pemanfaatan media karikatur untuk meningkatkan berfikir kritis siswa pada mata pelajaran sejarah bab 2

(1)

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Media Pembelajaran.

Media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Bovee, 1997). Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media. Dalam proses belajar, bentuk -bentuk stimulus yang datang dari sumber belajar (termasuk karikatur) bisa dipergunakan sebagai media diantaranya adalah hubungan atau interaksi manusia; realia, gambar bergerak atau tidak; tulisan dan suara yang direkam.

Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong siswa untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.

Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Thorn (1995) mengajukan sejumlah kriteria untuk menilai media yaitu sesederhana mungkin, memiliki kandungan pesan yang disampaikan, dapat memenuhi kebutuhan pembelajaran, memiliki integrasi media dengan dunia nyata dan materi, dan menarik minat siswa (artistik).


(2)

B. Manfaat Media Pembelajaran Dalam Proses Belajar Mengajar

Semakin sadarnya orang akan pentingnya media yang membantu pembelajaran sudah mulai dirasakan. Pengelolaan alat bantu pembelajaran sudah sangat dibutuhkan. Bahkan pertumbuhan ini bersifat gradual. Metamorfosis dari perpustakaan yang menekankan pada penyediaan media cetak, menjadi penyediaan-permintaan dan pemberian layanan secara multisensori dari beragamnya kemampuan individu untuk menyerap informasi, menjadikan pelayanan yang diberikan mutlak wajib bervariatif dan secara luas. Selain itu, dengan semakin meluasnya kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi, serta diketemukannya dinamika proses belajar, maka pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengajaran semakin menuntut dan memperoleh media pendidikan yang bervariasi secara luas pula. Karena memang belajar adalah proses internal dalam diri manusia maka guru bukanlah merupakan satu-satunya sumber belajar, namun merupakan salah satu komponen dari sumber belajar yang disebut orang. AECT (Associationforcational Communication and Technology) membedakan enam jenis sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar, yaitu:

a. Pesan; didalamnya mencakup kurikulum (GBPP) dan mata pelajaran.

b. Orang; didalamnya mencakup guru, orang tua, tenaga ahli, dan sebagainya.

c. Bahan; merupakan suatu format yang digunakan untuk menyimpan pesan pembelajaran,seperti buku paket, buku teks, modul, program video, film, OHT (over head transparency), program slide,alat peraga dan sebagainya (biasa disebut software).


(3)

d. Alat; yang dimaksud di sini adalah sarana (piranti, hardware) untuk menyajikan bahan pada butir 3 di atas. Di dalamnya mencakup proyektor OHP, slide, film tape recorder, dan sebagainya.

e. Teknik; yang dimaksud adalah cara (prosedur) yang digunakan orang dalam memberikan pembelajaran guna tercapai tujuan pembelajaran. Di dalamnya mencakup ceramah, permainan/ simulasi, tanya jawab, sosiodrama (roleplay), dan sebagainya. f. Latar (setting) atau lingkungan; termasuk didalamnya adalah

pengaturan ruang, pencahayaan, dan sebagainya.

g. Bahan & alat yang kita kenal sebagai software dan hardware tak lain adalah media pendidikan.

Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium. Batasan mengenai pengertian media sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran.

Mengapa perlu media dalam pembelajaran? Pertanyaan yang sering muncul mempertanyakan pentingnya media dalam sebuah pembelajaran. Kita harus mengetahui dahulu konsep abstrak dan konkrit dalam pembelajaran, karena proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata & tulisan) maupun non-verbal. Proses ini dinamakan encoding. Sedangkan penafsiran simbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding.

