Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA DI INDONESIA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Disusun oleh : Yose Emeraldo Theofilus

SKRIPSI PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA DI INDONESIA

  Dipersiapkan dan ditulis oleh:

  Yose Emeraldo Theofilus NIM: 089114067

SKRIPSI PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA DI INDONESIA

  Dipersiapkan dan ditulis oleh:

  Yose Emeraldo Theofilus NIM: 089114067

  Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji Pada tanggal: 18 Juli 2013

  Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji:

  Nama Lengkap Tanda Tangan Penguji 1 ………………..

  C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. Penguji 2 ………………..

  Dra. L. Pratidamanastiti, MS.

MOTTO

  “The chief end of man is to glorify God and enjoy Him forever.” (Westminster Shorter Catechism) “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

  ” (Kolose 3:23 - ITB)

PERSEMBAHAN

  Untuk saya dimasa depan, seorang ayah dengan anak yang membutuhkan pendidikan seksualitas yang memadai dalam hidupnya Untuk semua orang tua yang mencintai anak-anaknya dengan sepenuh hati dan menginginkan yang terbaik bagi mereka

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

  Yogyakarta, 24 Juni 2013 Penulis,

  Yose Emeraldo Theofilus

  Yose Emeraldo Theofilus ABSTRAK

  Pendidikan seks penting dalam perkembangan individu. Melalui pendidikan seks seseorang dapat memberdayakan dirinya terkait seksualitas. Orang tua merupakan salah satu pihak utama yang memiliki peran besar dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Sayangnya orang tua belum maksimal dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Penelitian ini hendak mengetahu kondisi pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia dengan menggali dan mengeksplorasi beberapa aspek dari pendidikan seks oleh orang tua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu Grounded Theory. Pengambilan data dilakukan melalui Focus Group sebanyak 4 kali dengan jumlah partisipan 13 ayah dan 14 ibu. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa orang tua menyadari perlunya memberi pendidikan seks. Walaupun begitu materi yang diberikan terbatas pada aspek moralitas dan kepantasan perilaku seksual (rambu-rambu). Orang tua menjadikan media TV sebagai sumber informasi seksual yang utama. Hambatan utama orang tua dalam memberikan pendidikan seks adalah keterbatasan skill dan tabu. Pendidikan seks dari orang tua umumnya berbentuk komunikasi satu arah dan isinya berupa nasihat, arahan dan peringatan. Orang tua tidak menyediakan waktu khusus membicarakan seks dan pembicaraan mengenai seks terjadi secara spontan dan bergantung pada trigger. Pendidikan seks oleh orang tua biasanya diberikan oleh ibu.

  Kata Kunci : pendidikan seks, orang tua, pendidikan seks oleh orang tua,

  Yose Emeraldo Theofilus ABSTRACT

  Sex education is important for individual development. Through sex education, one can empower himself about sexuality. Parents are one of some major agent, that have important role in giving sex education to their children. Unfortunately parent have not yet been maximal in giving sex education to their child. This research aim to understand the situation of sex education by parents in Indonesia, by digging and exploring several aspect of sex education by parents. This research use qualitative method, that is Grounded Theory. Data collection conducted through Focus Group as much as 4 times with total participant is 13 fathers and 14 mothers. Research findings reveals that parents are aware of the needs to give sex education. Even so the content usually restricted to morality and appropriate sexual behavior. Parents make TV as their primary source of sexual information. Their major difficulty to give sex education are their limited skill and feeling of taboo. Sex education from parents usually happen in form of one way communication and the content are in form of advice, guidelines, and warning. Parents doesn’t allocate specific moment to speak about sex, rather communication happen spontaneously and rely on trigger. Sex education from parents usually given by mother.

  Keywords: sex education, parent, sex education by parent

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Yose Emeraldo Theofilus Nomor Mahasiswa : 089114067 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanNya sehingga penulisan skripsi “Pendidikan Seks oleh Orang Tua di Indonesia” dapat

  diselesaikan dengan baik oleh penulis.

  Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi dari Fakulas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Bagi penulis, pengerjaan skripsi ini melalui proses yang panjang, berat, melelahkan, namun sekaligus menantang, membangun, dan menginspirasi penulis. Skripsi ini tidak akan dapat terwujud tanpa pertolongan, kerjasama, dukungan, dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.

  Allah Bapa, Yesus Kristus Sahabat dan Juruselamat, dan Roh Kudus Penolong dan Penghibur yang memberkati, menuntun, dan menjaga penulis dalam setiap langkah.

  5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah berbagi ilmu baik didalam maupun diluar kelas yang mendidik penulis menjadi seorang psikologis.

  6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Mas Muji, Mas Gie, Mas Gandung, Mas Doni, Bu Nanik) atas segala bantuannya baik yang bersifat administratif, teknis, ataupun sekedar senyum dan sapa ramah.

  7. Kedua orang tua penulis, Pdt John Then dan Milka Winatayudha yang memberikan dukungan, motivasi, saran, dan doa-doanya. Tak lupa juga terimakasih untuk segala makanan nikmat yang boleh penulis rasakan, yang memberi kekuatan untuk mengerjakan skripsi ini.

