Uji Aktivitas Antioksidan dan Penentuan Kandungan Fenolik Total Pada Pakkat (Calamus caesius Blume.)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pakkat (Calamus caesius Blume.)
Pakkat adalah makanan tradisional khas Mandailing yang diambil dari
bagian dalam rotan muda. Pakkat akan terasa sedikit kelat dan pahit di lidah,
justru itu yang membuat banyak orang ketagihan dan dapat dinikmati bersama
kecap, jeruk nipis, bawang dan cabai yang digiling. Biasanya untuk mengolah
pakkat, rotan muda ini terlebih dahulu dibakar di atas arang kurang lebih 15 menit
atau sampai rotan muda melembek. Kemudian, kulit bagian luarnya dikupas
dengan pisau dan daging rotan berwarna putih itulah yang biasanya dipotongpotong dengan ukuran sekitar 10 cm dan siap untuk disajikan. Makanan yang satu
ini dapat dipercaya sebagai pembangkit nafsu makan pada saat berbuka puasa
ataupun sahur serta dapat menyembuhkan berbagai penyakit diantaranya kencing
manis dan malaria (Harrist, 2014).
Menurut Herbarium Medanense (2015), klasifikasi pakkat adalah sebagai
berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi


: Spermatophyta

Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Arecales

Famili

: Arecaceae

Genus

: Calamus

Spesies


: Calamus caesius Blume.

5
Universitas Sumatera Utara

2.1.1 Deskripsi Rotan
Rotan berasal dari bahasa Melayu yang berarti tanaman yang tumbuh
memanjat dan termasuk dalam suku pinang-pinangan atau Arecaceae. Batang

beruas yang bagian tengahnya berisi dan tidak berongga seperti bambu. Rotan
umumnya dibedakan berdasarkan ukuran diameter batangnya. Daun rotan
umumnya bersifat menyirip, berduri mulai dari pelepah, tangkai dan tulang daun.
Kematangan buah biasanya ditandai oleh suatu perubahan dari warna sisik.
Tanaman rotan pada umumnya tumbuh berumpun dan mengelompok, maka umur
dan tingkat ketuaan rotan yang siap dipanen berbeda. Tanda-tanda rotan yang
siap dipanen adalah daun dan durinya sudah patah, warna durinya berubah
menjadi hitam atau kuning kehitam-hitaman dan sebagian batangnya sudah tidak
dibalut oleh pelepah daun (Jasni., dkk, 2012; Sinambela, 2011)
2.1.2 Tempat Tumbuh dan Penyebaran Rotan

Tempat tumbuh rotan pada umumnya di daerah tanah berawa, tanah
kering, hingga tanah pegunungan. Semakin tinggi tempat tumbuh semakin jarang
dijumpai jenis rotan. Tanaman yang tumbuh dan merambat pada suatu pohon akan
memiliki tingkat pertumbuhan batang yang lebih panjang dan jumlah batang dalam
satu rumpun lebih banyak dibandingkan dengan rotan yang menerima sedikit cahaya
matahari akibat tertutup oleh cabang, ranting dan daun pohon (Sinambela, 2011).

2.1.3 Pemanfaatan Rotan
Batang rotan yang sudah tua banyak dimanfaatkan untuk bahan baku
kerajinan dan perabot rumah tangga. Rotan tidak hanya dimanfaatkan sebagai
bahan baku industri furniture tetapi juga sebagai makanan. Batang yang muda
digunakan untuk sayuran, akar dan buahnya untuk bahan obat tradisional. Getah

6
Universitas Sumatera Utara

rotan dapat digunakan untuk bahan baku pewarnaan pada industri farmasi
(Dransfield dan Manokaran, 1983).

2.2 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam efek
negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya
kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan
tersebut dapat dihambat. Antioksidan bermanfaat dalam mencegah kerusakan
oksidatif yang disebabkan radikal bebas dan ROS sehingga mencegah terjadinya
berbagai macam penyakit seperti penyakit kardiovaskuler, jantung koroner,
kanker serta penuaan dini. Penambahan antioksidan ke dalam formulasi makanan,
juga efektif mengurangi oksidasi lemak yang menyebabkan ketengikan, toksisitas
dan destruksi biomolekul yang ada dalam makanan (Ramadhan, 2015).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok,
yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier (Winarsi, 2007).
a. Antioksidan Primer (Antioksidan Endogenus)
Antioksidan primer disebut sebagai antioksidan enzimatis. Suatu senyawa
dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hidrogen
secara cepat kepada radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera
berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer bekerja dengan
cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal
bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Winarsi, 2007).
Sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal
bebas, dengan cara memutus reaksi berantai, kemudian mengubahnya menjadi