Adakalanya penafsiran berhasil, adakalanya tidak. Kegagalan/ketidakberhasilan dalam memahami apa yang didengar, dibaca, dilihat atau diamati. Kegagalan/ketidakberhasilan atau


(4)

penghambat dalam proses komunikasi dikenal dengan istilah barriers atau noise. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak pemahaman yang diterima. Lantas dimana fungsi media? Ada baiknya kita melihat diagram cone of learning dari Edgar Dale yang secara jelas memberi penekanan terhadap pentingnya media dalam pendidikan. Secara umum media mempunyai kegunaan a. memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.

b. mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra. c. menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara

murid dengan sumber belajar.

d. memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan

visual, auditori & kinestetiknya.

e. memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, 1985:

a. Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar b. Pembelajaran dapat lebih menarik

c. Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar

d. Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek e. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan

f. Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun

diperlukan

g. Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan


(5)

C. Karikatur Sebagai Salah Satu Jenis Media Pembelajaran Berdasarkan pada pengklasifikasian jenis-jenis media pembelajaran, karikatur termasuk jenis media grafis atau media gambar atau media visual, karena hanya dapat dicerna melalui indera penglihatan saja. Media visual ialah semua media yang bisa dinikmati oleh indera mata dan mampu menimbulkan rangsangan untuk berefleksi.

Menurut Pramono (2008:13), karikatur seperti halnya kartun strip, kartun gags (kartun kata), kartun komik dan kartun animasi adalah bagian dari kartun. Jika kartun diartikan sebagai gambar lucu atau dilucukan, yang bertujuan agar pemirsanya terhibur, tersenyum atau tertawa geli, maka karikatur adalah bagian kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa kritik atau usulan terhadap seseorang atau sesuatu masalah. Meski dibumbui dengan humor, namun karikatur merupakan kartun satire yang terkadang malahan tidak menghibur, bahkan dapat membuat seseorang tersenyum kecut.

Karikatur berasal dari bahasa Latin “caricare” dan “caratere”. Caricare berarti memuat (secara berlebihan) dan caratere berarti karakter atau sifat. Gabungan kata tersebut dikuatkan oleh kata “cara” yang berasal dari bahasa Spanyol yang berarti wajah. Dari sini karikatur dapat kita simpulkan sebagai sebuah penggambaran karakter secara berlebihan.

Menurut Encyclopedia International, “A caricature is a satyre in pictorial and sculptural form”. Karikatur dapat berbentuk dua dimensi atau tiga dimensi. Sedangkan menurut Encyclopedia Britanica :

A caricature is the distorted presentation of person, type or action, commonly a silent feature, is seized upon the exaggerated,


(6)

or picture or animals, hinds or vegetables are substituted/or hart human being or analogy is made to animal actions.

Dalam pengertian ini terkandung, bahwa karikatur mempunyai dua sifat, yaitu exaggerated (terdistorsi) dan satir. Sedangkan menurut Pramono (2008:13), karikatur memiliki arti sebagai gambar wajah yang didistorsikan, diplesetkan, atau dipeletotkan secara karakteristik tanpa bermaksud melecehkan si pemilik wajah.

Dengan demikian, karikatur adalah gambar atau deskripsi yang sifatnya membesar-besarkan (exaggerate) atau sebaliknya memupus (distort) karakter seseorang atau sesuatu untuk menciptakan kesan kemiripan sehingga mudah dikenali antara karikatur tersebut dengan objek sebenarnya (manusia/benda/ keadaan).

Menurut Rianto (1982:34), ada enam syarat untuk mendapatkan gambar (dalam penelitian ini yang dimaksud adalah gambar karikatur), yang sesuai untuk media pendidikan, yaitu : 1. Gambar harus autentik, artinya gambar harus mengungkapkan

suatu realitas kehidupan.

2. Gambar harus sederhana, tidak ruwet. Komposisi gambar cukup jelas menunjukkan butir-butir pokok. Gambar yang sederhana mudah dibaca dan diselami oleh siswa.

3. Gambar cukup popular. Artinya siswa sudah cukup mengenal sebagian atau keseluruhan gambar, sehingga akan membantu siswa mendapatkan gambaran yang benar terhadap setiap obyek yang ada dalam gambar tersebut.

