ISTILAH-ISTILAH SESAJI WILUJENGAN NAGARI DI SASANA HANDRAWINA KERATON SURAKARTA HADININGRAT (Suatu Kajian Etnolinguistik)

ISTILAH-ISTILAH SESAJI WILUJENGAN NAGARI DI SASANA HANDRAWINA KERATON SURAKARTA HADININGRAT (Suatu Kajian Etnolinguistik) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh RINA TRI RATNA

C 0106043

JURUSAN SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

PERNYATAAN

Nama : Rina Tri Ratna Nim : C0106043

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat (Kajian Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 11 Juli 2011

Yang membuat pernyataan,

Rina Tri Ratna

MOTTO

Dosa terbesar adalah ketakutan

Rekreasi terbaik adalah belajar

Kesulitan terberat adalah keputusan

Guru terbaik adalah pengalaman

Modal terbesar adalah percaya diri

(Sayyidina Ali bin Abu Tholib ra)

Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil.

Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki

(Mahatma Ghandi)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Bapak yang selalu menemani dan menyayangiku

(Alm) Ibu yang selalu kukenang di dalam kalbu

Suamiku tercinta, terima kasih atas kasih sayang dan motivasinya

Kedua kakakku yang aku banggakan

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Istilah-istilah Sesaji

Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat

(Suatu Kajian Etnolinguistik). Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini penulis sadari masih banyak hambatan atau kesulitan yang dihadapi maupun yang bersifat teoretik atau praktis. Dengan bekal keyakinan yang kuat dan usaha yang tulus serta adanya dukungan dari berbagai pihak, segala hambatan dan kesulitan dapat teratasi. Oleh karena itu, dengan kesadaran dan kerendahan hati yang tulus, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

1. Drs. Riyadi Santosa, M. Ed, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas dan perizinan sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan semestinya.

2. Drs. Supardjo, M.Hum., dan pendahulunya Drs. Imam Sutarjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan dan Koordinator Bidang Linguistik Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmunya serta kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Y. Suwanto, M.Hum., selaku pembimbing pertama yang telah berkenan membimbing penulis dengan penuh perhatian dan kebijaksanaanya, serta selalu membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Drs. H. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing kedua dan Pembimbing Akademik yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian, memberikan bekal ilmu selama studi di Jurusan Sastra Daerah dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah, terima kasih atas kesabarannya dalam menyampaikan ilmunya dari semester awal sampai penulisan skripsi selesai.

7. Bapak, kedua kakakku dan suamiku tercinta terima kasih atas kasih sayang, doa, motivasi, dan selalu memberi dorongan semangat supaya cepat menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman Sastra Dearah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret angkatan 2006, untuk kebersamaanya selama ini.

9. K.P.G.H. Puger dan K.P. Winarnokusumo yang telah banyak memberikan informasi tentang sesaji dengan sabar kepada penulis, semoga Allah membalas kebaikannya.

10. Ibu Nanik Winarni Swaminarso dan ibu Suryo Samtono selaku Nyai Gondorasan yang telah bersedia memberikan banyak informasi tentang sesaji dan memberikan izin penulis untuk memotret istilah-istilah sesaji wilujengan Nagari di Sasana Handrawina KSH objek penelitian ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua bantuannya dalam penyelesaian skripsi saya. Penulis menyadari bahwa penulis belum bisa membalas kebaikan-

kebaikan Anda, semoga Allah SWT. yang membalas semua amal kebaikan Anda. Amin. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sadari masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu. Oleh karena itu, penulis berharap, kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penyusun secara pribadi atau pada pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

Rina Tri Ratna

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

A. Daftar Singkatan

dsb : dan sebagainya KBBI

: Kamus Besar Bahasa Indonesia K.G.P.H. : Kanjeng Gusti Pangeran Harya K.P.

: Kanjeng Pangeran K.R.T.

: Kanjeng Raden Tumenggung KSH

: Keraton Surakarta Hadiningrat lsp

: lan sakpanunggalane SWT

: Subhana Wata ‟ala YME

: Yang Maha Esa

B. Daftar Lambang

1. Lambang Fonetis [ a ]

[ ar| G ]

dalam

areng „areng‟ [ O ]

[ rOjO ]

dalam

raja „raja‟

biru „biru‟

[ D| le ]

dalam

dhele „kedelai‟ [e]

[ lele ]

dalam

lele „jenis ikan‟ [ | ]

[ | nT I? ]

dalam

enthik „umbi‟ kates „pepaya‟ enthik „umbi‟ kates „pepaya‟

[hawUk]

dalam

hawuk-hawuk „jenis sesaji‟ [i]

[ ir| ng ]

dalam

ireng „hitam‟ [ I ]

[ kripI? ]

dalam

kripik „keripik‟ [j]

[ j| naG ]

dalam

jenang „bubur‟ [k]

[ k| mbaG ]

dalam

kembang „bunga‟ [ ? ]

[ g| cO? ]

dalam

gecok „jenis sesaji‟ [ l ]

[ lele ]

dalam

lele „jenis ikan‟ [m]

[mihun]

dalam

mihun „mihun‟ [ G ]

[ j| naG ]

dalam

jenang „bubur‟ [ñ]

