MANTRA DANGDAN BANJARSARI: CERMIN KONSEP CANTIK ORANG SUNDA DI BANJARSARI.

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Damaianti, Vismaia S & Sitaresmi, Nunung. 2005. Sintaksis Bahasa Indonesia.

Bandung: Pusat Studi Literasi.

Darheni, Nani. 2010. “Leksikon Aktivitas Mata dalam Toponim di Jawa Barat:

Kajian Etnosemantik” dalam Jurnal Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No.

1, Februari 2010, hal. 55-67.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Duranti, Alessandro. 2004. A Companion to Linguistic Anthropology. Australia: Blackwell Publishing Ltd.

Fasya, Mahmud. 2009. “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Sunda: Studi Kasus di Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung”. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.

Garna, Judistira K. 2008. Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan.

Bandung: Lembaga Penelitian Unpad dan Judistira Garna Foundation.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta. Pustaka Jaya.


(2)

Ginting, Rosita. 2009. Nilai dan Fungsi Ndungndugen Karo. Tesis pada Program Studi LinguistikProgram Pascasarjana Universitas Sumatra Utara.

Hudayat, dkk. 2007. ”Tinjauan Fungsional Mantra Sunda di Daerah Cisurupan Garut”. Laporan Akhir Penelitian Dasar (LITSAR). Bandung: Universitas Padjadjaran.

Ibrahim, ABD. Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Koentjaraningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Miles, M. B., & Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber

Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI-Press.

Nazriani. 2012. Mantra dalam Upacara Pesondo: Kajian Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi serta Kemungkinan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Bahan Ajar Sastra di SMA. Artikel pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia. Nuryani. 2010. Wacana Ritual Selamatan di Pasarean Gunung Kawi Malang-Jawa

Timur: Kajian Linguistik Antropologis. Disertasi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Palmer, Gary B. 1999. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: The University of Texas Press.

Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Rusyana, Yus. 1970. Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian

Pantun dan Foklore Sunda.

Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.

Satjadibrata, R. 1948. Kamoes Basa Soenda: Katoet Ketjap-ketjap Asing nu Geus Ilahar. Jakarta: Balai Pustaka.

Satjadibrata, R. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi . Medan: Penerbit Poda.


(3)

Suhandano. (2011, 16 Maret). Bahasa dan Budaya Penuturnya. Artikel pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, halaman 3.

Syarifuddin. 2008. “Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di

Sumbawa”. Disertasi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI Press.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2011. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI Press.

Uniawati. 2007. “Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre”. Tesis

pada Program PascaUniversitas Diponegoro Semarang.

Usman, Fajri. 2008. “Mantra dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau: Sebuah

Kajian Linguistik Antropologis”. Disertasi pada Program Studi Linguistik

Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press. Yulianto, Dion. 2011. Pedoman Umum EYD dan Dasar Pembentukan Istilah: Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan dan Dasar Umum Pembentukan Istilah Depdiknas. Jogjakarta: DIVA Press.


(4)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Membicarakan mantra dalam ranah linguistik antopologi tidak akan terlepas dari gambaran akan bahasa dan budaya penuturnya. Peran bahasa sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah sistem bunyi yang arbitrer dan konvensional. Sistem bunyi tersebut juga bermakna dan digunakan warga masyarakat dalam suatu kebudayaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Begitu pula mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan begitu erat. Keduanya saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan (Sibarani, 2004: 29). Salah satu faktor yang mendasari hubungan keduanya adalah bahasa dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa. Melalui bahasa, manusia tidak hanya mengekspresikan pikirannya, tetapi juga dapat mengonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang melingkupinya (Darheni, 2010: 55). Sementara itu, pandangan hidup adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dam menerangkan segala masalah hidup di alam dunia ini (Koentjaraningrat, 1984) (dalam Warnaen, 1987). Kajian bahasa, khususnya etnolinguistik, berkompeten terhadap kajian keberadaan manusia sebagai pemilik bahasa (Mahsun, 2005: 81) (dalam Darheni, 2010).

Kedekatan masyarakat penutur bahasa dengan budayanya tidak akan terlepas dari keterkaitan kehidupan manusia dengan alam. Kehidupan harmonis


(5)

yang tercipta antara manusia dan lingkungan alam yang ditempatinya akan memberikan dampak positif bagi perkembangan manusia dan alam itu sendiri (Nuryani, 2010: 1). Begitu pula dengan apa yang terjadi di masyarakat Banjarsari sebagai kelompok masyarakat budaya, khususnya Desa Ciulu, Desa Sindangsari, dan Desa Cigayam yang memang cukup terkenal kedekatan antara manusia dengan alam yang ditempatinya. Bagi masyarakat Banjarsari kedekatan manusia dengan alam sudah berlangsung sejak lama dan masih berjalan sampai saat ini. Buktinya, sebagian masyarakat Banjarsari masih ada yang melakukan ritual-ritual tertentu untuk tujuan tertentu. Hal itu mengindikasikan bahwa hidup mereka akan dituntun dan dibantu oleh Tuhan dan roh-roh nenek moyang sehingga memunculkan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang mampu membantu dalam menyelesaikan masalah mereka. Bantuan yang diberikan oleh Tuhan melalui roh-roh nenek moyang berlaku juga dalam pemenuhan kebutuhan secara materi.

Bentuk kepercayaan masyarakat Banjarsari terhadap roh nenek moyang diwujudkan dengan penggunaan berbagai mantra lain, salah satu mantra tersebut adalah mantra dangdan. Mantra dangdan adalah bacaan atau tuturan yang berisi harapan ataupun doa-doa yang dituturkan sebelum, selama, dan setelah kegiatan berdandan. Tuturan doa dan pengharapan itu seperti memunculkan kekuatan yang menumbuhkan kepercayaan dalam diri penutur.

Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dapat dijumpai di beberapa tempat, yakni dapat ditemukan di Desa Ciulu, Desa Sindangsari, dan Desa Cigayam, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Wilayah-wilayah itu memiliki


(6)

kehidupan harmonis yang tetap terjaga di balik segala perubahan yang ada. Hal tersebut tidak terlepas dari tradisi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Realitas yang ada saat ini menunjukkan bahwa tradisi di desa-desa tersebut masih kuat, ketiga desa itu masih beragam bentuk lingual dari mantra dangdan, dan para pewaris mantra masih mau menggunakan mantra dibandingkan dengan desa lainnya.

Mantra dangdan memang cukup dikenal masyarakat Banjarsari, terutama masyarakat Desa Ciulu, Desa Sindangsari, dan Desa Cigayam, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis yang cenderung masih menggunakan mantra

dangdan dalam kegitan berdandan. Mantra dangdan dapat diklasifikasikan lagi kedalam dua jenis, yakni jangjawokan dan jampe.

Jangjawokan dan jampe berkaitan langsung dengan aktivitas atau rutinitas kehidupan sehari-hari masyarakat Banjarsari, khususnya kaum perempuan. Sebagai contoh, jangjawokan diwedak dituturkan ketika bercermin, digunakan pada saat akan, selama, dan setelah mengusapkan bedak.

Anjuran dalam pemakaiannya harus sambil bercermin karena ada kepercayaan bahwa mantra bisa mendatangkan kekuatan gaib. Sehubungan dengan adanya kepercayaan mantra bisa mendatangkan kekuatan gaib dan kesakralan dari mantra itu sendiri, mereka pun harus menjalankan puasa yang dinamakan puasa mutih, puasa nyampeu, puasa Senin dan Kamis dengan weton, dan puasa mati geni. Puasa mutih merupakan puasa dengan hanya makan nasi putih dan minum air putih sedangkan puasa nyampeu merupakan puasa hanya memakan segala jenis umbi. Di samping itu, ada juga puasa yang dinamakan


(7)

dengan puasa Senin dan Kamis dengan weton, yakni berpuasa pada hari Senin dan Kamis serta hari kelahiran mereka masing-masing. Perintah puasa mutih, puasa

nyampeu, dan puasa Senin dan Kamis dengan weton tersebut dijalankan selama empat puluh hari. Selanjutnya, ada pula mati geni, yakni tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam dan harus melakukan kegiatan ngamer selama menjalani puasa mati geni tersebut. Kegiatan ngamer itu sendiri adalah berdiam diri di kamar selama tiga hari tiga malam dan tidak boleh terlihat orang lain. Adapun kegiatan lain yang bisa menggantikan kegiatan ngamer itu sendiri, yakni bertapa di gua, di kuburan, dan di langit-langit rumah. Anjuran-anjuran tersebut dimaksudkan agar mantra dangdan tersebutbetul-betul memiliki kekuatan magis. Mereka yang mengamalkannya berharap benar-benar terlihat cantik di mata para lelaki dan di mata para suami bagi mereka yang telah berkeluarga.

Jangjawokan diwedak adalah salah satu jenis dari mantra dangdan

Banjarsari yang masih digunakan di masyarakatnya. Bentuk bahasa dalam wacana

jangjawokan diwedak dengan segala bentuk anjuran dalam pemakainnya memperlihatkan adanya pengaruh Islam. Hal itu dapat terlihat dari pembacaan

Basmalah dalam mengawali penuturan mantra. Fungsi dari jangjawokan diwedak

itu sendiri, yakni sebagai pernyataan kepercayaan dan permintaan yang ditujukan kepada Tuhan.

Isi dari tuturan jangjawokandiwedak adalah permohonan kekuatan kepada Tuhan dan dewa-dewa. Akan tetapi, permohonan tersebut tidak secara langsung dituturkan, melainkan diselipkan beberapa hal di dalamnya. Beberapa hal yang diselipkan adalah pengakuan ketundukan manusia, kelemahan kita sebagai


(8)

manusia biasa, dan penegasan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Tuhan (Nuryani, 2010: 3). Tuturan penegasan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Tuhan hampir terlihat pada seluruh penggunaan kata-kata yang ada dalam

jangjawokan tersebut. Tuturan-tuturan tersebut menyatakan bahwa kekuatan terdapat pada beberapa bagian tubuh kita yang tak lain sebagai makhluk ciptaan-Nya. Contohnya terdapat pada tuturan asihan aing si tungtung heunceut (mantra saya ujung kemaluan). Sementara itu, tuturan yang memperlihatkan permohonan dan pengakuan kelemahan kita sebagai manusia biasa memang tidak diperlihatkan secara eksplisit tetapi implisit, yakni tersirat dalam isi jangjawokandiwedak yang intinya penutur mengharapkan atau memohon kekuatan dari Tuhan. Tindak tutur yang terdapat dalam wacana penutur jangjawokan diwedak atau mantra dangdan

tidak hanya mengandung pengharapan yang mendalam saja, tetapi juga memiliki fungsi dan berbagai maksud atau tujuan yang ingin dicapai.

Merujuk pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan mantra telah dilakukan oleh masyarakat Banjarsari semenjak dahulu dan masih dilakukan oleh beberapa orang serta di beberapa tempat sampai saat ini. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil wawancara awal dengan para responden. Akan tetapi, tradisi penggunaan mantra tidak hanya dikenal di tanah Jawa, tetapi juga beberapa tempat di luar pulau Jawa. Daerah-daerah di pulau Jawa itu, yaitu di daerah Sumbawa (NTB) juga terdapat ritual mantra yang dipakai oleh nelayan ketika hendak melaut dan di daerah Minangkabau juga terdapat ritual mantra sebelum melakukan pengobatan tradisional.


