah hukum/pengawasan lemah dan kebijakan yang tidak berwawasan.

2. Wawancara dengan tema alih fungsi lahan dilaksanakan di desa Sukomakmur, Krumpakan dan Sutopati, menghasilkan kesimpulan bahwa alih fungsi pengelolaan lahan hutan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, sebab ekonomi, pertambahan penduduk, jumlah ternak yang dipelihara, naiknya harga satu komoditas pertanian, faktor kebijakan, berkurangnya sumber daya air, rendahnya sumber daya manusia serta tingkat pendidikan masyarakat yang rendah.

3. Wawancara dengan tema tidak ada reboisasi dilaksanakan di Desa Sambak, Sukomakmur, Mangunrejo, menghasilkan kesimpulan bahwa tidak adanya reboisasi disebabkan oleh faktor; kekurangan biaya untuk membeli bibit, sumber daya manusia yang terbatas, keterlibatan perempuan kurang, dukungan kebijakan lemah, lahan bukan milik masyarakat, ketidaksesuaian tanaman, ketidak sesuaian musim, kesadaran masyarakat kurang, pendidikan masyarakat rendah serta kelembagaan kehutanan masyarakat lemah.

Beberapa masukan untuk menjaga ekosistem yang berasal dari hasil FGD antara lain: diperlukan payung hukum di tingkat desa dan di tingkat kabupaten untuk mendukung aktivitas masyarakat dalam menjaga lingkungan ekosistem Potorono,


(39)

21

diperlukan semacam penyuluhan dan pendidikan lingkungan hidup dalam tujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, dibutuhkan dukungan penguatan kelembagaan desa tentang kehutanan dan lingkungan hidup serta pertanian.

Lemahnya sumberdaya manusia dalam mengelola sumber daya alam di ekosistem Potorono dinyatakan sebagai penyebab tingginya laju urbanisasi, tingginya penggunaan pestisida, dan pola hidup yang tidak sehat, serta percepatan penurunan debit air, alih fungsi pengelolaan lahan hutan dan kurangnya kesejahteraan masyarakat.

5. Tahap Survey pra kampanye

Survei di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing dilakukan dengan mewawancara 530 orang menggunakan kuisioner (pertanyaan kuisioner terlampir pada Lampiran 5). Satu lembar kuesioner terdiri dari 7 halaman dan secara keseluruhan terdapat 35 pertanyaan. Pertanyaan umum terdiri dari pertanyaan demografi seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan utama dan tingkat pendidikan. Selanjutnya kelompok pertanyaan yang berhubungan dengan pilihan media seperti media cetak berupa koran dan majalah, media elektronik berupa televisi dan radio serta tingkat kepercayaan pada sumber informasi. Juga terdapat kelompok pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan seperti pengetahuan tentang kondisi lokal daerah, jenis satwa serta tentang usaha tani, kelompok pertanyaan mengenai sikap seperti kondisi air dan keamanan hutan serta turut dimasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku misalnya perilaku terhadap perusakan sumberdaya alam dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya alam.

Survei dijalankan selama 3 hari dengan melibatkan 21 enumerator (pewawancara) yang merupakan anggota masyarakat yang diajukan pemerintah desa masing-masing. Dari 530 kuesioner yang disebarkan kepada masyarakat target, keseluruhannya kembali. Dari total populasi sebanyak 20.517 orang (BPS kabupaten Magelang 2006) diambil sampel sebesar 2% dari total populasi. Penghitungan jumlah sampel dengan LOC (level of confidence) 95% dan interval 5% adalah sebesar 378. Maka sejumlah kuesiner tersebut dimasukkan ke dalam komputer untuk diolah


(40)

datanya. Pengambilan data kuantitatif dengan metode survei, jumlah responden yang diambil untuk dapat mewakili populasi adalah minimal sebesar 1-3 %. Di asumsikan dengan mengambil 2% masyarakat yang di wawancara, dapat mewakili pendapat dari seluruh masyarakat. Hal ini sesuai dengan petunjuk tata cara survei

(www.surveysystem.com/sscalc.htm) untuk penelitian sosial.

Teknik pelaksanaan survei merupakan simple random sampling (pemilihan sampel acak sederhana) dengan mewawancara orang ketiga yang ditemui setelah orang sebelumnya. Tipe pertanyaan wawancara bersifat terbuka serta pertanyaan setengah tertutup yaitu jenis pertanyaan dengan memberikan pilihan tapi juga disediakan jawaban “lainnya”. Selanjutnya digunakan simple survey calculation

dengan memasukkan jumlah total populasi untuk mendapat jumlah sample yang disasar (perhitungan distribusi kuisener terlampir di Lampiran 6).

Selanjutnya, sebagai masyarakat pembanding untuk ukuran peningkatan perubahan perilaku yang terjadi, dilakukan dengan survey yang sama pada kelompok masyarakat yang berbeda yang disebut masyarakat kontrol. Syarat pengambilan masyarakat kontrol setidaknya memiliki kondisi ekosistem yang sejenis serta dimungkinkan tidak mendengar atau melihat kegiatan kampanye. Oleh karena itu diambilah kelompok masyarakat dari Kawasan Pegunungan Dieng, yaitu Desa Botosari dan Desa Kaliombo di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Jarak kedua desa tersebut dari masyarakat target kurang lebih 250 Km dan memiliki kondisi ekosistem yang serupa serta dimungkinkan tidak mendengar dan melihat kegiatan kampanye yang dilakukan. Masyarakat kontrol difungsikan sebagai penetral dari bias data yang dihasilkan dari survey ukuran perubahan perilaku yang terjadi di kawasan target.