4. Gambar harus dinamis, artinya gambar harus menunjukkan aktivitas tertentu.

5. Gambar harus membawa message. Gambar yang bagus belum tentu bisa digunakan sebagai media pendidikan.


(7)

6. Gambar yang artistik, khususnya yang natural, mempunyai daya tarik yang kuat dalam menggugah perasaan setiap orang.

Lebih spesifik lagi, Saputra (2004:14) menyatakan bahwa gambar karikatur lebih berfungsi untuk mengungkapkan pesan, persepsi, tanggapan dan pengalaman seseorang di dalam proses kehidupan manusia. Gambar karikatur dapat memberikan pengaruh positif terhadap perubahan tingkah laku dan moral masyarakat, dengan penekanan bentuk visual yang berkesan sebagai kritikan, sindiran, saran atau himbauan.

Karikatur mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai media yang digunakan untuk mempengaruhi opini publik dalam bidang sosial politik, sebagai media hiburan dan sebagai media pembelajaran. Sebagai media yang mempengaruhi opini publik, di Indonesia hampir semua majalah politik (Gatra, Tempo dan lain-lain), dan beberapa surat kabar (Kompas, Pikiran Rakyat, Jawa Pos dan lain lain) selalu menggunakan karikatur untuk menggambarkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang sedang dibahas dalam editorialnya. Sebagai media hiburan, karikatur menjadi pilihan banyak orang yang mengikuti berita di surat kabar/majalah, cukup hanya dengan melihat gambar karikatur beserta isi pesannya.

Karikatur sebagai media pembelajaran, diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran. Siswa dapat menikmati karikatur melalui gambar-gambarnya dan membaca tulisan-tulisannya, yang berfungsi membantu siswa dalam memahami makna dari karikatur tersebut. Isi dari karikatur mengandung materi pelajaran yang disampaikan guru. Peneliti berharap, dengan melihat dan membuat sendiri gambar karikatur, siswa dapat diajak berpikir kritis dalam mempelari materi sejarah dan memahami isinya.


(8)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan karikatur sebagai media pendidikan, antara lain :

1. Sesuai dengan tingkat pengalaman siswa, artinya karikatur dapat dimengerti siswa.

2. Kesederhanaan. Gambar realistis, artinya dapat diproses dan dipelajari siswa. Pesan atau informasi mudah dibaca dan dipahami. Untuk itu teks yang menyertai karikatur dibatasi (antara 15 sampai 20 kata). Kata-kata memakai huruf sederhana dengan gaya huruf yang mudah terbaca. Kalimat ringkas tetapi padat, dan mudah dimengerti.

3. Karikatur hendaknya dapat menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Agar efektif, karikatur sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna dengan siswa. Siswa harus berinteraksi dengan “image” untuk meyakinkan terjadinya proses informasi.

Telah diungkapkan, bahwa karikatur termasuk ke dalam media grafis atau gambar. Karakteristik media gambar diantaranya yaitu memiliki kemampuan dalam menumbuhkan respons siswa terutama pada indera penglihatannya. Setiap media gambar, termasuk karikatur, memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti dikemukakan Rinanto (1982:23).

Kelebihan media gambar, yaitu:

1. Lebih konkrit dan realistis dalam memunculkan pokok masalah, jika dibandingkan dengan bahasa verbal.

2. Dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, artinya tidak semua objek, benda atau peristiwa bisa dibawa ke kelas. Sebaliknya siswa tidak selalu bisa dibawa ke objek atau peristiwa.

3. Dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita. Pikiran siswa akan lebih terarah, perhatian mudah dipusatkan. Guru pun dalam


(9)

menerangkan tidak menjadi sulit, karena dibantu sarana gambar yang konkrit.