[ m| ~ nan ] dalam

menyan „kemenyan‟ [p]

[ p| c| l ]

dalam

pecel „nama makanan‟ [s]

[srabi]

dalam

srabi „nama makanan‟ [t]

[ tump| G ]

dalam

tumpeng „tumpeng‟ [ T ]

[ inT Il ]

dalam

inthil „jenis sesaji‟ [u]

[uwi]

dalam

uwi „uwi‟

[ krupU? ]

dalam

krupuk „kerupuk‟ [w]

[ Dakowan ]

dalam

dhakoan „jenis sesaji‟

2. Lambang Lain „...‟ : mengapit terjemahan “...” : mengapit kutipan

: proses penggabungan

: mengapit bentuk fonetis → : menjadi.... - : sebagai penghubung sufiks/atêr-atêr dipun- dengan kata yang berawalan huruf konsonan y dan g

: mengapit keterangan

: menyatakan atau

ABSTRAK

Rina Tri Ratna. C0106043. 2011. Istilah-istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat (Suatu Kajian Etnolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (I) Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH?, (2) Bagaimanakah makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH?, (3) Bagaimanakah makna kultural istilah-istilah sesaji wilujengan nagari tersebut?.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. (2) Menjelaskan makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari. (3) Menjelaskan makna kultural istilah- istilah sesaji wilujengan nagari.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan data kebahasaan yang berkaitan dengan bentuk, makna leksikal, dan makna kultural, kemudian dianalisis berdasarkan bentuk, makna leksikal, dan makna kultural.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode simak yang digunakan adalah metode simak libat cakap, adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap, dan teknik lanjutannya menggunakan teknik rekam, kerja sama dengan informan atau wawancara, dan teknik catat.

Data pada penelitian ini berupa istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. Jenis data yang digunakan adalah data lisan. Data lisan sebagai data utama, sumber data lisan berasal dari informan. Pada analisis data menggunakan metode distribusional dan metode padan.

Hasil penelitian dalam upacara wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH ini memiliki istilah sejumlah 49 buah, yang dapat dikelompokkan menjadi bentuk monomorfemis berjumlah 15 buah yaitu: apem, areng, enthik, gecok, jeruk , kates, kocor, menyan , mihun , pohung, salak, srabi, telo, uwi, wajik. Terdapat bentuk polimorfemis 9 buah yaitu: bekakak wong, enten-enten, dhakoan, gedhang raja , hawuk-hawuk, jangan menir, jongkong inthil, kolak kencana, pecel pitik . Berupa frasa berjumlah 25 buah yaitu dhele ireng, gula Jawa, jajanan pasar , jenang abang putih, jenang blawah, jenang elang, jenang grendul, jenang katul , jenang pati, jenang sengkala, jenang sungsum, kembang kinang, ketan Hasil penelitian dalam upacara wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH ini memiliki istilah sejumlah 49 buah, yang dapat dikelompokkan menjadi bentuk monomorfemis berjumlah 15 buah yaitu: apem, areng, enthik, gecok, jeruk , kates, kocor, menyan , mihun , pohung, salak, srabi, telo, uwi, wajik. Terdapat bentuk polimorfemis 9 buah yaitu: bekakak wong, enten-enten, dhakoan, gedhang raja , hawuk-hawuk, jangan menir, jongkong inthil, kolak kencana, pecel pitik . Berupa frasa berjumlah 25 buah yaitu dhele ireng, gula Jawa, jajanan pasar , jenang abang putih, jenang blawah, jenang elang, jenang grendul, jenang katul , jenang pati, jenang sengkala, jenang sungsum, kembang kinang, ketan

SARI PATHI

Rina Tri Ratna. C0106043. 2011. Istilah-istilah Sajèn Wilujêngan Nagari wontên Sasana Handrawina Kêraton Surakarta Hadiningrat (Sawijining Panalitèn Etnolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra lan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pêrkawis ingkang dipuntaliti wontên ing panalitèn mênika (1) kados pundi wujudipun istilah-istilah sajèn wilujêngan nagari wontên Sasana Handrawina KSH? (2) kados pundi makna lèksikalipun istilah-istilah sajèn wilujêngan nagari wontên Sasana Handrawina KSH? (3) kados pundi makna kulturalipun istilah- istilah sajèn wilujêngan nagari kasêbut?

Ancasipun panalitèn punika kanggé: (1) ngandharakên wujud ing istilah- istilah sajèn wilujêngan nagari ing Sasana Handrawina KSH. (2) ngandharakên makna lèksikalipun istilah-istilah sajèn wilujêngan nagari. (3) ngandharakên makna kulturalipun istilah-istilah sajen wilujêngan nagari.

Métodê ingkang dipun-ginakakên wontên panalitèn mênika métodê déskriptif kualitatif inggih mênika ngandharakên bukti basa ingkang wontên gêgayutan kaliyan wujud, makna lèksikal, lan makna kultural, saklajêngipun dipunanalisis miturut wujud, makna lèksikal, lan makna kultural.