6. Tahap Perbaikan model konsep

Setelah mengkaji informasi FGD, menganalisa data survei dan melakukan observasi langsung di lapangan, model konsep yang dikembangkan di awal mengalami revisi. Keterangan dari model konsep adalah sebagai berikut; Kelompok perempuan ternyata memiliki peran yang cukup penting dalam pengelolaan


(41)

23

sumberdaya hutan Potorono. Selama ini, kelompok tersebut belum benar-benar mendapatkan porsi yang sama dengan kelompok pria. Keterlibatan kelompok perempuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan kesadaran konservasi.

Ketidaktahuan atau lemahnya kesadaran hukum juga mempengaruhi terjadinya alih fungsi pengelolaan lahan hutan dan penebangan liar. Peningkatan kesadaran hukum dan pengetahuan mengenai hukum dapat menekan terjadinya kedua ancaman tersebut. Meningkatnya kebutuhan kayu bakar, belum adanya inisiatif lokal pembibitan tanaman kayu, lemahnya kelembagaan disebabkan oleh terkikisnya budaya berhutan di tingkat masyarakat. Hutan dilihat sebagai sumberdaya yang tidak akan habis sehingga pemanfaatannya tidak mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya hutan.

Pengaruh pasar pada jenis tanaman pertanian tidak bisa dikesampingkan. Masyarakat yang secara umum hidup dalam kekurangan, selalu berupaya untuk mencari cara termudah untuk mencukupi kehidupannya. Akibatnya, pola-pola pertanian yang diterapkan kurang memperhatikan daya dukung lahan. Gambar 7 berikut menunjukkan model konsep untuk hutan Potorono-Gunung Sumbing setelah diperbaiki.


(42)

HUTAN POTORONO KECAMATAN KAJORAN Kebakaran tidak ada reboisasi Perburuan Penebangan Liar

Alih Fungsi Lahan

Wisata tidak ramah lingkungan Kekeringan Sosial ekonomi Pertumbuhan penduduk Kesadaran Hukum Kesadaran lingkungan Pendidikan Sistem nilai budaya Kesejahteraan Keimanan Iklim/Cuaca Pengawasan Kebijakan Alih Fungsi Hutan Kebutuhan Kayu Bakar Jumlah Ternak

Pengaruh Pasar pada Jenis Tanaman Pertanaian Sumberdaya Air Budaya Berhutan Pembibitan Peran Perempuan Kurang lahan Kelembagaan Pengetahuan pengeleloaan sumber daya hutan ancaman tidak langsung yg dituuju Ancaman langsung yg akan dipengaruhi ancaman tidak langsung ancaman langsung Gambar 7 Perbaikan model konsep


(43)

25

7. Tahap Penentuan sasaran obyektif ( SMART )

SMART merupakan singkatan dari Specific, Measureable, Action oriented, Realistic, Timebound yang diartikan sebagai penentuan tujuan dari riset-aksi secara spesifik, dapat diukur, berorientasi pada riset-aksi dan proses, merupakan sasaran masuk akal yang dapat dicapai yang dibatasi oleh waktu (Margoluis dan Salafsky 1998).

Berdasarkan semua informasi sebelumnya ditambah dengan fakta-fakta yang ada di masyarakat, maka disusun sasaran konservasi yang hendak dicapai. Kampanye dijalankan mendasarkan pada pemilihan dan penempatan media, pengembangan pesan, dan kegiatan penjangkauan masyarakat dilakukan sedemikan rupa untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sasaran SMART yang hendak dicapai di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing adalah sebagai berikut:

Tujuan umum yang ingin dicapai melalui kegiatan kampanye Bangga adalah: “Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat setempat mengenai fungsi dan peran sub-DAS Tangsi terhadap kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia melalui keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya secara berkelanjutan”.

Sedangkan tujuan khusus dari kegiatan kampanye adalah:

Melindungi, mengelola dan mengembalikan jasa-jasa ekologi, ekonomi dan sosial – budaya dari hutan seluas 1100 ha di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing bersama masyarakat setempat.

Sasaran (S) dari kampanye yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: S.1. Terkelolanya kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing secara adil,

berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

S.2. Terdistribusikannya fungsi dan manfaat jasa lingkungan kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing secara berkeadilan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.

S.3. Membangun kolaborasi pengelolaan kawasan hutan oleh Masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak lainnya.

S.4. Terselenggaranya pembelajaran pengelolaan kawasan hutan bagi semua pihak.


(44)

S.5. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai manfaat konservasi kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing.

Untuk mendukung tercapainya kelima sasaran di atas selanjutnya disusun sasaran antara (intermediate objective) sebagai berikut:

• Pada akhir program, 487 ha hutan dengan nilai konservasi dan perlindungan DAS tinggi di desa Mangunrejo, Krumpakan dan Sukomulyo berada di bawah pengelolaan yang lebih baik berbasis masyarakat dan secara berarti (signifikan) mengurangi resiko konversi lahan.