(9)

Banyak hal yang dapat diamati dari keberadaan mantra dangdan

Banjarsari. Akan tetapi, melihat kompleksnya permasalahan yang ada, dalam penelitian ini akan lebih ditekankan pada beberapa hal yang berkenaan dengan mantra dangdan Banjarsari, yaitu akan mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana bentuk lingual mantra dangdan Banjarsari, bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon yang mencerminkan konsep cantik dalam mantra dangdan

Banjarsari, bagaimana cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari dilihat dari mantra dangdan yang digunakan, dan bagaimana klasifikasi mantra dangdan

Banjarsari. Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat Banjarsari akan pentingnya nilai-nilai yang terdapat dalam mantra dangdan

Banjarsari. Inilah yang menjadikan penelitian ini menarik dan penting untuk diteliti.

1.2Masalah

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.

1.2.1 Identifikasi Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1) Penutur mantra dangdan Banjarsari berkurang seiring menjamurnya berbagai alat kecantikan.

2) Nilai-nilai budaya dalam kaitannya dengan kegiatan berdandan yang ada di masyarakat Banjarsari sudah bergeser.


(10)

3) Terdapat perbedaan perspektif tentang konsep cantik antara masyarakat Banjarsari pada masa lalu dan masa kini.

4) Para ahli waris penutur mantra tidak mau menjadi ahli waris dan menggunakan mantra-mantra dangdan Banjarsari tersebut sehingga dikhawatirkan mantra akan punah.

1.2.2 Batasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada beberapa aspek berikut ini.

1) Penggunaan mantra dangdan yang menjadi fokus penelitian ini hanya berlokasi di Desa Ciulu, Desa Sindangsari, dan Desa Cigayam, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis karena tradisi di desa-desa itu masih kuat, para pewaris mantra masih mau menggunakan mantra, dan ketiga desa itu masih beragam bentuk lingual mantra dangdan.

2) Penelitian ini akan ditekankan pada deskripsi dan analisis bentuk-bentuk lingual mantra dangdang Banjarsari, klasifikasi dan deskripsi leksikon yang mencerminkan konsep cantik dalam mantra dangdan Banjarsari, cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari dilihat dari mantra dangdan yang digunakan, dan klasifikasi mantra dangdan Banjarsari.

3) Sumber data akan diperoleh dari berbagai referensi mantra dan para penutur mantra yang dapat memberikan informasi tentang mantra dangdan Banjarsari.


(11)

1.2.3 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan berikut ini.

1) Bagaimanakah bentuk lingual mantra dangdan Banjarsari?

2) Bagaimanakah referensi leksikon yang mencerminkan konsep cantik dalam mantra dangdan Banjarsari?

3) Bagaimanakah cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari dilihat dari mantra dangdan yang digunakan?

4) Bagaimanakah klasifikasi mantra dangdan Banjarsari?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai hal-hal berikut:

1) bentuk lingual mantra dangdan Banjarsari,

2) referensi leksikon yang mencerminkan konsep cantik dalam mantra dangdan

Banjarsari,

3) cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari dilihat dari mantra dangdan

yang digunakan, dan


(12)

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis.

1.4.1 Secara Teoretis

Pertama, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kajian antropolinguistik. Kedua, sebagai sumbangan pemikiran empirik untuk memperkaya bahan kajian dalam bidang linguistik antropologi.

1.4.2 Secara Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) memberikan gambaran masyarakat Banjarsari akan nilai-nilai yang terdapat dalam mantra dangdan Banjarsari; 2) menjadi referensi untuk pemakaian buku mantra Banjarsari, khususnya mantra dangdan; 3) melengkapi dokumentasi tertulis, khususnya mantra dangdan terhadap buku yang sudah ada; 4) menjadi salah satu acuan dalam hal melestarikan budaya daerah yang merupakan bagian dari budaya Nasional; 5) memberikan informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan mantra dangdan Banjarsari.


(13)

1.5Definisi Operasional

Berikut ini dijelaskan beberapa definisi operasional dari beberapa istilah yang penulis gunakan dalam penelitian ini.

1) Mantra dangdan Banjarsari merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Banjarsari dalam bentuk tradisi lisan yang tersebar di beberapa desa.

2) Jangjawokan dan jampe adalah sebagai bagian dari mantra dangdan

Banjarsari.

3) Konsep cantik dalam mantra dangdan Banjarsari diartikan dengan wanita yang memiliki wajah cantik bersinar seperti bulan purnama, kening yang indah (bercahaya), hidung mancung, pipi seperti pelangi, serta tubuh ramping dan manis (pantas).

4) Orang Sunda di Banjarsari adalah masyarakat etnis Sunda yang berdomisili di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat yang merupakan pemilik dan pengguna mantra dangdan Banjarsari.

5) Ngamer adalah kegiatan berdiam diri di kamar dan tidak boleh terlihat orang lain.


(14)

BAB 3

METODE DAN MODEL PENELITIAN

3.1Metodologi Penelitian

Hal-hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut.

3.1.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan ini bertumpu pada teori yang digagas oleh Wierzbicka (1997: 11) yang mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dengan leksikon bahasanya. Di samping itu, Boas (1996:59) (dalam Palmer, 1999: 11) mengatakan bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya. Teori-teori tersebut merupakan pendekatan linguistik antropologis yang dimanfaatkan untuk mengeksplorasi kaitan erat antara bahasa dengan budaya penuturnya.