  8. Liza, Unk, pacar saya tercinta yang menjadi sahabat yang mendukung dan menguatkan penulis selama proses skripsi. Terima kasih untuk senyum yang menghidupkan hari-hari penulis.

  9. Teman-teman bimbingan pak Siswa, Vincent, Difka, Arisa, Winas, Pritha, Hembah, dan Franz yang mana penulis mendapat kesempatan

  11. Para responden yang terhormat, yang bersedia dengan sukarela dan sukahati meluangkan waktu, perasaan, dan pemikirannya untuk berbagi dan membuka diri sehingga skripsi ini dapat ditulis.

  Yogyakarta, 24 Juni 2013 Penulis

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii . HALAMAN MOTO ............................................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii

  ABSTRACT .......................................................................................................... viii

  HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix

  BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

  1. Definisi ......................................................................................

  14 2. Agen Pendidikan Seks ..............................................................

  15 3. Model Pendidikan Seks .............................................................

  17 4. Materi Pendidikan Seks .............................................................

  19 B. Pendidikan Seks oleh Orang Tua .................................................... 20 1.

  Definisi Orang Tua ................................................................... 20 2. Topik dan Isi Pendidikan Seks ..................................................

  22 3. Waktu untuk Memulai Pendidikan Seks ................................... 23 4.

  Hal yang Memudahkan Terjadinya Pendidikan Seks ...............

  24 5. Hambatan Memberikan Pendidikan Seks .................................

  26 6. Konteks Pendidikan Seks .........................................................

  30 7. Gaya Komunikasi ......................................................................

  31 8. Gender dan Jenis Kelamin ........................................................ 32 C.

  Focus Group ....................................................................................

  33 BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................

  36

  4. Panduan Pertanyaan ..................................................................

  39 D. Prosedur Penelitian .........................................................................

  40 E. Prosedur Analisis Data ....................................................................

  41 1. Memparafrasekan Data .............................................................

  42 2. Interpretasi ................................................................................

  42 3. Membuat Kategori Informasi (Open Coding) ..........................

  42 4. Membuat Pengkategorian yang Lebih Tinggi (Axial Coding) .. 42 F.

  Kredibilitas Penelitian ..................................................................... 43 1.

  Triangulasi .................................................................................

  43 2. Paper Trail ................................................................................. 43

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 44 A. Pelaksanaan ..................................................................................... 44 B. Deskripsi Hasil ................................................................................ 49 1. Materi Pendidikan Seks ............................................................ 49 2. Sumber Informasi Pendidikan Seks ...........................................

  52

  2. Sumber Informasi Pendidikan Seks .......................................... 86 3.

  Hambatan dan Kemudahan dalam Memberi Pendidikan Seks ...

  88 4. Konteks Pemberian Pendidikan Seks ........................................

  92 5. Metode .......................................................................................

  96 6. Pihak Pemberi Pendidikan Seks ..............................................

  101 7. Kebutuhan Pemberdayaan Orang Tua .....................................

  104 8. Pembahasan Umum .................................................................

  105

  BAB V PENUTUP .............................................................................................. 109 A. Kesimpulan ....................................................................................

  109 B. Kekuatan ........................................................................................

  110 C. Kelemahan .....................................................................................

  111 D. Saran ..............................................................................................

  112 1. Orang Tua ................................................................................

  112 2. Sekolah dan Guru .....................................................................

  112 3. LSM, Psikolog, dan Pemerintah ..............................................

  113

DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Persentase Anak yang Menerima Informasi Perubahan Fisik dari Orang Tua pada Tahun 2002 dan 2007 ....................................................

  7 Tabel 2. Daftar Pertanyaan Focus Group ............................................................ 39 Tabel 3. Persiapan Pengambilan Data ...................................................................

  44 Tabel 4. Pelaksanaan Focus Group ......................................................................

  46 Tabel 5. Pelaksanaan Analisis Data ......................................................................

  47 Tabel 6. Kategori dalam Materi Pendidikan Seks ................................................

  49 Tabel 7. Kategori dalam Sumber Informasi Seks .................................................

  52 Tabel 8. Kategori dalam Hambatan dalam Memberikan Pendidikan Seks ......... 54 Tabel 9. Kategori dalam Kemudahan dalam Memberikan Pendidikan Seks ...... 58 Tabel 10. Kategori dalam Konteks Pemberian Pendidikan Seks .........................

  61 Tabel 11. Kategori dalam Metode .........................................................................

  68 Tabel 12. Kategori dalam Pihak Pemberi Pendidikan Seks .................................

  75 Tabel 13. Kategori dalam Kebutuhan Pemberdayaan Orang Tua ........................ 79

  Tabel 19. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Pihak Pemberi Pendidikan Seks ................................................................................ 101

  Tabel 20. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Kebutuhan Pemberdayaan Orang Tua .................................................................. 104

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Panduan Rekrutmen Partisipan ..................................................... 126 Lampiran 2. Surat Konfirmasi Partisipan .......................................................... 127 Lampiran 3. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG1 .................................... 131 Lampiran 4. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG2 .................................... 189 Lampiran 5. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG3 .................................... 226 Lampiran 6. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG4 .................................... 281 Lampiran 7. Open dan Axial Coding ................................................................ 344

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seksualitas adalah salah satu bagian paling penting dari kehidupan

  manusia yang memiliki dimensi fisik, psikologis, spiritual, sosial, ekonomi, politik, dan kultural (Kakavoulis, 2001; Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008; United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization [UNESCO] 2009). Kesadaran sebagai seorang laki-laki dan perempuan, kapasitas untuk memiliki pengalaman dan respon erotis, dan pengetahuan akan peran gender dalam budaya adalah aspek dari seksualitas manusia (Rathus et al., 2008). Dalam seksualitas, seks merupakan aspek kecil namun sangat penting (Carrera, 2008).

