Persepsi masyarakat lokal mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di hutan lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL MENGENAI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT,

KALIMANTAN TIMUR

SANTUN MUH. PAMUNGKAS

E34101083

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Judul Skripsi : Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur

Nama Mahasiswa : Santun Muhammad Pamungkas

NRP : E34101083

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas : Kehutanan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP : 131 476 561

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F NIP : 131 760 834

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan IPB Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP : 131 430 799


(3)

PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL MENGENAI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT,

KALIMANTAN TIMUR

SANTUN MUH. PAMUNGKAS

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Kehutanan pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

2006


(4)

Santun Muhammad Pamungkas. E34101083. Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan: Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F

RINGKASAN

Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung berdasarkanSurat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983. Sebelum kegiatan kehutanan beroperasi di kawasan HLGL, daerah ini telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gunung Lumut juga merupakan daerah tangkapan air untuk sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan masyarakat desa sekitar kawasan merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam pengelolaan HLGL, masing-masing sebagai pihak yang diberikan wewenang untuk mengelola kawasan tersebut dan pihak yang paling sering berinteraksi dan memanfaatkan sumber daya dari HLGL. Kegiatan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dikhawatirkan menjadi ancaman bagi kelestarian HLGL. Hal ini dikarenakan persepsi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sulit dipahami oleh berbagai pihak di luar masyarakat tersebut. Seberapa dalam persepsi masyarakat harus diketahui terlebih dahulu agar persepsi mereka terhadap hutan dapat dibangun secara tepat dan terarah (Tungabdi, 1997). Hal ini dikarenakan persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya (Toch&McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Sedangkan menurut McKinnon et al. (1993), keberhasilan pengelolaan suatu kawasan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui bentuk-bentuk interaksi masyarakat lokal dan kontribusi mereka terhadap usaha pelestarian HLGL; 2) Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap HLGL dan; 3) Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan HLGL.

Penelitian ini dilakukan di tiga desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut , Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Ketiga desa tersebut adalah Desa Rantau Layung, Kecamatan Rantau Buta; Dusun Muluy (Desa Swanslutung), Kecamatan Muara Komam; dan Desa Blimbing, Kecamatan Long Ikis. Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 10 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 30 Januari 2006, dengan waktu efektif di lapangan 55 hari. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, alat perekam suara (tape recorder) dan kamera. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa Rantau Layung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing yang diasumsikan mewakili masyarakat desa sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut, berjumlah 50 orang. Sebagai data penunjang/pendukung bahan dan alat yang dibutuhkan antara lain demografi/monografi desa yang bersangkutan, peraturan pemerintahan yang menyangkut pengelolaan kawasan HLGL, peta kawasan HLGL, dan segala informasi lainnya yang terkait dalam pengelolaan HLGL. Kerangka pemikiran didasarkan pada bentuk interaksi masyarakat lokal dengan kawasan hutan dipengaruhi oleh adat dan kebudayaan mereka yang merupakan hasil dari pengalaman masa lalu dan informasi yang diberikan oleh Dinas Kehutanan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Informasi tersebut kemudian akan dinilai berdasarkan pengalaman masa lalu masyarkat yang kemudian akan membentuk persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Tingkat pengertian dan pemahaman masyarakat sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut (Jauhari, 1993 dalam Surata, 1993). Untuk mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat ini digunakan metode wawancara dan observasi lapang. Untuk kegiatan pengumpulan data metode yang digunakan adalah studi Pustaka, metode wawancara (interview), dan metode pengamatan (observation). Adapun data-data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang. Perolehan data yang berupa catatan-catatan dari hasil pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan responden yang berkompeten dan studi


(5)

pustaka akan dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan

Hingga saat ini kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan di HLGL antara lain pemancangan dan pemeliharaan batas, perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, dan rehabilitasi lahan yang rusak. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dan pihak pemerintah melalui dinas -dinas terkait. Masyarakat ketiga desa tempat penelitian telah berada di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Lumut jauh sebelum ditetapkannya daerah Gunung Lumut dan sekitarnya sebagai kawasan Hutan Lindung. Desa Rantau Layung (RL) yang memiliki wilayah seluas 18.914 hektar sebagian wilayah desanya berada dalam kawasan Hutan Lindung, namun luas wilayah desa yang termasuk ke dalam kawasan hutan lindung belum diketahui secara pasti. Luas keseluruhan wilayah dusun Muluy adalah 12.953 hektar, semuanya berada di dalam kawasan HLGL. Sedangkan wilayah Desa Blimbing berada di luar kawasan, , walaupun dalam perencanaan ke depannya, wilayah desa ini diharapkan menjadi buffer zone bagi kawasan HLGL Hutan Lindung Gunung Lumut bersinggungan langsung dengan 13 desa di 4 kecamatan yang secara langsung akan mempengaruhi tekanan terhadap hutan lindung. Data tahun 2002 dalam Wahyuni (2004) menyebutkan bahwa desa di sekitar HLGL dengan penduduk terpadat adalah desa Blimbing, sebesar 21,97 jiwa/km2. Kepadatan penduduk Desa RL sebesar 1,10 jiwa/km2 dan Dusun Muluy sebesar 1,50 jiwa/km2. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut tergolong rendah. Dari 50 informan 9 diantaranya tidak pernah bersekolah, 31 orang pernah bersekolah sampai tingkat SD, 9 orang sampai tingkat SMP dan hanya 1 orang yang bersekolah hingga SMU. Masyarakat di ketiga desa tersebut menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan bertani dengan sistem pertanian ladang berpindah. Kegiatan lain dari masyarakat untuk menambah penghasilannya adalah dengan menjual hasil hutan (buah-buahan, daging buruan, burung, gaharu, dll.), mendulang emas, supir, serta buruh. Interaksi masyarakat dengan HLGL dilihat dari pemanfaatan hasil hutan dari HLGL oleh masyarakat dan kepemilikan lahan dalam kawasan HLGL. Pemanfaatan hasil hutan dilihat dari pemanfaatan kayu, satwa, buah dan madu, kemudian dikategorikan pada pemanfaatan subsisten dan pemanfaatan untuk dijual (komersil). Meskipun hampir semua informan mengaku mengetahui mengenai status hutan lindung gunung lumut, namun mengenai batas HLGL para informan hanya mengetahuinya pada titik-titik tertentu saja. Informan dari Desa Rantau Layung sebagian besar mengaku baru mengetahui mengenai keberadaan HLGL ketika pada tahun 2003 kegiatan penataan batas yang dilakukan oleh Badan Planologi Kehutanan masuk ke dalam areal kebun rotan mereka, sebagian lagi baru mengetahui mengenai status hutan lindung ketika mulai banyak penelitian yang dilakukan di desa mereka terkait dengan Hutan Lindung Gunung Lumut. Penyuluhan tentang peran HLGL telah dilakukan pada ketiga desa. Desa Rantau Layung dan Desa Blimbing, yang telah pernah merasakan efek yang cukup menguntungkan dari kegiatan pemanenan kayu dan perkebunan, mendukung keberadaan HLGL selama kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan ikut diperhatikan. Warga Dusun Muluy yang memegang teguh kebudayaan dan adat Pasir mendukung kegiatan pengelolaan HLGL dengan syarat, hak mereka atas hutan adat mereka diakui dan mereka diberi hak untuk mengelola hutan adat mereka, baik itu yang berada di luar ataupun di dalam kawasan hutan lindung


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 14 November 1983 sebagai putra terakhir dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ahmad Syamsuddin Suryana dan Ibu Nanan Kursiani. Penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Inpres Baraya I Makassar sejak tahun 1989 hingga tahun 1995, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 6 Makassar hingga tahun 1998. Tahun 1998 hingga tahun 2001, penulis menempuh pendidikAN di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 17 Makassar. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Fakultas Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama melaksanakan studi di IPB, penulis pernah melakukan Praktek Umum Kehutanan di KPH Banyumas Barat dan di KPH Banyumas Timur, Praktek Umum Pengelolaan Hutan di KPH Ngawi, Getas. Selain itu penulis menempuh Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon, Propinsi Banten.

Sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan maka penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur” dibawah bimbingan: Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Januari 2006, dengan JudulPersepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur”. Penelitian ini merupakan bagian dari program Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia (TBI-Indonesia) ”Trade-off between biodiversity values and forest exploitation in selected forest area of the Gunung Lumut Untir-Beratus extention area”.

Penelitian ini berusaha menggali bentuk-bentuk interaksi masyarakat sekitar kawasan dan persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Dengan diketahuinya persepsi masyarakat sekitar kawasan, bentuk dan kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan diharapkan dapat lebih baik dan ikut melibatkan masyarakat. Sehingga dukungan masyarakat terhadap keberadaan Hutan Lindung Gunung dapat dicapai.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih kepada pembimbing skripsi Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F; seluruh staf Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah membiayai penelitian dan membantu pengumpulan data dan informasi di lapangan, lembaga swadaya masyarakat PeMA Paser, pihak instansi pemerintah Kabupaten Pasir, serta masyarakat Desa Rantau Layung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing atas kerjasamanya dan kesediaannya untuk memberikan data dan informasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, September 2006


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya lah maka penulis dapat merampungkan penulisan skripsi.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Ir. Muhdin, MSc.F sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan atas masukan dan sarannya dalam penyempurnaan skripsi.

2. Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Bapak Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MSc.F selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, nasihat, arahan serta kesabarannya selama penulis melaksanakan kegiatan penelitian hingga terselesaikannya penulisan skripsi.