4. Memperjelas permasalahan dalam berbagai bidang, dalam berbagai tingkat usia.

5. Murah harganya, dan mudah dipergunakan. Sedangkan kelemahan media gambar, yaitu : 1. Diinterpretasikan secara personal dan subjektif 2. Gambar hanya menampilkan persepsi indera mata

3. Disajikan dalam ukuran terbatas, sehingga hanya siswa yang duduk di deretan depan yang dapat melihat dengan jelas.

4. Gambar karikatur yang baik, bukan hanya dapat menyampaikan pesan tertentu, melainkan juga dapat mempengaruhi sikap minat, dan tingkah laku orang yang melihatnya.

Adanya unsur kelemahan dari media gambar dalam proses pembelajaran tidak menghapus pentingnya peranan media gambambar dalam proses opembelajaran. Edgar Dale dalam kerucut pengalaman belajar mengatakan bahwa “hasil belajar seseorang diperoleh melalui pengalaman langsung (kongkrit), kenyataan yang ada dilingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Semakin keatas puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Proses belajar dan interaksi mengajar tidak harus dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi dengan mempertimbangkan situasi belajar”. Pengalama langsung akan memberikan informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu, oleh karena ia melibatkan indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba”. [4]


(10)

Lebih lanjut Dale mengatakan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Di lain pihak, stimulus verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan ingatan yang berurutan (sekuensial). Hal ini merupakan salah satu bukti dukungan atas konsep dual coding hypothesis (hipotesis koding ganda). Konsep itu mengatakan bahwa ada dua sistem ingatan manusia, satu untuk mengolah simbol-simbol verbal kemudian menyimpannya dalam proposisi image, dan lainnya untuk mengolah image nonverbal yang kemudian disimpan da;am proposisi verbal”.

Perbandingan memperolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang lebih 75% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan hanya sekitar 13% diperoleh melalui indera dengar dan 12% lagi dari indera lainnya (Dale). Sementara Paivio mengatakan 95%


(11)

untuk indera lihat dan 5% untuk indera dengar dan 5% untuk indera lainnya.

Kembali kepada masalah media karikatur. Menurut Pramono (2008:58), karikatur yang baik untuk masyarakat timur terutama Indonesia adalah :

1. Tidak menyinggung/mempertentangkan masalah agama yang satu dengan yang lainnya

2. Tidak mengeksploitasi sex secara verbal

3. Tidak membuat pesan yang justru memicu konflik antar suku dan ras

4. Pesan yang disampaikan komunikatif dan mudah dimengerti 5. Memberi kebenaran informasi

6. Mencerdaskan pembaca. D. Pengertian Berpikir Kritis

Jika kita belajar sejarah, apakah kita disuruh menghafal tanggal dan tahun, nama-nama kabinet beserta isi program kabinet, latar belakang peristiwa A, B, C, D? Atau kita ditanya mengapa peristiwa x bisa terjadi ? Apakah dampak peristiwa x terhadap peristiwa y? Kenapa setelah belajar sejarah, kita disuruh menghafal? Pertanyaan semacam itu peneliti temukan ketika bertanya tentang kesan-kesan siswa terhadap pelajaran sejarah. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa siswa sudah jenuh dengan pelajaran sejarah. Tidak ada yang menarik dari pelajaran sejarah. Dalam pandangan sejarawan Dr. Anhar Gonggong (Republika:2001), anak didik merasa bosan mempelajari sejarah. Penyebabnya, pelajaran sejarah dari satu jenjang pendidikan ke jenjang berikutnya cuma pengulangan semata. Yang dipelajari cuma perang, nama orang, dan sebagainya.


(12)

Masalah kebosanan ini juga disebabkan antara lain penerapan proses belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis. Akibatnya pemahaman siswa terhadap materi pengetahuan sejarah kurang.

Hadirnya teknologi informasi seperti internet, juga memberi pengaruh kepada siswa. Banyak informasi kesejarahan yang bisa didapatkan melalui internet. Namun jika informasi tersebut tidak disikapi dengan kritis oleh guru, maka siswa akan terjebak dalam kultur yang tidak reflektif. Tanpa ‘’kritisisme’’, maka yang terjadi adalah penumpukan informasi di benak siswanya.