  Seks adalah bentuk individu sebagai laki-laki atau perempuan dilihat organ dan struktur reproduksinya (Merriam-W ebster‟s Collegiate Dictionary, 2003).

  Pendidikan seks penting untuk diberikan kepada anak secara khusus di usia remaja, karena remaja sedang mengalami pematangan seksual (Mappiare,

  2 berbagai macam perilaku seksual, mulai dari aktivitas yang dilakukan sendiri, seperti fantasi erotis dan masturbasi, sampai dengan aktivitas yang dilakukan dengan pasangan seperti berpelukan, berciuman, menyentuh bagian-bagian tubuh seperti payudara dan alat kelamin, seks oral, seks anal, dan sanggama (Rathus et al., 2008; Santrock, 2007; Steinberg, 2002).

  Perilaku-perilaku seksual remaja seperti disebutkan diatas ditemukan pada banyak remaja. Di Amerika Serikat, antara 46

  • – 70% remaja dibawah usia 19 tahun sudah pernah berhubungan seksual. Sedangkan di Indonesia sekitar 30% remaja sudah pernah berhubungan seksual (Guttmacher Institiute, 2012; The

  Youth Risk Behavior Surveillance System

  , 2009; Muchtar, 2010; Syn, 2011, 2012). Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey [IYARHS] (2007) menemukan bahwa 29,3% remaja perempuan dan 41,2% remaja laki-laki sudah pernah berciuman, serta 9,1% dan 26,5% sudah pernah melakukan petting.

  Bagi Steinberg (2002), kekhawatiran orang mengenai remaja yang aktif secara seksual adalah rendahnya jumlah pemakaian kontrasepsi. Di Amerika

  3 Penggunaan kontrasepsi yang rendah dan tidak konsisten, terutama kondom, menempatkan remaja pada resiko kehamilan tidak diinginkan dan terkena penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS. Guttmacher Institute (2010) menemukan bahwa pada tahun 2006, 750.000 perempuan berusia dibawah 20 tahun pernah hamil. Steinberg (2002) mengatakan bahwa 25% remaja mengalami kehamilan sebelum usia 18 tahun, dan meningkat menjadi 45% pada usia dibawah 21 tahun. Kehamilan tidak diinginkan membawa remaja pada kemungkinan konsekuensi negatif seperti kemiskinan, putus sekolah, pengangguran, dan kehilangan harapan untuk masa depan (Rathus et al., 2008).

  Terkait resiko PMS, 1 dari 4 remaja perempuan mengalami PMS sebelum lulus SMA (Steinberg, 2002). Sementara data dari UNESCO (2009) menyebutkan bahwa anak muda usia 15 -24 tahun menyumbangkan 45% dari total infeksi HIV terbaru.

  Hal-hal di atas inilah yang menjadi salah satu alasan diperlukannya pendidikan seks. Melalui pendidikan seks, remaja akan dimampukan untuk

  4 yang diterima remaja terhadap perilaku seksual cukup positif yaitu kurang lebih 40% remaja menunda hubungan seks pertama, mengurangi frekuensi hubungan seks, mengurangi jumlah partner seksual, meningkatkan penggunaan kondom dan kontrasepsi, dan mengurangi perilaku seksual yang beresiko. Memang ada yang menjadi lebih negatif yaitu sekitar 4,3% remaja meningkatkan frekuensi seks, mengurangi penggunaan kontrasepsi dan melakukan perilaku seks yang lebih beresiko, namun dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks memberi kontribusi positif bagi seksualitas remaja. Meskipun begitu kontribusi positif pendidikan seks hanya ditemukan pada pendidikan seks yang komprehensif, sedangkan pendidikan seksualitas yang berfokus pada abstinience (berpantang) saja tidak memiliki manfaat tersebut (Kohler et al., 2008; SIECUS, tanpa tahun).