3. Bapak Iden, Ibu Nanan dan saudara-saudaraku di Makassar atas do’a, kasih sayang dan motivasi tiada henti beserta seluruh Om, Bibi, Sepupu dan Keponakan yang selalu mendukung penulis.

4. Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah mendanai penelitian ini, Bapak Dr. Dicky Simorangkir, Alfan Subekti, Sutan Lubis, Tunggul, Kak Alfa, Indrawan Suryadi, Yana Suryana, Santi, Alice, Ibu Widya, Elisabeth, Deni, Devi, Ninu’, Alda, Pak Sariman, Bang Pijar, pak Alfred dan seluruh staf TBI Indonesia atas keramahan, kebersamaan dan seluruh bantuannya dalam pelaksaanan penelitian.

5. Seluruh dosen pendidik Fakultas Kehutanan, khususnya Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas semua ilmu yang diberikan. 6. Staf KPAP DKSHE: Ibu Evan, Ibu Titin, Pak Acu, Ibu Eti, Ibu Fifi, Pak Hasan, Bibi

dan seluruh staf Fakultas Kehutanan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

7. Keluarga Besar KSH Ceria angkatan 38 atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.

8. Rekan-rekan peneltian Hutan Lindung Gunung Lumut; Edith, Irma dan Sony. 9. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Bogor, September 2006 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...i

DAFTAR TABEL...iv

DAFTAR GAMBAR...v

DAFTAR LAMPIRAN...vi

I. PENDAHULUAN...1

I.1 Latar Belakang...1

I.2 Tujuan...2

I.3 Manfaat...2

II. TINJAUAN PUSTAKA...3

II.1 Persepsi...3

II.2 Persepsi Terhadap Lingkungan...5

II.3 Masyarakat Desa...5

II.4 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan...6

II.5 Hutan Lindung...7

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN...9

III.1 Sejarah dan Status Kawasan...9

III.2 Kondisi Fisik...9

III.2.1 Letak dan Luas...9

III.2.2 Iklim...10

III.2.3 Hidrologi...10

III.2.4 Tanah dan Geologi...10

III.2.5 Bentuk Lahan dan Topografi...11

III.3 Kondisi Biologi...11

III.3.1 Keanekaragaman Flora...11

III.3.2 Keanekaragaman Fauna...11

III.4 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat...12

IV. METODE PENELITIAN...14

IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian...14

IV.2 Bahan dan Peralatan...14

IV.3. Kerangka Pemikiran...14

IV.4 Metode Pengumpulan Data...15

IV.5 Analisis Data...17

V. HASIL DAN PEMBAHASAN...18

V.1 Karakteristik Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut...18


(10)

V.1.1 Desa Rantau Layung...18

V.1.1.a Sejarah...18

V.1.1.b Letak dan Luas...18

V.1.1.c Aksesibilitas...19

V.1.1.d Kependudukan...20

V.1.1.e Ekonomi...20

V.1.1.f Fasilitas Umum...22

V.1.1.g Pendidikan...22

V.1.2 Dusun Muluy...23

V.1.2.a Sejarah...23

V.1.2.b Letak dan Luas...24

V.1.2.c Aksesibilitas...25

V.1.2.d Kependudukan...25

V.1.2.e Ekonomi...25

V.1.2.f Fasilitas Umum...26

V.1.2.g Pendidikan...26

V.1.3 Desa Blimbing...27

V.1.3.a Sejarah...27

V.1.3.b Letak dan Luas...27

V.1.3.c Aksesibilitas...28

V.1.3.d Kependudukan...28

V.1.3.e Ekonomi...29

V.1.3.f Fasilitas Umum...29

V.1.3.g Pendidikan...30

V.1.4 Sosial Budaya Masyarakat Desa Sekitar Kawasan...30

V.2 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan Lindung Gunung Lumut...33

V.2.1 Hasil Hutan Kayu...34

V.2.2 Perburuan Satwa...35

V.2.3 Buah dan Madu...36

V.2.4 Pemanfaatan Lahan...37

V.3 Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...40

V.3.1 Penataan Batas Hutan Lindung...41

V.3.2 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan...42

V.3.3 Inventarisasi Potensi Kawasan...43

V.3.4 Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat...43

V.4 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...44

V.4.1 . Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...45


(11)

V.4.2. Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu Terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung

Gunung Lumut...47

V.4.2.a. Persepsi Masyarakat Desa Rantau Layung...50

V.4.2.b. Persepsi Masyarakat Dusun Muluy...54

V.4.2.c. Persepsi Masyarakat Desa Blimbing...58

VI. KESIMPULAN DAN SARAN...61

VI.1 Kesimpulan...61

VI.2 Saran...62

DAFTAR PUSTAKA...63


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi Informan...16

2. Data Kependudukan di Tiga Desa Sekitar HLGL...20

3. Interaksi Masyarakat Desa dengan HLGL...33

4. Hasil Hutan dari HLGL yang Dijual oleh Masyarakat...33

5. Jenis Satwa yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat...36

6. Tipe Lahan dan Hutan Desa Menurut Masyarakat Suku Pasir...37

7. Pengetahuan Masyarakat Mengenai HLGL...45

8. Pengetahuan Masyarakat Mengenai Fungsi HLGL...46

9. Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...48


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Proses pembentukan persepsi model Litterer dalam Wibowo (1987)...4

2. Dasar pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan...5

3. Kerangka pemikiran penelitian persepsi masyarakat mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...15

4. Jembatan penghubung menuju Desa Rantau Layung...19

5. Bangunan SD di Desa Rantau Layung...22

6. Sejarah pemukiman Dusun Muluy...23

7. Perumahan Dusun Muluy...25

8. Kondisi Jalan Menuju Desa Blimbing...28

9. Peta Batas Kawasan HLGL berdasarkan RTRWP Kalimantan 1999 dan orientasi batas kawasan 2003...42


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Hutan Lindung Gunung Lumut...65 2. Daftar Informan dan Responden yang diwawancarai di desa/dusun sekitar

kawasan...66 3. Daftar Pertanyaan yang Diajukan Kepada Para Informan...67


(15)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan salah satu dari empat kawasan hutan lindung yang berada di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung berdasarkanSurat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983. Pada mulanya kawasan ini merupakan areal konsesi HPH Telaga Mas, yang telah beroperasi sejak tahun 1970-an.

Sebelum kegiatan kehutanan beroperasi di wilayah ini, kawasan hutan Gunung Lumut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun. Mereka telah sejak zaman dahulu memenuhi kebutuhan hidupnya dari wilayah hutan Gunung Lumut, baik itu kebutuhan pangan, papan ataupun lahan.

Dengan dibukanya kawasan hutan Gunung Lumut untuk kegiatan kehutanan, dalam hal ini sebagai areal konsesi HPH PT. Telaga Mas, pemerintah mengharapkan agar perekonomian dan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar kawasan dapat meningkat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Nasib penduduk sekitar kawasan tidak mengalami perubahan, sedangkan areal hutan di kawasan tersebut justru menjadi rusak. Padahal daerah Gunung Lumut merupakan daerah tangkapan air untuk sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Dengan pertimbangan tersebut maka kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya oleh pemerintah ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1983.

Banyak pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut, namun Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan masyarakat desa sekitar kawasan merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sebagai pihak yang diberikan wewenang untuk mengelola kawasan tersebut, sedangkan masyarakat desa sebagai pihak yang paling sering berinteraksi dan memanfaatkan sumber daya dari Hutan Lindung Gunung Lumut.

Masyarakat desa membuka lahan untuk pemukiman dan ladang serta kebun. Kayu yang mereka ambil dari hutan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pembuatan perabot rumah tangga dan alat perkakas, serta sebagai bahan pembuat alat transportasi. Madu, gaharu, dan rotan merupakan sumberdaya hutan yang mereka pungut untuk menunjang perekonomian keluarga. Beberapa jenis hewan mamalia mereka buru sebagai sumber protein mereka, selain terkadang mereka jual sebagai tambahan penghasilan.

Namun dengan ditetapkannya kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya sebagai kawasan hutan lindung, kegiatan masyarakat desa yang telah dilakukan sejak zaman dulu dan diwariskan secara turun temurun, oleh beberapa pihak, dikhawatirkan


(16)

menjadi ancaman bagi kelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini dikarenakan persepsi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sulit dipahami oleh berbagai pihak di luar masyarakat tersebut. Hal ini bisa menimbulkan konflik antar berbagai pihak, kurangnya dukungan masyarakat terhadap kegiatan pembangunan, dan tidak dapat dirasakannya manfaat dari status hutan lindung itu oleh masyarakat.

Seberapa dalam persepsi masyarakat harus diketahui terlebih dahulu agar persepsi mereka terhadap hutan dapat dibangun secara tepat dan terarah (Tungabdi, 1997). Hal ini dikarenakan persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya (Toch&McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Sedangkan menurut McKinnon et al. (1993), keberhasilan pengelolaan suatu kawasan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya.

I.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bentuk-bentuk interaksi masyarakat lokal dan kontribusi mereka terhadap usaha pelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut

2. Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Lindung Gunung Lumut

3. Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut

I.3 Manfaat

Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan sistem pengelolaan Gunung Lumut, terutama menyangkut pemberdayaan masyarakat desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2002). Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Woodworth & Marquis, 1957; Branca, 1964 dalam Walgito, 2002). Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu. Sedangkan menurut Wibowo (1987), persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada. Sehingga dengan persepsi, individu dapat menyadari serta dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang terdapat di sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2002).