• Setelah 12 bulan kampanye, keanekaragaman hayati dari 488 ha hutan produksi lama di Sukorejo, Banjaragung, dan Sutopati akan diperkaya melalui penanaman setidaknya 10,000 batang pohon dari minimal 3 jenis spesies lokal.

• Selama 1 tahun periode kampanye, terbentuk pengelolaan hutan kolaborasi yang menjamin konservasi hutan alami seluas 125 ha dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi di Sukomakmur.

Karena Kampanye Bangga mengacu kepada perubahan perilaku, maka untuk setiap sasaran antara di atas akan ditambahkan sasaran perubahan perilaku (behavior objective). Sasaran perubahan perilaku ini bertujuan untuk memberikan suatu jaminan bahwa aksi atau tindakan yang diambil oleh target audien merupakan hasil dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya mengambil tindakan tersebut.

8. Tahap Identifikasi Maskot dan Slogan

Seperti halnya pada pemasaran untuk tujuan komersial, maka dilakukan identifikasi untuk maskot sebagai branding atau merek berikut slogan yang mewakili tujuan besar masyarakat. Dalam kampanye Pride, Maskot diwujudkan dalam bentuk spesies kunci, endemik serta dalam kondisi terancam. Selanjutnya maskot dan slogan tersebut akan selalu dipakai dalam penyaluran informasi konservasi dengan konsisten.

Identifikasi spesies maskot atau flagship spesies untuk kawasan dilakukan dengan melihat hasil survei pra kampanye. Di dalam kuisener yang


(45)

27

diwawancarakan kepada responden terdapat pertanyaan yang menyangkut slogan untuk di pasarkan serta spesies yang dijadikan maskot (flagship spesies).

Dari hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat memilih “Hutan Potorono Lestari, Masyarakat Sejahtera” sebagai slogan yang dapat memberikan rasa bangga terhadap kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing. Sedangkan maskot yang digunakan yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) berupa hewan endemik yang hanya ada di kawasan tersebut. Satwa Elang Jawa tersebut dalam kondisi terancam punah menurut IUCN redlist 2006 dan termasuk dalam daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

9. Tahap Stakeholder Meeting II

Hasil dari proses kegiatan awal selanjutnya kembali di diskusikan dengan stakeholder. Tujuan dari diselenggarakannya pertemuan stakeholder yang kedua terutama untuk mendapatkan persetujuan, dukungan serta peran aktif untuk menjalankan kegiatan. Dalam pertemuan tersebut stake holder yang hadir juga di minta untuk mengidentifikasikan sasaran dari kegiatan kampanye yang dijalankan. Hasil dari pertemuan stakeholder yang kedua selanjutnya menjadi bahan untuk dimasukkan kedalam perbaikan perencanaan program yang akan dijalankan.

10. Tahap Perencanaan Program

Berdasarkan hasil studi dengan data-data yang diperoleh, selanjutnya disusun rencana kegiatan kampanye Pride. Rencana kerja berisi tentang strategi kampanye yang akan di lakukan di masyarakat target. Di dalam rencana kerja, berisi alat-alat, media dan cara, selanjutnya disebut materi kampanye, yang akan diaplikasikan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pencapaian tujuan kampanye (SMART obyektif). Hasil dari penyusunan aktivitas dituangkan kedalam rencana kerja kampanye Pride (terlampir di Lampiran 7) termasuk perencanaan untuk mengukur efektivitas kampanye dalam bentuk rencana monitoring dan evaluasi kegiatan kampanye. Dalam perencanaan kerja, saluran informasi yang akan digunakan harus mampu menjawab persyaratan sebagai berikut;


(46)

a) Mengapa melakukan kegiatan ini? Informasi ini menjelaskan bagaimana kegiatan berkaitan dengan sasaran.

b) Bagaimana kegiatan tersebut dapat dilaksanakan? Informasi ini menjelaskan daftar yang perlu dilaksanakan untuk menyelesaikan kegiatan tersebut.

c) Siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan tersebut? Informasi ini menjelaskan siapa yang bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatan tersebut.

d) Kapan kegiatan tersebut akan dilaksanakan? Informasi ini menjelaskan tanggal yang ditargetkan untuk menyelesaikan kegiatan tersebut.

e) Dimana kegiatan tersebut akan dilakukan? Informasi ini menjelaskan dimana kegiatan tersebut akan dilaksanakan.

f) Asumsi yang mendasari. Daftar asumsi dibuat untuk melihat hal apa saja yang mendasari kegiatan tersebut dilakukan.

g) Prasyarat. Informasi ini menjelaskan tugas dan acara yang perlu terjadi sebelum kegiatan tersebut dilakukan.

11. Tahap Mengembangkan Materi dan Uji Material

Pengembangan materi kampanye dilakukan setelah rencana kerja selesai disusun. Pengembangan materi tidak dilakukan asal-asalan, tetapi mendasarkan aspirasi dari masyarakat target. Selanjutnya, materi yang telah dikembangkan terlebih dulu diuji di masyarakat untuk mendapat masukan. Beberapa masukan yang hendak didapat dalam uji materi kampanye antara lain tingkat perhatian masyarakat pada materi kampanye dan tingkat mudah atau tidaknya materi diserap atau dipahami oleh masyarakat. Contoh uji materi oleh masyarakat antara lain tentang huruf, warna atau bentuk dan desain materi yang akan di sebarkan. Hasil uji materi akan menjadi rujukan untuk membuat materi-materi kampanye disesuaikan dengan selera target audien.