  Di Indonesia, muncul respon yang beragam terkait masuknya pendidikan seks di sekolah. Ada beberapa pihak yang mendukung, seperti guru, dokter, psikolog, konsultan seks, akademisi, tokoh masyarakat, LSM, wakil DPRD, dan menteri kesehatan (Tempo, 2007; Kompas, 2008; Nurhayati, 2012; Rachmawati,

  5 Mempertimbangkan hak setiap orang untuk dapat mengambil keputusan sendiri dengan kesadaran penuh maka pendidikan seks perlu diberikan kepada anak. Melalui pendidikan seks individu dapat memperoleh pengetahuan dan pengertian yang memadai sehingga dapat mengambil keputusan mengenai seksualitasnya dengan kesadaran dan tanggung jawab. Selain itu ketakutan bahwa memberi pendidikan seks kepada anak akan mendorong anak aktif secara seksual lebih dini merupakan miskonsepsi masyarakat. Hasil-hasil penelitian justru menunjukkan bahwa pendidikan seks menunda keaktifan seksual (Furstenberg et al., 1985; Kohler et al., 2008; Lindberg, in press; UNESCO, 2009)

  Terlepas dari perdebatan yang terjadi, pendidikan seks terutama terkait kesehatan reproduksi sudah mulai dicanangkan pada tahun 1980-an. Namun sampai saat ini pendidikan seks tetap tidak berhasil dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional (Nababab, 2011). Walaupun demikian, ada usaha pemerintah untuk mengenalkan pendidikan seks di luar kurikulum pendidikan nasional. Saat ini pemerintah Indonesia sedang mendorong didirikannya

  6 agar menjadi pendidik seks bagi anak-anaknya. Para pemerhati pendidikan seksualitas mengatakan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab memberikan pendidikan seks di rumah. Pendidikan seks dari keluarga perlu untuk mencegah anak mencari referensi lain dan memperoleh informasi yang keliru mengenai pengetahuan seksual, misalnya dari pornografi (Kompas, 2013; Nababab, 2011; Rachmawati, 2008; Sari, 2008).

  Orang tua memang salah satu pendidik seks utama bagi anak (Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Menurut Sarwono (1989) seks adalah masalah yang sangat pribadi sehingga keluarga adalah tempat paling nyaman untuk membahasnya. Sementara menurut Eisenberg, Sieving, Bearinger, Swain, dan Resnick (2006) orang tua memiliki peran kunci karena orang tua bisa mengekspresikan nilai, keyakinan, dan ekspektasi mereka kepada anak, disamping juga memberikan informasi yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan anak dengan melihat konteks sosial dan kondisi hidup sekarang. Orang tua juga memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki peran penting dalam memberikan

  7 seks dengan anaknya (Rosenthal, Senserrick, & Feldman, 2001). Frekuensi komunikasi dan pendidikan seks dari orang tua ke anak tergolong sangat rendah, bahkan sebagian besar topik seks tidak pernah dibahas (Santrock, 2007, Rosenthal & Feldman, 1999). Topik yang dibahas umumnya terbatas soal keamanan melakukan hubungan seksual (kondom, AIDS) namun tidak membahas perilaku seksual atau relasi (Steinberg, 2002). Suasana percakapan dengan orang tua pun lebih defensif dibanding saat remaja bicara dengan teman sebayanya, sehingga remaja lebih memilih teman sebaya sebagai sumber informasi seks (Rozema, 1986). Bahkan dalam penelitian Kakavoulis (2001), ditemukan bahwa hanya 18% responden (orang tua, guru SD, guru SMP-SMA, dan mahasiswa keperawatan) yang percaya bahwa keluarga mampu memberikan pendidikan seks secara memadai. Sementara itu di India, Nair et al. (2011) menemukan bahwa hanya 1,1% orang tua yang benar-benar mendiskusikan seks dengan anaknya, walaupun lebih dari setengah orang tua merasa pendidikan seks itu penting.

  Di Indonesia agaknya terjadi penurunan dalam pendidikan seks oleh orang

  8 Dari tabel tersebut ibu tampaknya menjadi pendidik seks yang utama bagi anak. Meskipun begitu persentase anak yang menerima informasi seks dari ibu masih sedikit, terlebih lagi dari ayah. Pada kedua survei tersebut juga ditemukan bahwa teman sebaya dan guru adalah sumber informasi seksual terbanyak bagi remaja. Selanjutnya Baby Jim Aditya (dalam Kompas, 2013) menyatakan bahwa orang tua masih menganggap tabu mendiskusikan kesehatan reproduksi dengan anak. Ini mengakibatkan orang tua menjadi pihak yang paling tidak tahu mengenai perkembangan seksual anak.

  Melihat kondisi di atas peneliti ingin lebih memahami dan mengetahui kondisi pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Peneliti ingin melihat lebih dalam mengenai aspek-aspek pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Menurut Walker dan Milton (2006) meskipun pendidikan seks memiliki dimensi yang universal namun juga terdapat perbedaaan dan keberagaman tergantung pada budaya dan konteks. Penelitian Epstein dan Ward (2007) mengindikasikan bahwa kelompok etnis yang berbeda memiliki pola komunikasi yang berbeda. Norma dan

  9 seksual orang tua-anak pernah dilakukan oleh Trinh, Steckler, Ngo, dan Ratliff, (2009) di Vietnam. Penelitian Trinh et al. mengeksplorasi beberapa aspek pendidikan seks oleh orang tua yaitu materi, konteks, dan penghambat. Sementara penelitian Ha dan Fisher (2011), juga di Vietnam, mengeksplorasi pandangan orang tua mengenai topik yang perlu diajarkan, pihak yang tepat untuk memberikan pendidikan seks, usia yang tepat untuk memulai pendidikan seks, kesulitan dalam berkomunikasi mengenai seks dengan anak, dan bantuan yang orang tua perlukan untuk menjalankan perannya sebagai pendidik seks.