Data wontên ing panalitèn mênika awujud istilah-istilah sajèn wilujêngan nagari wontên Sasana Handrawina KSH. Jinising data ingkang dipun-ginakakên inggih mênika data lisan. Data lisan mênika data utama, sumber data lisan mênika saking informan. Wontênipun analisis data mênika migunakakên métodê distribusional lan métodê padan.

Asiling panalitèn wontên upacara wilujêngan nagari wontên Sasana Handrawina KSH mênika nggadhahi istilah gunggungipun 49 iji, sagêd kagolongakên monomorfèmis gunggungipun 15 iji inggih mênika: apêm, arêng, ênthik , gêcok, jêruk, katès, kocor, mênyan , mihun , pohung, salak, srabi, télo, uwi, wajik . Awujud polimorfèmis 9 iji inggih mênika: bêkakak wong, êntèn-êntèn, dhakoan, gêdhang raja, hawuk-hawuk, jangan mênir, jongkong inthil, kolak kêncana , pêcêl pitik. Awujud frasa gunggungipun 25 iji inggih mênika: dhêlé irêng, gula Jawa , jajanan pasar, jênang abang putih, jênang blawah, jênang êlang , jênang grêndul, jênang katul, jênang pati, jênang sêngkala, jênang sungsum, kêmbang kinang , kêtan biru, kêtan warni-warni, krupuk abang, lélé urip , pitik urip, sambêl gorèng, sêga golong, sêga jagung, sêga wuduk ingkung témpé kripik , tumpêng janganan, tumpêng mêgana, lan tumpêng ropoh.

ABSTRACT

Rina Tri Ratna. C0106043. 2011. Istilah-istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat (A Etnolinguistik Study). Thesis: Javanese Language and Literatur Faculty of Letters and Arts, Sebelas Maret University Surakarta.

The problems discussed in this study, namely (1) How of terms in the Sasana village wilujengan offerings Handrawina KSH?, (2) How were the meaning of lexical terms in Sasana village wilujengan offerings Handrawina KSH?, (3) How were the meaning of the term cultural wilujengan Nagari-term offerings that?.

The purpose of this study were (1) Describe the terms of the offering in Nagari wilujengan Sasana Handrawina KSH. (2) Explain the meaning of lexical terms wilujengan nagari offerings. (3) Explain the meaning of cultural terms wilujengan nagari offerings.

The method used in this study is a qualitative descriptive method that is describing data relating to the forms of linguistic, lexical meaning, and cultural meaning, and then analyzed based on form, lexical meaning, and cultural meaning.

Methods of data collection in this study using methods refer to the method of collecting data by listening to language use. Consider the method used is the method refer to capably involved, as for the basic technique used is the technique of tapping, and subsequent techniques using recording techniques, working with informants or interviews, and technical notes.

The data in this study the terms of the offering in Nagari wilujengan Sasana Handrawina KSH. Types of data used is oral data. Oral data as primary data, the source data comes from oral informants. In the analysis of data using distributional methods and matching methods.

The results in the ceremony at the Sasana village wilujengan Handrawina KSH has a term some 49 pieces, which can be grouped into the shape of 15 fruit monomorfemis namely: apem, areng, enthik, gecok, jeruk, kates, kocor, menyan , mihun , pohung, salak, srabi, telo, uwi, wajik. There are 9 pieces that form polimorfemis: bekakak wong, enten-enten, dhakoan, gedhang raja, hawuk-hawuk, jangan menir , jongkong inthil, kolak kencana, pecel pitik. Form of the phrase amounted to 25 pieces of dhele ireng, gula Jawa, jajanan pasar, jenang abang putih , jenang blawah, jenang elang, jenang grendul, jenang katul, jenang pati, jenang sengkala , jenang sungsum, kembang kinang, ketan biru, ketan warni- warni , krupuk abang, lele urip, pitik urip, sambel goreng, sega golong, sega jagung , sega wuduk ingkung tempe kripik, tumpeng janganan, tumpeng megana ,dan tumpeng ropoh.

KERATON SURAKARTA HADININGRAT

(Suatu Kajian Etnolinguistik)

Rina Tri Ratna 1

Drs. Y. Suwanto, M.Hum. 2 Prof. Dr. Drs. H. Sumarlam, M.S. 3

ABSTRAK

2011. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (I) Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH?, (2) Bagaimanakah makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH?, (3) Bagaimanakah makna kultural istilah-istilah sesaji wilujengan nagari tersebut?. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan bentuk istilah- istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. (2) Menjelaskan makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari. (3) Menjelaskan makna kultural istilah-istilah sesaji wilujengan nagari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan data kebahasaan yang berkaitan dengan bentuk, makna leksikal, dan makna kultural, kemudian dianalisis berdasarkan bentuk, makna leksikal, dan makna kultural. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode simak yang digunakan adalah metode simak libat cakap, adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik

1 Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah dengan NIM C0106041 2 Dosen Pembimbing I 3 Dosen Pembimbing II

nagari di Sasana Handrawina KSH. Jenis data yang digunakan adalah data lisan. Data lisan sebagai data utama, sumber data lisan berasal dari informan. Pada analisis data menggunakan metode distribusional dan metode padan. Hasil penelitian dalam upacara wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH ini memiliki istilah sejumlah 49 buah, yang dapat dikelompokkan menjadi bentuk monomorfemis berjumlah 15 buah yaitu: apem, areng, enthik, gecok, jeruk, kates, kocor, menyan, mihun , pohung, salak, srabi, telo, uwi, wajik. Terdapat bentuk polimorfemis 9 buah yaitu: bekakak wong, enten-enten, dhakoan, gedhang raja, hawuk-hawuk, jangan menir, jongkong inthil , kolak kencana, pecel pitik. Berupa frasa berjumlah 25 buah yaitu dhele ireng, gula Jawa, jajanan pasar, jenang abang putih, jenang blawah , jenang elang, jenang grendul, jenang katul, jenang pati , jenang sengkala, jenang sungsum, kembang kinang, ketan biru , ketan warni-warni, krupuk abang, lele urip, pitik urip, sambel goreng , sega golong, sega jagung, sega wuduk ingkung tempe kripik , tumpeng janganan, tumpeng megana,dan tumpeng ropoh.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting yang tidak dapat dipisahkan dengan manusia, karena dalam kesehariannya manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan bahasa kita dapat mengetahui kebudayaan suatu daerah. Bahasa juga mencerminkan kebudayaan suatu daerah, karena bahasa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia.

Hubungan antara pemakai bahasa dan pola kebahasaan tercermin dalam istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. Kebudayaan Jawa merupakan peradaban orang Jawa yang berakar dari Keraton. Pengaruh budaya Keraton Surakarta terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya masih sangat kuat hingga sekarang. Salah satu wujud pengaruh kebudayaan tersebut adalah upacara wilujengan nagari KSH. Dalam upacara itu terdapat istilah-istilah sesaji, sehingga masalah ini menarik untuk dikaji secara etnolinguistik.

Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi dan linguistik, sehingga dengan mempelajari etnolinguistik kita dapat mengetahui hubungan antara kebudayan dengan masalah bahasa. Istilah „etnolinguistik‟ berasal dari kata „etnologi‟ berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang mengkaji seluk beluk bahasa keseharian manusia

disebut dengan ilmu bahasa yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang bisa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi bahasa)

Etnolinguistik (ethnolinguistics) mengandung dua pengertian yaitu (1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan (bidang ini juga disebut linguistik antropologi); (2) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol adalah masalah relativitas bahasa (Harimurti Kridalaksana, 1983: 42). Berdasarkan pengertian tersebut mengandung dua unsur yang saling berhubungan yaitu bahasa dan budaya masyarakat.

KSH merupakan pusat dan sumber kebudayaan Jawa. KSH disebut Keraton Kasunanan Surakarta, didirikan oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 17 Sura tahun Je 1670 atau bertepatan

17 Februari 1745, hari Rabu. Adapun tanggal berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat ini diambil dari ”kepindahan” Keraton Kartasura ke Desa Sala pada

hari Rabu tanggal 17 bulan Sura tahun Je 1670, sinengkalan ”KOMBUL ING PUDYA KAPYARSI ING NATA” (tahun 1670 Jawa) atau tanggal 17 Pebruari 1745 (Sri Winarti, 2002: 23). KSH sampai saat ini masih dihormati keberadaannya oleh masyarakat Jawa.

Sampai saat ini masih banyak sekali upacara-upacara adat KSH yang masih dilaksanakan. Upacara-upacara adat KSH ini menjadi tradisi setiap tahunnya yang masih sangat sakral. Masyarakat Jawa percaya bahwa upacara- upacara adat yang dilakukan oleh KSH pasti akan membawa berkah tersendiri bagi mereka. Upacara tradisional yang masih dilaksanakan hingga sekarang antara lain suran, grebeg sekaten, jamasan Nyai Setomi, jamasan pusaka-pusaka, dan

Upacara adat yang masih dilaksanakan oleh KSH yaitu upacara wilujengan. Salah satu upacara yang sampai sekarang masih di laksanakan yaitu upacara wilujengan nagari KSH. Upacara wilujengan nagari KSH merupakan peringatan perpindahan Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Sala, sekaligus sebagai hari jadi Kota Sala. Peringatan ini jatuh pada setiap tanggal 17 Februari, sesuai dengan waktu pindahnya Keraton Kasunanan ke Sala. Namun dari pihak keraton upacara wilujengan tidak dilaksanakan pada setiap tanggal 17 Februari karena pihak Keraton menggunakan kalender Jawa yang berpatokan pada peredaran bulan. Pada tahun ini upacara wilujengan nagari KSH dilaksanakan pada tanggal 3 Januari 2010, yang digelar di Sasana Handrawina kompleks KSH.

Upacara wilujengan nagari KSH wujud selamatan memohon kepada Sang Pencipta dan menghormati seorang tokoh yang telah berjasa akan keberadaan KSH agar KSH selalu diberi keselamatan untuk dilindungi dari segala hal yang tidak benar, dengan diadakan wilujengan diharapkan akan terjadi keselamatan yang terus-menerus. Sebagai sarana untuk memohon kepada Sang Pencipta dan menghormati seorang tokoh yang telah berjasa akan keberadaan KSH maka disiapkan sesaji-sesaji untuk upacara wilujengan tersebut. Dalam upacara wilujengan nagari KSH isinya tentang cerita perpindahan Keraton dan doa selamatan (K.P.G.H. Puger, 1 Februari 2010).