12. Tahap Implementasi Kampanye

Implementasi kampanye merupakan tahap teknis pelaksanaan mempengaruhi serta merubah perilaku konservasi masyarakat dengan menggunnakan saluran-saluran informasi dan media konservasi di kawasan target.


(47)

29

Implementasi juga bertujuan untuk mengurangi atau menyelesaikan persoalan konservasi sumberdaya hutan yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman konservasi.

Implementasi kampanye dilakukan sesuai dengan perencanaan pelaksanaan kampanye yang telah disusun pada tahap perencanaan kegiatan. Implementasi kampanye selalu dijalankan dengan melibatkan stakeholder terutama dari masyarakat kawasan target (ringkasan kegiatan kampanye yang dijalankan dapat dilihat pada Lampiran 8). Kegiatan kampanye yang dilakukan dalam bentuk kegiatan teknis dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Kunjungan Sekolah

Kunjungan sekolah (school visit) berwujud kegiatan edukasi kepada anak-anak sekolah yang melibakan peran guru, kelompok konservasi, pemerintah desa dan anak-anak. Kunjungan sekolah selain bertujuan untuk memasarkan konservasi kepada segmen utama anak-anak berusia sekolah dasar. Kunjungan sekolah diwujudkan dengan beberapa kegiatan meliputi lomba gambar untuk anak, kunjungan sekolah dengan kostum maskot dan panggung boneka untuk anak. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai sarana mengenalkan lingkungan hidup kepada anak termasuk mengenalkan metode pembelajaran lingkungan hidup kepada sekolah untuk diterapkan kepada anak-anak didik. Kegiatan kunjungan sekolah dapat dilihat pada gambar 8 di bawah ini;

Gambar 8 Lomba gambar dan kunjungan sekolah dengan kostum maskot

2) Pelatihan Tungku Hemat Energi

Tungku hemat bahan bakar merupakan alat yang dapat membantu masyarakat untuk menghemat penggunaan kayu bakar sehingga sangat


(48)

efektif untuk mengurangi kegiatan penebangan liar yang terjadi di Desa Sukomakmur. Pendekatan pun dilakukan melalui para ibu yang tergabung dalam kelompok PKK dan Dasa Wisma, hingga 20 orang ibu dan 20 orang bapak warga Desa Sukomakmur (6 dusun), dibantu 2 narasumber dan 5 fasilitator berlatih bersama untuk membuat tungku hemat kayu bakar. Pelatihan dan pembelajaran tungku hemat energi dilakukan di desa Sukomakmur, dimana para peserta pelatihan selanjutnya menjadi agen dalam penyebarluasan pemakaian tungku.

Tungku diperkenalkan telah dimodifikasi sedemikian rupa oleh jaringan kerja tungku Indonesia (JKTI), ARECOP, Yayasan Dian Desa sehingga lebih sedikit menggunakan kayu tetapi menghasilkan panas yang lebih besar. Tungku tersebut idealnya terbuat dari tanah liat, namun karena materi ini tidak tersedia di Sukomakmur maka semen menjadi bahan baku alternatif. Tungku dengan 2 lubang berbentuk kotak dengan ukuran 30 cm X 70 cm X 20 cm. Perbedaan tungku ini dari tungku yang biasa digunakan oleh ibu-ibu di Sukomakmur adalah dari konstruksi aliran energi, yang dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi pembakaran yang lebih efektif. Kegiatan pelatihan pembuatan tungku dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini:

Gambar 9 Pelatihan pembuatan tungku hemat kayu bakar

3) Kegiatan Seni dan Budaya

Untuk membangun kesadaran dan bertambahnya pengetahuan masyarakat mengenai konservasi, edukasi tentang konservasi juga dijalankan dengan menyisipkan kegiatan-kegiatan konservasi dalam kegiatan seni dan budaya


(49)

31

masyarakat. Proses penyadaran dijalankan dengan melibatkan peran tokoh-tokoh masyarakat melalui seni dan budaya setempat.

Kegiatan konservasi yang dilakukan dalam seni dan budaya dilakukan misalnya penginformasian kegiatan konservasi yang dapat dilakukan dalam kegiatan budaya merti desa (peringatan desa) sehingga mendorong inisiatif beberapa tokoh masyarakat di desa Sukomakmur untuk melakukan kegiatan merti banyu (peringatan air) dengan menanam tanaman di sekitar mata air dengan upacara adat setempat. Kegiatan konservasi dalam seni budaya dapat dilihat pada gambar 10 berikut,

Gambar 10 Upacara merti banyu di Desa Sukomakmur

4) Pendampingan Kelompok Konservasi

3 kelompok konservasi terbentuk selama masa kegiatan kampanye. Masing-masing memiliki kegiatan yang berbeda yaitu patroli hutan, kelompok konservasi pengelola kawasan wisata dan kelompok swadaya masyarakat untuk konservasi lingkungan hidup.