Persepsi ditentukan oleh faktor-faktor dalam diri individu baik, faktor internal meliputi kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan jenis kelamin. Maupun faktor eksternal seperti pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu dan perbedaan latar belakang sosial-budaya (Surata, 1993). Hal ini juga didukung oleh Wibowo (1987), bahwa persepsi seseorang tergantung kepada seberapa jauh suatu obyek membuat impresi (kesan) bagi seseorang. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti atau suatu penghargaan terhadap obyek tersebut. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Objek dan lingkungan yang melatarbelakangi persepsi merupakan kebulatan atau kesatuan yang sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda (Walgito, 2002).

Pembentukan persepsi menurut Litterer dalam Wibowo (1987) terbagi kedalam tiga fase yaitu selektivitas, penutupan (closure) dan interpretasi. Pada fase pertama yaitu seleksi, informasi tertentu dipisahkan oleh pertimbangan yang jauh dengan batas awal persepsi. Kemudian pada fase penutupan (closure), informasi yang telah diseleksi disusun menjadi satu kesatuan. Dan pada fase interpretasi, informasi dinilai kemudian terbentuklah persepsi. Dalam model pembentukan persepsi menurut Litterer dalam

Wibowo, pengalaman-pengalaman masa silam sangat berpengaruh terhadap interpretasi (Gambar 1).


(18)

Pembentukan Pengalaman

Persepsi masa silam

Mekanisme pembentukan persepsi

Informasi

Persepsi Sampai ke individu

Perilaku

Gambar 1 Proses pembentukan persepsi model Litterer dalam Wibowo (1987)

Vandemarkn dan Leth (1977) dalam Surata (1993), menyebutkan persepsi indivi du dibatasi oleh perbedaan pengalaman, motivasi dan keadaan, perbedaan kapasitas alat indera dan perbedaan sikap, nilai dan kepercayaan. Perbedaan inilah yang akhirnya menimbulkan perbedaan dalam memberikan makna terhadap stimuli, seperti kecenderungan mempersepsi apa yang sesuai dengan sikap, nilai-nilai dan kebutuhan seseorang (selective perception), kecenderungan hanya menerima stimuli yang konsisten dengan sikap, nilai dan kepercayaan (selective retention). Hal ini sejalan dengan pernyataan Jauhari (1993) ) dalam Surata (1993), bahwa tingkat pengertian atau pemahaman seseorang sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut.

Karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi menurut Osley (1972) dalam Sadli (1976)adalah:

1. Faktor ciri khas dari obyek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familiaritas dan intensitas.

2. Faktor pribadi, termasuk didalamnya ciri khas individu seperti tingkat kecerdasaan, minat dan emosinya.

Interpretasi

Selektivitas

Penutupan (Closure)


(19)

3. Faktor pengaruh kelompok, artinya respon orang lain dapat memberi arahan sesuatu tingkah laku yang sesuai.

4. Faktor perbedaan latar belakang kultural.

II.2 Persepsi Terhadap Lingkungan

Persepsi seseorang terhadap lingkungan mencerminkan cara melihat, kekaguman, kepuasan serta harapan-harapan yang diinginkan dari lingkungannya (Edmund & Letey, 1973 dalam Surata, 1993). Persepsi terhadap lingkungan meliputi berbagai aspek yang luas, selain persepsi sensoris individual yaitu penglihatan dan pendengaran, persepsi terhadap lingkungan juga meliputi kesadaran dan pengalaman manusia terhadap lingkungan. Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya karena tidak ada perilaku tertentu tanpa persepsi; perilaku adalah hasil persepsi masa lalu dan permulaan persepsi berikutnya (Toch & McLean

dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995).

Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai konservasi maka kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Pranowo (1985), bahwa persepsi masyarakat dalam memandang hutan akan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta budaya yaitu kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya. Sehingga agar persepsi masyarakat terhadap lingkungan dapat dibangun secara tepat dan terarah maka seberapa dalam persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal harus diketahui terlebih dahulu. Pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan berupa satu kesatuan yang saling mendukung (Gambar 2).

Mengamati

Mendengarkan Mengajukan pertanyaan

Gambar 2 Dasar pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan (Whyte, 1971 dalam Surata, 1993)

II.3 Masyarakat Desa

Masyarakat adalah kelompok atau himpunan orang-orang yang hidup bersama dan terjalin satu sama lainnya sehingga menghasilkan kebudayaan. Sedangkan pengertian dari desa merupakan himpunan penduduk yang cenderung homogen dengan sifat kegotongroyongan dan kekeluargaan yang tinggi serta bermata pencaharian utama dari sektor pertanian (Hasansulama et al., 1983). Sehingga masyarakat desa adalah


(20)

himpunan penduduk agraris cenderung homogen yang menempati wilayah tertentu dan memiliki kebudayaan dengan sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang tinggi. Masyarakat desa umumnya bermata pencaharian dari sektor pertanian sehingga pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian hanya merupakan sambilan saja, sehingga di saat masa panen atau masa menanam padi tiba maka pekerjaan-pekerjaan sambilan tersebut ditinggalkan (Soekanto, 1982).

Kehidupan masyarakat desa yang pada umumnya bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam disekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakaian dan tempat tinggal dalam mempertahankan hidupnya terhadap setiap ancaman yang datang dari dalam maupun luar lingkungan hidupnya. Hal ini demi mencapai dan menciptakan kemajuan dalam hidupnya (Hasansulama et al., 1983).

II.4 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan

Interaksi adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1994). Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya;dalam hal ini adalah hutan merupakan hubungan sirkuler, yang mengandung arti bahwa interaksi yang terjadi antara manusia dan hutan bersifat kompleks, karena pada umumnya dalam hutan terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera dilihat dan dirasakan, tetapi pada akhirnya cepat atau lambat akan berpengaruh kepada kehidupan manusia (Soemarwoto, 1994).

Interaksi antara masyarakat sekitar dengan kawasan hutan yang mengarah pada kerusakan kawasan disebabkan oleh (Suratmo, 1974):

1. tingkat pendapatan masyarakat sekitar relatif rendah

2. terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulit mencari tambahan penghasilan 3. kebutuhan hasil hutan yang tidak terpenuhi karena terbatasnya di pasaran 4. pekerjaan mencuri relatif lebih mudah dan memberikan penghasilan lebih besar 5. adanya tukang tadah hasil curian

6. kurangnya patroli keamanan kawasan hutan

7. masalah mental, kebiasaan dan seba-sebab khusus lainnya.

Kondisi sosial-ekonomi masyarakat adalah segala aspek yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia (Soekmadi, 1987).


(21)

II.5 Hutan Lindung

Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004).

Pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan Lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II jo No. 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No. 129/ Kpts/DJ-VI/1996 meliputi (Ngadiono, 2004):

1. inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata, dan potensi sumberdaya air

2. pemancangan dan pemeliharaan batas

3. perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan 4. rehabilitasi hutan yang rusak

5. pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan, dan 6. peningkatan peran serta masyarakat.

Pasal 19 ayat (2) PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam hutan lindung meliputi usaha budidaya tanaman obat (herba), tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan usaha budidaya sarang burung wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3) meliputi usaha wisata alam, olahraga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha penyelamatan hutan dan lingkungan.

Sedangkan menurut Kittrodge dalam Manan (1998) pengertian hutan lindung adalah suatu kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, terutama dikelola atas dasar pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah, jadi tidak untuk menghasilkan kayu maupun makanan ternak.

Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi kawasan hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, bahkan kegiatan pertambangan pun diizinkan untuk dilaksanakan dengan pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri Kehutanan. (UU No. 41 Tahun 1999). Untuk pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II (Kotamadya/Kabupaten) sebagaimana diatur dalam PP No. 62 Tahun 1998. Adapun urusan pengelolaan yang dimaksud adalah kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi,


(22)

pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan pemanfaatan jasa lingkungan.


(23)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III.1 Sejarah dan Status Kawasan

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983, kawasan ini ditunjuk sebagai hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983 tentang Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan propinsi Kalimantan Timur. Walaupun demikian status HLGL masih penunjukkan belum dikukuhkan. Sehingga secara legalitas, status HLGL masih lemah karena belum sah secara hukum. Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan lindung yang berada di kabupaten Pasir propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini terletak di arah timur laut Tanah Grogot, ibukota kabupaten Pasir dan berjarak ± 84 km dari Penajam.

Luas keseluruhan kawasan HLGL adalah 35.350 Ha (UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan). Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan Pasir yaitu pada tahun 1986, 1990 dan tahun 2003. Dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575 meter. Di sekitar kawasan hutan lindung terdapat 13 desa dengan 1 dusun berada dalam kawasan di 4 kecamatan.

Sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi di dan sekitar kawasan HLGL, baik yang secara legal oleh beberapa HPH di areal konsesi dan yang memiliki IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) maupun kegiatan illegal logging

yang semakin marak akhir-akhir ini. Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran dan pengetahuan sebagian masyarakat di dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).