  Aspek-aspek yang diteliti dalam dua penelitian di atas dapat dieksplorasi secara lebih mendalam dan sesuai kondisi di Indonesia. Kedua penelitian tersebut juga menggali beberapa aspek yang berbeda yang dapat digali seluruhnya bersama-sama. Aspek yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah konten, sumber informasi orang tua, hambatan, kemudahan, konteks, metode, pihak yang layak memberikan pendidikan seksualitas, dan kebutuhan pemberdayaan orang tua. Alasan peneliti memilih aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut

  10 penting untuk memahami sumber-sumber informasi seksual yang digunakan oleh orang tua.

  3. Hambatan. Penelitian Trinh et al., (2009) membahas hambatan memberikan pendidikan seks secara jelas, sementara Ha dan Fisher (2011) membahas alasan orang tua tidak memberi pendidikan seks. Hambatan juga dibahas dalam penelitian-penelitian lain seperti penelitan Bastien et al. (2011), Jerman dan Constantine (2010), Walker (2001), dan Wamoyi et al. (2011). Oleh karena itu peneliti merasa bahwa aspek ini merupakan aspek yang penting untuk diteliti.

  Meskipun begitu dalam penelitiannya, Trinh et al. sempat menyinggung mengenai relasi baik orang tua

  • – anak membantu pendidikan seks berjalan lebih baik. Dari sini peneliti tertarik melihat lebih jauh hal-hal apa saja yang dipandang orang tua dapat membantu terjadinya

  11 mengenai metode-metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, sehingga peneliti terdorong untuk menggali aspek metode lebih dalam.

  7. Pihak yang layak memberikan pendidikan seks. Dalam penelitian- penelitian sebelumnya sering muncul pembahasan mengenai pihak lain yang juga memberi pendidikan seks kepada anak, misal lembaga sosial, kakek-nenek, dan sekolah (Ha & Fisher, 2011; Walker 2004; Wamoyi et al., 2010). Selain itu juga ada penelitian yang melihat mengenai informasi seksual yang didapat anak dari beberapa sumber seperti teman dan media (Diiorio, Kelley, & Hockenberry-Eaton, 1999; Epstein & Ward, 2007). Pemilihan aspek ini adalah karena peneliti ingin mengetahui pandangan orang tua mengenai pihak-pihak yang dianggap layak memberi pendidikan seks kepada anak.

  8. Kebutuhan pemberdayaan orang tua. Aspek ini penting untuk diteliti karena dengan mengetahui kebutuhan pemberdayaan orang tua, maka

  12

B. Rumusan Masalah 1

  Apa saja konten pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia? 2. Apa saja yang menjadi sumber informasi seksual bagi orang tua? 3. Apa hambatan yang dialami orang tua di Indonesia? 4. Apa kemudahan yang dialami oleh orang tua di Indonesia? 5. Apa konteks pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia? 6. Metode apa yang digunakan orang tua dalam memberi pendidikan seks? 7. Siapa saja yang dipandang orang tua layak memberi pendidikan seks? 8. Pemberdayaan apa yang dibutuhkan oleh orang tua? C.

Tujuan Penelitian 1

  Mengetahui konten pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia.

  2. Mengetahui sumber informasi seksualitas bagi orang tua.

  3. Mengetahui hambatan yang dialami orang tua di Indonesia.

  4. Mengetahui kemudahan yang dialami oleh orang tua di Indonesia.

  13

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam ilmu psikologi perkembangan, pendidikan dan keluarga, terutama terkait pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mengerti dan memahami secara lebih mendalam pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Hal ini penting karena pendidikan seks memiliki variasi yang beragam tergantung budaya.

  Bagi orang tua, penelitian ini dapat menjadi sarana untuk merefleksikan, mengevaluasi dan meningkatkan pendidikan seks yang mereka lakukan. Bagi pasangan suami-istri yang belum mempunyai anak, hasil penelitian ini dapat membuka wawasan dan membantu mempersiapkan pasangan suami-istri tersebut untuk memberikan pendidikan seks di masa yang sebagai bentuk individu sebagai laki-laki atau perempuan dilihat organ dan struktur reproduksinya. Carrera (2008) mengatakan bahwa seks umumnya dipahami sebagai aktifitas genital dan merupakan salah satu aspek kecil namun yang sangat penting dalam seksualitas. Dalam International Technical

  Guidance on Sexuality Education (UNESCO, 2009), pendidikan seks

  merupakan sebagian aspek dari pendidikan seksualitas. Pendidikan seks meliputi topik-topik seperti pertumbuhan manusia, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual. Sementara dalam