Patroli hutan terbentuk di Desa Sukomakmur sebagai bagian dari kegiatan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) untuk mengusahakan kondisi hutan lindung menjadi lebih baik. Hal yang penting dari kegiatan kampanye Pride ini adalah tergeraknya masyarakat kawasan untuk melestarikan alam dengan aksi seperti penanaman tanaman lokal di kawasan hutan yang memiliki vegetasi rendah, memelihara kawasan sekitar mata air, serta perlindungan biodiversity kawasan. Kelompok swadaya masyarakat lain terbentuk di desa Krumpakan yang


(50)

bertujuan untuk mengembalikan keasrian hutan berikut penjagaan pengelolaan lingkungan desa. Kelompok – kelompok tersebut menjalankan aksinya diorganisir dan difasilitasi oleh desa dan dukungan dari pemimpin-pemimpin desa, selain fasilitasi beberapa penguatan pengorganisasian. Keberlanjutan kegiatan kelompok selanjutnya menjadi bagian program desa untuk melakukan kegiatan-kegiatan berhubungan dengan konservasi kawasan hutan desanya. Kegiatan kelompok konservasi dapat dilihat pada gambar 11 berikut;

Gambar 11 Kelompok pengelola wisata, Kelompok swadaya masyarakat dan Patroli hutan

5) Pelatihan Interpretasi

Pelatihan interpretasi adalah kegiatan yang dijalankan untuk memberikan edukasi lingkungan hidup bagi pengelola dan pelaku kawasan wisata di Desa Sutopati. Kegiatan tersebut melibatkan setidaknya 22 orang anggota pengelola yang selanjutnya menjadi agen dalam kegiatan-kegiatan konservasi. Kegiatan dijalankan selama 3 hari (tanggal 19 – 22 November 2007) dengan tema ”Pengembangan Jalur Treking Warung Hidup dengan Interpretasi”

Salah satu kegiatan kelompok adalah mengharuskan setiap pengunjung (terutama di kawasan wana wisata) untuk ikut berperan dalam reboisasi kawasan seperti menanam pohon sejenis Jambu batu, Suren, pakis, damar di berbagai tempat termasuk di kawasan wana wisata dan Curug (air terjun) Silawe. Tindak lanjut dari pelatihan ini adalah inisiatif kelompok pengelola kawasan wisata sebagai bagian dari desa yang berperan untuk edukasi lingkungan hidup bagi pengunjung kawasan serta pendukung kegiatan-kegiatan konservasi lainnya. Kegiatan pelatihan interpretasi dapat dilihat pada gambar 12 berikut;


(51)

33

Gambar 12 Pelatihan interpretasi untuk kelompok pengelola wisata Desa Sutopati 6) Pendampingan Kelompok Ibu-ibu

Pendampingan kelompok ibu-ibu dalam memecahkan untuk konservasi dilakukan dalam kelompok DASA WISMA. Kelompok ibu-ibu tersebut berkeinginan untuk menjadikan dirinya menjadi pelopor bagi ibu-ibu yang lain agar mampu melakukan kegiatan yang berarti setidaknya bagi keluarga.

Kegiatan itu dimulai dengan percobaan untuk membuat pupuk cair organik yang diharapkan dapat mendukung kegiatan pertaniannya. Pemanfaatan tanaman-tanaman yang dianggap tidak berguna seperti gedebok pisang, bunga-bungaan, bongkol bambu bahkan sampah rumahtangga di ujicoba untuk dijadikan pupuk organik cair. Kegiatan kelompok ibu-ibu dapat dilihat pada gambar 13 berikut;

Gambar 13 Pendampingan kelompok ibu-ibu

7) Dakwah Konservasi

Kegiatan penyebaran informasi dan ajakan untuk bangga melestarikan alam dijalankan dengan media dakwah lewat radio saat bulan puasa. Kegiatan Dakwah konservasi di Radio melibatkan ulama setempat dan juga radio.


(52)

Salah satu stasiun radio yang banyak disukai oleh masyarakat di kawasan berdasarkan hasil survei adalah Radio CBS Magelang. Rangkaian diskusi dan pendekatan dilakukan dengan pihak radio CBS Magelang, hingga akhirnya didapatkan kesepakatan untuk bekerjasama menyiarkan dakwah konservasi selama bulan Ramadhan dengan judul acara ” Mutiara Ramadhan” yang mengambil bahasan tentang pentingnya melestarikan lingkungan hidup. Kegiatan perekaman dan penyiaran dakwah konservasi dilakukan di Radio CBS Magelang. Kegiatan tersebut dijalankan untuk menjangkau audien lebih luas.

8) Pemutaran Lagu di Radio

Lagu konservasi yang telah disusun sebagai media ajakan menjalankan penjagaan lingkungan hidup disiarkan melalui 1 radio komersial (CBS FM) dan 2 radio komunitas (RWS/Radio Wong Sambak dan Suara UMM/Universias Muhammadiyah Magelang). Pemutaran lagu dijalankan setiap minggu 2 kali (CBS) mulai bulan Juli 2007 hingga Desember 2008. Pemutaran di RWS, setiap hari dari bulan juli 2007 dan seminggu beberapa kali di Suara UMM selama 4 bulan. Program spot radio dipilih dengan alasan radio merupakan media kampanye yang efektif untuk menjangkau lebih banyak orang. Kegiatan spot radio dapat dilihat pada gambar 14 berikut;


(53)

35

9) Pekan Penanaman Kawasan

Sebagai wujud kebanggaan masyarakat dalam konservasi kawasan, dilakukan kegiatan pekan penanaman kawasan “Hari Hijau Potorono untuk Indonesia Hijau 2010”. Kegiatan tersebut dijalankan selama 3 hari mulai tanggal 10 – 13 Desember 2007, melibatkan hampir 5000 orang. Jumlah tanaman yang ditanam pada aksi tersebut sebanyak 13000 batang dari 11 jenis bibit pohon dan berasal dari swadaya dan bantuan pihak – pihak terkait.