7
Universitas Sumatera Utara

produk yang lebih stabil. Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga dengan
chain-breaking-antioxidant (Winarsi, 2007).
b. Antioksidan Sekunder (Antioksidan Eksogenus)
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau nonenzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini juga disebut sebagai sistem
pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa oksigen
reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya.
Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen non-nutrisi dan komponen
nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. Kerja sistem antioksidan non-enzimatis
yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau
dengan cara menangkapnya. Akibatnya, radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler (Winarsi, 2007).
Antioksidan non-ezimatik dapat berupa antioksidan alami maupun sintesis.
Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E,
karotenoid, senyawa fenolik dan polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid, turunan asam sinamat, kuomarin, tokoferol dan asam-asam organik
polifungsional. Sebagai contoh, vitamin C memilki sifat antioksidan yang baik

sehingga dapat berperan dalam menghambat oksidasi yang berlebihan dalam
tubuh serta meningkatkan sistem imun tubuh (Ramadhan, 2015). Golongan
flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol
(kuersetin), isoflavon, katekin dan kalkon (Kumalaningsih, 2006)
c. Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan
metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan

8
Universitas Sumatera Utara

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007). Khasiat
antioksidan untuk mencegah berbagai penyakit akibat pengaruh oksidatif akan
lebih efektif jika kita mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang kaya
akan antioksidan dan berbagai jenis daripada menggunakan antioksidan tunggal.
Senyawa yang menjadi sumber antioksidan pada tumbuhan adalah senyawa
fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan seperti pada kayu, biji, buah,
akar, bunga, daun, maupun batang (Zuhra, dkk., 2008).

2.3 Senyawa Fenolik

Fenol adalah senyawa dengan gugus OH yang terikat pada cincin
aromatik. Fenolik merupakan metabolit sekunder yang tersebar dalam tumbuhan.
Senyawa fenolik dalam tumbuhan dapat berupa fenol sederhana, antraquinon,
asam fenolik, kumarin, flavonoid, lignin dan tanin (Harborne, 1987). Senyawa
fenolik secara struktural berhubungan dengan flavonoid dan berfungsi sebagai
bahan awal (precursor) biosintesis flavonoid. Senyawa fenolik ini secara luas
dalam tumbuhan dan telah dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan (Rohman,
2015). Senyawa fenol merupakan kelas utama antioksidan yang berada dalam
tumbuh-tumbuhan. Kandungan senyawa fenolik banyak diketahui sebagai
terminator radikal bebas dan pada umumnya kandungan senyawa fenolik
berkorelasi positif terhadap aktivitas antiradikal (Marinova dan Batcharov, 2011).
Polifenol berperan penting dalam stabilisasi oksidasi lipid dan berhubungan
langsung dengan aktivitas antioksidan (Huang, dkk., 2005).
Salah satu antioksidan alami yaitu asam galat. Asam galat termasuk dalam
senyawa fenolik dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Estimasi

9
Universitas Sumatera Utara

kandungan fenolik total dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi FolinCiocalteau. Metode ini berdasarkan kekuatan mereduksi dari gugus hidroksi

fenolik. Semua senyawa fenolik termasuk fenol sederhana dapat bereaksi dengan
reagen Folin-Ciocalteau. Kandungan fenolik total dalam tumbuhan dinyatakan
dalam GAE (gallic acid equivalent) yaitu jumlah kesetaraan miligram asam galat
dalam 1 gram sampel (Huang, dkk., 2005).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Asam Galat

2.4 Spektrofotometri UV-Visible
Metode spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak (visible) telah
banyak diterapkan untuk penetapan senyawa-senyawa organik yang umumnya
dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Dalam
suatu larutan, gugus molekul yang dapat mengabsorpsi cahaya dinamakan gugus
kromofor. Molekul-molekul yang hanya mengandung satu gugus kromofor dapat
mengalami perubahan pada panjang gelombang. Molekul yang mengandung dua
gugus kromofor atau lebih akan mengabsorpi cahaya pada panjang gelombang
yang hampir sama dengan molekul yang hanya mempunyai satu gugus kromofor
tertentu, tetapi intensitas absorpsinya adalah sebanding dengan jumlah kromofor
yang ada (Triyati, 1985).