Apakah berpikir kritis itu ? Banyak definisi yang ditawarkan mengenai berpikir kritis, salah satunya dikemukakan oleh Wright Place Consulting. Berpikir kritis adalah sebuah proses. Proses berpikir ini bermuara pada tujuan akhir yang membuat kesimpulan ataupun keputusan yang masuk akal tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita lakukan. Berpikir kritis bukanlah dilakukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama adalah mempertanyakan jawaban, fakta, atau informasi yang ada. Dengan demikian bisa ditemukan alternatif atau solusi terbaiknya.

Sudaryanto (2007) menyatakan, “Berpikir kritis adalah proses berpikir rasional dan objektif”. Sedangkan Priyadi’s Place (2005) berpendapat, “Berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi dapat berasal dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi.” Selanjutnya Takwin (2006) menambahkan,”Pengetahuan yang didapatkan melalui proses berpikir kritis mempunyai tingkat pemahaman yang tinggi.”

Kemampuan berpikir kritis tergantung pada faktor nature dan nurture. Faktor nature yaitu ego dan kapasitas otak (daya nalar,


(13)

logika dan analisis), sedangkan faktor nurture adalah lingkungan yang memfasilitasi pengembangan dan pengungkapan pikiran, termasuk kemampuan mempertahankan dan menerima argumen yang berbeda.

Rath et al (1966) dalam Sudaryanto (2007), menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan kebebasan dan rasa aman untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

Salah satu komponen berpikir kritis yang perlu dikembangkan adalah ketrampilan intelektual. Bloom mengelompokkan ketrampilan intelektual dari ketrampilan yang sederhana sampai yang kompleks antara lain pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketrampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi pada taksonomi Bloom merupakan ketrampilan pada tingkat yang lebih tinggi (Higher Order Thinking). Kesepakatan yang diperoleh dari hasil lokakarya American Philosophical Association (APA, 1990) tentang komponen ketrampilan intelektual yang diperlukan pada berpikir kritis antara lain interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, dan self regulation.


(1)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan karikatur sebagai media pendidikan, antara lain :

1. Sesuai dengan tingkat pengalaman siswa, artinya karikatur dapat dimengerti siswa.

2. Kesederhanaan. Gambar realistis, artinya dapat diproses dan dipelajari siswa. Pesan atau informasi mudah dibaca dan dipahami. Untuk itu teks yang menyertai karikatur dibatasi (antara 15 sampai 20 kata). Kata-kata memakai huruf sederhana dengan gaya huruf yang mudah terbaca. Kalimat ringkas tetapi padat, dan mudah dimengerti.

3. Karikatur hendaknya dapat menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Agar efektif, karikatur sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna dengan siswa. Siswa harus berinteraksi dengan “image” untuk meyakinkan terjadinya proses informasi.

Telah diungkapkan, bahwa karikatur termasuk ke dalam media grafis atau gambar. Karakteristik media gambar diantaranya yaitu memiliki kemampuan dalam menumbuhkan respons siswa terutama pada indera penglihatannya. Setiap media gambar, termasuk karikatur, memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti dikemukakan Rinanto (1982:23).

Kelebihan media gambar, yaitu:

1. Lebih konkrit dan realistis dalam memunculkan pokok masalah, jika dibandingkan dengan bahasa verbal.

2. Dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, artinya tidak semua objek, benda atau peristiwa bisa dibawa ke kelas. Sebaliknya siswa tidak selalu bisa dibawa ke objek atau peristiwa.

3. Dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita. Pikiran siswa akan lebih terarah, perhatian mudah dipusatkan. Guru pun dalam


(2)

menerangkan tidak menjadi sulit, karena dibantu sarana gambar yang konkrit.