III.2 Kondisi Fisik III.2.1 Letak dan Luas

Hutan Lindung Gunung Lumut terletak pada koordinat geografis 116o 02’ 57’’- 116o 50’ 41’’ Bujur Timur dan 01o 19’ 18’’- 01o 49’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Batu Sopang, Muara Komam, Long Ikis dan Long Kali, di bawah pengawasan Dinas Kehutanan kabupaten Pasir,


(24)

propinsi Kalimantan Timur. Peta kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hutan Lindung Gunung Lumut memiliki luas sekitar 35.350 hektar (berdasar UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan), dengan batas wilayah antara lain :

Sebelah Utara : Desa Kepala Telake

Sebelah timur : Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta

Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung

Sebelah Barat

: Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa

Prayon, Desa Long Sayo, Desa Swanslutung

III.2.2 Iklim

Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk dalam tipe iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika. Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan.

III.2.3 Hidrologi

Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. HLGL merupakan daerah tangkapan air untuk dua DAS besar di kabupaten Pasir yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) di Tanah Grogot dan DAS Telake di kecamatan Long Kali. Kedua DAS tersebut memegang peranan penting sebagai sumber persediaan air bagi 68 daerah di sekitarnya termasuk Tanah Grogot ibukota kabupaten Pasir, Batu Sopang, Muara Komam dan Long Ikis.

Beberapa sungai yang terkait dengan kawasan HLGL antara lain: Sungai Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai Telewong (panjang 3,5 km) Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya dijumpai pula anak-anak sungai yang relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan panjang bervariatif mulai dari 0,5 km – 2,0 km, diantaranya Sungai Semau, Sungai Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut, Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan, dan sebagainya.

III.2.4 Tanah dan Geologi

Menurut peta tanah eksplorasi dalam laporan orientasi batas UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan (2003), jenis tanah di kawasan HLGL adalah jenis tanah komplek


(25)

podsolik merah-kuning, latosol dan litosol dari bahan induk batuan beku endapan metamorf dengan fisiografi pegunungan patahan. Berdasarkan peta geologi propinsi Kalimantan Timur, kawasan HLGL umumnya tersusun dari batuan paleogen, pra tersier tak dibedakan dan batuan basah.

III.2.5 Bentuk Lahan dan Topografi

Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan dataran berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam 6 subsistem lahan, yakni :

1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian barat, mempunyai pola drainase trellis.

2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai pola drainase dendritik.

3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis.

4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur, terdapat di bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik.

5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah timur laut ke

barat daya, mempunyai pola drainase karstik.

6.Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat di bagian utara, mempunyai

pola drainase rectangular.

Secara umum kawasan HLGL memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8 %) dan bergelombang (8-15 %), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 Ha (45.18 %) dan 1.160 Ha (19.69 %).

III.3 Kondisi Biologi

III.3.1 Keanekaragaman Flora

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999) dalam

Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora mulai dari tingkat pertumbuhan semai sampai dengan pohon. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya juga termasuk sarang burung walet.


(26)

Kawasan HLGL memiliki keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi, diantaranya dari kelompok mamalia adalah Babi jenggot (Sus barbatus), Kijang kuning (Muntiacus atherodes), Beruang madu (Helarctos malayanus), Pelanduk napu (Tragulus napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra tangalunga), Landak raya (Hystrix brachyura), Sero ambrang (Aonys cinerea), Tupai tanah (Tupaia tana), Bajing kecil telinga-hitam (Nannosciurus melanotis), Bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis) dan masih banyak lagi. Untuk jenis mamalia primata antara lain Lutung dahi-putih (Presbytis frontata), Lutung merah (Presbytis rubicunda), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina), Kukang (Nycticebus coucang), Bekantan (Nasalis larvatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Owa kelawat ditemukan pada komunitas hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH UNMUL, 1999 dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat 2 jenis yang termasuk kategori Lower Risk (beresiko rendah) yaitu Babi jenggot (Sus barbatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri).

Untuk kelompok burung (aves), banyak sekali jenis-jenis yang terdapat dalam kawasan HLGL diantaranya jenis yang endemik di Kalimantan; Bondol kalimantan (Lonchura fuscans), Tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), Sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan Pentis kalimantan (Prionochilos xanthopygius), jenis-jenis Enggang; Julang emas (Aceros undulatus), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Enggang jambul (Aceros comatus), Enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), Julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan Rangkong gading (Buceros vigil), Kacembang gading (Irena puella), Luntur diard (Harpactes diardii), Kucica hutan (Copsychus malabaricus), Tukik tikus (Sasia abnormis), Sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos), Paok delima (Pitta granatina), Kuau raja (Argusianus argus), Elang ular (Spilornis cheela palidus), Seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya ular cincin emas (Boiga dendrophilia), Katak tanduk (Megophrys nasuta) dan lain sebagainya.

III.4 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat

Wilayah kawasan hutan Gunung Lumut sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan 1 dusun berada dalam kawasan di 4 kecamatan. Dimana batas -batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti sungai Pias,


(27)

sungai Tiwei, sungai Mului, Kesunge, dll (Saragih, 2004). Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, terkecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004)

Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik itu dari wilayah Hutan Lindung (HL) maupun dari hutan disekitar HL (hutan adat). Seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran dan daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.

Pada umumnya masyarakat desa-desa yang berada dalam dan di sekitar HLGL bekerja dalam bidang pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni et al., 2004). Jenis mata pencaharian lain yang digeluti oleh masyarakat adalah berdagang, PNS, TNI/POLRI, karyawan perusahaan serta bidang lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah penyangga kawasan HLGL (Wahyuni et al., 2004). Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada saat gagal panen), menjadi tukang ojeg motor dan buruh.


(28)

IV. METODE PENELITIAN

IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut , Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Ketiga desa tersebut adalah Desa RantauLayung, Kecamatan Rantau Buta; Dusun Muluy (Desa Swanslutung), Kecamatan Muara Komam; dan Desa Blimbing, Kecamatan Long Ikis. Pemilihan ketiga desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena dianggap mewakili desa-desa yang wilayahnya berada di dalam kawasan (Dusun Muluy), setengah wilayah desanya berada dalam kawasan tetapi pemukiman dan kebun serta ladang mereka berada diluar kawasan (Desa Rantau Layung), dan desa yang seluruh wilayah desanya berada diluar kawasan tapi masih berbatasan dengan kawasan hutan lindung (Desa Blimbing).

Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 10 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 30 Januari 2006, dengan waktu efektif di lapangan 55 hari.

IV.2 Bahan da n Peralatan

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, alat perekam suara (tape recorder) dan kamera. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa RantauLayung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing yang diasumsikan mewakili masyarakat desa sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut. Selain itu, sebagai data penunjang/pendukung bahan dan alat yang dibutuhkan antara lain demografi/monografi desa yang bersangkutan, peraturan pemerintahan yang menyangkut pengelolaan kawasan HLGL, peta kawasan HLGL, dan segala informasi lainnya yang terkait dalam pengelolaan HLGL.

IV.3 Kerangka Pemikiran

Bentuk interaksi masyarakat lokal dengan kawasan hutan dipengaruhi oleh adat dan kebudayaan mereka yang merupakan hasil dari pengalaman masa lalu. Informasi yang diberikan oleh Dinas Kehutanan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut akan disusun menjadi satu kesatuan yang mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman serta sikap mereka mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Informasi tersebut kemudian akan dinilai berdasarkan pengalaman masa lalu masyarkat yang kemudian akan membentuk persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Upaya penggalian persepsi ini dilakukan dengan mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat mengenai status kawasan dan sistem pengelolaan kawasan. Tingkat pengertian dan pemahaman masyarakat sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut (Jauhari, 1993 dalam Surata, 1993).


(29)

Untuk mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat ini digunakan metode wawancara dan observasi lapang.

Hasil wawancara dan observasi ini kemudian dianalisis dengan mereduksinya menjadi data yang lebih ringkas dan dilakukan penggolongan berdasarkan tingkat pemahaman dan sikap. Dari hasil analisis ini diharapkan dapat diketahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut.

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut

IV.4 Metode Pengumpulan Data

Sebelum melakukan pengumpulan data di masyarakat terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap masyarakat berdasarkan ketokohan mereka dalam masyarakat (perangkat desa, tokoh adat, tokoh agama, masyarakat umum). Perangkat desa, tokoh adat dan tokoh agama menjadi informan kunci yang memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat desa secara umum.Untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh dari para informan serta untuk melengkapi informasi yang masih kurang dipilih secara acak beberapa orang responden dari masyarakat umum. Secara keseluruhan jumlah informan dan responden dari ketiga desa itu berjumlah 50 orang. Klasifikasi informan dan responden dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengalaman masa lalu

Closure

Interpretasi Informasi

Kawasan Hutan Gunung Lumut Masyarakat Lokal

Pemahaman dan sikap mengenai status dan pengelolaan kawasan

Peraturan Pengelolaan Hutan Lindung Pemerintah Daerah

Perilaku Masyarakat Persepsi mengenai

pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Adat dan kebudayaan


(30)

Tabel 1 Klasifikasi Informan

Desa/Dusun

Jumlah KK

Klasifikasi informan Perangkat

desa

Tokoh adat Tokoh masyarakat

Masyarakat umum

Total Informan

Rantau Layung 54 2 2 1 15 20

Muluy 21 - 1 2 7 10

Blimbing 119 2 3 1 14 20

Jumlah 194 4 6 4 36 50

Pemilihan informan dari masyarakat umum dilakukan berdasarkan kesediaan mereka untuk menjawab pertanyaan. Perangkat desa yang berada di Dusun Muluy (RT), tidak bersedia untuk diwawancara. Luasnya wilayah desa, dan banyaknya masyarakat yang tinggal di ladang, serta sebagian masyarakat lainnya ada yang bekerja di luar desa selama menunggu masa panen juga menjadi kendala dalam memilih informan dari masyarakat umum. Daftar informan dan responden selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.