3.1.2 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judulnya, penelitian ini akan dilakukan di lingkungan masyarakat Banjarsari, yaitu di Desa Ciulu, Desa Sindangsari, dan Desa Cigayam Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Lokasi-lokasi penelitian ini sengaja dipilih karena merupakan daerah yang masih menuturkan mantra secara konsisten. Dengan demikian, mempelajari budaya dari bahasa penuturnya lebih mudah mengingat masyarakat Banjarsari di Desa Ciulu, Desa Sindangsari, dan Desa


(15)

Cigayam masih menuturkan mantra secara konsisten dengan adat istidat atau tradisi warisan nenek moyangnya yang masih suka dilakukan sampai sekarang.

3.1.3 Sumber Data dan Korpus

Data penelitian ini meliputi berbagai jenis mantra dangdan berbentuk teks dan lisan yang masih ataupun pernah digunakan. Oleh karena itu, data penelitian ini penulis golongkan menjadi dua, yakni data utama (primer) dan data penunjang (sekunder). Data utama penelitian ini diambil dari tuturan lisan yang menggunakan bahasa Banjarsari dalam bentuk MDB. Data mantra yang diperoleh dari lapangan secara lisan dari informan akan dicatat, direkam, dan dengan

“pengambilan foto”. Sementara data penunjang (sekunder), yaitu data teks/tulisan dari informan. Penggunaan data penunjang (sekunder) ini bertujuan sebagai pelengkap sekaligus penambah kuantitas data utama (primer). Data tersebut diperoleh dari lima orang responden yang merupakan para pakar mantra, yaitu seorang Nyai Ronggeng, tiga orang sesepuh, dan satu orang responden tambahan mantan pengguna mantra. Dari data ini akan dianalisis guna memperoleh bagaimana bentuk lingual MDB, bagaimana referensi leksikon yang mencerminkan konsep cantik dalam MDB, bagaimana cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari dilihat dari mantra dangdan yang digunakan, dan klasifikasi mantra dangdan.


(16)

Dalam penelitian ini menggunakan dua metode dalam mengumpulkan data, yakni observasi partisipan dan wawancara mendalam (indepth interview). Kedua metode tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

3.1.4.1Observasi Partisipan

Metode observasi partisipan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti ikut terjun langsung atau bergabung dengan para penutur mantra dalam kegiatan yang dilaksanakan. Peneliti mengikuti seluruh rangkaian kegiatan yang dilaksanakan di tempat penelitian. Partisipasi langsung ini dimaksudkan supaya peneliti dapat lebih memahami segala hal yang menjadi aturan dalam aktivitas penggunaan atau penuturan mantra dangdan. Selain itu juga dimaksudkan supaya peneliti mendapatkan informasi langsung bentuk tuturan yang digunakan atau disampaikan ketika penuturan mantra dangdan tersebut.

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi partisipan adalah merekam dan mengamati pelaksanaan kegiatan penuturan mantra dangdan. Hal-hal yang diamati meliputi kondisi fisik dan psikologis penutur mantra. Di samping itu, dicermati juga anjuran-anjuran yang harus dilakukan, aturan-aturan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama kegiatan penuturan mantra berlangsung. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan ada kemungkinan hal-hal tersebut memengaruhi tuturan maupun pola pikir penutur mantra. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat segala hal yang berhubungan dengan kegiatan penuturan mantra dan bentuk tuturan yang disampaikan. Setelah peneliti merekam


(17)

tuturan penutur mantra, kemudian peneliti mentranskripsikan data tersebut dalam bentuk tulisan sehingga dapat digunakan sebagai bahan analisis.

3.1.4.2Observasi Periodik ke Lapangan

Metode ini memiliki peran yang cukup penting dalam penelitian linguistik antropologi khususnya budaya secara umum. Metode ini juga terkait dengan metode sebelumnya atau lebih tepatnya merupakan kelanjutan metode sebelumnya, yakni metode observasi partisipan. Metode ini dilakukan untuk melakukan kroscek data yang telah didapatkan dari observasi partisipan. Dalam menggunakan metode ini peneliti sudah tidak lagi terjun dan ikut langsung dalam ritual mantra, melainkan secara berkala melihat prilaku-prilaku mantra tersebut dilakukan. Kegiatan yang dilakukan juga dalam observasi periodik adalah melanjutkan wawancara mendalam yang telah dilakukan.

3.1.4.3Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Wawancara mendalam dilakukan supaya informasi yang didapatkan tidak simpang siur dan jelas dari sumbernya. Berdasarkan sifatnya wawancara yang dilakukan dibagi dalam dua kategori, yakni wawancara terbuka dan tertutup. Wawancara terbuka dilakukan dengan pengunjung dan penutur mantra di Banjarsari, sedangkan wawancara tertutup dilakukan dengan Bi Raspi (Nyai Ronggeng) selaku penutur mantra, khususnya mantra dangdan dalam aktivitas dan rutinitasnya, terutama dalam kegiatan berdandan sebelum beliau tampil menjadi Nyai Ronggeng. Berdasarkan sifat pertanyaan yang digunakan,


(18)

wawancara juga dibagi atas wawancara tertutup dan terbuka. Wawancara tertutup merupakan wawancara yang mengandung pertanyaan terfokus dalam jawabanya. Sedangkan wawancara terbuka, pertanyaan yang diajukan memungkinkan informan memberikan jawaban yang lebih bebas.

3.2 Instrumen Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam tulisan ini disebut instrumen penelitian (Sugiyono, 1999: 97) (dalam Syarifudin, 2008: 77). Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis telah mempersiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Pertanyaan tertulis yang dimaksudkan di sini adalah pertanyaan untuk penulis saja sebagai pedoman dalam melakukan wawancara dengan informan.