10

Universitas Sumatera Utara

Spektrofotometri pada dasarnya terdiri dari sumber sinar, monokromator,
sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat.
Spektrofotometri serapan merupakan metode pengukuran serapan radiasi
elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu yang diserap zat (Depkes RI,
1979). Spektrofotometri yang sering digunakan untuk mengukur serapan larutan
atau zat yang diperiksa adalah spektrofotometri ultraviolet dengan panjang
gelombang antara 200-400 nm dan visibel (cahaya tampak) dengan panjang
gelombang antara 400-800 nm (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.5 Metode Pengukuran Antioksidan
Metode untuk pengujian aktivitas antioksidan in vitro yang paling umum
digunakan, yang umumnya mendasarkan daya tangkap atau penetralan terhadap
senyawa-senyawa turunan

oksigen

reaktif


(ROS)

yaitu:

1,1-diphenyl-2-

picrylhidrazil (DPPH), Folin Ciocalteau untuk menentukan kandungan fenolik
total, Penentuan kandungan flavonoid total dan Oxygen Radical Absorbance
Capacity (ORAC) (Santoso, 2016).
Perkiraan aktivitas antioksidan bergantung kepada sistem pengujiannya.
Sensitifitas satu metode saja tidak dapat menguji seluruh senyawa fenol yang
terdapat pada ekstrak. Oleh karena itu, dibutuhkan kombinasi pengujian aktivitas
antioksidan lebih dari satu (Sun dan Ho, 2005).
2.5.1 Pemerangkapan Radikal Bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picryilhydrazil)
DPPH (1,1-diphenyl-2-picryilhydrazil) merupakan radikal bebas yang
stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas
antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. DPPH pertama kali

11
Universitas Sumatera Utara


ditemukan oleh Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922. DPPH berwarna ungu
pekat seperti KMnO4, bersifat tidak larut dalam air (Ionita, 2005). DPPH
menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik
yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau
radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH
(Molyneux, 2004).
Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryilhydrazil) merupakan salah satu uji
untuk menentukan aktivitas antioksidan. DPPH memberikan serapan kuat pada
panjang gelombang 516 nm dengan warna violet gelap. Pemerangkapan radikal
bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan
penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil
(Kuncahyo dan Sunardi, 2007).
Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah
harga konsentrasi efisien atau efficient concentrtion (EC50) atau Inhibition
Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat
menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi zat suatu
antioksidan yang memberikan persen penghambatan 50%. Zat yang mempunyai
aktivitas antioksidan yang tinggi, akan mempunyai nilai EC50 atau IC50 yang
rendah (Molyneux, 2004).

Gambar 2.7 Reaksi DPPH dengan Antioksidan

12
Universitas Sumatera Utara

2.5.1.1 Pengukuran Absorbansi-Panjang Gelombang
Panjang gelombang maksimum yang digunakan dalam pengukuran sampel
uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang maksimum untuk DPPH
antara lain 515-517 nm. Apabila pengukuran menghasilkan tinggi puncak
maksimum, maka itu merupakan panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang
gelombang yang disebutkan diatas. Nilai absorbansi yang mutlak tidaklah penting,
karena panjang gelombang dapat diatur untuk memberikan absorbansi maksimum
sesuai dengan alat yang digunakan (Molyneux, 2004)
2.5.2 Penentuan Kandungan Fenolik Total
Senyawa polifenol banyak terdapat pada tumbuhan, yang termasuk dalam
senyawa fenol yaitu flavanol, flavonol, antosianin dan asam fenolik, dapat dilihat
pada struktur kimianya sebagai aktivitas penangkap radikal bebas. Golongan
polifenol mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi dengan mendonorkan
hidrogen kepada radikal bebas, sehingga menjadi stabil dan polifenol mempunyai
potensi berikatan dengan logam (Wachidah, 2013).
Penentuan kandungan fenolik total dapat ditentukan dengan menggunakan
reagen Folin-Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Reagen
Folin-Ciocalteau digunakan karena senyawa fenolik dapat bereaksi dengan Folin
membentuk larutan berwarna yang dapat diukur absorbansinya. Prinsip
pengukuran

kandungan

fenolik

dengan

reagen

Folin-Ciocalteau

adalah

terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang
gelombang 775 nm. Pereaksi ini mengoksidasi fenolik (garam alkali) atau gugus
fenolik hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang
terdapat pada pereaksi Folin-Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum-

13
Universitas Sumatera Utara

tungsten. Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteau hanya dalam
suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion
fenolik. Untuk menciptakan kondisi basa digunakan Na2CO3 20%. Warna biru
yang terbentuk akan semakin pekat, setara dengan konsentrasi ion fenolat yang
terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolat maka semakin
banyak ion fenolat yang mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungtat)
menjadi kompleks molibdenum-tungsten (Apsari dan Susanti, 2011). Asam galat
digunakan sebagai standar pengukuran karena asam galat merupakan turunan dari
asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana (Wachidah, 2013).

Gambar 2.5 Reaksi Folin-Ciocalteau dengan Senyawa Fenol

14
Universitas Sumatera Utara