Upacara wilujengan nagari KSH merupakan salah satu upacara adat di KSH sangat perlu untuk dilestarikan, agar generasi muda sekarang ini mengetahui dan mengenal tradisi yang dimiliki masyarakat Jawa. Upacara wilujengan nagari Keraton merupakan bentuk selamatan atas perpindahan dari Kartasura ke Sala.

Dari hasil pencarian peneliti sampai sekarang ini belum ada penulis yang meneliti mengenai istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kajian etnolinguistik yang dipakai penulis sebagai contoh menganalisis tentang bentuk, makna dan menambah pengetahuan tentang teori etnolinguistik adalah sebagai berikut.

Hidha Watari, 2008, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur

Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang Kabupaten Sragen” yang mengkaji tentang bentuk dan makna dari Istilah-istilah sesaji dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang Kabupaten Sragen.

Andina Dyah Sitaresmi, 2009, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta

Hadiningrat” yang mengkaji tentang bentuk, makna leksikal dan makna kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Sentomi di Siti Hinggil Keraton Surkarta Hadiningrat.

Destria Anindita Puspitasari, 2010, dalam skripsi yang berjudul “Istilah-

Istilah dalam Upacara Tingkeban Adat Jawa di Kota Surakarta ” yang mengkaji tentang bentuk, makna dan nilai etik dari istilah-istilah dalam upacara Tingkeban Adat Jawa di Kota Surakarta.

Dengan pendekatan etnolinguistik penulis mengambil judul: Istilah-Istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat. Adapun alasannya adalah sebagai berikut:

1) Istilah sesaji upacara wilujengan nagari KSH ini belum pernah diteliti.

2) Istilah sesaji upacara wilujengan nagari KSH ini perlu diketahui sejarah dan perkembangannya, sehingga masyarakat awam dapat mengenal upacara tradisi ini.

3) Sesaji yang digunakan dalam upacara wilujengan nagari KSH ini memiliki makna tersendiri.

B. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian yang berjudul “Istilah-istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat” ini dikaji menggunakan teori etnolinguistik. Untuk mempermudah penelitian tidak melebar dari permasalahan yang ada maka permasalahan dibatasi pada masalah bentuk, makna leksikal, dan makna kultural. Bentuk meliputi macam-macam sesaji apa saja. Makna di sini terdiri dari makna leksikal dan makna kultural dari istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH? (Masalah ini diteliti untuk mendeskripsikan istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH, ada yang berbentuk monomorfemis, polimorfemis, dan frasa).

2) Bagaimanakah makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH? (Masalah ini diteliti untuk menjelaskan istilah- 2) Bagaimanakah makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH? (Masalah ini diteliti untuk menjelaskan istilah-

3) Bagaimanakah makna kultural istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH? (Masalah ini dikaji untuk menjelaskan istilah- istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH yang memiliki makna kultural).

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH.

2) Menjelaskan makna leksikal istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH.

3) Menjelaskan makna kultural istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH.

E. Manfaat Penulisan

Kontribusi dan berbagai manfaat dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Secara teoretis Secara teoretis penelitian yang berjudul Istilah-istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat ini diharapkan bermanfaat untuk menambah khazanah penelitian di bidang 1) Secara teoretis Secara teoretis penelitian yang berjudul Istilah-istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat ini diharapkan bermanfaat untuk menambah khazanah penelitian di bidang

2) Secara praktis

a) Penelitian ini diharap dapat memberikan manfaat bagi masyarakat tentang pengetahuan bentuk dari makna leksikal dan makna kultural khususnya pada istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH.

b) Mendukung program pemerintah dalam kaitannya dengan mengembangkan nilai budaya Indonesia guna memperkuat kepribadian bangsa.

c) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk para peneliti selanjutnya.

d) Bentuk pendokumentasi budaya Jawa dalam bentuk tulisan. Pendokumentasian istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH dilakukan supaya dapat terus diketahui oleh generasi mendatang. Oleh karena itu, pendokumentasian adalah langkah awal terpenting dalam setiap usaha-usaha pelestarian unsur-unsur kebudayaan yang diperkirakan sudah akan punah.

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

sasana handrawina, keraton surakarta hadiningrat, bentuk, makna, asal mula pengertian etnolinguistik, kajian etnolinguistik, masyarakat bahasa dan kerangka pikir.

Bab III Metode Penelitian, berisi sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisi data, dan metode penyajian analisis data.

Bab IV Analisis, berupa bentuk dan makna istilah-istilah unsur sesaji dalam upacara wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. Bab V Penutup, terdiri atas simpulan dan saran. Pada bagian akhir disajikan daftar pustaka dan lampiran.

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Landasan Teori

Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai kerangka pikir untuk mendekati permasalahan dan bekal untuk menganalisis obyek kajian.

1. Istilah

Istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan suatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian (Poerwadarminta, 1976: 388). Istilah adalah suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Hasan Alwi, 2002: 390).