Langkah selanjutnya, sebagi teknik lanjutan penulis menerapkan alat bantu kamera digital dan telepon genggam (handphone) sebagai teknik perekam pada saat melakukan wawancara dan kemudian mencatat bentuk-bentuk yang dianggap sebagai data saat melakukan wawancara. Di samping itu, dalam melakukan observasi partisipan penulis juga melakukan fotografi. Hasilnya berupa gambar dan foto. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran umum tentang situasi yang tampak pada lingkungan masyarakat Banjarsari di Desa Ciulu, Desa Sindangdasri, dan Desa Cigayam yang masih menuturkan mantra secara konsisten dengan adat istidat atau tradisi warisan nenek moyangnya dan masih suka dilakukan sampai sekarang.


(19)

Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dianalisis melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi (1) melakukan transkripsi diikuti dengan terjemahan bebas, (2) melakukan analisis berdasarkan konteks, (3) analisis berdasarkan klasifikasi, (4) analisis bentuk (struktur) dan fungsi bahasa dalam tuturan mantra dangdan Banjarsari, (5) menginterpretasikan pola pikir atau pandangan hidup penutur mantra dangdan Banjarsari untuk memperoleh cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari. Transkripsi merupakan kegiatan menyalin tuturan doa atau mantra yang dituturkan secara lisan ke dalam bentuk teks tulis. Terjemahan bebas memiliki arti bahwa peneliti mengartikan atau menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam tuturan itu secara bebas. Penerjemahan perlu dilakukan sebab bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut sangat beragam. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penerjemahan guna memberikan pemahaman terhadap pembaca lain yang atau belum memahami bahasa yang digunakan.

Pada tahap klasifikasi juga akan ditemukan beragam leksikon yang digunakan untuk mencerminkan konsep cantik orang Sunda di Banjarsari. Di dalamnya juga akan terlihat kemungkinan penggunaan metafora sebagai penambah ksean magis atau mistis dalam penggunaan mantra dangdan. Klasifikasi juga memperlihatkan bentuk bahasa secara umum sampai bentuk fonologi yang berbeda dalam setiap tuturannya. Selanjutnya, analisis pola pikir dilakukan dengan memanfaatkan metode penafsiran (interpretation) oleh penulis.

Beberapa komponen yang didapat dari wawancara dan wacana mantra


(20)

mengenai pola pikir penutur mantra dangdan Banjarsari mengenai cermin konsep cantik orang Sunda di Banjarsari. Hal itu disebabkan, beberapa atau mungkin hampir semua penutur mantra tidak akan memberikan jawaban secara langsung mengenai harapan dan tujuan mereka menggunakan mantra. Jawaban yang diberikan lebih bersifat tertutup yang memungkinkan peneliti untuk memberikan penafsiran. Dalam penelitian budaya khususnya, metode interpretatif menjadi sifat yang cukup penting. Sesuai dengan yang disarankan oleh Geertz (1992) (dalam Nuryani, 2010: 37) bahwa dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka kemungkinan untuk menganalisis data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri. Adapun sifat penelitian itu adalah penafsiran (interpretatif).

3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini akan disajikan dengan menggunakan metode penyajian formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 145) (dalam Usman 2008:76). Metode formal digunakan pada pemaparan hasil analisis data yang berupa kaidah-kaidah atau lambang-lambang formal dalam bidang linguistik. Lambang-lambang formal seperti lambang dalam bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis disajikan dengan metode formal. Sementara itu, metode informal digunakan pada pemaparan hasil analisis data yang berupa kata-kata atau kalimat keseharian yang sering digunakan dalam tuturan biasa tanpa lambang-lambang formal yang sifatnya teknis.


(21)

Untuk memperjelas paparan sebelumnya tentang metode penelitian, pada bagian ini akan digambarkan bagan alur penelitian dalam bentuk diagram berikut (adaptasi model Miles dan Huberman, 1992: 20).

Mantra dangdan Banjarsari


(22)

Bagan 3.1 Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif oleh Miles dan Huberman (1992:20).

Miles dan Huberman (1992: 16) melihat bahwa dalam analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:


(23)

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Terkait dengan hal itu, penulis mencoba mengadaptasi komponen-komponen analisis data: model interaktif oleh Miles dan Huberman. Berikut ini uraian model penelitian yang dilakukan peneliti.

Setelah penulis menentukan objek penelitianya, langkah selanjutnya adalah pengumpulan data. Dalam teknik pengumpulan data, data yang dijaring dalam penelitian ini harus sesuai dengan ketentuan yang dikemukakan pada data primer dan data sekunder, yakni tuturan lisan atau tulisan mantra dangdan di Banjarsari. Dalam penelitian ini, ada dua metode dalam mengumpulkan data, yaitu: (1) observasi: observasi partisipan dan observasi periodik ke lapangan dan (2) wawancara mendalam.

Selanjutnya adalah tahap reduksi data. Menurut Miles dan Huberman (1992: 16) Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Sebagaimana kita ketahui, reduksi data, berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung. Sebenarnya bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak waktu penelitiannya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya) kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan pengumpulan data yang mana yang dipilihnya.

Reduksi bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi merupakan bagian dari analisis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis


(24)

yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Tahap selanjutnya adalah penyajian data. Penyajian data merupakan salah satu alur penting dalam kegiatan analisis. Bentuk penyajian data dalam penelitian ini, antara lain: (1) profil situasi kebahasaan, (2) profil situasi kebudayaan, dan (3) pola pikir masyarakat Banjarsari terhadap realita dunia. Setelah tahap penyajian data, penulis melakukan penafsiran data untuk mengungkap faktor bahasa terhadap budaya dan masyarakat penuturnya.