Untuk kegiatan pengumpulan data metode yang digunakan adalah: 1. Studi Pustaka dan Literatur

Dilakukan di kantor desa dan dinas kehutanan kabupaten pasir untuk mengetahui mengenai kondisi masyarakat dan kegiatan yang diperbolehkan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL). Pustaka dan literatur lain yang terkait dengan pengelolaan HLGL diperoleh dari pihak-pihak lain yang terkait (Hasil penilitian perguruan tinggi, LSM atau instansi lainnya).

2. Metode wawancara (interview)

Yaitu dengan wawancara terhadap informan kunci (perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat) untuk mendapatkan gambaran umum pemahaman masyarakat desa mengenai pengelolaan HLGL. Wawancara terhadap masyarakat desa juga dilakukan untuk melengkapi keterangan yang diberikan oleh informan kunci. Wawancara juga dilakukan terhadap instansi pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan HLGL.

3. Metode pengamatan (observation)

Dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara informasi yang diberikan oleh masyarakat dengan kegiatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun data-data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang,

yaitu:

1. Data Pokok

Merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi) dan wawancara mendalam, diantaranya:


(31)

§ Masyarakat lokal meliputi biodata (nama, umur, agama, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan mata pencaharian), lama tinggal, sejarah Gunung Lumut, pengertian dan pemahaman mengenai pengelolaan dan status Gunung Lumut, kegiatan yang mereka lakukan terkait dengan Gunung Lumut. § Pemda meliputi sejarah Gunung Lumut, pengelolaan Pemda (, visi&misi Pemda,

program yang telah dan akan dilakukan di Gunung Lumut, dll.), persepsi mengenai sistem pengelolaan dan status Gunung Lumut, interaksi dan kontribusi terhadap Gunung Lumut.

2. Data Penunjang

Data ini diambil untuk menunjang data pokok yang telah ada meliputi demografi dan monografi desa sekitar Gunung Lumut, kondisi fisik dan biologi lingkungan Gunung Lumut, data umum masing-masing pihak atau instansi yang berhubungan dengan pengelolaan Gunung Lumut serta sejarah lokasi penelitian. Data dapat diperoleh dari data umum yang dimiliki pihak terkait serta studi literatur.

IV.5 Analisis Data

Perolehan data yang berupa catatan-catatan dari hasil pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan responden yang berkompeten dan studi pustaka/literatur dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus.

Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari lapangan dengan meringkas dan menggolongkannya. Kegiatan ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga didapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir.

Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif serta ditunjang dengan bentuk-bentuk bagan dan tabel untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang telah diperoleh secara lebih terpadu. Terakhir, penarikan kesimpulan dengan melakukan verifikasi data yaitu melakukan pemikiran ulang dan peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan yang kokoh dan tepat.


(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Karakteristik Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut Kawasan hutan Gunung Lumut, jauh sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung telah didiami oleh masyarakat Suku Paser secara turun temurun. Menurut Saragih (2004) masyarakat Dayak Paser yang mendiami kawasan hutan sekitar Gunung Lumut telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi ke dalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa sekitarnya. Batas antar desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, punggung bukit atau gunung.

Akses transportasi menuju desa-desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut relatif cukup sulit, kecuali untuk desa-desa yang berada di sebelah selatan kawasan hutan lindung karena dilalui oleh jalan lintas propinsi. Untuk desa-desa yang berada di sebelah barat, timur dan utara kawasan pada umumnya jalur transportasinya berupa jalan tanah yang diperkeras dengan batu, yang pada musim penghujan sulit untuk dilalui oleh kendaraan bermotor.

Desa-desa dan dusun lokasi penelitian terletak di sebelah barat dan timur kawasan hutan Lindung Gunung Lumut. Dusun Muluy terletak di sebelah barat, Desa Blimbing dan Desa Rantau Layung berada di sebelah timur kawasan hutan lindung. V.1.1 Desa Rantau Layung

V.1.1.a Sejarah

Semula pemukiman penduduk Rantau Layung tersebar di muara Sungai Prayan dan sepanjang pinggiran Sungai Kesungai. Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Kolonial memindahkan penduduk ke daerah Long Ikis dan Batu Kajang untuk mempermudah pengaturan penduduk karena kedua daerah tersebut relatif lebih mudah diakses. Pada tahun 1940-an warga Rantau Layung kembali ke daerah mereka, namun masih tersebar di sekitar muara Sungai Prayan dan sepanjang Sungai Kesungai

Penduduk mulai hidup secara berkelompok membentuk komunitas desa pada tahun 1940-an atas perintah pemerintah Hindia-Belanda. Pada mulanya pemukiman penduduk tersebar dari muara Sungai Prayan hingga ke hilir Sungai Kesungai di Batu Sopang. Pada tahun 1990-an warga desa mulai membentuk pemukiman yang berkelompok dalam satu kawasan yang merupakan lokasi pemukiman penduduk saat ini

V.1.1.b Letak dan Luas

Desa Rantau Layung secara administrasi pemerintahan berada dalam wilayah Kecamatan Batu Sopang. Di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Dusun Muluy, sebelah barat berbatasan dengan Desa Uko dan Desa Prayon, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Buta, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Lombok.


(33)

Desa yang memiliki wilay ah seluas 18.914 hektar ini sebagian wilayah desanya berada dalam kawasan Hutan Lindung. Namun luas wilayah desa yang termasuk ke dalam kawasan hutan lindung belum diketahui secara pasti.

V.1.1.c Aksesibilitas

Akses tranportasi yang tersedia untuk menuju Desa Rantau Layung dapat ditempuh melalui jalur sungai dari Desa Batu Kajang melalui Desa Rantau Buta. Lama perjalanan dengan melalui sungai berkisar antara tiga hingga lima jam. Jalur transportasi darat juga dapat digunakan untuk mencapai desa ini melalui bekas jalan logging HPH PT. Telaga Mas yang menghubungkan desa ini dengan Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis. Namun sejak PT. Telaga Mas tidak beroperasi lagi di desa ini jalan logging tersebut tidak terawat. Topografi jalan yang curam dan melewati beberapa sungai menyebabkan jalan sulit dilalui oleh kendaraan roda empat, terutama pada musim penghujan. Terdapat enam jembatan penyeberangan sungai yang terbuat dari kayu yang harus dilalui untuk mencapai desa ini. Kondisi jembatan-jembatan tersebut saat ini sudah rusak dan seringkali terputus sehingga desa sering terisolir, terutama pada musim penghujan. Kondisi jembatan menuju Desa Rantau Layung kami tampilkan pada Gambar 4

Gambar 4 Jembatan penghubung menuju Desa Rantau Layung

Pada awal tahun 2000-an, HPH PT. Telaga Mas yang berniat untuk membuka areal konsesi di wilayah desa ini telah membuka jalan penghubung darat ke arah Desa Rantau Buta. Jalur transportasi ini relatif lebih dekat dan lebih aman dibandingkan jalur transportasi darat menuju Simpang Pait. Saat itu jalan rintisan dibuka namun belum diperkeras dengan batu, sehingga pada musim penghujan jalan menjadi berlumpur dan licin. Sejak PT. Telaga Mas tidak beroperasi lagi di desa ini jalan rintisan tersebut kembali tertutup.


(34)

V.1.1.d Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan desa, Desa Rantau Layung dihuni oleh 54 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk mencapai 214 orang. Kepadatan penduduk hanya 1,13 jiwa/km2. Suku Paser menjadi etnik yang dominan di Desa Rantau Layung. Dari 54 Kepala Keluarga yang mendiami desa ini, 47 keluarga diantaranya merupakan Suku Paser asli. Keluarga hasil perkawinan Suku Banjar dan Suku Paser sebanyak enam keluarga. Satu Keluarga lagi merupakan hasil perkawinan Suku Dayak Kapuas dengan Suku Paser. Seluruh penduduknya memeluk agama Islam, namun masih sangat dipengaruhi oleh kepercayaan nenek moyang mereka.

Tabel 2 Data Kependudukan di Tiga Desa Sekitar HLGL

No Desa/Dusun Luas

(km2)

Jumlah KK

Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk

(jiwa/km2)

Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Rantau Layung 189,13 54 118 96 214 1,13

2. Muluy 129,53 21 64 49 113 0,87

3. Blimbing 132,00 109 691 646 1337 10,13

V.1.1.e Ekonomi

Mayoritas penduduk Rantau Layung berprofesi sebagai petani peladang. Setiap tahunnya, tiap kepala keluarga membuka ladang seluas 0,25-2 ha untuk ditanami padi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama setahun ke depan. Padi yang dihasilkan hanya untuk dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual. Tidak setiap tahun penduduk mengolah ladang. Beberapa keluarga yang merasa bahwa panen-panen mereka tahun sebelumnya masih mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka tahun berikutnya terkadang memilih untuk melakukan pekerjaan lainnya. Kepala desa Rantau Layung pada saat penelitian dilakukan memilih untuk tidak membuka ladang karena merasa kebutuhan sehari-harinya dapat dipenuhi dari honor sebagai kepala desa, selain itu hasil panen tahun-tahun sebelumnya masih mencukupi kebutuhan keluarganya. Beberapa orang penduduk Rantau Layung membuka warung sebagai usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Dua dari pengusaha warung ini memilih untuk tidak membuka ladang pada tahun ini karena mereka merasa kebutuhan berasnya masih mencukupi, selain itu mereka ingin lebih serius untuk mengembangkan usaha dagang mereka. Mereka bertindak sebagai pengumpul hasil kebun masyarakat desa lainnya, seperti rotan atau daging hewan buruan, untuk mereka jual ke Rantau Buta atau Batu Kajang. Selain itu terdapat seorang penduduk Rantau Layung yang bermukim di Desa Rantau Buta yang benar-benar berprofesi sebagai pedagang.