Menurut Harimurti Kridalaksana, istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.(1983: 67)

Istilah yaitu tembung (tetembungan) sing mengku teges, kaanan, sipat lan mirunggan ing babagan tartamtu ‘kata yang mengandung makna, keadaan, sifat

dan sehingga yang sesuai pada bagian tertentu ’ (Prawiraatmojo, 1993: 287).

2. Sesaji

Sesajen berarti sajian atau hidangan. Sesajen atau sesaji memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk ngalap berkah ‘mencari berkah’ di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau diberikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan ghaib, semacam keris, trisula, dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi.

Adapun bentuk sesajiannya bervariasi tergantung permintaan atau sesuai "bisikan ghaib" yang diterima oleh orang pintar, paranormal, dukun dan sebagainya. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan

terkena kutukan).

(http://ghuroba.blogsome.com/2008/01/27/ritual-sesaji-sesajian-sesajen-adakah- dalam-islam/)

Sajen atau sesaji adalah makanan (buah-buahan dan sebagainya) disajikan kepada makhluk halus dan sebagainya. Saji atau bersaji adalah mempersembahkan sajian berupa makanan dan benda lain dalam upacara keagamaan yang dilakukukan secara simbolik dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib, sedangkan sejian berupa makanan, buah-buahan dan sebagainya yang dipersembahkan pada kekuatan-kekuatan gaib dalam upacara bersaji (Hasan Alwi, 2002: 979).

Menurut Suwardi Endraswara, sesaji merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk ‘negoisasi’ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu.

Dengan pemberian makanan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak dan mau membantu hidup manusia (2006: 247).

Sesaji wilujengan yang ada di KSH merupakan adat atau tradisi berdasarkan uwoh pangolahing budi ‘hasil tindakan budi manusia’. Oleh karena itu, sesaji wilujengan dikalangan keraton itu berdasarkan budaya Jawa atau adat leluhur. Kepercayaan masyarakat Jawa khususnya KSH bahwa kehidupan silih berganti seperti cokro manggilingan selalu berputar yang telah digariskan Yang Maha Pencipta, sebagai makhluk ciptaan Tuhan kiranya tidak dapat menghindar. Namun demikian, manusia sebagai makhluk berakal dan berbudi diberi wewenang untuk berusaha yang tertuju pada karahayon ‘ketrentraman’ dan kawilujengan ‘keselamatan’ dengan menempuh cara lahir dan batin, antara lain dengan mengadakan sesaji wilujengan (Gusti Puger, April 2011).

3. Wilujengan Nagari

Dalam Kamus Ungah-Ungguh Basa Jawa, wilujengan atau slametan adalah pengetan tumrap tiyang ingkang sampun tilar donya mawi upacara tradisi lan agami ‘peringatan untuk orang yang sudah meninggal dunia menurut upacara adat atau agama’ (Haryana H. dan Th. Supriya, 2001: 406). Menurut hasil

wawancara dari K.P.G.H. Puger, wilujengan nagari adalah selametan negara, berbeda dengan syukuran, karena wilujengn ini sifatnya memohon keselamatn untuk dilindungi dari segala marabahaya. Dengan diadakan wilujengan nagari yang diujudkan sesaji-sesaji dengan tujuan memohon kepada Tuhan YME agar diberi keselamatan yang terus menerus dan agar dengan ujud sesaji tadi mendapat wawancara dari K.P.G.H. Puger, wilujengan nagari adalah selametan negara, berbeda dengan syukuran, karena wilujengn ini sifatnya memohon keselamatn untuk dilindungi dari segala marabahaya. Dengan diadakan wilujengan nagari yang diujudkan sesaji-sesaji dengan tujuan memohon kepada Tuhan YME agar diberi keselamatan yang terus menerus dan agar dengan ujud sesaji tadi mendapat

Dalam upacara wilujengan nagari KSH isinya tentang cerita perpindahan KSH dan doa selamatan. Upacara wilujengan nagari KSH dipimpin oleh K.P.G.H. Puger kemudian dibacakan cerita tentang perpindahan keraton oleh K.P. Winarnokusumo setelah itu dibacakan doa oleh K.R.T. Pujosetiyodipuro. Setelah upacara selesai sesaji yang bisa dimakan akan dibagikan dan dimakan bersama- sama guna merapatkan tali persaudaraan (Winarnokusumo, April 2011).

4. Sasana Handrawina

Secara etimologi Sasana Handrawina berarti sasana ‘enggon’ dan handrawina ‘perjamuan makan’, jadi Sasana Handrawina berarti tempat

perjamuan makan. Sasana Handrawina sering digunakan untuk tempat menjamu tamu agung keraton. Pada tahun 1985 KSH pernah mengalami musibah kebakaran, bangunan sasana handrawina termasuk bangunan yang ikut terbakar. Bangunan-bangunan yang terbakar dulu kini telah berdiri kembali seperti sebelum mengalami musibah. Sasana Handrawina dominan dengan warna ungu yang berarti bangkit, yaitu bangkit dari musibah yang pernah dialami. Sasana Handrawina adalah salah satu bangunan yang digunakan untuk upacara wilujengan nagari KSH.