Kegiatan analisis lainnya yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Miles dan Huberman (1992: 19) mengatakan bahwa dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan dari konfogurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Demikianlah tiga hal utama dalam analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk


(25)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap mantra dangdan di Banjarsari, penulis dapat menyimpulkan bahwa mantra dangdan Banjarsari (MDB) yang terdiri atas jangjawokan dan jampe dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni mantra pradandan, sedang dandan, dan pascadandan. Mantra-mantra yang dimaksud antara lain jampe mandi, jangjawokan diwedak, dan dibaju.

Dari segi bentuk lingual yang berhubungan dengan fonologi, MDB dapat dibedakan melalui intonasi, panjang nada, dan tone. Penggunaan unsur-unsur fonologis (unsur suprasegmental) memberikan gambaran kedekatan hubungan fonologi dengan budaya mantra. Apabila diteliti dari elemen prosodi (tekanan, titinada, dan jangka), MDB memiliki tekanan yang ditautkan pada kenyaringan yang menaik dan menurun. Selain itu, dalam MDB pun ditemukan sinonim dan antonim. Sementara itu, pada analisis referensi leksikon, referensi leksikon dalam MDB dapat digolongkan menjadi bermacam-macam, yakni (1) permohonan, (2) bagian tubuh, (3) binatang, (4) benda, (5) aktivitas mata, (6) keadaaan, (7) kekerabatan, dan (8) harapan. Referensi leksikon bagian tubuh merupakan referensi yang paling dominan digunakan dalam MDB dibandingkan referensi lainnya.

Pada tataran analisis pencerminan mengenai konsep cantik orang Sunda di Banjarsari yang terdapat dalam MDB dapat dideskripsikan oleh kalimat-kalimat berikut ini. Pada data (1),kalimat (7) Cur mancur ning rarayku ‘sorot memancar


(26)

ke wajahku’ merupakan kalimat yang mempunyai makna cahaya memancar ke wajah seseorang (perempuan Sunda) dan wajahnya terlihat bersinar. Kalimat (8)

Rarayku kaya wulan opat belasé ‘wajahku seperti bulan purnama’ merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna wajah cantik perempuan Sunda yang memancar seperti bulan purnama. Selanjutnya pada data (2), kalimat (5) Dina tarang lancah mentrangan ‘pada keningnya laba-laba bercahaya’ merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna kening seseorang sangat indah dan memancarkan cahaya. Kalimat (6) Na irung kuwung-kuwungan ‘hidung

melengkung’ merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna hidung seseorang yang sangat indah atau mancung. Kalimat (7) Na pipi katumbirian

‘pipinya seperti layung’ merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna pipi seseorang yang indah (memancarkan cahaya kuning kemerahan). Kalimat (8)

Ditilik ti gigir lenggik ‘dilihat dari samping ramping’ merupakan kalimat yang

mempunyai makna seseorang dilihat dari samping terlihat ramping. Selanjutnya, kalimat (9) Diteuteup ti hareup sieup ‘ditatap dari depan manis’ merupakan

kalimat yang mempunyai makna seseorang ditatap dari depan terlihat manis (pantas). Di samping itu, pada data (3) kalimat (4) Ditilik ti gigir lenggik ‘dilihat

dari samping ramping’ merupakan kalimat yang mempunyai makna seseorang dilihat dari samping terlihat ramping. Kalimat (5) Diteuteup ti hareup sieup

‘ditatap dari depan manis’ merupakan kalimat tersebut mempunyai makna seseorang ditatap dari depan terlihat manis (pantas).

Selain itu, frekuensi penggunaan leksikon pun dapat memberikan pencitraan akan perempuan cantik menurut orang Sunda di Banjarsari. Wanita


(27)

cantik menurut orang Sunda di Banjarsari adalah wanita yang memiliki wajah cantik bersinar seperti bulan purnama, kening yang indah (bercahaya), hidung mancung, pipi seperti pelangi, serta tubuh ramping dan manis (pantas). Sementara itu, dari segi pengklasifikasian, MDB dibagi dalam beberapa kategori, yakni kategori tempat, kategori kegitan,kategori pelaku, dan frekuensi.

5.2Saran

Setelah melakukan penelitian terhadap MDB dan melakukan berbagai penelusuran, penulis mengajukan beberapa saran berikut ini. Karena penelitian ini terbatas pada penelitian terhadap MDB, penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis lebih banyak varian MDB dalam studi penelitian linguistik antropologis. Di samping itu, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penelitian yang secara teori belum dapat ditelusuri. Penulis berharap agar penelitian-penelitian lainnya dalam bidang yang sama dapat meneliti lebih dalam dan meluruskan hasil temuan penelitian ini berdasarkan ilmu dan teori yang relevan.

Hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya khazanah kebahasaan, fenomena budaya, sosial, dan kemanusiaan. Penulis berharap penelitian ini dapat dijadikan model dan rujukan sebagai sumbangan pemikiran untuk penelitian bahasa secara umum, linguistik antropologi khususnya, dan penelitian selanjutnya yang relevan.