Pencanangan aksi tanam pohon didukung oleh partisipan mulai dari masyarakat 8 desa (Sukomakmur, Sutopati, Sukorejo, Sukomulyo, Krumpakan, Banjaragung, Mangunrejo dan Sambak), PDAM, Universitas Tidar Magelang, Universitas Muhammadiyah Magelang, YBL MastA (LSM), ESP_USAID (LSM), KIPPK (Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan), Dinas Pertanian, Muspika Kajoran, Koramil, Polsek, PLN, BRI, Format Lintang (kelompok swadaya masyarakat), PKK, SD/MI, DPRD Kabupaten Magelang, Sekretaris Daerah, Radio dan Percetakan. Kegiatan ini juga didukung dan diliput oleh 4 stasiun TV ( Trans 7, Trans TV, TPI dan RCTI) serta media cetak Suara Merdeka. Pekan penanaman kawasan dapat dilihat pada gambar 15.

Gambar 15 Kegiatan pekan penanaman kawasan

10) Lomba Masak Konservasi

Setidaknya 8 tim ibu-ibu (satu tim terdiri dari 4 orang) dari 7 desa terlibat dalam kegiatan lomba masak konservasi. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah pemanfaatan sumberdaya pangan lokal. Hampir 500 orang mengikuti jalannya festival dan melibatkan 2 grup kesenian lokal, Kecamatan, Puskesmas, DPRD, Pemda dan PKK. Proses kegiatan ini dimulai dari aktivitas pendampingan kepada


(1)

Lampiran 10. Rencana Monitoring dan Evaluasi Program

Tahap akhir dari kampanye adalah monitoring dan evaluasi kegiatan. Dalam tahap

monitoring dan evaluasi diamati hal-hal sebagai berikut:

Strategi Monitoring Umum:

Mengukur perubahan yang terjadi secara periodik terhadap luasan hutan yang

yang ada dan atau luas lahan yang dihutankan kembali serta keanekaragaman

hayatinya serta tahapan .

Survey pengetahuan, sikap dan perilaku dan membandingkan hasil yang didapat

pada awal kampanye dan setalah akhir kampanye.

Sasaran Antara 1

Pada akhir program, 487 hektar hutan dengan nilai konservasi dan perlindungan DAS

tinggi di desa Mangunrejo, Krumpakan dan Sukomulyo berada di bawah pengelolaan

yang lebih baik berbasis masyarakat dan secara berarti (signifikan) mengurangi resiko

konversi lahan.

Strategi Monitoring:

Mengukur menurunnya luasan hutan yang dikonversi di Mangunrejo,

Krumpakan dan Sukomulyo.

Survey pengetahuan, sikap dan perilaku dan membandingkan hasil yang didapat

pada awal kampanye dan setalah akhir kampanye.

APA BAGAI M AN A KAPAN SI APA D I M AN A KETERAN GAN ( in dik a t or ) ( m e t ode & ca r a )

Ke gia t a n ya n g dij a la n k a n

Luas area ( dalam ha) yang dipert ahankan / dipulihk an sebagai hut an sert a t idak dikonversi

Observasi lapangan unt uk m em bandingkan luasan area sebelum dan set elah progr am

Aw al pe-laksanaan ( Bln 1)

Akhir pe-laksanaan ( Bln 12)

Panj i, Tim Pride, ESP, ke-lom pok w anat ani

Tiga desa t arget : Mangunrej o, Krum pakan,

Sikap m asya-rakat t arget m e-ngenai rehabili-t asi lahan

Survey di awal dan akhir kegiat an kam panye

Survey awal: Nov 2006

Survey akhir: Februari 2008

Manaj er Kam panye dengan dukungan enum e-rat or

Di 8 desa t arget Kam panye Pride

Fact sheet Post er

Lem bar berit a Booklet pem anfaat an hut an Billboard Penj angkauan m asyarakat Workshop

Langgam / Gendhin g

Lem bar Dakwah Pin/ badge

Panggung boneka Kost um


(2)

Lampiran 10. Strategi monitoring (lanjutan)

Sasaran Antara 2

Setelah 12 bulan kampanye, keanekaragaman hayati dari 488 ha hutan produksi lama di

Sukorejo , Banjaragung, dan Sutopati akan diperkaya melalui penanaman setidaknya

10,000 batang pohon dari minimal 3 jenis spesies lokal.

Strategi Monitoring:

Mendokumentasikan setiap kegiatan penanam yang berkaitan dengan upaya

memperkaya keanekaragaman hayati di Sukorejo, Banjaragung dan Sutopati.

Mengukur.Survey pengetahuan, sikap dan perilaku dan membandingkan hasil

yang didapat pada awal kampanye dan setalah akhir kampanye.