5. Keraton Surakarta Hadiningrat

KSH atau disebut Keraton Kasunanan Surakarta, didirikan oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 17 Sura tahun Je 1670 KSH atau disebut Keraton Kasunanan Surakarta, didirikan oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 17 Sura tahun Je 1670

Keraton merupakan tempat bertemunya barang agal (kasar) dan barang halus, barang dapat diraba maupun yang tidak dapat diraba, yang kelihatan oleh mata ataupun yang tidak kelihatan oleh mata. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa khususnya KSH. Keraton dijaga oleh badan-badan halus dari empat penjuru, yang disebut keblat papat lima pancer yaitu : dari penjuru timur dijaga oleh Kanjeng Sunan Lawu bertahta di Gunung Lawu, dari penjuru selatan dijaga oleh Kanjeng Ratu Kidul, yang bernama Kanjeng Ratu Kencanasari, bertahta di Sakadomas bale kencana laut selatan (Nyai Rara Kidul adalah sebutan para pengawal), dari penjuru barat Kanjeng Ratu Sekar Kedaton bertahta di Gunung Merapi dan Merbabu, dari penjuru utara Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati bertahta di Sentra Ganda Mayit hutan Krendawahana.

KSH masih sangat percaya apabila mereka menjaga hubungan makrokosmo dan mikrokosmo maka keselamatan pasti selalu menyertai. Oleh sebab itu KSH selalu menggelar ritual-ritual khusus untuk menghormati arwah leluhur yang berada di empat penjuru tersebut dengan memberikan sesaji khusus.

6. Bentuk

a. Monomorfemis

Monomorfemis adalah kata bermorfem satu. Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari satu morfem, morfem merupakan satu bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya (ter-) (di-) (Harimurti Kridalaksana, 2001:148). Menurut Djako Kentjono, satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata, kata dalam hal ini satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri dapat berdiri sendiri, mempunyai makna dan berkatagori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata (1982: 44-45).

b. Polimorfemis

Polimorfemis adalah kata yang bermorfem lebih dari satu. Polimorfemis merupakan kata yang telah mengalami proses morfologis. Proses morfologis sediri meliputi:

1) Afiksasi Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata (Abdul Chaer, 2007: 177). Kata yang berafiks dapat dibagi atas kata-kata yang mengandung prefiks, infiks, sufiks dan konfiks.

2) Pengulangan bunyi atau reduplikasi Pengulangan bunyi atau reduplikasi adalah proses dari hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonetis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 1983: 143). Menurut Abdul Chaer reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan pengubahan bunyi (2007: 182-183).

3) Kata majemuk Kata majemuk adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti (Gorys Keraf, 1984: 124). Menurut Harimurti Kridalaksana kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal dan semantik yang khusus, menurut kaidah bahasa yang bersangkutan; pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (2001: 99).

Ciri-ciri kata majemuk yaitu komposisi yang memiliki makna baru/memiliki satu makna, kata majemuk tidak dapat disela dengan unsur lain, dan salah satu/kedua komponen kata majemuk berupa morfem dasar terikat (Abdul Chaer, 2007: 224).

c. Frasa

Frasa adalah suatu konstruksi yang tediri dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan. Kesatuan ini dapat menimbulkan suatu maksud baru yang sebelumnya tidak ada. (Gorys Keraf, 1984: 139). Menurut Djoko Kentjono, frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau Frasa adalah suatu konstruksi yang tediri dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan. Kesatuan ini dapat menimbulkan suatu maksud baru yang sebelumnya tidak ada. (Gorys Keraf, 1984: 139). Menurut Djoko Kentjono, frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau

Frasa seperti kata, frasa dapat berdiri sendiri. Frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frasa endosentrik, dan frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya disebut frasa eksosentrik (Ramlan, 2001: 142).

Ciri frasa adalah terdiri dari dua kata atau lebih, dapat diisi unsur apapun dan tidak mengubah makna, tidak memiliki makna baru melainkan makna sintaktik, dapat diuraikan menurut komponen pembentuknya, mempunyai unsur pusat inti dan unsur pendamping sebagai modifatornya (Abdul Chaer, 2007: 224). Contoh bentuk frasa sega golong mempunyai unsur pusat inti yaitu sego sebagai inti frasa sedangkan golong sebagai atribut

7. Makna

Menurut Fatimah Djajasudarma pengertian sence ’makna’ dibedakan dari meaning ’arti’ di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti melalui fungsi dalam pemahaman fungsi hubungan antara unsur. Dengan demikian, kita mengenal makna leksikal dan makna kultural (1993:4)

Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal adalah makna kata-kata yang dapat berdiri Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal adalah makna kata-kata yang dapat berdiri

Makna leksikal yaitu makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain. Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunanya atau konteksnya (Harimurti Kridalaksana, 2001: 133). Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wahid Abdullah, 1999: 3). Makna kultural ini muncul dengan adanya pola kepercayaan dari setiap daerah akan pemberian keselamatan dan kemakmuran.