  It’s All One Curriculum

  (International Sexuality and HIV Curriculum Working Group, 2009), pubertas,

  15

Keluarga

  Orang tua adalah sumber pendidik seks bagi anak dalam keluarga (Diiorio et al., 1999; Eisenberg et al., 2006; Epstein & Ward, 2007; Miller, Kotchick, Dorsey, Forehand, & Ham, 1998; Pluhar & Kuriloff, 2004; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010). Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sikap, keyakinan, dan perilaku seksual, terutama sebelum mulainya masa remaja (Dilworth, 2009; Jerman & Constantine, 2010; Kakavoulis, 2001). Peran kunci dan utama ini karena orang tua mampu mengekspresikan nilai, kepercayaan dan ekspektasi mereka, sembari memberikan informasi yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan anak, termasuk dalam konteks sosial dan kondisi hidup (Eisenberg et al., 2006). Kincaid, Jones, Sterrett, dan McKee (2012) menyatakan bahwa dalam model seminal Bronfenbrenner, orang tua terletak pada lingkaran pengaruh paling dalam. Hal ini karena

  16 Wamoyi et al., 2010). Pendidik seks sebaya memiliki interaksi yang lebih informal seperti mampu terbuka dan menggunakan humor dan gurauan saat menyampaikan informasi tentang seks. Sementara kakek dan nenek umumnya merasa lebih nyaman membicarakan seks dengan cucunya, dibandingkan orang tua ke anak (Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010).

  b.

Guru dan sekolah

  Sekolah dan guru memiliki kesempatan untuk memberikan informasi seksual kepada siswanya dengan memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum pelajaran (Eisenberg, Bernat, Bearinger, & Resnick, 2008; Kakavoulis, 2001; Ha & Fisher, 2011; Walker & Milton, 2006). Meskipun begitu ada hambatan dalam memberikan pendidikan seks yang memadai di sekolah seperti jadwal pelajaran yang sudah padat, tidak ada panduan atau silabus yang jelas, guru merasa tidak nyaman dan tidak menguasai topik pendidikan seks (Nair et al., 2011; Ha & Fisher, 2011).

  17 & Kamyab, 2010; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher, 2011; Holzner & Oetomo, 2004; Trinh et al., 2009). Teman sebagaimana saudara juga memiliki potensi sebagai pendidik seks sebaya (Diiorio et al., 1999; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher; Walker, 2004). Pendidikan seks juga bisa diberikan oleh instansi kesehatan melalui petugas kesehatan, atau organisasi-organisasi masyarakat misalnya Youth Union (YU) di Vietnam (Davis et al., 2010; Ha & Fisher; Walker & Milton).

  SIECUS (tanpa tahun) mengatakan bahwa model pendidikan seks yang diberikan kepada anak berbeda-beda tergantung keputusan dan kebijakan dari agen pendidik. Model pendidikan seks ini merupakan sebuah kontinum dimana berbagai pendidikan seks yang ada umumnya terletak di antara dua ujung kontinum yaitu pendidikan seks berbasis abstinence dan pendidikan seks berbasis comprehensive.

  18 pada pentingnya pernikahan dan memberi pesan bahwa perilaku seksual di luar pernikahan adalah berbahaya.

  Program ini memberi pesan negatif tentang seks, mendistorsi informasi mengenai kondon dan PMS, memberikan informasi yang tidak akurat dan bias mengenai gender, orientasi seksual, pernikahan, struktur keluarga, dan pilihan kehamilan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas berbasis abstinence di sekolah hanya sedikit atau sama sekali tidak memberikan dampak positif pada seksualitas anak muda (SIECUS, tanpa tahun).

  b.

Pendidikan seks berbasis komprehensif

  Model ini memberikan pendidikan seksualitas yang disesuaikan usia dan informasi yang akurat secara medis mengenai kumpulan topik yang luas terkait dengan seks (SIECUS, tanpa tahun).

  Sama seperti pendidikan seks berbasis abstinence, pendidikan seks berbasis komprehensif juga mendorong anak untuk menunda atau tidak

  19

  Rosenthal dan Feldman (1999) membagi materi pendidikan seks kedalam 4 domain / bidang yaitu : a.

  Developmental and Societal Concern Domain ini meliputi hal-hal terkait perkembangan fisik yang dialami dan topik-topik yang mendapat banyak sorotan oleh masyarakat, misalnya aborsi dan kehamilan di luar nikah. Topik dalam domain ini meliputi menstruasi, perkembangan fisik, aborsi, kehamilan, homoseksualitas, dan seks pranikah.

  b.

  Sexual Safety Meliputi topik-topik yang menjadi sorotan saat ini terkait seks aman

  (safe sex) dan pencegahan penyakit. Topik yang termasuk domain ini seperti seks aman (safe sex), penyakit menular seksual (PMS), HIV/ AIDS, dan jenis kontrasepsi serta cara mendapatkannya.

  c.

  Experiencing Sex

  20 d.

  Solitary Sexual Activity Domain ini meliputi dua hal saja yaitu masturbasi dan mimpi basah.

  Dua hal yang dianggap sebagai aktivitas seksual pribadi, umumnya dilakukan laki-laki, dan tergolong tabu untuk dibicarakan.

  Dari bidang-bidang yang disebutkan ini, bidang Developmental and

  Societal Concern dapat dibagi menjadi dua antara Developmental dengan Societal Concern karena keduanya mengandung topik-topik yang berbeda.