(28)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2Masalah Penelitian ... 6

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 6

1.2.2 Batasan Masalah... 7

1.2.3 Rumusan Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian... 8

1.4Manfaat Penelitian... 9

1.5Definisi Operasional ... 10

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ... ... 11

2.2 Landasan Teori... 16

2.2.1 Ihwal Linguistik Antopologis ... 17

2.2.2 Banjarsari ... 22

2.2.3 Bentuk Lingual ... 22

2.2.4 Referensi Leksikon ... 23

2.2.5 Konsepsi-konsepsi Pola Pikir ... 24


(29)

2.2.7 Fungsi Bahasa ... 29

2.2.47.1 Fungsi Bahasa Jacobson ... 31

2.2.8 Mantra ... 32

BAB 3 METODE DAN MODEL PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian ... 37

3.1.1 Pendekatan Penelitian ... 37

3.1.2 Lokasi Penelitian ... 37

3.1.3 Sumber Data dan Korpus ... 38

3.1.4 Metode Pengumpulan Data ... 39

3.1.4.1 Observasi Partisipan ... 39

3.1.4.2 Observasi Periodik ke Lapangan ... 40

3.1.4.3 Wawancara Mendalam (Indepth Interview) ... 40

3.2 Instrumen Penelitian ... 41

3.3 Metode Analisis Data ... 42

3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 43

3.5 Model Penelitian ... 44

BAB 4 HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengantar... 48

4.2 Bentuk Lingual Mantra Dangdan Banjarsari ... 48

4.2.1 Bunyi Segmental dan Suprasegmental ... 50

4.2.2 Aspek Leksikal ... 56

4.2.3 Pengulangan (Repetisi) ... 57

4.2.3.1 Repetisi Anafora ... 58

4.2.3.2 Repetisi Anaforamesodiplosis ... 63

4.2.3.3 Repetisi Anaforaepistrofa ... 66

4.2.3.4 Repetisi Epistrofa ... 66

4.2.4 Sinonim ... 68

4.2.4.1 Perbedaan Aplikasi ... 70


(30)

4.2.5 Antonim ... 73

4.2.5.1 Antonimi yang Bersifat Mutlak ... 75

4.2.5.2 Antonimi yang Bersifat Relatif/Bergradasi ... 75

4.3 Referensi Leksikon Mencerminkan Konsep Cantik dalam Mantra Dangdan Banjarsari ... 76

4.3.1 Permohonan ... 76

4.3.2 Bagian Tubuh ... 77

4.3.3 Binatang ... 81

4.3.4 Benda ... 82

4.3.5 Aktivitas Mata ... 84

4.3.6 Keadaan ... 85

4.3.7 Kekerabatan ... 89

4.3.8 Harapan ... 90

4.4 Cermin Konsep Cantik Orang Sunda di Banjarsari Dilihat dari Mantra Dangdan yang Digunakan ... 91

4.5Klasifikasi Mantra Dangdan Banjarsari ... 96

4.5.1 Nama-nama Mantra Dangdan Banjarsari ... 98

4.5.1.1 Nama Mantra yang Berhubungan dengan Kegiatan .. .. 98

4.5.1.1.1 Nama Mantra yang Berbentuk Kata ... 99

4.5.1.1.2 Nama Mantra yang Berbentuk Frasa ... 99

4.5.1.2 Nama Mantra yang Berhubungan dengan Benda ... 100

4.5.1.3 Nama Mantra yang Berhubungan dengan Waktu ... 100

4.5.2 Kategori Tempat ... 101

4.5.3 Kategori Kegiatan ... 101

4.5.3.1 Nama Mantra yang Berbentuk Kata ... 101

4.5.3.2 Nama Mantra yang Berbentuk Frasa ... 102

4.5.4 Kategori Pelaku ... 102

4.5.4.1 Nama Mantra yang Dituturkan Secara Personal ... 102

4.5.4.2 Nama Mantra yang Dituturkan Secara Personal dan Kolektif ... 104


(31)

4.5.5.1 Frekuensi Pemakaian ... 105

4.5.5.1.1 Rutin (tiap hari, tiap minggu, tiap bulan).. 105

4.5.5.1.2 Insidental ... 105

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan ... 107

5.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 110

LAMPIRAN ... 113


(1)

108

ke wajahku’ merupakan kalimat yang mempunyai makna cahaya memancar ke

wajah seseorang (perempuan Sunda) dan wajahnya terlihat bersinar. Kalimat (8)

Rarayku kaya wulan opat belasé ‘wajahku seperti bulan purnama’ merupakan

sebuah ungkapan yang mempunyai makna wajah cantik perempuan Sunda yang memancar seperti bulan purnama. Selanjutnya pada data (2), kalimat (5) Dina

tarang lancah mentrangan ‘pada keningnya laba-laba bercahaya’ merupakan

sebuah ungkapan yang mempunyai makna kening seseorang sangat indah dan memancarkan cahaya. Kalimat (6) Na irung kuwung-kuwungan ‘hidung

melengkung’ merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna hidung

seseorang yang sangat indah atau mancung. Kalimat (7) Na pipi katumbirian

‘pipinya seperti layung’ merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna

pipi seseorang yang indah (memancarkan cahaya kuning kemerahan). Kalimat (8)

Ditilik ti gigir lenggik ‘dilihat dari samping ramping’ merupakan kalimat yang

mempunyai makna seseorang dilihat dari samping terlihat ramping. Selanjutnya, kalimat (9) Diteuteup ti hareup sieup ‘ditatap dari depan manis’ merupakan kalimat yang mempunyai makna seseorang ditatap dari depan terlihat manis (pantas). Di samping itu, pada data (3) kalimat (4) Ditilik ti gigir lenggik ‘dilihat

dari samping ramping’ merupakan kalimat yang mempunyai makna seseorang

dilihat dari samping terlihat ramping. Kalimat (5) Diteuteup ti hareup sieup

‘ditatap dari depan manis’ merupakan kalimat tersebut mempunyai makna

seseorang ditatap dari depan terlihat manis (pantas).