Sejak akhir dekade 1990-an masyarakat Desa Rantau Layung memanfaatkan kayu yang berada di wilayah desanya, baik itu yang berasal dari kebun mereka ataupun hutan adat mereka untuk dijual ke cukong-cukong kayu di luar desa mereka. Kayu-kayu


(35)

hasil tebangan itu, ada yang dijual oleh mereka ke Batu Kajang dan Rantau Buta dengan cara mengangkutnya melalui jalur sungai ada juga yang mereka taruh di pinggir jalan logging untuk kemudian diambil oleh para pembelinya langsung. Karena wilayah hutan adat mereka termasuk dalam kawasan hutan lindung, maka sejak tahun awal tahun 2005 kegiatan penjualan kayu yang berasal dari hutan adat dihentikan oleh masyarakat. Mantan kepala desa sebelumnya merupakan salah satu pelaku kegiatan penebangan kayu yang paling aktif. Hasil dari kegiatannya itu mampu mencukupi kebutuhan keluarganya hingga saat ini sehingga dia merasa tidak perlu untuk membuka ladang. Salah satu alasan pengunduran dirinya sebagai kepala desa adalah karena pernah terlibat dalam kegiatan illegal logging di kawasan hutan lindung, namun tuduhan ini tidak dapat dibuktikan.

Selain dari hasil pertanian (ladang dan kebun) dan hasil hutan kayu, penduduk Rantau Layung juga memungut hasil hutan non kayu untuk menambah penghasilan mereka. Daging hewan buruan dan madu selain untuk dikonsumsi sendiri, juga mereka jual ke desa-desa tetangga, atau tamu-tamu yang datang mengunjungi desa mereka (peneliti, pegawai dinas kabupaten, dll).

Hasil kebun penduduk Rantau Layung yang bisa mereka jual diantaranya adalah rotan, karet, buah-buahan dan kopi. Saat ini karena harga kopi semakin rendah, dan mutu kopi produksi desa ini kalah bersaing dengan kopi-kopi dari luar sehingga hampir semua penduduk tidak merawat kebun kopi mereka lagi. Mereka beralasan tenaga yang mereka keluarkan tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Rotan merupakan komoditas utama mereka saat ini. Meskipun mereka mengeluhkan harganya yang rendah (Rp. 7000/bal), namun mereka tetap memanen rotan-rotan dari kebun mereka karena itulah satu-satunya hasil kebun mereka yang dapat menghasilkan uang saat ini. Budidaya karet baru mereka lakukan saat ini. Sebelum orang Banjar masuk ke Desa Rantau Layung, penduduk asli belum memiliki kemampuan untuk menyadap karet. Dengan bermukimnya beberapa orang Banjar di desa mereka, beberapa orang penduduk sudah mulai bisa menyadap karetnya sendiri.

Pada musim-musim tertentu, ketika hasil pertanian mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, atau ketika mereka membutuhkan uang untuk sesuatu yang sangat penting, penduduk Rantau Rayung terkadang menambang emas secara tradisional di sungai-sungai sekitar desa mereka. Penambangan emas ini dilakukan harus dengan seizin dari ketua adar desa itu.

Berdasarkan hasil penelitian Tim Sosek dari kegiatan Ekspedisi di Hutan Lindung Gunung Lumut yang diprakarsai oleh Tropenbos Internasional Indonesia diperoleh data mengenai pengeluaran masyarakat untuk Desa Rantau Layung per tahunnya mencapai Rp. 16.341.900 per tahun per keluarga. Besarnya jumlah pengeluaran dari penduduk Rantau Layung ini dikarenakan Pak Abad, yang bermukim di Rantau Buta dan berprofesi sebagai pedagang dimasukkan dalam responden yang dipilih oleh tim sosek.


(36)

V.1.1.f Fasilitas umum

Fasilitas publik yang tersedia di desa ini antara lain masing-masing satu unit bangunan SD dan rumah dinas guru, mushalla, rumah dinas untuk ketua adat dan kepala desa, satu unit penggilingan padi dan yang sedang dibangun saat ini adalah kantor desa. Penggilingan padi hanya beroperasi pada akhir minggu. Tiap penduduk yang menggiling padi dikenai biaya sepersepuluh dari jumlah padi yang mereka giling untuk biaya operasional mesin. Listrik belum mencapai desa ini, kecuali yang berasal dari generator milik desa dan milik pribadi masing-masing penduduk. Jaringan listrik dibangun untuk menghubungkan antara generator desa dengan rumah-rumah penduduk. Namun rumah-rumah yang berada paling sebelah selatan desa belum tersambung dengan jaringan ini. Untuk memperoleh listrik setiap keluarga harus membayar Rp. 7000 per malamnya. Karena mahalnya iuran ini tidak setiap malam penduduk menyambung listrik ke rumahnya. Umumnya penduduk akan berkumpul pada malam hari di rumah-rumah penduduk yang memiliki TV dan parabola. Saat ini ada sepuluh keluarga yang sudah memiliki TV, tetapi hanya lima orang yang memiliki parabola. Fasilitas komunikasi tidak tersedia di desa ini.

Gambar 5 Bangunan SD di Desa Rantau Layung

Fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau posyandu tidak terdapat di desa ini. Pada musim-musim kering, ketika jalur transportasi darat dapat dilalui mobil, sebulan sekali Puskesmas Keliling dari Kecamatan Long Ikis mendatangi desa ini untuk memberikan pelayanan kesehatan.

Sungai Kesungai merupakan sumber air utama bagi penduduk Rantau Layung. Mereka menggunakannya untuk mandi, mencuci sekaligus untuk air minum. Tidak terdapat fasilitas kakus di dusun ini, sehingga masyarakat membuang hajatnya di sungai ini juga. Ada beberapa sungai kecil yang mereka bendung sebagai sumber air minum, namun bila hujan tidak turun seminggu, sumber air ini mengering.

V.1.1.g Pendidikan

Desa Rantau Layung hanya memiliki fasilitas pendidikan untuk tingkat SD. Tenaga pengajarnya juga kurang memadai. Desa Rantau Layung memiliki 3 tenaga pengajar, 2 orang telah diangkat sebagai pegawai negeri sedang yang seorang lagi masih tenaga honorer. Karena para tenaga pengajar tersebut tidak membawa keluarga mereka, maka waktu mengajar mereka tidak selalu efektif selama satu bulan. Mereka sering izin pulang secara


(37)

bergantian, namun sering juga bersamaan, sehingga sekolah sering diliburkan. Jumlah murid SD di Desa Rantau Layung tidak lebih dari 50 siswa yang tersebar di 6 kelas.

Salah seorang warga Rantau Layung saat ini sedang mengikuti pendidikan perguruan tinggi di Tana Grogot dengan bantuan biaya dari desa. Lulusan SMU ada lima orang, dan yang lulus SMP ada tiga orang. Selebihnya hanya mengenyam bangku pendidikan SD bahkan ada beberapa orang yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal. Bentuk bangunan SD yang berada di Desa Rantau Layung kami tampilkan pada Gambar 5.

V.1.2 Dusun Muluy V.1.2.a Sejarah

Gambar 6 Sejarah pemukiman Dusun Muluy

Menurut penuturan dari wakil ketua adat Dusun Muluy, Masyarakat Muluy pada mulanya hidup berpencar di kaki Gunung Lumut dan di pinggiran Sungai Muluy. Pada tahun 1970-an, ketika HPH PT. Telaga Mas mulai beroperasi di sekitar kawasan Gunung Lumut dibentuk pula suatu desa transmigrasi yang selain menampung para pekerja perusahaan juga menyediakan perumahan untuk Suku Paser. Desa ini terletak di KM 70 jalan logging HPH PT. Telaga Mas

Namun tidak semua Suku Paser Muluy bersedia untuk menyatu dengan suku lainnya yang ada di Desa Swanslutung. Akhirnya Suku Paser Muluy yang tidak mau bergabung tersebut kembali mendiami kampong lama mereka di sekitar Sungai Muluy. Sebelum mendiami lokasi Dusun Muluy yang sekarang ini, masyarakat Muluy beberapa kali berpindah lokasi perkampungan. Selain di sekitar Sungai Muluy mereka sempat bermukim di kaki Gunung Lumut untuk kemudian pindah lagi ke Gunung Janas. Sejarah perpindahan pemukiman Dusun Muluy dapat dilihat pada Gambar 6.


(38)

Dinas Sosial Kabupaten Pasir, dalam rangka program Komunitas Adat Terpencil, menawarkan kepada masyarakat Muluy untuk membangun rumah dengan biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Tujuannya adalah agar masyarakat Muluy dapat terkumpul dalam satu lokasi, sehingga program penyuluhan kepada masyarakat dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Letak pemukiman ditentukan oleh keinginan penduduk. Pada waktu itu terdapat dua pilihan lokasi, yang pertama terletak di tepi Sungai Muluy, yang merupakan kampung Muluy sebelumnya, namun jauh dari jalan transportasi utama. Pilihan yang kedua adalah di bekas tempat penimbunan kayu milik HPH PT. Telaga Mas yang berada di pinggir jalan logging, namun jauh dari sumber air. Berdasarkan hasil musyawarah antar penduduk Muluy, mereka memlih untuk membangun pemukiman yang lebih dekat ke jalur transportasi, di bekas tempat penimbunan kayu HPH PT. Telaga Mas, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.