  Selanjutnya bidang Experiencing Sex juga dapat dipisah menjadi dua bidang yaitu Sexual Relationship dan Sexual Norm. Bidang Sexual Relationship berisi topik-topik terkait aktivitas seksual dan relasi romantis, sementara bidang

Sexual Norm berisi norma-norma perilaku dan berelasi dengan orang lain.

  21 menjadi orang tua tidak bisa berhenti dari menjadi orang tua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua adalah laki-laki dan perempuan yang memperanakan dan melahirkan keturuan dan atau membesarkan serta merawat anak yang membutuhkan komitmen seumur hidup.

  Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anaknya. Pengasuhan (parenting) adalah segala tindakan terkait dengan usaha membesarkan keturunan (APA Dictionary of Psychology, 2007). Hoyer dan Roodin (2003) menjelaskan bahwa masa pengasuhan anak dimulai dari anak lahir sampai anak menjadi mandiri dan meninggalkan rumah. Setelah anak meninggalkan rumah relasi orang tua anak berubah karena sekarang orang tua dan anak sama-sama orang dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

  Ada beragam macam orang tua yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda-beda terutama dalam hal dinamika pengasuhan yang terjadi.

  Macam orang tua yang ada antara lain orang tua heteroseksual, orang tua tiri, orang tua tunggal tidak pernah menikah, janda atau duda, orang tua gay dan

  22 saja (Trinh et al., 2009) bahkan Eisenberg et al. (2006) menemukan bahwa orang tua jarang berbicara soal cara mencegah konsekuensi negatif tersebut.

  Jerman dan Constantine (2010) menambahkan bahwa orang tua tidak mengkomunikasikan konsekuensi positif penggunaan kontrasepsi jika seseorang aktif secara seksual.

  Topik lain yang dibahas orang tua adalah mengenai moralitas seksual, berpantang (abstinience), dan relasi heteroseksual (Epstein & Ward, 2007; Miller et al., 1998; Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010). Rosenthal dan Feldman (1999) menyatakan bahwa topik komunikasi seks orang tua berkisar pada area keamanan seksual (kontrasepsi, HIV/AIDS, PMS, seks aman) dan area perkembangan dan isu sosial (menstruasi, perubahan fisik, kehamilan, aborsi) dan cenderung tidak menyentuh area pengalaman seksual (berpacaran, dorongan seksual, kepuasan seksual, aktivitas seksual) dan area aktivitas seksual sendiri (masturbasi, mimpi basah).

  Meskipun begitu penelitian Miller et al. (1998) dan Trinh et al. (2009)

  23 anak sebagai resiko, hal yang perlu ditunda dan dihindari (Epstein & Ward, 2007).

  Walker (2004) menemukan bahwa menstruasi pertama dijadikan penanda oleh orang tua untuk bisa memulai pendidikan seks kepada anak perempuannya. Sedangkan tiadanya perubahan yang bisa dijadikan penanda dengan jelas pada anak laki-laki, menyebabkan orang tua kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk memulai pendidikan seks. Sementara dalam penelitian Eisenberg et al. (2006), ditemukan bahwa orang tua menunggu anak terlibat dalam relasi romantis sebelum memulai diskusi soal seks. Selanjutnya Wamoyi et al. (2010) menyatakan bahwa orang tua menunggu terjadinya perubahan perilaku yang diasosiasikan dengan remaja sudah berhubungan seks, lalu kemudian memberikan pendidikan seks. Hal senada diungkapkan Bastien et al. (2011) bahwa keputusan mendiskusikan seks didasarkan hasil observasi orang

  24 pernah diberikan. Selain itu orang tua juga dapat “ketinggalan perahu” atau melewatkan kesempatan untuk menjadi sumber informasi pertama, menunda hubungan seks pertama pada anak, dan mendorong perilaku seksual yang lebih aman (Walker & Milton, 2006; Eisenberg et al., 2006). Eisenberg et al. (2006) menyoroti kesulitan mengubah perilaku beresiko tinggi (misalnya seks tanpa pengaman) menjadi perilaku dengan resiko lebih rendah, saat remaja sudah terlibat dalam relasi romantis. Sementara Wamoyi et al. (2010) mengatakan bahwa relasi seksual memiliki sifat dasar disembunyikan sehingga menemukan tanda-tanda keaktifan seksual anak sebelum memberi pendidikan seks akan sulit, terlebih untuk anak-anak yang tertutup. Akibatnya ada resiko yang lebih besar pada anak-anak yang tertutup untuk melakukan perilaku seksual beresiko.

  Relasi orang tua - anak

  25 b.

Gaya komunikasi

  Menurut Rosenthal et al. (2001) komunikasi seks adalah bagian dari kemampuan komunikasi secara umum sehingga saat orang tua memiliki gaya komunikasi yang positif, keterampilan berkomunikasi ini dapat diterapkan pada area spesifik, dalam hal ini komunikasi mengenai seksualitas. Selanjutnya Pluhar & Kuriloff (2004) mengatakan bahwa mendengarkan adalah kompenen penting untuk membangun komunikasi yang baik dan kedekatan.

  c.