4. Memperjelas permasalahan dalam berbagai bidang, dalam berbagai tingkat usia.

5. Murah harganya, dan mudah dipergunakan. Sedangkan kelemahan media gambar, yaitu : 1. Diinterpretasikan secara personal dan subjektif 2. Gambar hanya menampilkan persepsi indera mata

3. Disajikan dalam ukuran terbatas, sehingga hanya siswa yang duduk di deretan depan yang dapat melihat dengan jelas.

4. Gambar karikatur yang baik, bukan hanya dapat menyampaikan pesan tertentu, melainkan juga dapat mempengaruhi sikap minat, dan tingkah laku orang yang melihatnya.

Adanya unsur kelemahan dari media gambar dalam proses pembelajaran tidak menghapus pentingnya peranan media gambambar dalam proses opembelajaran. Edgar Dale dalam kerucut pengalaman belajar mengatakan bahwa “hasil belajar seseorang diperoleh melalui pengalaman langsung (kongkrit), kenyataan yang ada dilingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Semakin keatas puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Proses belajar dan interaksi mengajar tidak harus dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi dengan mempertimbangkan situasi belajar”. Pengalama langsung akan memberikan informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu, oleh karena ia melibatkan indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba”. [4]


(3)

Lebih lanjut Dale mengatakan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Di lain pihak, stimulus verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan ingatan yang berurutan (sekuensial). Hal ini merupakan salah satu bukti dukungan atas konsep dual coding hypothesis (hipotesis koding ganda). Konsep itu mengatakan bahwa ada dua sistem ingatan manusia, satu untuk mengolah simbol-simbol verbal kemudian menyimpannya dalam proposisi image, dan lainnya untuk mengolah image nonverbal yang kemudian disimpan da;am proposisi verbal”.

Perbandingan memperolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang lebih 75% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan hanya sekitar 13% diperoleh melalui indera dengar dan 12% lagi dari indera lainnya (Dale). Sementara Paivio mengatakan 95%


(4)

untuk indera lihat dan 5% untuk indera dengar dan 5% untuk indera lainnya.

Kembali kepada masalah media karikatur. Menurut Pramono (2008:58), karikatur yang baik untuk masyarakat timur terutama Indonesia adalah :

1. Tidak menyinggung/mempertentangkan masalah agama yang satu dengan yang lainnya

2. Tidak mengeksploitasi sex secara verbal

3. Tidak membuat pesan yang justru memicu konflik antar suku dan ras

4. Pesan yang disampaikan komunikatif dan mudah dimengerti 5. Memberi kebenaran informasi

6. Mencerdaskan pembaca.

D. Pengertian Berpikir Kritis

Jika kita belajar sejarah, apakah kita disuruh menghafal tanggal dan tahun, nama-nama kabinet beserta isi program kabinet, latar belakang peristiwa A, B, C, D? Atau kita ditanya mengapa peristiwa x bisa terjadi ? Apakah dampak peristiwa x terhadap peristiwa y? Kenapa setelah belajar sejarah, kita disuruh menghafal? Pertanyaan semacam itu peneliti temukan ketika bertanya tentang kesan-kesan siswa terhadap pelajaran sejarah. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa siswa sudah jenuh dengan pelajaran sejarah. Tidak ada yang menarik dari pelajaran sejarah. Dalam pandangan sejarawan Dr. Anhar Gonggong (Republika:2001), anak didik merasa bosan mempelajari sejarah. Penyebabnya, pelajaran sejarah dari satu jenjang pendidikan ke jenjang berikutnya cuma pengulangan semata. Yang dipelajari cuma perang, nama orang, dan sebagainya.


(5)

Masalah kebosanan ini juga disebabkan antara lain penerapan proses belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis. Akibatnya pemahaman siswa terhadap materi pengetahuan sejarah kurang.

Hadirnya teknologi informasi seperti internet, juga memberi pengaruh kepada siswa. Banyak informasi kesejarahan yang bisa didapatkan melalui internet. Namun jika informasi tersebut tidak disikapi dengan kritis oleh guru, maka siswa akan terjebak dalam kultur yang tidak reflektif. Tanpa ‘’kritisisme’’, maka yang terjadi adalah penumpukan informasi di benak siswanya.