APA BAGAI M AN A KAPAN SI APA D I M AN A KETERAN GAN ( in dik a t or ) ( m e t ode & ca r a )

Kegiat an penanam an m asyarakat desa

Mencat at set iap kegiat an penana-m an: w akt u, t em pat , j enis pohon, j um lah bibit yang dit anam , luasan penanam

Aw al pe-laksanaan ( Bln 1)

Akhir pe-laksanaan ( Bln 12)

Panj i, Tim Pride, ESP, kelom pok w anat ani

Tiga desa t arget : Su-korej o, Ban-j aragung, Sut opat i

Sikap dan t in-dakan m asya-rakat t arget t erhadap pene-bangan kayu

Survey di awal dan akhir kegiat an kam panye

Survey awal: Nov 2006

Survey akhir: Februari 2008

Manaj er Kam panye dengan dukungan enum e-rat or

Di 8 desa t arget Kam panye Pride

Fact sheet Post er

Lem bar berit a Billboard Pin/ badge Panggung boneka Kost um

Lagu konserv asi Booklet

pengelolaan kebun t erpadu Pengem bangan bibit

Lom ba m asak Program int erpret asi Pekan penanam an pohon


(3)

Lampiran 10. Strategi monitoring (lanjutan)

Sasaran Antara 3

Selama 1 tahun periode kampanye, terbentuk pengelolaan hutan kolaborasi yang

menjamin konservasi hutan alami seluas 125 ha dengan nilai keanekaragaman hayati

yang tinggi di Sukomakmur.

Strategi Monitoring:

Mendokumentasikan proses/tahapan perencanaan pengelolaan hutan kolaborasi.

Survey pengetahuan, sikap dan perilaku dan membandingkan hasil yang didapat

pada awal kampanye dan setalah akhir kampanye.

APA BAGAI M AN A KAPAN SI APA D I M AN A KETERAN GAN ( in dik a t or ) ( m e t ode & ca r a )

Tahapan penyusunan rencana hut an kolaborasi

Mencat at proses perencanaan pe-ngelolaan hut an kolaborasi ( ident i-fikasi m asalah, pe-m et aan bersape-m a m asyarakat , draf-t ing rencana pe-ngelolaan kolabo-rasi, m em bangun kesepakat an)

Mengukur secara pe-riodik m u-lai dari awal pro-ses sam pai dengan akhir

Panj i dan Tim Pride

Di Desa Sukom ak-m ur

Sikap m asya-rakat t arget m engenai t ang-gung j awab pe-ngelolaan hut an

Survey di awal dan akhir kegiat an kam panye

Survey awal: Nov 2006

Survey akhir: Februari 2008

Manaj er Kam panye dengan dukungan enum e-rat or

Di 8 desa t arget Kam panye Pride

Lom ba m enggam bar Fact sheet Post er

Lem bar berit a Pin/ badge Panggung boneka Kost um

Lagu konserv asi Booklet

kolaborasi Perencanaan kolaborasi Kom ik Pelat ihan t ungku hem at bahan bakar Posyandu Teat er Kalender


(4)

Lampiran 11. Gambaran Desa Target Studi Kampanye Bangga

Nama Desa Luas Area (ha) Kondisi Daerah

Sukomakmur 832,26 ha

Tegal; 456,32 ha, pekarangan; 23,35 ha, Hutan Rakyat;6,5 ha, Hutan negara; 125,25 ha. Topografi pegunungan, berbukit-bukit dan lereng curam kemiringan >40%. Terdapat 70 titik mata air. Hampir tidak dapat ditemukan wilayah hunian tegakan vegetasi yang lebat.

Sutopati 999 ha

Hutan rakyat 75 ha, hutan negara 200 ha, 5% berupa sawah sisanya tegalan dan pemukiman. Topografi berbukit dan berlereng kemiringan >40%. Terdapat 25 titik mata air.

Sukorejo 400 ha

115 ha kritis, Sawah 72 ha, Kebun campur 25 ha, Tegal 70 ha, Hutan Negara 73 ha. Terdapat 10 titik mata air. Topografi berbukit dan berlereng agak curam > 40%.

Sukomulyo 418,96 ha

5,8 ha lahan hutan dalam kondisi kritis. Sawah lahan kering dan Basah seluas 113,6 ha, Kebun campur seluas 24,5 ha, Tegal seluas 79,6 ha. Hutan negara seluas 180 ha. Terdapat 13 titik mata air di desa ini. Topografi berbukit dengan lereng tidak terlalu curam tetapi > 30%.

Banjaragung 149,516 ha

Lahan sawah seluas 126,41 ha, tegalan 4,64 ha pekarangan seluas 18,46 ha. Topografi desa berlereng tetapi tidak curam. Kemiringan dibawah 30%

Krumpakan 163 ha

Seluas 17 ha lahan hutan desa dalam kondisi kritis. Lahan sawah seluas 40 ha, 80 ha tegal dan hutan rakyat, 37 ha hutan negara. Topografi desa berbukit setengah curam kemiringan >30%.

Mangunrejo 402,52 ha

25 ha lahan masyarakat mulai kritis. 85 ha berupa persawahan, 15,08 ha lahan pemukiman dan pekarangan, 62,67 berupa lahan tegal atau hutan rakyat, serta hutan negara wengkon desa seluas 70 ha. Topografi agak landai kemudian menaik ke bentuk perbukitan < 30%.