  Keterbukaan Faktor lain yang mendukung berjalannya pendidikan seks adalah keterbukaan dan penerimaan terhadap diskusi mengenai seks (Walker, 2004;

  Walker & Milton, 2006). Keterbukaan berarti kemauan menjawab pertanyaan seputar seks. Meskipun begitu orang tua juga diharapkan agar tidak terlalu membesar-besarkan dan berfokus terus menerus (keep a

  spotlight

  ) pada topik seksual (Kirkman et al., 2005). Walker dan Milton

  26 banyak pengawasan dan diskusi mengenai seks kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

  e.

  Stimuli Orang tua memandang penting adanya stimuli, atau pemicu untuk memulai diskusi mengenai seks (Trinh et al., 2009; Walker, 2004). Stimuli atau pemicu ini bisa berupa kasus tetangga yang meninggal karena HIV/AIDS, adanya gadis desa yang hamil, acara TV atau radio, atau anak pulang membawa selebaran dari sekolah (Trinh et al., 2005; Wamoyi, 2010).

  Ada berbagai hal yang menghalangi dan menghambat orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Jerman dan Constantine (2010), menemukan ada 9 kesulitan yang dihadapi orang tua untuk melakukan komunikasi seksual.

  27 (2010) menemukan adanya perasaan tidak nyaman saat menggunakan termonologi seksual. Dalam menghadapi rasa malu terkait memberi pendidikan seks, ada beberapa strategi yang dapat diambil orang tua dan guru, yaitu (a) menerima bahwa mau tidak mau berbicara dengan anak soal seksualitas memang menimbulkan rasa malu, (b) menyadari bahwa kenyataannya tidak akan sememalukan yang dibayangkan, dan (c) melakukan kegiatan lain saat memberi pendidikan seksualitas (Walker & Milton, 2006).

  b.

Pengetahuan dan efikasi diri

  Orang tua merasa bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai soal seks (Ha & Fisher, 2011; Trinh et al., 2009; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan orang tua merasa tidak mumpuni dalam mengajar mengenai seks dan memiliki efikasi diri yang rendah (Bastien et al., 2011; Walker, 2004). Sebagaimana diungkapkan oleh Walker dan Milton, orang tua mengalami kesulitan dan

  28 di Tanzania disebabkan norma seksual masyarakat menekan keterbukaan tentang seks lintas gender dan generasi (Wamoyi et al., 2010). Sementara di Vietnam, percakapan mengenai seks dianggap tidak sopan oleh moralitas budaya (Ha & Fisher, 2009).

  d.

  Pengaruh dan isu keluarga dan antar generasi Orang tua yang tidak mendapat pendidikan seks dari orang tuanya cenderung bingung dalam membicarakan seks dengan anaknya (Jerman &

  Constantine, 2010). Menurut Walker (2001), pendidikan seks yang diberikan orang tua sedikit banyak dipengaruhi oleh pendidikan seksyang diterima orang tua dari orang tua (kakek – nenek).

  e.

Masalah komunikasi secara umum

  Ha dan Fisher (2011) menemukan bahwa orang tua di pedesaan Vietnam mengalami kesulitan memulai percakapan mengenai seks karena mereka sibuk bekerja sehingga tidak punya waktu bercakap-cakap dengan anaknya. Walker (2004) juga menemukan bahwa kemampuan komunikasi

  29 sebelum mereka siap. Orang tua juga merasa mendiskusikan seks dapat merusak anak muda. Anak menangkap gelagat ini sehingga mereka enggan mendiskusikan seks dengan orang tua karena takut dianggap ingin atau sudah aktif secara seksual (Bastien et al., 2011; Walker, 2004). Sementara Wamoyi et al. (2010) menemukan adanya orang tua yang merasa tidak dekat dengan anak sehingga merasa akan sia-sia membicarakan seks dengan anaknya karena tidak akan didengarkan. Menurut Trinh et al. dalam keluarga yang tidak memiliki relasi erat, anak cenderung enggan membicarakan seks dengan orang tuanya.

  g.

Penerimaan orang tua atas seksualitas remaja

  Trinh et al. (2009) menemukan bahwa orang tua merasa anak-anak mereka belum cukup dewasa untuk belajar isu seksual, atau terlalu muda untuk terlibat aktivitas seksual. Orang tua juga memiliki persepsi bahwa anaknya tidak aktif secara seksual (Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010) sehingga tidak perlu mendiskusikan seks.

  30 i.

  Kesulitan orang tua dalam membicarakan topik-topik spesifik Orang tua dapat mengalami dilema membicarakan topik tertentu saat mereka memiliki nilai yang bertentangan. Misalnya membicarakan penggunaan kondom saat berhubungan seks padahal mereka ingin anaknya berpantang. (Jerman & Constantine, 2010).

  Selain itu hal lain yang berpotensi menghambat terjadinya pendidikan seks adalah merasa bahwa anak sudah memiliki sumber pengetahuan yang memadai dan pendidikan seks merupakan tanggung jawab pihak lain, seperti pasangan atau sekolah (Ha & Fisher, 2011; Walker, 2001, 2004).

  Walker (2004) menemukan bahwa orang tua menggunakan pendekatan oportunistik atau mengandalkan pada kehidupan sehari-hari untuk membentuk proses pendidikan seks agar sesuai dengan perkembangan kesadaran seksual