Apakah berpikir kritis itu ? Banyak definisi yang ditawarkan mengenai berpikir kritis, salah satunya dikemukakan oleh Wright Place Consulting. Berpikir kritis adalah sebuah proses. Proses berpikir ini bermuara pada tujuan akhir yang membuat kesimpulan ataupun keputusan yang masuk akal tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita lakukan. Berpikir kritis bukanlah dilakukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama adalah mempertanyakan jawaban, fakta, atau informasi yang ada. Dengan demikian bisa ditemukan alternatif atau solusi terbaiknya.

Sudaryanto (2007) menyatakan, “Berpikir kritis adalah proses berpikir rasional dan objektif”. Sedangkan Priyadi’s Place (2005) berpendapat, “Berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi dapat berasal dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi.” Selanjutnya Takwin (2006) menambahkan,”Pengetahuan yang didapatkan melalui proses berpikir kritis mempunyai tingkat pemahaman yang tinggi.”

Kemampuan berpikir kritis tergantung pada faktor nature dan nurture. Faktor nature yaitu ego dan kapasitas otak (daya nalar,


(6)

logika dan analisis), sedangkan faktor nurture adalah lingkungan yang memfasilitasi pengembangan dan pengungkapan pikiran, termasuk kemampuan mempertahankan dan menerima argumen yang berbeda.

Rath et al (1966) dalam Sudaryanto (2007), menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan kebebasan dan rasa aman untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

Salah satu komponen berpikir kritis yang perlu dikembangkan adalah ketrampilan intelektual. Bloom mengelompokkan ketrampilan intelektual dari ketrampilan yang sederhana sampai yang kompleks antara lain pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketrampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi pada taksonomi Bloom merupakan ketrampilan pada tingkat yang lebih tinggi (Higher Order Thinking). Kesepakatan yang diperoleh dari hasil lokakarya American Philosophical Association (APA, 1990) tentang komponen ketrampilan intelektual yang diperlukan pada berpikir kritis antara lain interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, dan self regulation.


Dokumen yang terkait

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS SISWADALAM MATA PELAJARAN IPA MELALUI METODEWORD SQUARE Upaya Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa Dalam Mata Pelajaran Ipa Melalui Metodeword Square Pada Siswa Kelas V SDN 1 Kalanglundo Kecamatan

0 3 15

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS SISWA DALAM MATA PELAJARAN IPA MELALUI METODE WORD Upaya Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa Dalam Mata Pelajaran Ipa Melalui Metodeword Square Pada Siswa Kelas V SDN 1 Kalanglundo Kecamatan Nga

0 1 14

PEMANFAATAN MEDIA KARIKATUR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS VIII A Pemanfaatan Media Karikatur Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas Viii A Smp Bhinneka Karya Musuk Boyolali Tahun Ajaran 2011/2012.

0 1 16

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BASIC INDUCTIVE MELALUI MEDIA PRESENTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR SISWA : Penelitian Dan Pengembangan Pada Mata Pelajaran Sejarah Di Sma Kota Cilegon.

6 12 49

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemanfaatan Media untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Sejarah pada SMA N 1 Ampel

0 1 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemanfaatan Media untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Sejarah pada SMA N 1 Ampel

0 0 1

pemanfaatan media karikatur untuk meningkatkan berfikir kritis siswa pada mata pelajaran sejarah bab 5

0 0 2

pemanfaatan media karikatur untuk meningkatkan berfikir kritis siswa pada mata pelajaran sejarah bab 4

0 0 1

pemanfaatan media karikatur untuk meningkatkan berfikir kritis siswa pada mata pelajaran sejarah bab 3

0 0 1

pemanfaatan media karikatur untuk meningkatkan berfikir kritis siswa pada mata pelajaran sejarah bab 1

0 0 5