Letak lokasi pemukiman yang berada dalam kawasan hutan lindung tidak diketahui oleh penduduk Muluy. Saat itu mereka belum mengetahui mengenai status hutan lindung. Dinas Sosial yang mengetahui bahwa lokasi penampungan tersebut berada dalam kawasan hutan lindung tidak melakukan koordinasi ulang dengan pihak Dinas Kehutanan karena beranggapan bahwa pembangunan perumahan untuk masyarakat Muluy telah disetujui oleh Bupati.

Pada tahun 2001 penduduk Muluy telah menempati rumah baru mereka. Kayu untuk bahan bangunan sebagian diambil dari hutan adat Muluy, sebagian lainnya disediakan oleh pihak kontraktor. Penduduk Muluy juga dilibatkan dalam pembangunan perumahan tersebut dengan upah Rp. 350 ribu untuk tiap unit rumah yang mereka bangun. Jumlah bangunan yang selesai pada waktu itu 52 unit. Namun saat ini dua unit telah dibongkar untuk menambah luas unit bangunan lainnya. Dan dari 50 unit rumah yang ada saat ini, hanya 48 unit yang dimanfaatkan, sedang 2 unit lainnya dibiarkan kosong, karena pemilik sebelumnya telah meninggal dunia.

V.1.2.b Letak dan Luas

Secara administratif Dusun Muluy berada dalam wilayah pemerintahan Desa Swanslutung, Kecamatan Muara Komam. Dusun ini berbatasan dengan Desa Muarapayang dan Desa Kepala Telake di sebelah utara. Di sebelah baratnya berbatasan dengan Desa Swanslutung, desa induk dusun ini. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Layung dan Desa Long Sayo dan di sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Pinang Jatus.

Luas keseluruhan wilayah dusun ini 12.953 hektar. Data mengenai luas dusun Muluy didasarkan pada pengakuan wakil ketua adat Dusun Muluy yang di dasarkan pada peta wilayah adat Kampung Muluy yang dibuat bersama Yayasan PADI. Luas itu mencakup wilayah pemukiman, ladang dan kebun serta wilayah hutan adat milik masyarakat Muluy .


(39)

Gambar 7 Perumahan Dusun Muluy

V.1.2.c Aksesibilitas

Dusun Muluy terletak pada KM 61 jalan logging HPH PT. Telaga Mas. Jalan logging ini menghubungkan Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis dengan Desa Swanslutung, yang merupakan desa induk daru Dusun Muluy. Kondisi jalan ini cukup baik dan terawat karena masih dimanfaatk oleh PT. Rizki Kacida Reana. Pada musim penghujan jalan menjadi licin, tapi masih dapat dilalui oleh kendaraan bermotor.

Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai Dusun Muluy dari Kota Balikpapan sekitar enam jam dengan menggunakan mobi. Dari Kecamatan Long Ikis waktu yang dibutuhkan sekitar dua jam. Untuk mencapai desa induk Swanslutung waktu yang dibutuhkan adalah satu setengah jam dengan menggunakan sepeda motor. Penduduk Muluy umumnya menggunakan sepeda motor untuk menuju ke Desa Swanslutung atau ke Kecamatan Long Ikis

V.1.2.d Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan yang dipegang oleh wakil ketua adat, Dusun Muluy dihuni oleh 21 KK dengan jumlah penduduk mencapai 113 jiwa. Berdasarkan administrasi pemerintahan, dusun ini terletak pada RT 8, Desa Swanslutung. Seluruh penduduknya merupukan Suku Paser Muluy. Terdapat sepasang suami istri suku Banjar yang menjadi guru di SD Muluy. Seluruh penduduknya memeluk agama Islam, namun pengaruh kepercayaan nenek moyang mereka masih sangat kuat.

V.1.2.e Ekonomi

Seluruh penduduk Muluy bermatapencaharian sebagai petani ladang. Penduduk yang telah berkeluarga biasanya membuka lahan untuk dijadikan ladang setiap 1-2 tahun sekali. Kondisi topografi sekitar desa yang berbukit-bukit menyebabkan ladang penduduk berada di lereng bukit sehingga hasilnya kurang maksimal. Penduduk yang belum berkeluarga ikut membantu keluarga mereka yang telah berkeluarga untuk mengolah


(40)

ladang. Beberapa orang pemuda bekerja sebagai pegawai kontrakan di perusahaan kayu. Biasanya mereka bekerja untuk jangka waktu 4-8 bulan.

Hasil ladang mereka hanya untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk mendapatkan penghasilan mereka menjual binatang buruan, madu, gaharu dan buah-buahan. Namun saat ini gaharu semakin sulit mereka temukan, sehingga mereka sudah sangat jarang menjualnya. Rotan tidak termasuk dalam hasil kebun yang mereka jual karena usia kebun rotan mereka masih sangat muda. Kebun rotan peninggalan orang-orang tua dulu telah hancur ketika pembangunan HTI untuk tanaman sengon mengambil lahan kebun rotan mereka.

Binatang buruan sebagian besar mereka konsumsi sendiri. Bila mereka benar-benar membutuhkan uang tunai, atau pada saat jebakan mereka menghasilkan banyak buruan dan tidak mungkin untuk dihabiskan sendiri barulah mereka menjual daging buruan. Pada musim paceklik, penduduk Muluy mencari emas di sungai-sungai sekitar pemukiman mereka, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun hal itu perlu dimusyarawahkan dulu oleh penduduk kampung dan atas seizin ketua adat.

V.1.2.f Fasi litas umum

Fasilitas umum yang tersedia di Dusun Muluy antara lain satu unit gedung SD bantuan dari Depdiknas, satu unit televisi dan parabola, dua unit kamar mandi/WC, mushalla, balai pertemuan dan satu unit genset pembangkit listrik. Fasilitas TV dan parabola diletakkan di gedung sekolah dan pada malam hari penduduk berkumpul di sekolah untuk menonton acara tv. Untuk mengoperasikan genset, Dusun Muluy mendapatkan bantuan satu drum solar tiap bulannya dari HPH PT. Rizki Kacida Reana.

Fasilitas kamar mandi/WC sangat jarang digunakan oleh penduduk Muluy. Air untuk WC hanya bersumber dari tadahan air hujan sehingga bila hujan tidak turun WC tidak dapat digunakan. WC hanya dimanfaatkan oleh pengunjung yang datang ke desa ini. Penduduk umumnya memanfaatkan Sungai Muluy dan Sungai Lelam sebagai sumber air untuk mandi dan minum.

Saat ini, dengan bantuan dari PADI, sedang direncanakan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air yang memanfaatkan air terjun yang berada di Sungai Muluy. Selain itu, dari pemerintahan kabupaten, Dusun Muluy mendapatkan bantuan program air bersih. Namun bentuk programnya, hingga penelitian ini selesai dilakukan belum menemukan solusi yang tepat, apakah memompa dari Sungai Lelam atau menggunakan bak-bak penampungan air untuk menampung air hujan.

V.1.2.g Pendidikan

Fasilitas pendidikan yang ada di Dusun Muluy hanya untuk tingkat SD saja. SD ini baru beroperasi sekitar dua tahun yang lalu. Namun dengan program akselerasi, saat ini SD tersebut telah memiliki empat tingkatan kelas. Jumlah murid 18 siswa, dengan dua orang tenaga pengajar.


(41)

Penduduk Muluy hampir semuanya tidak mengikuti pendidikan formal. Pendidikan Kejar Paket C pernah diadakan di dusun Muluy, namun tidak semua penduduk mengikutinya.

V.1.3 Desa Blimbing V.1.3.a Sejarah

Suku Paser mulai mendiami wilayah Desa Blimbing sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1965, ketika pemberontakan PKI berkobar, oleh pihak militer desa ini sempat dikosongkan untuk mempermudah pemerintah dalam menumpas pemberontakan tersebut. Hampir semua masyarakat Desa Blimbing mengungsi ke Kecamatan Long Ikis. Ketika pemberontakan telah berhasil diberantas, pada tahun 1970 penduduk mulai kembali ke desa mereka. Penduduk desa ini pada awalnya merupakan keturunan Suku Paser dari desa Pinang Jatus dan hidup menyebar sepanjang Sungai Blimbing. Namun dengan terbukanya akses jalan banyak Suku Paser dari desa-desa lain mulai mencari peruntungan mereka di desa ini.

Pada tahun 1997, karena sedikitnya jumlah penduduk, pemerintah Kabupaten Pasir memberikan opsi kepada Desa Blimbing untuk bersatu dengan Desa Tiwei atau menerima program transmigrasi. Saat itu syarat untuk membentuk suatu desa adalah memiliki minimal 50 kk. Masyarakat Desa Blimbing memilih untuk menerima program transmigrasi dan menyediakan lahan khusus di Dusun Masempa untuk pemukiman transmigran. Pada tahun itu transmigran yang datang berjumlah 125 KK. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah dusun di desa ini bertambah menjadi tiga dusun. Ketiga dusun tersebut adalah Dusun Kondis, Dusun Lumbang dan Dusun Marosempa. Yang disebut terakhir adalah dusun yang diperuntukkan khusus untuk transmigran.