Selain itu, frekuensi penggunaan leksikon pun dapat memberikan pencitraan akan perempuan cantik menurut orang Sunda di Banjarsari. Wanita


(2)

109

cantik menurut orang Sunda di Banjarsari adalah wanita yang memiliki wajah cantik bersinar seperti bulan purnama, kening yang indah (bercahaya), hidung mancung, pipi seperti pelangi, serta tubuh ramping dan manis (pantas). Sementara itu, dari segi pengklasifikasian, MDB dibagi dalam beberapa kategori, yakni kategori tempat, kategori kegitan,kategori pelaku, dan frekuensi.

5.2Saran

Setelah melakukan penelitian terhadap MDB dan melakukan berbagai penelusuran, penulis mengajukan beberapa saran berikut ini. Karena penelitian ini terbatas pada penelitian terhadap MDB, penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis lebih banyak varian MDB dalam studi penelitian linguistik antropologis. Di samping itu, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penelitian yang secara teori belum dapat ditelusuri. Penulis berharap agar penelitian-penelitian lainnya dalam bidang yang sama dapat meneliti lebih dalam dan meluruskan hasil temuan penelitian ini berdasarkan ilmu dan teori yang relevan.

Hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya khazanah kebahasaan, fenomena budaya, sosial, dan kemanusiaan. Penulis berharap penelitian ini dapat dijadikan model dan rujukan sebagai sumbangan pemikiran untuk penelitian bahasa secara umum, linguistik antropologi khususnya, dan penelitian selanjutnya yang relevan.


(3)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2Masalah Penelitian ... 6

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 6

1.2.2 Batasan Masalah... 7

1.2.3 Rumusan Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian... 8

1.4Manfaat Penelitian... 9

1.5Definisi Operasional ... 10

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ... ... 11

2.2 Landasan Teori... 16

2.2.1 Ihwal Linguistik Antopologis ... 17

2.2.2 Banjarsari ... 22

2.2.3 Bentuk Lingual ... 22

2.2.4 Referensi Leksikon ... 23

2.2.5 Konsepsi-konsepsi Pola Pikir ... 24


(4)

2.2.7 Fungsi Bahasa ... 29

2.2.47.1 Fungsi Bahasa Jacobson ... 31

2.2.8 Mantra ... 32

BAB 3 METODE DAN MODEL PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian ... 37

3.1.1 Pendekatan Penelitian ... 37

3.1.2 Lokasi Penelitian ... 37

3.1.3 Sumber Data dan Korpus ... 38

3.1.4 Metode Pengumpulan Data ... 39

3.1.4.1 Observasi Partisipan ... 39

3.1.4.2 Observasi Periodik ke Lapangan ... 40

3.1.4.3 Wawancara Mendalam (Indepth Interview) ... 40

3.2 Instrumen Penelitian ... 41

3.3 Metode Analisis Data ... 42

3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 43

3.5 Model Penelitian ... 44

BAB 4 HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengantar... 48

4.2 Bentuk Lingual Mantra Dangdan Banjarsari ... 48

4.2.1 Bunyi Segmental dan Suprasegmental ... 50

4.2.2 Aspek Leksikal ... 56

4.2.3 Pengulangan (Repetisi) ... 57

4.2.3.1 Repetisi Anafora ... 58

4.2.3.2 Repetisi Anaforamesodiplosis ... 63

4.2.3.3 Repetisi Anaforaepistrofa ... 66

4.2.3.4 Repetisi Epistrofa ... 66

4.2.4 Sinonim ... 68

4.2.4.1 Perbedaan Aplikasi ... 70


(5)

4.2.5 Antonim ... 73

4.2.5.1 Antonimi yang Bersifat Mutlak ... 75

4.2.5.2 Antonimi yang Bersifat Relatif/Bergradasi ... 75

4.3 Referensi Leksikon Mencerminkan Konsep Cantik dalam Mantra Dangdan Banjarsari ... 76

4.3.1 Permohonan ... 76

4.3.2 Bagian Tubuh ... 77

4.3.3 Binatang ... 81

4.3.4 Benda ... 82

4.3.5 Aktivitas Mata ... 84

4.3.6 Keadaan ... 85

4.3.7 Kekerabatan ... 89

4.3.8 Harapan ... 90

4.4 Cermin Konsep Cantik Orang Sunda di Banjarsari Dilihat dari Mantra Dangdan yang Digunakan ... 91

4.5Klasifikasi Mantra Dangdan Banjarsari ... 96

4.5.1 Nama-nama Mantra Dangdan Banjarsari ... 98

4.5.1.1 Nama Mantra yang Berhubungan dengan Kegiatan .. .. 98

4.5.1.1.1 Nama Mantra yang Berbentuk Kata ... 99

4.5.1.1.2 Nama Mantra yang Berbentuk Frasa ... 99

4.5.1.2 Nama Mantra yang Berhubungan dengan Benda ... 100

4.5.1.3 Nama Mantra yang Berhubungan dengan Waktu ... 100

4.5.2 Kategori Tempat ... 101

4.5.3 Kategori Kegiatan ... 101

4.5.3.1 Nama Mantra yang Berbentuk Kata ... 101

4.5.3.2 Nama Mantra yang Berbentuk Frasa ... 102

4.5.4 Kategori Pelaku ... 102

4.5.4.1 Nama Mantra yang Dituturkan Secara Personal ... 102

4.5.4.2 Nama Mantra yang Dituturkan Secara Personal dan Kolektif ... 104


(6)

4.5.5.1 Frekuensi Pemakaian ... 105

4.5.5.1.1 Rutin (tiap hari, tiap minggu, tiap bulan).. 105

4.5.5.1.2 Insidental ... 105

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan ... 107

5.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 110

LAMPIRAN ... 113