8. Asal Mula Pengertian Etnolinguistik

Koentjaraningrat dalam Beberapa Pokok Antropologi Sosial mengemukakan definisi etnolinguistik yaitu suatu ilmu bagian yang pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi, obyek penelitiannya berupa kata-kata, pelukisan-pelukisan dari ciri-ciri, pelukisan-pelukisan tentang tata bahasa dari bahasa-bahasa lokal yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi, terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan suatu suku bangsa (Koentjaraningrat, 1992: 2). Definisi lain menurut Sudaryanto,

Etnolinguistik adalah ilmu yang meneliti seluk beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan pola pikir kebudayaan (Sudaryanto, 1996: 7).

Istilah etnolinguistik juga ada yang menyebut sebagai Antropologi linguistik yaitu subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan bahasa dengan budaya dan pranata budaya manusia atau juga penggunaan cara-cara linguistik dalam penyelidikan antropologi budaya (Abdul Chaer, 2003: 16).

Istilah etnolinguistik yaitu berasal dari kata etnologi dan linguistik yang lahir karena penggabungan antara pendekatan etnologi dengan pendekatan linguistik. Atas dasar inilah, Ahimsa membagi kajian etnolinguistik dalam dua golongan, yaitu kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 5).

Dalam penelitian ini, istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH pada awalnya dianalisis dari segi sesajinya. Kemudian dianalisis dari segi budaya, yaitu berupa makna kultural dan leksikal yang terkandung. Dengan demikian, kajian ini termasuk dalam golongan kajian etnologi yang memberi sumbangan bagi linguistik. Kajian tentang bahasa dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam kebudayaan suatu masyarakat yang tersimpan, maka diperlukan bahasa untuk mengungkapkannya.

9. Kajian Etnolinguistik

Kajian etnolinguistik dibagi menjadi dua yaitu (1) kajian linguistik yang memberi sumbangan bagi etnologi dan (2) kajian etnologi yang memberi sumbangan bagi linguistik. Etnologi adalah cabang dari antropologi kebudayaan Kajian etnolinguistik dibagi menjadi dua yaitu (1) kajian linguistik yang memberi sumbangan bagi etnologi dan (2) kajian etnologi yang memberi sumbangan bagi linguistik. Etnologi adalah cabang dari antropologi kebudayaan

Bahasa sangat erat kaitanya dengan budaya masyarakat yang memiliki bahasa tersebut. Seorang ahli bahasa tidak mampu menggali berbagai dimensi semantis dari suatu kata, karena ini memerlukan penelitian lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam konteks inilah para ahli etnologi dapat memberi sumbangan pada linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 9).

10. Masyarakat Bahasa

Masyarakat adalah kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990: 146-147). Menurut Poerwadarminta (1976: 636) masyarakat merupakan pergaulan hidup, sehimpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan atau aturan tertentu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama untuk berinteraksi dalam suatu aturan yang bersifat kontinyu.

Masyarakat yang menggunakan bahasa yang relatif sama dari penilaian yang sama terhadap norma-norma serta pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam suatu masyarakat itu, dapat dikatakan dengan masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa (speech community) adalah kelompok yang mempunyai bahasa yang sama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa yang sama (KBBI, 2002: 721). Masyarakat bahasa adalah Masyarakat yang menggunakan bahasa yang relatif sama dari penilaian yang sama terhadap norma-norma serta pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam suatu masyarakat itu, dapat dikatakan dengan masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa (speech community) adalah kelompok yang mempunyai bahasa yang sama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa yang sama (KBBI, 2002: 721). Masyarakat bahasa adalah

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa adalah masyarakat yang hidup berdampingan dan menggunakan bahasa yg sama dalam komunikasi atau setidak-tidaknya dapat dipahami antara satu dan lainnya.

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian ini menguraikan tentang istilah sesaji dalam upacara wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH. Sumber utama informasi dalam penelitian ini adalah masyarakat KSH sekaligus pelaku upacara wilujengan nagari KSH. Dalam istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH terdapat bentuk dan makna serta perkembangannya dalam masyarakat. Bentuk berupa monomorfemis, polimorfemis, dan frasa, sedangkan makna dapat dijabarkan menjadi makna leksikal, dan kultural. Makna leksikal adalah makna dasar istilah tersebut, atau makna yang muncul dari proses gramatikal, sedangkan makna kultural adalah makna yang ada pada masyarakat atau makna yang dimiliki oleh masyarakat yang ada hubungannya dengan kebudayaan.

Dari pembahasan istilah-istilah sesaji wilujengan nagari di Sasana Handrawina KSH saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari bagan sebagai berikut.

Bagan 1 Kerangka Pikir Istilah-istiah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimukti Kridalaksana, 2001: 136).

Dalam metode penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu jenis penelitian, data, sumber data, populasi, sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian analisis data.

A. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian, memorandum, video-tape (Edi Subroto, 1992: 7).

Istilah deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Penelitian kualitatif data yang terkumpulkan berbentuk kata-kata atau gambar- gambar bukan angka-angka yang selanjutnya diolah secara cermat dengan menggunakan pengkartuan data, sehingga menghasilkan penafsiran yamg kuat dan objektif.

Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa dalam penelitian ini data Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa dalam penelitian ini data

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Lokasi penelitian

yang berjudul “Istilah-Istilah Sesaji Wilujengan Nagari di Sasana