V.1.3.b Letak dan Luas

Desa Blimbing secara administratif terletak dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Long Ikis. Di sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, sebelah utara dengan Desa Muara Pias, sebelah selatan dengan Desa Tiwei, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Munggu.

Pada tahun 2003, hutan desa yang berada di Bukit Kondis seluas 500 ha dijadikan sebagai hutan reboisasi oleh Dinas Kehutanan. Oleh masyarakat Desa Blimbing hutan reboisasi ini dianggap sebagai hutan lindung.


(1)

dalam pengelolaan hutan lindung ke depan memperhatikan hak-hak adat tiap desa yang wilayahnya termasuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut.

- Masyarakat Belimbing yang interaksinya dengan masyarakat luar lebih intensif dan kegiatan ekonominya lebih berkembang, mempersepsikan kegiatan pengelolaan hutan lindung sebagai upaya melestarikan kawasan hutan Gunung Lumut agar kondisi lingkungan tetap baik. Mereka memandang kegiatan pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut dilakukan oleh petugas khusus dengan wilayah kerja diberi batas-batas yang jelas. Karena di desa mereka tidak ada tanda yang menunjukkan batas hutan lindung dan tidak ada petugas yang pernah memberikan penjelasan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut secara khusus kepada mereka, masyarakat Blimbing beranggapan desa mereka tidak termasuk atau berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut.

VI.2 Saran

Penyusunan rencana pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut agar secepatnya dapat terealisasi dengan memperhatikan keinginan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan. Pembentukan semacam Badan Pengelola Hutan Lindung Gunung Lumut selain diisi oleh staf Dinas Kehutan Kabupaten Pasir perlu juga melibatkan para pihak yang memiliki kepentingan dengan HLGL, terutama masyarakat desa sekitar kawasan. Pembagian hutan lindung ke dalam blok-blok pengelolaan yang disesuaikan dengan batas wilayah adat antar desa patut dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan hutan lindung.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aipassa, M. 2004. Nilai Ekologi dan Hidrologi Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan Permasalahan Serta Ancamannya. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.

Dirjen PHKA. 2004. Kumpulan Peraturan Perundangan Terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Buku II). Dirjen PHKA & JICA. Jakarta.

Hasansulama, M.I; E. Mahmudin & T.J Sugarda. 1983. Sosiologi Pedesaan. Departemen Pendidikan Dan kebudayaan. Jakarta.

Hasibuan, S.H. 1995. Studi Pola Hidup Masyarakat Desa Sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

MoF-Tropenbos Kalimantan Programme. 2004. Analisis Stakeholder di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (Muluy, Pinang Jatus, Kepala Telake, Perkuwen, Rantau Layung dan Muara Lambakan, kabupaten Pasir Kalimantan Timur). MoF-Tropenbos Kalimantan Programme. Balikpapan.

Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia, Refleksi dan Prospek. Yayasan Adi Sanggoro. Bogor.

Nooryashini, S.J.; E. Wetik & I. Suryadi. 2004. Identifikasi dan Kajian Awal Mengenai Stakeholder di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan Sekitarnya, kabupaten Pasir Kalimantan Timur. TBI Indonesia. Balikpapan.

Pranowo, H.A. 1985. Manusia dan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sadli, S. 1976. Perserpsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. UI-Press. Jakarta. Saragih, B. 2004. Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Bagi

Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Pasir. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.

Soekanto, S. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar. CV. Rajawali. Jakarta.

Soekmadi, R. 1987. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pencari Kayu Bakar di Taman Nasional Baluran. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Bandung.

Surata, S.P.K. 1993. Persepsi Seniman Lukis Tradisi Bali Terhadap Konservasi Burung. Tesis. Pascasarjana Jurusan Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(3)

Suratmo, F.G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi IPB. Bogor.

Tungabdi, R. 1997. Persepsi dan Motivasi Kelompok Pecinta Alam Bogor-jakarta Terhadap Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan. 2003. Hasil Orientasi Batas Kawasan Hutan di Kelompok Hutan Lindung Gunung Lumut Dinas Kehutanan kabupaten Pasir. Laporan. UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan. Balikpapan.

Wahyuni, T.; Suryanto; Amblani & S. Utari. 2004. Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Hutan Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda.

Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). ANDI. Yogyakarta.

Wibowo, S. 1987. Persepsi Pengunjung Tentang Lingkungan Rekreasi dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya Studi di Taman Mini Indonesia Indah dan Kebun Raya Cibodas. Tesis. Pascasarjana Jurusan Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(4)

Lampiran 1 Peta Hutan Lindung Gunung Lumut


(5)

Lampiran 2. Daftar Informan dan Responden yang diwawancarai di desa/dusun sekitar kawasan

No. Nama Umur Pekerjaan Suku Keterangan

1 Informan A-RL 58 Tani Pasir Ketua Adat

2 Informan B-RL 56 Tani Pasir Wakil Ketua Adat

3 Informan C-RL 30 Perangkat Desa Pasir Kepala Desa

4 Informan D-RL 30 Tani Pasir Ketua RT

5 Informan E-RL 52 Tani Pasir Mantan Sekdes

6 Responden ARL 28 Tani Pasir Masyarakat umum

7 Responden BRL 37 Tani Pasir Masyarakat umum

8 Responden CRL 45 Dagang dan Tani Pasir Masyarakat umum

9 Responden DRL 36 Tani Pasir Masyarakat umum

10 Responden ERL 31 Tani Banjar Masyarakat umum

11 Responden FRL 46 Tani Dayak Masyarakat umum

12 Responden GRL 48 Tani Pasir Masyarakat umum

13 Responden HRL 49 Tani Pasir Masyarakat umum

14 Responden IRL 30 Tani Pasir Masyarakat umum

15 Responden JRL 36 Dagang dan Tani Pasir Masyarakat umum

16 Responden KRL 33 Tani Banjar Masyarakat umum

17 Responden LRL 36 Dagang dan Tani Pasir Mantan Ketua RT

18 Responden MRL 45 Tani Pasir Masyarakat umum

19 Responden NRL 45 Dagang dan Tani Pasir Masyarakat umum

20 Responden ORL 27 Tani Banjar Masyarakat umum

21 Informan A-M 42 Tani Pasir Wakil Ketua Adat

22 Informan B-M 50 Tani Pasir Tokoh masyarakat

23 Informan C-M 38 Tani Pasir Tokoh Masyarakat

24 Responden AM 60 Tani Pasir Masyarakat umum

25 Responden BM 38 Tani Pasir Masyarakat umum

26 Responden CM 35 Tani Pasir Masyarakat umum

27 Responden DM 43 Tani Pasir Masyarakat umum

28 Responden EM 45 Tani Pasir Masyarakat umum

29 Responden FM 50 Tani Pasir Masyarakat umum

30 Responden GM 48 Tani Pasir Masyarakat umum

31 Informan A-B 43 Tani Pasir Ketua Adat

32 Informan B-B 34 Tani Pasir Bendahara Adat

33 Informan C-B 64 Tani Pasir Wakil Ketua Adat

34 Informan D-B 35 Tani Pasir Kepala Desa

35 Informan E-B 35 Tani Pasir Sekertaris Desa

36 Informan F-B 59 Tani Pasir Tokoh Masyarakat

37 Responden AB 35 Tani Pasir Masyarakat umum

38 Responden BB 36 Tani Pasir Masyarakat umum

39 Responden CB 31 Tani Pasir Masyarakat umum

40 Responden DB 65 Tani Pasir Masyarakat umum

41 Responden EB 30 Tani Pasir Masyarakat umum

42 Responden FB 49 Tani Pasir Masyarakat umum

43 Responden GB 58 Tani Pasir Masyarakat umum

44 Responden HB 54 Tani Pasir Masyarakat umum

45 Responden IB 33 Tani Pasir Masyarakat umum

46 Responden JB 25 Tani Pasir Masyarakat umum

47 Responden KB 36 Tani Pasir Masyarakat umum

48 Responden LB 37 Tani Pasir Masyarakat umum

49 Responden MB 35 Tani Pasir Masyarakat umum


(6)

Lampiran 3 Daftar Pertanyaan yang Diajukan Kepada Para Informan 1. Masyarakat Desa

• Sejarah desa

• Data kependudukan dan luas desa • Mata pencaharian penduduk desa

• Ketentuan adat (terutama yang terkait dengan lingkungan) • Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)

• Interaksi masyarakat desa dengan hutan (hutan adat maupun HLGL) • Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat

• Kegiatan pengelolaan HLGL yang pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan • Kegiatan perusahaan swasta yang pernah beroperasi di Desa tersebut

• Kegiatan yang pernah dilakukan oleh pihak lain di desa terkait dengan pengelolaan HLGL

• Pengetahuan mengenai status HLGL • Pengetahuan mengenai fungsi HLGL

• Permasalahan yang timbul dengan keberadaan HLGL • Potensi HLGL

• Harapan dan saran mengenai pengelolaan HLGL 2. Dinas Kehutanan

• Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)

• Kegiatan pengelolaan yang pernah dan akan dilakukan di HLGL (penataan batas, perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, rehabilitasi lahan, dan pemberdayaan masyarakat)

• Kerjasama yang pernah dan akan dilakukan terkait dengan pengelolaan HLGL • Permasalahan dan kendala dalam kegiatan pengelolaan HLGL