Sambak 334,5 ha

132 ha berupa lahan persawahan, 43,5 kebun campur, tegal seluas 66,6 ha dan hutan rakyat seluas 110 ha. Topografi berbukit dengan kelerengan tidak begitu curam (>300), sedang hutan negara wengkon desa seluas 80 ha kemiringan < 30%


(5)

Lampiran 12: Populasi dan gambaran umum masyarakat di desa target

Sumber: BPS, Statistik Kabupaten Magelang, 2005 dan ESP, 2006

Desa Total populasi Kondisi umum masyarakat

Sukomakmur 5.158

Berpendidikan formal rata-rata sekolah dasar atau bahkan tidak tamat, bermata pencaharian sebagai petani terutama sayuran, dan tanaman semusim lainnya. Kondisi di pemu-kiman padat dengan jarak antar rumah satu dengan yang lain sangat dekat atau bahkan sambung.

Sutopati 7.074

Mata pencaharian utama dari bertani, berdagang dan sebagai buruh pengusaha di agrobisnis tanaman pakis. Tingkat pendidikan utama sebagian besar masyarakat tidak lulus Sekolah Dasar. Pemukiman penduduk di beberapa dusun dari 13 dusun cukup padat dan jarak rumah satu dengan yang lain sangat dekat.

Sukorejo 1.250

Mata pencaharian utama dari bertani terutama lahan sawah dan tegal, sebagian lan menjadi buruh, pegawai atau pedagang. Rata-rata masyarakat mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar dan 10% tidak mengenyam pendidikan. Pemukiman penduduk untuk di salah satu dusun dari 3 dusun yang ada cukup padat dan rapat. sedang untuk dua dusun yang lain tidak begitu rapat, lebih banyak di pisahkan oleh pekarangan

Krumpakan 1.016

Mata pencaharian utama dari bertani terutama pertanian lahan sawah serta dari beternak dan hasil hutan non kayu. Sebagian lain berprofesi sebagai pegawai, buruh dan peda-gang. Tingkat pendidikan formal masyarakat rata-rata hingga SMP atau SMA.

Banjaragung 1.394

Sebagian besar masyarakat telah mengenyam pendidikan dasar sampai menengah. Bermata pencaharian terutama dari pertanian lahan sawah. Pemukiman penduduk dapat

dikatakan agak rapat, tetapi masih cukup ruang antar rumah satu dengan yang lainnya. Sangat kuat dalam agama, dicirikan dengan keberadaan pondok pesantren di desa banjaragung

Sukomulyo 2.113

Kondisi masyarakat di data kabupaten merupakan desa miskin yang tertinggal. sebagian besar masyarakat hanya mengenyam pendidikan dasar, tetapi ada beberapa yang me-ngenyam pendidikan hingga tingkat tinggi, sebagian besar bekerja di sektor pertanian, sebagian lainnya sebagai pedagang, buruh, pengrajin, penjahit, industri rumahan, serta pegawai

Mangunrejo 332

Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup dari pertanian lahan sawah, serta hutan rakyat, sebagian lain bermatapencaharian sebagai pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri. Pemukiman sudah mulai padat dengan jarak antar rumah sangat berdekatan.

Sambak 2.180

Dari 11 dusun yang ada sebagian masyarakat

bermatapencaharian sebagai petani, dan sebagian yang lain bermata pencaharian sebagai pedagang, home industry, pegawai, buruh. Pemukiman sudah mulai agak rapat, tetapi masih memiliki jarak antar rumah satu dengan yang lain. Total 20.517


(6)

Lampiran 13. Daftar pertanyaan panduan wawancara

PAN D UAN PERTAN YAAN W AW AN CARA PASKA KAM PAN YE

1.

Menurut anda apakah kegiat an kam panye Bangga yang t elah

kit a lakukan m em iliki art i khusus? Mengapa? Apa yang paling

m enarik dalam kegiat an t ersebut

2.

Menurut anda seberapa luas pengaruh kam panye Pride dalam

peningkat an kesadaran penj agaan lingkungan hidup? Kira- kira

berapa persen m asyarakat yang m enyadari pent ingnya

m engelola lingkungan hidup t erut am a hut an desa?

3.

Apakah buku panduan yang disebarluaskan berguna bagi anda?

Dalam segi apa penerapan yang anda lakukan? Apakah

berguna?

4.

Ket ika anda m elakukan kegiat an konservasi, dalam pem ikiran

anda m anfaat apa yang anda peroleh?

5.

Bagaim ana m enurut pendapat anda t ent ang perkem bangan dan

perubahan yang t erj adi di m asyarakat ? Apakah perubahan

unt uk konservasi t ersebut perlu? Mengapa?

6.

Dalam kegiat an konservasi yang anda j alankan, apakah

m endapat dukungan at au bahkan bant uan dari orang lain at au

anda berinisiat if sendiri? Jika ada dukungan dari luar, siapa

yang m endukung? Dalam bent uk apa dukungannya?

7.

Di daerah at au desa anda, w ilayah m ana yang m enurut anda

seharusnya dilakukan fokus konservasi? Mengapa? Bagaim ana

bent uk konservasi yang harus dilakukan?

8.

Apakah perubahan yang t erj adi di dalam diri anda j uga

m em pengaruhi orang lain? Mengapa m asih ada orang anggot a

m asyarakat yang t idak ingin t erlibat dalam kegiat an konservasi

sepert i anda?

9.

Menurut anda kegiat an konservasi seharusnya dilakukan dalam

bent uk yang sepert i apa? Dan siapa yang seharusnya

bert anggungj aw ab?